• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat Akademis Dalam Kaji Epistemologis Terhadap Kemiskinan Pedesaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Manfaat Akademis Dalam Kaji Epistemologis Terhadap Kemiskinan Pedesaan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Manfaat Akademis Dalam Kaji Epistemologis

Terhadap Kemiskinan Pedesaan

1

Yusak Maryunianta2

Fakultas Pertanian

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Sumatera Utara

1. PENDAHULUAN

Kemiskinan Pedesaan merupakan sesuatu yang sangat mengusik hat] namun sekaligus menarik untuk dikaji. Bahkan, kemiskinan yang akhirnya populer dengan istilah ketertingKulun, telah menjadi suatu "kornoditi publikusi " oleh berbagai media dan menjadi polemik berbagai kalangan selama beberapa tahun sampai saat ini. Gema kemiskinan tersebut menjadi lebih marak lagi, tatkala Biro Pusat Statistik mengumumkan bahwa pada tahun 1994 penduduk miskin di Indonesia mencapai 27 juta jiwa dan angka tersebut melonjak drastis menjadi lebih dari 100 juta jiwa setelah republik tercinta ini terpuruk ke dalam lembah krisis ekonomi (bahkan krisis multidimensi) yang berkepanjangan.

Pengkajian secara epistemologis terhadap kemiskinan telah cukup banyak dilakukan. Secara akademis, pengkajian tersebut diperkirakan cukup banyak memberikan manfaat namun sampai saat ini telaah tentang manfaat akademis tersebut masih sangat jarang diekspose. Tulisan kecil ini disusun dengan maksud memberikan gambaran singkat tentang rnanfaat akademis yang diperoleh dari pengkajian secara epistemologis terhadap kemiskinan pedesaan di Indonesia.

II. KEMISKINAN PEDESAAN SEBAGAI SUATU FENOMENA

Dalam berbagai tulisan kemiskinan sering digambarkan dalam berbagai istilah atau ungkapan seperti ketertinggalan, kekurangmampuan, poverty atau underdeveloped situation. Dalam tulisan ini, pengertian kemiskinan lebih ditujukan pada kondisi dimana penghasilan seseorang tidak mampu memenuhi batas minimum kebutuhan pangan yang membuat mereka hidup sehat dan aktif.

1) Makalah disajikan pada Seminar Alumni UNPAID di Gedung Alumni UNPAD Bandung pada tanggal 20 Agustus

2002

(2)

Fenomena kemiskinan telah sejak puluhan tahun yang lalu dilaporkan secara statistik terjadi hampir di seluruh bagian bumi ini, baik pada negara-negara maju maupun negara berkembang; baik pada daerah perkotaan (urban area) maupun daerah pedesaan (rural area).

Sebagai contoh, pada tahun 1960/1961, di India, 40 % penduduk pedesaan dan 50% penduduk perkotaan berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang dipakai dalam hal ini adalah patokan Dandekar dan Rath yaitu penghasilan sebesar 4,19 dolar AS per bulan menurut nilai tukar tahun 1960/1961.

Berdasarkan laporan SUSENAS, pada periode Oktober - Desember 1969, tingkat pangan rumah tangga kota rata-rata dan rumah tangga desa rata-rata di Pulau Jawa, masing-masing adalah 1572 dan 1872 kalori. Angka ini berarti masih berada di bawah rata-rata patokan cukup pangan FAO/WHO bagi rata-rata penduduk Indonesia yaitu setara 1900 kalori dan 40 gram protein. Kemudian, apabila dipakai patokan Sajogyo tentang garis kemiskinan yaitu sebesar 240 kg ekuivalen beras per kapita per tahun untuk masyarakat pedesaan dan 360 kg perkapita pertahun untuk masyarakat perkotaan, maka akan diperoleh suatu informasi ketimpangan yang menyedihkan. Golongan cukup atau mampu di pedesaan memperoleh 2172 kalori dan 53,6 gram protein perkapita per hari, sedangkan golongan miskin hanya mendapat 1283 kalori dan 26,9 gram protein. Sementara itu di perkotaan, gambaran yang diperoleh hampir sama yaitu golongan mampu mendapat 1820 kalori dan 51,5 gram protein sedangkan golongan miskin mendapat 1191 kalori dan 27,4 gram protein per kapita per hari.

SUSENAS juga memberikan gambaran bahwa pada awal Pelita I (tahun 1969/1970), sekitar 56% penduduk di Pulau Jawa tergolong miskin (di desa 57%, di kota 54%), sementara di l.uar Jawa rata-rata 29% (di desa 28%, di kota 38% ).

Uraian dalam bab ini memberikan gambaran bahwa kemiskinan merupakan fenomena yang terjadi berbagai belahan bumi namun fenomena ini tidak dapat digeneralisir. Setiap kemiskinan di suatu wilayah memiliki karakteristiknya masing-masing.

III. KAJI EPISTEMOLOGIS TERHADAP KEMISKINAN PEDESAAN.

Kaji epistemologis yang dimaksud dalam hal ini adalah berkisar pada langkah-langkah metode ilmiah yang pernah dilakukan dalam telaah tentang kemiskinan pedesaan.

Masalah atau pertanyaan mendasar yang menggelitik para ahli untuk melakukan telaah tentang kemiskinan pedesaan adalah mengapa kemiskinan pedesaan bisa terjadi, apa yang menjadi akar

masalah kemiskinan pedesaan atau faktor jaktor apa yang mendorong munculnya kemiskinan pedesaan. Pertanyaan mendasar yang pada hakekamya merupakan pertanyaan epistemologis ini

selanjutnya mendorong para peneliti sosial-ekonomi pedesaan seperti DH. Penny, Masri Singarimbun dan Meneth Ginting untuk melalukan langkah lanjutan, dalam rangka mencari jawabannya, dalam bentuk pendekatan masalah.

Pendekatan masalah yang dilakukan oleh para peneliti tersebut pada umumnya berorientasi pada tindakan untuk mengetahui unsur-unsur, ciri-ciri, sifat-sifat dan proses suatu fenomena. Dalam hal ini pendekatan masalah dilakukan melalui pemahaman terhadap referensi, buah pikiran dan hasil penelitian orang lain yang relevan dengan fenomena kemiskinan pedesaan yang ditelitinya. Sebagian dari referensi bag] penelitian Penny dld: tersebut antara lain pendapat JH. Boeke tentang dualisme sosial dan dualisme ekonomi dalam perekonomian pedesaan di Indonesia (buku : `Three Forms of Desintegration in Dual Societies') dan pandangan Pigeaud tentang ekonomi padi sawah (buku: Java in 14-th Century'). Berkaitan langsung dengan masalah kemiskinan, acuan yang cukup penting adalah pandangan Gunnar Myrdal yang menyatakan bahwa masalah kemiskinan kurang mendapat sorotan serius sebagai akibat hakikat ilmu Barat adalah anti organisasi dan kebebasan dalam perdagangan (`Economic Theory and

Underdeveloped Regions'), hasil penelitian Burger di Pekalongan (1828) dan Ochsedi

(3)

menurunnya jumlah pangan yang tersedia, serta hasil penelitian H. Ten Dam yang menyatakan bahwa motif utama petani Cibodas membentuk koperasi adalah keinginan melepaskan diri dari jerat kemiskinan akibat perlakuan tengkulak (`Some Problems at Cooperations in Chibodas'). Tidak ketinggalan pula, pandangan sosiolog Indonesia, Selo Soemardjan, tentang aspek feodalisme dalam pemilikan tanah di pedesaan (buku `Social Changes in Yogyakarta') juga menjadi rujukan.

Adanya rujukan yang berkaitan dengan kondisi sosial, politik, ekonomi dan kultural pedesaan serta permasalahannya tersebut, merupakan dasar penting bagi peneliti untuk merumuskan jawaban sementara terhadap pertanyaan epistemologis kemiskinan pedesaan dalam bentuk

hipotesis. Adapun hipotesis yang diajukan Penny dkk ada dua point. Pertama, kemiskinan pedesaan disebabkan oleh salalz satu atau beberapa faktor sosial, fisik ekonomi, politik dan kultural. Kedua, faktor penyebab kemiskinan untuk satu desa bisa berbeda dengan desa lain.

Atas dasar dua hipotesis tersebut, maka selanjutnya Penny bersama Meneth Ginting melakukan

observasi di desa Sukamulia, Deli Serdang, Sumatera Utara (1962) dan bersama Masri

Singarimbun di desa Srihardjo, Bantul, Yogyakarta (1971). Hasil observasi pada desa Sukamulia menyatakan bahwa Sukamulia merupakan desa yang penduduknva sebagian besar terdiri atas petani penggarap dengan pemilikan lahan rata-rata cukup luas yaitu 0,5 - 1 ha/KK, 60% petani berpendapatan sangat rendah meskipun desa tersebut mempunyai aksesibilitas tinggi dengan kota Medan sebagai pasar hasil pertaniannya. Sementara itu, hasil observasi dari desa Srihardjo diperoleh hasil bahwa penguasaan lahan rata-rata 0,22 ha/KK, alokasi tenaga kerja selama satu kali musim hujan 115 HK (hari kerja) dan 66% keluarga petani hidup di bawah garis kemiskinan.

Hasil observasi dan pengujian hipotesis tersebut selanjutnya dibahas sesuai dengan tujuan dan

hipotesis penelitian yang sudah ditetapkan sebelumnya. Kemiskinan di Sukamulia justru

disebabkan oleh adanya pengaruh pengurasan (`backwash effect') pasar, sementara itu kemiskinan pada desa Srihardjo disebabkan oleh kecil-nya rasio antara luas lahan garapan dengan jumlah penduduk. Selain membuktikan kebenaran hipotesis pertama yang menyatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah sebagian dari faktor-faktor sosial, ekonomi, fisik, politik dan kultural maka kedua kesimpulan tersebut sekaligus mendukung hipotesis kedua yang menyatakan bahwa karak-teristitk kemiskinan satu desa berbeda dengan desa yang lain. Selanjutnya hasil penelitian Penny bersama Masri Singarimbun di desa Srihardjo diterbitkan dalam monograf di Ithaca dengan judul `Population and Poverty in Rural Java'. Sedangkan 'hasil penelitian bersama Meneth Ginting di desa Sukamulia diterbitkan di Australia dalam bentuk buku dengan judul `Poverty, The Role of Market System'. Yang disebutkan terakhir sempat membuat goncang para pakar ekonomi. mengingat isinva dianggap kontradiktif dengan konsep pasar ala Barat yang selama ini mereka anut.

IV. MANFAAT AKADEMIS DALAM KAJI EPISTEMOLOGIS KEMISKINAN PEDESAAN

Manfaat akademis yang dimaksud dalam bahasan ini adalah manfaat yang diperoleh dari kaji epistemologis kemiskinan pedesaan dikaitkan dengan tujuan-tujuan akademis. Tujuan-tujuan akademis tersebut mencakup aspek intelektual (pengembangan pengetahuan), emosional, spiritual, sosial dan pengembangan sikap hidup.

Kaji epistemologis kemiskinan pedesaan vang dilakukan oleh Penny dkk seperti telah dipaparkan di atas, memberikan manfaat akademis seperti diuraikan sebagai berikut

a. Urutan langkah ilmiah yang telah dilakukan oleh Penny dkk dalam melakukan penelitian merupakan contoh yang balk dan gamblang yang bisa diikuti oleh calon ilmuwan saat mereka belajar melakukan penelitian. Jadi dalam hal ini terdapat unsur keteladanan intelektual secara ilmiah.

(4)

terjadinya polemik ilmiah yang dinamis. Polemik tersebut termanifestasikan dalam seminar-seminar/lokakarya (seperti dilakukan beberapa kali oleh PERHEPI, ISEI, Yayasan Agroekonomika, dsb).maupun tanggapan-tanggapan individual yang bertujuan melakukan bahasan lanjutan terhadap hasil penelitian Penny dkk. Salah satu ilmuwan yang memberikan respon terhadap tulisan Penny dkk adalah Alan M Strout melalui Bulletin of Indonesia

Economic Studies (1974) yang antara lain menyatakan bahwa sebenarnya masyarakat

Srihardjo telah memiliki kiat khusus menghadapi tekanan kemiskinan.

c. Hasil penelitian Penny dkk telah memberikan sumbangan terhadap pengembangan pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya kemiskinan pedesaan dan membuka peluang bagi pelaksanaan penelitian lanjutan yang relevan. Hal ini telah dibuktikan oleh munculnya tulisan-tulisan atau publikasi-publikasi yang mengacu pada hasil penelitian tersebut. Sebagai contoh adalah munculnya tulisan Garnaut dan MacCawley berjudul `Dualism,

Growth and Poverty', MB. Sirait dan Yusak dalam laporan penelitian berjudul `Perkembangan Sosial Ekonomi Desa Sukamulia 1962-1987" dan sebagainya.

d. Dengan munculnya buku `Starvation, The Role of Market System' maka telah muncul suatu kebenaran baru dalam ilmu ekonomi wilavah. Selama ini ilmu menyatakan bahwa untuk kondisi tertentu adanya/munculnya pasar justru memiskinkan. Kejadian ini merupakan suatu peringatan yang sangat baik bagi para ilmuwan untuk tidak terlalu fanatik dengan kebenaran ilmu yang ditekuninya karena kebenaran ilmu bersifat sementara. Dengan kata lain, hal ini memberikan himbauan secara tersirat bahwa ilmuwan seharusnya bersikap rendah hati. Seperti kata Mayer, setiap ilmuwan membutuhkan ilmuwan-ilmuwan lainnya dan setiap ilmuwan berhutang budi pada ilmuwan-ilmuwan lainnya. Dalam dunia ilmu, sekiranya kita menemukan kebenaran baru maka tidak lalu melecehkan pendahulu-pendahulunya, tetapi seyogyanya hanya mengucapkan selamat jalan pada kebenaran lama (Santayana). Jujun juga mengungkapkan bahwa kegiatan ilmuwan pada jiwanya merupakan komitmen moral dan intelektual untuk mendekati kebenaran dengan cara yang sejujur-jujurnya.

e. Multiplier effect' temuan dan tulisan ilmiah Penny dkk ternyata sampai kepada aspek emosi, rasa solidaritas dan bahkan partisipasi moral. Dengan munculnya tulisan tersebut, selanjutnya banyak ilmuwan terdorong untuk mengabdikan dirinya atau komitmennya pada penderitaan rakyat pedesaan. Tidak jarang dalam hal ini pengusaha ikut membantu para ilmuwan dalam mengatasi kemiskinan pedesaan dengan tindakan nyata. Sebagai contoh adalah para ilmuwan yang tergabung dalam Yayasan Agroekonomika bekerjasama dengan Yayasan Dian Desa dan para pengusaha sukses, sering membantu kegiatan pemberdayaan masyarakat desa miskin di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

V. KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manfaat akademis dalam kaji epistemologis kemiskinan pedesaan adalah nyata dalam beberapa hal, yaitu :

a. Terkuaknya berbagai bentuk kemiskinan dan berbagai faktor penyebab kemiskinan pedesaan serta perkotaan.

b. Terjalinnya suatu komunikasi ilmiah yang dinamis diantara para ilmuwan.

c. Sebagai dasar yang balk bagi penelitian-penelitian tentang kemiskinan pedesaan pada waktu berikutnya.

d. Secara tidak langsung telah menanamkan pengertian tentang perlunya sikap rendah hati, terbuka dan jujur bagi para ilmuwan.

(5)

REFERENSI :

Clifford Geertz; 1963; Agricultural Involution, Berkeley University California Press, California.

Mubyarto; 1983; Politik Pertanian dan Pembangurcan Pedesaan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.

Pranaka, AMW; 1987; Epistemologi Dasar, Suatu Pengantar, Yayasan Proklamasi dan CSIS, Jakarta.

Rusidi; 1994; Diktat Kuliah Epistemologi; PPS UNPAD; Bandung.

Sajogyo dan Sajogyo; P; 1984; Sosiologi Pedesaan, Yayasan Obor Indonesia; Jakarta. Soewardi, Herman; 1998; Nalar, Kontemplasi dan Realita; PPS UNP Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

yang akan dilakukan adalah pengukuran aktivitas antioksidan sebagai salah satu parameter yang mewakili keadaan teh daun kersen Muntingia calabura L., total asam dan pH medium

Tabel 2: Berat ovarium, jumlah korpus luteum, resorbsi, dan jumlah fetus mencit setelah dicekok dengan daun tapak dara sesuai dengan dosis yang telah ditentukan.. Berdasarkan i

Thanks for your critiques and suggestions, The Lecturers of English Education Department, Eko Wahyudi, S.Pd, the Headmaster of SMP Bina Taruna Surabaya, Enni

Pada siklus II aspek yang diamati dari hasil kemampuan guru melaksanakan pembelajaran semakin meningkat dari siklus sebelumnya hal ini tampak pada kemampuan guru

d) Panitia pengadaan meminta kesediaan 2 (dua) orang wakil dari penawar yang hadir sebagai saksi dan apabila tidak terdapat wakil penawar yang hadir pada saat

Dalam hal ini undang- undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah bab VII pasal 150 yang menyatakan bahwa daerah wajib memiliki dokumen Rencana Pembangunan Jangka

Maka dapat dikatakan latihan ini sangat baik sekali digunakan dalam latihan dalam permainan bola voli guna untuk meningkatkan lompat yaitu daya ledak otot tungkai dari

Namun proses dari metode latihan yang dapat memberikan stimulus lebih baik pada sistem saraf pusat, saraf sensorik hingga respon saraf motorik yang akan mengaktifkan