KAJIAN KARAKTERISTIK LANSKAP SUNDA
PARAHIYANGAN SEBAGAI MODEL LANSKAP PERTANIAN
BERKELANJUTAN
MOHAMMAD ZAINI DAHLAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakanmu dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha mulia yang mengajarkan manusia dengan pena dan mengajarkan manusia
apa yang tidak diketahuinya.“ (Al-‘Alaq: 1-5)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Karakteristik Lanskap Sunda Parahiyangan sebagai Model Lanskap Pertanian Berkelanjutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2012
ABSTRACT
MOHAMAD ZAINI DAHLAN. Study on The Characteristic of Sunda Parahiyangan Landscape for A Model of Sustainable Agricultural Landscape. Supervised by NURHAYATI H. S. ARIFIN and WAHJU QAMARA MUGNISJAH.
Agricultural landscape (agroecosystem) is a unified system of ecology and socio-economic and also spiritual-culture that involved in production of foods, shelters, clothes, fibers, biofuels, and other agricultural products. Sustainability of agroecosystem is needed to support the continuity of life, especially for rural communities that relied strongly on agricultural resources. Sundanese society as a rural and mountain society has its own traditional ecological knowledges (TEK). TEK of Sundanese society could be a filter for modernization that negatively affects socio-cultural life of the society itself, as well as damages the nature and environment. Regarding to the role of TEK, it is necessary to do an explorative and descriptive-qualitative study of the various forms of TEK in the context of sustainable agriculture. The qualitative method was used for collecting relevant data to the characteristic of Sunda Parahiyangan landscape. The Data were collected by using Rapid Participatory Rural Appraisal (rPRA) through semi-structured interview, Focus Group Discussion (FGD), and field survey. Data analysis used Landscape Characteristic Assessment (LCA) to analyze character of Sunda Parahiyangan landscape, Knowledge-Based System Methodology to analyze TEK, National Research Council (NRC) and Community Sustainability Assessment (CSA) to analyze sustainable agricultural landscape. The sustainability of agricultural landscape was proposed to achieve USDA’s sustainable agricultural landscape criteria. The study results indicate that the Sunda Parahiyangan agroecosystem has unique characteristics as a result of the adaptation of society to nature and environment through a learning process from generation to generation in a relatively long time period. The character at rural landscape that has been created is a mountainous agricultural landscape type with abundant water resource as a main element. Therefore, Sundanese society called as mountain people (urang gunung) and water people (urang cai). In general, this character is reflected in some Sundanese’s agroecosystems such as kebun-talun (forest garden), sawah (paddy field), and pekarangan (home garden) that located in the surrounding settlement area. Furthermore, kabuyutan concept is one of the TEKs related to understanding and utilization of nature and environment. Kabuyutan is focused on revitalizing the role of forest (mountain) as a buffer of agroecosystem balance by calculating and deciding protected area (leuweung larangan/protected forest and leuweung tutupan/conservation forest). To support the sustainability, integrated between traditional and modern concept by practicing agroforestry system with low external-input and sustainable agriculture (LEISA) system and also applying Islamic management could be applied in utilizing and managing agricultural resources.
RINGKASAN
MOHAMMAD ZAINI DAHLAN. Kajian Karakteristik Lanskap Sunda Parahiyangan sebagai Model Lanskap Pertanian Berkelanjutan. Dibimbing oleh NURHAYATI H. S. ARIFIN dan WAHJU QAMARA MUGNISJAH.
Kawasan Sunda Parahiyangan yang berada di bagian hulu DAS Citanduy (Sub-DAS Cimuntur) merupakan bagian dari satuan kawasan lanskap pertanian. Lanskap pertanian yang disusun oleh beragam agroeksosistem merupakan perpaduan sistem ekologi dan sosial-ekonomi yang terdiri dari tumbuhan dan hewan yang sudah didomestikasikan serta masyarakat yang mengelolanya untuk menghasilkan pangan, papan, sandang, serat, biofuel, serta produk pertanian lainnya. Keberadaan unsur-unsur penyusun agroekosistem di daerah perdesaan menjadi bagian penting dalam menciptakan kawasan perdesaan yang berkelanjutan. Masyarakat pertanian Sunda Parahiyangan sebagai bagian integral dari agroekosistem memiliki perananan penting dalam menunjang pembangunan dan pengembangan kawasan perdesaan. Dengan sistem pengetahuan tradisional yang dimilikinya, secara turun-temurun masyarakat memanfaatkan sumber daya pertanian berdasarkan kearifannya sehingga terbukti mampu memberikan manfaat secara lestari tidak hanya untuk generasi sekarang, melainkan juga untuk generasi yang akan datang. Sistem usaha tani yang dilakukan masyarakat tidak hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga berperan aktif dalam melestarikan sumber daya pertaniannya. Dengan demikian, kearifan masyarakat lokal dapat menjadi pendorong dinamisasi dalam mencapai pembangunan pertanian di perdesaan yang berkelanjutan.
Sistem pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan solusi tepat untuk menciptakan kehidupan perdesaan berkelanjutan. Sistem tersebut harus mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman, dan hewan, tidak merusak lingkungan, serta secara teknis tepat guna, ekonomi layak, dan sosial-budaya dapat diterima. Melihat besarnya peranan kearifan lokal, perlu dilakukan kajian yang bersifat eksploratif terhadap ragam bentuk kearifan lokal dalam konteks pertanian berkelanjutan yang dapat menjadi referensi bagi penerapan model lanskap pertanian berkelanjutan. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji karakteristik lanskap pertanian Sunda Parahiyangan, mengkaji ragam manifestasi kearifan lokal masyarakat Sunda Parahiyangan dalam konteks lanskap pertanian berkelanjutan, dan menyusun model pengelolaan lanskap pertanian berkelanjutan.
Analisis karakteristik lanskap pertanian dilakukan berdasarkan acuan karakterisasi lanskap Landscape Characteristic Assessment/LCA. Analisis ragam pengetahuan ekologi tradisional menggunakan metode pengetahuan berbasis sistem (The Knowledge-Based System Methodology). Keberlanjutan lanskap dianalisis berdasarkan acuan keberlanjutan lanskap pertanian National Research Council/NRC dan Community Sustainability Assessment/CSA untuk menyusun strategi kebijakan pengelolaan yang mengarah pada pembangunan pertanian berkelanjutan berdasarkan kriteria keberlanjutan USDA.
Kawasan studi berada dalam tatanan lanskap pegunungan Sunda Parahiyangan dengan karakteristik agroekosistem yang khas sebagai cerminan dari budaya Sunda. Sumber daya lanskap (elemen lanskap) Sunda Parahiyangan secara umum dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan nonpertanian. Karakteristik lahan disusun oleh jenis tanah litosol, latosol, dan regosol, topografi dari landai hingga sangat curam, serta sumber daya air yang didukung kondisi iklim berupa curah hujan rata-rata 4.000 mm/th, suhu harian rata-rata 25 0C, dan kelembaban nisbi rata-rata 80% yang ideal untuk pertanian. Unsur-unsur pembentuk lahan berkontribusi dalam memberikan media tumbuh serta habitat bagi beragam vegetasi dan satwa yang sesuai dengan kondisi fisik alam dan lingkungannya. Berbagai unsur pembentuk lahan dikelola oleh masyarakat dengan PET yang dimilikinya untuk membentuk berbagai pola sistem ekologi pertanian (agroekosistem). Agroekosistem yang terbentuk di daerah studi terdiri dari kebun-telun, sawah, dan pekarangan yang berada dalam kawasan permukiman.
Sistem sosial-ekonomi masyarakat pertanian terlihat dalam aktivitas produktif dan reproduktif. Aktivitas tersebut merupakan kegiatan ekstraksi sumber daya pertanian untuk dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan. Aktivitas produktif dilakukan di lahan pertanian (on farm), sedangkan aktivitas reproduktif dilakukan di luar lahan untuk pemanfaatan sumber daya pertanian secara lebih layak (off farm). Pemanfaatan lahan dominan sebagai kawasan pertanian belum mampu memberikan hasil optimal meskipun menjadi sumber pendapatan inti keluarga petani. Kepemilikan lahan garapan yang relatif sempit (gurem) dengan rata-rata 0,3 ha/petani, tingginya biaya produksi, kurangnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian, serta kurang efektifnya peran pemerintah dalam mendukung usaha produksi pertanian masyarakat menjadi penyebab rendahnya peran pertanian dalam meningkatkan taraf hidup keluarga petani.
Berdasarkan hasil analisis dengan kriteria penilaian NRC, daerah studi memiliki potensi keberlanjutan cukup baik untuk mendukung usaha pertanian di setiap agroekosistem. Secara fisik, kondisi sumber daya pertanian yang melimpah dapat memberikan kesempatan bagi petani untuk memanfaatkan sumber daya pertanian tidak hanya untuk saat ini tetapi untuk kebutuhan di masa yang akan datang. Di samping itu, ketersediaan sumber daya pertanian dapat memberikan kualitas hidup yang layak bagi petani dengan tersedianya lapangan pekerjaan untuk melakukan aktivitas produktif dan reproduktif, serta ketersediaan pangan dengan kualitas prima, cukup nutrisi, mudah diperoleh, dan harga yang sesuai. Kondisi optimal dapat dicapai dengan menjaga kualitas dan kuantitas sumber daya air dan tanah sebagai elemen utama pembentuk lanskap pertanian Sunda Parahiyangan. Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan masyarakat dengan metode CSA, diperoleh hasil tingkat keberlanjutan masyarakat yang menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan dengan nilai rata-rata sebesar 1156. Namun, upaya perbaikan dan penyempurnaan dalam beberapa aspek yang bernilai kurang dari 50 perlu dilakukan untuk mencapai keberlanjutan yang optimal seperti pada aspek infrastruktur berupa penyediaan lahan pertanian, sarana, dan prasarana pertanian.
Konsep pengelolaan lanskap pertanian Sunda Parahiyangan dapat dilakukan dengan penerapan model tradisional dan modern. Pengetahuan ekologik tradisional merupakan modal utama yang disempurnakan oleh pengetahuan ekologik modern guna merespon dinamika lanskap yang terjadi. Keterpaduan dapat dilakukan melalui penerapan konsep kabuyutan yang diintegrasikan dengan sistem pertanian agroforestry dalam setiap agroekosistem disertai optimalisasi asupan dari dalam dan efisiensi masukan dari luar (low-external-input and sustainable agriculture/LEISA). Selain LEISA, pengaruh luar berupa inisiasi program pemberdayaan masyarakat perdesaan baik dari pemerintah maupun swasta perlu dilakukan dengan pelibatan aktif masyarakat lokal. Pemberdayaan diarahkan untuk penguatan spiritual-buaya masyarakat yang dapat meningkatkan produktivitas serta etos kerja untuk mencapai kesejahteraan sehingga berdampak pada pemanfaatan sumber daya pertanian yang berkelanjutan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa lanskap pertanian Sunda Parahiyangan memiliki karakteristik yang khas berupa karakter lanskap pertanian pegunungan dengan air sebagai elemen pembentuk lanskap utama yang diaktualisasikan dalam ragam agroekosistem khas masyarakat Sunda seperti kebun-talun, sawah, dan pekarangan dalam kawasan permukiman. Konsep kabuyutan merupakan pengetahuan ekologik tradisional masyarakat yang fokus pada revitalisasi peran hutan (gunung) sebagai penyangga keseimbangan sistem ekologi pertanian. Sistem pertanian agroforestry modern dengan ragam bentuk pengembangannya berpotensi menjadi model pengelolaan lanskap pertanian berkelanjutan dengan penerapan sistem LEISA yang ditunjang oleh kebijakan pemerintah yang adil dan bijaksana bagi masyarakat perdesaan. Dengan demikian, dapat terbentuk lanskap pertanian dengan kondisi fisik yang lestari serta masyarakat yang kuat secara sosial-ekonomi dan sehat secara spiritual-budaya.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya dilakukan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
KAJIAN KARAKTERISTIK LANSKAP SUNDA
PARAHIYANGAN SEBAGAI MODEL LANSKAP
PERTANIAN BERKELANJUTAN
MOHAMMAD ZAINI DAHLAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Tesis : Kajian Karakteritik Lanskap Sunda Parahiyangan sebagai Model Lanskap Pertanian Berkelanjutan
Nama : Mohammad Zaini Dahlan
NRP : A451100061
Program Studi : Arsitektur Lanskap
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurhayati H. S. Arifin, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. Wahju Q. Mugnisjah, MAgr Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt atas segala nikmat dan karunia ilmu-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan mulai bulan November 2011 hingga bulan Juli 2012 adalah tentang pengelolaan lanskap pertanian di kawasan perdesaan berdasarkan kajian budaya masyarakat lokal, dengan judul “Kajian Karakteristik Lanskap Sunda Parahiyangan sebagai Model Lanskap Berkelanjutan”.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. Ir. Nurhayati H. S. Arifin, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, MAgr selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingannya selama penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS dan Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA selaku dosen luar komisi pada ujian tesis atas masukan dan saran dalam penyusunan tesis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula untuk Komunitas Adat Ciomas (KATCI) dan masyarakat Dusun Ciomas, Mandalare, dan Kertabraya atas kerja samanya dalam perolehan data selama penelitian. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, Adik-adik, serta seluruh keluarga dan sahabat atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Bogor, September 2012
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah Penelitian ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 3
1.5. Kerangka Pikir Penelitian ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Lanskap Pertanian ... 5
2.2. Sunda Parahiyangan ... 6
2.3. Budaya Pertanian dan Kearifan Lokal ... 9
2.4. Pertanian Berkelanjutan ... 13
III. METODOLOGI ... 17
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17
3.2. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ... 18
3.3. Alat dan Bahan Penelitian ... 19
3.4. Tahapan dan Metode Penelitian ... 19
3.4.1. Metode Penentuan Sampel Kampung ... 19
3.4.2. Metode Pengumpulan Data dan Informasi ... 22
3.4.3. Metode Inventarisasi Tanaman ... 24
3.4.4. Metode Analisis Karakteristik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 24
3.4.5. Metode Analisis Keberlanjutan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 25
3.4.5.1. Analisis Keberlanjutan Fisik ... 26
3.4.5.2. Analisis Keberlanjutan Masyarakat ... 28
3.4.6. Konsep Pengelolaan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
4.1. Analisis Situasional ... 31
4.1.1. Analisis Kondisi Fisik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 31
4.1.1.1. Tanah dan Topografi ... 33
4.1.1.2. Hidrologi ... 37
4.1.1.3. Iklim ... 40
4.1.1.4. Vegetasi dan Satwa ... 42
4.1.1.4.1. Struktur Vegetasi dan Satwa di Talun-Kebun . 43 4.1.1.4.2. Struktur Vegetasi dan Satwa di Sawah ... 48
4.1.1.4.3. Struktur Vegetasi dan Satwa di Pekarangan .... 56
4.1.2. Analisis Kondisi Sistem Sosial-Ekonomi Masyarakat Pertanian
Sunda Parahiyangan ... 73
4.1.2.1. Demografi ... 73
4.1.2.2. Kelembagaan Sosial ... 74
4.1.2.3. Mata Pencaharian ... 76
4.1.2.4. Infrastruktur ... 80
4.1.3. Analisis Kondisi Sistem Spiritual-Budaya Masyarakat Pertanian Sunda Parahiyangan ... 85
4.1.3.1. Sejarah Masyarakat ... 85
4.1.3.2. Spiritual Masyarakat ... 85
4.1.3.3. Budaya Masyarakat ... 86
4.1.3.3.1. Tradisi Muludan dan Nyangku ... 86
4.1.3.3.2. Konsep Kabuyutan ... 89
4.1.3.3.3. Pengetahuan Ekologik Tradisional ... 93
4.1.4. Intervensi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian Sunda Parahiyangan ... 106
4.2. Karakterisasi Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 108
4.3. Analisis Keberlanjutan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 111
4.4. Konsep Pengelolaan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan Berkelanjutan ... 127
4.4.1. Konsep Pengelolaan Alam ... 128
4.4.2. Konsep Pengelolaan Ruang Pertanian ... 129
4.4.3. Konsep Pengelolaan Sumber Daya Pertanian ... 131
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 137
5.1. Simpulan ... 137
5.2. Saran ... 138
DAFTAR PUSTAKA ... 139
DAFTAR TABEL
1. Jenis data dan sumber perolehannya ... 23
2. Jenis Tanaman Dominan di Agroekosistem Kebun-Talun ... 43
3. Indeks Keanekaragaman Tanaman di Agroekosistem Kebun-Talun ... 46
4. Jenis Tanaman Dominan di Agroekosistem Sawah ... 51
5. Pola Tanam di Agroekosistem Sawah ... 54
6. Indeks Keanekaragaman Tanaman di Agroekosistem Sawah ... 55
7. Jenis Tanaman Dominan di Agroekosistem Pekarangan ... 58
8. Indeks Keanekaragaman Tanaman di Agroekosistem Pekarangan ... 59
9. Pola Pemanfaatan Lahan (Land Use) ... 69
10. Kondisi Kependudukan di Daerah Studi ... 73
11. Kondisi Pendidikan Masyarakat di Daerah Studi ... 74
12. Kondisi Mata Pencaharian Masyarakat di Daerah Studi ... 76
13. Ragam Mata Pencaharian Masyarakat di Daerah Studi ... 77
14. Kondisi Infrastruktur di Daerah Studi ... 81
15. Elemen Penyusun Rumah Panggung Masyarakat Sunda ... 82
16. Ragam Jenis Tempat Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 80
17. Nama 40 Tangkal Adam Pengisi Kabuyutan ... 95
18. Ragam Jenis Fungsi Satwa Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 97
19. Ragam Instruksi Petani kepada Kerbau dalam Aktivitas Membajak ... 98
20. Ragam Aktivitas Pertanian pada Agroekosistem Talun-Kebun dan Pekarangan Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 99
21. Ragam Aktivitas Pertanian pada Agroekosistem Sawah Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 100
22. Ragam Sistem Ukur Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 102
23. Ragam Sistem Hitung Obyek Pertanian Secara Umum Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 102
24. Ragam Sistem Hitung Obyek Pertanian Sawah Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 103
25. Ragam Ukuran Waktu Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 103
26. Ragam Penciri Waktu (Mangsa) Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 105
27. Hasil Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Berdasarkan Kriteria CSA ... 116
28. Matriks Hubungan PET-NRC Menuju Keberlanjutan USDA ... 124
29. Matriks Hubungan PET-CSA Menuju Keberlanjutan USDA ... 126
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pikir Penelitian ... 4
2. Perkembangan Lanskap Pertanian (Agroekosistem) Masyarakat Sunda (Sumber: Iskandar dan Iskandar, 2011) ... 10
3. Lokasi Penelitian ... 17
4. Tahapan dan Metode Penelitian ... 20
5. Metode Penentuan Sampel Kampung (Dusun) ... 21
6. Lokasi Dusun di Daerah Studi ... 22
7. Bentuk dan Ukuran Plot dalam Pengamatan Tanaman ... 24
8. Bentuk Umum Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 31
9. Sebaran Kawasan Agroekosistem di daerah Studi ... 32
10. Peta Sebaran Tanah di Kabupaten Ciamis ... 33
11. Bentuk Lahan (Landform) Kawasan Sunda Parahiyangan ... 34
12. Peta Sebaran Topografi di Kabupaten Ciamis ... 35
13. Bentuk Pemanfaatan Lahan (Land Use) Berdasarkan Topografi sebagai Kawasan Sawah (Kiri) dan Pekarangan dalam Permukiman (Kanan) ... 36
14. Bentuk Pemanfaatan Lahan (Land Use) Berdasarkan Topografi sebagai Kawasan Sawah Berteras (Kiri) dan Talun-Kebun (Kanan) ... 36
15. Bentuk Pemanfaatan Lahan (Land Use) Berdasarkan Topografi sebagai Kawasan Hutan Lindung (Kiri) dan Hutan Produksi (Kanan) ... 37
16. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy ... 38
17. Peta Sebaran Ketersediaan Air di Kabupaten Ciamis ... 39
18. Pemanfaatan Awi (Kiri) dan Susukan (Kanan) sebagai Saluran Air Tradisional Masyarakat Sunda ... 39
19. Peta Sebaran Curah Hujan di Kabupaten Ciamis ... 41
20. Tumbuhan Ki Rinyuh (Chromolaena odorata) dengan Bentuk Daun (Kiri) dan Habitatnya (Kanan) ... 45
21. Kondisi Agroekosistem Kebun-Talun di Daerah Studi ... 46
22. Kondisi Agroekosistem Sawah di Daerah Studi ... 49
23. Agroekosistem Padi Gogo Rancah dengan Bentuk Lahan Penanaman (Kiri) dan Penyemaian (Kanan) ... 49
24. Kombinasi Tanaman di Agroekosistem Sawah ... 51
25. Kondisi Agroekosistem Pekarangan di Daerah Studi ... 57
26. Kondisi Agroekosistem Pekarangan Luas (> 500 m2) ... 60
27. Kondisi Agroekosistem Pekarangan Sedang (200-500 m2) ... 60
28. Kondisi Agroekosistem Pekarangan Sedang (< 200 m2) ... 60
29. Kondisi Agroekosistem Pekarangan Ekstensif ... 62
30. Pemanfatan Kotoran Ternak (Kiri) dan Tanaman (kanan) sebagai Pakan Ikan di Pekarangan ... 64
31. Kondisi Kawasan Hutan Gunung Sawal ... 66
32. Struktur Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan di Daerah Studi ... 70
33. Pola Permukiman Memusat dan Mengelompok di Daerah Studi ... 71
34. Model Rumah Panggung di Daerah Studi ... 82
35. Ilustrasi Konstruksi Imah Panggung Sunda Panjalu ... 84
36. Konsep Ruang Kabuyutan Sunda (Sumber: Hasil Wawancara dengan Sesepuh KATCI) ... 90
38. Pemanfaatan Suluh (Kiri) dan Hawu (Kanan) dalam Aktivitas Reproduksi Masyarakat (Memasak) ... 120 39. Alat Musik Karinding Buhun masyarakat Sunda di Panjalu ... 123 40. Konsep Pengelolaan Lanskap Pengelolaan Lanskap Pertanian
Berkelanjutan ... 128 41. Pemanfaatan Awi (Bambu) dalam Konservasi Tanah dan Air ... 132 42. Konsep Pengelolaan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan
DAFTAR LAMPIRAN
1. Aspek Kajian dalam Mencapai Sistem Pertanian Berkelanjutan (National
Research Council/NRC) ... 145
2. Aspek Kajian dalam Menggali Pengetahuan Masyarakat Lokal Berkelanjutan (Community Sustainablility Assessment/CSA) ... 151
3. Kriteria Penilaian dalam Community Sustainablility Assessment/CSA ... 158
4. Jenis Tanaman Dominan dalam Agroekosistem Kebun-Talun ... 159
5. Jenis Tanaman Dominan dalam Agroekosistem Sawah ... 160
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Model pertanian konvensional yang lebih berorientasi kepada percepatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan telah mengakibatkan dampak negatif pada ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan pertanian. Kondisi tersebut menjadi bukti bahwa sudah saatnya Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya pertanian (negara agraris) mengubah paradigma ke arah pembangunan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) dalam hal sistem, strategi, dan kebijakan. Pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai pertanian yang memiliki daya saing tinggi, produktif, menguntungkan, mengkonservasi sumber daya pertanian, meningkatkan kualitas pangan, serta menjaga ketersediaan saat ini dan akan datang. Dengan demikian, pembangunan pertanian harus mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman dan hewan, tidak merusak lingkungan, serta secara teknis tepat guna, secara ekonomi layak, dan secara sosial-budaya dapat diterima (FAO, 2010).
Indonesia, sebagai negara agraris dengan mayoritas penduduknya merupakan masyarakat pertanian, memiliki keterkaitan yang erat dengan pembangunan pertanian berkelanjutan. Masyarakat Indonesia dengan pekerjaan utama di bidang pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan memiliki porsi terbesar dengan jumlah pekerja 84.320.748 jiwa atau sekitar 35% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.641.000 jiwa (BPS, 2011). Melimpahnya potensi alam, kuatnya budaya masyarakat agraris serta beragamnya kearifan masyarakat lokal, sangat berpotensi dalam merealisasikan Indonesia sebagai negara agraris berkelanjutan yang mampu menciptakan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, kesejahteraan sosial, serta pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
ekologi tradisional dapat menjadi penyaring modernisasi yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat, serta merusak alam dan lingkungan. Kearifan lokal telah terintegrasi secara sadar dalam penataan lanskap pertanian, tata cara bertani, dan pola kehidupan masyarakat pertanian.
Budaya bertani tercermin dalam kehidupan masyarakat pertanian Sunda Parahiyangan di Kabupaten Ciamis sebagai bagian integral dari suatu lanskap pertanian yang memanfaatkan sumber daya pertanian menjadi ragam bentuk agroekosistem. Sunda Parahiyangan merupakan kawasan yang dibentuk oleh dataran tinggi hingga pegunungan. Karakteristik lanskap yang khas tersebut telah membentuk suatu tatanan budaya masyarakat dengan sektor pertanian sebagai sumber usaha dan penghasilan utama bagi masyarakatnya (Rigg, 1862; Lubis, Nugraha, Wildan, Dyanti, Sofianto, Falah, Dienaputra, dan Djubiantono, 2003). Kabupaten Ciamis merupakan bagian dari kawasan Parahiyangan/Priangan dan termasuk ke dalam Satuan Wilayah Sungai Citanduy (DAS Citanduy).
Selain sebagai sumber kehidupan, masyarakat pertanian berperan aktif dalam mengelola sumber daya pertanian agar tetap lestari. Kondisi aktual di daerah studi sebagai dampak dari sistem pertanian konvensional, terjadi berbagai masalah pertanian seperti kesuburan dan produktivitas lahan menurun, daya dukung lingkungan berkurang, konversi lahan, jumlah penduduk miskin dan pengangguran relatif meningkat, serta kesenjangan sosial semakin terlihat jelas. Peran ganda inilah yang menjadi hal menarik bahwa di satu sisi masyarakat memerlukan sumber daya pertanian untuk keberlangsungan hidupnya, di sisi lain mereka memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keberlangsungan sistem ekologi pertanian agar tetap lestari.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Rumusan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana karakteristik lanskap pertanian Sunda Parahiyangan?
2. Bagaimana kearifan lokal masyarakat Sunda Parahiyangan dalam konteks pertanian berkelanjutan saat ini?
3. Bagaimana hubungan antara lanskap pertanian Sunda Parahiyangan dengan konsep pertanian berkelanjutan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. mengkaji karakteristik lanskap pertanian Sunda Parahiyangan;
2. mengkaji ragam bentuk manifestasi kearifan lokal masyarakat Sunda Parahiyangan dalam konteks lanskap pertanian berkelanjutan;
3. menyusun model lanskap pertanian Sunda Parahiyangan sebagai referensi bagi model lanskap pertanian berkelanjutan.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. sebagai informasi bagi penguatan eksistensi budaya Sunda pada umumnya dan khususnya kebudayaan Sunda Parahiyangan;
2. sebagai model acuan pengelolaan lanskap pertanian berkelanjutan di perdesaan yang berbasis kearifan masyarakat lokal;
3. sebagai dasar pertimbangan penentuan kebijakan dalam mengelola lanskap pertanian yang berkelanjutan di perdesaan.
1.5. Kerangka Pikir Penelitian
Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan di kawasan hulu DAS Citanduy
Karakteristik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan
Sumber Daya Lanskap Pertanian Sumber Daya Masyarakat Pertanian
Upaya/Strategi Kebijakan Pengelolaan Lanskap Pertanian Berkelanjutan
Lanskap Pertanian Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Parahiyangan
Ancaman/Masalah Potensi Keberlanjutan
Lanskap Sunda Parahiyangan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lanskap Pertanian
Lanskap dapat didefinisikan sebagai suatu bentang alam yang memiliki elemen pembentuk, komposisi, dan karakteristik khas yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia yang terintegrasi secara harmoni dan alami untuk memperkuat karakternya sehingga dapat dibedakan dengan bentuk lainnya (Simonds, 1983). Lanskap didefinisikan pula sebagai proses polarisasi yang tidak hanya menyebabkan perbedaan tata guna lahan, tetapi juga dalam aspek sosial, budaya, ekonomi, dan ekologi. Berdasarkan pengaruh interaksi manusia di dalamnya, lanskap dikategorikan menjadi lanskap alami (natural landscape) dan lanskap buatan (man-made landscape). Salah satu bentuk dari lanskap buatan adalah lanskap pertanian.
Pertanian didefinisikan sebagai upaya manusia dalam mengusahakan sumber daya alam dan lingkungannya guna menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997). Pertanian merupakan sistem yang tumbuh, berproses, dan menyediakan pangan, pakan, serat, tanaman hias, dan
biofuel untuk suatu bangsa. Pertanian mencakup pengelolaan sumber daya alam seperti air permukaan dan air tanah, hutan dan lahan lain untuk penggunaan komersial atau rekreasi, pelestarian vegetasi langka dan satwa liar, lingkungan sosial, fisik, dan biologis, serta isu-isu kebijakan yang berhubungan dengan keseluruhan sistem (NRC, 2010).
kesejahteraan masyarakat lokal, dan kelestarian ekosistem. Lanskap pertanian
memiliki peranan penting dalam mengakomodasi kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat (Turpin dan Oueslati, 2008) dan sebagai habitat bagi keanekaragaman hayati (Arifin, 2012; Billeter, 2008).
2.2. Sunda Parahiyangan
Istilah Parahiyangan memiliki arti yang beragam berdasarkan sudut pandang yang mendefinisikannya. Dalam kepercayaan Sunda kuno, masyarakat percaya bahwa roh leluhur atau para dewa menghuni tempat-tempat yang luhur dan tinggi sehingga wilayah pengunungan dianggap sebagai tempat bersemayam. Dengan kata lain, Parahiyangan dapat diartikan sebagai tempat para Hiyang bersemayam (Para-hiyang berarti jamak dari Hiyang).
Secara etimologi, Parahiyangan merupakan kata serapan dari bahasa Jawa kuno Parahyangan yang didefinisikan sebagai tempat tertinggi tempat para
Hyang bersemayam. Dalam naskah Nagarakartagama Pupuh 76: 1-12,
Parahyangan disebut sebagai tempat suci Dharma Ipas Pratista Siwa (Lubis et al., 2003). Berdasarkan hal itu, masyarakat Sunda kuno menggangap jajaran pegunungan di Jawa Barat sebagai Parahiyangan. Berdasarkan sejarah perkembangan Kerajaan Sunda, jajaran pengunungan di kawasan tengah Jawa Barat dianggap sebagai kawasan suci tempat Hyang bersemayam. Legenda Sunda menceritakan bahwa tanah Parahiyangan tercipta ketika Tuhan tersenyum dan mencurahkan berkah dan restu-Nya. Kisah ini menunjukkan keindahan dan
kemolekan alam Tatar Sunda yang subur dan makmur (Rosidi, 2000).
Berdasarkan sejarah Kolonial (VOC), sebelum Priangan jatuh ke tangan
VOC, Priangan dibentuk sebagai wilayah politik setingkat kabupaten oleh Sultan Mataram pada tahun 1641 M. Kekuasaan Mataram di Priangan berakhir berdasarkan perjanjian dengan VOC pada tahun 1677 dan 1705 M. Dalam perjanjian pertama disepakati penyerahan kekuasaan Priangan Timur, sedangkan perjanjian kedua disepakati penyerahan Priangan Tengah dan Barat ke pihak VOC sebagai balas jasa atas penyelesaian permasalahan dalam kekuasaan Mataram.
Sejarah berlanjut dengan penguasaan Parahiyangan (Priangan) oleh Jenderal Daendels (1799 M) dengan membagi Pulau Jawa menjadi Sembilan prefecture, di antaranya, adalah Prefecture Priangan yang terdiri dari Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang. Pembagian dilakukan berdasarkan kebijakan
Preangerstelsel warisan kompeni yang tetap dipertahankan karena dinilai menguntungkan. Priangan dalam masa itu dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah surplus kopi (Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang) dan daerah minus kopi (Limbangan, Sukapura, dan Galuh).
Pada tahun 1811 M, Priangan jatuh ke tangan Inggris dengan Gubernur Raffles sebagai pemimpinnya. Priangan dibagi menjadi 16 keresidenan, di antaranya, adalah Keresidenan Priangan yang meliputi delapan afdeeling (Cianjur, Sukabumi, Bandung, Cicalengka, Sumedang, Limbangan, Tasikmalaya, dan Sukapura Kolot). Setelah melalui perkembangan sejarah, wilayah Parahiyangan saat ini termasuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) mendifinisikan gunung sebagai
bagian dari muka bumi yang besar dan tinggi dengan ketinggian lebih dari 600 meter di atas permukaan laut (mdpl.). Miskinis (2011) menambahkan definisi gunung sebagai bagian bumi (relief) yang memiliki ketinggian lebih dari 600 meter di atas permukaan laut, isi, bentuk, ketajaman, dan susunan yang saling terhubung. Susunan gunung yang membentuk pegunungan merupakan bagian bumi yang menutupi 24% permukaan bumi dan menjadi rumah bagi 12% populasi di dunia (Sharma, Chettri, and Oli, 2010; FAO, 2007). Berdasarkan hal itu, daerah gunung/pegunungan yang berada diketinggian lebih dari 600 mdpl. digolongkan ke dalam kawasan Parahiyangan.
Masyarakat gunung (mountain people) secara sederhana didefinisikan sebagai suatu masyarakat yang hidup di daerah gunung atau pegunungan (Rigg, 1862). Masyarakat Sunda Parahiyangan dikenal sebagai masyarakat gunung (urang gunung) berdasarkan tempat mereka hidup dan hampir seluruh aktivitas kehidupannya berada di daerah pegunungan. Dengan demikian, masyarakat Sunda Parahiyangan sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh FAO (2007), disimpulkan bahwa masyarakat gunung termasuk ke dalam masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, dan mengalami ketidakcukupan pangan (food insecurity).
Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat gunung sangat antagonis ketika melihat fungsi vital dari gunung bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup
2.3. Budaya Pertanian dan Kearifan Lokal
Masyarakat gunung tidak terlepas dari aktivitas pertanian sebagai tempat mereka menggantungkan hidupnya (FAO, 2007). Berdasarkan sejarah, budaya, dan karakteristik alam serta lingkungannya, masyarakat gunung Sunda Parahiyangan memiliki keunikan yang tercermin dalam aktivitas masyarakatnya seperti dalam hal pertanian (Lubis et al., 2003). Secara umum masyarakat Sunda memiliki mata pencaharian utama dalam perburuan, pertambangan, perikanan, perniagaan, pelayaran, pertanian, dan peternakan. Aktivitas pertanian masyarakat Sunda di pedalaman berdasarkan informasi dalam Sanghyang Siksakandang Karesian (Danasasmita, 1987) adalah perladangan yang berkembang menjadi sistem perkebunan. Sistem persawahan baru dikembangkan pada awal abad ke-17 ketika pengaruh Mataram masuk wilayah Tatar Sunda (Lubis et al., 2003).
Sistem pertanian yang berkembang di daerah Jawa Barat pada umumnya adalah sistem agroforestri berupa kebun-talun dan pekarangan (Soemarwoto dan Conway, 1992), serta sistem padi sawah (Christanty, Abdoelah, Marten, dan Iskandar, 1986). Sistem pertanian tersebut merupakan modifikasi dari sistem pertanian tradisional Jawa (Christanty et al., 1986). Iskandar dan Iskandar (2011) menambahkan bahwa dalam perkembangan sejarah masyarakat Sunda, sistem ekologi pertanian (agroekosistem) yang dijalankan terdiri dari lima agroekosistem, yaitu huma, kebun-talun, sawah, kebun sayuran, dan pekarangan (Gambar 2). Perkembangan agroekosistem dipengaruhi oleh perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya pertanian yang tidak hanya untuk
pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi meningkat ke arah pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi dan spiritual-budaya.
Dibangun Rumah
Kebun Campuran Kebun
Talun
Huma
Leuweung Kolot
Reuma Kolot
Reuma Ngora
Tegalan Sistem Huma
Sistem Kebun-Talun
Sistem Pekarangan
Dikonversi Dibera
Dibera Dibuka
Dibera Dibuka
Dibangun Rumah Sistem Sawah
Dibangun Rumah
Dibangun Rumah Irigasi
Non-Irigasi
Non-Irigasi
Dibuka Dibera
Gambar 2. Perkembangan Lanskap Pertanian (Agroekosistem) Masyarakat Sunda (Sumber: Iskandar dan Iskandar, 2011)
Pekarangan didefinisikan Soemarwoto dan Conway (1992) sebagai sistem pertanian di sekitar rumah. Pekarangan merupakan sistem tradisional yang berlokasi di sekitar permukiman yang menyediakan produk kebutuhan dasar bagi pemiliknya serta produk komersial dengan mengkombinasikan pertanian pangan, pohon, dan hewan ternak. Sistem pertanian yang terbentuk merupakan hasil interaksi masyarakat Sunda terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungannya yang didasarkan pada ragam kebutuhan mendasar (based needs).
Kearifan lokal masyarakat pertanian telah membentuk budaya pertanian (agriculture) yang sulit dipisahkan dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakatnya (Becker dan Ghimire, 2003). Dalam budaya Sunda dikenal adanya
alam, dan tuhan. Berdasarkan etimologinya1, kata Sunda berasal dari Sun-Da-Ha
yang mengandung arti Sun adalah Diri, Da adalah Alam, dan Ha adalah Tuhan. Berdasarkan hal ini, kearifan lokal dapat digambarkan dengan mengidentifikasi tiga ranah tempat kearifan lokal tersebut berlaku.
Ranah pertama adalah Diri, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia. Konsep Sun yang merupakan Diri, terwujud dalam hubungan individu dengan individu atau individu dengan masyarakat. Beberapa kearifan lokal masyarakat Sunda dalam konteks Sun, di antaranya, adalah hade ku omong, goreng ku omong
(segala hal sebaiknya dibicarakan) yang maksudnya bahwa keterbukaan dalam hubungan bermasyarakat sebaiknya dibudayakan.
Kedua adalah konsep Da yang merupakan hubungan manusia dengan alam yang banyak terlihat dalam aktivitas masyarakat adat Sunda yang sangat memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Dasar dalam melakukan pengabdian pada alam diungkapkan dalam ungkapan suci ing pamrih rancage gawe yang maksudnya bahwa antara manusia dan alam adalah bagian yang menyatu dan tidak terpisah. Masyarakat adat Sunda beranggapan bahwa mereka hidup bersama alam, dan bukan hidup di alam. Dengan kata lain, ketika mereka merusak alam sama halnya dengan merusak diri sendiri dan masyarakat, seperti dalam ungkapan leuweung ruksak, cai beak, ra’yat balangsak (hutan rusak, air habis, dan rakyat sengsara).
Ketiga adalah konsep Ha yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhan. Konsep Ha diungkapkan dalam perilaku masyarakat yang
mengharmoniskan antara perilaku sesama manusia dan alamnya atas dasar kepercayaan terhadap Tuhan YME. Berdasarkan hal itu, secara turun-temurun masyarakat Sunda terus mengaplikasikan kearifan lokal dalam kehidupannya guna tetap terjaganya keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhannya.
Keagungan nilai kearifan lokal tersebut masih dijaga eksistensinya oleh beberapa masyarakat adat Sunda. Kawasan Sunda Parahiyangan memiliki masyarakat yang secara adat masih memegang teguh budaya Sunda sebagai warisan dari para leluhurnya (Suryani, 2011), seperti Kampung Gentur di
1
Kabupaten Cianjur (850 mdpl.2), Kampung Cikondang di Kabupaten Bandung
(1.100 mdpl.3), Kampung Rancakalong di Kabupaten Sumedang (727 mdpl.4), Kampung Pulo di Kabupaten Garut (700 mdpl.5), Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya (1.200 mdpl.6), dan Kampung Ciomas di Kabupaten Ciamis (700 mdpl.7).
Kampung adat di kawasan Sunda Parahiyangan masih memegang konsep-konsep penataan ruang termasuk didalamnya ruang pertanian, seperti luhur-handap, kaca-kaca, dan lemah-cai (Purnama, 2007). Konsep luhur-handap
didasarkan pada pemaknaan Sunda (Sun-Da-Ha) sebagai gambaran hubungan antara manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Kebun-talun merupakan manifestasi dari konsep luhur (atas) yang banyak diinterpretasikan sebagai kawasan keramat (kabuyutan). Implementasi dari konsep ini terlihat pada pemanfaatan di kawasan hulu yang sangat terbatas hingga adanya kawasan keramat berupa leuweung larangan dan/atau leuweung tutupan (hutan larangan dan/atau hutan tutupan) yang tidak bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat. Pengkeramatan dilakukan sebagai penghormatan terhadap para leluhur (karuhun) yang telah berjasa dalam menjaga stabilitas kehidupan antara manusia, alam, dan Tuhannya.
Pekarangan merupakan manifestasi dari konsep tengah (tengah) yang diinterpretasikan sebagai permukiman (Purnama, 2007). Selain memiliki fungsi produksi bagi pemiliknya, pekarangan dapat menyediakan fungsi sosial di antara masyarakatnya. Pekarangan dimanfaatkan sebagai ruang sosial yang
mengakomodasi aktivitas sosial-ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Sistem pertanian sawah yang banyak dibudidayakan di kawasan hilir merupakan manifestasi dari konsep handap (bawah) yang diinterpretasikan sebagai kawasan perekonomian (Purnama, 2007).
2
http://cianjurkab.go.id/Daftar_Kecamatan_Nomor_10.html. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.
3
http://bpsnt-bandung.blogspot.com/2009/08/kepercayaan-religi-masyarakat-adat.html. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.
4
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_b025_0603328_chapter4.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.
5
http://sikec.garutkab.go.id/UserFiles/File/leles2009.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.
6
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/kampung_naga_tasikmalaya_dalam_mitologi.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.
7
Konsep kaca-kaca merupakan gambaran dari batasan ruang lingkup
kehidupan manusia yang tidak selamanya berada dalam kebebasan. Dalam hal ini kehidupan manusia dibatasi oleh aturan dan norma yang mengikat serta menjadi pembatas dalam berperilaku dan bertindak. Dengan demikian kehidupan akan berjalan selaras baik secara vertikal maupun horizontal (Purnama, 2007). Konsep
lemah-cai merupakan gambaran dari sumber kehidupan manusia yang berasal dari tanah dan air. Dengan demikian, dalam budaya Sunda elemen tanah dan air menjadi elemen penting dalam sebuah kawasan permukiman dan pertanian.
Kearifan lokal merupakan aktualisasi dari sistem pengetahuan masyarakat dalam mengkonseptualisasikan interakasi budaya lokal masyarakatnya dengan alam. Hal tersebut diistilahkan oleh Becker dan Ghimire (2003) dengan
traditional ecological knowledge/TEK yang selanjutnya digunakan pengetahuan ekologik tradisional/PET. Sistem pengetahuan tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari kerangka etnografi sebagai keilmuan yang mengkaji kebudayaan suatu masyarakat. Kajian sistem pengetahuan dalam ranah etnografi dapat ditelusuri lebih lanjut berdasarkan unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal (Koentjaraningrat, 1990). Koentjaraningrat (1990) menyusun kerangka etnografi berisi tujuh unsur kebudayaan universal yang terdiri dari bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi (spiritual) yang didahului dengan pendeskripsian lokasi, lingkungan alam, dan demografi masyarakatnya.
2.5. Pertanian Bekelanjutan
Pertanian berkelanjutan akan terwujud dengan mengkombinasikan empat kunci keberlanjutan USDA yang saling terkait (USDA-NAL, 2007), yaitu (1) menyediakan kebutuhan pangan, pakan, dan serat, serta berkontribusi dalam penyediaan biofuel, (2) memperkaya kualitas lingkungan dan sumber daya, (3) mempertahankan kelangsungan ekonomi pertanian, dan (4) meningkatkan kualitas hidup bagi petani, buruh tani, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan konsep pertanian berkelanjutan, fungsi utama pertanian sebagai penyedia kebutuhan pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan dapat tercapai. Pemenuhan pangan sebagai hak dasar inilah yang menjadi permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia.
Food and Agriculture Organization (2010) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai askes bagi semua penduduk atas makanan yang cukup untuk hidup sehat dan aktif. Definisi lain yang dikemukakan oleh Machmur (2010) berdasarkan amanat UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian, ketahanan pangan nasional merupakan agregat dari ketahanan pangan rumah tangga dan pengertian inilah yang dapat dijadikan sebagai dasar strategi pembangunan pertanian berkelanjutan.
Ketahanan pangan dapat tercapai setidaknya mengandung dua unsur pokok, yaitu ketersediaan pangan dan aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan tersebut. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, suatu negara belum dapat
Salah satu bentuk implementasi kemandirian pro-aktif adalah kemandirian
pembangunan pertanian dan perdesaan sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Harianto, 2007). Perdesaan merupakan basis praktik pembangunan pertanian, sedangkan pertanian menjadi komponen utama yang menopang kehidupan perdesaan di Indonesia. Kemandirian pembangunan perdesaan sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan nasional hanya dapat terwujud jika kondisi saling tergantung tersebut dibangun atas dasar kekuatan modal fisik/alam, SDM, sosial, dan finansial yang tinggi.
Budaya Sunda sangat erat kaitannya dalam hal tersebut, ungkapan silih-asih
(saling mengasihi), silih-asah (saling menasihati), silih-asuh (saling mengayomi), ulah pareumeun obor (jangan memutuskan tali silaturahmi), cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok (sesuatu yang dijalani pasti akan menghasilkan meskipun sedikit demi sedikit), kudu nyaah ka sasama (harus menyayangi sesama), ulah poho ka karuhun jeung ka anak incu (jangan melupakan para pendahulu dan anak cucu), serta ngajaga amanat (menjaga amanah/kepercayaan) merupakan nilai-nilai dalam transformasi sistem pembangunan pertanian yang lebih holistik dan berkelanjutan.
III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama sembilan bulan mulai bulan November 2011
hingga Juli 2012. Lokasi penelitian merupakan dusun Sunda yang masih
menjalankan aktivitas kehidupan berdasarkan adat istiadat budaya Sunda. Dalam
penelitian ini, kajian difokuskan pada lokasi penelitian berdasarkan pendekatan
sejarah, etimologi, dan daerah alirah sungai (DAS) terkait aspek pertanian (zona
agroklimat). Berdasarkan hal tersebut, dipilih tiga dusun Sunda yang memiliki
keterkaitan kuat dengan sejarah Kerajaan Sunda, perkembangan kawasan
Parahiyangan, dan termasuk ke dalam DAS Citanduy, yaitu Dusun Ciomas,
Mandalare, dan Kertabraya di Desa Ciomas, Mandalare, dan Kertamandala,
Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis (Gambar 3).
U Dusun Kertabraya Dusun Mandalare Dusun Ciomas
Peta Wilayah Sungai Citanduy, Provinsi Jawa Barat, Indonesia
Lokasi Penelitian
S 070 20’ – 070 40’ dan E 1080 15’ – 1090 15’
[image:35.595.106.516.150.787.2]Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis
3.2. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Penelitian difokuskan pada kajian karakteristik lanskap pertanian di
kawasan Sunda Parahiyangan. Obyek penelitian dipilih berdasarkan
keterkaitannya dengan konsep lanskap pertanian Sunda Parahiyangan baik secara
etimologi, sejarah, dan pendekatan daerah aliran sungai (DAS). Dusun terpilih
diduga memiliki keterkaitan kuat dengan konsep Sunda Parahiyangan, yaitu
berada di kawasan pegunungan atau dataran tinggi lebih dari 600 mdpl. (Miskinis,
2011), terkait sejarah Kerajaan Sunda dan perkembangan Parahiyangan, serta
masyarakatnya yang masih menjalankan budaya Sunda (kearifan lokal) dalam
aktivitas kehidupan terutama dalam aktivitas pertanian.
Sistem pertanian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sistem
pertanian masyarakat Sunda yang meliputi kebun-talun, sawah, dan pekarangan
dalam kawasan permukiman. Analisis karakteristik lanskap pertanian dibatasi
pada aspek karakter fisik lanskap (ekologi), karakter masyarakat (sosial-ekonomi
dan spiritual-budaya), dan aspek kebijakan sebagai faktor eksternal yang
mempengaruhi sistem internal lanskap pertanian. Untuk memperoleh karakteristik
fisik lanskap pertanian yang kuat, dalam penelitian dilakukan kajian terhadap tiga
lokasi berbeda berdasarkan ketinggian tempat dalam satu DAS yang sama.
Berdasarkan pembagian zona DAS, kawasan Parahiyangan termasuk ke dalam
zona DAS hulu (> 600 mdpl.). Kabupaten Ciamis termasuk ke dalam DAS
Citanduy dan daerah studi berada dalam daerah hulu DAS (Sub-DAS Cimuntur).
Berdasarkan konsep ruang Sunda luhur-handap, Dusun Ciomas (> 600 mdpl.)
ditetapkan sebagai daerah handap, Dusun Mandalare di daerah tengah (800-1.000 mdpl.), dan Dusun Kertabraya di daerah luhur (> 1.000 mdpl.).
Kajian aspek ekologi dibatasi pada kondisi unsur pembentuk lahan
pertanian, yaitu tanah dan topografi, hidrologi, unsur iklim (suhu, kelembaban
nisbi, curah hujan, dan lama penyinaran), serta vegetasi dan satwa. Perbedaan
unsur pembentuk lahan berdampak pada perbedaan karakter lanskap pertanian.
Kajian aspek sosial-ekonomi dibatasi pada kondisi sistem sosial-ekonomi
masyarakat lokal dengan melihat tingkat kesejahteraan secara kualitatif
berdasarkan ukuran kebahagiaan masyarakat (Fellman (2003) dalam Jayadinata
Kajian aspek sistem spiritual-budaya dibatasi pada sistem pengetahuan
ekologik tradisional tentang pertanian berdasarkan pemahaman masyarakat lokal.
PET yang dikaji bukan secara murni sistem pengetahuan asli dari masyarakat
lokal, karena sulit membedakan antara pengetahuan lokal yang murni hasil proses
belajar masyarakat setempat atau merupakan adopsi, adaptasi, atau akulturasi dari
pengetahun lain. Dengan demikian, sistem pengetahuan yang dikaji merupakan
pengetahuan yang diketahui, diyakini, dan masih dijalankan atau sudah
ditinggalkan oleh masyarakat lokal.
3.3. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian, di antaranya, adalah GPS (Global Positioning System), meteran, kamera, lembar panduan wawancara dan kuesioner, serta perangkat lunak pengolah data spasial dan statistik. Bahan yang dibutuhkan
dalam studi adalah peta rupa bumi digital Indonesia lembar 1308-441 (Kawali)
dengan skala 1:25.000 dan peta Wilayah Sungai Citanduy.
3.4. Tahapan dan Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif. Metode ini
digunakan sebagai upaya untuk dapat memperoleh informasi terkait obyek
penelitian sehingga dapat memberikan jawaban yang relevan bagi
pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan penelitian. Penelitian dilakukan melalui kegiatan
prapenelitian, penelitian, analisis, sintesis, dan penyusunan rekomendasi
pengelolaan lanskap pertanian berkelanjutan berbasis kearifan lokal masyarakat
Sunda Parahiyangan (Gambar 4).
3.4.1. Metode Penentuan Sampel Kampung
Penentuan sampel kampung (dusun) merupakan tahap awal dalam
penelitian. Dusun yang dijadikan sebagai obyek penelitian dipilih berdasarkan
kajian pustaka terhadap konsep lanskap pertanian Sunda Parahiyangan (Priangan
atau Prianger dalam Bahasa Belanda) dan pendekatan daerah aliran sungai (DAS). Dusun yang dipilih berada dalam kawasan Parahiyangan (Kabupaten
Aspek Ekologi Sosial-Ekonomi Aspek Spiritual-Budaya Aspek Aspek Legal
1. Terrain (lereng dan topografi) 2. Iklim 3. Tanah 4. Hidorologi 5. Vegetasi dan
Satwa Pertanian 6. Batas Ekologi
7. Land cover 8. Land use
1. Kependudukan 2. Pendidikan 3. Pekerjaan 4. Kesehatan 5. Kelembagaan
Sosial 6. Kelembagaan
Ekonomi
1. Agama dan Kepercayaan 2. Elemen Budaya (Simbol,
Nilai, dan Norma) 3. Persepsi dan Harapan 4. Sikap dan Perilaku 5. Adat Istiadat 6. Kesejarahan
1. Kebijakan Pelestarian 2. Aturan Adat
3. Konsep Keberlanjutan Fisik Lanskap dan Masyarakat 4. Batas Administrasi Kajian Karakteristik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan sebagai Model Lanskap
Pertanian Berkelanjutan !
Sunda Parahiyangan!
(Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalayan, dan Ciamis)!
Kampung/dusun Sunda dengan ketinggian > 600 mdpl. dalam kawasan DAS Citanduy (Sub-DAS Cimuntur) dan termasuk wilayah administrasi !
Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat!
Analisis Karakteristik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan
(Metode Karakterisasi Lanskap Landscape Characteristic Assessment/LCA (Swanwick, 2002))
Analisis Ragam Pengetahuan Ekologi Tradisional Masyarakat Pertanian Sunda Parahiyangan
(Metode Pengetahuan Berbasis Sistem (Walker et al., 1997))
Analisis Keberlanjutan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan (Faktor Fisik dan Masyarakat)
(Metode Keberlanjutan Fisik Lanskap National Research Council/NRC(NRC, 2010) dan Keberlanjutan Masyarakat Community Sustainability Assessment/CSA(GEN, 2008))
Konsep Pengelolaan Lanskap Pertanian Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Parahiyangan
Kawasan Parahiyangan yang berada di Kabupaten Ciamis termasuk ke
dalam jajaran pegunungan Sunda Parahiyangan (Gunung Galunggung, Sawal dan
Cakrabuana). Berdasarkan daerah aliran sungan (DAS) termasuk ke dalam satuan
Wilayah Sungai Citanduy yang berhulu di Gunung Cakrabuana dan bermuara di
Danau Segara Anakan. Terkait aspek pertanian, ketinggian suatu tempat sangat
mempengaruhi keberagaman produksi pertanian. Hal tersebut terkait dengan
perbedaan suhu yang berkorelasi dengan ketinggian tempat (zona agroklimat).
Dengan pendekatan tersebut, dalam penelitian ditentukan kampung dengan
ketinggian berbeda (600-800 mdpl; 800-1.000 mdpl; > 1.000 mdpl). Di samping
itu, pembagian tersebut merupakan upaya pencerminan dari konsep luhur-handap
dalam budaya masyarakat Sunda (Gambar 5).
Kabupaten
DAS Hulu
DAS Tengah
DAS Hilir
Luhur (> 1000 mdpl.)
Tengah (800-1000 mdpl.)
Handap (600-800 mdpl.)
Berdasarkan administrasi dan sejarah Berdasarkan karakter lanskap Sunda Parahiyangan (Gunung)
Berdasarkan daerah aliran sungai (DAS)
Berdasarkan zona agroklimat dan interpretasi konsep
luhur-handap
Kampung (Dusun) > 600 mdpl.
Cianjur Bandung Sumedang Garut Tasikmalaya Ciamis Sejarah Kerajaan Sunda, perkembangan Parahiyangan/ Priangan, etimologi, dan DAS Konsep Parahiyangan
Gambar 5. Metode Penentuan Sampel Kampung (Dusun)
Berdasarkan kriteria tersebut, ditentukan tiga dusun, yaitu Dusun Ciomas di
Desa Ciomas (729-750 mdpl. dan termasuk daerah luhur), Dusun Mandalare di Desa Mandalare (737-866 mdpl. dan termasuk daerah tengah), dan Dusun
Kertabraya di Desa Kertamandala (898-1203 mdpl. dan termasuk daerah handap). Ketiga dusun tersebut berada dalam kawasan Gunung Sawal, kawasan DAS
Citanduy (Sub-DAS Cimuntur), dan termasuk ke dalam satuan wilayah
administrasi Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat
Dusun Ciomas, Desa Ciomas
Sumber:
Peta Rupabumi Digital Indonesia - Kawali Skala 1:25.000 - Bakosurtanal
Keterangan
Dusun Mandalare, Desa Mandalare Dusun Kertabraya, Desa Kertamandala Peta Insert: Peta Kabupaten Ciamis
Gambar 6. Lokasi Dusun di Daerah Studi
3.4.2. Metode Pengumpulan Data dan Informasi
Penelitian dipandu oleh rincian jenis dan sumber data yang digunakan
dalam pencapaian tujuan penelitian (Tabel 1). Data diperoleh melalui partisipasi
aktif masyarakat lokal dengan pendekatan metode Rapid Partisipatory Rural Appraisal (rPRA) (Muleler, Assanou, Guimbo, dan Almedom, 2009) menggunakan sistem wawancara semi terstruktur, Focus Group Discussion
(FGD), observasi lapang (Huntington, 2000; Mulyoutami, Rismawan, dan Joshi,
2009), dan telaah pustaka.
Wawancara dilakukan dengan menyajikan pertanyaan yang mengacu
kepada aspek penilaian keberlanjutan fisik lanskap National Research Council/NRC (NRC, 2010) dan keberlanjutan masyarakat Community Sustainability Assessment/CSA (GEN. 2008). Wawancara dilakukan kepada narasumber (informan kunci) yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan
Dalam FGD disajikan beberapa permasalahan secara topikal terkait proses
pengelolaan lanskap pertanian berkelanjutan untuk memperoleh data yang
beragam dari berbagai macam responden (informan kunci). Topik kajian dalam
FGD mengacu kepada penilaian keberlanjutan fisik lanskap NRC dan
keberlanjutan masyarakat CSA. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan
permasalahan pertanian yang dilihat dari sisi ekologi, sosial-ekonomi, dan
spiritual-budaya (Lampiran 1 dan 2). Selanjutnya, data dan informasi hasil
wawancara dan FGD disesuaikan dengan kondisi aktual melalui observasi lapang
bersama masyarakat. Dengan proses tersebut, dapat diperoleh data dan informasi
yang valid mengenai lanskap pertanian Sunda Parahiyangan berdasarkan
pengetahuan ekologi tradisional masyarakatnya.
Tabel 1. Jenis Data dan Sumber Perolehannya
No. Jenis Data Unsur Data Sumber Data
1. Sunda Parahiyangan
a.Kesejarahan:
Sejarah Sunda Parahiyangan, latar belakang dan sumber utama sejarah dan budaya.
Observasi lapang, wawancara semi terstruktur b.Kondisi Umum:
Peta tanah, peta topografi, peta tata guna lahan, data hidrologi, data iklim, data demografi, data geografis, data/peta sirkulasi dan aksesibilitas, view, elemen lanskap alami, serta data vegetasi dan satwa.
Observasi lapang, Bappeda, BMG, Puslitbang Tanah, Bakosurtanal, BPS, BP DAS Citanduy.
c.Kondisi Masyarakat Setempat: Sistem kehidupan, ragam aktivitas masyarakat (sosial, budaya dan ekonomi), kepentingan penggunaan tapak, persepsi, harapan, dan intervensi masyarakat.
Observasi lapang, wawancara semi terstruktur, BPS, Potensi Desa.
2. Aspek Keberlanjutan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan
a.Sistem Pertanian Masyarakat Sunda Parahiyangan:
Karakteristik ekologi, sosial dan ekonomi, serta spiritual dan budaya.
Observasi lapang, wawancara semi terstruktur, BPS, Potensi Desa. b.Kebijakan Pengelolaan/Aspek Legal
Sistem pengelolaan saat ini, kebijakan pengelolaan, kebijakan tata ruang, dukungan pemerintah, swasta dan masyarakat, serta rencana pengembangan kawasan berbasis pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture).
3.4.3.Metode Inventarisasi Tanaman
Inventarisasi tanaman dilakukan dengan menggunakan sistem plot survei
tanaman (Fridley, Senf, dan Peet, 2009) dengan metode garis berpetak
(Soerianegara dan Indrawan, 2005). Plot dibuat berukuran 1.000 m2 (50x20 m)
untuk tanaman dalam agroekosistem kebun-talun dan sawah (Gambar 7). Kajian
pada agroekosistem pekarangan, disesuaikan dengan kepemilikan luasan
pekarangan (< 200 m2, 200-500m2, dan > 500 m2). Contoh plot ditentukan secara
acak dan dipastikan sebelumnya berdasarkan dugaan (purposive random sampling). Masing-masing agroekosistem di setiap dusun ditentukan tiga contoh yang representatif. Hasil inventarisasi tanaman dominan (tiga jenis tanaman dalam
setiap agroekosistem) digunakan sebagai dasar perhitungan tingkat
keanekaragaman jenis tanaman berdasarkan perhitungan indeks Shannon-Wienner
(Finotto, 2011).
Gambar 7. Bentuk dan Ukuran Plot dalam Pengamatan Tanaman
3.4.4. Metode Analisis Karakteristik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan
Metode yang digunakan adalah Landscape Characteristic Assessment/LCA (Swanwick, 2002) yang meliputi tahap penentuan ruang lingkup analisis,
pengumpulan dan pengolahan data, pengamatan lapang, serta klasifikasi dan
deskripsi karakter lanskap. Analisis dilakukan secara deskriptif dan spasial
terhadap aspek ekologi, sosial-ekonomi, spiritual-budaya, dan aspek legal
spesifikasi dari pengetahuan lokal yang fokus pada konseptualisasi suatu budaya
lokal dalam berinteraksi dengan alam dan lingkungannya (Becker dan Ghimire,
2003). PET digunakan untuk mengkaji aspek ekologi, sosial-ekonomi, dan
spiritual-budaya berdasarkan pemahaman para ahli (tokoh masyarakat) mengenai
masalah pertanian dengan pendekatan pengetahuan masyarakat lokal. Hasil
karakterisasi berupa deskripsi dari karakter lanskap pertanian Sunda
Parahiyangan.
3.4.5. Metode Analisis Keberlanjutan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan
Analisis keberlanjutan dilakukan pada aspek fisik dan masyarakat, serta
aspek intervensi kebijakan dengan pendekatan metode National Research Council/NRC (NRC, 2010) dan Community Sustainability Assessment/CSA (GEN, 2008). Analisis keberlanjutan lanskap pertanian menjadi salah satu faktor
penting dalam menunjang tercapainya pembangunan pertanian berkelanjutan.
Sebagai media utama yang mewadahi aktivitas pertanian, lanskap pertanian harus
memiliki struktur dan fungsi sistem ekologi pertanian (agroekosistem) dengan
daya lentur (resilience) yang optimal sebagai bentuk adaptasi terhadap dinamika pembangunan.
Untuk mengetahui tingkat keberlanjutan suatu lanskap pertanian, dilakukan
analisis terhadap tiga unsur utama keberlanjutan (ekologi, sosial-ekonomi, dan
spiritual-budaya) guna mencapai empat tujuan dari pertanian berkelanjutan USDA
(USDA-NAL, 2007), yaitu (1) menyediakan kebutuhan pangan, pakan, dan serat,
serta berkontribusi dalam penyediaan biofuel, (2) memperkaya kualitas
lingkungan dan sumber daya, (3) mempertahankan kelangsungan ekonomi
pertanian, dan (4) meningkatkan kualitas hidup bagi petani, buruh tani, dan
masyarakat secara keseluruhan. Hasil analisis keberlanjutan NRC dan CSA
disesuaikan dengan kriteria keberlanjutan USDA membentuk matriks hubungan
pengelolaan lanskap pertanian ke arah keberlanjutan. Matriks tersebut menjadi
acuan dalam menyusun strategi pengelolaan lanskap pertanian Sunda
3.4.5.1. Analisis Keberlanjutan Fisik
Analisis keberlanjutan fisik lanskap pertanian dilakukan secara deskriptif
dengan menggunakan pendekatan penilaian keberlanjutan National Research
Council/NRC. Kriteria penilaian fokus pada tiga aspek utama, yaitu (1) praktik
produksi, (2) sosial-ekonomi, dan (3) sosial kemasyarakatan. Aspek produksi
diarahkan kepada pencapaian keberlanjutan ekologi. Penilaian difokuskan kepada
aktivitas pertanian yang dilakukan masyarakat, seperti sistem pertanian,
penggunaan alat dan bahan pertanian (benih, pupuk, insektisida, dan teknologi),
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan pertanian (tanah, air, udara, dan
iklim), pendekatan isu jejak karbon (carbon footprint), dan pemanfaatan sumber
daya energi.
Aspek sosial-ekonomi difokuskan pada penilaian penjualan hasil produksi,
seperti tingkat penjualan, metode penjualan (waktu, lokasi, pekerja, dan cara),
produk yang dijual (organik atau nonorganik), dan manajemen resiko. Aspek
sosial kemasyarakatan difokuskan pada pencapaian keberlanjutan sosial, spiritual,
dan budaya. Penilaian dilakukan pada kelembagaan masyarakat dalam bidang
pertanian, hubungan antarmasyarakat petani dan antara petani dengan masyarakat
umum, kearifan lokal dalam bidang pertanian, keberlanjutan sosial pertanian
(regenerasi), mitigasi dan adaptasi terhadap dinamika sosial-spiritual-budaya, dan
pemahaman terhadap isu keamanan pangan (food safety).
Dalam mencapai keberlanjutan lanskap pertanian, eksistensi keragaman
tanaman pertanian sebagai sumber daya hayati pertanian utama perlu dianalisis
berdasarkan stuktur, fungsi, dan tingkat keanekaragamannya. Struktur dan fungsi
dianalisis berdasarkan analisis vertikal dan horizontal. Analisis vertikal dilakukan
dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasikan tanaman berdasarkan ketinggian
dan jenis tanaman. Tanaman diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu (1) 0-1 m
(herba), (2) 1-2 m (semak pendek), (3) 2-5 m (semak), (4) 5-10 m (perdu), dan (5)
> 10 m (pohon) (Arifin, Sakamoto, dan Chiba, 1997).
Analisis horizontal dilakukan dengan mengidentifikasi dan
mengklasifikasikan tanaman berdasarkan fungsi tanaman. Secara umum tanaman
(medicinals), (5) tanaman bumbu (spices), (6) tanaman penghasil pati (cash
crops), (7) tanaman industri (building materials and fuelwoods), dan (8) tanaman fungsi lainnya (additional functions) (Abdoellah, Hadikusumah, Takeuchi, Okubo, dan Perikesit, 2006; Arifin et al., 1997). Hasil analisis vertikal dan horizontal berupa analisa deskriptif dan spasial dengan mengintegrasikan struktur
dan fungsi tanaman dalam setiap sistem pertanian dengan elemen lanskap
pertanian lainnya secara ekologi, sosial, ekonomi, dan spiritual-budaya
(Abdoellah, Takeuchi, Parikesit, Gunawan, dan Hadikusumah, 2001) sehingga
membentuk pola lanskap pertanian Sunda Parahiyangan yang khas.
Analisis keanekaragaman tanaman dilakukan dengan menggunakan
pendekatan indeks keanekaragaman Shannon’s-Wienner (Finotto, 2011). Indeks keanekaragaman Shannon’s-Wienner digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis dalam satu lokasi penelitian. Dengan pendekatan tersebut,
dapat diperoleh hasil analisis baik deskriptif maupun spasial terkait dengan
keanekaragaman jenis tanaman pada lanskap pertanian Sunda Parahiyangan
secara umum. Rumus dari indeks Shannon-Wienner adalah sebagai berikut,
,
dengan, H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
;
pi = persentase kehadiran jenis I;
ni = jumlah nilai penting satu jenis;
i = jumlah nilai penting seluruh jenis; dan S = jumlah jenis yang yang hadir.
Nilai perhitungan indeks keanekaragaman (H) dapat diinterpretasi bahwa
nilai kurang dari 1 menunjukkan keragaman spesies rendah; nilai di antara 1 dan 3
menunjukkan keragaman spesies sedang; nilai indeks keragaman di atas 3
3.4.5.2. Analisis Keberlanjutan Masyarakat
Manusia (masyarakat) memiliki peranan penting dalam mengintervensi
suatu lanskap sehingga menghasilk