• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agricultural Sector Pograms for Poverty Alleviation: The Experience of P4K Project as a Model of Poverty Alleviation in Rural Areas.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Agricultural Sector Pograms for Poverty Alleviation: The Experience of P4K Project as a Model of Poverty Alleviation in Rural Areas."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Pengalaman Proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan

Petani-Nelayan Kecil (P4K) sebagai Sebuah Model

Penanggulangan Kemiskinan di Perdesaan

Agricultural Sector Pograms for Poverty Alleviation: The Experience of P4K Project as a Model of Poverty Alleviation in Rural Areas

Harniati

Sekretaris Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Departemen Pertanian Jl.Harsono RM 3, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

ABSTRACT

The objective of this paper is to discuss agricultural programs intended for poverty alleviation. The strategic objective is to strengthen the capacity of rural poor and its institutions, to improve the accessibility of the people to resources, infrastructure and production technology, and to increase the access of the community to financial capital. One of the programs that have been implemented since 25 years ago is the P4K Project with its main objective to develop participative and sustainable system in helping the poor people to self-improve their respective welfare. Important lesson learned from the project is drawn as follows: joint commitment, resource mobilization, actual condition-based plan and the dynamic of grass root problem, consistency of implementation, and learning by doing activities. Based on these findings, it is concluded that the rural poor are principally has the ability to discover their own way to overcome problems on poverty (discovery learning). To accelerate this discovery learning, programs to empower the poor people and provide various accessibility to reduce their burden is very much needed, such as accessibility to health services, education, and basic needs.

Key words: agricultural sector program, poverty alleviation, P4K ABSTRAK

Tulisan jni dimaksudkan untuk melihat dan mendiskusikan program-program sektor pertanian yang berorientasi penanggulangan kemiskinan. Secara garis besar digambarkan sebagai tujuan strategis, yaitu memperkuat kapasitas penduduk miskin pedesaan dan kelembagaannya, memperbaiki akses penduduk miskin secara lebih merata terhadap sumberdaya, infra struktur dan teknologi produksi, dan meningkatkan akses penduduk miskin terhadap modal finansial. Salah satu program yang telah dilaksanakan sejak lebih dari seperempat abad yang lalu adalah P4K yang bertujuan membangun sistem partisipasi dan berkelanjutan membantu penduduk miskin memperbaiki kesejahteraan secara mandiri. Dari program tersebut dapat ditarik pembelajaran dan mengetengahkan hal-hal penting antara lain: komitmen bersama, mobilisasi sumberdaya, rencana berbasis realitas dan dinamika masalah akar rumput, implementasi secara konsisten, dan program yang belajar dari pengalaman. Dengan didasarkan pada temuan tersebut, disimpulkan bahwa masyarakat miskin sesungguhnya mempunyai kemampuan menemukan jalannya sendiri untuk mengatasi masalah kemiskinan (discovery learning). Untuk mempercepat discovery

(2)

learning tersebut diperlukan upaya untuk memberdayakan masyarakat miskin dan

memberikan kemudahan-kemudahan dengan mengurangi beban-beban hidup seperti akses pelayanan kesehatan, pendidikan dan kebutuhan pokok.

Kata kunci : program sektor pertanian, penanggulangan kemiskinan, P4K

PENDAHULUAN

Kemiskinan masih menjadi permasalahan utama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi sejak krisis ekonomi menimpa Indonesia ternyata belum mampu menghilangkan atau mengurangi kemiskinan secara nyata. Oleh karenanya penanggulangan kemiskinan menjadi penting mendapat perhatian karena kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat dan mengakibatkan antara lain tingginya beban sosial-ekonomi masyarakat; rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia; rendahnya partisipasi aktif masyarakat; menurunnya ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; merosotnya kepercayaan terhadap pemerintah dalam hal pelayanan kepada masyarakat; dan kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudhoyono dan Harniati, 2004). Hal itu terjadi karena menurut Scott (1981), dalam Sahdan (2007) kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memiliki keterbatasan memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan. Kemiskinan merupakan fenomena perdesaan (63,52%). Dari sisi ketenagakerjaan di sektor pertanian, 75% kemiskinan berada pada subsektor tanaman pangan. Selain itu, 95% tenaga kerja bergerak di sektor informal yang sulit mengakses program ataupun bantuan melalui mekanisme dan institusi formal (Murniningtyas et al., 2007).

BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-iaki dan perempuan. tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya uniuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain adalah terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun lak-laki.

Di sektor pertanian, program-program peningkatan produksi hampir tidak menyentuh penduduk miskin di perdesaan. Akselerasi pembangunan model "revolusi hijau" hanya dapat dinikmati oleh petani-petani kelas "atas", yaitu mereka yang berlahan relatif luas dan memiliki peralatan penunjang yang memadai serta memiliki akses terjadap sumberdaya pembangunan yang tersedia. Semula diharapkan akan terjadi trickle down effect ataupun efek menetes ke bawah, yaitu

(3)

mengasumsikan bahwa hasii-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh semua khalayak dari berbagai strata sosial-ekonomi masyarakat. Menurut Yudhoyono dan Harniati (2004) trickle down dan spread effect hasil pembangunan tidak sepenuhnya terjadi karena berbagai ketidaksempurnaan sehingga pengelolaan sumber daya dan informasi didominasi oleh pelaku ekonomi skala besar, kegagalan kebijakan yang mengakibatkan pelaksanaan dan sasaran kebijakan tidak berhasil seperti yang diharapkan. Selain itu, kebijakan yang dirumuskan umumnya hanya bersifat makro, kurang menyentuh langsung masyarakat di lapisan bawah (grass root).

Menurut BPS (2007) jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada buian Maret 2007 adalah sebesar 37,17 juta (16,58%). Dari angka itu, 23,61 juta (63,52%) adalah penduduk miskin di perdesaan.

Dalam upaya penanggulangan kemiskinan kapasitas Departemen Pertanian, sesuai dengan mandat utamanya, yaitu menangani stabilitas pening-katan produksi pertanian, terutama hanya memfasilitasi untuk pengembangan kemampuan masyarakat petani miskin secara internal. Artinya, disediakan dukungan serta bantuan kepada rakyat kecil dan penduduk miskin, agar mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan kapasitas dan kemampuannya untuk berperan aktif dalam berbagai aspek kegiatan ekonomi yang menghasilkan manfaat dan nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan hidup. Secara komprehensif. penanggulangan kemiskinan sesungguhnya akan efeklif hanya bila dilakukan secara simultan dari sisi internal dan sisi eksternal. Secara eksternal, antara lain dengan mengurangi beban-beban masyarakat petani miskin, terutama dalam hal pengeluaran biaya-biaya untuk kesehatan keluarga, pendidikan anak, serta pemenuhan kebutuhan pokok lainnya.

KONDISI KEMISKINAN DI PERDESAAN

Kemiskinan di perdesaan memiliki dimensi yang kompleks. Menurut para ahli, ada tiga jenis kemiskinan, yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan natural atau alamiah, dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang secara langsung atau tidak disebabkan oleh tatanan kelembagaan. Dalam hal ini tatanan kelembagaan dapat diartikan sebagai tatanan organisasi maupun aturan permainan yang diterapkan. Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah seringkali menyebabkan secara struktural kaum miskin memiliki keterbatasan akses kepada sumberdaya-sumberdaya pembangunan yang ada, misal kesempatan kerja, layanan permodalan, pemasaran, layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan sebagainya. Menyertai transformasi struktural di sektor pertanian misalnya terjadinya konversi lahan dari penggunaan pertanian ke non pertanian. Di Jawa pada 1984-1988, rata-rata 36.000 hektar per tahun lahan sawah telah dikonversikan ke penggunaan untuk permukiman dan industri (Khomsan, 2003). Harga sawah yang relatif tinggi sering menggiurkan petani untuk menjual sawahnya. Setelah itu terpaksa memasuki profesi baru yang umumnya belum

(4)

mengenalnya. Karena alih profesi itu tidak direncanakan secara seksama, banyak di antaranya memiliki taraf kehidupannya yang menurun dan jatuh miskin.

Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang rendah, sehingga peluang produksi menjadi kecil. Kalaupun mereka berproduksi, hal itu dilakukan dengan efisiensi yang rendah sehingga hasilnya tidak optimal. Dalam lingkup pertanian, sumberdaya yang mempengaruhi munculnya kemiskinan adalah kualitas lahan dan iklim. Di Indonesia, lahan subur mungkin hanya dijumpai di Jawa. Dengan sumberdaya alam yang terbatas membuat petani harus menerima kenyataan. yakni lahan-lahan yang hanya dapat ditanami sewaktu ada hujan, sehingga hasil produksi hanya dapat diperoleh sekali dalam satu tahun. Kemiskinan natural lainnya juga disebabkan oleh kondisi fisik seseorang, misal karena kecacatan tubuh.

Sementara kemiskinan kultural berkailan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya. Secara kultural, ada puia sebagian sistem dalam tradisi yang cenderung berakumulasi kepada kemiskinan masyarakat, misal sistem waris yang mengakibatkan fragmentasi lahan, sehingga kepemilikan lahan per keluarga semakin lama menjadi semakin sempit. Ada pula perilaku kultural yang tidak disadari, misal orangtua yang kecanduan rokok. la tak dapat menyekolahkan anaknya, tetapi mampu merokok dua bungkus per hari. Ini kemiskinan kullural (Indra dalam KOMPAS Online, 07 Juni 2007).

Secara umum kondisi kemiskinan di perdesaan dapat digambarkan disebabkan oleh faktor-faktor keterbatasan sumberdaya yang dimiliki, pendidikan yang rendah, kekurangmampuan dalam hal teknis dan manajemen, keterbatasan akses pada sumber modal, ketimpangan distribusi lahan, ketimpangan jender dan bencana alam. Hal itu akan berakibat penduduk desa berpendapatan rendah, memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, suara dan aspirasi mereka kurang didengar, keberadaannya kurang diperhatikan. dan terpinggirkan dari komunikasi global. Lebih parah lagi adalah seakan martabatnya sebagai manusia diabaikan (Soetoprawiro, 2005).

Penduduk miskin di perdesaan terdiri atas: petani pemilik lahan sempit, penggarap, buruh tani, nelayan dengan peralatan sederhana, peternak kecil, pengrajin kecil, pengusaha mikro dengan modal terbatas, kaum perempuan dengan mata pencaharian yang tidak menentu, penggembala yang tidak menetap, peladang berpindah dan masyarakat terasing.

INDIKATOR KEMISKINAN DI PERDESAAN

Indikator kemiskinan menurut BAPPENAS dirumuskan sebagai berikut:

 Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi

(5)

bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);

 Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu benluk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecii diantaranya penduduk miskin;  Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan

oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan, baik biaya langsung maupun tidak langsung;

 Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan ternadap aset usaha, dan perbedaan upah, serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan, seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumah tangga;

 Terbatasnya akses terhadap layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;

 Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;

 Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian;

 Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumberdaya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan, dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;

(6)

 Lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;

 Lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemulusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;

 Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oieh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumah tangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumah tangga tidak miskin. Rumah tangga miskin di perkotaan rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumah tangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.

Dari berbagai teori, Sahdan (2007) merumuskan indikator utama kemiskinan sebagai berikut: (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumberdaya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial bagi masyarakat.

PROGRAM DEPARTEMEN PERTANIAN YANG BERORIENTASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Sesungguhnya banyak program Departemen Pertanian (Deptan) yang mengarah kepada penanggulangan kemiskinan di perdesaan, misalnya P4K, Delivery, P2LK, Pidra, PK2PM, Poor Farmers (PFIP/P4MI), PKMP LUEP, Primatani, dan sebagainya. Umumnya program-program tersebut dirancang untuk dapat langsung memberdayakan para petani miskin di perdesaan dengan berbagai pendekatan masing-masing. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman pelaksanaan program-program tersebut.

(7)

Secara garis besar dapat digambarkan tujuan strategis Deptan dalam penanggulangan kemiskinan sebagai berikut:

1) Memperkuat kapasitas penduduk miskin perdesaan dan kelembagaannya Untuk memperkuat kapasitas penduduk miskin di perdesaan telah ditempuh berbagai upaya, antara lain (a) menyediakan kesempatan untuk membangun kapabilitas individu dan kolektifnya; (b) memperbesar akses kepada peluang-peluang ekonomi, infrastruktur dan pelayanan sosial; dan (c) membantu mereka berinteraksi dengan lingkungan secara lebih seimbang. Upaya-upaya ini telah dilakukan pada beberapa proyek, misalnya proyek-proyek P4K, PIDRA, PK2PM, PF1P, PKMP.

2) Memperbaiki akses penduduk miskin secara lebih merata terhadap sumberdaya infrastruktur dan teknologi produksi

Kesempatan dan kemampuan penduduk miskin di perdesaan telah diupayakan untuk ditingkatkan. Dalam hal ini telah dilakukan fasilitasi, intermediasi serta advokasi, antara lain: (a) akses kepada sumberdaya alam (lahan, air dan hutan) dan teknologi; (b) mengurangi potensi konflik sosial; dan (c) memperbaiki perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam secara merata dan berkelanjutan. Penerapan upaya ini telah dilakukan melalui berbagai proyek, misal pada proyek-proyek PIDRA, PFIP, dan P4K.

3) Meningkatkan akses penduduk miskin kepada modal finansial

Untuk memperkuat kemampuan akses penduduk miskin perdesaan kepada permodalan finansial telah ditempuh strategi penguatan yang lebih melembaga, antara lain dengan: (a) mendorong kebiasaan menabung para petani miskin yang tergabung dalam kelompok-kelompok mandiri; (b) mengembangkan lembaga keuangan perdesaan yang profesional dan responsif; (c) mengembangkan agribisnis di perdesaan; dan (d) mengupaya-kan penganekaragaman sumber pendapatan (non-farm dan off-farm). Strategi ini telah diterapkan melalui berbagai proyek, misal pada proyek-proyek P4K, PKMP, PIDRA dan PK2PM.

P4K SEBAGAI SEBUAH MODEL PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERDESAAN

Departemen Pertanian memulai P4K pada tahun 1979, dengan sasaran penduduk miskin di perdesaan yang meliputi petani pemilik lahan sempit, penggarap, buruh tani, nelayan dengan peralatan sederhana, peternak kecil, pengrajin kecil, pengusaha mikro dengan modal terbatas, dan penduduk miskin lainnya. P4K bertujuan membangun sistem partisipatif dan berkelanjutan untuk membantu penduduk miskin memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan keluarganya, melalui pencapaian kemandirian dan mengantarkan mereka keluar dari kemiskinan dengan kekuatan mereka sendiri.

(8)

Sistem partisipatif dan berkelanjutan tersebut berwujud kelompok-kelompok swadaya, yang (i) memiliki anggota dan pengurus yang aktif; (ii) memiliki dan mengelola dana bersama (common fund) yang terutama berasal dari tabungan anggota; (iii) memiliki dan mengelola usaha yang menguntungkan; dan (iv) memiliki kapasitas untuk menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan pihak lain.

Program P4K dijalankan dengan mengintroduksi instrumen pemberdayaan berjalur ganda (dual track), layaknya sebuah keping mata uang. Jalur pertama memusatkan perhatian dan upaya dalam pemberdayaan petani-nelayan kecil melalui penguatan kapasitas kelembagaan petani-nelayan kecil atau KPK (Kelompok Petani-nelayan Keci!), sehingga kelembagaan ini mampu memberdayakan semua anggotanya untuk berperan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka dan partisipasi mereka dalam masyarakat: mampu mengubah hubungan yang selama ini tidak mendukung upaya mereka untuk berkembang; mampu memberikan manfaat yang seluas-luasnya bagi semua anggotanya Untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan keluarganya; dan mampu menjamin keberlanjutan manfaat bagi semua anggotanya setelah dukungan proyek berakhir.

Jalur kedua memusatkan perhatian dan upaya dalam pemberdayaan matapencaharian dan usaha yang mapan dan berkelanjutan yang dimiliki dan dikelola oleh para petani-nelayan kecil maupun KPK. Jalur ini ditempuh melalui pelayanan pengembangan usaha dan keuangan mikro, yang membantu keluarga miskin di perdesaan memperkuat kapasitasnya di dalam menghasilkan pendapatan, sehingga mereka sanggup keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan. Karena itu, usaha mikro dan keuangan mikro merupakan ruang lingkup strategis dari dukungan P4K terhadap petani-nelayan kecil.

Introduksi instrumen pemberdayaan berjalur ganda tersebut di atas sebenarnya telah meletakkan perspektif keberlanjutan sejak awal. Upaya penanggulangan kemiskinan seyogyanya dijalankan untuk memberikan manfaat kepada penduduk miskin jauh melintasi rentang waktu proyek atau programnya, menjamin mereka keluar dari kemiskinan secara mandiri dan menyediakan kesempatan bagi mereka untuk secara terus-menerus meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Sedikitnya terdapat tiga elemen dalam disain P4K yang memperspektifkan keberlanjutan dampaknya.

Pertama, upaya penanggulangan kemiskinan dijalankan tidak sebagai

program derma (charity), melainkan sebagai upaya memperkuat kapasitas penduduk miskin berinteraksi dengan lingkungan mereka yang menjamin kelangsungan hidup mereka secara normal. Aspek kunci dari hal ini adalah fokus pada kapasitas mereka di dalam mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi, sebelum mengandalkan bantuan pihak lain. Termasuk juga dalam konteks ini adalah kapasitas mereka untuk menghasilkan pendapatan.

P4K sejak awal memberikan bantuan modal kepada petani-nelayan kecil dalam bentuk pinjaman dari bank tanpa agunan, bahkan dengan skema bunga pinjaman mendekati skema komersial. Sikap ini ditempuh untuk membiasakan petani-nelayan kecil berada dalam lingkungan pelayanan normal, sehingga mereka

(9)

telah siap ketika mereka lepas dari program yang selama ini membantu mereka. Bahkan untuk mengakses pinjaman modal tersebut, petani-nelayan kecil harus menyusun rencana usaha yang terlebih dahulu harus dinilai aspek kelayakannya oleh petugas bank (account officer). Pinjaman modal itu sendiri diberikan secara bertahap, dengan jumiah pinjaman mulai dari Rp 500.000.- per anggota untuk tahap pertama sampai dengan Rp 2.000.000,- per anggota untuk tahap 4 sampai 6. Dengan pendekatan ini P4K telah meletakkan kredit sebagai instrumen pembelajaran usaha bagi petani-nelayan kecii.

Kedua, upaya penanggulangan kemiskinan perlu menjamin agar

peningkatan pendapatan rumah tangga dimanfaatkan untuk memenuhi standar hidup layak bagi seluruh anggota keluarga miskin. Artinya, ruang lingkup penanggulangan kemiskinan tidak hanya berpusat pada sisi pendapatan rumah tangga, melainkan juga pada sisi pemanfaatan dari pendapatan tersebut. Bertambahnya pendapatan rumah tangga mereka seyogyanya digunakan pertama sekali untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar minimal mereka, baru kemudian dialokasikan untuk hal-hal yang bersifat produktif guna memperbesar kapasitas mereka menghasilkan pendapatan. Pada tahap ini mereka perlu mengalokasikan pengeluaran dari pendapatannya untuk memupuk aset mereka, baik melalui tabungan maupun menjalankan usaha mikro di perdesaan yang mendatangkan keuntungan bagi mereka.

Ketiga, upaya penanggulangan kemiskinan perlu mengembangkan

infrastruktur lokal untuk menjamin manfaat dapat dinikmati tidak cuma oleh generasi saat ini, tapi juga oleh generasi berikutnya, walaupun stimulasi program itu sendiri telah berakhir. Infrastruktur lokal tersebut biasanya mencakup: (i) kelembagaan masyarakat lokal yang menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk secara terus-menerus bisa bekerja sama, meningkatkan kepercayaan diri dan kemandiriannya, meningkatkan partisipasinya dalam pengambilan keputusan, meningkatkan posisi tawarnya terhadap pihak lain, dan mampu mempengaruhi keputusan-keputusan publik yang menyangkut kehidupan mereka; (ii) struktur pendidikan/pelatihan lokal di mana menyediakan kesempatan bagi pemenuhan kebutuhan pengetahuan dan ketrampilan tambahan bagi warga masyarakat; dan (iii) struktur sumber-sumber permodalan, baik yang mereka kelola sendiri maupun yang tersedia setempat dan bisa diakses oleh setiap warga masyarakat secara mudah.

Hasil-hasil P4K

Seperempat abad kiprah P4K telah mampu memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya 66.663 KPK. Setelah melalui proses validasi yang diiakukan pada tahun 2003, sebagian KPK ada yang sudah tidak aktif, sehingga jumlah KPK yang aktif menjadi 58.118 KPK dengan keseluruhan anggotanya berjumlah 646.681 rumah tangga petani-nelayan kecil. KPK-KPK tersebut tersebar di 10.720 desa, 1.973 kecamatan, 127 kabupaten, dan 12 provinsi. Selain itu telah terbentuk Gabungan KPK sebanyak 1496. Sebanyak 35 Gabungan KPK telah berkembang menjadi koperasi dan sebanyak 205 telah menyelenggarakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Setelah terjadinya bencana gempa bumi dan gelombang pasang

(10)

Tsunami di Provinsi NAD dan Sumatera Utara (Nias), pola P4K telah pula diterapkan untuk memberdayakan sejumlah warga masyarakat korban bencana. Dalam hal ini telah tumbuh 552 kelompok mandiri di 4 kabupaten di Provinsi NAD dan 2 kabupaten di Provinsi Sumateia Utara (Nias).

Berdasarkan hasil Studi Dampak P4K tahun 2002 dan 2005, jumlah anggota rumah tangga petani-nelayan kecil adalah 4,1 jiwa. Dengan demikian P4K teiah melayani sekitar 2,5 juta jiwa penduduk miskin di perdesaan, di mana sekitar 2,1 juta jiwa di arttaranya telah keluar dari garis kemiskinan (diolah berdasarkan Hasil Studi Dampak P4K oleh BPS, tahun 2002 dan 2005).

Untuk memfasilitasi dan melakukan pendampingan kepada sejumlah KPK tersebut, P4K memobilisasi 4.697 orang petugas Penyuluh Pertanian, 474 orang di tingkat kabupaten/kota, dan 207 orang di tingkat provinsi. Semua petugas telah memperoleh sejumlah pelatihan, baik pelatihan dasar, pelatihan teknis, dan pelatihan khusus yang terkait dengan penyelenggaraan P4K.

Jumlah pinjaman kelompok yang telah tersalurkan selarna Fase 3 mencapai Rp 1,3 trilyun untuk membiayai 161.539 RUB (Rencana Usaha Bersama) yang disusun oleh KPK. Sebanyak Rp 1,1 trilyun di antaranya telah dikembalikan, dan sisanya Rp 218 milyar masih dalam proses pengangsuran. Dihitung dari jumlah realisasi kredit, tingkat tunggakan kredit yang ada mencapai 5,2 persen. Adapun pada pada implementasi program P4K dalam rangka penanggulangan bencana gempa bumi dan tsunami di Provinsi NAD dan Sumatera Utara, telah disalurkan dana Bantuan Usaha Ekonomi Produktif (BUEP) sebesar Rp 18,53 milyar sebagai modal pengembangan usaha mikro bagi kelompok-kelompok swadaya yang telah terbentuk.

Sebagai kegiatan pendidikan bagi masyarakat miskin, P4K. telah mampu meningkatkan kapasitas anggota KPK untuk menjangkau berbagai pelayanan publik, termasuk pelayanan keuangan mikro. Selain meminjam uang dari BRI, KPK telah mempunyai tabungan di BRI sebesar Rp 19,4 milyar, dan tabungan di kelompok sebesar Rp 5,9 milyar.

Pelajaran dari Pengalaman

Pengalaman P4K selama seperempat abad ini telah menghasilkan sejumlah pelajaran penting. Pertama, penanggulangan kemiskinan tidak bisa dijalankan secara efektif hanya dengan mengandalkan terjadinya perbaikan-perbaikan pada indikator ekonomi makro, namun harus dibarengi dengan program yang benar-benar langsung menjangkau dan mendampingi penduduk miskin. Hasil studi dampak P4K yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2002 dan 2005 mengungkapkan bahwa lebih dari 80 persen petani-nelayan kecil yang dilayani P4K telah keluar dari garis kemiskinan.

Kedua, penduduk miskin bukanlah entitas yang tidak memiliki apa-apa (the have not), melainkan yang memiliki serba terbatas (the have little). Dengan

pandangan seperti ini, maka sesungguhnya penduduk miskin memiliki modal manusia sebagaimana penduduk lain dan memiliki kapasitas untuk menolong diri

(11)

mereka sendiri (self-help). Kiprah P4K selama lebih dari dua dasawarsa ini sebenarnya memberikan penghargaan kepada sisi kemanusiaan penduduk miskin dengan membantu mereka menyadari dan menghargai potensi, kapasitas dan keterbatasannya, dan membantu mereka menemukan cara yang terbaik untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraannya. Sejumlah kajian yang telah dilakukan makin mempertegas sikap dan pandangan tadi, bahwa menolong diri sendiri bukanlah sesuatu yang mustahil bagi penduduk miskin.

Ketiga, kepercayaan diri penduduk miskin merupakan titik masuk utama

(entry point) dari seluruh rangkaian membantu mereka keluar dari kemiskinan. Hal ini bukan semata-mata karena kepercayaan diri memegang peranan besar dalam mewujudkan kesediaan orang untuk berubah, melainkan juga karena kepercayaan diri penduduk miskin merupakan sisi yang paling banyak "terganggu" akibat kemiskinan. Pandangan umum sering mempersepsikan penduduk miskin sebagai kaum apatis. Pandangan yang sebenarnya keliru, karena sebenarnya penduduk miskin tidaklah apatis. melainkan kepercayaan dirinya terganggu akibat beban dan rumitnya kondisi kemiskinan yang telah dialaminya bertahun-tahun. P4K membantu penduduk miskin "memulihkan" kepercayaan dirinya bahwa sesungguhnya mereka sanggup keluar dari kemiskinan dan hidup sejajar dengan warga masyarakat lainnya. Hasil studi dampak yang dilakukan pada akhir fase kedua menemukan sejumlah perubahan yang terjadi dalam diri penduduk miskin anggota KPK, antara lain perubahan sikap dari para petani-nelayan kecil, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya; keyakinan mempunyai sesuatu kekuatan untuk memperbaiki kehidupan mereka. Hasil studi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2002 dan 2005 juga menemukan hal yang senada. Penduduk miskin merasakan empat manfaat paling penting menjadi anggota KPK, yakni meningkatkan kepercayaan diri, memperoleh kesempatan belajar dan berbagi pengalaman, bersosialisasi dengan masyarakat, dan memperoleh kesempatan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan hidupnya.

Keempat, kelompok afinitas penduduk miskin merupakan instrumen yang

amat efektif bagi penduduk miskin untuk mampu keluar dari kemiskinan. Pengalaman P4K menunjukkan bahwa dukungan kepada kelompok swadaya berbasis afinitas menyediakan kesempatan bagi penduduk miskin untuk membangun kepercayaan dirinya. Demikian pula, dinamika kelompok-kelompok seperti itu dapai memperkuat proses pembelajaran dan menyediakan sarana untuk berbagi pengalaman. Pada sisi lain, pengalaman P4K juga membuktikan bahwa kelompok-kdompok swadaya penduduk miskin yang berbasis afinitas mampu memenuhi sejumlah kriteria yang mencirikannva sebagai kelompok swadaya yang aktif dan sehat, seperti: (i) memiliki tujuan bersama; (iij menjalankan sistem manajemen kelompok; (iii) memberlakukan sistem manajemen keuangan kelompok; (iv) memberlakukan norma akuntabilitas kelompok; (v) membangun linkage; dan (vi) menjadi organisasi pembelajar meskipun bersifat non-formal.

Kelima, penduduk miskin yang bergabung dalam kelompok-kelompok

swadaya memiliki kemampuan dalam mengelola kredit (credit management) dan memenuhi kelayakan untuk dilayani dari perspektif perbankan. Praktek yang telah dijalankan oleh kelompok-kelompok petani-nelayan kecil, membuktikan pelajaran itu. Kemampuan mereka mengelola kredit untuk usaha-usaha mikro yang

(12)

menguntungkan membuat mereka sanggup mengembalikan pinjaman dengan kinerja yang demikian baik. Banyak kelompok telah memberlakukan mekanisme simpan-pinjam terhadap dana bersama (common fund) yang mereka miliki, yang sebagian besar berasal dari tabungan mereka.

Keenam, apa yang telah dijalankan P4K selama ini bekerja sama dengan

BRI melalui dua jalur pelayanan (menyediakan kesempatan penduduk miskin meningkatkan kapasitas dirinya dan kesempatan meningkatkan pendapatan melalui pengelolaan usaha-usaha mikro), sesungguhnya merupakan suatu model yang telah teruji (fully-tested) dari sistem dan mekanisme partisipatif dan berkelanjutan untuk membantu penduduk miskin memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan keluarganya, melalui pencapaian kemandirian dan mengantarkan mereka keluar dari kemiskinan dengan kekuatan mereka sendiri.

Beberapa Isu Penting

Upaya penanggulangan kemiskinan yang efektif dan efisien, di mana pun, baru bisa dijalankan setelah kita memahami dan mengenali secara utuh dan menyeluruh tentang bagaimana sejatinya masalah kemiskinan itu berlaku, mencakup sifat kemiskinannya, akar penyebabnya, dan signifikansinya dalam masyarakat. Untuk itu, beberapa isu penting berikut ini kiranya perlu dipertimbangkan dalam merancang suatu aksi bersama menanggulangi kemiskinan yang berbasis pada kemampuan masyarakat mengatasi kemiskinan dengan kekuatan mereka sendiri.

(1) Komitmen bersama. Adanya komitmen bersama, baik eksekutif, legislatif, dan seluruh komponen masyarakat di dalam menanggulangi kemiskinan melalui pendekatan dan prinsip-prinsip dasar yang sesuai. Komitmen bersama ini tidak hanya sekadar retorika semata, tetapi harus tergambar dalam program yang jelas, sistematis, dan terukur, yang berfokus pada investasi sumberdaya manusia (invest

in people), serta adanya kemauan politik untuk menjalankan program tersebut

dengan akuntabilitas publiknya.

(2) Mobilisasi sumberdaya. Penanggulangan kemiskinan sesungguhnya merupakan suatu proses investasi sosial-ekonomi yang dalam banyak kasus rnembutuhkan waktu panjang, melewati sejumlah tahapan, serta membutuhkan kesabaran dan keteguhan semua pihak yang terlibat untuk menjalani keseluruhan tahapan dan keseluruhan proses secara konsisten. Konsekuensi logis penting dari hal tersebut adalah terjaminnya mobilisasi sumberdaya yang diperlukan guna penanggulangan kemiskinan, antara lain adalah dana dan sumberdaya manusia pada berbagai tingkatan wilayah yang terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Anggaran perlu disediakan. demikian pula para petugas yang bekerja secara sungguh-sungguh dan purna waktu untuk melayani penduduk miskin.

(3) Rencana berbasis realitas dan dinamika masalah di akar rumput. Upaya penanggulangan kemiskinan harus betul-betul dibangun dengan mendasarkan pada realitas dan dinamika rnasalah yang dihadapi oleh mereka yang mengalami masalah kemiskinan. Oleh karena itu, perlu dipahami dan dikenali betul apa

(13)

sebenarnya akar masalah kemiskinan yang ada. Setiap kabupaten (bahkan kecamatan dan desa) perlu memiliki informasi dasar (baseline information) tentang seberapa besar potensi kemiskinan yang ada dan bagaimana profil kemiskinannya, Hal itu dapat terwujud dengan melakukan survei rumah tangga menyeluruh dengan melibatkan institusi yang punya pengalaman dalam hal itu ataupun petugas-petugas statistik yang ada di setiap kecamatan. Dengan demikian, dapat dihasilkan suatu pengetahuan seperti apa potensi kemiskinan itu berlaku. Apakah kemiskinan itu hanya sebagai kasus semata (hanya dialami oleh sejumlah rumah tangga saja), atau menyangkut sekelompok masyarakat tertentu, ataukah menyangkut suatu wilayah tertentu (kemiskinan merupakan realitas umum di wilayah tersebut). Respon terhadap masing-masing sifat kemiskinan tersebut tentulah berbeda-beda.

Selain itu, perlu juga melakukan serangkaian lokakarya partisipatif pada berbagai tingkatan untuk menemukenali akar permasalahan kemiskinan yang ada. Implikasi dari itu semua adalah bahwa rencana aksi mestilah juga adaptif dan akomodatif terhadap realitas dan dinamika permasalahan yang ada di lapangan. (4) Implementasi secara konsisten. Upaya penanggulangan kemiskinan perlu dijalankan secara konsistensi sesuai dengan pendekatan dan prinsip dasar yang dianut, termasuk juga sesuai dengan proses-proses yang mendasarkan pada pendekatan dan prinsip dasar tadi. Untuk itu, perlu ditetapkan institusi yang diberi mandat dan bertanggung jawab menjalankan upaya penanggulangan kemiskinan pada tingkat lokal; menyiapkan petugas-petugas pendamping yang memiliki bekal sebagai pendamping masyarakat (community organiser) dan sanggup bekerja secara purnawaktu; mengembangkan sistem pelatihan pelugas dan penguatan kapasitas kelompok afinitas penduduk miskin; mengembangkan sistem insentif, penghargaan, promosi, dan sanksi yang mendasarkan pada kinerja penumbuh-kembangan kemandirian masyarakat miskin.

(5) Program yang belajar dari pengalaman. Upaya penanggulangan kemiskinan haruslah juga menyediakan ruang yang cukup untuk mendayagunakan pengalaman empirik di lapangan sebagai sumber belajar guna secara terus-menerus menyempurnakan program itu sendiri. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu sistem pemantauan, evaluasi, dan penilaian dampak (manfaat) yang mendasarkan pada sejumlah indikator kemandirian masyarakat miskin, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Hasil dari sistem seperti itu seyogyanya menjadi masukan dalam penyempurnaan program dan penyusunan rencana yang betul-betul bersumber dari pengalaman dan reaiitas Iapangan.

KESIMPULAN

Kebijakan pembangunan pertanian yang.berorientasi pada kesejahteraan petani seyogyanya berisi kebijakan-kebijakan tentang penanggulangan kemiskinan. karena dalam kenyataan petani yang lahan garapannya sangat sempit (petani gurem) selalu berpola nafkah ganda, yaitu tidak mungkin menggantungkan pendapatannya hanya dari usahatani saja tetapi juga dari usaha-usaha lain di luar usahatani (off-farm).

(14)

Dari pengalaman pelaksanaan berbagai program dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya masyarakat miskin mempunyai kemampuan menemukan jalannya sendiri untuk mengatasi masalah kemiskinan yang mereka hadapi (discovery learning). Kapasitas yang telah terbukti dapat tumbuh sejalan dengan karakter positif ditunjukkan, antara lain, oleh: (i) kemampuan menabung; (ii) kemampuan dan kesadaran membayar kembali pinjaman modal; (iii) kemampuan berperan serta dalam kancah ekonomi secara mikro; (iv) kemampuan berorganisasi; dan (v) kemampuan bekerja sama dengan pihak lain.

Pemerintah dapat membantu mempercepat proses discovery learning tersebut melalui: (1) pemberdayaan masyarakat miskin itu sendiri, yaitu memperkuat kekuatan akses masyarakat miskin kepada sumberdaya yang tersedia berdasarkan kekuatan sendiri, misal dengan peningkatan kapasitas kelembagaan serta peningkatan pendapatan mereka, dan (2) kemudahan-kemudahan, yaitu dengan mengurangi beban-beban hidup masyarakat miskin, misal dengan meringankan akses terhadap pelayanan kesebatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok.

Dalam pemberdayaan masyarakat miskin kiranya pemahaman ruang lingkup fasilitas yang harus disediakan perlu disesuaikan dengan tingkat kapasitas masyarakal miskin itu sendiri. Hal ini dapat digambarkan dalam suatu analogi yang dimulai dari pertanyaan: ”diberi ikan atau diberi pancing ?" Jawaban dari pertanyaan itu dapat bersifat multidimensi seperti analogi berikut: (1) diberi ikan agar punya tenaga untuk bekerja; (2) juga diberi pancing agar bisa mencari ikan; (3) diberdayakan, dilatih, dididik agar dapat menangkap ikan dengan baik;: (4) dilindungi sungai/danau/lautnya agar tidak harus bersaing secara tidak adil dengan 'trawl' atau kapal-ikan besar (Bayu Krisnamurthi, 2006).

Perlu kiranya dipahami bahwa dalam penanggulangan dan pengurangan kemiskinan terdapat hak dan kewajiban azasi bagi pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan warga masyarakat, maupun masyarakat miskin sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Pengentasan Kemiskinan Perlu Sirategi Yang Tepat dan Cepat. Harian Padang Ekspres, 12 April 2006.

Arifin, Bustanul. 2006. Kemiskinan, Bank Dunia, dan Revitalisasi Pertanian. Kompas Online, 11 Desember 2006.

Badan Pengembangan SDM Pertanian. 2004. Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Sektor Pertanian dan Perdesaan. Presentasi Kepala Badan PSDMP pada acara Rakernas Badan PSDMP tahun 2004.

Badan Pengembangan SDM Pertanian. 2006. P4K Seperempat Abad. Hasil, Dampak, Permasalahan, Isu Penting dan Kebijakan Departemen Pertanian tentang P4K Pasca 2005. Makalah disampaikan kepada peserla Apresiasi Keberlanjutan Pengelolaan Program P4K Pasca 2005 oleh Pemda Kabupaten/Kota, Jakarta, 2 Maret 2006.

(15)

Badan Pusat Statistik. 2007. Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2007. Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik. No. 38/07/Th. X. 2 Juli 2007.

Gaduh, Arya B. 2007. Harga Beras yang Tinggl juga Merugikan Petani. Bali Post Online, 14 Januari 2007. <www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2007/ W14/potret.htm!>. Karyadi, Ukay. 2006. Politik Pertanian untuk Kesejahteraan Petani. Harian Sinar Harapan,

Kamis, 09 Februari 2006. Available online at www.sinarharapan. co.id/berita/0602/09/opi02.html

Khomsan, Ali. 2003. Impor Beras, Ketahanan Pangan, dan Kemiskinan Petani. Kompas Online, Kamis, 18 Desember 2003.

Khudori. 2007. Petani, Kemiskinan, dan Reforma Agraria. Available online at perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.show_file_clp.

Krisnamurthi, Bayu. 2006. P4K dalam Perspektif Penanggulangan dan Pengurangan Kemiskinan. Bahan Presenlasi pada Apresiasi Keberlanjutan Pengelolaan Program P4K Pasca 2005. Badan Pengembangan SDM Pertanian, Departemen Pertanian Jakarta, 2 Maret 2006.

Kriswanta, G. 2005. Petani Miskin, Mengapa Impor Beras? Kompas Online, 16 Desember 2005.

Mubyarto. 2004. Pembangunan Pertanian dan Penanggulangan Kemiskinan. Paper pada Workshop "Agriculture Policy for The Future", UNSFIR, Jakarta 12-13 Februari 2004.

Murniningtyas, E., Harniati, N. Syafaat. 2007. Poverty Alleviations through Agriculture and Rural Development in Indonesia. Country Paper pada Workshop on Pro Poor Policy Formulation, Dialogue and Implementation at the Country Level di Bangkok. Nashrullah, Annas, KH. 2007. Mentan : 70% Angka Kemiskinan Disumbang Petani.

Available online at www.okezone.com/index.

Nasser, G.A. 2007. Petaniku Sayang, Petaniku Malang. Available online at www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita. Rabu, 4 Juli 2007.

Nofie, Iman. 2006. Beras Sebagai Sumber Kemiskinan. Available online at http://nofieiman.com.

Pur. 2006. Mentan: Tingkat Kemiskinan Petani Masih Tinggi. Republika Online, Selasa, 29 Agustus 2006.

Sahdan, Gregorius. 2007. Kemiskinan Desa: Menanggulangi Kemiskinan Desa. STPMD "APMD" Jurusan Pemerintahan, Yogyakarta.

Santosa, Iwan. 2005. Kemakmuran Rakyai Masih Impian. Kompas Online, Sabtu, 09 April 2005.

Sirnanjuntak, Togi. 2006. Tanah untuk Petani Miskin. Available online at www.elsam.or.id/txt/asasi/2002_0506/12.html.

Soetoprawiro, Koerniatmanto. 2005. Hukum bagi Si Miskin. Available Online at www.mail-archive.com/baraya_sunda@yahoogroups.com.

Suhartiningsih, Wiwik. 2005. Busang Lapar dan Hunger Paradox. Republika Online, 04 Juni 2005.

(16)

Syufri, Ahmad. 2005. Memberdayakan Sumber Daya Manusia Petani-Nelayan. Harian Haluan. Senin, 26 Desember 2005. hal 5.

Tarigan, Azhari Akmal. 2006. Nelayan. Kemiskinan Struktural dan BPR Syariah. Waspada Online, 24 Maret 2006. www.waspada.co.id/serba_ waspada/ mimbar_jurnal/ artikel.php?article id.

Ynt. 2007. Pemerintah Harus Selesaikan Masalah Kemiskinan. KOMPAS Online. 07 Juni 2007.

Yudhoyono, SB. dan Harniati. 2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. Mengapa Tidak Cukup dengen Memacu Pertumbuhan Ekonomi? Brighten Press, Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

If the risk-free rate is 6% and the expected return on the market portfolio is 14%, the company's after-tax weighted average cost of capital is closest to

Peran Modal Sosial yang Terlupakan Poverty Alleviation in Indonesia: The Missing Link of Social Capital. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia

Dalam demokrasi saat ini terjadi pergeseran paradigma dan nilai, yang seharusnya sistem demokrasi berdasarkan nilai-nilai Pancasila, justru hari ini demokrasi kita

Salah satu dari bauran strategi pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan yaitu dengan sumber daya manusia ( people ) yang berkualitas, pekerja atau pihak pengelola

Upaya disentralisasi sebagai pendekatan pembangunan dan pengembangan keterkaitan desa-kota pada satu sisi telah memberikan harapan baru kepada

Development based on the productivity paradigm includes the premise that high- input and specialized animal production systems - especially intensive poultry, pig and dairy farms -

Penerbit Erlangga. “The Wealth of Subnations : Geography, Institutions, and Within- Country Development.” Journal of Development Economics, Vol. “Poverty Alleviation in the Contex

These two algorithms not only can be used for finding Minimum Spanning Tree (MST) Problem as they are supposed to be, but also can be used as tools that can be modified to