DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Djazuli H.A. dan Yadi Janwari.Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (sebuah
Pengenalan). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Ganie, Junaidi. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Mulhadi.Hukum Perusahaan Bentuk-bentuk badan usaha di Indonesia. Bogor: Galia Indonesia, 2010.
Nitisusastro, Mulyadi. Asuransi dan Usaha Perasuransian di Indonesia. Bandung: Alfabeta, 2013.
Prakoso, Djoko, Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta: Intermasa, 2000.
Puwosutjipto, H.M.N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Hukum
Pertanggungan, Jakarta: Djambatan, 2001.
Salim, A. Abbas. Dasar-Dasar Asuransi (Principles of Insurance). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Sembiring, Sentosa. Himpunan Undang-Undang Lengkap Tentang Asuransi
Jaminan Sosial di Sertai Peraturan Perundang-Undangan Yang Terkait.Bandung: Nuansa Aulia, 2006.
Sigit Pramukti, Angger dan Andre Budiman Panjaitan. Pokok-Pokok Hukum
Asuransi. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2016.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji.Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Subekti, R dan R Tjitrosudibio.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001.
Suggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Ed.
Pertama, Cet. Kedua. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Sutedi, Adrian. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam praktek, Ed. Pertama, Cet. Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
B. Peraturan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian
Undang-Undnag Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuanagan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
Peraturan Otoritas Jasa Keuanagn Nomor 11/POJK.05/2014 Tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.05/2015 Tentang Tata Cara Penetapan Pengelolaan Statuter Pada Lembaga Jasa Keuangan
C. Skripsi dan Tesis
M. Ihsan An Auwali, Kewenangan Pengawasan Perbankan Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Skipsi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 2014.
Bisdan Sigalingging, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia, Tesis, Magister Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 2013.
D. Website
http://asuransihotnews.blogspot.co.id/2011/10/pengertian-pentingnya-dan-tujuan.html (diakses 27 Januari 2016).
http://dokumen.tips/documents/makalah-hukum-asuransi.html (diakses 04 Februari 2016).
http://asuransibinagriya.blogspot.co.id/2011/11/dalam-dunia-asuransi-ada-6-macam.html (diakses 04 Februari 2016).
http://akhsoname.blogspot.co.id/2015/09/asuransi-kerugian-dan-asuransi-jiwa.html (diakses 06 Februari 2016).
http://www.bisnisemas1.com/jenis-jenis-asuransi.htm (diakses 06 Februari 2016).
https://kafeasuransi.wordpress.com/fungsi-asuransi/ (diakses 06 Februari 2016).
http://lulusujianaamai.com (diakses 06 Februari 2016).
http://pusspaadewii.blogspot.co.id/2013/11/pengelolaan-bisnis-asuransi.html (diakses tanggal 06 Februari 2016).
http://sukamandisoreang.blogspot.co.id/2014/10/tugas-3-managemen-risiko-dan-asuransi.html (diakses 06 Februari 2016).
http://rinaldisantoso.blogspot.co.id/2011/11/asuransi.html (diakses 06 Februari 2016).
http://ekbis.sindonews.com/read/700589/90/kelahiran-ojk-sejarah-baru-perekonomian-indonesia-1356414181 (diakses tanggal 10 Februari 2016).
Http://Www.Landasanteori.Com/2015/10/Pengertian-Otoritas-Jasa-Keuangan.Html (diakses 10 Februari 2016).
Http://Www.Hukumonline.Com/Berita/Baca/Lt51f22c40885de/Ojk-Luncurkan-Konsep-Pengawasan-Berbasis-Risiko (diakses 11 Februari 2015).
Https://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Independen (diakses 12 Februari 2016).
Http://Www.Nttonlinenow.Com/Index.Php/Berita-Ntt/Daratan-Timor/3403-Lembaga-Hukum-Harus-Bebas-Dari-Intervensi-Politik (diakses 12 Februari 2016).
(diakses 12 Februari 2016).
BAB III
PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN PADA INDUSTRI
PERASURANSIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN
2014 TENTANG PERASURANSIAN
A. Peran Otoritas Jasa Keuangan Pada Industri Perasuransian
Otoritas Jasa Keuangan didirikan untuk melakukan pengawasan atas
industri jasa keuangan secara terpadu. Secara yuridis, menurut ketentuan Pasal 1
angka 1 UU OJK, dirumuskan bahwa, OJK adalah lembaga yang independen dan
bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam UU OJK.
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU OJK dikatakan bahwa, OJK adalah
lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam UUOJK. Lebih lanjut disebutkan bahwa, OJK dalam menjalankan
tugasnya dan kedudukannya berada diluar pemerintah.Jadi, seharusnya
tidak terpengaruh oleh pemerintah (independen).45
Independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK.Secara
perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat
diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK.
Untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, dalam UU OJK diatur juga
mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik
45Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan
melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas pemerintah, Bank
Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan.
Awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya keresahan
dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia.Ada tiga hal
yang melatarbelakangi pembentukan OJK, yaitu perkembangan industri sektor
jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan,
dan amanat UU BI Pasal 34.Pasal 34 UU BI merupakan respon dari krisis Asia
yang terjadi pada 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia,
khususnya sektor perbankan.46
Undang-Undang OJK pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi
dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan
pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Adapun ketentuan mengenai
jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa Sehubungan dengan hal yang melatarbelakangi pembentukan OJK diatas,
menunjukkan perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari
lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor
jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan
dimakud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di
dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga
dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.Pengaturan dan
pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus
dilakukan secara terintegrasi.
keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan , tingkat kesehatan dan
pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa
keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur
dalam undang- undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang
Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan
perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya.
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan
jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat.Dengan demikian, OJK diharapkan dapat mendukung
kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya
saing nasional. OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain,
meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di
sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.
47
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata
kelola yang baik. Yang mana mengingatkan pemikiran pada prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan yang baik dan benar (Good Corporate Governance) yang
terdiri dari 5 prinsip yang disingkat dengan TARIF, yaitu: 48
1. Transparancy (keterbukaan informasi)
47Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan
Umum.
48Bisdan Sigalingging, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan
Dengan Bank Indonesia (Tesis Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan,
Yaitu Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan untuk
menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu;
2. Accuntability (akuntabilitas)
Yaitu adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem, kejelasan akan hak dan
kewajiban serta wewenang dari elemen-elemen yang ada;
3. Responsibility (pertanggung jawaban)
Yaitu kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya
termasuk masalah pembayaran pajak, hubungan industrial, kesehatan dan
keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan
bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya;
4. Independency (kemandirian)
Yaitu mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa adanya
benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun
maupun yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan
5. Fairness (kesetaraan atau kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak
shareholders dan stakeholders sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
Secara kelembagaan, OJK berada di luar pemerintah, yang dimaknai
bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah. Namun, tidak
menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan pemerintah karena pada
hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi
dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan
dari kedua otoritas tersebut secara ex-officio.Keberadaan ex-officio ini
dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan di
bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan.Ex-officio diperlukan untuk
memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global
dan kesepakatan internasioanal, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi
dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk
mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, OJK
harus menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan
lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang
tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedudukan OJK menjadi lembaga yang independen dan memiliki
kewenangan yang cukup luas dan tegas dalam pengawasan industri perasuransian
diharapkan dapat memperbaiki permasalahan yang saat ini timbul dibidang
pengawasan industri perasuransian. Mengenai fungsi OJK itu sendiri telah
dijabarkan dalam UU OJK dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa: OJK berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Selanjutnya di dalam Pasal 6 undang-undang tersebut juga menyebutkan
mengenai tugas pengaturan dan pengawasannya, yaitu:
1. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;
2. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan
3. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga
Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6, OJK mempunyai wewenang:
1. menetapkan peraturan pelaksanaan UU OJK;
2. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor industri perasuransian;
3. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
4. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor industri perasuransian;
5. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
6. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap
industri perasuransian dan pihak tertentu;
7. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada
industri perasuransian;
8. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
9. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor industri perasuransian.
Selanjutnya, untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
1. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan industri
perasuransian;
2. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala
eksekutif;
3. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen,
kegiatan perasuransian sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor industri perasuransian;
4. memberikan perintah tertulis kepada industri perasuransian dan/atau pihak
tertentu;
5. melakukan penunjukan pengelola statuter;
6. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
7. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di sektor industri perasuransian; dan
8. memberikan dan/atau mencabut;
a. izin usaha;
b. izin orang perseorangan;
c. efektifnya pernyataan pendaftaran;
d. surat tanda terdaftar;
e. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
f. pengesahan;
g. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
h. penetapan lain.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, agar tujuan OJK dapat tercapai, OJK
perlu memiliki berbagai kewenangan, baik dalam rangka pengaturan maupun
pengawasan sektor industri perasuransian.Kewenangan di bidang pengaturan
diperlukan dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan baik yang diatur
dalam UU OJK maupun UU Perasuransian, peraturan OJK maupun peraturan
dewan komisioner. Adapun untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK
pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap
industri perasuransian, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan industri perasuransian
sebagaimana dimaksud dalam UU Perasuransian, termasuk kewenangan perizinan
kepada industri perasuransian.
Secara substansial bisa dikatakan bahwa kewenangan OJK merupakan
amanat konstitusi yang bertujuan agar sektor industri perasuransian berjalan
dengan tertib, teratur, adil, transparan, serta akuntabel.Tujuan ini pada akhirnya
diharapkan dapat mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan.49
B. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Pada Industri Perasuransian
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
Sebelum dilahirkannya UU Perasuransian pengawasan pada industri
perasuransian dilakukan oleh Menteri Keuangan.Seperti yang disebutkan dalam
Pasal 10 UU Usaha Perasuransian. Pada undang-undang lama ditentukan bahwa
pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian meliputi:50
1. Kesehatan keuangan bagi perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi
jiwa, dan perusahaan reasuransi yang terdiri dari:
a. batas tingkat solvabilitas;
b. retensi sendiri;
c. reasuransi;
d. investasi;
e. cadangan teknik; dan
f. ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan.
(diakses 10 Februari 2016).
2. Penyelenggaraan usaha yang terdiri dari;
a. syarat-syarat polis asuransi;
b. tingakat premi;
c. penyelesaian klaim
d. persyaratan keahlian dibidang perasuransian; dan
e. ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan
usaha.
Batas tingkat solvabilitas merupakan tolok ukur kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.Batas tingkat solvabilitas ini
merupakan selisih antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya
didasarkan pada acara perhitungan tertentu sesuai dengan sifat usaha
asuransi.Retensi sendiri dalam hal ini merupakan bagian pertanggungjawaban
yang menjadi beban atau tanggung jawab sendiri sesuai dengan tingkat
kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang
bersangkutan.51
Menurut undang-undang ini Menteri Keuangan hanya menetapkan
kebijakan umum dalam rangka mengembangkan pemanfaatan asuransi dan
reasuransi untuk mendukung perekonomian nasional. Kebijakan umum yang di Setelah disahkan UU Perasuransian tugas pengaturan dan pengawasan
diambil alih oleh OJK.Pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha perasuransian
tidak hanya terfokus pada kesehatan keuangan perusahaan saja melainkan
pengawasan juga dilakukan pada aspek tata kelola dan prilaku usaha perusahaan
asuransi tersebut.
tetapkan oleh Menteri Keuangan meliputi hal kepemilikan asing atas perusahaan
perasuransian, peningkatan kapasitas asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan
reasuransi syariah dalam negeri, serta pemberian fasilitas fiskal kepada
perseorangan, rumah tangga, dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah.52
Jenis pengawasan OJK terhadap industri perasuransian adalah pengawasan
berbasis risiko.Muliaman D Hadad menyatakan bahwa pengawasan berbasis
risiko yang terintegrasi bertujuan untuk memajukan kepentingan bersama, baik
pelaku usaha maupun konsumen, keberadaan konsumen sendiri penting bagi
kelangsungan usaha di indusrti perasuransian.Keberadaan konsumen dapat
meningkatkan kegiatan usaha.jika terjadi confidence konsumen meningkat,
industri perasuransian akan terus berkembang. Sehingga konsumen sebagai
investasi jangka panjang.53
Pentingnya pengawasan berbasis risiko yang terintegrasi adalah agar
kegiatan usaha di sektor industri perasuransian dapat berjalan dengan baik.Hal ini
dikarenakan perusahaan yang bergerak di sektor industri perasuransian merupakan
anak usaha dari induk perusahaan yang biasanya adalah perbankan.Perusahaan
yang bergerak di sektor perasuransian merupakan anak usaha dari induk usaha
yang bergerak di perbankan.Namun tak sedikit pula induk usahanya bukan
perbankan.54
Salah satu bentuk awal penerapan dari konsep ini adalah penilaian
kecukupan modal bagi perusahaan asuransi dengan menggunakan risk based
capital. Saat ini pengawasan industri perasuransian di Indonesia sedang berada
52Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, Penjelsan Pasal 57
Ayat (2).
pada masa transisi dari pengawasan yang berorientasi pada kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan atau compliance based supervision ke penerapan
risk based supervision.
Sistem pengawasan berbasis risiko di sambut baik Asosiasi Asuransi
Umum Indonesia (AAUI). Apalagi jika terdapat perusahaan yang terafiliasi
dengan perusahaan lain akan mempermudah pengawasan terintegrasi tersebut.
Julian Noor selaku Direktur Eksekutif AAUI menyatakan bahwa, perlu adanya
kebutuhan pengawasan berbasis risiko di OJK untuk melihat suatu risiko bersama
atau suatu kelompok usaha financial. Jika pengawasan berbeda-beda satu
perusahaan dengan perusahaan lain dikhawatirkan permasalahan yang dialami
satu perusahaan bisa merembet ke perusahaan lain. Dengan adanya sistem
pengawasan yang sama memudahkan untuk membuat paramater yang sama. 55
Pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap industri perasuransian OJK
berwenang untuk:56
1. menyetujui atau menolak memberikan izin usaha perasuransian;
2. mencabut izin usaha perasuransian;
3. menyetujui atau menolak memberikan pernyataan pendaftaran bagi konsultan
aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa
kepada perusahaan perasuransian;
4. membatalkan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik,
penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada perusahaan
perasuransian;
5. mewajibkan perusahaan perasuransian menyampaikan laporan secara berkala;
55Ibid.
6. melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan perasuransian dan pihak lain
yang sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa
kepada perusahaan perasuransian;
7. menetapkan pengendali dan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;
8. menyetujui atau mencabut persetujuan suatu pihak menjadi pengendali
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah;
9. mewajibkan suatu pihak untuk berhenti menjadi pengendali dan perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah;
10. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, dewan pengawas syariah,
aktuaris perusahaan, auditor internal, dan pengendali;
11. menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama,
dan/atau dewan pengawas syariah, dan menetapkan pengelola statuter;
12. memberi perintah tertulis kepada:
a. pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal tertentu, atas biaya
perusahaan perasuransian dan disampaikan kepada OJK;
b. perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah untuk mengalihkan sebagian atau
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah lain;
c. perusahaan perasuransian untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perasuransian;
d. perusahaan perasuransian untuk memperbaiki atau menyempurnakan
sistem pengendalian intern untuk mengidentifikasi dan menghindari
pemanfaatan perusahaan perasuransian untuk kejahatan keuangan;
e. perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah untuk menghentikan
pemasaran produk asuransi tertentu. yang dimaksud produk asuransi
tertentu yang dapat diberhenyikan pemasarannya adalah produk asuransi
yang dapat merugikan pemegang polis, tertanggung, atau peserta, produk
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan norma yang
berlaku di masyarakat, dan/atau produk yang dapat membahayakan
keuangan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi; dan
f. perusahaan perasuransian untuk menggantikan seseorang dari jabatan atau
posisi tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi tertentu untuk
menempati jabatan atau posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak
kompeten, tidak memenuhi kualifikasi tertentu, tidak berpengalaman, atau
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang perasuransian;
13. mengenakan sanksi kepada perusahaan perasuransian, pemegang saham,
dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan/atau auditor
internal; dan
14. melaksanakan kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pemeriksaan yang dimaksud pada huruf f dilakukan secara berkala
dan/atau sewaktu-waktu. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan
di kantor perusahaan perasuransian dan/atau pemeriksaan di kantor OJK.
Pemeriksaan di kantor perusahaan perasuransian dapat dilakukan terhadap seluruh
aspek penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaaan perasuransian dan/atau
terhadap aspek tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan
perasuransian. Sedangkan pemeriksaan di kantor OJK dilakukan hanya terhadap
aspek tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan perasuransian.
Pemeriksaan di kantor OJK dapat ditindaklanjuti dengan pemeriksaan di
kantor perusahaan perasuransian apabila:
1. data, dokumen, dan/atau keterangan dari perusahaan perasuransian yang
diberikan tidak dapat memberikan dasar yang cukup bagi pegawai OJK
dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK yang melakukan pemeriksaan di
kantor OJK untuk membuat kesimpulan atas hasil pemeriksaan di kantor
OJK; dan/atau
2. adanya tanggapan perusahaan perasuransian yang diperiksa terhadap
kesimpulan hasil pemeriksaan di kantor OJK.57
Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama
OJK melakukan pemeriksaan. Pihak lain yang dimaksudkan adalah badan,
lembaga, institusi, atau orang, baik dari dalam maupun luar OJK. Pihak tersebut
antara lain akuntan publik, konsultan aktuaria, penilai kerugian, pejabat penyidik
pegawai negeri sipil dan/atau pejabat penyidik Kepolisian Republik Indonesia.
Untuk tujuan pemeriksaan, anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau
yang setara dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, dewan pengawas syariah, aktuaris
perusahaan, auditor internal, pegawai lain, pemegang saham, pengendali, pihak
terafiliasi, dan pihak yang menerima pengalihan sebagian fungsi dalam
penyelenggaraan usaha untuk kepentingan perusahaan perasuransian wajib
memberikan keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua
pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan
usahanya dan hal lain yang diperlukan oleh pemeriksa. Termasuk juga kepada
pihak yang pernah menjabat sebagai pejabat yang tersebut diatas.58
Perintah tertulis sebagaimana dimaksud huruf l diberikan dalam hal OJK
berkesimpulan bahwa perusahaan perasuransian:59
1. menjalankan kegiatan usahanya dengan cara tidak hati-hati dan tidak wajar
atau tidak sehat secara finansial;
2. diperkirakan akan mengalami keadaan keuangan yang tidak sehat atau akan
gagal memenuhi kewajibannya;
3. melanggar peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian; dan/atau
4. terlibat kejahatan keuangan.
Perintah tertulis diatas juga dapat diberikan kepada pengendali dan
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah.Ketentuan ini didasarkan bahwa pengendali
mempunyai peran penting, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan suatu perusahaan
perasuransian.Perusahaan perasuransian dan/atau pengendali dari perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah wajib mematuhi perintah tertulis yang diberikan oleh OJK
tersebut.
Perintah tertulis tidak dapat dijadikan alasan oleh pihak yang melakukan
perjanjian dengan perusahaan perasuransian untuk membatalkan atau menolak
perjanjian, menghindari kewajiban yang ditentukan di dalam perjanjian, atau
melakukan hal apa pun yang dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan
perasuransian. Pihak yang dimaksud diatas berhak mendapatkan ganti kerugian
dari perusahaan perasuransian apabila menderita kerugian yang disebabkan oleh
perintah tertulis yang diberikan kepada perusahaan perasuransian.Ketentuan ini
tidak berlaku apabila pihak yang bersangkutan merupakan pihak terafiliasi atau
pihak yang terkait dengan keadaan yang menyebabkan dikeluarkannya perintah
tertulis tersebut oleh OJK.60
1. Pemeriksaan langsung dilakukan oleh pemeriksa berdasarkan surat perintah
pemeriksaan langsung yang diterbitkan oleh OJK.
Pengaturan tata cara pemeriksaan terhadap LKBN diatur dalam peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.05/2014 Tentang Pemeriksaan Langsung
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (untuk selanjutnya disebut POJK
pemeriksaan langsung), terdapat dalam Pasal 8 yang berisi seperti berikut:
2. Pemeriksa wajib menyampaikan surat perintah pemeriksaan langsung kepada
perusahaan asuransi.
3. Sebelum dilakukan pemeriksaan langsung OJK menyampaikan surat
pemberitahuan pemeriksaan langsung kepada perusahaan asuransi.
4. Surat pemberitahuan pemeriksaan langsung memuat informasi sebagai
berikut:
a. nomor dan tanggal surat perintah pemeriksaan langsung;
b. nama pemeriksa;
c. tujuan pemeriksaan langsung;
d. jangka waktu pemeriksaan langsung;
e. dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pemeriksaan langsung; dan
f. batas waktu penyampaian dokumen kepada pemeriksa.
5. OJK dapat menyampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan langsung kepada
perusahaan asuransi pada hari yang sama dengan pelaksanaan pemeriksaan
langsung apabila pemberitahuan sebelum pelaksanaan pemeriksaan langsung
diduga akan mempersulit atau menghambat proses pemeriksaan langsung,
atau akan memungkinkan dilakukannya tindakan untuk mengaburkan
keadaan yang sebenarnya atau menyembunyikan atau menghilangkan data,
keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan
langsung.
Pemeriksa wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan langsung
sementara kepada perusahaan asuransi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah pemeriksaan langsung berakhir. Perusahaan asuransi dapat menyampaikan
(lima belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat penyampaian laporan hasil
pemeriksaan langsung sementara oleh perusahaan asuransi. Pemeriksa dan
perusahaan asuransi dapat mengadakan pertemuan untuk membahas laporan hasil
pemeriksaan langsung sementara. Pertemuan harus diselesaikan paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat penyampaian laporan hasil
pemeriksaan langsung sementara oleh perusahaan asuransi.61
Jika tidak ada pertemuan dalam rangka pembahasan laporan hasil
pemeriksaan langsung sementara, penyampaian laporan pemeriksaan langsung
final harus dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak berakhirnya
batas waktu penyampaian tanggapan perusahaan asuransi atas laporan hasil
pemeriksaan langsung sementara. Namun, dalam hal terdapat pertemuan dalam
rangka pembahasan laporan hasil pemeriksaan langsung sementara, penyampaian
laporan pemeriksaan langsung final harus dilakukan paling lambat 15 (lima belas)
hari kerja sejak tanggal pertemuan tersebut.62
Setelah laporan hasil pemeriksaan langsung final sudah disampaikan
perusahaan asuransi wajib melakukan langkah-langkah tindak lanjut sesuai
rekomendasi yang terdapat dalam laporan hasil pemeriksaan.Laporan hasil
pemeriksaan yang diterbitkan OJK dapat memuat kewajiban bagi perusahaan
asuransi untuk menyampaikan laporan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut
hasil pemeriksaan kepada OJK.Apabila laporan hasil pemeriksaan tidak
menyebutkan secara spesifik mengenai batas waktu kewajiban pelaporan tersebut,
61Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 /POJK.05/2014 Tentang Pemeriksaan
Langsung Lembaga Keuangan Non-Bank, Pasal 9.
perusahaan asuransi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tindak lanjut hasil
pemeriksaan paling sedikit setiap bulan.63
Kewajiban melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut
berakhir apabila OJK menilai bahwa perusahaan asuransi telah melaksanakan
langkah-langkah tindak lanjut. Penilaian OJK disampaikan kepada lembaga jasa
keuangan non-bank melalui surat. OJK melakukan pemantauan terhadap
pelaksanaan tindak lanjut perusahaan asuransi sebagai bagian dari kegiatan
pengawasan terhadap perusahaan asuransi.64
1. peringatan tertulis;
Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan sanksi administratif
kepada perusahaan asuransi apa bila perusahaan tersebut tidak menjalankan
kewajiban pemeriksaan kepada OJK, sanksi tersebut diberikan berdasarkan jenis
dan tingkat pelanggaran yang dilakukan perusahaan asuransi. Sanksi-sanksi
tersebut terdiri dari:
2. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
3. kewajiban bagi direksi atau yang setara pada Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank untuk menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan ulang;
4. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha;
5. pembekuan kegiatan usaha; dan
6. pencabutan izin kegiatan usaha.65
Sanksi pada angka 2, 3, 4, 5 atau angka 6 dapat dikenakan dengan atau
tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis.Sanksi denda dapat
dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaaan
63Ibid.,Pasal 11. 64Ibid.
sanksi.Besaran sanksi denda ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi
administratif berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan.OJK
dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif kepada masyarakat.66
Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah dikenai sanksi peringatan tertulis atau
pembatasan kegiatan usaha, OJK dapat memerintahkan:67
1. penambahan modal;
2. penggantian direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama,
dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, atau auditor internal;
3. direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan
komisaris pada badan hokum berbentuk koperasi atau usaha bersama,
dan/atau dewan pengawas syariah menyerahkan pengendalian dan
pengelolaan kegiatan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah kepada pengelola
statuter;
4. perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah mengalihkan sebagian atau seluruh portofolio
pertanggungan kepada perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah lain; dan/atau
5. perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah melakukan tindakan yang dinilai dapat
66Ibid.,Pasal 14.
mengatasi kesulitan atau tidak melakukan tindakan yang dinilai dapat
memperburuk kondisi perusahaan.
Apabila perusahaan asuransi tidak dapat mengatasi kesulitan yang
dihadapinya, OJK dapat mencabut izin usaha perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah.Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta instansi yang berwenang untuk
memblokir sebagian atau seluruh kekayaan perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang
sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha karena tidak memenuhi
ketentuan tingkat solvabilitas atau dicabut izin usahanya.Pencabutan blokir
terhadap sebagian atau seluruh kekayaan dilakukan setelah memperoleh
persetujuan dari OJK.68
Otoritas Jasa Keuangan dapat meninaktifkan direksi, dewan komisaris,
atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama, dan/atau dewan pengawas syariah,
apabila perusahaan asuransi telah dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha,
perusahaan tidak dapat memenuhi kewajibannya atau akan menghentikan
pelunasan kewajiban yang jatuh tempo, melakukan kegiatan usaha yang tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan UU Perasuransian atau perusahaan asuransi
memfasilitasi dan/atau melakukan kejahatan keuangan. Maka OJK dapat
menunjuk pengelola statuter untuk mengambil alih seluruh kewenangang direksi,
dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, dan/atau dewan pengawas
syariah menjalankan perusahaan asuransi tersebut sampai batas waktu yang
ditentukan oleh OJK.69
C. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengawasan Industri
Perasuransian
Secara etimologi, arti kata independen dapat berarti bebas, merdeka, atau
berdiri sendiri.Pengertian independensi dapat dijelaskan sebagai berikut
independensi adalah dimaan suatu keadaan atau posisi tidak terkait dengan pihak
manapun.Artinya adalah mandiri, tidak mengusung kepentingan pihak-pihak
tertentu atau organisasi tertentu.70
Lembaga independen adalah lembaga yang bersifat mandiri, bebas dari
kekuasaan lainnya dan tidak memiliki hubungan organik ataupun hubungan secara
hirarki dengan lembaga negara/instansi pemerintah lainnya. Suatu lembaga atau
badan dikatakan independen jika memenuhi kriteria diantaranya kewenangan
yang dimiliki bukan merupakan derivasi dari kekuasaan lain atau dapat dikatakan
kewenangan bersifat atributif. Selain itu bukan merupakan bawahan dari suatu
lembaga lain yang lebih tinggi.71
Beberapa undang-undang yang ada di Indonesia juga telah
mengamanatkan sifat independensi kepada lembaga-lembaga pengawas yang ada
di Indonesia seperti:72
69Ibid.,Pasal 62.
72 M. Ihsan An Auwali, Kewenangan Pengawasan Perbankan Pasca Lahirnya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, (Skripsi Fakultas Hukum
1. Independensi Bank Indonesia, sesuai dengan Pasal 4 ayat 2 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2004 kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Bank Indonesia;
2. Independensi Otoritas Jasa Keuangan, sesuai dengan Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
3. Independensi Lembaga Penjamin Simpanan, sesuai dengan Pasal 2 ayat 3
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan;
4. Independensi Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, sesuai dengan Pasal
3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi; dan
5. Independensi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, sesuai
dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan, pengaturan dan pengawasan sektor perasuransian yang semula
berada pada Menteri Keuangan, dialihkan kepada OJK. Pembentukan OJK ini
dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perasuransian dari Menteri
ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar Menteri Keuangan.
Secara kelembagaan, OJK berada diluar Pemerintah, yang dimaknai bahwa
OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah.OJK berkewajiban
menyampaikan laporan kepada BPK dan DPR.OJK dapat mengeluarkan
perasuransian berkoordinasi dengan Menteri dan meminta penjelasan dari Menteri
dan data yang diperlukan.
Otoritas Jasa Keuangan membutuhkan independensi, baik dari pemerintah
maupun dari industri yang diawasinya, sehingga tujuan OJK sebagaimana
ditentukan Pasal 4 UU OJK dapat tercapai. Kejelasan tujuan OJK tersebut adalah
alat mengukur tingkat independensi, yakni;
1. tujuan ditetapkan secara jelas dapat membantu pengurus membuat keputusan
tentang alokasi sumber daya dan dalam menentukan respon kebijakan yang
tepat dalam situasi tertentu.
2. tujuan adanya pengaturan (arrangement) tentang akuntabilitas untuk respon
kebijakan.
Pasal 4 UU OJK menyatakan, bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
1. terselenggaranya secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
2. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil; dan
3. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.
Di samping itu, untuk mengukur tingkat independensi OJK dilihat dari
indepensi, akuntabilitas, integritas, dan sumber daya yang memadai.Lembaga
independen harus mampu memformulasikan kebijakan atas dasar strategi jangka
panjang dan dapat mengambil keputusan yang kredibel.Independensi dapat
diperoleh dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang pemberhentian
pengurus, otonomi anggaran dan kemampuan mengalokasikan sumber daya
1. Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran
OJK.
2. Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa
keuangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan
Komisioner.
Berkaitan dengan anggaran OJK itu, Pasal 37 menentukan sebagai berikut:
1. OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan disektor
jasa keuangan.
2. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar
pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.
4. OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.
5. Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan
OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas
Negara.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jika diamati dari ketentuan Pasal 37 UU OJK tersebut, maka OJK dapat
melepaskan diri dari ketergantungan pada kesediaan anggaran yang berasal dari
akuntabilitas diperlukan OJK untuk melegitimasi tindakannya atas dasar
kewenangan yang diberikan.Integritas direfleksikan dalam mekanisme yang
mensyaratkan karyawan lembaga dalam mencapai tujuan organisasi tanpa menjadi
takut terhadap intervensi.
Independensi merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dalam
mendesain sebuah struktur regulasi yang tepat untuk Indonesia, terutama
independensi dari pengaruh politik kepentingan yang masih menjadi momok di
Indonesia.Namun demikian, apabila tidak dicermati secara hati-hati, sebuah
institusi yang mempunyai absolute independence juga dapat menyebabkan
pengaruh negatif.Sebuah regulator yang terlalu independen dari pemerintah dan
politik dapat menyebabkan regulatory capture dimana regulator terjebak untuk
membuat kebijakan biasa yang hanya menguntungkan golongan tertentu saja.
Tanpa adanya kontrol yang cukup dari pemerintah dan stakeholders lainnya,
sebuah regulator yang terjebak dalam regulatory capture dapat melihat
kepentingan industri sebagai kepentingan publik. Hal ini dapat mengakibatkan
regulasi yang dibuatnya hanya untuk bertujuan mengurangi biaya dari industri
daripada menciptakan keseimbangan dari kepentingan industri dan kepentingan
publik.73
Struktur regulasi OJK di Indonesia harus dapat menyeimbangkan antara
kepentingan pemerintah dan kepentingan industri agar nantinya arah kebijakan
perekonomian di bidang keuangan dapat berjalan dengan selaras.OJK sebagai
regulator dan pengawas jasa keuangan harus dapat berfungsi sebagai katalisator
pembangunan ekonomi dan wasit untuk bermain adil.74
Secara umum, struktur regulasi yang independen dapat diukur dari
beberapa faktor sebagai berikut:
Untuk mengukur struktur independensi yang diadopsi oleh UU OJK, maka
ada beberapa panduan yang dapat digunakan.Panduan ini tidaklah dimaksudkan
sebagai acuan untuk sistem yang sempurna karena seperti yang telah disampaikan
di atas, struktur independensi yang tepat haruslah disesuaikan dengan kondisi dan
struktur perekonomian dari Negara tersebut.
75
1. Independensi dari segi regulasi
Independensi dari segi regulasi (Regulatory Independence).Regulasi di
bidang keuangan haruslah didesain untuk memberi keleluasaan untuk OJK dalam
membentuk kebijakan yang tepat.Undang-undang yang ada haruslah memberi
ruang dan fleksibilitas kepada OJK untuk dapat mendesain dan merubah
kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi. Undang-undang
yang terlalu detail menjadi indirect intervention dimana secara tidak langsung
OJK diarahkan dan dikekang untuk mengeluarkan sebuah kebijakan yang belum
tentu sesuai dengan kondisi yang ada. Dalam konteks ini, secara umum UU OJK
telah mengadopsi regulatory independence. Dalam UU OJK, OJK diberi
kewenangan yang cukup luas untuk menformulasikan regulasi. 76
2. Independensi dari segi pengawasan
Independensi dari segi pengawasan (Supervisory Independence). Tanpa
pengawasan yang konsisten dan menyeluruh, regulasi tidak akan menjadi efektif
dalam membentuk rezim sistem keuangan yang efisien dan stabil. Ada beberapa
aspek dalam membentuk pengawasan yang independen sebagai berikut:
a. Perlindungan hukum kepada jajaran OJK dalam melakukan tugasnya.
Jajaran OJK harus mendapat perlindungan hukum ketika mengeluarkan
kebijakannya. Hal ini untuk menghindari adanya keragu-raguan dalam
mengambil keputusan karena adanya ancaman tuntutan hukum. Selain itu
tuntutan hukum juga dapat menyebabkan lambatnya pengambilan
keputusan dimana hal ini dapat mengakibatkan hasil yang negatif
mengingat sifat perekonomian yang sangat kontekstual. Perlindungan
regulator penting, agar OJK bekerja dengan rajin, kompeten, mandiri dan
profesional.
b. Adanya sistem dan standar yang jelas dalam peraturan OJK mengenai
pengawasaan dan pengenaan sanksi. Sistem dan standar yang jelas dapat
mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjadi alat check and
balances karena keputusan yang diambil bukanlah berdasarkan kebijakan
indvidu tetapi harus mengacu pada peraturan yang ada. Hal ini dapat
meminimalisasi adanya kebijakan yang bersifat subjektif dan menjaga
konsistensi dalam pengawasan regulasi.
c. Sistem remunerasi yang jelas dan terjamin. Harus ada standar gaji yang
cukup dan sistem jenjang karir. Hal ini ditujukan untuk meminimalisir
potensi korupsi dan juga memastikan bahwa OJK diisi oleh orang-orang
yang professional dan kompeten dalam bidangnya.
d. Adanya sistem sanksi dan banding yang jelas. Struktur yang ada harus
yang dapat dilakukan serta jangka waktu dalam prosesnya. Hal ini
dilakukan tidak hanya untuk menjaga kepastian hukum, tetapi juga untuk
memastikan bahwa otoritas jasa keuangan dapat mengambil tindakan dan
kebijakan yang tepat. Upaya hukum yang berlebihan misalnya dapat
menyebabkan77
3. Independensi dari segi institusi
Independensi dari segi institusi (Institutional Independence) mengacu pada
status dari OJK yang terpisah dari lembaga eksekutif dan legislatif.Mengingat
fungsinya yang sangat krusial untuk menyeimbangkan keadaan perekonomian dan
kegagalan fungsi OJK yang tidak independen, menjadi sangat penting untuk
menjaga independensi sebuah otoritas jasa keuangan dari pengaruh politik dan
pemerintah.
Untuk mencapai hal ini ada beberapa faktor penting yang harus diadopsi
oleh sebuah struktur regulasi yang independen sebagai berikut:
a. Peraturan yang jelas mengenai pengangkatan dan pemberhentian.
Kepastian mengenai proses pengangkatan dan pemberhentian diperlukan
untuk memberikan jaminan kepada anggota OJK untuk dapat mengambil
keputusan tanpa adanya kekhawatiran atas ancaman pemberhentian.
b. Struktur pengaturan yang jelas. Pengambil kebijakan di OJK sebaiknya
bersifat kolektif dan diisi oleh para ahli di bidangnya. Hal ini untuk
mencegah adanya satu individu yang terlalu dominan yang pada gilirannya
dapat mempengaruhi kebijakan yang di ambil.
c. Proses pengambilan kebijakan yang transparan. Walaupun ada beberapa
keputusan yang menurut sifatnya bersifat rahasia dan sensitif, proses
pengambilan kebijakan yang transparan harus tetap dilakukan. Hal ini
penting untuk memastikan adanya kontrol dari publik terhadap kebijakan
yang diambil oleh OJK.78
4. Independensi dari segi pembiayaan
Independensi dari segi pembiayaan (Budgetary Independence) mengacu
pada keterlibatan dari eksekutif dan legislatif dalam memutuskan besarnya
anggaran OJK termasuk personel dan besarnya gaji. Otoritas yang mempunyai
kebebasan dalam merancang anggaran dan sumber dayanya akan lebih siap untuk
menghadapi tekanan politik. Sehinga, proses pengambilan keputusan akan dapat
berjalan lebih cepat dan sesuai dengan perkembangan pasar. Dalam hal ini, maka
sebaiknya pendanaan dari OJK diperoleh dari luar anggaran pemerintah.
Undang-Undang OJK telah mengambil langkah yang tepat. Dalam UU
OJK, pendanaan OJK berasal dari kombinasi APBN dan premi dari Industri.
Mengingat masih rentannya perekonomian Indonesia, kombinasi ini merupakan
solusi yang baik dimana OJK tetap dapat berfungsi penuh di saat krisis dengan
dukungan dari pemerintah.79
78Ibid. 79Ibid.
Pasal 2 ayat (2) UU OJK menjelaskan bahwa OJK adalah lembaga
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal uang secara tegas diatur dalam UU
OJK.Terdapat pengecualian terhadap keindependesian OJK dalam melakukan
Otoritas jasa keuangan memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan
otoritas lain, dalam hal ini otoritas moneter dan otoritas fiscal. Oleh karena itu,
OJK melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara ex
officio.Keberadaan ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja
sama, dan harmonisasi kebijakan dibidang fiscal, moneter, dan sektor jasa
keuangan. Keberadaan ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya
kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan
internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka
menjaga dan memelihara stabilitas system keuangan.
Pasal 59 ayat (1) UU Perasuransian menyebutkan bahwa OJK dapat
menugaskan pihak tertentu untuk dan atas nama OJK melaksanakan sebagian dari
fungsi pengaturan dan pengawasan. Pihak lain menurut Pasal ini adalah badan,
lembaga, institusi, atau orang, baik dari dalam maupun luar OJK. Oihak tersebut
antara lain akuntan public, konsultan akuntaria, penilai kerugian, pejabat penyidik
pegawai negeri sipil dan/atau pejabat penyidik kepolisian RI.
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa terdapat pengecualian independensi
OJK pada pengawasan industri perasuransian. Adanya campur tangan pihak lain
yang menjalankan sebagian fungsi pengaturan dan pengawasan OJK. Tidak hanya
itu, OJK juga berwenang unutuk menunjuk pengelola statuter untuk menjalankan
seluruh tugas dan wewenang direksi, dewan komisioner dan/atau dewan pengawas
syariah dalam perusahaan asuransi yang di nonaktifak oleh OJK.
Pengelola staturer mempunyai tanggung jawab untuk memberikan laporan
bulanan kepada OJK, laporan tersebut salah satunya adalah peneglola statuter
rekomendasi kepada OJK untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu oleh
OJK kepada perusahaan asuransi. Disini terlihat juga pengecualian sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3) UU OJK, adanya campur tangan pihak lain
dalam hal pengambilan keputusan oleh OJK berdasarkan rekomendasi yang
diberikan oleh pengelola statuter yang sedang atau sudah menjalankan perusahaan
asuransi yang direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah
BAB IV
PENGELOLA STATUTER PADA PERUSAHAAN ASURANSI YANG
BERADA PADA PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN
A. Penetapan dan Penunjukan Pengelola Statuter
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan
jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dalam
rangka melindungi kepentingan konsumen, OJK dapat mengambil
tindakan-tindakan yang dianggap perlu, antara lain melakukan penunjukan dan menetapkan
penggunaan pengelola statuter. Penunjukan pengelola statuter dilakukan apabila
pengelolaan suatu industri perasuransian dinilai merugikan kepentingan
konsumen sehingga diperlukan pengelola yang dapat mewakili kepentingan OJK
dan konsumen.
Prinsipnya pengelola statuter melaksanakan kewenangan OJK antara lain
dalam bentuk upaya penyelamatan kelangsungan usaha lembaga jasa keuangan,
pengambilalihan seluruh wewenang dan fungsi manajemen lembaga jasa
keuangan, pembatalan atau pengakhiran perjanjian, serta pengalihan portofolio
kekayaan atau usaha dari perasuransian.
Pasal 8 huruf g dan pasal 9 huruf e dan f UU OJK mengatakan bahwa,
OJK dapat menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter
pada lembaga jasa keuangan serta melakukan penunjukan pengelola statuter dan
Pengelola statuter adalah orang perorangan atau badan hukum yang
ditetapkan OJK untuk melaksanakan kewenangan OJK sebgaimana dimaksud
dalam UU OJK.OJK dapat melakukan penunjukan dan menempatkan penggunaan
pengelola statuter untuk mengambil alih seluruh wewenang dan fungsi direksi,
dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah perasuransian.Penunjukan
dan penetapan pengelola statuter dilakukan berdasarkan UU Perasuransian.
Penunjukan dan penetapan penggunaan pengelola statuter berdasarkan
ketentuan dalam UU Perasuransian penunjukan dan penetapan penggunaan
pengelola statuter apabila:
1. Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah tersebut telah dikenai sanksi pembatasan
kegiatan usaha;
2. Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah tersebut memberikan informasi kepada OJK
bahwa menurut pertimbangannya perusahaan diperkirakan tidak mampu
memenuhi kewajibannya atau akan menghentikan pelunasan kewajiban yang
jatuh tempo;
3. Menurut pertimbangan OJK, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tersebut
diperkirakan tidak mampu memenuhi kewajiban atau akan menghentikan
pelunasan kewajiban yang jatuh tempo;
4. Menurut pertimbangan OJK, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tersebut
perundang-undangan di bidang perasuransian atau secara finansial dinilai
tidak sehat; atau
5. Menurut pertimbangan OJK, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tersebut
dimanfaatkan untuk memfasilitasi dan/atau melakukan kejahatan keuangan.80
Penunjukan dan penetapan penggunaan pengelola statuter diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuanagan Nomor 41/POJK.05/2015 Tentang Tata Cara
Penetapan Pengelola Statuter Pada Lembaga Jasa Keuangan (untuk selanjutnya
disebut POJK Pengelola Statuter) pada Pasal 2 ayat (3) berbunyi, penunjukan dan
penetapan penggunaan pengelola statuter selain dilakukan berdasarkan ketentuan
UU Perasuransian, dapat pula dilakukan apabila berdasarkan penilaian OJK,
perusahaan perasuransian memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. kondisi keuangan lembaga jasa keuangan dapat membahayakan kepentingan
konsumen, sektor jasa keuangan, dan/atau pemegang saham;
2. penyelenggaraan kegiatan usaha lembaga jasa keuangan tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
3. lebaga jasa keuangantelah dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha;
4. lembaga jasa keuangan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memfasilitasi
dan/atau melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
5. pemegang saham, direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas
syariah lembaga jasa keuangan diduga melakukan tindak pidana di sektor jasa
keuangan yang dapat mengganggu oprasional pada lembaga jasa keuangan
yang bersangkutan;
6. direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah lembaga jasa
keuangan dinilai tidak mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di
lembaga jasa keuangan; dan/atau
7. lembaga jasa keuangan tidak memenuhi perintah tertulis untuk mengganti
direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah.
Menurut POJK Pengelola Statuter Pasal 3 ayat (1), pada saat penunjukan
dan penetapan penggunaan pengelola statuter dilakukan oleh OJK maka:
1. Pengelola statuter mengambil alih seluruh wewenang dan fungsi direksi,
dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah perasuransian.
Pengambilalihan seluruh wewenang dan fungsi direksi, dewan komisaris,
dan/atau dewan pengawas syariah perasuransian berlaku sejak tanggal mulai
berlakunya masa tugas pengelola statuter yang ditetapkan oleh OJK.; dan
2. Direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah perasuransian
dinyatakan nonaktif. Yang dimaksud dengan “nonaktif” adalah direksi,
dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah masih menjabat namun
tidak dapat melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya sebagai direksi,
dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah. Pernyataan nonaktif ini
ditetapkan dengan keputusan dewan komisioner yang disampaikan kepada
direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah.
Sedangkan ayat (2) menjelaskan bahwa, sejak pengambilalihan wewenang
dan fungsi direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah, direksi,
dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah:
1. Dilarang menjalankan wewenang dan fungsi selaku direksi, dewan komisaris,
2. Wajib membantu pengelola statuter dalam menjalankan wewenang, fungsi,
dan tugasnya.
Direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif
dilarang mengundurkan diri selama wewenang dan fungsinya diambil alih oleh
pengelola statuter.Karena direksi dan komisaris non aktif dianggap pihak yang
paling mengetahui keadaan keuangan dan oprasional perusahaan asuransi yang
sedang diambil alih kepengurusannya oleh pengelola statuter.
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengaktifkan kembali sebagian atau seluruh
direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif setelah
penggunaan pengelola statuter berakhir.Dalam hal OJK mengaktifkan kembali
sebagian direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah setelah
penggunaan pengelola statuter berakhir, OJK memberikan perintah tertulis kepada
perusahaan asuransi untuk menyelenggarakan rapat umum pemegang saham
untuk menunjuk direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah.
Apabila OJK tidak mengaktifkan kembali seluruh direksi, dewan komisaris,
dan/atau dewan pengawas syariah, OJK memberikan perintah tertulis kepada
pengelola statuter untuk menyelenggarakan rapat umum pemegang saham untuk
menunjuk direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah yang baru
sebelum penggunaan pengelola statuter berakhir.
Otoritas Jasa Keuangan menunjuk orang perseorangan atau badan hukum
sebagai Pengelola Statuter.81
81Peraturan Otoritas Jasa Keuanga Nomor 41/POJK.05/2015 Tentang Tata Cara
Penetapan Pengelola Statuter Pada Lembaga Jasa Keuangan, Pasal 5 ayat (1).
Orang perseorangan yang dapat menjadi Pengelola
1. Memenuhi persyaratan yang setara dengan direksi, dewan komisaris,
dan/atau dewan pengawas syariah perasuransian sesuai dengan wewenang
dan fungsi yang diambil alih, berdasarkan penilaian OJK. Penilaian OJK
dilakukan tanpa melalui proses uji kemampuan dan kepatutan.; dan
2. Tidak memiliki benturan kepentingan dengan perusahaan asuransi yang
akan dikelola, pemegang saham, direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan
pengawas syariah dari perusahaan asuransi yang akan dikelola.82
Direksi, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, dan/atau pegawai perusahaan
asuransi yang tidak menyebabkan perusahaan tersebut bermasalah dapat ditunjuk
sebagai pengelola statuter.
Badan hukum yang dapat menjadi pengelola statuter adalah usaha
perasuransian sejenis dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan pemegang
saham, direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah dari
perusahaan asuransi yang akan dikelola. Contohnya sesama asuransi umum,
sesama perusahaan asuransi syariah, sesama perusahaan asuransi jiwa.Dalam hal
pengelola statuter berbentuk badan hukum, anggota direksi, anggota dewan
komisaris, anggota dewan pengawas syariah, dan/atau pegawai badan hukum
yang ditugaskan untuk menjalankan wewenang, fungsi, dan tugas pengelola
statuter harus memenuhi persyaratan diatas.83
B. Tugas dan Kewenangan Statuter dalam Pengawasan Industri
Perasuransian.
82Ibid., Pasal 5 ayat (2).
Pengelola Statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi direksi, dewan
Komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6
ayat (2) POJK Pengelola Statuter, pengelola statuter yang telah ditetapkan oleh
OJK mempunyai tugas:
1. menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana Lembaga Jasa Keuangan
dan/atau Konsumen;
2. mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari Lembaga Jasa Keuangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. menyusun rencana kerja yang paling sedikit memuat langkah-langkah
penyelamatan yang akan dilakukan apabila Lembaga Jasa Keuangan tersebut
masih dapat diselamatkan;
4. mengajukan usulan agar OJK mencabut izin usaha Lembaga Jasa Keuangan
apabila Lembaga Jasa Keuangan tersebut dinilai tidak dapat diselamatkan;
5. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
6. mematuhi setiap perintah tertulis dari OJK mengenai pengendalian dan
pengelolaan kegiatan usaha dari Lembaga Jasa Keuangan. Yang dimaksud
perintah tertulis adalah perintah secara tertulis untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan disektor jasa keuangan dan/atau mencegah dan
mengurangi kerugian pemegang polis, tertanggung atau peserta;
7. mencegah dan mengurangi kerugian Konsumen, masyarakat, dan sektor jasa
keuangan;
8. memberantas kejahatan keuangan yang dilakukan pihak tertentu di sektor jasa
9. melaporkan kegiatannya kepada OJK.
Sedangkan tugas pengelola statuter menurut UU Perasuransian terdapat
dalam Pasal 62 ayat (2) yang berisi sebagai berikut:
1. menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana peserta perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah. Yang dimaksud dengan kekayaan disini adalah surat
berharga, tanah, gedung, dan kendaraan;
2. mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah sesuai dengan UU Perasauransian;
3. menyusun langkah-langkah apabila perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tersebut
masih dapat diselamatkan;
4. mengajukan usulan agar OJK mencabut izin usaha perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah apabila perusahaan tersebut dinilai tidak dapat
diselamatkan; dan
5. melaporkan kegiatannya kepada OJK.
Pengelola statuter dalam melaksanakan tugasnya wajib mematuhi UU
Perasuransian.Pengelola statuter wajib mematuhi setiap perintah tertulis dari OJK
mengenai pengendalian dan pengelolaan kegiatan usaha dari perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
Pengelola statuter mengambil alih pengendalian dan pengelolaan
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah sejak tanggal penetapan sebagai pengelola statuter.
Pengelola statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, dan/atau dewan pengawas syariah
dan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah.
Selain kewenangan diatas menurut UU Perasuransian Pasal 65 ayat (1),
Pengelola Statuter juga memiliki kewenangan:
1. membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah dengan pihak ketiga, yang menurut pengelola statuter dapat
merugikan kepentingan perusahaan dan pemegang polis, tertanggung, atau
peserta; dan
2. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah, yang menurut pengelola statuter dapat
mencegah kerugian lebih besar bagi pemegang polis, tertanggung, atau
peserta.
Dalam melaksanakan wewenang, fungsi, dan tugas pengelola statuter
dapat menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
2. membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh perusahaan
asuransi dengan pihak ketiga yang merugikan dan/atau menurut pengelola
statuter dapat merugikan kepentingan perusahaan asuransi dan/atau
konsumen;
3. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh portofolio kekayaan atau usaha
dan/atau kumpulan dana dari perusahaan asuransi yang menurut pengelola
statuter dapat mencegah kerugian yang lebih besar bagi perusahaan asuransi;
dan/atau
4. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh portofolio kekayaan dan/atau
kumpulan dana dari konsumen yang menurut pengelola statuter dapat
mencegah kerugian yang lebih besar bagi Konsumen.84
Pengelola statuter dapat meminta pihak yang sedang atau pernah menjabat
sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, anggota dewan pengawas
syariah, pegawai dari perusahaan asuransi, dan/atau pihak lain yang memiliki
informasi dan/atau dokumen tertentu yang berkaitan dengan kegiatan usaha
perasuransian untuk memberikan informasi dan/atau dokumen kepada pengelola
statuter. Para pihak yang disebutkan diatas, wajib memberikan informasi dan/atau
dokumen tertentu yang berkaitan dengan kegiatan usaha perasuransian kepada
pengelola statuter.
C. Tanggung Jawab Statuter dalam Pengawasan Industri Perasuransian.
Tanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah keadaan
wajib menanggung segala sesuatu. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus