KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF
MUHAMMAD ABDUH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)
Oleh:
Josep Iskandar
NIM: 101033121751
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF
MUHAMMAD ABDUH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai syarat akademisi untuk memenuhi
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)
Oleh
Josep Iskandar
NIM: 1010 3312 1751
DI bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A.
NIP: 150 228 520
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PEGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF
MUHAMMAD ABDUH telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 Februari 2009.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program Studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 16 Februari 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dra. Ida Rosyidah, M.A. Drs. Maulana, M.A.
NIP: 150 243 267 NIP: 150 293 221
Anggota,
Dr. Syamsuri, M.A. Aktobi Gozali, M.A.
NIP: 150 240 089 NIP: 150 368 753
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah swt.,
Dia-lah Zat Yang Wajib Ada, puncak segala eksistensi, dan atas segala
karunia-Nya yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, dan aqli. Hanya
karena-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada sosok yang
tidak aman sebelum umat-Nya merasa nyaman, dan mendedikasikan hidupnya
untuk membawa umat manusia keluar dari jurang kebiadaban menuju umat yang
dihiasi oleh peradaban, yaitu nabi Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya,
serta para pengikutnya yang selalu mendukung terhadap ajaran yang dibawa
beliau.
Sebagai catatan kecil pembuka ini, sebenarnya belum bisa mewakili
curahan rasa hati penulis. Bahkan dengan jujur seraya tertunduk malu, penulis
berharap tulisan kecil ini dapat mewakili isi kalbu. Dengan penuh hormat, penulis
persembahkan penghargaan yang paling khusus kepada:
1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filasafat beserta para pembantu dekan.
2. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. dan Drs. Ramlan Abdul Gani, M.Ag.
selaku ketua dan sekertaris jurusan Aqidah-Filsafat.
3. Bapak Prof. Dr Zainun Kamaluddin K, M.A, selaku Dosen Pembimbing
yang telah memberi pengarahan dalam proses penulisan skripsi ini.
4. Seluruh dosen, staf akademik dan staf Perpustakaan Utama UIN, Fakultas
5. Kepada kedua orang tuaku, Bapak U. Sukandi dan Ibu Mimin Mintarsih.
Terima kasih atas segala kasih sayang dan dukungannya selama ini, baik
berupa moril, spirituil, maupun materil, yang tanpa dukungan keduanya
mustahil penulis dapat menyelesaikan studi hingga keperguruan tinggi.
Tiada ungkapan dan hadiah yang dapat diberikan untuk menggambarkan
betapa berharganya dan berartinya beliau dihatiku. Aku hanya bisa berdo’a
kepada Allah swt., semoga kesehatan dan keberkahan selalu bersamanya.
Amîn. Terima kasih kepada adik-adikku tersayang (Nur dan Ani) atas
curahan kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepadaku.
6. Teman seperjuangan Aqidah-Filsafat angkatan 2001, Sahal, Faruq, Daus,
Cecep, Ivan, Dahlan, Ikay, Surachman (Dede), Anwar, Ipeh, Ika, dan
semua yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
7. Untuk sahabat-sahabatku Aji, Supri, Ijang, Cumank, Egy, Ali, Yudi, Risti,
Naya, Lilis, Yayi, Sherly, Ia, Sahrul ”TH”, terima kasih atas segala
perhatian, do’a, dan dukungannya selama ini. Untuk terkasih yakni dinda
”Tyan” yang selalu memberi semangat dalam penulisan skripsi ini. Terima
kasih atas segala do’a dan dukungannya.
Akhirnya, segala kebenaran hanya milik-Nya, dan semoga skripsi ini
membawa manfaat bagi khalayak ramai dan akademisi, dan semoga Allah
membalas jasa kebaikan mereka di atas dengan balasan yang setimpal. Âmîn yâ
Rabb al-‘âlamîn.
Jakarta, Februari 2009.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... i
KATA PENGANTAR………. iii
DAFTAR ISI………. v
PEDOMAN TRANSLITERASI………... vii
BAB I PENDAHULUAN………... 1
A. Latar Belakang Masalah………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………. 9
C. Tinjauan Kepustakaan……… 9
D. Tujuan Penelitian...………... 10
E. Metode Penelitian…..………... 11
F. Sistematika Penulisan………... 12
BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH……….. 13
A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh………. 13
B. Karya-karya Muhammad Abduh……….. 20
C. Pengaruh Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam………… 22
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN... 27
A. Pengertian Sifat dan Perbuatan……… 27
B. Pandangan tentang Sifat dan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Kalam………... 28
a. Mu’tazilah……….. 30
b. Asy’ariyah……….. 37
BAB IV SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF
MUHAMMAD ABDUH……….. 51
A. Sifat-sifat Tuhan………... 51
B. Sifat-sifat Tuhan Yang Wajib Ada…...……… 56
1. Hayah………... 56
2. ‘Ilm………... 57
3. Iradah………... 58
4. Qudrat……….. 59
5. Ikhtiar………... 60
6. Wahdah……… 61
C. Perbuatan-perbuatan Tuhan………. 66
D. Analisis Ke-Tuhanan dalam Pemikiran Muhammad Abduh…... 75
BAB V PENUTUP……….. 79
A. Kesimpulan……….. 79
B. Saran-saran………... 82
PEDOMAN TRANSLITRASI
Padanan Aksara:tidak
dilambangkan: b
: t
: ts
: j
: h
: kh
: d
: dz
: r
: z
: s
: sy
: s
: d
: t
: z
:
: gh
: f
: q
: k
: l
: m
: n
: w
: h
: ,
: y
Vokal Panjang Vokal Tunggal
–
: â
!!
: a
–
"
: î
—
"
: i
–
#
: û
!!#
: u
Vokal Rangkap
–
: ai
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsep adalah abstrak, entitas1 mental yang universal yang menunjuk
pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Suatu konsep
adalah elemen dari proposisi seperti kata adalah elemen dari kalimat. Konsep
adalah abstrak di mana mereka menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu
dalam ekstensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Konsep adalah
universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap ekstensinya.
Konsep adalah pembawa arti. Suatu konsep tunggal bisa dinyatakan dengan
bahasa apa pun.2 Contohnya, “Konsep Tuhan” bisa dinyatakan dengan “God”
dalam bahawa Inggris, “Allah” dalam bahasa Arab, “Hyang” dalam bahasa Cina.
Sedangkan kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural,
biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau
jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa
konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang
merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta
ada, sumber segala yang ada, kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua
makhluk hidup atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.3
1 Entitas adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda, walaupun
tidak harus dalam bentuk fisik. Abstraksi, misalnya, biasanya dianggap juga sebagai suatu entitas. Dalam pengembangan sistem, entitas digunakan sebagai model yang menggambarkan komunikasi dan pemrosesan internal seperti misalnya membedakan dokumen dengan pemrosesan pesanan.
2 Ensiklopedia Bebas, Konsep, artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep
Tuhan merupakan satu entiti kewujudan yang Maha Berkuasa, Maha
Mengetahui, dan Maha Penyanyang yang biasanya disembah oleh manusia.
Tanggapan mengenai Tuhan sebenarnya adalah berbeda-beda dari satu agama ke
satu agama yang lain, contohnya aliran utama agama Kristian manganggap imej
Tuhan adalah seperti manusia, tetapi ada agama lain yang menganggap bahawa
imej Tuhan tidak dapat ditanggapi. Tetapi walaupun demikian, Tuhan merupakan
satu konsep yang boleh dijumpai secara universial di setiap bangsa.4
Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang
Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu
Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik-beratkan konseptualisasi
Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa
(ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur'an terdapat 99 Nama
Allah (asma'ul husna artinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan
setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah,
nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas. Diantara 99 nama Allah tersebut, yang
paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahmân)
dan "Maha Penyayang" (ar-rahîm). Penciptaan dan penguasaan alam semesta
dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian-Nya yang paling utama
untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas
keesan-Nya dan kuasa-keesan-Nya.5
Dan juga dalam Islam dikatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya ma’bûd
(yang ditujukan ibadah kepada-Nya). Tidak ada ma’bûd selain-Nya, dan sama
sekali tidak dibolehkan adanya ibadah kepada sesuatu apapun selain-Nya.
4Ibid.,
Pengertian seperti itu semuanya dilandaskan oleh al-Qur’an, Sunnah, akal dan
ijmâ’.
Konsep Tuhan menurut Muhammad Abduh adalah bahwa Tuhan
merupakan Zat Yang Wajib Ada, Dia qadîm (tidak bermula), dan pula azali (ada
sebelum sesuatu tiada menjadi ada), karena apabila tidak demikian, maka Tuhan
menjadi baharu di mana sesuatu wujud-Nya didahului oleh tiada (‘Adam).
Sekiranya Zat Yang Wajib Ada itu tidak qadîm, maka tentulah Tuhan dalam
wujud-Nya itu diperoleh dengan adanya yang lain yang mewujudkan-Nya. Bahwa
sesungguhnya Zat Yang Wajib Ada itu mempunyai wujud-Nya sendiri. Dan
apabila yang Zat Yang Wajib Ada itu masih didahului oleh tiada, maka bukanlah
dinamakan “Wajib Ada”, melainkan “Mustahil Ada”, karena apabila demikian
sifatnya paradoks.6
Adapun ilmu yang membahas tentang wujud dan sifat-sifat Tuhan disebut
ilmu tauhid. Secara teologis pembahasan tauhid didasarkan pada pengetahuan
tentang ke-Tuhanan. Asal makna tauhid yaitu meyakinkan bahwa Tuhan adalah
satu, tidak ada syârikat bagi-Nya. Tauhid juga merupakan pokok ajaran yang
sangat krusial dalam paham agama monoteisme. Hal yang terpenting yaitu
menetapkan sifat “wahdâh” (satu) bagi Tuhan dalam zat-Nya dan dalam
perbuatan-Nya. Dan juga keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam
seluruhnya dan bahwa Tuhan sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini
dan penghabisan segala tujuan.7
Surat al-Ikhlâs, yakni surat Qul huwallâhu ahad, memuat aspek terpenting
dari aspek-aspek ajaran Islam yang dibawa Nabi, yang pada garis besarnya
meliputi tiga aspek, yaitu tauhid, syari’ah, wa’ad (janji Tuhan) dan wa’id
(ancaman Tuhan) aspek pertama tauhid yang dibawa surat ini dimaksudkan untuk
membebaskan bangsa Arab dan yang lainnya dari kemusyrikan, dan merupakan
ajaran keimanan yang paling pertama ditekankan. Maka sudah barang tentu, apa
yang terkandung dalam surat tersebut adalah bersumber dari Tuhan demi
merealisir misi risalah Nabi-Nya dan mengarahkan manusia terhadap apa yang
mereka percayai mengenai Tuhan.8
Semua yang disebut satu selain Tuhan adalah sedikit. Semua yang mulia
selain Dia adalah hina. Semua pemilik selain Dia adalah termiliki. Semua yang
berilmu selain Dia adalah pencari ilmu. Semua yang kuasa selain Dia, adalah
seorang hamba. Semua yang mendengar selain Dia adalah tuli terhadap
suara-suara yang amat lembut, amat keras ataupun amat jauh dari tempatnya. Semua
yang melihat selain Dia adalah buta terhadap warna-warna yang amat lemah
ataupun benda-benda yang amat lembut. Semua yang zhâhir dan yang bâthin
selain Dia tidak mungkin bersifat zhâhir.9
Sering pula “Ilmu Tauhid” dinamakan sebagai “Ilmu Kalâm” yaitu karena
adakalanya masalah yang paling terkenal dan banyak menimbulkan perbedaan
pendapat di antara para sarjana abad-abad pertama, yaitu; apakah “Kalâm Allah”
(wahyu) yang dibacakan itu baru atau qadîm? Dan adakalanya pula, ilmu tauhid
itu dilandaskan dari dalil ‘aqli (rasio), di mana akibatnya nyata terlihat dari
perkataan setiap para ahli yamg turut berbicara tentang ilmu itu. Namun sedikit
sekali orang yang berbicara dengan dasar dalil naqli al-Qur’an dan Sunnah Rasul,
8 Rifat Syauqi Nawawi, Rasional Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Aqidah dan
Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. 1, h. 117.
9 Muhammad Abduh, Mutiara Mahjul Balaghah (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke-4,h.
kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu. Di samping itu ada pula
suatu sebab lain yang menyebabkan “Ilmu Tauhid” itu dinamakan orang “Ilmu
Kalâm” karena dalam memberikan dalil tentang pokok agama, ia (tauhid) lebih
menyerupai logika (manthîq), yang digunakan untuk menjelaskan liku-liku
argumentasi dalam ilmu-ilmu para ahli teori (ilmu-ilmu rasional). Kemudian
istilah manthîq diganti dengan kalâm untuk membedakan antara kedua ilmu itu.10
Setelah berlalunya zaman nabi Muhammad, di mana beliau telah
melenyapkan segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhât.
Maka yang memegang khalifah setelahnya adalah sahabat-sahabatnya, dua orang
khalifah sesudah beliau berjuang sepanjang umurnya melawan musuh-musuh
Islam, sehingga tidak ada sedikitpun bagi orang banyak untuk memperdayakan
dan mengutak-utik dasar kepercayaan (aqîdah) yang telah berkembang baik di
masa itu. Bila timbul sedikit saja pertentangan masalah apapun, maka cepat-cepat
persoalan itu di bawa kehadapan khalifah yang dengan putusannya, persoalan
menjadi terselesaikan, yang sebelumnya terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh
para ahli agama yang selalu mendampingi khalifah tersebut.11
Biasanya permasalahan yang menimbulkan perdebatan tersebut muncul
dalam bidang hukum (furû’), bukan mengenai masalah yang pokok atau di luar
masalah itu, yakni mengenai kepercayaan (aqîdah). Keadaan rakyat pada masa
kedua khalifah setelah nabi Muhammad, cukup mengerti akan isyarat-isyarat
al-Qur’an dan nash-nashnya. Mereka menganutnya dengan penuh kesadaran dan
diliputi kesucian. Ayat-ayat yang mutasyâbihat mereka serahkan kepada Tuhan.
Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga terjadinya peristiwa yang
menimpa khalifah yang ketiga (Utsman bin Affan), yaitu peristiwa terbunuhnya
khalifah tersebut. Sejak itulah awal umat Islam menjadi terpecah-belah menjadi
beberapa bagian12. Namun demikian, al-Qur’an tetap utuh dan terpelihara menurut
aslinya sampai sekarang dan akhir zaman, seperti yang terkandung dalam
al-Qur’an Surah al-Hijr ayat 9.
Namun setelah berselangnya beberapa periode, maka bermunculan
aliran-aliran kalam yang memiliki nama besar seperti, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan
Maturidiyah. Di mana golongan Mu’tazilah menetapkan kekuasaan akal untuk
mengetahui segala hukum-hukum agama, menentukan mana yang sifatnya furu’
dan yang mana sifatnya ibadat (karena khawatir berlebihan menarik garis
al-Qur’an), maka golongan Mu’tazilah mengkhususkan dalam menentukan
kekuasaan akal tentang pokok-pokok yang sifatnya furû’ saja. Sedangkan
golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa pokok kepercayaan
(aqidah) menurut pokok-pokok yang sesuai dengan tujuan akal, dan dengan
adanya dalil menunjukan kepada tidak adanya barang yang dibuktikan. Artinya
golongan ini lebih mengedepankan wahyu dibanding akal.
Persoalan yang menjadi bahan perdebatan dikalangan aliran-aliran kalam
tersebut di antaranya adalah masalah sifat-sifat Tuhan. Tarik-menarik di antara
aliran-aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan ini, tampaknya dipicu oleh
truth claim (mengaku pendapatnya yang paling benar) yang dibangun atas dasar
kerangka berpikir masing-masing dalam klaim terhadap pentauhidan Tuhan.
Tiap-tiap aliran kalam mengaku bahwa fahamnya dapat mensucikan dan memelihara
ke-Esaan Tuhan.
Perdebatan antar aliran kalam mengenai sifat-sifat Tuhan tidak terbatas
pada persoalan apakah Tuhan memiliki sifat ataukah tidak? Tetapi juga pada
persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Tuhan, seperti antropomorphisme melihat
Tuhan, dan esensi al-Qur’an. namun penulis sendiri di sini hanya membahas dan
membatasi pada persoalan sifat-sifat Tuhan saja.
Persoalan lain yang menjadi perdebatan di antara aliran kalam adalah
masalah perbuatan Tuhan. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan
ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap
beriman dan siapa yang kafir di antara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian
mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan
manusia, apakah Tuhan ataukah manusia sendiri? Atau kerja sama antara
keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam free will yang
diwakili oleh Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah
mengambil sikap pertengahan. Persoalan ini kemudian memperluas lagi dengan
mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau
tidak? Apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik
saja, ataukah perbuatan Tuhan terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, tetapi
juga mencakup kepada hal-hal yang buruk?
Di masa sekarang pun terdapat pertentangan dikalangan umat Muslim
mengenai masalah sifat dan perbuatan Tuhan, seperti MUI memberikan fatwa
sesat kepada sebagian aliran yang ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam,
misalnya tidak megerjakan dan mewajibkan sebagian rukun Islam. Bagi sebagian
aliran yang dianggap sesat, menurutnya cukup dengan hati untuk mengimani
Tuhan, Dia mampu mengetahui segala apapun termasuk isi hati seseorang. Dan
apakah dalam setiap perbuatan manusia Tuhan ikut andil untuk mengeluarkan
perbuatan manusia tersebut, baik yang bersifat negatif maupun positif? Ataukah
perbuatan tersebut bentuk kerja sama antara Tuhan dan manusia?
Dalam sejarah pembaharuan Islam, Muhammad Abduh adalah salah
seorang tokoh pemikir yang besar. Corak pemikirannya adalah rasional, di mana
pemikirannya sejalan dengan pemikiran golongan Mu’tazilah, yakni
mengedepankan akal dalam menentukan segala persoalan. Dalam pandangannya
mengenai konsep Tuhan di antaranya yaitu permasalahan sifat dan perbuatan
Tuhan yang sampai sekarang masih dalam perdebatan di antara para ulama kalam.
Mengenai sifat Tuhan menurut Abduh adalah sifat Tuhan sama dengan esensi
Tuhan, meskipun ia tidak tegas mengatakannya. Menurutnya, Sifat-sifat Tuhan
atau Zat Yang Wajib Ada di antaranya ‘Ilm, Hayat, Qudrat, Iradah, Ikhtiar dan
Wahdah.13 Sedangkan tentang perbuatan Tuhan menurut Abduh adalah kewajiban
Tuhan untuk berbuat baik kepada manusia dengan tidak memberikan beban atau
tugas di luar kemampuan manusia, mengirimkan para rasul untuk memberikan
contoh teladan, dan menepati janji-Nya memasukan orang Mukmin ke dalam
surga, dan memasukan orang yang berbuat dosa besar ke dalam neraka.14
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
mengkaji lebih dalam lagi mengenai konsep Tuhan yang dikemukakan oleh
Muhammad Abduh. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba menulis skripsi ini
dengan judul Konsep Tuhan menurut Persfektif Muhammad Abduh.
13 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 67.
14 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pada dasarnya banyak yang menarik untuk dibahas mengenai Muhammad
Abduh dilihat dari corak pemikirannya. Dengan latar belakang masalah yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka dalam kesempatan ini menurut penulis perlu
membatasi objek kajian penelitian untuk menghidari pelebaran masalah. Untuk itu
penulis membatasi pembahasan pada permasalahan Sifat-sifat dan
Perbuatan-perbuatan Tuhan dalam pandangan Muhammad Abduh.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusannya adalah
bagaimana Muhammad Abduh menjelaskan dan memaparkan pendapatnya
mengenai sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan? Dan apakah sifat dan
perbuatan Tuhan mempunyai hubungan dengan makhluk-Nya, khususnya
manusia?
C. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian pemikiran Muhammad Abduh bukanlah hal yang baru. Kajian
dan eksplorasi terhadap figur ulama ini telah berlangsung sejak lama. Apalagi
penelitian dengan mengambil sebagian pemikiran darinya, beberapa tema yang
mempunyai intensitas rasional dengan karakteristik pemikirannya sudah banyak
dilakukan. Adanya kecendrungan untuk mengungkap sisi lain dari pemikiran
Muhammad Abduh, yaitu dalam bidang teologi adalah hal yang jarang dilakukan
mengingat ia juga dikenal sebagai ahli fiqh, tasawuf, bahasa, dan tafsir.
Dalam dunia akademis ditemukan juga beberapa karya ilmiyah yang
mengkaji pemikirannya baik dalam bentuk makalah, laporan penelitian, skripsi,
maupun disertasi. Terdapat beberapa nama yang berhasil menyumbangkan
berjudul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, yang membahas
tentang filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, permasalahan Tuhan secara
umum, dan konsep iman.
Di samping itu, Muhammad Abduh tidak asing lagi dikalangan mahasiswa
di antaranya adalah skripsi yang ditulis oleh H. Ansoriyah dalam skripsinya,
Konsep Tauhid dalam Al-Quran: Telaah atas Penafsiran Muhammad Abduh
terhadap surat Al-Ikhlas ayat 1-4, yang membicarakan mengenai tauhid secara
umum dan implikasinya dalam kehidupan serta menafsirkan dalam surat al-Ikhlas
ayat 1-4. Sedangkan Khairuddin dalam skripsinya, Pemikiran Teologi Muhammad
Abduh: Kehendak serta Kekuasaan Mutlak Ilmiah dan Kebebasan Manusia,
dalam skripsi ini hanya menekankan pada akal manusia sebagai kebebasan yang
mutlak dalam berpikir.
Dari buku dan judul skripsi yang telah disebutkan di atas, ternyata yang
membahas tentang Konsep tauhid pemikiran Muhammad Abduh secara khusus
belum ada, Oleh karena itu sudah pasti berbeda dengan skripsi yang telah ada.
Dengan itu, penulis tidak ragu lagi dalam menulis skripsi ini.
D. Tujuan Penelitian
Secara formal skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) pada jurusan Aqidah Filasafat, fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan non
formal penulis skripsi ini adalah untuk menambah literatur tentang pemikiran
Pemikiran Muhammad Abduh dengan harapan dapat merangsang kajian-kajian
Tujuan penelitian skripsi ini adalah di antaranya:
7. Guna mengetahui lebih jauh lagi mengenai Muhammad Abduh dalam
bidang yang sedang dikaji.
8. Untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam pemikiran Muhammad
Abduh, yakni ilmu dalam bidang yang dikaji.
9. Mengungkap sesuatu dari pemikiran Muhammad Abduh yang sedang dikaji
sehingga membuka ruang kritik terhadapnya.
E. Metode Penelitian
Metode pengumpulan data skripsi ini menggunakan kajian kepustakaan
(library research) yaitu menghimpun buku atau tulisan yang ada kaitannya
dengan tema skripsi ini. Data-data tersebut diambil dari tulisan Muhammad
Abduh sendiri yang terdokumentasikan dalam bentuk kitab, baik yang berbahasa
Arab maupun yang sudah diterjemahkan. Risalah at-Tauhid merupakan salah satu
sumber primer yang dijadikan rujukan utama dalam penulisan skripsi ini.
Sedangkan tulisan-tulisan tentang Muhammad Abduh baik yang
terdokumentasikan dalam buku, makalah, artikel, jurnal, dan majalah yang
mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini, merupakan sumber
sekunder yang menjadi penunjang sumber primer.
Metode pembahasan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis.
Metode ini digunakan untuk menjelaskan segala persoalan teologi Muhammad
Abduh, serta untuk mengangkat pemikiran Muhammad Abduh dalam
menggambarkan tentang Tuhan.
Teknik penulisan ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya
Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentang transliterasi, penulis juga menggunakan
pedoman transliterasi yang dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pedoman transliterasi tersebut dilampirkan sebelum bab ini.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini menjadi terarah dan lebih sistematis dan
menjadi standar penulisan skripsi S-1, maka penulisan ini disusun dalam lima bab
yang masing-masing memiliki sub-sub bab diantaranya yaitu:
Bab pertama, pendahuluan yang mencakup, latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan kepustakaan, tujuan penulisan,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas tentang biografi Muhammad Abduh mencakup
riwayat hidup Muhammad Abduh, karya-karya Muhammad Abduh, dan pengaruh
Muhammad Abduh dalam pemikiran Islam.
Bab ketiga, yang menjelaskan gambaran umum tentang sifat dan perbuatan
Tuhan yang meliputi pengertian sifat dan perbuatan Tuhan, pandangan tentang
sifat dan perbuatan Tuhan menurut aliran kalam seperti Mu’tazilah, dan
Asy’ariyah, Maturidiyah.
Bab keempat, membahas tentang sifat dan perbuatan Tuhan menurut
perspektif Muhammad Abduh yang berisikan sifat-sifat Tuhan,
perbuatan-perbuatan Tuhan, serta analisis ke-Tuhanan dalam pemikiran Muhammad Abduh.
Sedangkan pada bab kelima adalah penutup yang terdiri atas kesimpulan
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH
A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di desa Mahallat Nasr,
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.15 Ayahnya bernama Abduh bin
Hasan Kharullah, dan ibunya menurut riwayat dari bangsa Arab yang silsilahnya
menurun dari suku bangsa Umar bin Khattab.16 Muhammad Abduh mengawali
pendidikan dalam lingkungan petani di Pedesaan. Di bawah asuhan ibu-bapak
yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan sekolah, namun memiliki jiwa
religius yang kuat.
Pendidikannya
Muhammad Abduh mengawali pendidikannya belajar pelajaran pada
umumnya, seperti membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an pada ayahnya di
rumah. Berkat otaknya yang cemerlang, hanya dalam jangka waktu dua tahun ia
mampu menghafal al-Qur’an seluruhnya, ketika itu ia berusia 12 tahun.17
Kemudian diusianya yang ke 14 tahun, ia dikirim ayahnya ke Thanta untuk
belajar di Masjid al-Ahmâdi (al-Jami’ al-Ahmâdi). Di sini, di samping
melancarkan hafalan al-Qur’annya, ia juga belajar bahasa Arab dan fikih.18
Setelah belajar selama satu setengah tahun, metode hafalan yang dipakai
sebagai sistem pengajaran di tempat ini membuat Abduh yang sedari kecil sudah
terlihat nalar kritisnya menjadi kecewa. Dalam riwayatnya ia menulis, “aku
menghabiskan satu setengah tahun tanpa mengerti sesuatu apa pun”, karena
metode dan sistem belajar yang buruk, guru-guru mengajar dengan menghafal
istilah-istilah tentang nahwu dan fikih yang tidak dimengerti. Guru-guru bahkan
15 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), h.
11.
16 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), cet. IX, h. 59.
17 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987,
cet. I, h, 11.
tidak merasa penting apa kita mengerti atau tidak mengerti arti istilah-istilah
tersebut”.19 Dengan rasa kecewa Abduh pun kembali ke Mahallat Nasr.20
Kemudian ayahnya tetap memaksakan agar ia meneruskan belajar di
Thanta, dan akhirnya ia terpaksa pergi, namun bukan ke Thanta melainkan ke
rumah paman ayahnya yang bernama Syeikh Darwisy Khadr untuk bersembunyi.
Darwisy kemudian mendidik Abduh untuk belajar dan mencintai ilmu dan buku.
Darwisy juga memberikan imbauan dan dorongan serta nasihat kepada Abduh
agar kembali bersamangat dan bergairah dalam menuntut ilmu. Didikan Darwisy
ternyata berhasil dan akhirnya Abduh mau meneruskan studinya di Thanta.21
Karir awalnya berangkat dari studi-studi ilmu tradisional di Universitas
al-Azhar, dan komitmen awalnya berdasarkan sufisme tarekat Syâdziliyah, praktik
zikir dan ta’wîdz. Studi-studi universitasnya mengukuhkan tidak hanya seorang
‘âlim yang disegani, tetapi juga menyadarkan diri terhadap belenggu taqlîd
(keterikatan pada tradisi), yang kemudian menjadi sumber energi
pembaharuannya. Meskipun secara intelektual meninggalkan latar belakang
sufinya, dia menanamkan kualitas keshalehan dalam kehidupan akademisnya
untuk membebaskan dari dampak taqlîd yang merusak.22
Berguru dengan Said Jamaluddin al-Afghani
Pada tahun 1871 adalah awal pertemuan dan interaksi intelektual Abduh
dengan salah satu pembaharu Islam, yaitu sorang ‘âlim besar bernama Said
Jamaluddin al-Afghani yang sudah terkenal dalam dunia Islam sebagai Mujâhid
19 Sami Abdullah Kaloti, The Reformation of Islam and The Impact of Jamaluddin
al-Afghani and Muhammad Abduh On Islamic Education (Marquette: University, 1974), h. 96.
20 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 59. 21 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 12-13.
(pejuang), Mujaddîd (pembaharu/ reformer) dan ulama yang sangat ‘âlim, yang
pada saat itu datang ke Mesir. Muhammad Abduh bertemu dengan al-Afghani
untuk pertama kalinya, ketika Abduh datang ke rumahnya bersama-sama dengan
Hasan at-Tawîl, di mana dalam pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu
tasawuf dan tafsir.23
Al-Afghanilah yang menempa Abduh dengan ilmu pengetahuan, walaupun
sebelumnya telah didapatkan dari luar al-Azhar, namun menancapkan kesan dan
pandangan berbeda bagi Abduh, karena metode yang dipakai al-Afghani adalah
studi kritis seperti berdiskusi dan yang lainnya, metode pengajaran yang
diterapkan al-Afghani membuat Abduh tertarik dan termotivasi untuk tetap kritis,
al-Afghani juga memberikan penjelasan yang luas, mendalam dan mengagumkan
pada setiap kajiannya.24
Dalam tatanan dunia ilmiah dan wawasan pengetahuan umum, al-Afghani
mungkin bisa dikatakan yang paling berjasa dalam hidup Abduh dan
mempengaruhinya dalam banyak hal, tidak hanya pengetahuan teoritis, al-Afghani
juga mengajarkan Abduh pengetahuan praktis, politik, berpidato, menulis artikel,
dan sebagainya. Kecakapan yang membawanya tampil di depan publik dan jeli
melihat situasi sosial politik di negerinya.25
Sejak itulah abduh tertarik kepada al-Afghani oleh ilmunya yang dalam
dan cara berfikirnya yang modern, sehingga akhirnya Abduh benar-benar dan
selalu di sampingnya. Selain Abduh, bayak pula mahasiswa-mahasiswa al-Azhar
23 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Cet-V (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 17. 24 M Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustazd al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh (Kairo:
al-Manar, 1931), h. 20.
25 Arbiah Lubis, Pemikiran dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.
yang ditarik Abduh untuk ikut datang kepada al-Afghani untuk belajar.26 Di
samping diskusi-diskusi ilmu-ilmu agama, mereka belajar pula
pengetahuan-pengetahuan modern, filsafat, sejarah, hukum dan ke-tata-negaraan dan lain-lain.
Pelajaran yang diberikan kepada mereka oleh al-Afghani yaitu semangat berbakti
kepada masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan cara berfikir
yang fanatik serta merombaknya dengan cara berfikir yang lebih maju.
Abduh telah memiliki cara berfikir yang lebih maju, karena telah banyak
membaca buku-buku filsafat dan banyak mempelajari perkembangan jalan
berfikir kaum Rasionalis Islam (Mu’tazilah), maka para guru al-Azhar pernah
menuduhnya telah meninggalkan mazhab Asy’ari. Terhadap tuduhan itu Abduh
menjawab; “sudah jelas saya telah meninggalkan taklid Asy’ari, maka kenapa
saya harus bertaklid pula kepada Mu’tazilah? Saya akan meninggalkan taklid
kepada siapapun juga, dan hanya berpegang kepada dalil yang dikemukakan”.27
Menjadi Dosen Darul Ulum dan Al-Azhar
Setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas nama usaha
Perdana Menteri Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas
“Darul Ulûm”, di samping itu pula ia menjadi dosen pada di al-Azhar. Di saat
memangku jabatannya, ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal
sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara segar ke dalam
Perguruan-perguruan Tinggi Islam itu, dengan cara menghidupkan Islam dengan
metode-metode baru yang sesuai dengan kemajuan zaman, memperkembangkan
kesusastraan Arab, sehingga menjadi bahasa yang hidup dan kaya-raya, serta
melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik.28
Dibuang ke Syria (Beirut)
Pada tahun 1882 terjadi di Mesir suatu pemberontakan, Abduh dituduh
terlibat di dalamnya yang kemudian diusir.. Pemberontakan itu di awali oleh suatu
gerakan yang dipimpin oleh Arabia Pasya, di mana Abduh dipilih sebagai
penasihatnya. Setelah pemberontakan itu dapat dipadamkan, maka Abduh di
buang ke Syiria (Beirut). Di sana ia mendapat kesempatan mengajar pada
Perguruan Tinggi Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun. Kemudian pada
permulaan tahun 1884 ia pergi ke Paris atas panggilan al-Afghani yang waktu itu
berada di Paris.29
Gerakan Al-Urwâtul Wutsqâ
Bersama-sama dengan al-Afghani, disusunlah sebuah gerakan yang
bernama “al-Urwâtul Wutsqâ”, di Paris, yakni gerakan kesadaran umat Islam
sedunia. Untuk mencapai cita-cita gerakan ini diterbitkannya sebuah majalah
dengan nama yang sama pula dengan gerakan itu yaitu majalah “al-Urwâtul
Wutsqâ”. Dengan perantara majalah itulah ditiupkannya suara keinsyafan ke
seluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari tidurnya, melepaskan cara
berfikir fanatik dan kolot dan bersatu membangun kebudayaan Islam di dunia.
Suara itu lantang sekali terdengar yang kemudian memperlihatkan pengaruhnya
dikalangan umat Islam sehingga dalam waktu singkat, kaum imperialis menjadi
gempar dan cemas karenanya. Akhirnya Inggris melarang majalah itu masuk ke
28Ibid., h. 19.
Mesir dan India. Kemudian pada tahun 1884, setelah majalah itu terbit baru 18
halaman, pemerintah Perancis melarangnya terbit dan beredar.Karena mendapat
tekanan dari pihak Barat, Jamaluddin dan Abduh meninggalkan Paris. Keduanya
lalu berpisah, dan Abduh diperbolehkan kembali ke Beirut via Tunis pada tahun
1885.30
Menjadi Mufti Mesir
Setelah kepulangannya ke Mesir, ia diberi jabatan penting oleh pemerintah
Mesir sebagai “Mufti” pada tahun 1899, yakni suatu jabatan yang paling tinggi
dipandang oleh kaum Muslimin. Berbeda dengan Mufti-mufti sebelumnya, Abduh
tidak mau membatasi dirinya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan
pemerintah saja melainkan ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan
kaum Muslimin. Di samping itu ia pun diangkat sebagai anggota Majlis
Perwakilan. Dalam badan ini Abduh banyak memberikan jasa-jasanya dan karena
itu pula ia sering ditunjuk sebagai ketua penghubung dengan pemerintah. Abduh
pernah juga diserahi jabatan sebagai Hakim Mahkamah dan dalam tugas ini ia
dikenal sebagai seorang Hakim yang adil.31
Demikian jabatan tersebut dijabatnya sampai beliau meninggal dunia
akibat menderita kangker hati. Abduh meningal dunia di Iskandaria tanggal 11
Juli 1905 dan jenazahnya dimakamkan dikawasan Qurafat al-Mujâwirîn, ia hanya
meniggalkan empat orang putri saja.32
Pembela Islam yang Gagah Berani
30 Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 256. 31 Abduh, Risalah Tauhid, h. 20.
Karena Ghîrâh dan Ghairâhnya terhadap Islam, maka Abduh sering
tampil ke depan untuk membela Islam dari segala serangan dan penghinaan yang
datang. Pernah ditantangnya G. Hanotaux, seorang menteri luar negeri Perancis,
karena tulisannya tentang Islam yang menurut Abduh tidak benar dan merupakan
suatu penghinaan. Ternyata kemudian G. Hanataux seolah-olah minta maaf dalam
sebuah tulisannya yang dimuat dalam majalah “al-Muayyâd”. Kemudian diasah
penanya untuk menghadapi Farah Anton, seorang Kristen, pemimpin umum
majalah “al-Jamî’ah”, yaitu sebuah majalah dari orang Kristen yang terbit di
Kairo, karena Anton menulis dalam majalah tersebut mengenai hal-hal yang
menyinggung Islam dan menghinannya. Banyak lagi peristiwa-peristiwa lain yang
menunjukan keberanian Abduh dalam membela Islam.33
B. Karya-karya Muhammad Abduh
Sebenarnya Abduh tidak terlalu tertarik menerangkan
pemikiran-pemikirannya dalam buku. Abduh lebih memilih metode pidato dalam
menyampaikan ide dan pandangannya. Menurutnya, pemikiran yang disampaikan
lewat ucapan lebih menyentuh hati sanubari pendengar, ketimbang menerangkan
dalam bentuk tulisan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena waktu yang ia miliki
habis terpakai untuk mengajar ketimbang untuk menulis. Abduh pernah mengajar
di al-Azhar, Masjid Raya Beirut, Masjid Raya al-Basyrah, Dâr al-‘Ulûm, dan
masih banyak lagi. Pada umumnya materi yang diajarkan di Masjid-masjid
tersebut adalah tafsir al-Qur’an. Berikut ini beberapa bentuk buku dan majalah
yang pernah ia tulis, di antaranya:34
33 Abduh, Risalah Tauhid, h. 21.
a. Al-Wâridâh, sebuah karya dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan
metode dan pendekatan tasawuf. Inilah karya pertama Muhammad Abduh.
b. Risâlah fi wahdâti al-Wûjûd. Karya ini memang tidak terbit, namun karya
ini merupakan karya Muhammad Abduh yang kedua sebagaimana
diinformasikannya kepada Rasyid Ridha. Akan tetapi karya ini bukan
merupakan karya Abdul Karim al-Jilli dan semisalnya yang mendekati
mazhab hulul. Karya ini dengan pendekatan dan metode yang berbeda
dengan yang lainnya.
c. Târîkh Ismail Basyâ. Karya ini diberitahukan salah satu murid Muhammad
Abduh yang pertama-tama belajar bersamanya. Dikatakan bahwa
Abdullah an-Nadzim telah banyak mengutip buku ini ketika terjadi
pemberontakan orang-orang Arab dan ia telah mempublikasikan sebagian
isinya di media massa menurut sistematika aslinya atau tidak. Rasyid
Ridha tidak pernah mendengar isi buku tersebut dari Abdullah an-Nadzim,
hanya saja an-Nadzim memberitahu Ridha sejarah buku ini dengan rinci
dan an-Nadzim menulis kembali secara global isi buku ini kepada Ridha
sebagaimana an-Nadzim membacanya.
d. Falsafatul al-Ijtimâ’iyyah wa at-Târîkh. Buku ini adalah karya
Muhammad Abduh yang dikarang ketika ia mengajar Muqaddimah Ibnu
Khaldun di Madrasah Darul Ulum. Buku ini telah hilang ketika Sayyid
Jamaluddin dibuang dan Rasyid mengambil lembaran-lembarannya.
Thaibullah menganjurkan Rasyid Ridha untuk menyempurnakan buku itu
e. Hâsyiyah ‘Aqâidi al-Jalâli ad-Dawwânî li al-Adûdiyah. Buku ini adalah
karya terbaik Muhammad abduh dalam ilmu kalam. Sayyid Umi
al-Khasyab berencana mencetaknya, dan semoga ia mampu mencetaknya
dalam waktu dekat.
f. Syarh Nahjul Balâghah. Buku ini sangat terkenal dan telah diterbitkan di
Beirut dua kali, di Tharabulis sekali dan di Mesir sekali.
g. Syarh Maqâmat Badî’ al-Zamân al-Hamdânî. Buku ini terbit di Beirut,
buku ini berisikan tentang maqamat.
h. Syarh al-Bashâri al-Hamdânî al-Nâshiriyyah fi al-Manthiq. Ini adalah
buku mantiq dengan pendekatan logika yang tinggi.
i. Nizhâmu al-Tarbîyah wa al-Ta’lim bi Mishr. Buku ini berisikan tentang
pendidikan dengan metode praktis yang dilaksanakan di Mesir. Ini adalah
buku pendidikan terbaik karya Muhammad Abduh.
j. Risalâh at-Taûhîd. Yang berisikan tentang sistem teologi. Buku ini
diajarkan Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar dan kepada Rasyid
Ridha.
k. Taqrîru al-Mahâkim al-Syarîyyah. Buku ini sangat khusus, tema-temanya
berguna bukan saja bagi para hakim, tetapi juga bagi semua pencinta ilmu
dan budaya, apalagi bagi para pelajar fiqih.
l. Al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma’a al-‘Ilmi wa al-Madaniyyah. Berisikan
tentang semangat kaum muslimin. Buku ini adalah kumpulan
makalah-makalah dari majalah al-Manar yang diedit dan diterbitkan oleh Rasyid
m. Tafsir Surat al-‘Ashr. Buku ini dipublikasikan di majalah al-Manar atas
permintaan muridnya dan lainnya di kota-kota.
n. Tafsir Juz ‘Amma
o. Tafsir al-Manâr
Sebenarnya karya Abduh cukup sedikit untuk ukuran pemikir yang cukup
berpengaruh dalam dunia intelektual keislaman. Meskipun demikian, ide-ide
pembaharuanya baik dalam bidang syariat, aqidah maupun pendidikan begitu
berpengaruh di dunia Islam. Ide-ide Abduh menyebar ke dunia Islam melalui
karya-karya Abduh sendiri maupun melalui murid dan pengikutnya.
C. Pengaruh Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam
Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan
dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang
besar dalam tubuh pemikiran umat islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak
dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada
manusia. Walau guru beliau Jamaluddin Al-Afghani adalah sebagai orang pertama
yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Muhammad
Abduh sebagaimana diungkapkan DR. Mohammad Imarah, bahwa Abduh adalah
seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau
sekolah pemikiran modern, bisa dikatakan melebihi guru beliau sendiri yaitu
Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan
pembaharuan pemikiran islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang
beliau lakukan di antaranya:35
1. Reformasi Pendidikan
Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan.
Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat
mesir. Menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak
muslim yang shaleh.
2. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial
Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak
hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan
dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa
lembaga-lembaga sosial. Di antaranya, Jami’ah Khairîyah Islamîyah, Jamî’ah Ihyâ al-Ulûm
al-Arabîyah, dan juga Jamî’ah at-Taqorrûb bainâ al-Adyan.
3. Mendirikan Sekolah Pemikiran
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah
pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan
pemikiran islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi
musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini.
Bahwa pusat perhatiannya adalah pengajaran dan pendidikan dan bukan
politik ternyata juga dari tujuan hidupnya. Ia menulis bahwa tujuan hidupnya
adalah dua, yakni:36
35 Istiqamah Kapu, Imam Muhammad Abduh Dan Pembaharuan, artikel diakses pada 30
Mai 2008 dari http://istiqomahkapu.multiply.com/journal/item/3
36 Tahir Tanahi, ed. Muzakkirat al-Imam Muhammad Abduh (Cairo: Dar Al-Hilal, t.t), h.
1. Membebaskan pemikiran dari ikatan taklid dan memahami ajaran agama
sesuai jalan yang ditempuh ulama zaman klasik (salaf), zaman sebelum
timbulnya perbedaan-perbedaan paham, yaitu dengan kembali kepada
sumber-sumber utamanya.
2. Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai baik oleh instansi-instansi
pemerintah maupun surat-surat kabar dan masyarakat pada umumnya
dalam surat-menyurat mereka.
Usaha Abduh yang gigih untuk merekontruksi Syari’at dari bangunan
yang sudah mapan bertahun-tahun, karena dijaga oleh ulama-ulama, tapi tak ideal,
rigid dan jumud menuju tatatan teologi yang lebih berdimensi humanis dan
dinamis. Untuk menggapai tujuan tersebut, hemat Abduh, diperlukan dua syarat
yang mutlak ada. Pertama, memberi kebebasan mutlak pada akal. Dan kedua,
membuang jauh-jauh sikap taqlid dalam berfikir dan berkreasi. Karena taqlid
hanya menganggurkan seseorang dari peran sejarah yang harus ia isi. Dua dasar
itu mengindikasikan kita akan konsepsi teologi Abduh yang menyandarkan ruh
Syari’at tak hanya pada dalil naqlian sich yang berkecenderungan “sami’nâ wa
`atha’nâ” namun lebih mengkristal pada hubungan sinergis antara dalil naqli dan
akal manusia.37
Secara hirarki, ada delapan dasar (ushûl) yang pertama kali dikreasikan
Abduh untuk membentuk konsep teologinya,38 yaitu:
1. Perspektif akal dalam menuntun jalan menuju keimanan.
2. Mendahulukan akal daripada maksud dzhahir nash apabila terjadi
kontradiksi.
37 Asyraf Abdul Wahab, Al-Tasâmuh al-Ijtimâi baina al-Turâts wa al-Taghayur (Kairo:
Maktabah Usrah, 2006) cet. 1, h. 115.
3. Menjunjung toleransi dan mengubur pentakfiran (klaim kebenaran
sepihak). Seperti larangan Abduh untuk mengkafirkan seseorang yang
ucapannya mengandung seratus kesalahan dan satu kebenaran di satu sisi
saja.
4. Merenungi “sunnah-sunnah” Tuhan yang terpendam di setiap
makhluk-Nya.
5. Mengeliminasi segala bentuk kekuasaan yang berlandaskan pada agama
tertentu. Otomatis, “undang-undang” ini melarang segala bentuk intervensi
dari peroangan atau golongan tertentu untuk mencampuri keimanan setiap
pemeluk agama.
6. Ajakan untuk mengakhiri fitnâh (perpecahan dan pertikaian).
7. Menumbuhkan sikap tenggang rasa pada siapapun yang berbeda pikiran
dan keyakinan.
8. Mempertemukan kemashlahatan duniawi dan ukhrawi.
Peran dan kiprah Muhammad Abduh dalam mengangkat citra Islam dan
kualitas umatnya dari keterpurukan memang tak kecil. Dialah seorang mujaddid
dan mujtahid sekaligus, yang pada masanya, bukan saja mengalami tentangan
internal maupun eksternal. Berkat upayanya, meski belum begitu maksimal,
modernisme pemikirannya mulai kelihatan. Dalam amatan cendekiawan Muslim
Dr Nurcholish Madjid (Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, Mizan : 1987),
'modernisme' Abduh, antara lain, tercermin dalam sikapnya yang apresiatif
terhadap filsafat. Ia peroleh wawasan itu dari gurunya, Jamaluddin Al-Afghani,
seorang penganjur gigih Pan-Islamisme dan orator politik yang memukau. Di
Islam, Muhammadiyah, di mana banyak persamaan antara keduanya. Di antara
warisan intelektualnya adalah Risalah al-Tauhid. Sedangkan Tafsir al-Manar
merupakan kumpulan pidato-pidato, pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramahnya
yang ditulis oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha.[Republika.co.id]39
http://www.kotasantri.com/mobile/Artikel/galeria-Bab III
GAMBARAN UMUM TENTANG SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN
A. Pengertian Sifat dan Perbuatan
Secara etimologi, kata sifat berasal dari bahasa Arab yakni al-shifah. Kata
tersebut merupakan derivasi dari kata kerja washafa-yashifu-wasfhan-wa shifatan
yang artinya “mensifati”. Dalam kamus al-Munjid karangan Louis ma’louf
mengartikan bahwa sifat (al-shifah) sebagai sesuatu yang berdiri dan melekat
pada suatu benda yang disifati (al-mawshûf),40 seperti sifat bagus, baik, tinggi,
besar dan lain sebagainya, yang melekat pada sebuah kursi, misalnya.
Dalam sebuah kamus besar bahasa Indonesia, kata sifat memiliki beberapa
pengertian sebagai berikut:41
1. Rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda, tanda lahiriah
2. Perikeadaan yang menurut kodratnya ada pada sesuatu (benda, orang, dsb)
3. Ciri khas pada suatu benda (untuk membedakan diri dengan yang lain)
4. Dasar watak (dibawa sejak lahir)
Dengan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa sifat adalah
sesuatu yang menjadi ciri khas yang tampak pada suatu benda yang disifati untuk
membedakan benda tersebut dari benda yang lain.
40 Louis Ma’louf, Al- Manjid fi al-Lughah wa al-A’lâm (Bairut: Dar el-Mashreq Sari,
1984), h. 903.
41 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indoneisa (Jakarta:
Sedangkan perbuatan berasal dari kata “buat” yang artinya berbuat,
membuat, untuk, bagi. Berbuat artinya melakukan (suatu pekerjaan), sedang
mengadakan. Membuat artinya mengadakan, melakukan, mengerjakan, memakai
untuk, menyebabkan, mendatangkan, menjadikan. Perbuatan artinya sesuatu yang
dilakukan, kelakuan, tingkah laku. Jadi, perbuatan merupakan sesuatu yang
dilakukan dan dikerjakan yang dilekati oleh sifat, khususnya makhluk hidup yang
berhubungan dengan nilai, seperti perbuatan baik, buruk, adil, dan lain
sebagainya, yang dilakukan manusia misalnya.42
Memang sifat dan perbuatan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena
keduanya saling terkait, misalnya seorang memiliki sifat pemaaf, maka
perbuatannya adalah memaafkan. Ada juga yang mengatakan sifat dan perbuatan
itu tidak berbeda, dengan kata lain bahwa sifat dan perbuatan adalah sama, seperti
halnya api, sifatnya adalah panas dan membakar, sedang perbuatan api adalah
membuat panas dan membakar.
B. Pandangan tentang Sifat dan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Kalam
Islam telah mengantarkan lahirnya sebuah peradaban manusia yang dapat
diketahui melalui kekayaan aneka ragam seni, budaya, dan pemikiran para
pemikir Muslim, baik tentang hukum, politik, sosial maupun ketuhanan atau
dikenal dengan sebutan ilmu tauhid atau ilmu kalam, dan orang yang ahli dalam
ilmu ini disebut mutakallim.
Karena yang dibahas adalah kalam Tuhan dan kalam manusia, maka ilmu
ini disebut Ilmu kalam. Kalau yang dimaksud dengan kalam Tuhan adalah
firman-Nya (al-Qur’an), maka kalam Tuhan pernah menimbulkan perdebatan sengit
dikalangan umat Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Perdebatan yang
muncul adalah mengenai apakah kalam Tuhan itu qadîm atau hadits. Karena
firman Tuhan pernah diperdebatkan, maka ilmu ini dinamakan ilmu kalam. Kalau
yang dimaksud kalam manusia adalah kata-kata manusia, maka kaum teolog
dalam Islam selalu menggunakan dalil-dalil logika untuk mempertahankan
pendapat dan pendirian masing-masing. Kaum teolog dalam Islam memang
dinamakan mutakallimûn karena mereka ahli debat yang mahir memainkan
kata-kata.43
Ilmu tersebut juga bisa dinamakan ushuluddin, karena membahas
pokok-pokok ajaran agama, seperti masalah dan keesaaan Tuhan. Selain itu, ilmu ini juga
bisa disebut ilmu tauhid, karena ajaran pokok Islam adalah tentang tauhid. Kata
tauhid mengandung arti satu atau Esa, dan keesaan dalam pandangan Islam
merupakan sifat yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan.44
Asal ilmu tauhid sendiri, baik ‘aqlî maupun naqlî, masih bersifat
spekulasi. Ini merupakan konsekuensi dari ketidakjelasan batasan akal dan adanya
kontaminasi antara qath’î dengan zhannî dalam naqlî, baik dalam konteks sumber
(tsubût) maupun makna (dalâlah)-nya.45 Dari kalangan tâbi’în, ahli kalam
pertama adalah ‘Umar ibn ‘Abd ‘Aziz, Zayd ibn ‘Ali Zayn Âbidîn, Hasan
al-Bashrî, dan lain-lain. Sesudah masa tâbi’în adalah Ja’far ibn Muhammad
43 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Ciputat:Logos, 1999), cet. Ke 2, h, 17. 44Ibid., h. 17.
45 M. Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam, (Bangil: al-Izzah, 2002)
Shâdiq. Sedangkan dari kalangan ulama fikih ada Imam Abû Hanîfah dan Imam
Syafi’î.46
Masalah yang diperdebatkan oleh kalangan mutakallimûn, antara lain
tentang pengetahuan dan cara memperolehnya, tentang kebaharuan alam, keesaan
Tuhan, tanzîh (penyucian Tuhan) dan tasybîh (penyerupaan Tuhan), tentang
kalam Tuhan (apakah qadîm atau hâdits), tentang kenabian sekaligus kesucian
para nabi dari dosa (ma’shûm), tentang al-mî’âd (tempat kembali), tentang sifat
Tuhan yang berhubungan dengan zat-Nya, perbuatan Tuhan. Di antara
aliran-aliran kalam yang pernah ada, dua di antaranya merupakan yang paling banyak
sorotan hingga saat ini, yaitu Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Hubungan
ketiga aliran ini sendiri adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama saat
Mu’tazilah dijadikan ideologi negara oleh Khalifah al-Ma’mûn dan al-Mu’tashim
dari dinasti ‘Abbâsiyah. Daktrin Mu’tazilah yang diperkenalkan oleh dua
penguasa ‘Abbâsiyah itu memaksa semua umat Islam pada masa itu untuk
meyakini al-Qur’an sebagai ciptaan (makhlûq).47
a. Pandangan Mu’tazilah
Mu’tazilah merupakan aliran dalam teologi yang sangat rasionalis, bahwa
meyakini sepenuhnya kemampuan akal merupakan ciri khas paling khusus dari
aliran tersebut. Prinsip itu mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal.
Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka merupakan kelompok
yang paling mirip dengan Deskartes dari kalangan ilmu Rasionalis modern.
46 Noer Iskandar al-Barsany, Pemaknaan Ulang Ahlu Sunnah wal Jama’ah dari Mazhab
Aqwâlî ke Mazhab Manhaji ,dalam Imam Baehaqi (ed), Kontrofersi Aswaja; Aula Perdebatan dan
Rainterpretasi (Yogyakarta: LKiS, 1999) cet. 1, h. 144.
47 Thoha Hamim, Paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah; Proses pembentukan dan
Mereka tidak mengingkari teks al-Qur’an dan hadis, tetapi tanpa keraguan mereka
menundukan kedua teks di atas hukum akal. Untuk itu, mereka mentakwilkan
ayat-ayat mutasyabbihât, serta menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh akal.
Aliran ini juga mensucikan kemerdekaan berpikir baik ketika menghadapi pihak
lawan maupun sesama mereka sendiri.48
Pendiri sekaligus pemuka aliran Mu’tazilah adalah Wâshil ibn ‘Atha.
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-Ushûl al-Khasanah
adalah at-Tauhid (pengesaan Tuhan dengan meniadakan sifat-sifat Tuhan), al-Adl
(keadilan Tuhan), al-Wa’ad wa al-Wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-Manzilah
bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan Amr bi Ma’ruf wa
al-Nahy an al-Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran).49
Pada ajaran tauhidnya, Wâshil mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki
sifat. Pada umumnya, doktrin ini tidak begitu berkembang dan hanya diterangkan
oleh Wâshil secara ssederhana saja, sebagai berikut: “Secara umum telah sepakat
bahwa eksistensi dua Tuhan yang sama-sama kekal adalah mustahil; maka
kalaulah bersitegang mempertahankan pendapat bahwa ada kesatuan sifat Tuhan
yang kekal, itu pun berarti ada dua Tuhan (yang kekal). Para pengikutnya yang
disebut al-Wâshiliyah, lebih kuat lagi memegang doktrin ini setelah mereka
mengkaji buku-buku filsafat karya filosof. Sifat-sifat Tuhan mereka simpulkan
hanya dengan al-‘Ilm dan al-Qudrah saja. Kedua sifat ini merupakan aspek-aspek
48 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. 1. h. 48.
dari esensi zat Tuhan yang kekal (eternal). Abû al-Husayn al-Bishrî di lain pihak,
cenderung menyimpulkan sifat-sifat Tuhan itu dengan al-‘Ilm saja.50
Oleh karena itu, berarti bahwa Wâshil dan pengikut-pengikutnya menolak
ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti Rahmân, Rahîm,
al-Qâdir, al-‘Âlim, dan seterusnya. Mereka menerima kebenaran ayat-ayat tersebut
bersama dengan kebenaran seluruh ayat lainnya. Hanya saja penafsiran tentang
ayat-ayat tersebut berlainan dengan penafsiran aliran teologi lain dalam Islam.
Bagi Mu’tazilah khususnya para pengikut Abû Hudzail al-Allâf (135 H- 235 H)51
bahwa al-Rahmân, al-Rahîm, al-Qâdir, al-‘Âlim, dan sebagainya bukanlah sifat
Tuhan, tetapi aspek dari zat atau esensi Tuhan itu sendiri. Lafaz-lafaz tersebut
mereka anggap hanya sebagai keadaan atau nama, dan bukanlah sifat. Bagi
mereka, Tuhan mengetahui bukan dari sifat pengetahuan, tetapi melalui zat-Nya.
Dengan penafsiran serupa ini, kaum Mu’tazilah memberi gambaran Esa kepada
diri Tuhan, diri yang tidak disusun dari lapisan-lapisan sifat, tetapi dari suatu zat
yang mempunyai berbagai aspek.52
Tuhan menurut Hudzayl, bahwa betul mengetahui itu bukan dengan sifat,
melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya tersebut
adalah zat atau esensi-Nya.
$% & "
'
$(") *+$(","ﺏ .+"%/ ) 0 %/ , 1 " /
#2#1 #2#3
50 Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm al-Syahratani, Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat
(Bandung: Pustaka, 1996), h. 60-61.
51 Ia tinggal di Bashsrah dan menjadi pimpinan kedua daru cabang Bashrah setelah
Wâshil. Pengetahuannya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur. Dan pengetahuannya tentang logika membuat ia menjadi pejabat mahil dalam melawan golongan Majusi, Ateis, dan lain sebagainya. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Prees, 2002), cet. I, h. 47.
52 Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful
“Sesungguhnya al-BârîTa’âlâ (Allah) mengetahui dengan ilmu. Dan ilmu yang dimiliki-Nya tersebut tidak lain adalah dzat-Nya.”53
Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan, dan kekuasaan merupakan
zat-Nya. Tuhan Maha Bijaksana dengan kebijaksanaan-Nya, dan kebijksanaan-Nya
adalah zat-Nya. Demikianlah seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.
Lebih jelasnya, Hudzayl mengatakan, “Kalau aku katakan bahwa Tuhan
itu bersifat tahu, maka artinya pun aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat
pengetahuan, sementara pengetahuan itu sendiri adalah Dia. Sehingga dengan
begitu aku tegas-tegas menolak anggapan Tuhan itu bodoh (jahl) terhadap sesuatu
yang sudah ataupun yang akan terjadi. Dan kalau aku tanyakan Tuhan bersifat
kuasa, maka artinya pun aku tegas-tegas menolak anggapa bahwa Tuhan itu lemah
(‘ajz) dan aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan sendiri adalah Dia,
tetapi kekuasaan-Nya itu terbatas pada apa yang dikuasai-Nya semata. Begitu pun
kalau aku katakan, pada-Nya itu terdapat keperihidupan (hayâh), maka artinya
pun aku tetapkan bahwa keperihidupan itu sendiri adalah Dia, karena aku
tegas-tegas menolak anggapan bahwa Tuhan itu mati.54
Di antara pemimpin Mu’tazilah lainnya yang kemasyhurannya seperti
Wâshil dan Abû Hudzayl adalah Abû ‘Ali Muhammad ibn ‘Abd Wahhâb
al-Jubâ’î (w. 295 H) dan anaknya Abû Hâsyim ‘Abd al-Salam (w. 321 H). mengenai
peniadaan sifat Tuhan, al-Jubâ’î berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui
esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya. Dengan
demikian, untuk mengetahui Tuhan tidak perlu pada sifat mengetahui dan pada
dalam keadaan mengetahui. Adapun bagi anaknya, Abû Hâsyim, bahwa Tuhan
53 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 47-48. 54 Abû al-Hasan al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Bandung:
mengetahui melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat
tetapi hâl (state, keadaan).55
Apabila dikatakan Tuhan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat
unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang
melekat pada zat tersebut. Kalau dikatakan Tuhan memiliki 20 sifat, maka Tuhan
akan terdiri dari 21 unsur, jika dikatakan memiliki 99 sifat, maka Tuhan akan
terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada
banyaknya jumlah yang qadîm (terdahulu), sedang dalam teologi, sifat qadîm itu
esa. Secara sederhana arti Iman adalah tiada Tuhan selain Allah, sedangkan iman
dalam teologi, mengambil bentuk tiada yang qadîm selain Allah. Oleh karena itu,
paham banyak yang qadîm membawa manusia kepada syirik, dan syirik dalam
Islam adalah dosa besar yang tak diampuni Tuhan.56 Dengan kata lain mereka
menegaskan bahwa Tuhan dengan zat dan sifat-Nya adalah Esa, dan tidak ada
pluralitas pada diri-Nya dari sisi manapun.
Secara keseluruhan, golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak
memiliki sifat. Sebab, jika Tuhan memiliki sifat mestilah sifat itu juga kekal
seperti Tuhan.57 Kalau Tuhan dikatakan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan
terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat
yang melekat pada zat. Di sana terdapat unsur yang sama-sama kekal.
Paham peniadaan sifat Tuhan ini kelihatannya berasal dari Jahm, karena
Jahm menurut al-Syahratani, berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada pada
manusia tidak dapat diberikan kepada Tuhan, karena itu akan membawa kepada
55 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h.51-52 56 Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful muzani
(ed), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, h. 130.
57 Muhammad Abû Zahrah, Imam Syâfî’î: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah
antropomorfisme (penyamaan Tuhan dengan manusia), atau dalam bahasa Arab
disebut Mujassimah dan Hawwâsîyah, yaitu mereka yang percaya pada arti
harfiah dan nash-nash Tuhan.58
Golongan Mu’tazilah mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang arti lahirnya
menunjukan bahwa Tuhan itu berjisim, seperti surat al-Fath (48) ayat 10: (Tangan
Allah di atas tangan mereka); Surat Thâhâ (20) ayat 5:”al-Rahmân ‘alâ al-‘arsy
istwâ” (Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arasy). Sehingga
kata-kata tersebut bermaksud majazî (kiasan), bukan bermakna hakiki, sebab yang
hakiki bertentangan dengan ke-Maha-Esa-an Tuhan. Paham seperti ini
semata-mata bertujuan untuk men-tanzih-kan (mensucikan) Tuhan. Dari sinilah, maka
kemudian Mu’tazilah menamakan dirinya ahl al-Tawhîd, dan lawan mereka
menyebutnya Mu’aththilah.
Zaman keemasan Mu’tazilah selama lebih dari tiga dekade ini berakhir
akibat perbuatan mereka sendiri. Mereka terlalu mengagung-agungkan kebebasan
berpikir, mereka juga memaksa dan membelenggu kebebasan berpikir orang lain
untuk mengikuti pahamnya, dengan melakukan al-Mihnah (inquisition). Pada
masa itu masyarakat dipaksa untuk mengikuti pendapat aliran tersebut bahwa
al-Qur’an adalah makhluk.59
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional,
berpendapat ba