• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Coping Stress Pada Pria Dan Wanita Dalam Pernikahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Coping Stress Pada Pria Dan Wanita Dalam Pernikahan"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

  BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Pada perjalanan kehidupan, manusia berada dititik- titik yang berbeda dalam

siklus kehidupan keluarga. Fase-fase siklus kehidupan keluarga mencakup

meninggalkan rumah dan menjadi orang dewasa yang hidup sendiri, bergabungnya

keluarga melalui pernikahan (pasangan baru), menjadi orang tua dan sebuah keluarga

dengan anak, keluarga dengan remaja, keluarga pada kehidupan usia tengah baya, dan

keluarga pada kehidupan usia lanjut. Fase-fase kehidupan ini akan dijalani baik oleh

pria maupun wanita.

Menjadi pasangan baru (new couple) merupakan fase dari siklus kehidupan

keluarga, dimana dua individu dari dua keluarga yang berbeda bersatu untuk

membentuk suatu sistem keluarga yang baru. Fase ini tidak hanya melibatkan

pembangunan satu sistem pernikahan baru, tetapi juga penyusunna kembali hubungan

dengan keluarga jauh dan teman-teman untuk melibatkan pasangan.

Relasi dalam pernikahan ditentukan oleh hubungan antara dua orang (pria dan

wanita) yang saling mempengaruhi sehingga memang agak sulit untuk menilai

apakah suatu hubungan suatu pernikahan dapat dikatakan benar-benar sukses atau

gagal. Kesuksesan pernikahan ditandai bukan hanya oleh beberapa erat hubungan

tersebut terjalin dan intensitas perasaan yang dialami dua orang yang menjalin relasi

pernikahan. Bukan juga ditentukan oleh siapa diantara kedua pasangan pernikahan

(2)

mana pasangan merasakan kepuasan hubungan pernikahan pada sebagian besar waktu

yang dilalui dalam ikatan pernikahan. Apakah kedua pasangan merasa yakin dan

percaya bahwa kebutuhan fisik, emosional, dan psikologis terpenuhi dalam

kebersamaannya dengan pasangannya (Nazwan, 2005).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh banyak pakar pernikahan menghasilkan

data empirik yang membuktikan adanya hubungan yang erat antara hancurnya

pernikahan dengan hancurnya sistem keluarga. Banyak pula penelitian yang

memberikan data empirik mengenai korelasi yang positif antara kondisi marital

discoord, marital distress, suatu kondisi dan iklim pernikahan beberapa waktu sampai jatuhnya keputusan bercerai (Sadarjoen, 2005).

Suka duka dalam hidup pernikahan merupakan konsekuensi yang tidak dapat

dihindari. Berkaitan dengan hal tersebut, Hammarskjold (dalam Sadarjoen, 2005)

mengungkapkan bahwa setiap pernikahan tidak akan terhindar dari konflik. Dua

orang yang tinggal dalam satu atap tidak mungkin hidup tanpa konflik, kecuali bila

salah satu pasangan atau bahkan kedua pasangan memutuskan untuk mengalah

daripada berkonfrontasi. Namun, walaupun salah satu pasangan memutuskan untuk

mengalah, bukan berarti konflik tidak terjadi, karena sekalipun kejengkelan tidak

diungkap secara konfrontatif, konflik akan tetap muncul dalam hati yang paling

dalam dan mendasari iklim relasi yang selanjutnya tercipta dengan pasangannya.

Hal senada diungkapkan oleh Colleman (dalam Nazwan, 2005) bahwa dalam

membina rumah tangga konflik pasti ada. Sering kita berusaha menghindar dari

(3)

 

telah memulai suatu pertengkaran atau pergi keluar rumah agar pertengkaran tidak

bertambah berat. Setiap orang pasti tidak suka bila timbul konflik. Tapi menghindari

konflik merupakan sesuatu yang riskan apalagi bila didasari perasaan takut atau

perasaan kalah dan pemikiran “buat apa”. Konflik yang terus dipendam suatu saat

akan memuncak dan menyebabkan suatu pertengkaran yang hebat. Perasaan kecewa,

frustasi, dan sterss yang dipendam akan menyebabkan timbulnya penyakit seperti

maag, ketegangan otot, denyut jantung meningkat. Jadi bila timbul konflik, jangan

takut untuk mengadapi.

Konflik-konflik yang muncul pada bulan pertama pernikahan dapat ditelusuri

dari harapan-harapan kedua pasangan tentang apa pernikahan dan apa yang

seharusnya tidak terjadi pada pernikahan tersebut. Pada umumnya, pasangan

pernikahan tidak mengungkapkan harapan-harapannya secara terbuka untuk

mengidealkan set harapan-harapannya tentang pernikahan. Akibatnya, harapan kedua

pasangan mungkin tidak akan terpenuhi sehingga akhirnya membuat mereka

mengalami gangguan ilusi tentang status pernikahannya. Kadang-kadang, pasangan

mencoba menyesuaikan harapan mereka pada saat berada dalam periode berpacaran.

Sering kali setiap pasangan akan menunjukkan hal terbaik demi upaya menarik hati

pasangannya sebelum pernikahan terjadi dan hal tersebut mustahil untuk dapat

dipertahankan secara permanen. Begitu mereka menikah, mereka merasa relaks dan

yakin bahwa perilaku baik yang biasa dimunculkan pada periode berpacaran sudah

tidak perlu dilakukan lagi dan tidak tepat dilakukan secara kontiniu (Sadarjoen,

(4)

Menurut Zega (dalam Nazwan, 2005) konflik adalah realita kehidupan. Kapan

saja dan dimana saja konflik selalu terjadi, baik dalam ruang lingkup yang besar

maupun yang kecil. Bahkan, konflik dapat terjadi tanpa mengenal lama atau barunya

usia pernikahan tersebut. Konflik seringkali terjadi karena ketidaksiapan seseorang

untuk menerima perbedaan. Dan tidak jarang konflik dalam keluarga diakibatkan oleh

hal-hal yang sepele. Misalnya, sebelum menikah suami terbiasa tidur dengan lampu

yang dimatikan. Sementara istri terbiasa tidur dengan lampu yang menyala.

Perbedaan terjadi disini, tarik menarik kepentingan pribadi pun terjadi. Seringkali

lampu dinyalakan oleh istri akibatnya suami menjadi korban dan tidak bisa tidur.

Ketika hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, lebih baik dibicarakan bersama sekaligus

mencari solusi yang terbaik terhadap perbedaan yang muncul. Padahal, perbedaan

seharusnya dijadikan suatu kekuatan untuk lebih mendekatkan diri dengan pasangan

masing-masing.

Beberapa ahli pernikahan dan keluarga percaya bahwa pernikahan

mencerminkn fenomena yang berbeda-beda bagi pria dan wanita yang membuat kita

perlu untuk memisahkan pembahasan saat membicarakan pernikahan pada pria dan

pernikahan pada wanita. Peran perempuan yang berubah, serta meningkatnya jarak

antar tempat tinggala anggota keluarga, menambah beban berat pada pasangan untuk

mendefenisikan hubungan pernikahan bagi diri mereka sendiri dibandingkan dengan

yang terjadi di masa lampau.

Lahey (2004) menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi

(5)

 

masalah, wanita rata-rata rentan menghadapi stres dibandingkan pria. Kiecolt-Glaser

dan Newton (dalam Lahey 2004) menyatakan bahwa pria sangat tergantung pada istri

untuk memperoleh dukungan sosial dalam menghadapi stres.

Pengalaman dan implikasi dari pernikahan berbeda bagi istri dan suami. Hal

ini umumnya tepat dalam ekspresi keintiman dan dalam pekerjaan rumah tangga.

Penelitian Brown & Gary (dalam Santrock, 1998) mengemukakan bahwa hanya

sepertiga wanita yang sudah menikah menyatakan bahwa mereka akan terlebih dulu

mencari suami mereka untuk memperoleh dukungan jika mendapatkn masalah yang

serius, seperti mengalami stres, depresi atau kecemasan. Selanjutnya, hanya sepertiga

dari wanita tersebut yang menyebut suami mereka sebagai salah satu dari tiga orang

terdekat mereka. Lebih banyak pria daripada wanita yang memandang pasangannya

sebagai teman terbaik.

Wanita secara konsisten lebih terbuka pada pasangan mereka daripada pria,

dan cenderung mengekspresikan kelembutan, ketakutan dan kesedihan daripada

pasangan mereka. Bagi sebagian besar pria, mengendalikan kemarahan merupakan

orientasi emosional yang umum (Cancian & Gordon dalam Sadarjoen, 2005).

Keluhan umum yang disampaikan wanita dalam suatu pernikahan yakni suami

mereka tidak perduli pada kehidupan emosional mereka dan tidak mengekspresikan

perasaan dan pikiran mereka sendiri (Rubin, dalam Sadarjoen, 2005). Wanita sering

mengeluh bahwa mereka harus membuat pasangannya mengatakan apa yang

dirasakannya dan mendorong mereka untuk terbuka. Pria seringkali menganggap

(6)

pasangannya.

Pria sering protes bahwa sebanyak apapun mereka berbicara, hal tersebut

tidak cukup bagi pasangannya. Wanita juga menyatakan bahwa mereka

menginginkan kehangatan yang lebih banyak seperti halnya juga keterbukaan dari

suami mereka. Sebagai contoh, wanita lebih sering memberikan ciuman atau pelukan

spontan kepada pasangannya jika sesuatu yang positif terjadi, sebaliknya pria jarang

melakukannya (Blumstein & Schwartz dalam Sadarjoen, 2005). Secara umum wanita

lebih ekspresif dan lebih berperasaan daripada pria dalam pernikahan, dan perbedaan

ini sangat mengganggu banyak wanita.

Ada juga perbedaan gender dalam pekerjaan rumah tangga. Wanita biasanya

lebih banyak melakukan pekerjaan rumah tangga daripada pria. Sebagian besar

wanita dan pria setuju bahwa wanita seharusnya bertanggung jawab atas pekerjaan

rumah tangga dan pria seharusnya membantu. Sebagian besar wanita merasa tidak

puas dengan sedikitnya jumlah pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh

pasangannya. Sebagian besar wanita melakukan pekerjaan rumah tangga dua atau tiga

kali lipat dari yang dilakukan oleh pasangannya. Penelitian yang dilakukan oleh Berk

(dalam Santrock, 1998), hanya 10 % suami yang melakukan pekerjaan rumah tangga

sebanyak pasangannya. Pria “khusus” tersebut biasanya berada dalam lingkungan

keluarga yang memiliki banyak anak-anak kecil dengan pasangan yang bekerja penuh

waktu.

Hakikat keterlibatan wanita dalam pekerjaan rumah tangga seringkali berbeda

(7)

 

bagaimana mereka menghayati pekerjaan tersebut berbeda dengan pria. Pekerjaan

rumah tangga yang sebagian besar dilakukan oleh wanita tidak pernah berakhir,

berulang, dan rutin, biasanya mencakup membersihkan rumah, memasak, mengawasi

anak, berbelanja dan mencuci pakaian. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh

pria adalah pekerjaan yang tidak rutin, tidak teratur, seringkali mencakup

memperbaiki rumah, membuang sampah, menyiangi rumput, dan berkebun. Wanita

seringkali melaporkan bahwa mereka harus melakukan beberapa pekerjaan sekaligus,

yang mungkin menjelaskan mengapa mereka menganggap pekerjaan rumah tangga

tersebut kurang membuat santai dan lebih menekan dibanding yang dilakukan oleh

pria.

Walaupun demikian, pekerjaan rumah tangga bagi wanita sering membuat

cemas, lelah, merasa hina, terisolasi, tidak pernah selesai dan tidak dapat dihindari.

Maka tidak heran jika banyak wanita yang berperasaan campur aduk terhadap

pekerjaan rumah tangga yang dapat menyebabkan stres. Bagi pria, pekerjaan rumah

tangga itu adalah pekerjaan yang membosankan dan memuakkan.

Menurut Dr. Ismed Yusuf (dalam Nazwan, 2005) urusan keluarga merupakan

sumber stres terbesar (70%) dibandingkan dengan faktor lain seperti pekerjaan (20%)

dan lingkungan sosial (10%). Holmes dan Rahe (dalam Duffy & Wong, 2003)

menyatakan bahwa pengalaman hidup yang positif seperti pernikahan menjadi

sumber stres terbesar.

Meskipun pernikahan telah melewati berbagai tahap persiapan matang, tetap

(8)

pasangan yang baru menikah kerap kali menimbulkan stres. Sebagai contoh,

perubahan peran dari kedua pasangan. Sebelum menikah, keduanya hidup sebagai

individu yang bebas dan lebih mementingkan diri sendiri, namun stelah menikah

peran mereka berubah menjadi suami istri yang harus saling berbagi dan terikat oleh

tali pernikahan (Sadarjoen, 2005).

Stres sendiri merupakan suatu fenimena yang tidak dapat dielakkan dari

kehidupan seseorang, baik yang masih muda maupun yang tua pasti pernah

mengalami stres, dimana saja, dalam setiap situasi dan itu merupakan hal yang wajar.

Morgan (1986) mengatakan, negara barat dalam mengatasi masalah stres, misalnya

Amerika sampai mengeluarkan biaya dalam jumlah besar untuk mengatasi penyakit

yang berhubungan dengan stres.

Stres memiliki banyak pengertian, Lazarus (1996) mengatakan bahwa defenisi

stres dilihat dari tingkat internal yang disebabkan oleh pengaruh fisik terhadap tubuh

(kondisi penyakit, aktivitas, dan suhu tubuh) dan melalui tingkat eksternal disebabkan

oleh faktor lingkungan dan situasi sosial. Hal- hal yang dapat menyebabkan

seseorang mengalami stres disebut sebagai stressor.

Selye (dalam Rice, 1987) mengemukakan bahwa stres adalah respon tubuh

yang tidak spesifik terhadap suatu tuntutan yang sedang dihadapi. Stres bukan

ketegangan saraf, melainkan ketegangan tubuh. Stres menerangkan efek-efek dari

reaksi tubuh terhadap tekanan. Penyebab stres, yang disebut stressor, bisa saja

semata-mata bersifat jasmani, sosial atau kejiwaan. Pikiran yang menafsirkannya

(9)

 

Stres tidak harus dihindari, karena stres tersebut perlu juga dalam kehidupan

seseorang. Supaya manusia dapat bertahan di dalam lingkungannya, maka ia harus

tetap menyesuaikan diri terhadap tuntutan yang dihadapinya. Dia harus melawan apa

saja yang mengancam keadaannya. Dia mungkin bisa tenang dan tidur lelap, namun

dia tetap berada dibawah suatu tekanan. Jantung seseorang harus terus berdetak dan

memompakan darah, pencernaannya harus mencerna makanan yang dikonsumsinya

terakhir kali, dan otot-ototnya harus bekerja untuk menggerakkan dada saat bernafas.

Otaknya terus berfungsi meskipun ketika seseorang sedang bermimpi. Hanya orang

yang sudah mati yang benar-benar terbebas dari stres (Rice, 1992).

Individu akan memberikan reaksi yang berbeda untuk mengatasi stres.

Dewasa ini proses terhadap stres menjadi pedoman untuk bereaksi terhadap stres

tersebut. Secara umum, stres dapat diatasi dengan melakukan transaksi dengan

lingkungan, dimana hubungan transaksi tersebut merupakan proses dimana seseorang

berusaha untuk menangani atau mengatasi situasi stres yang menekan dengan cara

melakukan perubahan kognitif maupun perilaku. Hal tersebut berfungsi untuk

memperoleh rasa aman dalam diri individu (Lazarus, 1996).

Kantor (dalam Sadarjoen, 2005) yakin bahwa setiap relasi memiliki pola aksi

dan reaksi perilaku yang menjadi mekanisme pengarah untuk relasinya sendiri. Ia

juga menggambarkan bahwa hal ini sama dengan strategi yang berkembang secara

spesifik bagi setiap pernikahan dan setiap sistem keluarga. Strategi tersebut

sebenarnya penting dibentuk untuk mengambil keputusan, mengatasi masalah, dan

(10)

bersama (Kantor, dalam Sadarjoen, 2005).

Berangkat dari uraian di atas, peneliti ingin melakukan sebuah penelitian

untuk mengetahui perbedaan coping stress (upaya mengatasi stres) pada pria dan

wanita dalam pernikahan berdasarkan aspek-aspek coping stress yang dikemukakan

oleh Jerabek (1998). Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif.

I.B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan coping

stress (upaya mengatasi stres) pada pria dan wanit dalam pernikahan.

I.C. Manfaat Penelitian I.C.1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

pengembangan kajian ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan

karena menyangkut permasalahan dalam masa dewasa saat memasuki fase kehidupan

baru (pernikahan).

I.C.2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi tambahan bagi penelitian-penelitian

sejenis dalam bidang Psikologi Perkembangan.

b. Penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi bagi pasangan yang beru menikah

(11)

  I.D. Sistematika Penulisan

Proposal skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab dan masing-masing bab dibagi

atas beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan dari proposal skripsi ini adalah :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika penulisan. Uraian latar belakang adalah mengenai

coping stress pada pasangan baru dalam menghadapi pernikahan. Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi

objek penelitian, meliputi landasan teori dari jenis kelamin (pria dan wanita),

pasangan baru (pernikahan), coping stress, hubungan antara coping stress

pasangan baru dalam menghadapi pernikahan dan hipotesis penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini akan menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, defenisi

operasional penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan data, prosedur

penelitian, dan metode analisis data untuk pengujian hipotesis yang digunakan

peneliti dalam penelitian.

Bab IV : Hasil dan Interpretasi Data

Dalam bab ini akan dipaparkan hasil-hasil yang diperoleh, meliputi gambaran

subjek penelitian, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

(12)
(13)

PERBEDAAN COPING STRESS PADA PRIA DAN WANITA DALAM PERNIKAHAN

Sripsi

Guna Memenuhi Syarat Skripsi Perkembangan

D I S U S U N OLEH

Grace Marbun

011301027

(14)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya yang dilimpahkan pada saya sehingga saya

akhirnya dapat menyelesaikan skripsi saya ini tepat pada waktunya. Saya menyadari

bahwa skripsi ini bias selesai bukan karena kerja keras saya sendiri tetapi karena bantuan

banyak pihak yang sangat suportif kepada saya dalam pengerjaan skripsi ini.

Rasa terima kasih terdalam saya ucapkan kepada Bram Jaya Nailendra yang

selama tiga tahun ini telah menjadi suami yang baik, abang dan juga sahabat yang mau

mendengarkan segala keluh kesah saya (Makasih ya, mas...udah sabar ngadapin dhe’.

Dhe sayang sama mas).

Ucapan terima kasih juga hendak saya sampaikan kepada berbagai pihak yang

telah mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini baik berupa doa, saran dan juga

kritik yang telah diberikan. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan rasa terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp.A(K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Lily Garliah, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi saya yang telah banyak

meluangkan waktu serta memberi dukungan moril, membimbing saya dengan penuh

kesabaran dan memberikan berbagai masukan dan bahan pertimbangan pada saya

(15)

3. (Alm) Drs. Yoewono, selaku Dosen Pembimbing Akademik saya yang terdahulu.

Terima kasih ya, pak atas kesabaran Bapak menghadapi saya selama ini. Saya minta

maaf karena terlambat menyelesaikan studi saya, pak.

4. Ibu Desvi Yanti Muchtar, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik saya sekarang.

Terima kasih atas dukungan ibu dan jua mau menerima saya sebagai mahasiswa

bimbingan ibu.

5. Bapak Eka D.J. Ginting, S.Psi, Psikolog. Terima kasih ya, pak atas dukungan bapak

selama masa studi saya. Thank you for being someone that I can depend on.

6. Seluruh staff pengajar beserta pegawai di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara yang berperan dalam perkuliahan saya selama ini. Khususnya buat Pak Aswan

(Terima kasih ya, pak udah mau perhatiin saya. Selama ini Bapak yang selalu

memotivasi kami. Jaga kesehatan ya, pak!), Kak’ Ari dan Kak’ Devi. Makasih ya atas

kesabarannya menghadapi saya yang selalu ngerepotin kalian.

7. Kedua orang tuaku, dr. T.H. Marbun, Sp.AnK dan ibu Readyana Tampubolon. Tidak

ada yang bisa menandingi kesabaran papa dan mama selama ini ke aku dan juga doa

kalian yang tiada hentinya untuk ku dan suamiku. Papa, terima kasih karena selama

23 tahun ini mau menjadi ayah yang mau menerimaku apa adanya dengan segala

kekurangan diriku. Dan juga terima kasih karena papa sudah mau menjadi tempat

bersandarku setiap waktu. Buat Mama, terima kasih juga atas kesabaran Mama

selama ini ke aku. Mungkin banyak perbedaan diantara Mama dan aku, tapi aku

yakin, Mama sangat sayang ke aku. Terima kasih ya, ma sudah menjadi ibu yang baik

(16)

8. Mertuaku tersayang (Alm) Papa Henrycus Soeparman dan Mama Naniek yang di

Malang. Pa, De’ Grace akhirnya udah jadi sarjana, tapi sayang papa udah pergi ke

surga. Maafin De’ Grace karena telat mempersembahkan titel sarjana ini ke papa.

Matur nuhun buat mama atas kesabarannya menghadapi mantu seperti De’ Grace ini. Semoga Mama diberikan kesehatan yang hanya datang dari Tuhan Yesus.

9. Amang dr. Gerhard Panjaitan, Sp.BOnk dan Ibu drg. Sri Rambung tersayang, selaku

mertua angkatku. Terima kasih atas doa dan support yang Amang dan Ibu berikan

kepada Grace agar Grace bisa menjadi seorang sarjana.

10.Buat abangku P. Mathin Luther Marbun (Bang, aku akhirnya lulus. Terima kasih atas

motivasi yang telah abang berikan ke aku. Semoga Tuhan menyertai abang di

Belanda) dan Adolf Bastian (Thanks yo laptopnya....), serta edaku Desy Lenny

Sianipar juga keponakan-keponakan ku yang lucu, Baz dan Raff, terima kasih atas

dukungan kalian semua baik moril maupun materil. Juga aku berterima kasih buat

kritikan pedas kalian sehingga aku semangat lagi untuk menyelesaikan skripsiku.

Buat Baz dan Raff, makasih karena sudah bolehin Bou ngerjain homework Bou di

rumah kalian.

11. Mba’ Tanya, Mas Liga, Mas Doy, Mba’ Yaya, dan De’ Bill yang ada di Malang.

Terima kasih atas dukungan kalian semua. Walaupun kita jauh, tapi doa dan motivasi

yang kalian berikan sangat berguna bagiku.

12.Untuk Ma’Tua dan Pa’Tua Lolo. Terima kasih banyak karena dari aku kecil kalian

lah yang menjadi pengganti Papa dan Mama saat mereka tidak bisa hadir untukku.

(17)

mengerti seluk beluk kehidupanku selain Papa dan Mama. Terima kasih juga karena

selama ini tidak pernah lupa untuk menelefonku untuk sekedar menanyakan, “Udah

gimana skripsimu, nang?”, itu sangat menyemangatiku dalam mengerjakan skripsi

ini. Semoga Ma’Tua dan Pa’Tua selalu dalam perlindungan Tuhan Yesus, terutama

buat Pa’Tua, semoga Tuhan Yesus memberikan kesembuhan bagi Pa’Tua. Aminn...

13.Buat Ma’tua Eti (Bu dosen yang ditakuti se-Unimed) dan Tante Elly, makasih ya atas

dukungan dan doa kalian selama ini. Kalian memang tante dan sekaligus tetangga

yang baik. Semoga Tuhan memberkati kalian.

14.Buat sepupuku tersayang, Riynn Marety S.Pd. Duuhhh....yang udah tamat duluan dari

aku. Makasih ya, tok atas segala dukunganmu ke aku. Selama ini kita yang paling

akrab, semoga sampai kita tua kita tetap akrab ya. Semoga Tuhan memberikan

pekerjaan dan juga jodoh yang baik untukmu. (Cepat lah kau kawini si Ling-Ling itu,

apalagi yang kau tunggu?!???!?).

15.Keluarga Besar (Alm) Op. S Tampubolon dan (Alm) Op. Rosina br. Hutagaol (

Sriwijaya 84) yang ada di Medan, Jakarta, Bandung dan dimanapun kalian berada.

You’re the best family that i’ve ever had. Terutama buat Bang Ges dan Kak’ Wid makasih ya udah mau nemeni aku nyari buku di kampus orang. Semoga Tuhan

memberikan jodoh yang baik buat kalian.

16.Teman-temanku di Psikologi USU angkatan 2001 yang udah pada tamat duluan.

Terima kasih ya, guys. Terutama buat happy famz (Mami Chika, Mami Joys, Papi

(18)

17.Yunita Pardede, S.Psi, makasih ya, yu udah ngedorong aku untuk ngerjain skripsiku.

Semoga Tuhan memberikan pekerjaan dan jodoh buat Yunita. (Btw, kapan kita

masak-masak lagi??)

Tak ada gading yang tak retak. Tentunya skripsi ini memiliki banyak kelemahan

dan kekurangan. Karena itu saya sangat terbuka untuk kritik maupun saran dari para

pembaca demi kesempurnaan hasil penelitian ini.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para

pembacanya.

Medan, Februari 2008

(19)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……. ………. i

Daftar isi ……. ………... vi

BAB I. PENDAHULUAN ………... 1

I.A. Latar Belakang Masalah ………...…. 1

I.B. Tujuan Penelitian... 10

I.C. Manfaat Penelitian... 10

I.D. Sistematika Penulisan... 10

BAB II. LANDASAN TEORI ... 13

II.A. Jenis Kelamin ... 13

II.A.1. Pengertian Jenis Kelamin ... 13

II.B. Pasangan Baru (New Couple) ...….. 13

II.B.1. Pengertian Pasangan Baru ... ... 13

II.C. Pernikahan ... 15

II.C.1. Pengertian Pernikahan ... 15

II.C.2. Jenis-Jenis Pernikahan ... 15

II.C.3. Tahapan Pernikahan ... 16

II.D. Coping Stress (Upaya Mengatasi Stres) ... 16

II.D.1. Pengertian Stres ... 16

II.D.2. Faktor-Faktor Penyebab Stres... 17

II.D.3. Jenis-Jenis Stress ... 19

II.D.4. Pengertian Coping Stress ... 19

(20)

II.D.6. Strategi Coping Stress ... 21

II.D.7. Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress... 24

II.D.8. Aspek-Aspek Coping Stress ... 25

II.E. Dinamika Coping Stress dalam Pernikahan ... 32

II.F. Hipotesis ...….. 33

BAB III. METODE PENELITIAN ... 34

III.A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 34

III.B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 34

III.B.1. Jenis Kelamin ... 34

III.B.2. Coping Stress (Upaya Menghadapi Stres) ... 35

III.C. Metode Pengambilan Data ... 37

III.C.1.Populasi dan Sampel ... 37

III.C.2. Metode Pengambilan Sampel... 37

III.D. Instrumen atau Alat Ukur ... 37

III.E. Uji Coba Alat Ukur ... 41

III.E.1. Validitas ... 42

III.E.2. Reliabilitas ... 42

III.F. Prosedur Penelitian ... 43

III.G. Metode Analisa Data ... 45

BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 48

IV.A. Subjek I ... 48

(21)

IV.A.3. Data Wawancara Subjek I ... 51

IV.A.4. Interpretasi Subjek I ... 61

IV.B. Subjek II ... 64

IV.B.1. Deskripsi Data Subjek II... 64

IV.B.2. Data Observasi Subjek II... 65

IV.B.3. Data Wawancara Subjek II ... 66

IV.B.4. Interpretasi Subjek II ... 74

IV.C. Subjek III ... 76

IV.C.1. Deskripsi Data Subjek III ... 76

IV.C.2. Data Observasi Subjek III ... 77

IV.C.3. Data Wawancara Subjek III ... 78

IV.C.4. Interpretasi Subjek III ... 86

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI dan SARAN ... 89

V.A. Kesimpulan ... 89

V.B. Diskusi ... 91

V.C. Saran ... 93

V.C.1. Saran Praktis ... 93

V.C.2. Saran Penelitian Lanjutan ... 93

(22)

DAFTAR TABEL/ GAMBAR

Dinamika Coping Stress dalam Keluarga... 13

Latar Belakang Subjek . ... 48

Gambaran Umum Subjek I ... 50

Waktu Wawancara Subjek I ... 51

Gambaran Umum Subjek II ... 66

Waktu Wawancara Subjek II ... 66

Gambaran Umum Subjek III ... 77

(23)

  BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Jenis Kelamin

II.A.1. Pengertian Jenis Kelamin

Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara

perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan

dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma,

sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk

menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan

perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan

laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi.

II.B. Pasangan Baru

II.B.1. Pengertian Pasangan Baru (New Couple)

Menurut Brehm (1992) menjadi pasangan baru (new couple) merupakan fase

dari siklus kehidupan keluarga, dimana dua ndividu dari dua keluarga yang berbeda

bersatu untuk memberntuk satu sistem keluarga yang baru. Fase ini tidak hanya

melibatkan pembangaunan satu sistem pernikahan baru, tetapi juga penyusunan

kembali hubungan dengan keluarga jauh dan teman-teman untuk melibatkan

pasangan. Peran perempuan yang berubah, dan meningkatnya jumlah pernikahan

pasangan dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, serta meningkatnya jarak

antara tempat tinggal anggota keluarga, menambah beban berat pada pasangan untuk

(24)

yang terjadi di masa lampau.

Brehm (1992) menyatakan bahwa individu yang disebut sebagai pasangan

baru merupakan pasangan menikah yang usia pernikahannya tidak lebih dari tiga

tahun.

II.C. Pernikahan

II.C.1. Pengertian Pernikahan

Brehm (1992) mendefenisikan pernikahan sebagai ekspresi akhir seorang

individu dari suatu hubungan yang mendalam : dimana dua individu bersumpah di

depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang

hidupnya. Pernikahan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) adalah suatu

proses pembentukan keluarga dengan lawan jenis. Hurlock (1980) menyebutkan

pernikahan adalah proses penyesuaian diri antara suami istri dalam kesamaan dan

keintiman.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

pernikahan adalah ekspresi akhir seorang individu untuk menetapkan hubungan

sepanjang hidupnya dan berkeluarga dengan lawan jenisnya serta menyesuaikan diri

dalam kesamaan dan keintiman.

II.C.2. Jenis-jenis Pernikahan

II.C.2.a. Berdasarkan pengalaman menikah individu

Brehm (1992) membedakan pernikahan berdasarkan pengalaman menikah

(25)

  1. First Marriage

First Marriage adalah pernikahan pertama individu, dimana individu baru pertama kali mengikat hubungan dengan seseorang secara sah dalam suatu

pernikahan.

2. Remarriage

Remarriage adalah pernikahan individu dimana individu pernah menikah tetapi kemudian menikah kembali dengan alas an karena individu telah bercerai

ataupun karena pasangan hidup telah meninggal.

II.C.2.b. Berdasarkan usia pernikahan

Brehm (1992) menggolongkan pernikahan berdarakan usia pernikahan

menjadi :

1. Newlywedding

Newlywedding adalah suatu hubungan pernikahan yang baru berusia kurang dari atau sama dengan tiga tahun.

2. Marriage

Marriage adalah suatu hubungan pernikahan yang telah berusia lebih dari tiga tahun.

II.C.3. Tahapan PErnikahan (Marital Stage)

Tahapan pernikahan analog dengan tahapan-tahapan perkembangan jiwa yang

dialami setiap individu (Gould dalam Sadarjoen, 2005). Apabila dua orang menjalin

pernikahan pada fase dewasa, maka hal ini akan mempengaruhi setiap pasangan

(26)

Fieldman (dalam Sadarjoen, 2005) mengungkapkan terminology marital life cycle.

Terminology tersebut dinyatakan tidak sama jalannya dengan perubahan siklus

kehidupan manusia, namun lebih mempertimbangkan kejadian-kejadian sebagai

pelajaran hidup. Marital life cycle mengungkapkan bahwa tahap-tahap perkawinan

muncul karena adanya tiga area kehidupan pasangan yang terpisah, namun saling

tumpang tindih. Ketiga area kehidupan yang dimaksud adalah :

a. Perubahan-perubahan dalam peran parental

Perubahan-perubahan dalam peran orang tua pada siklus kehidupan adalah sebagai

berikut : kelahiran anak pertama, masa remaja anak-anak, dan keluarnya anak

bungsu dari rumah karena sudah dewasa.

Kelahiran anak pertama memberikan dampak yang paling besar karena anak

memaksa pasangan untuk menambah peran sebagai ibu dan ayah, padahal

sebelumnya mereka hanya beridentitas sebagai pasangan suami istri. Pasangan

sering sekali merasa waktu yang diluangkan bersama pasangan sangat sedikit

(Campbell dalam Sadarjoen, 2005).

Selama periode remaja, peran orang tua mungkin bergeser menjadi rasa

ketidaknyamanan akan pola asuh yang telah mereka terapkan, dan sering kali

merasa moral keluarga telah jatuh. Sementara itu, akan tiba waktunya kedua

pasangan mengalami kejadian final, yaitu saat anak bungsu keluar dari rumah dan

dirasakan sebagai sinyal “empty nest” yang merupakan pertanda akhir dari

aktivitas parental (Menaghan, dalam Sadarjoen, 2005).

(27)

  b. Perubahan-perubahan dalam status ekonomi

Perbahan-perubahan dalam status ekonomi sering terkait dengan pendidikan

pasangan, pekerjaan pasangan dan jumlah serta jarak kelahiran anak-anaknya. Dua

tahap dalam marital life cycle yang sangt rentan terhadap stress ekonomi terjadi

pada awal pernikahan dan saat pension tiba. Perolehan penghasilan keluarga yang

rendah pada setiap periode siklus pernikahan dapat memberikan efek kehancuran

dalam kualitas kehidupan pasangan.

c. Perubahan dalam peran yang dimainkan diluar kehidupan keluarga

Perubahan-perubahan dalam peran yang dimainkan diluar kehidupan keluarga juga

sangat bervariasi sama halnya dengan marital life cycle. Kembalinya istri dalam

setting kerja setelah tinggal di rumah demi mengasuh anak-anak beberapa tahun

sebelumnya akan memberikan berbagai macam perubahan permainan peran dalam

rumah tangga yang dapat menjadi sumber stress bagi kelangsungan kehidupan

pernikahan (Ryne, dalam Sadarjoen, 2005).

II.D. Coping Stress (Cara Menghadapi Stres)

Stres dapat dipersespsikan berbeda-beda oleh masing-masing orang. Secara

garis besar, stress merupakan keadaan maupun kondisi yang muncul ketika seseorang

dihadapkan pada suatu kejadian yang dirasa mengancam kondisi fisiologis maupun

psikologis seseorang.

II.D.1. Pengertian Stres

Baron dan Byrne (1997) menyatakan bahwa stres merupakan respon terhadap

(28)

menimbulkan bahaya atau tekanan emosional.

Selye (dalam Munandar, 2001) menyatakan bahwa stres adalah tanggapan

menyeluruh dari tubuh terhadap setiap tuntutan yang dating atasnya. Jadi stres

bersifat subyektif tergantung bagaimana orang tersebut memandang kondisi penyebab

stress (stressor).

Dalam buku Stress and Health, Rice (1992) mendefenisikan stress dengan tiga pengertian yang berbeda, yaitu :

a. Stres mengarah pada tiap kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan

seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini, stres berasal dari

eksternal seorang individu. Kondisi yang dapat menimbulkan stres disebut

stressor. Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang memaksa tubuh dan menyebabkan timbulnya “physiological reaction” adalah stressor.

b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian

internal dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri,

interpretasi dan proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.

c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun menghilangkan

gangguan.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan

setiap tekanan atau ketegangan yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik

dan psikologis seseorang.

II.D.2. Faktor-faktor Penyebab Stres

(29)

 

menyebabkan timbulnya ”physiological reaction” disebut dengan stressor.Stressor

dapat berupa stimulus yang berasal dari lingkungan fisik dan situasi social. Rice

(1992) dalam bukunya yang berjudul Stress and Health, mengemukakan tentang

hal-hal yang dapat menjasi sumber stres pada setiap orang.

Secara umum stressor dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: a. Internal

Yaitu, stressor yang berasal dari dalam diri individu sendiri. Ada beberapa hal

yang merupakan stressor internal, antara lain:

i. Kepribadian

Seseorang dengan Tipe A memiliki cirri-ciri sebagai berikut : agresif,

ambisius, senang bersaing, senang menyelesaikan pekerjaan dan kebiasaan

berlomba dengan waktu. Pada waktu-waktu tertentu, mereka mampu

menunjukkan kemampuan dan keefisienan mereka. Namun, bila dihadapkan

dalam kondisi stressful, mereka tidak mampu lagi untuk mengendalikan diri

dan kebingungan. Seseorang dengan Tipe B memiliki cirri-ciri yang

berlawanan dengan Tipe A, yaitu : easygoing, tidak suka berkompetisi dan

tenang.

ii. Kognitif

Kognitif juga dapat menjelaskan bagaimana jalannya seseorang dapat

mengalami stres. Stres secara khusus dapat mempengaruhi individu secara

(30)

b. Eksternal

Yaitu, stressor yang berasal dari luar diri individu. Beberapa stressor

eksternal, antara lain:

i. Faktor rumah tangga (stress in the family)

Stres dalam keluarga didefenisikan sebagai tekanan yang dapat merusak atau

mengubah sistem dalam keluarga. Pengaruh stres ini terhadap keluarga yaitu

mengurangi keharmonisan dan merupakan sumber dari berbagai masalah.

ii. Faktor lingkungan (environmental stress)

Lingkungan adalah tempat yang mengarah pada hal di sekeliling kita, ruang

fisik yang dapat dirasakan dan tempat kita berperilaku. Byrne dan Clare (dalam

Rice, 1992) mengemukakan pengertian stres lingkungan sebagai suatu kondisi

sikap seseorang terhadap aspek-aspek tertentu dari lingkungan.

iii. Faktor sosial (social source of stress)

Perubahan sosial dapat dilihat dari perubahan gaya hidup (life-style changes),

nilai-nilai dan tradisi-tradisi lama yang telah bergeser. Perubahan-perubahan

yang terjadi meliputi aborsi, kebebasan homoseksual, pernikahan yang

kemudian membuat keluarga, masyarakat dan pemerintahan terpengaruh untuk

mengikuti perubahan-perubahan tersebut.

II.D.3. Jenis-Jenis Stres

Selye (dalam Munandar, 2001) membedakan stres menjadi 2 (dua), yaitu:

a. Distress

(31)

 

Sebagai contoh: pertengkaran, kematian pasangan hidup, dan lain-lain.

b. Eustress

Merupakan jenis stres yang diakibatkan oleh hal-hal yang menyenangkan. Sebagai

contoh: perubahan peran setelah menikah, kelahiran anak pertama, dan lain-lain.

II.D.4. Pengertian Coping Stress

Taylor (dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa coping stress adalah suatu

proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara

tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan-tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan-tuntutan yang berasal

dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam

menghadapi situasi stressful.

Menurut Lazarus (1996) coping stress adalah upaya kognitif dan tingkah laku

untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal yang khusus dan konflik diantaranya

yang dinilai individu sebagai beban dan melampaui batas kemampuan individu

tersebut.

Individu akan memberikan reaksi yang berbeda untuk mengatasi stres.

Dewasa ini proses terhadap stres menjadi pedoman untuk membangun coping stress.

Secara umum stres dapat diatasi dengan melakukan transaksi dengan lingkungan

dimana hubungan transaksi ini merupakan suatu proses dimana individu berusaha

untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan dengan melakukan

perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.

(32)

sendiri, tuntutan. Coping bukan merupakan suatu tindakan yang dilakukan individu

tetapi merupakan kumpulan respon yang terjadi setiap waktu, yang dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan dan individu tersebut (Yanny, dkk, 2004). Reaksi emosional,

termasuk kemarahan dan depresi, dapat dianggap sebagai bagian dari proses coping

untuk menghadapi suatu tuntutan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa coping stress merupakan

suatu upaya kognitif untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi atau

meminimalisasikan suatu siatuasi atau kejadian yang penuh ancaman.

II.D.5. Fungsi Coping Stress

Secara umum menurut Folkman, dkk (dalam Smet, 1994) coping stress

mempunyai 2 (dua) macam fungsi, yaitu:

a. Emotion-focused coping

Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini

melalui perilaku individu, seperti pengguna alkohol, bagaimana mengabaikan

fakta-fakta yang tidak menyenangkan dengan strategi kognitif. Bila individu tidak

mampu mengubah kondisi yang stressful, individu akan cenderung mengatur

emosinya. Salah satu strategi ini disebutkan Freud (dalam Smet, 1994) yaitu

mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism). Strategi ini tidak mengubah

situasi stressful, namun hanya mengubah cara orang memikirkan situasi dan

melibatkan elemen penipuan diri (denial).

b. Problem-focused coping

(33)

 

dalam menghadapi masalahnya dan berusaha untuk menyelesaikannya. Untuk

mengurangi stressor, individu akan mengatasinya dengan cara mempelajari cara

atau ketrampilan baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila

dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Metode ini digunakan oleh orang

dewasa.

II.D.6. Strategi-Strategi Coping Stress

Menurut Arthur Stone dan Jhon Neale (dalam Benjamin, dkk, 1987) terdapat

8 (delapan) kategori strategi coping stress, yaitu :

a. Direct action (tindakan langsung)

Individu memikirkan dan mencari pemecahan permasalahannya dan kemudian

melakukan sesuatu atau bertindak untuk menyelesaikan masalah tersebut.

b. Acceptance (penerimaan)

Individu mampu menerima kenyataan bahwa keadaan stres tersebut telah

terjadi dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk menghindari masalah

tersebut.

c. Destruction (pengacauan masalah)

Individu melibatkan diri pada aktivitas lain dan memaksakan diri untuk

memecahkan masalah lain.

d. Situation redefenition (mendefenisikan ulang situasi)

Mendefenisikan situasi dengan memikirkan masalah dengan cara yang

(34)

e. Catharsis (katarsis)

Mencari pelepasan emosi sebagai alat untuk mengurangi ketegangan dari

stres.

f. Relaxation techniques (teknik relaksasi)

Merupakan cara untuk mengurangi tekanan yang dialami individu.

g. Social support (dukungan sosial)

Mencari dukungan sosial, misalnya dari teman, orang yang dicintai, psikolog

atau dari lingkungan masyarakat sekitar untuk mengurangi stres.

h. Religious strategy (strategi keagamaan)

Mencari ketenangan spiritual yang diperoleh dari teman, orang tua atau

pemuka agama. Strategi ini dapat ditempuh dengan perilaku seperti berdoa.

Berdoa diyakini dapat membuat individu mampu menghadapi berbagai situasi

yang penuh tekanan.

Menurut Taylor (dalam Smet, 1994) ada 8 (delapan) jenis strategi coping

stress, yaitu:

a. Konfrontasi, yaitu sikap agresif untuk mengubah situasi

b. Mencari dukungan sosial, yaitu suatu sikap untuk mendapatkan kenyamanan

emosional dan informasi dari orang lain.

c. Merencanakan pemecahan masalah

d. Kontrol diri, adalah sikap untuk mengatur perasaan

(35)

 

f. Penilaian kembali secara positif (possitive appraisal), yaitu suatu upaya untuk

menemukan arti yang positif dari permasalahan yang dihadapi.

g. Menerima tanggung jawab dalam masalah peran

h. Melarikan diri/ menghindar (escape/avoidance), yaitu dengan cara makan,

minum, merokok, dan memakai obat-obatan.

Strategi penanganan stres juga dapat digolongkan menjadi mendekat

(approach) atau menjauh (avoidance). Strategi mendekat (approach strategies)

meliputi usaha kognitif untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk

menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapinya secara langsung.

Strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif untuk

menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres dan usaha yang muncul dalam

tingkah laku untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres (Santrock,

1998)

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun metode coping stress yang dapat

digunakan untuk semua situasi stres. Tidak ada strategi coping stress yang paling

berhasil. Strategi coping stress yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan

jenis stres dan situasi (Smet, 1994). Keberhasilan coping stress lebih bergantung pada

penggabungan strategi coping stress yang sesuai dengan ciri-ciri masing-masing

kejadian yang mengancam, daripada mereka mencoba menemukan satu strategi

(36)

II.D.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress

Reaksi terhadap stres bervariasi antara individu yang satu dengan individu

yang lainnya, dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini

disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah dampak

stressor bagi individu.

Menurut Smet (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress adalah :

a. Variabel dalam kondisi individu; mencakup umur, tahap kehidupan, jenis

kelamin, temperamen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku,

kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.

b. Karakteristik kepribadian, mencakup introvert-extrovert, stabilitas emosi

secara umum, kepribadian “ketabahan” (hardiness), locus of control,

kekebalan, dan ketahanan.

c. Variabel sosial-kognitif, mencakup dukungan sosial yang disrasakan, jaringan

sosial, serta kontrol pribadi yang dirasakan.

d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi

dalam jaringan sosial.

e. Strategi coping stress; merupakan cara yang dilakukan individu dalam

menyelesaikan masalah dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam

situasi stres.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

(37)

 

variabel sosial-kognitif, hubungan dengan lingkungan sosial dan strategi coping

stress.

II.D.8.Aspek-Aspek Coping Stress

Coping dapat diidentifikasi melalui respon, manifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Menurut Jerabek (1998) ada 7 (tujuh) aspek

coping stress, yaitu :

1. Reactivity to stress (reaksi terhadap stres)

Bagaimana individu bereaksi terhadap stres, atau dapat dikatakan sebagai

kemampuan seseorang untuk menghadapi stres. Jerabek (1998) mengatakan bahwa

semakin rendah kemampuan seseorang menghadapi stres, maka reaksinya

terhadap stres tergolong maladaptif. Sebaliknya, semakin tinggi kemampuan

seseorang menghadapi stres, maka reaksinya terhadap stres semakin adaptif.

2. Ability to assess situation (kemampuan untuk menilai situasi)

Kemampuan untuk menilai situasi yang dimaksud yaitu bagaimana cara individu

menanggapi situasi/masalah yang mengancam dirinya. Dimana situasi tersebut

dapat terkendali jika individu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menilai

situasi, dan situasi yang menimpanya akan menimbulkan stres jika individu

memiliki kemampuan yang rendah untuk menilai situasi (Jerabek, 1998).

3. Self-reliance (kepercayaan terhadap diri sendiri)

Self-reliance merupakan kepercayaan individu terhadap dirinya untuk dapat

menghadapi/menyelesaikan situasi atau masalah yang datang kepadanya. Jerabek

(38)

menghadapi situasi yang mengancam dirinya, maka ia akan terhindar dari stres.

Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi

yang mengancam, maka ia akan mengalami stres.

4. Resourcefulness (banyaknya akal daya)

Menurut Jerabek (1998) resourcefulness merupakan daya/ kemampuan individu

untuk memikirkan jalan keluar dalam menghadapi situasi/ masalah yang

mengancamnya. Semakin tinggi kemampuan individu untuk mencari jalan keluar

bagi masalahnya, ia akan terlepas dari stres, namun semakin rendah kemampuan

individu untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan mengalami stres.

Salah satu contoh dari aspek ini yaitu : berbagi masalah dengan teman atau orang

yang disayangi, mengikuti group therapy.

5. Adaptability and flexibility (adaptasi dan penyesuaian)

Adaptasi dan penyesuaian individu dalam menghadapi situasi/masalah yang

mengancam dirinya juga mempengaruhi tingkat stres seseorang. Jerabek (1998)

mengatakan bahwa, semakin tinggi adaptasi dan penyesuaian diri individu

terhadap situasi/ masalah yang mengancam, ia akan terhindar dari stres.

Sebaliknya, semakin rendah adaptasi dan penyesuaian diri individu terhadap

situasi/ masalah yang mengancam, ia akan mengalami stres.

6. Proactive attitude (sikap proaktif)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa individu juga harus berperan aktif dalam

menghadapi situasi/ masalah yang mengancam dirinya. jika individu tidak aktif

(39)

 

akan mengalami stres. Namun sebaliknya, jika seseorang aktif menghadapi situasi/

masalah yang menancam dirinya, ia akan terlepas dari stres.

7. Ability to relax (kemampuan untuk relaks)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa bersikap santai/ relaks dalam menghadapi

masalah, dapat mengurangi tingkat stres seseorang. Semakin tinggi kemampuan

individu untuk relaks dalam menghadapi maslaahnya, semakin rendah tingkat stres

nya. Namun semakin tegang seseorang menghadapi stres nya, maka tingkat stres

nya akan semakin tinggi.

II.E. Dinamika Coping Stress dalam Pernikahan

Kita dapat melihat dinamika coping stress dalam pernikahan melalui teori

yang dikemukakan oleh Reuben Hill (dalam Rice, 1987). Hill meneliti bahwa

dinamika coping stress dan menamakan teori tersebut sebagai the ABCX Model.

David Klein (dalam Rice, 1987) juga melakukan penelitian yang sama dan

menamakan teorinya sebagai stress-crisis-coping theory (SSC theory).

Dalam teori ABCX, Hill (dalam Rice, 1987) menyatakan bahwa suatu

kejadian (A) berinteraksi dengan anggota-anggota keluarga dan menciptakan krisis

(B), dan interpretasi keluarga tentang kejadian tersebut (C), dapat menciptakan krisis

(X). Dalam sebuah keluarga, sebuah stressor muncul hanya jika keluarga

menginterpretasikan kejadian yang menimpa mereka sebagai suatu ancaman (family

(40)

Ada 2 (dua) konsep mendasar pada ABCX Model yang dikemukakan oleh

Hill (dalam Rice, 1987). Pertama, besarnya perubahan yang disebabkan oleh kejadian

yang menimbulkan stres. Kedua, kerentanan keluarga terhadap stres. Secara umum,

dinamika coping stress dapat kita lihat pada bagan sebagai berikut :

Gambar 1

Dinamika Coping Stress dalam Keluarga

Amount of change (besar perubahan-perubahan yang terjadi pada keluarga) merupakan tingkat dari penyesuaian diri keluarga terhadap kejadian yang menimpa

mereka (Hill, dalam Rice, 1987). Contohnya : kematian pasangan hidup, perceraian, Amount of Change

(Besarnya perubahan)

Stressor Event (Kejadian yang menyebabkan

stress)

Family Vulnerability to Stress (Kerentanan keluarga terkena stres)

Amount of Family Stress (Besarnya stres yang

dihadapi keluarga)

Family Defenition of Seriousness of Change

(Family appraisals)

Family

(41)

 

kelahiran anak pertama, perilaku anak saat remaja, ataupun perginya anak paling

bungsu dari rumah (emptyness).

Stressor events dijelaskan oleh McCubbin dan Patterson (dalam Rice, 1987) sebagai kejadian hidup atau transisi yang dapat mempengaruhi sistem sosial keluarga.

Sebagai contoh : kematian orang tua, pendapatan yang kecil, dipenjaranya salah satu

anggota keluarga, dan lain-lain.

Family vulnerability of stress. Dalam teori Hill (dalam Rice, 1987), family vulnerability merupakan faktor yang paling kompleks dan paling penting dalam menghasilkan stres pada keluarga. Pada dasarnya, stressor events berinteraksi dengan

family vulnerability untuk menghasilkan krisis. Semakin tinggi ancaman dari kejadian yang menimpa keluarga, semakin tinggi pula family vulnerability terhadap stres, dan

juga krisis menimpa keluarga tersebut. Sebaliknya, semakin rendah ancaman dari

kejadian yang menimpa keluarga, maka family vulnerability juga rendah dan keluarga

tersebut tidak mengalami stres.

Family appraisal. Dari bagan di atas dapat kita lihat bahwa family vulnerability berkaitan dengan pengrtian (defenition) keluarga (atau yang disebut juga appraisal) terhadap seriusnya perubahan yang terjadi dalam keluarga dan keseluruhan dari integrasi dan kemampuan adaptasi keluarga.

Family resources. Sumber-sumber keluarga merupakan kombinasi dari sumber personal yang dimiliki salah satu anggota keluarga secara pribadi, dan sumber

pribadi tersebut merupakan bagian dari sistem keluarga. Telah diteliti oleh Hill

(42)

sumber, yaitu : status keuangan atau keadaan perekonomian keluarga, status

kesehatan atau keadaan fisik keluarga, sumber psikologis yang biasanya diukur dari

variabel kepribadian, dan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan ditampilkan secara

tidak langsung sebagai sumber kognitif, yang memperkirakan appraisal nyata dan

menghasilkan kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving).

Secara singkat hubungan family vulnerability dengan besar stres yang terjadi

dalam keluarga dapat kita lihat dalam bagan berikut :

Gambar 2

Hubungan Family Vulnerability dengan Besar Stres Kelurga

High

Low

Low

High

McCubbin dan Patterson (dalam Rice, 1987) mengidentifikasikan 4 (empat)

hipotesis umum terhadap bagaimana coping keluarga dalam menghadapi stres.

(43)

 

keluarga dan organisasi keluarga. Ketiga, coping stress dapat mengurangi bahkan

menghilangkan stressor events. Dan keempat, coping stress secara aktif

mengendalikan lingkungan keluarga dan mengubah organisasi keluarga ke arah yang

lebih baik.

II.F. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada perbedaan coping stress (upaya mengatasi

stres) antara pria dan wanita dalam pernikahan. Artinya, coping stress pada pria lebih

(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif, dimana tujuan

penelitian ini adalah untuk membandingkan apakah ada perbedaan antara coping

stress pada pria dan wanita (pasangan baru) dalam pernikahan.

III.A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel-variabel penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

a. Variabel bebas : Jenis kelamin (pria dan wanita)

b. Variabel tergantung : Coping stress

III.B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Adapun defenisi operasional dari kedua variabel dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

III.B.1. Jenis kelamin

Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara

perempuan dan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Perbedaan jenis

kelamin berkaitan dengan karakteristik tubuh laki-laki dan tubuh perempuan, dimana

laki-laki memproduksi sperma, sedangkan perempuan memproduksi sel telur dan

secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil, dan menyusui. Perbedaan biologis

dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan di antara

(45)

  III.B.2. Coping stress

Coping stress merupakan suatu upaya kognitif untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang

penuh ancaman. Pengertian coping stress yang digunakan dalam penelitian ini berasal

dari teori coping stress yang dikemukakan oleh Jerabek (1998).

Menurut Jerabek (1998) ada tujuh aspek coping stress, yaitu :

1. Reactivity to stress (reaksi terhadap stres)

Bagaimana individu bereaksi terhadap stres, atau dapat dikatakan sebagai

kemampuan seseorang untuk menghadapi stres. Jerabek (1998) mengatakan bahwa

semakin rendah kemampuan seseorang menghadapi stres, maka reaksinya

terhadap stres tergolong maladaptif. Sebaliknya, semakin tinggi kemampuan

seseorang menghadapi stres, maka reaksinya terhadap stres semakin adaptif.

2. Ability to assess situation (kemampuan untuk menilai situasi)

Kemampuan untuk menilai situasi yang dimaksud yaitu bagaimana cara individu

menanggapi situasi/masalah yang mengancam dirinya. Dimana situasi tersebut

dapat terkendali jika individu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menilai

situasi, dan situasi yang menimpanya akan menimbulkan stres jika individu

memiliki kemampuan yang rendah untuk menilai situasi (Jerabek, 1998).

3. Self-reliance (kepercayaan terhadap diri sendiri)

Self-reliance merupakan kepercayaan individu terhadap dirinya untuk dapat

menghadapi/menyelesaikan situasi atau masalah yang datang kepadanya. Jerabek

(46)

menghadapi situasi yang mengancam dirinya, maka ia akan terhindar dari stres.

Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi

yang mengancam, maka ia akan mengalami stres.

4. Resourcefulness (banyaknya akal daya)

Menurut Jerabek (1998) resourcefulness merupakan daya/ kemampuan individu

untuk memikirkan jalan keluar dalam menghadapi situasi/ masalah yang

mengancamnya. Semakin tinggi kemampuan individu untuk mencari jalan keluar

bagi masalahnya, ia akan terlepas dari stres, namun semakin rendah kemampuan

individu untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan mengalami stres.

Salah satu contoh dari aspek ini yaitu : berbagi masalah dengan teman atau orang

yang disayangi, mengikuti group therapy.

5. Adaptability and flexibility (adaptasi dan penyesuaian)

Adaptasi dan penyesuaian individu dalam menghadapi situasi/masalah yang

mengancam dirinya juga mempengaruhi tingkat stres seseorang. Jerabek (1998)

mengatakan bahwa, semakin tinggi adaptasi dan penyesuaian diri individu

terhadap situasi/ masalah yang mengancam, ia akan terhindar dari stres.

Sebaliknya, semakin rendah adaptasi dan penyesuaian diri individu terhadap

situasi/ masalah yang mengancam, ia akan mengalami stres.

6. Proactive attitude (sikap proaktif)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa individu juga harus berperan aktif dalam

menghadapi situasi/ masalah yang mengancam dirinya. jika individu tidak aktif

(47)

 

akan mengalami stres. Namun sebaliknya, jika seseorang aktif menghadapi situasi/

masalah yang menancam dirinya, ia akan terlepas dari stres.

7. Ability to relax (kemampuan untuk relaks)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa bersikap santai/ relaks dalam menghadapi

masalah, dapat mengurangi tingkat stres seseorang. Semakin tinggi kemampuan

individu untuk relaks dalam menghadapi maslaahnya, semakin rendah tingkat stres

nya. Namun semakin tegang seseorang menghadapi stres nya, maka tingkat stres

nya akan semakin tinggi.

III.C. Metode Pengambilan Data III.C.1. Populasi dan sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah pasangan (pria dan wanita) yang baru

menikah yang ada di kota Medan dan usia pernikahannya tidak lebih dari tiga tahun.

III.C.2. Metode pengambilan sampel

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu

Random Sampling. Dalam random sampling semua inidividu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih

menjadi anggota sampel. Data pasangan yang baru menikah diperoleh dari kantor

catatan sipil kota Medan.

III.D. Instrumen atau Alat Ukur

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala

(48)

1. Reactivity to stress (reaksi terhadap stres)

Bagaimana individu bereaksi terhadap stres, atau dapat dikatakan sebagai

kemampuan seseorang untuk menghadapi stres. Jerabek (1998) mengatakan bahwa

semakin rendah kemampuan seseorang menghadapi stres, maka reaksinya

terhadap stres tergolong maladaptif. Sebaliknya, semakin tinggi kemampuan

seseorang menghadapi stres, maka reaksinya terhadap stres semakin adaptif.

2. Ability to assess situation (kemampuan untuk menilai situasi)

Kemampuan untuk menilai situasi yang dimaksud yaitu bagaimana cara individu

menanggapi situasi/masalah yang mengancam dirinya. Dimana situasi tersebut

dapat terkendali jika individu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menilai

situasi, dan situasi yang menimpanya akan menimbulkan stres jika individu

memiliki kemampuan yang rendah untuk menilai situasi (Jerabek, 1998).

3. Self-reliance (kepercayaan terhadap diri sendiri)

Self-reliance merupakan kepercayaan individu terhadap dirinya untuk dapat

menghadapi/menyelesaikan situasi atau masalah yang datang kepadanya. Jerabek

(1998) menyatakan bahwa, semakin tinggi kepercayaan diri individu dalam

menghadapi situasi yang mengancam dirinya, maka ia akan terhindar dari stres.

Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi

yang mengancam, maka ia akan mengalami stres.

4. Resourcefulness (banyaknya akal daya)

Menurut Jerabek (1998) resourcefulness merupakan daya/ kemampuan individu

(49)

 

mengancamnya. Semakin tinggi kemampuan individu untuk mencari jalan keluar

bagi masalahnya, ia akan terlepas dari stres, namun semakin rendah kemampuan

individu untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan mengalami stres.

Salah satu contoh dari aspek ini yaitu : berbagi masalah dengan teman atau orang

yang disayangi, mengikuti group therapy.

5. Adaptability and flexibility (adaptasi dan penyesuaian)

Adaptasi dan penyesuaian individu dalam menghadapi situasi/masalah yang

mengancam dirinya juga mempengaruhi tingkat stres seseorang. Jerabek (1998)

mengatakan bahwa, semakin tinggi adaptasi dan penyesuaian diri individu

terhadap situasi/ masalah yang mengancam, ia akan terhindar dari stres.

Sebaliknya, semakin rendah adaptasi dan penyesuaian diri individu terhadap

situasi/ masalah yang mengancam, ia akan mengalami stres.

6. Proactive attitude (sikap proaktif)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa individu juga harus berperan aktif dalam

menghadapi situasi/ masalah yang mengancam dirinya. jika individu tidak aktif

dalam menyeleseaikan masalahnya atau terlalu bergantung kepada orang lain, ia

akan mengalami stres. Namun sebaliknya, jika seseorang aktif menghadapi situasi/

masalah yang menancam dirinya, ia akan terlepas dari stres.

7. Ability to relax (kemampuan untuk relaks)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa bersikap santai/ relaks dalam menghadapi

masalah, dapat mengurangi tingkat stres seseorang. Semakin tinggi kemampuan

(50)

nya. Namun semakin tegang seseorang menghadapi stres nya, maka tingkat stres

nya akan semakin tinggi.

Skala coping stress ini terdiri dari item yang bersifat favorable (pernyataan yang bersifat positif) dan unfavorable (pernyataan yang bersifat negatif).

Aspek-aspek diatas diuraikan dalam skala model likert, dimana masing-masing item

memiliki 4 (empat) alternatif jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak

Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Pada item yang bersifat favorable, maka nilai 4 diberikan bila subjek memilih

jawaban Sangat Setuju (SS), nilai 3 untuk jawaban Setuju (S), nilai 2 untuk jawaban

Tidak Setuju (TS) dan nilai 1 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju (STS). Pada item

unfavorable, nilai 4 diberikan bila subjek memilih jawaban Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 3 untuk jawaban Tidak Setuju (TS), nilai 2 untuk jawaban Setuju (S), dan

nilai 1 untuk memilih jawaban Sangat Setuju (SS).

Adapun blue print disajikan dalam bentuk tabel yang memuat uraian komponen-komponen atribut. Dalam penulisan item blueprint akan dipaparkan

gambaran mengenai isi skala dan menjadi acuan serta pedoman bagi penulis untuk

(51)

  Tabel 1

Distribusi Item-Item Skala Coping Stress Sebelum Uji Coba

No Aspek-aspek Coping

Stress Indikator

Nomor item

Jumlah Favorable Unfavorable

1 Reactivity to stress

Pikiran kacau, tidak dapat

4 Resourcefulness Banyak akal, membangun strategi dan memakainya

7 Ablility to relax Rekreasi, tertawa, bersenang-senang

III.E. Uji Coba Alat Ukur

Validitas dan reliabilitas skala coping stress akan diuji sebelum digunakan

untuk mengambil data penelitian. Penjelasan mengenai validitas dan reliabilitas ini

(52)

III.E.1. Validitas

Skala coping stress diuji validitas isinya melalui analisis rasional terhadap isi

alat ukur. Menurut Azwar (1999) validitas isi (content validity) bertujuan untuk

mengungkap sejauhmana item-item dalam alat ukur tersebut mencakup keseluruhan

kawasan isi yang akan diukur. Pengujian dilakukan dengan komputerisasi koefisien

korelasi antara distribusi skor pada setiap item dengan skor total item itu sendiri yaitu

menggunakan Pearson Product Moment. Teknik statistik akan mempergunakan

software SPSS versi 12.0 for windows. III.E.2. Reliabilitas

Teknik analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu koefisien alpha

dari Cronbach. Penghitungan menggunakan software SPSS versi 12.0 for windows.

III.E.3. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba skala coping stress dilakukan pada pria dan wanita yang usia

pernikahannya dibawah atau sama dengan 3 (tiga) tahun dengan jumlah sampel 55

orang. Setelah dilakukan uji coba, skala coping stress yang memiliki daya beda cukup

tinggi adalah 22 item. Item-item skala ini memiliki nilai daya beda item bergerak dari

0.286 sampai 0.748 dengan reliabilitas skala adalah 0.901. Berikut ini adalah

(53)

  Tabel 2

Distribusi Item-Item Coping Stress Setelah Uji Coba

No. Aspek-aspek Item

Favorable Item Unfavorable Jumlah

1 Reactivity to stress - 1(15), 8(22), 13(29),

Keterangan: ( ) = nomor item pada saat uji coba

III.E.4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Adapun prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari :

1. Tahap persiapan

Hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan penelitian adalah segala

sesuatu yang berhubungan dengan penyusunan alat ukur dan masalah administrasi

(54)

a. Penyusunan alat ukur

Skala coping stress disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh

Jerabek (1998). Jerabek (1998) menyatakan bahwa aspek-aspek dari coping stress

adalah : reactivity to stress, ability to assess situation, self-reliance,

resourcefulness, adaptability and flexibility, proactive attitude, dan ability to relax. Skala coping stress dibuat sebanyak 70 item.

b. Mencari informasi tentang sampel

Sebelum skala dibagikan maka perlu mencari informasi tentang pasangan yang

baru menikah di Medan. Informasi yang ingin diperoleh yaitu tentang pasangan

baru yang usia pernikahannya tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.

2. Tahap uji coba alat ukur

Uji coba alat ukur dilakukan kepada subjek yang memenuhi karakteristik sampel

dalam penelitian ini. Hasil uji coba kemudian dianalisa dengan analisa daya beda

item untuk menentukan item-item yang layak digunakan sebagai alat ukur dan

juga reliabilitas alat ukur yang ditentukan melalui koefisien alpha Cronbach

dengan menggunakan software SPSS versi 12.0 for windows.

3. Tahap Pelaksanaan

Setelah alat ukur diujicobakan, maka penelitian kepada pasangan baru (pria dan

wanita) yang telah ditentukan sebagai sampel penelitian.

4. Tahap Pengolahan Data

Skala yang memenuhi kriteria untuk dianalisis, diolah dengan menggunakan

Gambar

Dinamika Gambar 1 Coping Stress dalam Keluarga
Hubungan Gambar 2 Family Vulnerability dengan Besar Stres Kelurga
Tabel 1
Tabel 2
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dampak negatif perceraian orang tua pada remaja dikatakan bahwa remaja yang orang tuanya bercerai akan cenderung memiliki perasaan dan perilaku misalnya: tidak mampu

Sedangkan pada wanita kurang terdidik, dia tidak aktif mengembangkan potensi dirinya, kurang pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan

Dari hasil analisis data diketahui bahwa emotional focused coping lebih sering digunakan baik pria maupun wanita dalam menghadapi break up. Coping behavior dapat

Terdapat hubungan penghasilan orang tua dengan pernikahan dini, berdasarkan Tabel 3 diperoleh hasil pada responden yang menikah dini banyak yang penghasilan orang

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji Independent Sample t Test, diketahui bahwa untuk problem focused coping sebesar 0,682 (p>0,05), emotion

Sedangkan pada wanita kurang terdidik, dia tidak aktif mengembangkan potensi dirinya, kurang pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap yang melatarbelakangi 7 orang informan yang melakukan hubungan seks yaitu karena adanya pengaruh dari media sosial (nonton

Trus kalau bisa tuh dia kalau tau ada perkumpulan kanker atau ada orang yang sama- sama kanker mungkin bisa diketemukan dengan orang yang sakit kanker juga, terus untuk