SKRIPSI
oleh :
RAHMA YANTI LUBIS 050814016
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PROFIL KROMATOGRAM EKSTRAK n-HEKSANA DAN KLOROFORM DARI BEBERAPA JENIS SPONGE
FILUM PORIFERA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
oleh :
RAHMA YANTI LUBIS 050814016
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan
Karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan
skripsi ini. Terima kasih yang setulusnya dan tak terhinngga penulis ucapkan
kepada keluarga besar, ayahanda Abdul Rahman Lubis dan Ibunda Hernawati
Nasution serta saudara-saudaraku yang telah memberi motivasi, doa dan
pengorbanan kepada penulis selama masa pendidikan hingga selesainya skripsi
ini.
Dengan segala ketulusan hati penulis juga menyampaikan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt dan kepada
Ibu Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt beserta keluarga atas waktu, bimbingan,
kesabaran dan tanggung jawab kepada penulis selama melakukan penelitian
hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt selaku Dekan Fakultas
Farmasi USU.
2. Bapak Dr. Edy Suwarso, SU., Apt selaku Dosen wali yang telah banyak
membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.
3. Bapak dan Ibu staf laboratorium Farmakognosi yang telah memberikan
kepercayaannya kepada penulis atas penggunaan fasilitas laboratorium
selama penulis melakukan penelitian hingga selesai.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga
skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan pada
umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya.
Madan, Oktober 2007
Penulis,
ABSTRAK
Telah dilakukan uji pendahuluan golongan senyawa kimia, ekstraksi,
analisis kandungan golongan senyawa kimia ekstrak n-heksan dan ekstrak
kloroform dengan penetapan profil kromatogram dari beberapa jenis sponge filum
Porifera. Hasil uji pendahuluan senyawa kimia menunjukkan adanya senyawa
steroida/triterpenoida dan alkaloida. Ekstrak n-heksana diperoleh dengan cara
perkolasi dan ekstrak kloroform diperoleh dengan menggunakan pelarut
kloroform dalam suasana alkalis. Hasil analisis ekstrak n-heksana secara
kromatografi lapis tipis, untuk Dysidea granulosa, diperoleh 3 bercak senyawa
triterpenoida dan 1 bercak senyawa steroida, untuk Dysidea sp, diperoleh 2 bercak
senyawa triterpenoida dan 1 bercak senyawa steroida, untuk Haliclona sp,
diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida dan 1 bercak senyawa steroida, untuk
Clathria sp, diperoleh 3 bercak senyawa triterpenoida dan 1 bercak senyawa
steroida, untuk Xestospongia sp, diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida an 1
bercak senyawa steroida, untuk Callyspongia sp, diperoleh 2 bercak senyawa
triterpenoida dan 2 bercak senyawa steroida. Hasil analisis ekstrak kloroform
secara kromatografi lapis tipis, untuk Dysidea granulosa diperoleh 2 bercak
senyawa alkaloida, dan untuk Haliclona sp juga diperoleh 2 bercak senyawa
extracted n-hexane and chloroform group by estabilishing a chromatogram profil
of several type sponges filum Porifera. The result of sreening of the chemical
compound group showed that there steroid/triterpenoid and alcaloids compounds.
The extracted n-hexane was found by percolation and extracted chloroform by
using chloroform solvent in a alcalic circumstances. The result of extracted
n-hexane analysis in thin layer chromatography for Dysidea granulosa found 3 spot
of triterpenoid compound and 1 spot of steroid compound, for Dysidea sp found 2
spot of triterpenoid compound and 1 spot of steroid compound, for Haliclona sp
found 2 spot of triterpenoid compound and 1 spot of steroid compound, for
Clathria sp found 3 spot of triterpenoid compound and 1 spot of steroid
compound, for Xestospongia sp found 2 spot of triterpenoid compound and 1 spot
of steroid compound, for Callyspongia sp found 2 spot of triterpenoid compound
and 2 spot of steroid compound. The result of extracted chloroform analysis an
thin layer chromatography for Dysidea granulosa found 2 spot of alcaloid
compound and 2 spot of alcaloid compound for Haliclona sp.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang ... 1
2. Perumusan masalah ... 2
3. Hipotesis ... 3
4. Tujuan penelitian ... 3
5. Manfaat penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Sponge Filum Porifera ... 4
2.1.1. Habitat ... 4
2.1.2. Morfologi dan Anatomi ... 4
2.1.3. Fisiologi ... 7
2.2.2. Senyawa Steroida ... 13
2.2.2. Senyawa Alkaloida ... 14
2.3 Ekstraksi ... 15
2.4 Kromatografi ... 17
2.4.1. Kromatografi Lapis Tipis ... 17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat-alat ... 19
3.2. Bahan-bahan ... 19
3.3 Pembuatan larutan pereaksi... 19
3.3.1. Larutan Pereaksi Bouchardat ... 20
3.3.2. Larutan Pereaksi Mayer ... 20
3.3.3. Larutan Pereaksi Dragendorff ... 20
3.3.4. Larutan Pereaksi Liebermann Burchard ... 21
3.3.5. Larutan Pereaksi Asam encer ... 21
3.3.6. Larutan Pereaksi Asam sulfat 50% ... 21
3.3.7. Larutan Pereaksi Amonia encer ... 21
3.3.7. Larutan Pereaksi Carr-Price ... 21
3.4. Penyiapan dan Pengolahan Sampel ... 21
3.4.1. Penyiapan Sampel ... 21
3.4.3. Identifikasi Sampel ... 22
3.5.Uji Pendahuluan Senyawa Kimia ... 22
3.5.1. Pemeriksaan Steroida/Triterpenoida ... 22
3.5.2. Pemeriksaan Alkaloida ... 23
3.6. Pembuatan Ekstrak ... 23
3.6.1. Pembuatan Ekstrak n Heksana ... 23
3.5.5. Pembuatan Ekstrak Kloroform ... 24
3.7. Analisis Ekstrak ... 24
3.7.1. Analisis Ekstrak n-Heksana secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 24
3.7.2. Analisis Ekstrak Kloroform secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 32
5.2. Saran ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 34
1. Hasil Identifikasi Sponge ... 36
2. Makroskopik Sponge ... 39
3. Uji Pendahuluan Senyawa Golongan Kimia Serbuk Simplisia dari 6
Jenis Sponge Filum Porifera ... 45
4. Bagan Ekstraksi Serbuk Simplisia Secara Perkolasi ... 46
5. Bagan Ekstraksi Alkaloida Dengan Pelarut Kloroform Dalam
Suasana Alkalis ... 47
6. Kromatogram Ekstrak n-Heksana ... 48
7. Kromatogram Ekstrak Kloroform ... 64
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Filum Porifera Kelas Calcarea ... 4
2. Struktur Sponge Yang Sederhana ... 5
3. Tipe Morfologi Sponge ... 6
4. Struktur Kimia Skualena ... 11
5. Struktur Kimia Ambrein ... 12
6. Struktur Kimia Lanosterol ... 12
7. Struktur Kimia β-amirin ... 13
8. Kerangka dasar steroida dan sistem penomorannya ... 14
9. Penulisan lambang keempat (A, B, C, D) inti steroida ... 14
10. Makroskopik sponge Disidea granulosa ... 39
11. Makroskopik sponge Disidea sp ... 40
12. Makroskopik sponge Haliclona sp ... 41
13. Makroskopik sponge Clathria sp ... 42
14. Makroskopik sponge Xestospongia sp ... 43
15. Makroskopik sponge Callyspongia sp ... 44
16. Bagan Ekstraksi Serbuk Simplisia Secara Perkolasi ... 46
17. Bagan Ekstraksi Alkaloida Dengan Pelarut Kloroform Dalam Suasana Alkalis ... 47
18. Kromatogram Ekstrak n-Heksana dari Dysidea granulosa ... 48
32. Kromatogram Ekstrak n-Heksana dari Callyspongia sp ... 62
34. Kromatogram Ekstrak Kloroform dari Dysidea granulosa ... 64
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Hasil Uji Pendahuluan Senyawa Golongan Kimia Serbuk Simplisia dari
analisis kandungan golongan senyawa kimia ekstrak n-heksan dan ekstrak
kloroform dengan penetapan profil kromatogram dari beberapa jenis sponge filum
Porifera. Hasil uji pendahuluan senyawa kimia menunjukkan adanya senyawa
steroida/triterpenoida dan alkaloida. Ekstrak n-heksana diperoleh dengan cara
perkolasi dan ekstrak kloroform diperoleh dengan menggunakan pelarut
kloroform dalam suasana alkalis. Hasil analisis ekstrak n-heksana secara
kromatografi lapis tipis, untuk Dysidea granulosa, diperoleh 3 bercak senyawa
triterpenoida dan 1 bercak senyawa steroida, untuk Dysidea sp, diperoleh 2 bercak
senyawa triterpenoida dan 1 bercak senyawa steroida, untuk Haliclona sp,
diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida dan 1 bercak senyawa steroida, untuk
Clathria sp, diperoleh 3 bercak senyawa triterpenoida dan 1 bercak senyawa
steroida, untuk Xestospongia sp, diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida an 1
bercak senyawa steroida, untuk Callyspongia sp, diperoleh 2 bercak senyawa
triterpenoida dan 2 bercak senyawa steroida. Hasil analisis ekstrak kloroform
secara kromatografi lapis tipis, untuk Dysidea granulosa diperoleh 2 bercak
senyawa alkaloida, dan untuk Haliclona sp juga diperoleh 2 bercak senyawa
ABSTRACT
The screening for chemical compound group, extraction, analysis of
extracted n-hexane and chloroform group by estabilishing a chromatogram profil
of several type sponges filum Porifera. The result of sreening of the chemical
compound group showed that there steroid/triterpenoid and alcaloids compounds.
The extracted n-hexane was found by percolation and extracted chloroform by
using chloroform solvent in a alcalic circumstances. The result of extracted
n-hexane analysis in thin layer chromatography for Dysidea granulosa found 3 spot
of triterpenoid compound and 1 spot of steroid compound, for Dysidea sp found 2
spot of triterpenoid compound and 1 spot of steroid compound, for Haliclona sp
found 2 spot of triterpenoid compound and 1 spot of steroid compound, for
Clathria sp found 3 spot of triterpenoid compound and 1 spot of steroid
compound, for Xestospongia sp found 2 spot of triterpenoid compound and 1 spot
of steroid compound, for Callyspongia sp found 2 spot of triterpenoid compound
and 2 spot of steroid compound. The result of extracted chloroform analysis an
thin layer chromatography for Dysidea granulosa found 2 spot of alcaloid
compound and 2 spot of alcaloid compound for Haliclona sp.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hamparan laut yang luas merupakan suatu potensi bagi bangsa Indonesia
untuk mengembangkan sumber daya laut yang memiliki keanekaragaman sumber
daya hayati (Nontji, 1993). Sumber keragaman hayati yang melimpah di laut, kini
mulai diburu untuk diteliti kandungannya untuk kemudian dimanfaatkan bagi
berbagai keperluan, terutama pangan dan obat-obatan. Sponge adalah hewan
bersel banyak (metazoa) paling sederhana, kumpulan sel-selnya belum
terorganisir dengan baik dan belum mempunyai organ maupun jaringan sejati.
Walaupun Porifera tergolong hewan, namun kemampuan geraknya sangat kecil
dan hidupnya bersifat menetap. Pada awalnya Porifera dianggap sebagai
tumbuhan, baru pada tahun 1765 dinyatakan sebagai hewan setelah ditemukan
adanya aliran air yang terjadi di dalam Porifera (Suwignyo, 2002). Untuk
karakterisasi dan identifikasi dari sponge filum Porifera telah dilakukan peneliti
sebelumnya. Telah banyak senyawa metabolit sekunder yang berhasil diisolasi
dari sponge yaitu alkaloida, diterpenoida, sesquiterpenoida, asam-asam amino dan
karotenoida (Attaway dan Zaborsky, 1993 dan Shceuer, 1995). Karena adanya
senyawa bioaktif tersebut maka sponge mempunyai aktivitas sebagai antelmentik,
anti virus, anti tumor, anti kanker, anti malaria, anti abkteri dan anti jamur
(Colwell, 1984).
Sponge saat ini juga tengah gencar diteliti di berbagai negara untuk
2
untuk obat anti kanker, Cymbacela untuk obat anti asma, Xestospongia sp untuk
antelmentik dan Callyspongia sp mengandung alkaloida yang berkhasiat sebagai
antioksidan (Attaway dan Zaborsky, 1993 dan Hanani, 2005). Senyawa boiaktif
sponge yang juga digunakan untuk industri farmasi adalah bastadin, okadaic acid
dan monoalide. Senyawa bioaktif monoalide yang diperoleh dari sponge
Luffariella variabilis merupakan senyawa yang memiliki nilai jual tinggi
dibandingkan dengan senyawa bioaktif dari spesies sponge lainnya, yaitu 20,360
dollar Amerika Serikat per miligram (Anonim , 2005).
Upaya pencarian obat terus menerus meningkat seiring dengan semakin
tingginya gerakan kembali ke alam (back to nature). Studi bahan alam kelautan
semakin menarik dengan semakin banyaknya penemuan senyawa-senyawa baru
yang unik dari biota laut, dari 10.000 spesies Porifera yang sudah teridentifikasi,
sebagian besar hidup di laut dan hanya 159 spesies hidup di air tawar, semuanya
termasuk suku spongillidae. Umumnya terdapat di perairan jernih, dangkal, dan
menempel di substrat. Beberapa menetap di dasar perairan berpasir atau
berlumpur (Astuti, 2003 dan Suwignyo, 2005).
Pemanfaaan tsponge filum Porifera sangat terbatas dalam bidang
pengobatan, belum banyak diteliti kandungan senyawa golongan
steroida/triterpenoida dan alkaloida yang terdapat dalam sponge serta jumlahnya
belum diketahui. Umumnya kandungan utama sponge adalah senyawa steroida
dan alkaloida. Peneliti tertarik untuk membuat profil kromatogram ekstrak
kromatografi lapis tipis (KLT) yang merupakan ciri khas dari masing-masing
spesies.
1.2. Perumusan Masalah
1. Sponge filum Porifera merupakan biota laut yang belum banyak diteliti
kandungan senyawa golongan steroida/triterpenoida dan alkaloidanya.
2. Belum diketahuinya jumlah senyawa golongan steroida/triterpenoida dan
alkaloida dari 6 jenis sponge filum Porifera yang diteliti.
1.3. Hipotesis
1. Adanya kandungan senyawa golongan steroida/triterpenoida dan alkaloida
dapat dilakukan dengan uji pendahuluan golongan senyawa kimia dan
jumlah senyawa golongan steroida/triterpenoida dan alkaloida dari sponge
filum Porifera dapat diketahui secara kromatografi lapis tipis (KLT)
dengan melihat profil kromatogramnya.
1.4. Tujuan
1. Untuk mengetahui kandungan senyawa golongan steroida/triterpenoida
dan alkaloida dari sponge filum Porifera.
1.5. Manfaat
1. Diperoleh informasi kandungan senyawa golongan steroida/triterpenoida
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Uraian sponge filum Poriera
2.1.1. Habitat
Sebagian besar spesies Porifera hidup di laut dan hanya 159 spesies hidup
di air tawar, semuanya termasuk famili Spongillidae. Umumnya terdapat di
perairan jernih, dangkal dan menempel di substrat (Suwignyo, 2002).
2.1.2. Morfologi dan Anatomi
Ukuran tubuh porifera sangat bervariasi, dari sebesar kacang polong
sampai setinggi 9 cm dan lebar 1 m. Bentuk tubuh sponge juga bermacam-macam,
beberapa simetri radial, tetapi kebanyakan berbentuk tidak beraturan dengan pola
bervariasi .
Gambar 1. Filum Porifera kelas Calcarea
Genus Leucosolenia adalah salah satu jenis sponge yang bentuknya sangat
pada bagian pangkalnya, hidup dilaut menempel pada batu karang dibawah batas
air surut terendah.
Gambar 2. Struktur sponge yang sederhana, A. Koloni kecil kulit Leucosolenia, B. Potongan tubuh, C. Schypa.
Di dalam setiap individu yang berbentuk seperti jambangan tersebut
terdapat rongga yang disebut spongocoel atau atrium. Pada permukaan tubuh
terdapat lubang-lubang atau pori-pori (asal nama porifra), yang merupakan lubang
air masuk ke spongocoel, untuk akhirnya keluar melalui osculum.
Pada dasarnya tubuh porifera terdiri atas tiga lapisan, yaitu :
a) Pinacocyte atau Pinacoderm, seperti epidermis berfungsi untuk melindungi
tubuh bagian dalam.
b) Mesohyl atau Mesoglea, terdiri dari zat semacam agar, mengandung bahan
tulang dan sel amebocyte. Mesohyl ini mempunyai banyak fungsi antara lain
untuk pengangkut dan cadangan makanan, membuang partikel sisa
metabolisme, membuat spikul, serat sponge dan membuat sel reproduktif.
c) Choanocyte, yang melapisi rongga atrium atau spongocoel. Bentuk
6
yang lain berada di spongocoel serta dilengkapi sebuah flagelum yang
dikelilingi kelepak dari fibril.
Gambar 3. Tipe morfologi sponge, A. Asconoid, B. Syconoid, C. Leuconoid, D. Sponge tipe Asconoid.
Berdasarkan sistem aliran air (bukan secara taksonomi), bentuk tubuh
porifera dibagi menjadi tiga tipe, yaitu :
1. Asconoid
Diantara ketiga bentuk tersebut diatas, asconoid merupakan bentuk yang
paling primitif, meneyerupai vas bunga atau jambangan kecil. Pori-pori atau
lubang merupakan saluran pada sel porocyte yang berbentuk tabung, memanjang
dari permukan tubuh sampai spongocoel. Air masuk membawa oksigen dan
makanan dan keluar membuang sampah. Tipe ini tidak ada yang besar karena
getaran flagela tidak mampu mendorong air dari spongocoel keluar melalui
2. Syconoid
Sponge memperlihatkan lipatan-lipatan dinding tubuh dalam tahap
pertama termasuk tipe syconoid, misalnya Scypha. Dinding tubuh melipat secara
horisontal, sehingga potongan melintangnya seperti jari-jari, hingga masih tetap
simetri radial.
3. Leuconoid
Tingkat pelipatan dinding spongocoel paling tinggi terdapat pada
leuconoid. Flagellatedcanal melipat-lipat membentuk rongga kecil berflagella,
disebut flagellated chamber. Spongocoel menghilang dan digantikan oleh
saluran-saluran kecil menuju osculum (Suwignyo, 2002).
2.1 Fisiologi
Proses fisiologi yang terjadi pada porifera sangat tergantung pada aliran
air. Air masuk membawa oksigen dan makanan serta mengangkut sisa
metabolisme keluar melalui osculum. Makanannya terdiri dari pertikel yang
sangat kecil; 80% berukuran kurang dari 5 mikron dan 20% terdiri atas bakteri,
dinoflagelata, dan nanoplankton. Partikel makanan ditangkap oleh fibril kelepak
pada choanocyte. Partikel yang berukuran antara 5 sampai 50 mikron dimakan
dan dibawa oleh amebocyte. Pertukaran gas terjadi secara difusi antara air dan sel
sepanjang aliran air. Sistem saraf pada porifera belum ditemukan, segala reaksi
yang terjadi bersifat lokal dan bebas (Suwignyo, 2002).
2.1.4. Reproduksi dan Regenerasi
Porifera mempunyai kemampuan melakukan regenerasi yang tinggi.
8
utuh kembali. Kemampuan melakukan regenerasi ada batasnya, misalnya
potongan sponge leuconoid harus lebih besar dari 0,4 mm dan mempunyai
beberapa sel choanocyte supaya mampu melakukan regenerasi menjadi sponge
baru yang kecil.
Porifera berkembang biak secara aseksual maupun seksual. Reproduksi
aseksual terjadi dengan cara pembentukan tunas (budding) atau pembentukan
sekelompok sel esensial, terutama amebocyte, kemudian dilepaskan. Beeberapa
jenis sponge laut mambentuk gemmule, yaitu tunas internal. Gemmule terbentuk
dari sekumpulan archeocyte berisi cadangan makanan dikelilingi amebocyte yang
membentuk lapisan luar yang keras. Di daerah tropis, gemmule terbentuk
sepanjang tahun terutam menjelang musim kemarau. Di daerah bermusim empat,
pembentukan gemmule terutama pada musim gugur untuk mempertahankan diri
menghadapi musim dingin, ketika tubuh sponge induk hancur. Bila musim semi
tiba, sel archeocyte mengalir keluar dari gemmule, membungkus sebagian
cangkang dan melakukan diferensiasi manjadi berbagai tipe yang diperlukan
untuk tumbuh menjadi sponge kecil.
Reproduksi seksual terjadi baik pada sponge yang hermaprodit maupun
diocious. Kebanyakan porifera adalah hermaprodit, namun sel telur dan sperma
diproduksi pada waktu yang berbeda. Sperma dan sel telur dihasilakan oleh
amebocyte, sumber lain mengatakan bahwa sperma juga dapat terbentuk dari
choanocyte. Sperma keluar dari tubuh induk melalui osculum bersama dengan
aliran air. Dalam spongocoel, sperma akan masuk ke choanocyte atau amebocyte.
mesohyl. Kemudian amebocyte beserta sperma melebur dengan sel telur,
terjadilah pembuahan (Suwignyo, 2002).
2.1.5 Klasifikasi
Filum porifera terdiridari empat kelas, yaitu:
1. Kelas Calcarea atau Calcispongiae
Spikul kapur, monaxon, triaxon atau tetraxon; permukaan tubuh berbulu; warna
suram; tinggi kurang dari 15 cm. Kelas Calcareae terdiri dari 2 ordo, yaitu:
1) Ordo Homocoela, tipe asconoid, dinding tubuh tipis; contohnya
Leusosolenia dan Clathrina.
2) Ordo Heterocoela, tipe syconoid atau leuconoid, dinding tubuh tebal;
contohnya Scypha
2. Hexactinellida atau Hyalospongiae
Sponge kaca, spikul silikat, hexactinal, tipe syconoid; bentuk tubuh silindris, datar
atau bertangkai; tinggi 90 cm; di laut pada kedalaman 90 cm samapai 5.000 m.
1) Ordo Hexasterophora, spikul kecil hexactinal.
2) Ordo Amphidiscophora, spikul kecil dengan kait-kait pada kedua
ujungnya.
3. Kelas Demospongiae
Spikul silikat, serat sponge atau keduanya atau tidak ada; bila ada spikulnya
monaxon atau tetraxon; tipe leuconoid.
a. Subkelas Tetractinellida, spikul tetraxon atau tidak ada, bentuk tubuh
10
1) Ordo Myxospongia atau Dendroceratisa, tidak mempunyai spikul;
bentuk tubuh sederhana, tanpa kerangka.
2) Ordo Carnosac atau Microsclerophora, spikl tetraxon, ukuran
hampir sama.
3) Ordo Choristida, spikul tetraxon, dua macam ukuran besar dan
kecil ada semua.
b. Subkelas Monaxonida, spikul monaxon; ada yang berserat; bentuk tubuh
bervariasi; ditepi pantai sampai kedalaman 45 m; melimpah dan umum.
1) Ordo Hadromerida atau Astromonaxonellida, spikul besar
terpisah.
2) Ordo Halichondrida, spikul besar dan mempunyai serat sponge
3) Ordo Poeciloclerida, spikul berukuran besar diikat oleh sponge
seperti jala.
4) Ordo haplosclerida, spikul besar .
c. Subkelas Keratosa, terdiri dari Dictyoceratida. Rangka dari serat sponge
yang mengandung zat tanduk, tidak ada spikul; bentuk tubuh bulat,
adakalanya besar sekali, warna gelap terutama hitam.
4.Kelas Sclerospongiae
Sponge karang (Corraline sponge). Berbeda dari sponge kelas lainnya, spons
karang menghasilkan rangka CaCO3 yang terjalin dalam serat-serat sponge.
Spikul silikat, monaxon; jaringan yang hidup berupa lapisan tipis menyelubungi
rangka kapur, dapat mencapai diameter 1 m; banyak ditemukan di daerah terumbu
2.2. Uraian kimia
Terpena merupakan senyawa yang terbentuk dari satuan isoprena atau
isopentana yang terbentuk oleh penyambungan 2 atau lebih satuan C5 yang
berkombinasi dengan susunan kaidah kepala-ekor. Terpenoida merupakan terpena
yang mengandung unsur-unsur lain disamping C dan H. Komposisi senyawa
terpenoida dapat berupa monoterpenoida (C10), seskuiterpen (C15), diterpenoida
(C20), triterpenoida (C30), tetraterpenoida (C40), dan politerpenoida (Cn)
2.2.1. Senyawa Terpenoida
Terpenoida merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30
asiklis, yaitu skualena. Triterpena dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu:
1.Triterpena sebenarnya
Berdasarkan jumlah cincin yag terdapat dalam struktur molekulnya, dapat
digolongkan atas (Harborne, 1987) :
a. Triterpena asiklik yaitu triterpena yang tidak mempunyai cincin tertutup
pada struktur molekulnya, misalnya skualena (Robinson, 1995). Struktur
kimia skualena dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.
12
OH
b. Triterpena trisiklik yaitu triterpena yang mempunyai tiga cincin tertutup
pada struktur molekulnya, misalnya ambrein (Robinson, 1995). Struktur
kimia ambrein dapat dilihat pada gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Struktur kimia ambrein
c. Triterpena tetrasiklik yaitu triterpena yang mempunyai empat cincin
tertutup pada struktur molekulnya, misalnya lanosterol (Robinson, 1995).
Struktur kimia lanosterol dapat dilihat pada gambar 6 berikut ini.
Gambar 6. Struktur kimia lanosterol
d. Triterpena pentasiklik yaitu triterpena yang mempunyai lima cincin
tertutup pada struktur molekulnya, misalnya β-amirin (Robinson, 1995).
H3C CH3
Gambar 7. Struktur kimia β-amirin
2.steroida
3.saponin
4.glikosida jantung.
2.2.2. Senyawa Steroida
Steroida adalah triterpena yang kerangka dasarnya cincin siklopentana
perhidrofenantren (Harborne, 1987). Inti steroida dasar sama dengan inti
lanosterol dan triterpenoida tetrasiklik lain, perbedaannya hanya pada sistem
cincin, pada posisi 10 dan 13. Nama sterol dipakai khusus untuk steroida alkohol,
tetapi karena praktis semua steroida tumbuhan berupa alkohol dengan gugus
hidroksil pada C-3, seringkali semuanya disebut sterol (Robinson, 1995). Sterol
adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem siklopentana perhidrofenantren.
Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon
kelamin, asam empedu, dan lain-lain) (Harborne, 1987).
Kerangka dasar dan sistem penomoran steroida (Robinson, 1995) dapat
14
Gambar 8. Kerangka dasar steroida dan sistem penomorannya
Dari pandangan kimiawan organik, semua molekul steroida adalah turunan
jenuh dari fenantren (hidrokarbon aromatik trisiklik). Gambar 10 berikut ini
menunjukkan keempat lambang (A, B, C, D) inti steroida (Wilbraham, 1992).
Gambar 9. Penulisan lambang keempat (A, B, C, D) inti steroida.
Berdasarkan sumber atau asalnya maka sterpoida dibagi atas empat
golongan (Manitto, 1981), yaitu :
a. Zoosterol yaitu steroida yang berasal dari hewan terutama vertebrata.
b. Fitosterol yaitu steroida yang berasal dari tumbuhan.
c. Mikosterol yaitu steroida yang berasal dari jamur (fungi).
d. Zoosterol yaitu steroida yang berasal dari organisme laut.
2.2.3. Senyawa Alkaloida
Alkaloida biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan
tumbuhan dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya dan basa bebas
diekstraksi dengan pelarut organik sepeerti kloroform, eter dan sebagainya.
Pereaksi Mayer (kalium tetraiodomerkurat) paling banyak digunakan untuk
mendeteksi alkaloid, pereaksi lain seperti Wagner (iodium dalam kalium iodide),
pereaksi Dragendorff dan iodoplatinat. Untuk kebanyakan alkaloid, pelarut yang
digunakan bersifat asam atau basa untuk memastikan bahwa molekul semuanya
tidak terprotonisasi atau semuanya terprotonisasi. Pereaksi deteksi yang paling
umum digunakan untuk penyemprot kromatogram adalah pereaksi Dragendorff
(Robinson, 1995).
2.4. Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
tertentu. Proses ekstraksi akan menghasilkan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan
kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan (Depkes, 2000). Penguapan ekstrak dilakukan dengan penguap vakum
putar pada suhu tidak lebih dari 40oC dalam suasana tekanan dikurangi
(Harborne,1987).
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000) yaitu :
A. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
16
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi
penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar.
B. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi pelarut pada tempertur titik didihnya, selama waktu
tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin
balik.
2. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih
tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur
40-50oC.
3. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan
menggunakan alat soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
4. Infundasi
Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC selama
15 menit.
5. Dekok
Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC semala 30
2.5 Kromatografi
Cara-cara kromatografi dapat dikelompokkan berdasarkan fase gerak dan
fase diam yang digunakan (Sastrohamidjojo, 1985) yaitu :
1. Fase gerak zat cair-fasa diam padat (kromatografi serapan)
- Kromatografi lapis tipis
2. Fasa gerak gas-fasa diam padat
- Kromatografi gas padat
3. Fasa gerak cair-fasa diam cair
- Kromatografi kertas
4. Fasa gerak gas-fasa diam cair
- Kromatografi gas cair
2.5.1. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi serapan dimana fasa
diam berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fasa gerak berupa zat
cair yang disebut larutan pengembang (Gritter. dkk, 1991). Campuran yang akan
dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak. Setelah plat atau lapisan ditaruh
di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fasa
gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan).
Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl,
1985).
Deteksi
Terdapat berbagai kemungkinan untuk deteksi senyawa tanwarna pada
18
penyerapan di daerah UV gelombang pendek (radiasi utama pada kira-kira 254
nm) atau jika senyawa itu dapat dideteksi ke fluoresensi radiasi UV gelombang
panjang (365 nm). Jika dengan kedua cara itu senyawa tidak dapat dideteksi,
harus dicoba dengan reaksi kimia ; pertama tanpa dipanaskan, kemudian bila perlu
dipanaskan. Deteksi biologi pada beberapa kasus dapat dilakukan (Stahl, 1985).
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapis
tipis yang juga mempengaruhi harga Rf, yaitu :
1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan.
2. Sifat dari penyerap dan derajat aktifasinya. Perbedaan penyerap akan
memberikan perbedaan yang besar terhadap harga Rf, meskipun
menggunakan fasa gerak yang sama.
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap.
4. Pelarut (derajat kemurnian) fase gerak
5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang dilakukan.
6. Teknik percobaan.
7. Jumlah cuplikan yang digunakan.
8. Suhu.
BAB III
METODOLOGI
Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji
pendahuluan golongan senyawa kimia, pembuatan ekstrak, dan analisis
kandungan golongan senyawa kimia secara kromatografi lapis tipis.
3.1. Alat-alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas
laboratorium, cawan penguap, termometer, mortir dan stamfer, oven listrik
(Stork), penguap vakum putar (Buchi 461), neraca kasar (Ohaus), neraca listrik
(Vibra), penangas air, eksikator, kamera, seperangkat alat destilasi pelarut,
seperangkat alat kromatografi lapis tipis, kertas kalkir.
3.2. Bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan sponge
Dysidea granulosa, Dysidea sp, Haliclona sp, Clathria sp, Xestospongia sp,
Callyspongia sp. Semua bahan kimia yang digunakan, kecuali dinyatakan lain
adalah berkualitas pro analisis, produksi E. Merck, n-heksana (hasil destilasi), etil
asetat, metanol, kloroform, amonium hidroksida, asam asetat anhidrat, asam asetat
glasial, etanol 70%, asam sulfat pekat, iodium, kalium iodida, bismut (III) nitrat,
raksa (II)) klorida, antimon klorida, asam klorida encer, asam nitrat, kertas saring,
aluminium foil, plat lapis tipis silikagel GF 254, air suling.
3.3. Pembuatan Larutan Pereaksi
Pembuatan larutan pereaksi dilakukan menurut Depkes,1979; Depkes,
20
3.3.1. Larutan Pereaksi Bouchardat
Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang dan dilarutkan dalam air suling,
ditambahkan iodium sebanyak 2 g dan dicukupkan dengan air suling sampai 100
ml.
3.3.2. Larutan Pereaksi Mayer
Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida ditimbang dan dilarutkan dalam air suling
hingga 60 ml. Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu
dilarutkan dalam 10 ml air suling. Kemudian dicampur dan ditambahkan air
suling hingga 100 ml.
3.3.3. Larutan Pereaksi Dragendorff
Pembuatan pereaksi Dragendorff untuk pereaksi kualitatif, sebanyak 0,8 g
bismut (III) nitrat ditimbang dan dilarutkan dala 20 ml asam nitrat pekat. Pada
wadah lain ditimbang sebanyak 27,2 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 50 ml
air suling, kemudian kedua larutan dicampurkan dan didiamkan sampai memisah
sempurna. Larutan yang jernih diambil dan diencerkan dengan air suling sampai
100 ml. Pembuatan pereaksi Dragendorff untuk pereaksi penyemprot, larutan A :
sebanyak 0,85 g bismutsubnitrat dilarutkan dalam campuran 40 ml air suling
dengan 10 ml asam asetat. larutan B : sebanyak 8 g kalium iodidea dilarutkan
dalam 20 ml air suling. Larutan penyemprot : masing-masing 5 ml larutan A dan
larutan B dicampur dengan 20 ml asam asetat glasial dan dicukupkan dengan air
3.3.4. Larutan Pereaksi Liebermann-Burchard
Pembuatan pereaksi Liebermann-Burchard untuk pereaksi kualitatif,
sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian asam
sulfat pekat. Pembuatan pereaksi Liebermann-Burchard untuk penyemprot,
sebanyak 50 bagian kloroform dicampur dengan 20 bagian asam asetat anhidrat
dan 1 bagian asam sulfat pekat. Larutan penyemprot ini harus dibuat baru.
3.3.5. Larutan Pereaksi Asam encer
Sebanyak 22,6 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga
100 ml.
3.3.6. Larutan Pereaksi Asam Sulfat 50 %
Sebanyak 50 ml metanol ditambahkan dengan asam sulfat pekat hingga
100 ml.
3.3.7. Larutan Pereaksi Amonia encer
Sebanyak 37,5 ml amonium hidroksida dilarutkan dengan air hingga 100
ml.
3.3.8. Larutan Pereaksi Carr-Price
Sebanyak 20 g antimon klorida dilarutkan dalam kloroform hingga 100
ml.
3.4. Penyiapan dan Pengolahan sampel
3.4.1. Penyiapan sampel
Pengambilan sampel dilakukan peneliti sebelumnya oleh saudara Yus
Muhammad Zain secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan sponge
22
3.4. 2 Pengolahan Sampel
Sponge filum Porifera yang telah diambil dari perairan direndam dalam
etanol 70%, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dibersihkan dari
pengotoran, ditiriskan dan disebarkan diatas kertas stansil lalu ditimbang sebagai
berat basah, selanjutnya dipotong-potong dan dikeringkan dalam lemari
pengering. Setelah kering, sampel tersebut ditimbang sebagai simplisia.
3.4.5 Identifikasi Sampel
Identifikasi sponge dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI,
Jakarta atas nama Yus Muhammad Zain. Hasil identifikasi dapat dilihat pada
lamp.1 hal 36.
3.4.6 Pemeriksaan Makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap sponge dengan cara
mengamati warna, bentuk, ukuran dan tipe sponge. Bentuk makroskopik hewan
sponge dapat dilihat pada lamp.2 gbr10-15 hal 39-44.
3.4.7 Uji Pendahuluan Golongan Senyawa Kimia
Uji pendahuluan golongan senyawa kimia terhadap serbuk simplisai
meliputi pemeriksaan golongan senyawa steroida/triterpenoida dan alkaloida
(Depkes RI, 1989; Farnsworth, 1966 dan Harborne, 1987).
3.4.8 Pemeriksaan Steroida/Triterpenoida
Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksana selama
2 jam, disaring, filtrat diuapkan pada cawan penguap dan pada sisanya
ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan
adanya steroida/triterpenoida. Hasil dapat dilihat pada lamp.3 tabel 1 hal 45.
3.4.9 Pemeriksaan alkaloida
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang dan ditambah 1ml asam
klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit,
dinginkan dan saring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut :
1. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi
Mayer, akan terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau
kuning.
2. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi
Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat samapai hitam.
3. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Dr
agendorff, akan terbentuk warna merah atau jingga.
Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit 2
reaksi atau 3 percobaan diatas. Hasil dapat dilihat pada lamp.3 tabel 1 hal 45.
3.5 Pembuatan ekstrak
3.5.1 Pembuatan ekstrak n-heksana
Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara perkolasi menggunakan pelarut
n-heksana (Depkes 1979).
Cara kerja : Serbuk simplisia direndam dengan n-heksana selama 3 jam dalam
bejana tertutup, kemudian dimasukkan dalam perkolator. Lalu dituangi dengan
cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan diatas simplisia
24
aluminium foil dan dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dan cairan
dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit dan kemudian ditambahkan
berulang-ulang cairan penyari secukupnya sehingga selalu terdapat selapis cairan
penyari diatas simplisia, perkolasi dihentikan setelah perkolat tidak bereaksi
dengan pereaksi Liebermann Burchard. Perkolat kemudian diuapkan dengan
tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari 50 o
Terhadap ekstrak kental n-heksana yang diperoleh dari 6 jenis sponge
masing-masing dianalisis secara KLT menggunakan fase diam plat lapis tipis
silikagel GF 254 sebagai fase gerak adalah campuran n-heksana : etil asetat C hingga diperoleh ekstrak kental.
Bagan ekstraksi serbuk simplisia secara perkolasi dapat dilihat pada lamp. 4 gbr
16 hal 46.
3.5.2 Pembuatan ekstrak kloroform
Diekstraksi dengan pelarut kloroform dalam suasana alkalis (Bruneton,
1993 ).
Cara kerja : Sebanyak 60 g serbuk simplisia dibasakan dengan amonia encer,
ditambah kloroform dan disaring, filtrat yang diperoleh dipekatkan dan diekstraksi
dengan asam klorida 3 kali, tiap kali dengan 10 ml asam klorida. Kemudian
lapisan asam dibasakan dengan amonia encer dan diekstraksi dengan kloroform 3
kali, tiap kali dengan 10 ml kloroform dan lapisan kloroformnya diuapkan hingga
diperoleh residu alkaloida kasar. Bagan ekstraksi serbuk simplisia dengan pelarut
non polar dalam suasana alkalis dapat dilihat pada lamp. 4 gbr 17 hal 47.
3.6 Analisis Ekstrak
dengan beberapa perbandingan yaitu (10:0), (90:10), (80:20), (70:30), (60:40),
(50:50), (40:60), (30:70), (20:80), (10:90) dan sebagai penampak bercak asam
sulfat 50%, penampak bercak khusus steroida/triterpenoida yaitu
Liebermann-Burchard dan Carr-Price.
Cara kerja: Kedalam bejana kromatografi dimasukkan 10 ml larutan pengembang,
dicampurkan sesuai dengan perbandingannya. Bejana ditutup rapat dan dibiarkan
sampai jenuh dengan uap larutan pengembang. Ekstrak yang akan dianalisis
ditotolkan pada plat yang telah disiapkan, kemudian plat dimasukkan kedalam
bejana dan ditutup rapat, pelarut dibiarkan naik membawa komponen yang ada
sampai batas pengembang. Plat dikeluarkan dan dikeringkan diudara terbuka,
dilihat dibawah lampu UV 254 nm, lalu disemprot dengan penempak bercak asam
sulfat 50%, kemudian dipanaskan pada suhu 100-110o
3.6.2 Analisis Ekstrak kloroform secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
C selama 15 menit, lalu
diamati bercak yang terbentuk, dari kromatogram tersebut dipilih perbandingan
pelarut yang paling baik dengan melihat pemisahan bercak. Dengan cara yang
sama dilakukan dengan menggunakan penampak bercak khusus golongan
steroida/triterpenoida yaitu Liebermann-Burchard dan Carr-Price. Gambar
kromatogram ekstrak n-heksana dapat dilihat pada lamp.5 gbr 18-34 hal 48-63.
Terhadap ekstrak kloroform yang diperoleh dari 2 jenis hewan sponge
masing-masing dianalisis secra KLT menggunakan fase diam plat lapis tipis
silikagel GF 254 sebagai fase gerak adalah campuran kloroform : metanol :
26
Cara kerja: Kedalam bejana kromatografidimasukkan 10 ml larutan pengembang,
dicampurkan sesuai dengan perbandingannya. Bejana ditutup rapat dan dibiarkan
sampai jenuh dengan uap larutan pengembang. Ekstrak yang akan dianalisis
ditotolkan pada plat yang telah disiapkan, kemudian plat dimasukkan kedalam
bejana dan ditutup rapat, pelarut dibiarkan naik membawa komponen yang ada
sampai batas pengembang. Plat dikeluarkan dan dikeringkan diudara terbuka,
dilihat dibawah lampu UV 254, lalu disemprot dengan penempak bercak
Dragendorff, lalu diamati bercak yang terbentuk. Gambar kromatogram ekstrak
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI,
Jakarta adalah 8 jenis sponge filum Porifera, kelas Calcarea, jenis Dysidea
granulosa, Dysidea sp, Haliclona sp, Clathria sp, Haliclona cymaeformis,
Xestospongia sp, Callyspongia sp dan 3 spesies tidak diketahui namanya, yang
diteliti adalah 6 jenis sponge yaitu Dysidea granulosa, Dysidea sp, Haliclona sp,
Clathria sp, Xestospongia sp, Callyspongia sp.
Hasil uji pendahuluan senyawa golongan kimia pada simplisia sponge
filum Porifera menunjukkan adanya senyawa steroida/triterpenoida dan
alakaloida.
Ekstrak heksana diperoleh dengan cara perkolasi. Ekstrak kental
n-heksana dari 6 jenis sponge filum Porifera dianalisis secara kromatografi lapis
tipis sebagai fasa gerak adalah n-heksana : etil asetat dengan berbagai
perbandingan, fase diam plat lapis tipis silikagel GF 254 dengan penampak bercak
asam sulfat 50%, Liebermann-Burchard dan Carr-Price.
Hasil kromatogram Dysidea granulosa dengan perbandingan fase gerak
(70:30) menghasilkan pemisahan bercak yang baik dan diperoleh 6 bercak setelah
disemprot dengan asam sulfat 50% yaitu berwarna biru, ungu, merah ungu tua,
coklat, kuning, dan merah ungu muda, dari warna bercak ini diperoleh 3 bercak
senyawa triterpenoida yaitu ungu (Rf 0,27), merah ungu tua (Rf 0,57) dan merah
ungu muda (Rf 0,91), dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf
28
Carr-Price menghasilkan 5 bercak yaitu berwarna biru, ungu, merah, kuning dan
merah dari warna bercak ini diperoleh 3 bercak senyawa triterpenoida yaitu
berwarna ungu (Rf 0,27), merah (Rf 0,57), merah (Rf 0,91) dan 1 bercak senyawa
steroida yaitu berwarna biru (Rf 0,13), demikian juga dengan penampak bercak
Liebermann-Burchard, menghasilkan 5 bercak yaitu berwarna biru, ungu, ungu,
kuning dan merah ungu muda dari warna bercak ini diperoleh 3 bercak senyawa
triterpenoida yaitu berwarna ungu (Rf 0,27), ungu (Rf 0,57), merah ungu muda
(Rf 0,91) dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf 0,13)..
Hasil kromatogram Dysidea sp dengan perbandingan fase gerak (50:50)
menghasilkan pemisahan bercak yang baik dan diperoleh 4 bercak setelah
disemprot dengan asam sulfat 50% yaitu berwarna biru, coklat, merah ungu tua,
dan merah ungu muda, dari warna bercak ini diperoleh 2 bercak senyawa
triterpenoida yaitu berwarna merah ungu tua (Rf 0,63), merah ungu muda (Rf
0,93) dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf 0,24). Kemudian
dengan cara yang sama plat disemprot dengan penampak bercak Carr-Price
menghasilkan 3 bercak yaitu berwarna biru, merah, dan merah, dari warna bercak
ini diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida yaitu berwarna merah (Rf 0,63),
merah (Rf 0,93) dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf 0,24),
demikian juga dengan penampak bercak Liebermann-Burchard, menghasilkan 3
bercak yaitu berwarna biru, ungu, dan merah ungu muda, dari warna bercak ini
diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida yaitu berwarna ungu (Rf 0,63), merah
ungu muda (Rf 0,93) dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf
Hasil kromatogram Haliclona sp dengan perbandingan fase gerak (70:30)
menghasilkan pemisahan bercak yang baik dan diperoleh 5 bercak setelah
disemprot dengan asam sulfat 50% yaitu berwarna biru coklat, merah ungu tua,
coklat merah, dan merah ungu, dari warna bercak ini diperoleh 2 bercak senyawa
triterpenoida yaitu berwarna merah ungu tua (Rf 0,57), merah ungu muda (Rf
0,94) dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf 0,16). Kemudian
dengan cara yang sama plat disemprot dengan penampak bercak Carr-Price
menghasilkan 3 bercak yaitu berwarna biru, merah, dan hijau, dari warna bercak
ini diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida yaitu berwarna merah (Rf 0,57),
merah (Rf 0,94) dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf 0,16),
demikian juga dengan penampak bercak Liebermann-Burchard, menghasilkan 4
bercak yaitu berwarna biru, merah ungu tua, hijau, dan ungu, dari warna bercak
ini diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida yaitu berwarna merah ungu tua (Rf
0,57), ungu (Rf 0,94) dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf
0,16).
Hasil kromatogram Clathria sp dengan perbandingan fase gerak (70:30)
menghasilkan pemisahan bercak yang baik dan diperoleh 5 bercak setelah
disemprot dengan asam sulfat 50% yaitu berwarna biru, ungu, merah ungu tua,
kuning, dan merah ungu muda, dari warna bercak ini diperoleh 3 bercak senyawa
triterpenoida yaitu berwarna ungu (Rf 0,27), merah ungu tua (Rf 0,71), merah
ungu muda (Rf 0,86) dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf
0,14). Kemudian dengan cara yang sama plat disemprot dengan penampak bercak
30
dan merah, dari warna bercak ini diperoleh 3 bercak senyawa triterpenoida yaitu
berwarna ungu (Rf 0,27), merah (Rf 0,71), merah (Rf 0,86) dan 1 bercak senyawa
steroida yaitu berwarna biru (Rf 0,14), demikian juga dengan penampak bercak
Lliebermann-Burchard, menghasilkan 4 bercak yaitu berwarna biru, ungu, merah
ungu tua, dan merah ungu muda, dari warna bercak ini diperoleh 3 bercak
senyawa triterpenoida yaitu berwarna ungu (Rf 0,27), merah ungu tua(Rf 0,71),
merah ungu muda (Rf 0,86) dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru
(Rf 0,14).
Hasil kromatogram Xestospongia sp dengan perbandingan fase gerak
(70:30) menghasilkan pemisahan bercak yang baik dan diperoleh 4 bercak setelah
disemprot dengan asam sulfat 50% yaitu berwarna biru, merah ungu tua, coklat,
dan merah ungu muda, dari warna bercak ini diperoleh 2 bercak senyawa
triterpenoida yaitu berwarna merah ungu tua (Rf 0,44), merah ungu muda (Rf
0,93) dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf 0,17). Kemudian
dengan cara yang sama plat disemprot dengan penampak bercak Carr-Price dan
menghasilkan 3 bercak yaitu berwarna biru (Rf 0,44), merah (Rf 0,93), dan merah,
dari warna bercak ini diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida yaitu berwarna
merah (Rf 0,44), merah (Rf 0,93) dan 1 bercak senyawa steroida yaitu berwarna
biru (Rf 0,17), demikian juga dengan penampak bercak Liebermann-Burchard,
menghasilkan 2 bercak yaitu berwarna biru, merah ungu tua, dan merah ungu
muda, dari warna bercak ini diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida yaitu
berwarna merah ungu tua (Rf 0,44), merah ungu muda (Rf 0,93) dan 1 bercak
Hasil kromatogram Callyspongia sp dengan perbandingan fase gerak
(80:20) menghasilkan pemisahan bercak yang baik dan diperoleh 5 bercak setelah
disemprot dengan asam sulfat 50% yaitu berwarna biru, biru, coklat, merah ungu
tua, dan merah ungu muda, dari warna bercak ini diperoleh 2 bercak senyawa
triterpenoida yaitu berwarna merah ungu tua (Rf 0,46), merah ungu muda (Rf
0,94) dan 2 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf 0,07), biru (Rf 0,17).
Kemudian dengan cara yang sama plat disemprot dengan penampak bercak
Carr-Price dan menghasilkan 4 bercak yaitu berwarna biru, biru, merah, dan merah,
dari warna bercak ini diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida yaitu berwarna
merah (Rf 0,46), merah (Rf 0,94) dan 2 bercak senyawa steroida yaitu berwarna
biru (Rf 0,07), biru (Rf 0,17). demikian juga dengan penampak bercak
Liebermann-Burchard, menghasilkan 5 bercak yaitu berwarna biru, biru, coklat
tua, merah ungu tua, dan merah ungu muda, dari warna bercak ini diperoleh 2
bercak senyawa triterpenoida yaitu berwarna merah ungu tua (Rf 0,46), merah
ungu muda (Rf 0,94) dan 2 bercak senyawa steroida yaitu berwarna biru (Rf
0,07), biru (Rf 0,17).
Ekstraksi alkaloida dengan pelarut kloroform dalam suasana alkalis.
Ekstrak kloroform dianalisis secara kromatografi lapis tipis sebagai fase gerak
adalah kloroform : metanol : amonia (90:10:1), fase diam plat lapis tipis silikagel
GF 254 dengan penampak bercak Dragendorff.
Hasil kromatogram Dysidea granulosa diperoleh 2 bercak senyawa
alkaloida yaitu berwarna jngga, dan untuk Haliclona sp juga diperoleh 2 bercak
32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil uji pendahuluan senyawa golongan kimia pada simplisia sponge
filum Porifera menunjukkan adanya senyawa steroida/triterpenoida dan
alakaloida.
Hasil analisis ekstrak n-heksana secara kromatografi lapis tipis (KLT) dari
6 jenis hewan sponge filum Porifera adalah untuk Dysidea granulosa, dengan
perbandingan fase gerak (70:30) menghasilkan pemisahan bercak yang baik yaitu
diperoleh 3 bercak senyawa triterpenoida dan 1 bercak senyawa steroida, untuk
Dysidea sp, dengan perbandingan fase gerak (50:50) menghasilkan pemisahan
bercak yang baik yaitu diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida dan 1 bercak
senyawa steroida, untuk Haliclona sp, dengan perbandingan fase gerak (70:30)
menghasilkan pemisahan bercak yang baik yaitu diperoleh 2 bercak senyawa
triterpenoida dan 1 bercak senyawa steroida, untuk Clathria sp, dengan
perbandingan fase gerak (70:30) menghasilkan pemisahan bercak yang baik yaitu
diperoleh 3 bercak senyawa triterpenoida dan 1 bercak senyawa steroida, untuk
Xestospongia sp, dengan perbandingan fase gerak (70:30) menghasilkan
pemisahan bercak yang baik yaitu diperoleh 2 bercak senyawa triterpenoida dan 1
bercak senyawa steroida, untuk Callyspongia sp, dengan perbandingan fase gerak
(70:30) menghasilkan pemisahan bercak yang baik yaitu diperoleh 2 bercak
Hasil Analisis ekstrak kloroform secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
dari 2 jenis hewan sponge filum Porifera, adalah untuk Dysidea granulosa,
menghasilkan 2 bercak senyawa alkaloida yaitu berwarna jngga, dan untuk
Haliclona sp juga diperoleh 2 bercak senyawa alkaloida.
5.2 Saran
Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk mengisolasi dan menentukan
struktur senyawa steroida/triterpenoida dan alkaloida yang terdapat pada sponge
34
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1, Terumbu Karang. Online 2005.
bahari/co remap/mengenali html.
Astuti, P. (2003). Majalah Obat Tradisional. Spons Invertebrata Laut Berpotensi
Sebagai Sumber Bahan Alam. Volume 8. Yogyakarta : Penerbit UGM.
Hal. 34.
Attaway, D. H., Zaborsky, O. R. (1993). Marine Biotechnology. Pharmaceutical
and Bioactive Natural Product. Volume 1. New York and London :
Plenum Press. Pages. 352-376.
Bruneton, J. (1995). Pharmacognosy, Phytochemistry, Medicinal Plants. Translated by Caroline K. Hatton. Londres, New york: Lavoisier Publishing. Page. 637.
Departemen Kesehatan RI. (2000). Biotechnology of Marine Polysacharides : Marine Polysacharides for Pharmaceutical and Microbiological
Applications. London: McGraw-Hill International Book Company. Pages.
365-366.
Departemen Kesehatan RI. (1979). Farmakope Indonesia, Ed.III.Jakarta : Depkes RI. Hal. 643.
Departemen Kesehatan RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta.: Depkes RI. Hal. 549.
Departemen Kesehatan RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan pertama. Jakarta : Depkes RI. Hal. 10-13.
Departemen Kesehatan RI. (1986). Sediaan Galenik . Jakarta : Departemen Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Hal.16.
Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical Sciences. Volume 55. No.3. Chicago : Reheis Chemical Company. Pages. 247-259.
Hanani, Endang. Dkk. (2005). Identifikasi Senyawa Antioksidan dalam Spons
Callyspongia sp dari Kepulauan Seribu. Majalah Kefarmasian. Vol II.
No.3 Tahun 2005.
Manitto, P. (1981).Biosintesis Produk Alamai. Penerjemah : Koesoemardiyah. Semarang. : IKIP Sem,arang Press. Hal. 339.
Nontji, A. (1993). Laut Nusantara. Ed 2. Jakarta : Penerbit Djambatan. Hal. 144-123.
Scheuer, P. J., (1985). Produk alami lautan . Dari Segi Kimiawi dan Biologi.
Terjemahan Koensoemadiyah. Jilid II. London : Academic Press. Hal. 45.
Sutarno, S. Dkk. (1993). Standard of Asean Herbal Medicine. Volume I. Jakarta: Asean Countries Publishing. Pages. 474-476.
Suwignyo, S. Dkk. (2005). Avertebrat Air. Cetakan 1. Jakarta : Penerbit Swadaya. Hal.34-40.
36
SERTIFIKAT No. _______/IPK.2/KS/2007
Hasil Identifikasi Hewan Laut (Spons)
(Sampel dari Sdr. Yus Muhammad Zain, Mahasiswa Fakultas Farmasi, Jurusan Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan
Sampel No. 1
Filum : Porifera Kelas : Calcarea
Bangsa : Dendroceratidae
Suku : Dysideidae
Bangsa : Dendroceratidae
Suku : Dysideidae
38
Sampel No. 8
Filum : tidak diketahui Kelas : tidak diketahui Bangsa : tidak diketahui Marga : tidak diketahui Jenis : tidak diketahui
Sampel No. 9
Filum : tidak diketahui Kelas : tidak diketahui Bangsa : tidak diketahui Marga : tidak diketahui Jenis : tidak diketahui
Sampel No. 10
Filum : Porifera Kelas : Calcarea Bangsa : Haploscleria Marga : Callyspongiidae Jenis : Callyspongia sp
Lampiran 2
Makroskopik Sponge
40
Lampiran 2
(lanjutan)
Lampiran 2
(lanjutan)
42
Lampiran 2
(lanjutan)
Lampiran 2
(lanjutan)
44
Lampiran 2
(lanjutan)
Lampiran 3
Tabel 1. Hasil Uji Pendahuluan Senyawa Golongan Kimia Serbuk Simplisia dari
6 jenis Sponge Filum Porifera.
No Nama simplisia Hasil pemeriksaan
Steroida/triterpenoida Alkaloida
1 Dysidea granulosa + +
2 Dysidea sp + +
3 Haliclona sp + +
4 Clathria sp + +
5 Xestospongia sp + +
6 Callyspongia sp + +
Keterangan :
46
Lampiran 4
perkolasi dengan n-heksana
dipekatkan dengan penguap vakum putar pada suhu tidak lebih dari 50oC
Gambar 16 : Bagan ekstraksi serbuk simplisia secara perkolasi Serbuk simplisia
Perkolat Ampas
Lampiran 4
(lanjutan)
dibasakan dengan amonia encer ditambah kloroform
disaring
dipekatkan
diekstraksi dengan asam klorida 3x dipisahkan
dibasakan dengan ammonia encer
diekstraksi dengan kloroform 3x dipisahkan
diuapkan
Gambar 17 : Bagan ekstraksi alkaloida dengan pelarut kloroform dalam suasana Alkalis.
Serbuk Simplisia
Filtrat Ampas
Lapisan asam Lapisan kloroform
Lapisan Kloroform Lapisan air