Oleh:
HOLINDA
102070026002
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
liujikan dalam siding munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
'yarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 06 September 2006. Skripsi ini telah
iterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta, 06 September 2006
"
Sidang Munaqasyah
:etua Mer
セセォ。ー
Anggota,
Sekretais Merangkap Anggota
/
!M.Si
M.Si
Anggota:
Penguji II
Dra . F dhilah Surala
M.Si
NIP.
150.215.283
I Gani Psi
Pembimbing II
(B) Juli 2006
(C) Holinda
(D) HUBUNGAN
ANTARA PERSEPSI TENTANG GERAKAN EROTIK
DALAM JOGET DANGDUT DENGAN SIKAP TERHADAP RUU APP
(E)
xvi
+
65 Halaman
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU
APP, adalah suatu rancangan produk hukum yang diusulkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 14 Februari 2006. RUU yang
berisi 11 bab dan 93 pasal pada rancangan pertamanya ini mengatur
masalah pornografi dan pornoaksi di Indonesia. lsi pasal RUU APP ini
menimbulkan kontroversi di masyarakat. Ada kelompok yang mendukung dan
kelompok yang menentang. Dari sisi substansi, RUU ini dianggap masih
mengandung sejumlah persoalan, antara lain RUU ini mengandung atau
memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak
bisa dirumuskan secara absolut.
Pornogarfi dan pornoaksi adalah masalah yang amat subjektif karena tak
ada batasan yang jelas dan pasti, maka sikap yang dimunculkan terhadap
RUU APP tak terlepas dari pandangan masing-masing tentang pornografi
dan pornoaksi, Joget dangdut era 2000-an menampilkan goyangan yang
yang erotis dan sensual yang juga menuai kontroversi, ada yang
menganggap hal tersebut bagian dari kreasi seni dan ada yang memandang
sebagai pornoaksi,
oleh sebab itulah peneliti ingin melihat hubungan antara
persepsi tentang gerakan erotik dalam joget dangdut dengan sikap terhadap
RUU APP, guna melihat keeratan hubungan di antara kedua variable
Hasil penelitian menunjukkan korelasi negatif dan signifikan dengan nilai
r=
-
0,75 pada taraf signifikansi 0,01, sehingga hipotesis alternatif yang
menyatakan adanya hubungan antara persepsi tentang gerakan erotik dalam
joget dangdut dengan sikap terhadap RUU APP dapat diterima, yang artinya
persepsi negatif terhadap gerakan erotik mengakibatkan sikap pro terhadap
RUU APP.
Nikmatnya yang tak pernah putus bagi segenap makhluknya, termasuk
memberikan kekuatan bagi penulis untuk merampungkan skripsi ini, serta
berbagai nikmat lain yang tak terkira.
Shalawat serta Salam tak lupa disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW,
teladan bagi seluruh alam. Penulisan skripsi ini memiliki makna tersendiri
bagi penulis, karena banyak perjuangan yang mesti dilakukan dalam proses
perampungan skripsi ini.
Selesainya skripsi ini dalam waktu singkat tak terlepas dari bantuan dan
dorongan berbagai pihak, penulis ingin menyampaikan ribuan rasa terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, yaitu kepada:
1. Ora. Netty Hartati, M.Psi, Dekan Fakultas Psikologi dan Ora.
Zahrotunnihayah, Msi, Pembantu Dekan I dan dosen pembimbing
akademik yang telah membimbing dan mengajar saya selama ini.
2. Drs. Asep Haerul Gani, Psi, dosen pembimbing skripsi yang telah
membuka pandangan penulis untuk mampu menjadi pribadi yang maju
dengan mendorong penulis untuk berpikir kreatif, berwawasan luas, cepat,
dan tepat waktu, serta bertanggung jawab, terima kasih untuk semua
inspirasi yang telah bapak berikan.
dan perlindungannya, dan semoga rampungnya skripsi ini memudahkanku
membantu meringankan beban hidup kalian berdua.
6. Kakakku Holilah yang banyak mambantu dan telah memberikan suri
tauladan dan tanggungjawab yang baik untuk adikmu ini, semoga semua
asamu tercapai.
7. Adik-adikku, Adi, Dani, dan Anan terima kasih atas dukungan dan
bantuannya terlebih selama proses penyelesaian skripsi ini.
8. Teman-temanku, Seha, Aas, Rita; Dwi, Yoga, Ratna, Yani, Dewa, Ana,
Jamal, Refi, Eye, dan semua teman-teman yang tak dapat kusebutkan
satu persatu di sini terima kasih untuk sebuah persahabatan yang kalian
berikan selama ini, semoga kita tetap bersama meraih sukses.
9. Teman-teman angkatan 2002 yang telah banyak membantu penulis
selama proses kuliah dan perampungan skripsi penelitian ini.
10. Teman-teman keluarga besar RW 10, khususnya untuk RT 11 dan RT 9
terima kasih telah membantu penulis dalam pengisian angket.
11.Mbah dan Ka Agus yang banyak bantu dalam editing dan printing
tugas-tugas kuliah dan skripsi ini.
12.Juga untukAdi, Dede, Dudu, Ika, Iwan, Afat, Butet, Sari, terima kasih
telah menemani hari-hari penulis selama ini.
Jakarta, 23 Juli 2006
Penulis
dan 6erama{sfioCefi) dan yang menyeru{an pada
merawatku
dengan
penuh
kasih
sayang.
2. Kakakku Holilah, semoga langkahmu
ke pelaminan menjadi mudah dengan
rampungnya skripsi ini.
3. Sahabat
sekaligus
kakakku
Eka
Dahlia, terima kasih telah memenuhi
KATA PENGANTAR
iii
MOTTO
vi
LEMBAR
peセsembahanvii
DAFTAR lSI
viii
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang Masalah
1
1.2. Identifikasi Masalah
9
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah
10
1.3.1. Pembatasan Masalah
10
1.3.3. Perumusan Masalah
11
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
11
1.4.1. Tujuan Penelitian
11
1.4.2. Manfaat Penelitian .
11
1.5. Kaidah dan Sistematika Penulisan
12
1.5.1. Kaidah Penulisan
12
2.1.2.
Komponen Sikap
16
2.1.3.
Obyek sikap
19
2.1.4.
Fungsi sikap
20
2.1.5.
Pembentukan sikap
20
2.1.6.
Perubahan sikap
23
2.2.
Pengertian Pornografi
24
2.3.
Dampak Pornografi Terhadap Tindak Kriminal...
29
2.4.
RUU
APP
32
2.5.
Persepsi
35
2.5.1.
Pengertian persepsi.
35
2.6.
Pengertian Gerakan Erotik...
40
2.7. Kerangka Berpikir
41
2.8. Hipotesis Penelitian
43
BAB 3
METODE PENELITIAN
44
3.1.
Jenis Penelitian...
44
3.1.1.
Metode Penelitian
44
3.1.2.
Definisi Variabel dan Operasional Variabel...
45
3.4. Teknik Analisa Data
50
3.5. Prosedur penelitian ..
52
BAB 4
PRESENTASI DAN ANALISA DATA
53
4.1. Gambaran Umum Responden Penelitian
53
4.1.1. Jenis Kelamin Responden
53
4.1.2. Usia Responden ...
54
4.1.3. Pekerjaan Responden
55
4.1.4. PendidikanResponden
55
4.2. Analisa Data
56
4.2.1. Skor Responden Secara Keseluruhan
56
4.2.2. Perbedaan Skor Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin
57
4.2.3.
Perbedaan
Skor
Responden
Berdasarkan
Pendidikan
57
4.2.4. Perbedaan Skor Responden Berdasarkan Usia..
58
4.2.5.
Perbedaan
Skor
Responden
Berdasarkan
Pekerjaan
59
5.3. Saran
64
TabeI2.2. Fatwa MUI tentang pornografi dan pornoaksi
27
TabeI3.1. Bobot nilai
48
Tabel 3.2. Blue print skala persepsi tentang gerkan erotik dalam joget
dangdut
49
Tabel 3.3. Blue print skala sikap terhadap RUU APP
39
Tabel 4.1. Jenis kelamin responden
53
Tabel 4.2. Usia responden
54
TabeI4.3. Pekerjaan responden
55
Tabel 4.4. Pendidikan responden
55
TabeI4.5. Skor responden secara keseluruhan
56
TabeI4.6. Skor responden berdasarkan jenis kelamin
57
TabeI4.5. Skor responden berdasarkan pendidikan
,.57
\
Tabel 4.5. Skor responden berdasarkan usia
58
Validitas dan Reliabilitas penelitian
70
Korelasi Penelitian
83
Skala Penelitian
84
Tabulasi Data Penelitian
91
1.1. Latar belakang masalah
Permasalahan dalam dunia musik dangdut seolah tak pernah padam,
dangdut yang diklaim group musik 'Project P' sebagai musik bangsa
Indonesia (dalam lagu dangdut is music of my country) menjadi sorotan dunia
entartaiment terlebih setelah Inul dengan goyangan ngebornya muncul di
berbagai media massa pada awal tahun 2000-an. Setelah Inul bermunculan
penyanyi dangdut lain dengan goyangan khas masing-masing, seperti
goyang ngecor, patah-patah, goyang gergaji, dan goyangan vibrator.
Dangdut memang bukan lagu Melayu melainkan berasal dari lagu India, lagu
Melayu didominasi oleh akordion, biola dan gendang sedangkan lagu India
didominasi oleh gendang dan suling. Dikatakan dangdut karena gendangnya
dipukul demikian rupa sehingga berbunyi dang dang duut (tangan ditekankan
kegendang sehingga berbunyi duut). Beberapa tahun kemudian lagu-Iagu
irama India ini dilagukan dengan syair bahasa Melayu (Indonesia).
Goyang
ngebor
Inul ternyata adalah fenomena yang belum juga berhenti.
Akhir-akhir ini fenomena itu seakan-akan menjadi sebuah antiklimaks yang
menghebohkan, pro dan kontra seputar goyangan erotis dalam dangdut
masih diperdebatkan, atas nama moral bangsa, Raden Haji Oma Irama
mengecam Inul. Bahkan, menurut Anisa Bahar, penyanyi dangdut yang juga
dikecam karena goyang patah-patahnya mengatakan bahwa Rhoma
mengharamkan lagu-Iagunya dinyanyikan oleh Inul atau Anisa Bahar
(www.pikiranrakyat.com).
Rhoma juga menyebut goyangan
ngebor
Inul telah merusak citra dangdut.
Lebih jauh lagi, tokoh kharismatik dangdut yang muncul pada tahun '70-an
yang menjadi idola ini, menyebut
performance
Inul telah merusak moralitas
bangsa. Dia pun mendesak SCTV untuk menghentikan program tayangan
"Duet Maut" yang menampilkan Inul (www.pikiranrakyat.com). Rhoma juga
lalu mengumpulkan sejumlah penyanyi-penyanyi dangdut senior dari mulai
Elvi Sukaesih, Camelia Malik hingga Meggy. Z untuk turut mengecam Inul.
FSRO ITS berpandangan, jika soalnya adalah moralitas karena goyangan
Inul dituduh erotis dan sensual, sepatutnya juga diamati realitas yang lebih
holistik dalam dunia entertaiment. Oi dalamnya erotisme dan sensualitas
adalah sebuah resiko, yang juga lebih jauh bisa dijenguk sebagai bagian dari
kreasi (www.pikiranrakyat.com).
Masing-masing individu memiliki pandangan yang berbeda tentang obyek
yang disikapinya, "beda kepala beda pendapat" mungkin kata itulah yang
cukup mewakili perseteruan dua kubu yang pro dan kontra terhadap
goyangan erotis dalam joget dangdut dan terhadap rancangan
undang-undang anti pornografi dan pornoaksi, semua ini tergantung dari bagaimana
mereka mempersepsikannya.
RUU APP sebagai undang-undang yang mengatur masalah pornografi dan
pornoaksi di Indonesia memunculkan beragam sikap masyarakat, hal ini
menjadikan proses pengesahan UU APP tersebut menjadi alot, perbedaan
pandangan hingga saat ini masih hangat dan seolah tak memiliki akhir. Oua
kubu yang dengan alasan dan pendirian masing-masing mencoba
Mereka yang pro RUU APP umumnya beranggapan bahwa bangsa ini perlu
dilindungi dari ancaman bahaya dekadensi moral yang diakibatkan oleh
pornografi dan pornoaksi. Bagi kelompok ini, melindungi kepentingan bangsa
dari dekadensi morallebih penting dibanding sekedar memberikan ruang
kebebasan berekspresi yang tidak berbatas (Setiawan, 2006).
Elemen masyarakat Islam, baik perseorangan maupun ormas-ormasnya
adalah pendukung utama RUU APP, adanya RUU APP bagi kelompok yang
pro justru akan mengarahkan setiap kreativitas menjadi bernilai positif,
bukan sekedar kebebasan dalam penyampaian aspirasi seni dan kreasi yang
nantinya membawa bahaya yang lebih besar dibandingkan manfaatnya.
Kelompok yang anti RUU APP khawatir terjadi penafsiran tunggal oleh
kelompok tertentu yang kuat terhadap si lemah mengenai apa yang dimaksud
dengan pornografi dan pornoaksi. Umumnya mereka mengusung isu tentang
hak kebebasan ekspresi melalui media apapun. Mereka khawatir kebebasan
berekspresi dipasung UU APP (Setiawan, 2006).
dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui
bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah
undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara
pukul rata, seperti yang tertera dalam
RUU
APP (Nathanael, 2006).
RUU
ini
juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang
terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama.
Meski
RUU
APP banyak yang menentang namun tak bisa ditolak bahwa
pornografi dan pornoaksi dapat dikatakan sebagai salah satu faktor pemicu
tindak kriminal. Robert Peters (dalam www.ppuii.com). mengatakan dalam
artikelnya,
The Link Between Pornography And Violent Sex Crimes,
bahwa
ketika pendapat umum dan berbagai penelitian i1miah telah menyepakati
adanya hubungan antara pornografi dan 'kekerasan seksual', maka
"the
burden of proof should shift to those who deny
a
connection"
(beban
pembuktian harus dialihkan kepada mereka yang menolak adanya hubungan
tersebut). Dengan kata lain, apapun alasannya, pornografi jelas berbahaya
bagi masyarakat, dan kalau ada yang mengatakan tidak berbahaya, maka ia
harus membuktikan melalui riset.
perkembangan pornografi di negara kita. Pornografi juga merupakan faktor
signifikan bagi timbulnya kekerasan seksual. Meminjam ungkapan Blanchard
(dalam
www.
ppuiLcom.), "pornografi berperan laksana 'bahan bakar' yang
menyalakan api
(serves
as
fuel for the fire)
bagi para penjahat seksual."
Penelitian yang dilakukan National Law Center for Children
&
Families
menunjukkan adanya hubungan antara bisnis seks dengan kejahatan, di
Iingkungan Phoenix, lokasi bisnis seks, angka kejahatan seksual 506% lebih
tinggi dibandingkan dengan di area yang tidak terdapat bisnis seks. Dr. Mary
Anne Layden, direktur pendidikan, University of Pennsylvania Health System,
menyatakan:
"Saya telah memberikan per/akuan terhadap pelaku dan korban
kekerasan seksua/ selama
13
tahun. Saya be/um pernah menangani satu
kasus pun yang tidak diakibatkan oleh pornografi
(Gov, Haven
Bradford,2000).
Pornografi tak hanya menarik perhatian orang dewasa, remaja dan mungkin
anak-anak baik sengaja ataupun tidak disengaja mengkonsumsinya.
Unit Eksploitasi Seksual Anak pada Departemen Kepolisian Los Angeles
menemukan bahwa pornografi dewasa dan anak-anak digunakan pada lebih dari
87% kasus penganiayaan anak-anak. Angka pemerkosaan di Amerika telah
meningkat lebih dari 500% dibandingkan dengan angka yang ada pada tahun
1960, 57% pelaku pemerkosaan (Iebih dari sekali) berturut-turut mengaku bahwa
mereka mencontoh adegan-adegan yang mereka dapatkan dari pornografi
(Nada,2006).
Khaerunnisa (2003) dalam penelitiannya tentang perbedaan sikap
mahasiswa UKM Kerohanian dengan UKM Kesenian terhadap Inul Daratista,
mendapatkan bahwa sikap tehadap Inul Daratista mahasiswa UKM
Kerohanian lebih rendah dari UKM Kesenian, kedua penelitian ini
menunjukkan bahwa banyak hal yang mempengaruhi persepsi, sikap dan
perilaku seseorang atas obyek sikap, dalam hal ini adalah masalah
pornografi dan pornoaksi, kedua hal ini akan disikapi berbeda dengan cara
pandang yang berbeda pula, karena semuanya akan berpulang kembali pada
masing-masing individu, tergantung pada bagaimana dan apa yang menjadi
pertimbangan dalam dirinya. Maka pandangan tiap orang yang berbeda
tentang masalah pornografi dan pornoaksi juga akan berakibat pada
dukungan dan penolakan mereka terhadap RUU APP yang saat ini masih
diperdebatkan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Saefuddin Azwar (1998) bahwa ada
beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap dalam diri
Dengan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti korelasi antara persepsi
tentang gerakan erotik dalam joget dangdut dengan sikap terhadap RUU
APP, guna melihat bagaimana hubungan antara keduanya.
1.2. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang permasalahan di atas, maka identifikasi masalah dalam
penelitian ini adalah:
1) Apakah ada hubungan antara persepsi tentang gerakan erotik dalam
joget dangdut dengan sikap terhadap rancangan undang-undang anti
pornografi dan pornoaksi?
2) Bagaimana hubungan antara persepsi tentang gerakan erotik dalam
joget dangdut dengan sikap terhadap rancangan undang-undang anti
pornografi dan pornoaksi?
3) Bagaimanakah persepsi masyarakat terhadap gerakan erotik dalam
joget dangdut?
1.3.1. Pembatasan masalah
Dalam penelitian ini, yang menjadi responden adalah masyarakat umum yang
bukan dari kalangan seni ataupun dewan perwakilan rakyat, yang berusia 17
tahun ke atas, memiliki latar belakang pendidikan manimum SLTP dan
mengetahui atau bersedia membaca RUU APP terlebih dahulu sebelum
pengisian skala, hal ini untuk menjamin keakuratan data dan mengetahui
bagaimana persepsi masyarakat umum tentang joget erotik dangdut serta sikap
mereka terhadap RUU APP, yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah
warga yang berdomisili di RT 11 dan RT 09, RW 10 Menteng Dalam, Tebet,
Jakarta Selatan.
1. "Apakah ada hubungan negatif yang signifikan antara persepsi tentang gerakan
erotik dalam joget dangdut dengan sikap terhadap RUU APP?"
2. "Bagaimana persepsi masyarakat umum tentang gerakan erotik dalam joget
dangdut dan bagaimana pula sikap mereka terhadap RUU APP?"
3. Bagaimana pandangan masyarakat tentang gerakan erotik dan sikap mereka
terhadap RUU APP berdasarkan karakteristik usia, latar belakang pendidikan,
pekerjaan, jenis kelamin dan pekerjaan?"
1.4. Tujuan dan manfaat penelitian
1.4.1.
Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab permasalahan yang teridentifikasi dalam
penelitian hubungan persepsi tentang gerakan erotik dalam joget dangdut dengan
sikap terhadap rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana baru bagi disiplin ilmu psikologi,
khususnya bidang psikologi sosial tentang peranan persepsi seseorang terhadap
sikap yang dimunculkan, khususnya persepsi tentang gerakan erotik dengan sikap
terhadap RUU APP. dan sebagai panduan bagi penelitian lanjutan yang terkait
dengan permasalahan ini.
1.5. Kaidah Penulisan Dan Sistematika Penulisan
1.5.1. Kaidah Penulisan
Pada penulisan skripsi ini, penulis menggunakan kaidah American
Psychological Association (APA style).
1.5.2. Sistematika Penulisan
BAB 1. Pendahuluan
Pada bab pertama ini penulis menyampaikan latar belakang masalah
penelitian, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian baik manfaat akademik maupun manfaat praktis,
selanjutnya adalah kaidah dan sistematika penulisan.
BAB 2. Kajian Pustaka
terhadap tindak kriminal, pro dan kontra terhadap RUU APP, kerangka
berpikir, serta hipotesis dari penelitian ini.
BAB 3. Metode penelitian
Dalam bab ini penulis menjabarkan hal - hal yang berkaitan dengan
metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya
adalah: jenis penelitian yang digunakan, populasi, sampel dan teknik
penarikan sampel, instrumen penelitian, blue print penelitian, teknik
analisa data, prosedur penelitian, dan lokasi penelitian.
BAB 4. Hasil penelitian
Pada bab ini dijelaskan dan dijabarkan data hasil penelitian yang telah
didapatkan berikut analisa data berdasarkan statistika.
BAB 5. Kesimpulan diskusi dan saran
Pada bab akhir ini penulis menyimpulkan seluruh data yang diperoleh
dari penelitian dan mendiskusikannya dengan teori-teori dan
2.1. Sikap
2.1.1. Pengertian sikap
Konsep sikap merupakan konsep sentral dalam psikologi sosial, sikap sering
digunakan untuk meramalkan tingkah laku, baik tingkah laku perseorangan,
tingkah laku kelompok, bahkan tingkah laku suatu bangsa atau negara.
Secara terbalik dapat dikatakan bahwa tingkah laku sebagian merupakan
fungsi dari sikap. Pernyataan ini harus dimengerti secara hati-hatL Kata
sebagian di sini mengandung arti bahwa ada hal-hal lain selain sikap yang
ikut menentukan tingkah laku seseorang. Banyak sosiolog dan psikolog
memberi batasan bahwa sikap merupakan kecenderungan individu untuk
merespon dengan cara yang khusus terhadap stimulus yang ada dalam
Iingkungan sosial.
positif atau negatif terhadap berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi,
pribadi, situasi, ide, konsep dan sebagainya.
Gagne (1974) mengatakan bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal
(internal state) yang mempengaruhi pilihan tindakan individu terhadap
beberapa obyek, pribadi, dan peristiwa. Dua definisi sikap yang sangat
dominan pengaruhnya sampai saat ini adalah yang dikemukakan oleh
Gordon
W.
Allport dan David Krech beserta Richard S. Crutchfield
sebagaimana dikutip oleh Sears (1994).
Allport membatasi sikap sebagai:
"...a mental and neural state
of
readiness, organized through experience,
exerting
a
directive or dynamic influence upon the individual's response to a/l
objects and situations with which it
is
related" .
Dengan batasan ini tampak bahwa Allport menekankan pentingnya
pengalaman masa lalu dalam membentuk sikap.
Krech dan Crutchfield membatasi sikap sebagai
"... an enduring
organization
of
motivational, emotional, perceptual and cognitive processes
with respect to some aspect
of
individual's world".
Di sini tampak penekanan Krech dan Crutchfield pada pengalaman subyektif
seseorang pada masa sekarang. Mereka memandang individu sebagai
Sikap diartikan sebagai kesiapan, kesediaan dan kecenderungan untuk
bertindak terhadap suatu objek tertentu dalam hal ini adalah masalah
Iingkungan, sebagai hasil interaksi sosial (Dushkin, 1970, dalam Mar'at,
1981 ).
2.1.2. Komponen Sikap
Secara umum, dalam berbagai referensi, sikap memiliki 3 komponen yakni:
kognitif, afektif, dan kecenderungan tindakan (Morgan dan King, 1975; Krech
dan Ballacy, 1963, Howard dan Kendler 1974, Gerungan, 2000). Komponen
kognitif merupakan aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu
terhadap obyek atau sUbyek. Informasi yang masuk ke dalam otak manusia,
melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru
yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah
ada di dalam otak manusia1. Nilai - nilai baru yang diyakini benar, baik,
indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi emosi atau
komponen afektif dari sikap individu. Oleh karena itu, komponen afektif dapat
dikatakan sebagai perasaan (emosi) individu terhadap obyek atau subyek,
yang sejalan dengan hasil penilaiannya. Sedangkan komponen
Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek dapat positif atau
negatif. Manifestasi sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia
menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau
sUbyek.
Komponen sikap berkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antar
komponen sikap dan secara bersama-sama komponen kognitif, afektif, dan
kecenderungan bertindak menumbuhkan sikap individu. Dari manapun kita
memulai dalam analisis sikap, ketiga komponen tersebut tetap dalam ikatan
satu sistem. Sikap individu sangat erat kaitannya dengan perilaku mereka.
Jika faktor sikap telah mempengaruhi ataupun menumbuhkan sikap
seseorang, maka antara sikap dan perilaku adalah konsisten, sebagaimana
yang dikemukan oleh Krech (1962).
Komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak merupakan suatu
kesatuan sistem, sehingga tidak dapat dilepas satu dengan lainnya. Ketiga
komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap pribadi
sistem nilai yang berada di masyarakat, diantaranya norma, politik, budaya,
dan sebagainya.
[image:33.526.54.432.284.651.2]Inferensi tau penyimpulan mengenai sikap harus didasarkan pada suatu
fenomena yang diamati dan dapat diukur. Fenomena ini berupa respon
terhadap objek sikap dalam berbagai bentuk. Rosenberg dan Hovland
melakukan analisis terhadap berbagai respon yang dapat dijadikan dasar
penyimpulan sikap dari perilaku, yang dapat dilihat dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. respon yang digunakan untuk penyimpulan sikap
Tipe respon
Kategori respon
Verbal
Kognitif
Afektif
Konatif
Pernyataan
Pernyataan
Pernyataan
Keyakinan
Perasaan
Intensi
mengenai
terhadap
perilaku
objek sikap
objek sikap
Non-Verbal
Reaksi
Perseptual
terhadap objek
sikap
Reaksi
Fisiologis
terhadap
objek sikap
Perilaku
Tampak
sehubungan
dengan objek
sikap
2.1.3. Obyek sikap
Obyek sikap dapat berupa apa saja yang ada bagi atau menurut individu.
Oleh karena itu seseorang memiliki sejumlah besar dan beraneka ragam
sikap terhadap obyek dalam dunia fisik di sekelilingnya. la mungkin memiliki
sikap terhadap orang lain dan kelompok-kelompok tertentu, terhadap
organisasi-organisasi sosial polotik, terhadap peristiwa yang sedang
berlangsung, ia juga mungkin memiliki sejumlah sikap terhadap seni, filsafat,
Tuhan, dan sebagainya, bahkan ia juga memiliki sejumlah sikap tertentu
terhadap dirinya sendiri.
Seseorang dapat memiliki sekian banyak sikap. Tetapi jumlah sikap yang
dimiliki seseorang mestilah terbatas. Batasnya adalah dunia psikologis
seseorang itu terbatas (oleh pengalaman hidupnya), maka aneka macam
sikap yang dapat dimiliki seseorang juga terbatas. Misalnya saja, tidak semua
orang Indonesia memiliki sikap terhadap Rancangan Undang-Undang Anti
Pornografi dan Pornoaksi, karena mungkin sebagian orang tidak mengetahui
dan memahami apa itu Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan
Pornoaksi.
baru berarti bila orang yang diukur sikapnya tersebut memang memiliki sikap
yang hendak diukur. Orang memang dapat memberikan jawaban atau respon
terhadap alat ukur sikap, akan tetapi hal ini tidak berarti mereka memiliki
sikap yang sedang diteliti.
2.1.4. Fungsi sikap
Sikap memiliki beberapa fungsi yang sangat penting dalam kehidupan
seseorang.
Hollander
(1976) mengatakan setidaknya ada dua fungsi penting
dari sikap, yaitu:
(1). Menyediakan dasar atau kerangka untuk menginterpretasi dunia dan
memproses informasi-informasi baru.
(2).merupakan cara untuk mendapatkan dan mempertahankan identitas
sosial.
2.1.5. Pembentukan sikap
Sikap manusia berkembang bersamaan dengan perkembangan dirinya.
Dalam kehidupan, seseorang selalu berkembang di tengah-tengah orang lain
dan berkembang pula bersama-sama dengan orang lain. Di tengah
Dalam interaksi sosial juga terjadi saling mempengaruhi antara individu yang
satu dengan individu lainnya, melalui interaksi inilah sikap seseorang
terbentuk.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Saefuddin
Azwar (1988) adalah sebagai berikut:
a. Pengalaman Pribadi
Pengalaman dengan obyek sikap akan memberikan kesempatan kepada
individu untuk memiliki pengetahuan dan tanggapan serta penghayatan
atas obyek tersebut. Pengetahuan dan tanggapan inilah yang kemudian
menjadi salah satu unsur dalam komponen sikap seseorang.
b. Kebudayaan
Kebudayaan masyarakat dimana seseorang hidup dan dibesarkan
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan sikap
orang yang bersangkutan. Nilai-nilai dan norma-normanya kebudayaan
telah memberikan arah bagi sikap yang sesuai terhadap berbagai
masalah dalam kehidupan.
c. Orang Lain yang dianggap penting
Seseorang yang dianggap penting, yang istimewa, yang tak ingin
dikecewakan, yang dibutuhkan persetujuannya, akan banyak
status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman
kerja, isteri atau suami, dan lain-lain.
d. Media massa
Informasi yang disampaikan oleh media massa, terselip pula pesan-pesan
yang dapat membentuk opini seseorang. Adanya informasi baru
mengenai suatu hal memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya
sikap terhadap hal tersebut. Sementara itu pesan-pesan sugestif yang
menyertainya, apabila cukup kuat, maka akan memberi dasar afektif
dalam menilai hal tersebut.
e. Institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan dan lembaga agama mempunyai pengaruh dalam
pembentukan sikap karena keduanya adalah yang meletakkan dasar
pengertian konsep moral dalam diri individu. Konsep-konsep moral
menentukan sistem kepercayaan seseorang tentang segala sesuatu. Ini
merupakan unsur komponen kognitif yang sang at penting dalam sikap
seseorang.
f.
Emosi
2.1.6. Perubahan sikap
Sikap dapat berubah atau dapat diubah melalui banyak cara. Telah kita
ketahui bahwa sikap seseorang terdiri dari komponen kognitif, afektif dan
perilaku. Pada dasarnya perubahan sikap terjadi melalui perubahan
komponen-komponen ini. Sikap seseorang dapat saja berubah setelah ia
menerima informasi baru yang mengubah komponen kognitifnya mengenai
suatu obyek tertentu.
Selanjutnya oleh karena adanya pengalaman langsung dengan obyek sikap
yang berbeda dengan sikap terhadap obyek tersebut selama ini, contohnya
seseorang yang benci terhadap suku "X" dapat berubah pendapatnya setelah
suatu saat ia dalam kesulitan ia dibantu oleh seseorang yang berasal dari
suku"X" tersebut. Disini pengalaman yang menyenangkan atau positif dengan
seseorang dari suku "X" telah menimbulkan disonansi
(disonance)
di dalam
komponen kognitif orang tersebut. Ini akan meyebabkanterjadinya proses
reorganisasi anggapan mengenai suku "X".
Selanjutnya, sikap sesorang dapat berubah oleh karena adanya
kekuatan
yang_memaksa
orang tersebut berperilaku berlawanan dengan sikapnya. Hal
akan berubah setelah teman kerjanya itu menempati pangkat atau
kedudukan yang lebih tinggi atau menjadi atasannya.
2.2. Pengertian pornografi
Terdapat beberapa pengertian yang berbeda yang diberikan atas apa yang
dimaksud dengan pornografi. Penulis dalarn hal ini memberikan beberapa
pendapat para ahli mengenai Istilah Pornografi, yaitu antara lain:
Menurut Hamzah (1987), pornografi berasal dari dua kata, yaitu Porno dan
Grafi. Porno berasal dari bahasa Yunani,
Pome
artinya pelacur, sedangkan
grafi
berasal dari kata
graphein
yang artinya ungkapan atau ekspresi. Secara
harfiah pornografi berarti ungkapan tentang pelacur. Dengan demikian
pornografi berarti
a.
suatu pengungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacur atau
prostitusi.
b.
suatu pengungkapan dalam bentuk tUlisan atau lukisan tentang
kehidupan erotik, dengan tujuan untuk menimbulkan rangsangan seks
kepada yang membaca, atau yang yang melihatnya.
Sedangkan Webster Illustrated Dictionary (dalam www.mappi.com).
sugesti atas sebuah subyek yang
obscene
(tidak senonoh) atau
unchaste
dalam literatur atau perbuatan)"
Ensyclopedia Britannica (dalam www.mappLcom.) menyebutkan bahwa
pornografi adalah:
"The representation or erotic behaviour,
as
in book, picture or films, intended
to cause sexual excitement
(terjemahan bebas: representasi atau tindakan
erotik dalam buku, gambar atau film yang ditujukan untuk membangkitkan
gairah seksual)."
Pornografi menurut Microsoft Encarta online ensyclopedia (dalam
www.mappLcom.) adalah:
"Written, graphic, or oral depictions of erotic subjects intended to arouse
sexual excitement in the audience
(tulisan, gambar, atau oral depictions dari
subyek erotik yang ditujukan untuk membangkitkah gairah seksual banyak
orang)."
Selanjutnya seorang sastrawan Indonesia, HB Jassin (dalam
[image:40.525.42.453.173.477.2]www.hukumonline.com) mengartikan pornografi sebagai suatu tulisan atau
gambar yang dianggap kotor, karena dapat menimbulkan perasaan nafsu
seks atau perbuatan immoral, seperti tulisan-tulisan yang sifatnya
Departemen Penerangan RI (dalam www. mappLcom.) mengartikan
pornografi sebagai penyajian tulisan atau gambar-gambar:
1. Mempermainkan selera rendah masyarakat dengan semata-mata
menonjolkan masalah seks dan kemaksiatan,
2. Bertentangan dengan:
a. kaidah-kaidah moral dan tata susila serta kesopanan;
b. kode etik jurnalistik;
c. ajaran-ajaran agama yang merupakan prima causa di Indonesia;
d. kemanusiaan yang adil dan beradab.
[image:41.524.42.453.186.481.2]Organisasi Pengarang memberi definisi pornografi sebagai suatu tulisan atau
gambar yang dapat melanggar perasaan kesopanan jika tulisan atau gambar
itu tak sedikit pun mengandung nilai, melainkan hanya mengandung
keinginan atau semangat untuk dengan sengaja membangkitkan nafsu birahi
belaka, sehingga menurut norma-norma yang berlaku dalam suatu zaman
dan dalam suatu masyarakat menimbulkan pikiran-pikiran negatif
(www.hukumonline.com).
TabeI2.2.
Fatwa MUI tentang pornografi dan pornoaksi
No.
Kategori Perbuatan Haram
1.
Menggambarkan, secara langsung maupun tidak langsung, tingkah
laku secara erotis, baik dengan lukisan, gambar, tulisan, suara
reklame, iklan, ucapan, baik melalui media cetak
maupun
media
elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi adalah
haram.
2.
Membiarkan aurat terbuka dan/atau berpakaian ketat atau tembus
pandang dengan maksud untuk diambil gambarnya baik untuk dicetak
maupun divisualisasikan adalah
haram.
3.
Melakukan pengambilan gambar sebagaimana dimaksud angka 2
adalah
haram.
4.
Melakukan hubungan seksual atau adegan seksual di hadapan orang,
melakukan pengambilan gambar hubungan seksual atau adegan
seksual, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, dan melihat
hubungan seksual atau adegan seksual tersebut adalah
haram.
5.
Memperbanyak, mengedarkan, menjual, membeli dan melihat atau
memperlihatkan gambar orang, baik cetak maupun visual, yang
terbuka auratnya atau berpakaian ketat atau tembus pandang yang
dapat membangkitkan nafsu birahi, atau gambar hubungan seksual
atau adegan seksual adalah
haram.
6.
Berbuat intim atau berdua-duaan
(kha/wat)
antara laki-Iaki dan Wanita
yang bukan mahramnya, dan perbuatan sejenis lainnya yang
mendekati dan/atau mendorong melakukan hUbungan seksual di luar
pernikahan adalah
haram.
7.
Memperlihatkan aurat, yakni bagian tubuh antara pusar dan lutut bagi
laki-Iakidan bagian tubuh selain muka, telapak tangan, dan telapak
kaki bagi Wanita adalah
harain,
kecuali dalam hal-hal yang
dibenarkan secara syar'i.
8.
Memakai pakaian tembus18ndang atau ketat yang dapat
memperlihatkan lekuk tubuh adalah
haram.
9.
Melakukan suatu perbuatan dan atau suatu ucapan yang dapat
mendorong terjadinya hubungan seksual diluar pernikahan atau
10.
Membantu dengan segala bentuknya dan atau membiarkan tanpa
pengingkaran perbuatan-perbuatan yang diharamkan di atas adalah
haram.
11.
Memperoleh uang, manfaat, dan atau fasilitas dari
perbuatan-perbuatan yang diharamkan diatas adalah
haram.
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa pornografi berasal dari kata
pronos
yang berarti melanggar kesusilaan atau cabul dan grafi yang berarti tulisan,
dan kini meliputi juga gambar atau barang pada umumnya yang berisi atau
menggambarkan sesuatu yang menyinggung rasa susila dari orang yang
membaca atau melihatnya (www.mappLcom)
Melalui beberapa definisi yang ada di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian dari pornografi berbeda antara pendapat yang satu dengan yang
lain. Hal ini disebabkan sifatnya yang relalif, artinya tergantung pada waktu,
tempat, pribadi manusia serta kebudayaan suatu masyarakat yang berusaha
mendefinisikan islilah pornografi ilu sendirL
Namun lerdapat kesamaan unsur yang lermaksud dalam sualu hal yang
dikategorikan pornografi, yaitu:
1. Pornografi dapat berwujud gambar maupun tulisan.
2. Bersifat tidak senonoh
(obscene).
4. Melanggar perasaan kesusilaan, kesopanan dan norma-norma
Masyarakat.
2.3. Dampak pornografi terhadap tindak kriminal
Pornografi tak dapat ditampik sebagai salah satu ancaman bagi kehidupan,
riset telah menunjukkan bahwa pornografi dan pesan di dalamnya
membentuk sikap dan mendorong terbentuknya perilaku yang dapat
merugikan individu pengguna dan keluarga mereka. Pornografi meningkatkan
dorongan perzinaan, prostitusi, dan harapan khayali yang dapat
mengakibatkan perilaku promiscuous yang berbahaya (melakukan sesuatu
tanpa memilih-milih mana yang baik mana yang buruk) (Nada, 2006).
Banyak studi menemukan bahwa pronografi sangat menimbulkan
kecanduan.
The National Council on Sexual Addiction Compulsivity
memperkirakan bahwa 6-8
%
orang Amerika kecanduan seks. Dr. Victor
Cline, (dalam Nada, 2006) seorang pakar kecanduan seks, menemukan
bahwa ada 4 tahap perkembangan kecanduan seksual di antara orang-orang
yang mengkonsumsi pornografi:
2.
Eska/asi:
adiksi dalam waktu yang lama akan membutuhkan material
yang lebih eksplisit dan menyimpang untuk memenuhi kebutuhan
seksual mereka.
3.
Desensitisasi:
apa yang sebelumnya dianggap kotor, mengguncang
Qiwa), dan mengganggu, pada tahap ini menjadi suatu hal yang biasa
dan bisa diterima.
4.
Tindakan seksua/:
terjadi peningkatan kecenderungan untuk mencontoh
atau berperan sesuai dengan perilaku yang dilihat dalam pornografi.
Oi Indonesia, pornografi juga sudah mengakibatkan tindak kejahatan seksual
di berbagai penjuru negeri. Beberapa kejadian yang dilaporkan oleh media
massa seperti yang dikutip di bawah ini menunjukkan adanya bahaya
pornografi.
1.
Oi Lampung Utara, seorang kakek ditangkap Tim Buru Sergap Kepolisian
Resor Lampung Utara karena diduga memperkosa keponakannya.
Tersangka Zaini diringkus di rumah anaknya di kawasan Kedaton,
Bandar Lampung. Belum lama berselang, pria berusia 60 tahun ini
pura-pura lupa mengingat peristiwa setahun lalu. Tersangka akhirnya
mengakui memperkosa remaja berusia 14 tahun itu lantaran tidak kuasa
menahan berahi setelah menonton film porno
(www.liputan6.com).
Sektor Jagakarsa di Depok, Jawa Barat, awal bulan ini, setelah
menonton VCD porno dan mabuk minuman keras
(www.tv7.co.id.
).
3.
Gara-gara terangsang menyaksikan blue film, seorang pedagang krupuk,
Imr (20), warga Gang Rulita RT 1 RW 7 Kelurahan Harjasari Kec. Bogor
Selatan Kota Bogor diduga mencabuli gadis kecil, NH (8), warga
setempat, Kamis (20/2)
(www.pikiran-rakyat.com).
4.
Kasus kekerasan terhadap Wanita dan anak-anak, seperti pemerkosaan
dan pencabulan, yang terjadi di Jakarta Timur tahun 2003 meningkat
dibandingkan dengan tahun 2002. Data mengenai dugaan peningkatan
kasus itu hanya berdasarkan pada kasus-kasus yang terpantau pihak
kepolisian lewat laporan korban. Data di unit Ruang Pelayanan Khusus
(RPK) Polres Jakarta Timur, Senin (6/1) menunjukkan, jumlah kasus
pemerkosaan yang terjadi antara Januari hingga akhir September lalu
mencapai 24 kasus. Jumlah itu meningkat tiga kali Iipat dibandingkan
dengan tahun 2002 yang hanya delapan kasus pada bulan yang sama.
Sementara itu, untuk pencabulan terhadap anak-anak, tercatat 28 kasus.
Dibandingkan dengan tahun 2002 pada bulan yang sama, jumlah itu
meningkat dua kali Iipat. Dari hasil pemeriksaan terhadap pelaku yang
sudah tertangkap, 75 persen kasus pemerkosaan dan pencabulan
dilakukan akibat menonton video compact disc (VCD) porno
(Kompas,
5.
Di sebuah SD di Lombok Barat, misalnya, seorang anak kelas dua SD
coba diperkosa empat kawannya yang duduk di kelas empat. Di
kabupaten lain pun terdapat kasus anak kelas enam mau memperkosa
siswa kelas empat. "Kasus pemerkosaan yang melibatkan pelajar ini
sudah sangat memprihatinkan," kata Kerniasih. Dari kasus-kasus yang
terjadi, hampir seluruhnya bersumber pada rangsangan seksual akibat
pelaku menonton tayangan porno. Ada anak yang mengaku hal itu
dilakukan setelah menonton film India, ada juga karena nonton tayangan
seperti goyang ngebor dan VCD porno yang beredar secara bebas.
(www.Balipost.co.id/balipost cetak/2004).
2.4. RUU APP
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU
APP adalah suatu rancangan produk hukum yang diusulkan oleh Dewan
RUU APP disusun berdasarkan pasal29 ayat (1), pasal 5 ayat (1), dan pasal
20 ayat (1) UUO 1945, serta undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, undang-undang nomor 1 tahun 1946, undang-undang
nomor 73 tahun 1958, undang-undang tentang Pers, undang-undang tentang
Penyiaran, undang-undang tentang Ham, undang-undang tentang
Pendidikan, serta undang-undang tentang Kesehatan (Ojubaedah, 2003).
Pada rancangan kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga
tersisa 82 pasal dan 8 bab. Oi antara pasal yang dihapus tersebut adalah
pasal mengenai sanksi pidana dan pembentukan badan antipornografi dan
pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi
pornografi dan pornoaksi.
Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam
media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan
gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan atau erotik"
adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau
mempertontonkan pornografi" (www.wikipedia.com.23/03/06).
lsi pasal RUU APP ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Ada kelompok
yang mendukung dan kelompok yang menentang. Dari sisi substansi, RUU
ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain RUU ini
mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas,
atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi
seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai
hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain (Nathael,
2006) alam KUHP sendiri tidak dirumuskan pengertian pornografi. Pasal 281,
Pasal 282, Pasal 532, Pasal 534, dan Pasal 535, Demikian pUla dalam Pasal
411 sampai dengan pasal 416, Pasal 420 dan pasal 422 RUU-KUHP istilah
pornografi (pornoaksi) tidak disebutkan dan dirumuskan secara eksplisit
(Djubaedah, 2003).
anggota masyarakat, dengan mengabaikan aspirasi atau kepentingan
masyarakat banyak (www.ppuii.com).
2.5. Persepsi
2.5.1. Pengertian persepsi
Persepsi dalam Psikologi diartikan sebagai salah satu perangkat psikologis
yang menandai kemampuan seseorang untuk mengenal dan memaknakan
sesuatu objek yang ada di Iingkungannya. Menurut Scheerer persepsi
adalah representasi phenomenal tentang objek distal sebagai hasil dari
pengorganisasian dari objek distal itu sendiri, medium dan rangsangan
proksinal (Salam; 1994). Dalam persepsi dibutuhkan adanya objek atau
stimulus yang mengenai alat indera dengan perantaraan syaraf sensorik,
kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat kesadaran (proses psikologis).
Selanjutnya, dalam otak terjadilah sesuatu proses hingga individu itu dapat
mengalami persepsi (proses psikologis).
pribadi-pribadi yang berbeda juga akan berbeda, karena setiap individu
menanggapinya berkenaan dengan aspek-aspek situasi tadi yang
mengandung arti khusus sekali bagi dirinya (Chaplin, J.P; 1999).
Proses pemaknaan yang bersifat psikologis sangat dipengaruhi oleh
pengalaman, pendidikan dan lingkung an sosial secara umum. Sarwono
mengemukakan bahwa persepsi juga dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman dan cara berpikir serta keadaan perasaan atau minat tiap-tiap
orang sehingga persepsi seringkali dipandang bersifat subjektif. Karena itu
tidak mengherankan jika seringkali terjadi perbedaan paham yang
disebabkan oleh perbedaan persepsi antara 2 orang terhadap 1 objek.
Persepsi tidak sekedar pengenalan atau pemahaman tetapi juga evaluasi
bahkan persepsi juga bersifat inferensional (menarik kesimpulan)
(Sarwono, 1983).
Persepsi sosial menyangkut atau berhubungan dengan adanya
rangsangan-rangsangan sosial. Rangsangan-rangsangan-rangsangan sosial ini dapat mencakup
banyak hal, dapat terdiri dari (a) orang atau orang-orang berikut ciri-ciri,
kualitas, sikap dan perilakunya, (b) persitiwa-peristiwa sosial dalam
pengertian peristiwa-peristiwa yang melibatkan orang-orang, secara langsung
maupun tidak langsung, norma-norma, dan lain-lain (Istiqomah, dkk, 1988).
Penelitian lain menunjukkan bahwa proses persepsi juga dipengaruhi oleh
pengalaman belajar dari masa lalu, harapan dan preferensi (Bartol & Bartol,
1994). Terkait dengan persepsi sosial, Istiqomah menyebutkan ada 3 hal
yang mempengaruhi, yakni 1) variabel obyek-stimulus, 2) variabellatar atau
suasana pengiring keberadaan obyek-stimulus, dan 3) variabel diri preseptor
(pengalaman, intelegensia, kemampuan menghayati stimuli, ingatan,
disposisi kepribadian, sikap, kecemasan, dan pengharapan) (Istiqomah, dkk,
1988).
Ada tiga dimensi yang terkait dengan persepsi, menurut Osgood tentang
konsep
diferensial semantik
menjelaskan tiga dimensi dasar yang terkait
dengan persepsi, yakni
evaluasi
(baik-buruk),
potensi
(kuat-Iemah), dan
Persepsi kerap ditafsirkan sebagai sebuah konsep dengan dua macam
pengertian. Pengertian yang pertama menunjuk pada persepsi sebagai suatu
proses dan pengertian, yang kedua mengacu kepada hasil daripada proses
itu sendiri.
Banyak ahli di bidang psikologi sosial yang condong untuk mendefinisikan
persepsi sebagai: suatu proses melekatkan atau memberikan makna kepada
informasi sensori yang diterima seseorang.
Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut, misalnya seorang melintas di
depan kita , melalui indera penglihatan kita dapat menagkap sejumlah ciri
yang terdapat pad a dirinya. Ciri-ciri tersebut merupakan kumpulan informasi
sensoris yang tidak mempunyai makna apa-apa sebelum kita melekatkan
'suatu' makna padanya.
bekerja pada diri kita. Tanpa pemaknaan , maka pengalaman yang kita kita
peroleh hanyalah suatu pengalaman penginderaan biasa.
Persepsi juga didefinisikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa,
atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli
inderawi
(sensory stimuly).
Walaupun begitu makna informasi inderawi tidak
hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan
memori (Walgito, 2002).
Di sisi lain Felley,
et. al.
(dalam Unika, 2006) mengidentifikasi tiga komponen
utama dari proses persepsi. Pertama, seleksi atau
screening
yang sangat
erat hubungannya dengan pengamatan dan stimulus yang dilihat.
Kedua,
interpretasi,
yaitu proses pengorganisasian informasi sehingga mempunyai
arti bagi seseorang. Interpretasi ini tergantung pad a berbagai faktor, seperti
pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dipunyai seorang, motivasi
kepribadian, kecerdasan dan sebagainya.
Ketiga,
kemampuan seseorang
untuk mengadakan kategorisasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi
informasi yang komplek, menjadi lebih sederhana, yaitu interpretasi
behavior
Branca, Woodworth dan Marquis sebagaimana dikutip Walgito ( 2002)
mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses yang didahului oleh
penginderaan. Penginderaan adalah merupakan suatu proses diterimanya
stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu indera. Namun proses
tersebut tidak berhenti di situ saja, pada umumnya stimulus tersebut
diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses
selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak
dapat lepas dari proses penginderaan, dan proses penginderaan merupakan
proses yang mendahului terjadinya persepsi, dengan persepsi individu dapat
menyadari, dapat mengerti tentang keadaan Iingkungan yang ada di
sekitarnya, dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan
(Davidoff, 1981).
2.6. Pengertian gerakan erotik
Namun tidak berarti semua penyanyi dangdut melakukan gerakan erotik
dalam jogetnya.
Ada beberapa definisi gerakan erotik atau goyangan erotik diantaranya
adalah:
a) Bergoyang erotis adalah melakukan gerakan-gerakan tubuh secara
berirama, tidak mengikuti prinsip-prinsip seni tari, dan lebih
menonjolkan sifat seksual sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan
tersebut dapat diduga bertujuan merangsang nafsu birahi ( Penjelasan
RUU APP, pasal 28).
b) Gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai
masturbasi, dan lain-lain (Nathanael, 2006).
c) Dalam erotika seseorang tidak terlepas dari integritas ketubuhannya, temlasuk
diantaranya gerakan menonjolkan lekuk tubuh (Haris, 2006)
2.7. Kerangka berpikir
Pandangan masing-masing orang tidak terlepas dari pengalaman dan faktor
budaya yang ada dalam dirinya (Azwar, 1998), sama halnya dengan
penilaian individu tentang gerakan erotik dalam joget dangdut. Jika
2.8.
Hipotesis penelitian
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik hipotesis dalam penelitian Hubungan
Persepsi tentang Gerakan Erotik Dalam Joget Dangdut dengan Sikap
terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yaitu:
H
o
=
Tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara persepsi tentang
gerakan erotik dalam joget dangdut dengan sikap terhadap rancangan
undang-undang anti pornografi dan pornoaksi.
H
a=
Ada hUbungan negatif yang signifikan antara persepsi tentang gerakan
3.1. Jenis Penelitian
3.1.1. Metode penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian inl adalah metode korelaslonal,
yang bertujuan untuk meneliti sejauh mana variasi pada satu faktor berkaitan
dengan faktor lain (Jalaludin Rahmat,1999). Metode korelasional merupakan
kelanjutan dari metode deskrlptif. Menurut Jalaludin Rahamat, metode
korelaslonal dlgunakan untuk :
1. Mengukur hubungan antar variabel.
2. Meramalkan varlabel tak bebas darl pengetahuan kita tentang variabel
bebas.
3. Meratakan jalan (memudahkan) untuk membuat rancangan penelitian
eksperlmental.
Penelitian inl bertujuan untuk mengetahui bagaimana "Hubungan Persepsi
tentang Gerakan Erotik dalam Joget Dangdut dengan Sikap terhadap
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografl dan Pornoaksi."
responden tentang persepsi gerakan erotik dalam joget dangdut (variabel X) dan
sikap terhadap rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi
(variabel Y).
3.1.2.
Definisi
varia bel
dan operasional variabel
Varia bel Persepsi tentang gerakan erotik
da/am
joget dangdut
•
Definisi variabel : Bergoyang erotis adalah melakukan gerakan-gerakan
tubuh secara berirama, tidak mengikuti prinsip-prinsip seni tari, dan lebih
menonjolkan sifat seksual sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan
tersebut dapat diduga bertujuan merangsang nafsu birahi ( Penjelasan
RUU APP, pasal 28).
•
Operasional variabel : Persepsi tentang gerakan erotik dalam joget
dangdut adalah skor yang diperoleh melalui penyebaran skala yang
diberikan kepada responden mengenai gerakan-gerakan erotik.,
diantaranya gerakan bibir yang sensual, gerakan menggetarkan buah
dada, gerakan pinggul yang bolak-balik seperti gerakan masturbasi, dan
goyangan pantat, gerakan-gerakan tersebut didapat melalui survey
pendahuluan tentang gerakan apa yang dianggap merangsang nafsu
Variabel Sikap terhadap RUU APP
a. Definisi variabel : Howard dan Kendler (dalam Gerungan, 2000)
menyatakan bahwa sikap merupakan suatu kecenderungan untuk
mendekat atau menghindar, positif atau negatif terhadap berbagai
keadaan sosial, apakah itu institusi, pribadi, situasi, ide, konsep,
sedangkan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap terhadap
RUUAPP.
b.
Operasional variabel : sikap terhadap RUU APP adalah skor yang
diperoleh melalui penyebaran skala mencangkup aspek kognisi, afeksi
dan perilaku tentang isi RUU APP, dampak RUU APP terhadap wanita,
serta dampak RUU APP terhadap seni.
3.2. Populasi,
Sam pel
dan Teknik Penarikan Sampel
3.2.1.
Populasi
3.2.2. Sampel
dan teknik penarikan sampel
Sampel adalah sejumlah orang yang dipilih untuk diteliti sebagai contoh atau
dapat mewakili keseluruhan populasi (Jefkins, 1995). Sevilla et all (1993)
mengatakan bahwa ukuran sampel minimum dalam penelitian korelasional
adalah 30 sUbjek, sedangkan sampel dalam penelitian ini berjumlah 50
orang.
Teknik yang digunakan dalam penarikan sampel adalah non acak dengan
metode pengambilan sampel kuota, langkah dalam metode sampling ini
menurut Vockell (dalam Sevilla, 1993) adalah dengan mengidentifikasi
kumpulan karakteristik penting dari populasi dan kemudian memilih sampel
yang diinginkan secara non acak, hal ini diasumsikan bahwa sampel-sampel
tersebut sesuai dengan karakteristik populasi yang telah ditetapkan.
Karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah :
1. Masyarakat umum yang bukan dari kalangan seni ataupun dewan
perwakilan rakyat.
2. Telah berusia 17 tahun ke atas.
Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah
dengan menggunakan skala model Likert untuk kedua variabel dalam penelitin
ini. Skala model Likert merupakan instrumen utama yang digunakan dalam
penelitian ini.
Pernyataan yang diajukan adalah tentang persepsi tentang gerakan erotik dalam
joget dangdut, dengan sikap terhadap rancangan undang-undang anti pornografi
dan pornoaksi, pernyataan-pernyataan yang ada dalam skala model Likert ini
terdiri dari pernyataan favourable dan unfavourable dan setiap pernyataan diberi
nilai sebagai berikut:
Tabe/3.1.
Sobot nilai
Kode
Favourable Unfavourable
5T5
(sangat tidak setuju)
1
6
T5
(tidak setuju)
2
5
AT5
(agak tidak setuju)
3
4
A5
(agak setuju)
4
3
5 (setuju)
5
2
TabeI3.2.
Blue print skala "persepsi tentang gerakan erotik dalam joget dangdut"
No.
Aspek persepsi gerakan erotik
No. Item
No. Item
dalam joget dangdut
Favourable
Unfavourable
1.
Gerakan bibir
yang sensual, seperti
1*, 5*, 6, 17*,30*,
3*,11*,26*, 34*,37*,
mendesah atau gerakan
33*
42*
mencium/mencumbu
2.
Gerakan menggetarkan/
mengoyangkan buah dada
2*,7*,15,22*, 27*
4*,8*,16* , 39, 44*,
43*
46*
3.
Gerakan pinggul yang bolak-balik
seperti gerakan masturbasi
(bersetubuh)
4.
Goyangan pantat atau bokong
total
(* item valid)
9*,12*,18*,28*,
31*,35*
14*,20*,36* , 41*.
45*, 48*
24
13*, 21, 23*,25*,
38*,47*
10*,19*,24*,29*,
32*,40*
24
TabeI3.3.
Blue print Skala Sikap terhadap RUU APP
(omponen
No. Item berdasarkan komponen sikap
Total
Ibjek
sikap
Kognitif
Afektif
Konasi
terhadap
Favourable
Un-
Favourable
Un-
Favourable
Un-RUU APP
favourable
favourable
favourable
spek
2*, 1*
3*, 28*
4*,5*
8*,11*,34
6*, 21*
30*,37*
13
i RUUAPP
spek
16*,22*,
9*,25*
7*,26
15*, 27*
18, 32*
13*, 23*
13
ampakRUU
39*
PP
irhadap
anita
spek
20*, 31
14*,29*
17*,38*
12*, 33
19*,24*,36
10*,35*
13
ampakRUU
PP
rhadap
セョゥ
Dtal
7
6
6
7
7
6
39
3.5. Teknik Analisa Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara analisis statistik
deskriptif, di mana data yang telah didapat dan telah diolah ditabulasikan
untuk kemudian dijelaskan. Sedangkan untuk melihat dan menetukan tingkat
hubungan yang lebih tepat antara persepsi tentang gerakan erotik dalam
joget dangdut dengan sikap terhadap rancangan undang-undang anti
pornografi dan pornoaksi maka digunakan metode Pearson Product moment,
yang menghasilkan indeks yang biasanya ditandai dengan
r.
Koefisien produk momen
r
bervariasi dari korelasi positif yang sempurna
(r =
+ 1,00) dan korelasi negatif yang sempurna
(r=
-1,00). Dan jika tidak ada hUbungannya ditandai dengan
r
=
0,00.
Rumus untuk menghitung korelasi dan validitas digunakan
Pearson Product
moment
dengan rumus sebagai berikut :
rxy
=
Angka indeks korelasi 'r'
product moment
LXY
=
Jumlah hasil antara X dan Y
LX
=
Jumlah seluruh skor X
L
Y
=
Jumlah seluruh skor Y
Dari hasil uji coba penelitian dengan total item 48 untuk skala gerakan erotik
dalam joget dangdut, ada 44 item yang valid dan 4 item yang tidak valid,
sedangkan untuk skala sikap terhadap RUU APP dari seluruh item yang
berjumlah 39 ada 34 item yang valid dan 6 item yang tidak valid.
Adapun untuk mengetahui reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan rumus
Alpha Cronbach
(Azwar, 2003).
Dengan rumus :
a
=
2
[1
-
8
12+
8
22 ]8
2X
a
=
Koefisien reliabilitas
8 12
dan
822=
Varians skor belahan 1 dan 2
8/
=
Varians skor skala
3.6. Prosedur Penelitian
Secara garis besar penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahapan yaitu:
1. Tahap persiapan, yaitu pada tahap ini penulis merumuskan
permasalahan dalam penelitian ini, menentukan varia bel yang akan
diteliti, melakukan studi pustaka dengan mengumpulkan data-data yang
terkait dan teori-teori yang menunjang penelitian ini. Kemudian
dilanjutkan dengan menentukan menyusun dan menyiapkan alat ukur
penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini.
2.
Tahap pengambilan data, dalam tahap ini penulis menentukan sample
penelitian, meminta kesediaan responden untuk mengisi skala penelitian,
serta melakukan pengambilan data dengan memberikan alat ukur
penelitian kepada responden penelitian.
3.
Tahap pengolahan data, pada tahapan ini penulis mengumpulkan data
yang diterima dari responden dan menskoring data hasil penelitian,
kemudian mentabulasikan dan melakukan analisis data, yaitu analisis
validitas dan relibilitas, dan korelasi dari kedua varia bel penelitian.
4.
Tahap Pembahasan, pada tahap ini hasil olah data diinterpretasikan ,
4.1. Garnbaran Urnurn Responden Penelitian
Responden dalam penelitian ini adalah warga Rt 11 dan Rt 09 Kelurahan
Menteng-Dalam, Tebet, Jakarta Selatan, dengan total responden 50 orang
berikut penjelasan data responden dalam penelitian ini.
4.1.1. Jenis kelamin responden
Tabel4.1
Jenis kelamin responden
No.
Jenis Kelamin
Jumlah
Prosentase
1.
Laki-Iaki
22
44%
2.
Wanita
28
56%
Jumlah
50
100 %
[image:67.524.36.426.259.509.2]4.1.2. Usia responden
Usia responden dalam penelitian ini dibagi berdasarkann kategori usia
Levinson (dalam FJ.Monks, 2002) menjadi tiga kategori yaitu, usia 17-39
tahun sebagai dewasa awal, usia 40-59 tahun sebagai dewasa madya, dan
usia 60 tahun ke atas sebagai dewasa akhir. Dalam penelitian ini responden
yang memiliki usia17-39 tahun berjumlah 42 orang (84 %), sedangkan yang
masuk kelompok usia 40-59 tahun berjumlah 8 orang (16%) dan tidak ada
responden yang berusia 60 tahun ke atas (lihat Tabel 4.2)
TabeI4.2.
Usia responden
No
Usia
Jumlah
Prosentase
1.
17-39 tahun
42
84%
2.
40-59 tahun
8
16 %
3.
60 tahun ke atas
0
0%
4.1.3. Pekerjaan responden
Tabel4.3
Pekerjaan responden
No
Pekerjaan
Jumlah
Prosentase
1.
Pelajar
8
16 %
2.
Mahasiswa
19
18 %
3.
Karyawan
10
20%
4.
Wirausaha
5
10 %
5.
Ibu rumah tangga
8
16 %
Jumlah
50
100%
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa responden dalam penelitian inj terdjrj
pelajar 8 orang (16%), mahasiswa sebanyak 19 orang (18%), karyawan 10
orang (20%), wirausaha 5 orang (10%), dan ibu rumah tangga 8 orang (16%).
4.1.4. Pendidikan responden
TabeI4.4.
Pendidikan responden
No.
Pendidikan
Jumlah
%
1.
S1
26
52%
2.
SMUt Aliyah
19
38%
3.
SLTP
5
10 %
Berdasarkan tabel di atas didapat bahwa responden dalam penelitian ini
terdiri dari 26 orang yang berlatang belakang S1( 52
%),
19 orang (38
%)
berlatang belakang SMU atau Aliyah dan selebihnya yaitu, 5 orang (10
%)
memiliki latar belakang pendidikan SLTP.
4.2 Analisa Data
4.2.1 Skor responden secara keseluruhan
[image:70.524.32.463.165.532.2]TabeI4.5.
Tabel Skor responden secara keseluruhan
Variabel
kategori
Interval skor
Jumlah
%
Skala persepsi tentang
Positif
192-264
5
10%
gerakan erotik
biasa
118-191
21
42%
negatif
44-117
24
48%
total
50
100%
Skala sikap terhadap
Pro
148-204
30
60%
RUU APP
Netral
91-147
15
30%
Kontra
34-90
5
10%
total
50
100%
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden dalam
penelitian ini (48
%)
memandang negatif gerakan erotik dalam joget dangdut
dan hanya lima orang (10
%)
responden yang memandang positif.
Responden dalam penelitian ini cenderung pro dengan RUU APP (60
%)
dan hanya 5 orang yang netral dan sisanya (10
%)
kontra terhadap RUU
4.2.2. Perbedaan skor responden berdasarkan jenis kelamin
TabeI4.6.
Perbedaan skor berdasarkan jenis kelamin
Variabel penelitian
Mean
. Laki-Iaki
Wanita
Persepsi tentang gerakan
163.90
91.71
erotik
5ikap terhadap RUU APP
120.04
158.78
dari tabel di atas dapat dilihat bahwa persepsi kaum laki-Iaki tenta