• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Inhibitor HMG-CoA Reduktase Dalam Penurunan Interleukin-6 Terhadap Hasil Akhir Klinis Penderita Kontusio Serebri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Inhibitor HMG-CoA Reduktase Dalam Penurunan Interleukin-6 Terhadap Hasil Akhir Klinis Penderita Kontusio Serebri"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN INHIBITOR HMG-CoA REDUKTASE DALAM PENURUNAN INTERLEUKIN-6

TERHADAP HASIL AKHIR KLINIS PENDERITA KONTUSIO SEREBRI

TESIS PENELITI: SABRI

077102007

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : PERAN INHIBITOR HMG-CoA REDUKTASE DALAM PENURUNAN INTERLEUKIN-6 TERHADAP HASIL AKHIR KLINIS PENDERITA KONTUSIO SEREBRI

Nama : SABRI

NIM : 077102007

Program Studi : ILMU BEDAH SARAF

Menyetujui

Pembimbing I

NIP. 197302202005012001 Dr.dr. Suzy Indharty, M.Kes, Sp.BS_

Pembimbing II

NIP. 194903311977111001 Prof.Dr.dr.Iskandar Japardi,Sp.BS(K)

Mengetahui / Mengesahkan :

Ketua Departemen Ketua Program Studi

(3)

SURAT KETERANGAN

SUDAH DIPERIKSA HASIL PENELITIAN

JUDUL:PERAN INHIBITOR HMG-CoA REDUKTASE DALAM PENURUNAN INTERLEUKIN-6

TERHADAP HASIL AKHIR KLINIS PENDERITA KONTUSIO SEREBRI

PENELITI: SABRI

DEPARTEMEN:ILMU BEDAH SARAF INSTITUSI:UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Medan , Mei 2013 Konsultan Metodelogi Penelitian Fakultas Kedokteran USU Medan

(4)

ABSTRAK Nama:Sabri

Program studi : Magister Kedokteran Klinik

Judul : Peran inhibitor HMG-CoA reduktase dalam penurunan interleukin-6 terhadap hasil akhir klinis penderita kontusio serebri

Tujuan:Menilai hasil akhir klinis pengobatan penderita kontusio serebri dengan terapi inhibitor HMG-CoA reduktase dengan parameter interleukin-6 serum

Tempat penelitian:Departemen Bedah Saraf FK USU-RS.HAM, Depatemen Patologi Klinik FK USU-RS.HAM

Subjek penelitian:50 orang penderita cedera kepala sedang dengan gambaran CT scan kontusio serebri

Hasil: Pada penelitian ini didapat nilai GOS saat pulang untuk terapi standar 4,08±1,00 dan terapi standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase 4,13±1,09, terlihat kenaikan nilai kelompok standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase sangat kecil, secara statistik tidak bermakna (p=0,822). Nilai Barthel saat pulang untuk terapi standar 78,18±15,85 dan terapi standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase 82,38±11,79, terlihat ada kecendrungan kenaikan nilai Barthel pada kelompok inhibitor HMG-CoA reduktase namun tidak signifikan (p=0,429). Nilai MMSE saat pulang untuk standar 15,27±12,07 dan standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase 13,24±14,29 , disini terlihat nilai lebih rendah pada kelompok standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase, namum masih dalam katagori yang sama gangguan kognitif , secara statistik tidak bermakna (p=0,808). Nilai GOS 1 bulan terapi standar 4,81 ±0,39 dan standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase 4,90±0,30, sedikit kecendrungan lebih tinggi pada inhibitor HMG-CoA reduktase namun secara tidak bermakna (p=0,418). Nilai Barthel’s 1 bulan untuk terapi standar dijumpai 95,00±7,56 dan terapi standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase 96,67±5,55, hanya sedikit meningkat pada kelompok inhibitor HMG-CoA reduktase namun tidak bermakna (p=0,616). Nilai MMSE pada 1bulan dijumpai untuk terapi standar; kognitif normal 18(81,80%), gangguan kognitif ringan 3(13,60%), gangguan kognitigf berat 1(4,5%) sedangkan pada terapi standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase; kognitif normal 17(81,00%), gangguan kognitif ringan 4(19,00%) dan tidak gangguan kognitif berat, tidak dijumpai perbedaan signifikans (p=0,563). Pada penelitian ini, nilai interleukin -6 hari pertama 9,74±15,77 dan hari kelima 3,20 ±1,98 sedangkan pada kelompok standar tambah inhibitor HMG CoA reduktase dijumpai nilai interleukin-6 hari pertama 11,96±12,78 dan hari kelima 1,25±3,33, dijumpai nilai p=0,295 untuk interleukin-6 hari pertama dan p=0,834 untuk interlaeukin-6 hari ke -5 ,dengan demikian tidak ada perbedaan signifikan kadar interleukin hari pertama dan hari kelima setelah terapi inhibitor HMG-CoA reduktase walaupun terlihat kecendrungan penurunan nilai setelah terapi inhibitor HMG-CoA reduktase

Simpulan:,Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara perlakuan inhibitor HMG-CoA reduktase dengan hasil akhir klinis (GOS, Barthel Indeks dan MMSE). Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kadar interleukin-6 serum dengan hasil akhir klinis (GOS,Barthel Indeks dan MMSE), pada hari pertama dan hari kelima.

(5)

ABSTRACT Name: Sabri

Study program: Magister of Clinical Medicine

Title: The role of HMG-CoA reductase inhibitor in decreased of interleukin-6 to end result of clinical cerebral contusion

Purpose: Evaluate treatment result of contusion cerebral patients with HMG-CoA reductase inhibitor with interleukin-6 serum as a parameter

Place: Neurosurgery department FK USU-RS HAM, Clinical Pathology Department FK USU-RS HAM Subject: 50 patients of moderate head injury with head ct-scan show cerebral contusion

Result: This research result GOS score when discharged for standard therapy is 4,08±1,00 and standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor is 4,13±1,09. This show a little elevation with standard therapy

with HMG-CoA reductase inhibitor, statistic show not significant with p= 0,822. Barthel score when

patient discharged for therapy standard is 78,18±15,85 and standard therapy with HMG-CoA reductase

inhibitor is 82,38±11,79. There is a trend of Barthel score escalation on standard therapy with HMG-CoA

reductase inhibitor but statistically not significant with p value= 0,429. MMSE score when discharged for

therapy standard 15,27±12,07 and standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor 13,24±14,29, this

show lower result result on the standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor, but still in the same

category. Statistically, cognitive disturbance was not significant p= 0,808. One month GOS of standard

therapy is 4,81±0,39 and standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor is 4,90±0,30, this show a

little escalation on the grup that statistically not significant p value=0,418. One month Barthel index for

therapy standard 95,00±7,56 and standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor 96,67±5,55, this

show a little escalation on the standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor but not statistically not

significant p=0,616. MMSE score after one month show on standard therapy: normal cognitive 18(81,8%),

mild cognitive disturbance 3(13,6%) and severe cognitive disturbance 1 (4,5%). On standard therapy with

HMG-CoA reductase inhibitor, normal cognitive is 17 (81%), mild cognitive disturbance 4(19%) and no

severe cognitive disturbance, with p value p= 0,563 so there is no significant statistic difference. This

research show interleukin-6 value on day one is 9,74±15,77 and day five is 20 ±1,98, while on standard

therapy with HMG-CoA reductase inhibitor show interleukin-6 value on day one is 11,96±12,78 and day

five is 1,25±3,33, with p=0,295for interleukin-6 day one and p=0,834 for interleukin-6 day . So there is no

significant diffrence of interleukin-6 value on day one and five after HMG-CoA reductase inhibitor

although there is a decline value trend after HMG-CoA reductase inhibitor treatment.

Conclusion: There is no significant correlation between treatment HMG CoA reductase inhibitor with clinical result (GOS, Barthel index and MMSE). There is no significant correlation between interleukin-6

serum value with clinical result (GOS, Barthel index and MMSE) on day one dan five

(6)

LEMBAR PENGESAHAN...i

SURAT KETERANGAN TELAH DIPERIKSA METODELOGI PENELITIAN...ii

UCAPAN TERIMA KASIH...iii

ABSTRAK...v

ABSTRACT...vi

DAFTAR ISI...vii

DAFTAR SINGKATAN...ix

DAFTAR TABEL, GAMBAR, BAGAN...x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...1

1.2 Rumusan Masalah...4

1.3 Tujuan Penelitian...5

1.4 Mamfaat penelitian...5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Cedera kepala...6

2.2 Klasifikasi Cedera Kepala...6

2.3 Patofisiologi Cedera Kepala...6

2.4 Penilaian Tingkat Kesadaran pada Cedera Otak...9

2.5 Terapi Standar pada Cedera Kepala Sedang...11

2.6 Skala Prognosis Glasgow(Glasgow Outcome Scale=GOS)...12

2.7 Skala Fungsional “Barthel’s Index”& MMSE...15

2.8 Mediator-mediator dan mekanisme nya pada cedera otak sekunder...16

2.8.1 Nekrosis/apoptosis………..………..16

2.8.2 Reperfusion injury/cytokine………..………....17

2.8.3 Excitotoxicity/Glutamat………..………..19

2.8.4 Kalsium……….…………..………..21

2.8.5 Radikal Bebas………...………..………..22

(7)

2.9 Strategi Farmakologi Pemilihan Neuroproteksi…...24

2.9.1 Apoptosis inhibitor……….……...24

2.9.2 Alpha adrenoceptor antagonis………..………..24

2.9.3 Cholinergic agents………..…25

2.9.4 Kinin antagonis………...25

2.9.5 Cyclo-Oxygenase 2 inhibitors(COX-2 Inhibitor)………....27

2.9.6 Intracellular Adhesion Molecule Antagonists...27

2.9.7 N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) Receptor Antagonists...27

2.9.8 AMPA Receptor Antagonists...28

2.9.9 Magnesium Sulfate...28

2.9.10 Dexanabinol...29

2.9.11 Stratrienes...29

2.9.12 Calcium Antagonists...30

2.9.13 LOE 908...30

2.9.14 MS 153...30

2.9.15 Cyclosporin...30

2.9.16 Antioxidants………....31

2.9.17 Nitric Oxide Inhibitors……… …..31

2.9.18 Growth Factors………...… …..32

2.10 Stati(HMG-CoA) Sebagai Neuroproteksi………...34

2.11 Interleukin………...……...42

2.12 Kerangka teori...46

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Definisi Konsepsional Variable Penelitian...47

3.2 Definisi Operasional Varable Penelitian ...47

(8)

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian……….………...49

4.2 Populasi dan Subjek penelitian……….……….………....49

4.3 Kriteria Inklusi…...…49

4.4 Kriteria Eksklusi………...………..….…50

4.5 Kriteria Drop Out……..………...……50

4.6 Metode Penelitian...………...50

4.7 Alur penelitian/ Kerangka Operasionl...52

4.8 Kerangka Konseptual………...53

4.9 Pengolahan Data...54

4.10 Pelaksanaan Penelitian...54

4.11 Prosedur Pemeriksaan Interleukin-6(IL-6)...54

4.12 Informed Consent atau Ethical Clearance ………...57

BAB V. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Menurut Umur………….………58

5.2 Distribusi Menurut Jenis Kelamin……….………..…58

5.3 Distribusi Menurut Hari Rawatan………...59

5.4 Distribusi GCS Masuk……….59

5.5 GOS Saat Pulang………..60

5.6 Barthel’s dan MMSE Saat Pulang………...……60

5.7 GOS dan Barthel’s Saat Satu Bulan………..…...61

5.8 MMSE Saat Satu Bulan………...…62

5.9 Kadar Interleukin-6 Serum Hari Pertama dan Kelima……….…62

(9)

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Karateristik Subjek yang Diteliti………..…...65

6.2 GOS Saat Pulang ………66

6.3 Barthel’s Saat Pulang………...66

6.4 MMSE Saat Pulang……….66

6.5 GOS Saat Satu Bulan………..67

6.6 Barthel’s Saat Satu Bulan………...67

6.7 MMSE Saat Satu Bulan………..67

6.8 Hubungan Kadar IL-6 dengan Terapi Inhibitor HMG-CoA Reduktase…...68

6.9 Hubungan IL-6 dengan GOS,Barthel, MMSE………68

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan………..70

6.2 Saran………70

DAFTAR PUSTAKA...71

(10)

DAFTAR SINGKATAN

AMPA:

Amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionate

BFGF: Basic fibroblast growth factor

BBB: Blood brain barrier

BDNF: Brain- Derivate Neurotrophic Factor

COX-2: Cyclo-oxygenase-2

CRF: Corticotrophine –realising factor

DNA: Deoxiribo nucleic acid

Enos: Endothelial isoform of nitric oxide synthase

GDNF:Glial Derived Neurotrophic Factor

GMP:Cyclic guadinosine monophosphate

GOS:Glasgow outcome scale

GCS:Glasgow Coma Scale

GDNF:Glial Derived Neurotrophic Factor

HMG-CoA:3-hydroxy-3-methyglutaryl

coenzyme A

HSP:Head shock protein

HNE:Hydroxynonenanl

IL-6: Interleukin-6

ICAM-1: Intercellular adhesion molecule 1

PPI :Proton Pump Inhibitrt

PIP2:Phosphatidile inositol biphosphate

PTNE:Phosphate and tension homolog

TNF alpha:Tumor necrosis factor

LKT: Leukotrienes

LIF: Leukemia inhibitory factor

MMPs:Matrix metalloproteinase

MPTP:Metil phenil tetra hidro piridin(suatu

neurotoxin dopaminergik)

NMDA: N-methyl-D-aspartate

NO: Nitrix oxide

NSAID:Non steroid anti immflamatory drug

NGF:Nerve growth factor

NGF-1Insuline Like Growth Factor-1

NF-Kb:Nuclear factor kappa B

PKB: Protein kinase B

PI3K: Phosphoinositide-3-kinase

ROS: Reactive oxigen spesies

SOD: Superoxida dismustase

VEGF: Vascular endothelial growth factor VEGFR2: Vascular endothelial growth factor receptor 2

(11)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Nilai GCS………..………...11

2. Tabel 2. Nilai GOS dan GOS Extended...16

3. Tabel 5. Efek Neuroprotektive Statin...46

DAFTAR GAMBAR 4. Gambar 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prognosis Setelah Cedera Otak.8 5. Gambar 2. Beberapa Gambaran Cedera Apoptosis pada Neuron ...19

6. Gambar 3. Mekanisme dan Mediator-Mediator Sekunder pada Cedera Saraf….20 DAFTAR BAGAN 7. Bagan 1. Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang Non Operatif...11

8. Bagan 2. Induksi Glutamate pada Cedera saraf Akut...22

9. Bagan 3. Ringkasan Jalur Sinyal Neuroprotektive yang Dipengaruhi oleh Fibrine Growth Factor(FGF....35

10.Bagan 4. Jalur Metabolisme Mevalonat...37

11.Bagan 5. Mekanisme Statin pada Metabolisme Lemak dan Sinyal Sel pada Neuroprotektive...39

12.Bagan 6. Efek Statin pada Cedera Kepala...45

13.Bagan 7. Kerangka Teori...48

14.Bagan 8. Alur Penelitian...55

(12)

ABSTRAK Nama:Sabri

Program studi : Magister Kedokteran Klinik

Judul : Peran inhibitor HMG-CoA reduktase dalam penurunan interleukin-6 terhadap hasil akhir klinis penderita kontusio serebri

Tujuan:Menilai hasil akhir klinis pengobatan penderita kontusio serebri dengan terapi inhibitor HMG-CoA reduktase dengan parameter interleukin-6 serum

Tempat penelitian:Departemen Bedah Saraf FK USU-RS.HAM, Depatemen Patologi Klinik FK USU-RS.HAM

Subjek penelitian:50 orang penderita cedera kepala sedang dengan gambaran CT scan kontusio serebri

Hasil: Pada penelitian ini didapat nilai GOS saat pulang untuk terapi standar 4,08±1,00 dan terapi standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase 4,13±1,09, terlihat kenaikan nilai kelompok standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase sangat kecil, secara statistik tidak bermakna (p=0,822). Nilai Barthel saat pulang untuk terapi standar 78,18±15,85 dan terapi standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase 82,38±11,79, terlihat ada kecendrungan kenaikan nilai Barthel pada kelompok inhibitor HMG-CoA reduktase namun tidak signifikan (p=0,429). Nilai MMSE saat pulang untuk standar 15,27±12,07 dan standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase 13,24±14,29 , disini terlihat nilai lebih rendah pada kelompok standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase, namum masih dalam katagori yang sama gangguan kognitif , secara statistik tidak bermakna (p=0,808). Nilai GOS 1 bulan terapi standar 4,81 ±0,39 dan standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase 4,90±0,30, sedikit kecendrungan lebih tinggi pada inhibitor HMG-CoA reduktase namun secara tidak bermakna (p=0,418). Nilai Barthel’s 1 bulan untuk terapi standar dijumpai 95,00±7,56 dan terapi standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase 96,67±5,55, hanya sedikit meningkat pada kelompok inhibitor HMG-CoA reduktase namun tidak bermakna (p=0,616). Nilai MMSE pada 1bulan dijumpai untuk terapi standar; kognitif normal 18(81,80%), gangguan kognitif ringan 3(13,60%), gangguan kognitigf berat 1(4,5%) sedangkan pada terapi standar tambah inhibitor HMG-CoA reduktase; kognitif normal 17(81,00%), gangguan kognitif ringan 4(19,00%) dan tidak gangguan kognitif berat, tidak dijumpai perbedaan signifikans (p=0,563). Pada penelitian ini, nilai interleukin -6 hari pertama 9,74±15,77 dan hari kelima 3,20 ±1,98 sedangkan pada kelompok standar tambah inhibitor HMG CoA reduktase dijumpai nilai interleukin-6 hari pertama 11,96±12,78 dan hari kelima 1,25±3,33, dijumpai nilai p=0,295 untuk interleukin-6 hari pertama dan p=0,834 untuk interlaeukin-6 hari ke -5 ,dengan demikian tidak ada perbedaan signifikan kadar interleukin hari pertama dan hari kelima setelah terapi inhibitor HMG-CoA reduktase walaupun terlihat kecendrungan penurunan nilai setelah terapi inhibitor HMG-CoA reduktase

Simpulan:,Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara perlakuan inhibitor HMG-CoA reduktase dengan hasil akhir klinis (GOS, Barthel Indeks dan MMSE). Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kadar interleukin-6 serum dengan hasil akhir klinis (GOS,Barthel Indeks dan MMSE), pada hari pertama dan hari kelima.

(13)

ABSTRACT Name: Sabri

Study program: Magister of Clinical Medicine

Title: The role of HMG-CoA reductase inhibitor in decreased of interleukin-6 to end result of clinical cerebral contusion

Purpose: Evaluate treatment result of contusion cerebral patients with HMG-CoA reductase inhibitor with interleukin-6 serum as a parameter

Place: Neurosurgery department FK USU-RS HAM, Clinical Pathology Department FK USU-RS HAM Subject: 50 patients of moderate head injury with head ct-scan show cerebral contusion

Result: This research result GOS score when discharged for standard therapy is 4,08±1,00 and standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor is 4,13±1,09. This show a little elevation with standard therapy

with HMG-CoA reductase inhibitor, statistic show not significant with p= 0,822. Barthel score when

patient discharged for therapy standard is 78,18±15,85 and standard therapy with HMG-CoA reductase

inhibitor is 82,38±11,79. There is a trend of Barthel score escalation on standard therapy with HMG-CoA

reductase inhibitor but statistically not significant with p value= 0,429. MMSE score when discharged for

therapy standard 15,27±12,07 and standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor 13,24±14,29, this

show lower result result on the standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor, but still in the same

category. Statistically, cognitive disturbance was not significant p= 0,808. One month GOS of standard

therapy is 4,81±0,39 and standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor is 4,90±0,30, this show a

little escalation on the grup that statistically not significant p value=0,418. One month Barthel index for

therapy standard 95,00±7,56 and standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor 96,67±5,55, this

show a little escalation on the standard therapy with HMG-CoA reductase inhibitor but not statistically not

significant p=0,616. MMSE score after one month show on standard therapy: normal cognitive 18(81,8%),

mild cognitive disturbance 3(13,6%) and severe cognitive disturbance 1 (4,5%). On standard therapy with

HMG-CoA reductase inhibitor, normal cognitive is 17 (81%), mild cognitive disturbance 4(19%) and no

severe cognitive disturbance, with p value p= 0,563 so there is no significant statistic difference. This

research show interleukin-6 value on day one is 9,74±15,77 and day five is 20 ±1,98, while on standard

therapy with HMG-CoA reductase inhibitor show interleukin-6 value on day one is 11,96±12,78 and day

five is 1,25±3,33, with p=0,295for interleukin-6 day one and p=0,834 for interleukin-6 day . So there is no

significant diffrence of interleukin-6 value on day one and five after HMG-CoA reductase inhibitor

although there is a decline value trend after HMG-CoA reductase inhibitor treatment.

Conclusion: There is no significant correlation between treatment HMG CoA reductase inhibitor with clinical result (GOS, Barthel index and MMSE). There is no significant correlation between interleukin-6

serum value with clinical result (GOS, Barthel index and MMSE) on day one dan five

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera otak merupakan persoalan besar bagi kesehatan dan tantangan

sosioekonomi di seluruh dunia. Di Amerika Serikat saja hampir 1,5 juta pasien

menderita cedera otak setiap tahun, dan angka kematian pada cedera otak berat masih

sangat tinggi yaitu 35-40%. Statistik ini menekankan keperluan yang urgent terhadap modalitas terapi efisien untuk memperbaiki morbiditas dan mortalitas post trauma.

Walaupun penelitian dasar dan klinis membaik dalam beberapa tahun terakhir, belum

ada terapi farmakologi spesifik untuk cedera otak yang dapat diperoleh untuk

memperbaiki hasil akhir pada pasien ini. Pengatahuan mengenai seluler dan molekuler,

mekanisme patophisiologi yang mendasari peristiwa pasca cedera otak telah

menghasilkan potensial baru untuk target terapi. Akan tetapi, eksplorasi dari data

penelitian dasar untuk aplikasi klinis pada pasien cedera otak masih gagal dan hasil dari

penelitian klinis prospektif masih mengecewakan (Beauchamp et al, 2008 ).

Cedera kepala paling sering terjadi akibat terjatuh (40%), kekerasan (20%), dan

kecelakaan lalulintas (13%), cedera ini lebih sering terjadi pada laki-laki dan tidak jarang

berkaitan dengan konsumsi alcohol. Di Amerika Serikat kira-kira satu juta orang dengan

cedera kepala tiap tahun datang ke unit gawat darat (UGD).Hampir separuh dari mereka

berumur kurang dari 16 tahun. Cedera kepala ringan (90%) dapat dipulangkan dari UGD

dengan aman, tetapi 100.000 dari mereka harus diopname dan 1% dari mereka perlu

dirujuk ke ahli bedah saraf. 5000 orang tiap tahun di Amerika meninggal karena cedera

kepala (Greaves et al, 2008 ).

Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi akibat trauma. Hal ini

terjadi akibat bertambahnya kendaraan dan industry, serta lalulintas yang masih belum

(15)

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama di kalangan usia

produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan mobilitas yang tinggi di

kalangan usia produktif, sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih

rendah disamping penanganan pertama yang belum benar dan rujukan yang terlambat.

Pada salah satu studi prospektif cedera kepala berat dengan pemeriksaan CT Scan

diperoleh hasil 30% normal dan 70% abnormal (Japardi. I., 2004).

Di Rumah Sakit Haji Adamalik Medan tahun 2011 jumlah penderita cedera

kepala adalah 1462 orang/tahun, antara lain cedera kepala ringan 937 orang(64,1%),

cedera kepala sedang 402 orang(27,5%),cedera kepala berat 123 orang(8,4%). Di

Indonesia data secara pasti mengenai kasus cedera kepala tidaklah mudah didapat, akibat

pengumpulan data diberbagai sentra kesehatan tidak akurat.Selain itu ada perbedaan

definisi dan kriteria diagnosis dalam membuat data epidemiologi. Faktor lain adalah tidak

dilaporkannya pasien yang berobat ke RS swasta atau kepraktek pribadi

(Wahjoepramono.E.K., 2005)

Terapi pada cedera kepala sebagian besar masih merupakan suportif, langsung

mengarah kepada edema otak dan tekanan tinggi intrakranial melalui tindakan sementara,

seperti pemberian obat osmotik, hiperventilasi, dan drainase ventrikel.Tidak satu pun

intervensi ini secara definitif memperlihatkan perbaikan jangka panjang hasil akhir terapi

secara fungsional. Mungkin ini disebabkan oleh heterogennya patologi cedera kepala

yang meliputi: Cedera otak diffuse, perdarahan intracerebral, perdarahan subarachnoid,

dan lain-lain. Cedera otak primer diperburuk oleh cascade neuroinflamsi sekunder dari hipoperfusi, iskemik, stress oxidatif, edema otak dan peningkatan tekanan dalam otak. Salah satu faktor yang merupakan pusat perhatian terhadap cedera kepala adalah

faktor-faktor neuroprotektif yang berfungsi secara primer ataupun secara sekunder terutama

yang memengaruhi cedera kepala sekunder dan berperan dalam ketidakpastian hasil akhir

pengobatan penderita cedera kepala (Teasdale et al, 1998).Oleh karena itu, untuk membatasi kerusakan jaringan otak sekunder diperlukan pemahaman yang lebih

(16)

Dengan semakin majunya bidang kedokteran, kita dapat menegakkan diagnosis

yang lebih tepat seperti, adanya CT Scan ataupun MRI di samping perlunya gejala klinis

dan penentuan GCS. Dengan kemajuan pada bidang biomolekuler diharapkan kita dapat

menentukan prognosis. Lebih penting lagi kita dapat mencegah memburuknya kondisi

penderita ataupun kematian sel-sel otak dan pengetahuan tentang proses patologis

neurokimia yang terjadi dan berapa banyak kerusakan dan kematian sel otak. Karena itu,

kita dapat memperkirakan prognosis sedini mungkin yang membantu para dokter dalam

mengambil keputusan terapi dengan cepat, tepat, dan benar (Smith et al, 1996).

Neuroproteksi bertujuan menyelamatkan sebanyak mungkin neuron atau jaringan

otak setelah terjadi cedera. Hasil-hasil penelitian tentang keberhasilan neuroproteksi

masih kontroversial dan banyak dibahas dalam berbagai artikel (Chen.G et al, 2004).

3-hydroxy-3-methyglutaryl coenzyme A (HMG CoA) reduktase inhibitor, yang dikenal juga sebagai”statin” adalah calon ideal untuk terapi trauma otak akut dan trauma

neuronal sekunder. Statin memunyai sifat vasoactive dan endotelial, anti oksidan, anti inflamsi anti excitoxicity, dan efek antitrombotik (Wible et al, 2010).

Molekul spesifik yang telah diidentifikasi berperan dalam kematian sel saraf

setelah trauma medulla spinalis adalah akibat stimulasi yang berlebihan dari reseptor

glutamat, akibatnya ion kalsium banyak masuk kedalam sel. Aktifasi berbagai enzim

protease, caspase, phospholipase, dan endonuclease memudahkan kerusakan bahan dasar sel yang melibatkan membrane plasma. Inflamsi, cytokine dan matrix metalloproteinase (MMPs) dan juga jumlah jaringan yang rentan pada trauma medulla spinalis meningkat. Secara umum radikal bebas termasuk nitrix oxide (NO), juga berperan secara signifikan dalam memediasi kematian sel (Wells et al, 2003).

(17)

Penelitian terakhir telah mendokumentasikan peningkatan Interleukin-6 (IL-6), soluble Interleukin-6 (IL-6) reseptor dan TNF-α dalam CSF, plasma atau parenkim pasien cedera kepala sampai tujuh hari setelah trauma. Ekspresi kronis berlebihan dari TNF-α dan IL-6 dapat menyebabkan neurodegeneratif inflamasi encephalopathy dan IL-6 dapat mempromosikan demyelinasi, trombosis, infiltrasi leukosit dan rusaknya sawar darah

otak dan dapat mengganggu neurogenesis pada dewasa (Marklunda, 2005).

Respon neuroinflamsi setelah cedera kepala menyebabkan kematian sel neuron sekunder subakut melalui excitotoxic injury, lipid perosidasi, kerusakan sawar darah otak

dan edema cerebri.Pada percobaan preklinis cedera kepala menunjukkan upregulasi dari mediator inflamasi.Lebih-lebih lagi, tumor necrosis faktor (TNF-α), interleukinn-6 (IL-6), dan IL-1 β dapat meningkat dan berhubungan dengan hilangnya integritas sawar darah otak yang memberi kontribusi terhadap edema otak. Baik terapi pre injury maupun post

injury pada hewan percobaan, statin dapat menurunkan kadarIL-1 β, TNF α , IL- 6 and ICAM-1 pada akut dan subakut setelah cedera otak traumatik. Mikroglia marker (mediator inflamasi) meningkat setelah percobaan trauma otak mencapai puncak pada 24

jam pascatrauma, dan menetap untuk 7 hari (Wible, 2010)

1.2RUMUSAN MASALAH

1. Apakah pemberian inhibitor HMG-CoA reduktase (Statin)dapatmemperbaiki hasil akhir klinis penderita kontusio serebri ?

2. Apakah kadar interleukin-6 serum dapat memengaruhi hasil akhir klinis kontusio

serebri ?

(18)

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum:untuk menganalisi apakah perbedaan hasil akhir klinis

dengan pemberian inhibitor HMG-CoA reduktase (Statin)yang dinilai dengan skala prognosis GOS, Barthel’s, dan MMSE penderita kontusio serebri pada

kelompok dengan dan tanpa pemberian neuroprtektiveinhibitor HMG-CoA reduktase dibandingkan dengan pengobatan standar

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk menganalisis pemberian inhibitor HMG-CoA reduktase (Statin)dalammemperbaiki hasil akhir klinis penderita kontusio serebri atau tidak?

2. Untuk menganalisis kadar interleukin-6 serum memengaruhi hasil akhir klinis kontusio serebri atau tidak?

3. Untuk menganalisis pemberian inhibitor HMG-CoA reduktase (Statin) dalam menurunkan kadar interleukin-6(IL-6) akan memengaruhi hasil akhir klinis penderita kontusio serebri atau tidak?

1.4 Manfaat Penelitian

1. Inhibitor HMG-CoA reduktase (Statin) yangselama ini dipakai sebagai obat penurun kolesterol ternyata memunyai efek lain sebagai neuroprotektor sehingga

dapat dikonfirmasi juga pada kontusio serebri.

2. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi pengobatan standar kontusio serebri.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cedera Otak

Cedera kepala dapat didefinisikan secara luas yang meliputi setiap hal berikut ini:

1. Bukti riwayat pukulan terhadap kepala

2. Bukti trauma terhadap kulit kepala dalam bentuk bengkak, lecet ataupun memar

3. Bukti patah pada tulang kepala dengan foto schedel atau CT Scan kepala atau bukti cedera otak dengan CT Scan yang dibuat segera setelah trauma.

4. Bukti klinis patah tulang dasar tengkorak

5. Bukti klinis cedera otak (hilang atau terganggunya kesadaran, lupa ingatan, defisit

neurologis, kejang) (Selladurai et al, 2007).

Definisi cedera otak adalahproses patologis pada jaringan otak yang bukan bersifat

degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar yang

menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif dan psikososial yang sifatnya menetap atau

sementara dan disertai dengan hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Narayan et

al, 1996)

2.2 Klasifikasi cedera otak

Berat tidaknya cedera otak paling umum digunakan modalitas dari GCS (Glasgow Coma Scale) post resusitasi, yaitu ringan (GCS 13-15), Sedang (GCS 9-12) dan Berat (GCS ≤8). Bila berdasarkan mekanismenya cedera otak dibagi atas tumpul dan

tembus/tajam ( penetrating head injury) (Narayan et al, 1996).

2.3 Patofisiologi cedera otak

Perubahan patofisiologi setelah cedera kepala adalah kompleks. Trauma bisa

(20)

Perubahan-perubahan setelah trauma adalah terjadi pada tingkat molekuler, biokimia, seluler, dan

pada tingkat makroskopis (Selladurai et al, 2007).

2.3.1 Cedera Otak Primer dan Kontusio Serebri

Cedera otak primer disebabkan oleh kerusakan mekanik pada jaringan otak dan

pembuluh darah pada saat terjadinya trauma. Pada tingkat makroskopis bisa terlihat

terputusnya jaringan otak; pada tingkat mikroskopik bisa terlihat kerusakan parenkhim

sel (sel neuron, axon, dan glia) dan mikrosirkulasi (arteriol, capiler, dan venula)

(Selladurai,et al,2007).

Kontusio serebri adalah tipe kerusakan otak fokal terutama disebabkan oleh

kontak antara permukaan otak dan tonjolan permukaan tulang dasar tengkorak, menuerut

ICD-9 kontusio cerebri adalah luka memar pada otak akibat tubrukan / impact terhadap

kepala atau suatu trauma acceleration/deceleration (Narayan et al,1996).

Diantara banyak peristiwa molekouler paskacedera otak hal yang paling penting

adalah Sur-1 yang memberi kontribusi berkembangnya kontusio serebri. Secara umum

area kontusio serebri dibagi tiga yaitu; Epicenter, Pericotusional penumbra, dan

Parapenumbra area. Pada epicenter terputusnya pembuluh darah terjadi segera.Pada

penumbra dan parapenumbra area pukulan energi tidak merobek jaringan, tetapi

mengawali peristiwa molekuler sensitif-mekanik yang mengiduksi overexpresi dari

Sur-1. Sur-1 adalah regulator subunit dari non-selektif kation channel (NCCa-ATP) yang

ditemukan oleh Simard group dan berimplikasi pada patophisiologi edema serebri dan

bertransformasi dari kontusio menjadi hemoragic. Induksi overekspresi Sur-1

meningkatkan pembengkakan sel dan kematian onkotik sel astrocyte, neuron, dan sel

endothelial. Pecahnya endotelial sel mengakibatkan microhemoragic yang berakibat terbentuknya perdarahan baru dan konsekuensi perdarahan menjadi progresif pada

traumatik kontusio serebri ( Kurland.D., 2012).

Gambaran CT scan pada kontusio serebri lokasi biasanya tanpak pada permukaan

korteks dan terlibat gray matter, pada sentral area terlihat hiperdense dan bercampur dengan area hipodense yang merupakan bagian dari hemoragic necrosis atau bagian

jaringan otak yang rusak dan bagian otak yang edema (pericontusional edema) (

(21)

Tidak ada aliran darah pada area sentral kontusio serebri dan pengurangan aliran darah

pada daerah perikontusional edema, dimana autoregulasi terganggu (vasoparalysis). Oleh karena itu pada daerah perilesional ada kerusakan parsial sel yang rentan terhadap setiap

pengurangan perfusi oleh pengurangan MAP (mean arterial pressure), peningkatan tekanan intrakranial atau vasokonstriksi setelah hipocapnia akibat dari hiperventilasi (

Selladurai.B., 2007).

Perkembangan dari lesi kontusio serebri adalah (1) Komponen perdarahan

berkembang; penyatuan fokus –fokus perdarahan kecil dapat terjadi; komponen

perdarahan dari kontusio serebri dapat mencapai maximal dalam waktu 12 jam

pascatrauma pada 84% pasien; koangolopati dan alkoholik dapat memperbesar risiko

bertambahnya komponen perdarahan pada kontusio serebri, (2) Meningkatnya

pembengkakan zona sentral kontusio dan zona perikontusional; kerusakan parsial sel

parenkim pada sentral kontusio juga pada zona perikontusional bisa menyebabkan

bengkak (cytotoxic edema). Pada area nekrotik dari kontusio makromolekuler yang didegradasi menjadi molekul yang lebih kecil dapat meningkatkan osmolaritas jaringan

dan bisa menyebabkan perpindahan cairan dari intravasculer ke area necrosis kontusio

(osmolar edema).Pembengkakan area sentral kontusio menyebabkan penekanan zona

perikontusional dan menyebabkan iskhemik lebih lanjut dan edema. Perikontusional

edema dapat mencapai maximal 48-72 jam setelah cedera ( Selladurai.B., 2007).

2.3.2 Cedera Otak Sekunder

Cedera otak sekunder merujuk kepada efek setelah peristiwa cedera primer,

secara klinis efek diaplikasikan setelah postraumatik hematom intrakranial, edema otak

dan peningkatan tekanan intrakranial dan pada fase lebih lambat hidrocephalus dan

infeki. Cedera otak sekunder adalah peristiwa sistemik yang terjadi setelah trauma yang

potensial cedera ini dapat menambah kerusakan neuron, axon, dan pembuluh darah otak.

(22)

Gambar 1 : Faktor-Faktor yang memengaruhi Prognosis Setelah Cedera Otak

(Vollmer.D.G., 1993).

2.4 Penilaian Tingkat Kesadaran pada Cedera Otak

Teasde dan Jannet telah mengevaluasi secara hati-hati pasien-pasien dengan

cedera kepala dan gangguan kesadaran. Hasil yang mereka kembangkan telah dikenal

(23)

a. Respon buka mata Nilai

Spontan 4

Atas perintah / suara 3

Rangsangan nyeri 2

Tidak ada 1

b.Respon Motorik Nilai

Menurut perintah 6

Melokalisir nyeri 5

Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4

Fleksi abnormal (dekortikasi) 3

Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2

Tidak ada (flasid) 1

c. Respon bicara Nilai

Berorientasi baik 5

Berbicara mengacau / bingung 4

Kata-kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2

Tidak ada 1

Tabel.1. Diambil dari: American College of Surgeons 1997, Advance Trauma Life Support Program Student Manual, Komisi Trauma ”IKABI” (Ikatan Ahli Bedah Indonesia), 6th ed, Komisi Trauma ”IKABI”, Jakarta.

Skala lain yang bisa dipakai untuk mengukur keparahan cedera kepala adalah

Glasgow Liege Scale, Glasgow Pittsburg Coma Scoring system, Head Injury Watch Sheet, Maryland Coma Scale, Leeds Coma Scale dan Glasgow Coma Scale. Kelebihan GCS adalah cukup konsisten dan objektif ketika dilakukan oleh penilai yang berbeda,

sederhana dan berguna sebagai pedoman terapi dan memberi informasi tentang prognosis

(Stein, 1996). Kendala GCS antara lain adalah jika penderita mengalami edema palpebra

(24)

2.5 Terapi Standar pada Cedera Kepala Sedang

1. Pemberian antibiotika bila ada luka,

2. Pemberian analgetik NSAID,

3. Pemberian sedatif/transquilizer bila diperlukan untuk memperbaiki kenaikan TIK

dan penenang,

4. Pemberian manitol untuk menurunkan TIK secara bolus 0,25-1 gram/kgBB,

serum osmolaritas harus diperiksa bawah 320 mmol/l untuk mencegah gagal

ginjal,

5. Pemberian nutrisi dini secara bertahap yang harus tercapai untuk kebutuhan total

dalam waktu 7 hari setelah trauma, adalah 140% dari kebutuhan basal pada pasien

yang tidak dilumpuhkan dan yang diberikan secara parenteral dan enteral,

sedikitnya 15% dari asupan energi harus mengandung protein,

(25)

Bagan.1. Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang Nonoperatif

2.6 Skala Prognosis Glasgow(Glasgow Outcome Scale=GOS)

Glasgow outcome scale (GOS) paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak GOS dikelompokkan dalam lima katagori: mati,

persistent vegetative state, ketidakmampuan yang berat, ketidakmampuan sedang, dan

kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat diperoleh pada 3, 6, dan 12 bulan setelah

cedera otak. Validitas GOS sebagai suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh

kuatnya hubungan dengan lamanya koma, beratnya kondisi pada awal trauma (diukur

dengan GCS), dan tipe lesi intrakranial. GOS katagori juga berkorelasi dengan lamanya

(26)

pasien yang membaik secara signifikan dan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera

otak (Narayan et al, 1995).

Skala pengukuran GOS ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond pada

tahun 1975. Prognosis pascacedera otak yang didasarkan kapabilitas sosial pasien

pascacedera otak dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan defisit neurologis.

Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara umum, dimana juga mampu

menilai prognosis pascakoma traumatik ataupun nontraumatik (Bullock, 2004; Narayan,

Michel,2002; Jennet, 2005).

Telaah pada penderita adalah sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah

cedera otak di Glasgow oleh spesialis saraf dan bedah saraf . Keduanya memutuskan

bahwa penilaian ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan pascatrauma (Jennet,

2005).

Skala penilaian prognosis Glasglow terdiri atas lima kategori (Jennet ,2005)

(1) Pemulihan baik (good recovery= GR) diberi nilai 5.Pasien dapat berpartisipasi pada kehidupan sosial, kembali bekerja seperti biasa. Pemeriksaa ini dapat disertai

komplikasi neurologis ringan, seperti defisit minor saraf kranial dan kelemahan

ekstremitas atau sedikit gangguan pada uji kognitif atau perubahan personal.

(2) Ketidakmampuan sedang (Moderate disability=MD, independent but disabled) diberi nilai 4.Kondisi pasien jelas berbeda sebelum cedera dan mampu

menggunakan transportasi umum, tetapi tidak dapat bekerja seperti biasa. Pasien

defisit memori/perubahan personal, hemiparesis, disfasia, ataksia, epilepsi paska

traumatika, atau defisit mayor saraf kranial. Derajat ketergantungan pasien pada

orang lain lebih baik dibandingkan dengan lansia dan kemampuan kebutuhan

personal sehari-hari dapat dikerjakan tetapi, mobilitas dan kapasitas berinteraksi

tidak dapat dilakukan tanpa asisten.

(3) Ketidakmampuan berat (Severe disability=SD, conscious but dependent) diberi nilai 3.Pasien mutlak bergantung pada orang lain setiap saat (memakai baju,

makan, dll), paralisis spastik, disfasia, disatria, defisit fisik dan mental yang

mutlak memerlukan supervisi perawat/keluarga.

(27)

withdrawal sebagai pencerminan menuruti perintah, mengerang, menangis, kadang mampu mengatakan tidak sebagai bukti proses kembali berbicara.

(5) Meninggal dunia (dead) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah dan memodifikasi ulang skala GOS karena masalah sensitivitas statistik dan

penggunaan yang lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu distribusi

bimodal (dikotomisasi) antara hidup (GR, MD, SD) dan mati (PVS, Dead) dan penilaian ekstensi (GOS Extended), yaitu

GOS asli Nilai GOS – E Nilai

Meninggal dunia 1 Meninggal dunia 8

Status vegetative 2 Status vegetative 7

Ketidakmampuan Berat 3 Ketidakmampuan berat

Ekstremitas atas

Ekstremitas bawah

6

5

Ketidakmampuan Sedang 4 Ketidakmampuan sedang

Ekstremitas atas

Ekstremitas bawah

4

3

Pemulihan Baik 5 Pemulihan baik

Ekstremitas atas

Ekstremitas bawah

2

1

Tabel. 2. Nilai GOS Asli dan Extended

2.7Skala Fungsional Barthel’s Index

Skala Barthel atau Index ADL (Activities of Daily Living) Barthel merupakansuatu skala untuk mengukur kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas

dasar danmobilisasi. Semakin tinggi nilai yang diperoleh dalam pemeriksaan,

semakintinggi pula kecenderungan atau kemampuan seseorang untuk hidup mandiri

(28)

olehMahoney dan Barthel dengan manampilkan rentang penilaian dari 0-20. Meskipun

versiaslinya telah dipergunakan secara luas, skala ini telah mengalami modifikasi

olehGranger dkk pada tahun 1979 menjadi 0-10 point untuk tiap variabelnya dan

perbaikanselanjutnya diperkenalkan pada tahun 1989. Skala ini dikenal cukup reliable

(Mahoney, Barthel ,1965). Barthel index diukur pada saat awal terapi dan secara berkala

selama terapi sampai diperoleh keuntungan yang maksimum (Mahoney and Barthel,

1965).

2.7.1 Penilaian Kondisi Mental Sederhana

The mini mental state examination(MMSE), digunakan untuk screening gangguan cognitive. Setiap nilai lebih atau sama dengan 25 adalah efektif normal, gangguan cognitive berat (≤ 9),sedang (10-20) dan ringan (21-24). MMSE merupakan suatu skala

terstruktur yang terdiri atas tiga puluh poin yang dikelompokan menjadi tujuh kategori:

orientasi terhadap tempat (negara, provinsi, kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap

waktu (tahun, musim, bulan, hari, dan tanggal), registrasi (mengulang dengan cepat tiga

kata), perhatian dan konsentrasi (secara berurutan mengurangi tujuh, dimulai dari angka

seratus, atau mengeja kata WAHYU secara terbalik), mengingat kembali (mengingat

kembali tiga kata yang telah diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama dua benda,

mengulang kalimat, membaca dengan keras dan memahami suatu kalimat, menulis

kalimat dan mengikuti perintah tiga langkah), dan kontruksi visual (menyalin gambar)

(Lezak, 2004; Tombaugh, 1992).

(29)

2.8 Mediator-Mediator dan Mekanismenya pada Cedera Otak Sekunder

2.8.1 Nekrosis/Apoptosis

Nekrosis sel terjadi sebagai respon terhadap toxic atau cedera fisik dan iskemik. Nekrosis dikarakteristikkan dengan pembengkakan sel dan kerusakan membran yang berkaitan dengan lisis nuclear kromatin. Ketika kelompok-kelompok sel terlibat secara simultan, isi sel yang banyak tumpah dalam jaringan yang cedera dapat membangkitkan

respon inflamasi dalam area lokal. Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram yang terjadi dengan respon terhadap aktifasi dari sinyal sel dan juga terlihat memberi

konstribusi terhadap kematian sel SSP setelah cedera otak. Kematian dengan mekanisme

apoptosis secara normal digunakan dalam perkembangan dan mempertahankan populasi sel. Berbeda dengan kematian karena nekrosis sel membengkak dan pecah. Ketika sel mengalami apoptosis, sel menjadi menciut dan integritas membran dipertahankan sampai akhir setelah kematian sel. Bangkai sel apoptosis mengandung sisa sitoplasma, organella, dan nucleus cromatin dihilangkan dan difagosit. Kematian sel dengan proses apoptosis yang memerlukan energi, sedangkan kematian sel karena nekrosis karena tidak adekuatnya persediaan energi (Hatton J, 2001).

Kebutuhan energi yang sangat banyak meningkat cepat setelah cedera otak dan

protokol resusitasi setelah cedera otak meningkatkan kemungkinan bahwa terdapat lebih

dari satu mekanisme kematian sel. Sel dapat merespon bermacam-macam ransangan

stres dan kekacauan metabolisme yang dapat memicu program apoptosis. Zat yang merusak DNA dan zat kimia tertentu yang dapat mengaktifkan mekanisme

memerintahkan sel untuk apoptosis. Mekanisme ini termasuk up-regulasi protein

apoptosis. Misalnya, aktivasi dari Caspase. Sekali caspase cascade dimulai, proses kematian sel tidak dapat dibalikkan lagi. Walaupun data yang ada menunjukkan bahwa

sekali caspase telah diaktifkan, cedera sel otak tidak dapat distop lebih jauh dengan

intervensi farmakologi. Akan tetapi caspase antagonis telah memperlihatkan efek

(30)
[image:30.612.90.515.70.316.2]

Gambar. 2. Beberapa Gambaran Cedera Apoptosis pada Neuron(Alzheimer, 2002: 23)

2.8.2 Reperfusi Injuri/Cytokines

Sintesis proinflamasi cytokines, aktivasi leukosit, vasogenik edema, dan kerusakan sawar darah otak adalah salah satu yang bisa memberi konstribusi edema

paskacedera otak. Perubahan sinyal untuk repair, regenerasi dan proteksi telah dilaporkan

dengan reperfusi yang berkaitan dengan respon inflamsi. Proinflamasi cytokine bisa memperberat iskemik pada cedera CNS melalui efek lansung pada neuron, astrosit dan

sel mikroglial, atau melalui induksi molekul proinflamsi lain seperti TNFα dan interleukin-1β. Mereka terlihat langsung memodulasi apoptosis sel CNS, dan differensiasi dan, proliferasi dan memengaruhi infiltrasi leukosit. Cytokine juga terlibat

dalam produksi protein untuk apoptosis. Aktivasi NFκB menyebabkan up-regulasi cyclo-oxygenase-2(COX-2), intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1)dan, IL-1 β, IL-6, dan juga dapat menginduksi sintesa Nitric Oxide (NOS), TNFα dan Fas Ligand (Hatton.J., 2001).

Interaksi di antara mediator-mediator ini menyebabkan siklus terus berlansung

cedera sekunder, necrosis , dan apoptosis. Infiltrasi sel mononuclear dapat dijumpai

dalam 6-12 jam pascaiskemik fokal SSP. Cytokines produksi terjadi 12 jam sekunder

(31)

puncak dalam 6-12 jam pascaiskemik dan menurun kembali dalam 1-2 hari. Bukti yang

dihasilkan sejauh ini mengesankan bahwa obat yang menekan produksi TNFα akan mengurangi infiltrasi leukosit dalam area iskemik otak dan mengurangi kehilangan

jaringan. Pada hewan percobaan cedera otak tertutup, inhibisi TNFα memberikan suatu neuroproteksi. Pentoxifilline telah digunakan untuk mengurangi produksi TNFα dan berhasil menurunkan TNFα otak 80%. Setelah iskemik CNS peningkatan produksi IL-6 terlihat menonjol pada daerah yang kehilangan sel-sel neuron (Hatton J, 2001).

[image:31.612.142.468.430.595.2]

Kerja IL-6 telah dilaporkan sebagai neuroprotektif dan juga sebagai neurotoxic. IL-6 mempromosikan ketahan hidup sel neuron dan menghambat NMDA yang terinduksi toxin in vitro. Konsentrasi yang tinggi dari IL-6 bisa berperan sebagai prediktor pemulihan fungsional pasien dan berkorelasi dengan ukuran infark. Pada reperfusi IL-6 memberi konstribusi terhadap produksi ICAM-1.IL-1 β , IL-6, dan TNFα dapat meningkatkan ekspresi ICAM-1 pada sel endotelial dan astrocyte, memfasilitasi infiltrasi leukosit, dan meningkatkan aktivasi leukosit. Eselectine dan ICAM-1 ter up-regulasi pada endotelial cerebrovascular pasca kontusio fokal otak pada tikus. ICAM-1 antagonis telah memberi keuntungan melawan apoptosis neuron pada fokal iskemik otak (Hatton J,2001).

Gambar. 3. Mekanisme dan Mediator-Mediator Sekunder pada Cedera Saraf

LKT = leukotrienes;NMDA= N-methyl-D-aspartate; PG = prostaglandins(Hatton ,2001).

2.8.3 Excitotoxicity/Glutamate

(32)

sel neuron dipapar sementara dengan glutamte, aktifasi NFκB terjadi dan ekspresi gen

proapoptosis yang ter-upregulasi menyebakan kematian sel. Glutamat yang berlebihan

dengan cepat merusak neuron postsynaptik karena influx kalsium berlebihan. Glutamat

dapat mengaktifkan NMDA ,α- amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionate (AMPA), dan reseptor kainate. Pada aktivasi AMPA atau reseptor kainate, ion channels terbuka dan memungkinkan sodium, potassium, dan hidrogen masuk kedalam sel.

Pembengkakan sel terjadi karena pergeseran osmotik cairan dan masuknya sodium

dengan cepat dapat mendepolarisasi membran sel. Blok pada tipe reseptor AMPA dan kainate telah memperlihatkan keuntungan pada iskemik fokal dan global hewan

percobaan. Aktivasi glutamat pada NMDA reseptor yang membuka kunci ion channel dapat menyebabkan peningkatan kalsium dan sodium (Hatton J, 2001).

Dalam keadaan normal, aktivasi reseptor NMDA kompleks yang melibatkan ikatan glutamat dan glysin diperlukan depolarisasi sel yang cukup untuk melawan

penghambatan dari magnesium. Ketika teraktivasi oleh glutamat, magnesium bergeser

dari channel dan memungkinkan secara elektris diisi ion kalsium. Masuknya ion kalsium

yang banyak mengubah aktivitas elektris neuron dan stimulasi sinyal konduksi

mengaktifkan neuron-neuron yang berdekatan. Ketika transportasi kalsium terjadi secara

berlebihan, seperti pada cedera akut dan level glutamat yang cepat meningkat, neuron

bengkak dan pecah. Glutamat melebur kembali pada proses ini dan siklus excitotoxicity terus berlansung. Glysine telah diistilahkan sebagai suatu coagonis karena ia berperan

dalam memfasilitasi aktivasi glutamat yang teriduksi. Pada model cedera otak diffuse tanpasequele sekunder, glutamat hanya meningkat untuk sementara. Dampak pada model cedera dengan sequele sekunder memperlihatkan peningkatan cepat glutamat ke dalam cairan ekstraseluler. Meskipun pada pasien dengan cedera otak levelnya 10-50

kali lipat lebih tinggi daripada nontrauma, Peningkatan ini telah diobservasi selama 96

jam pascacedera otak. Sejumlah target obat pada tempat ikatan NMDA glisine dan yang memengaruhi pelepasan glutamat presinaptik memperlihatkan neuroproteksi pada hewan

percobaan dengan iskemik dan cedera axonal diffuse. Reseptor opoid-κ agonis terlihat menekan pelepasan glutamat presinaptik dan telah diperiksa secara klinis.Modulator

presinaptik lainnya adalah termasuk endoline, sodium channel antagonis, dan agonis

(33)

toleransi yang baik dibandingakan dengan glutamat antagonis. Glutamat terus menerus

menjadi target strategi terapi yang diteliti dan sering digunakan sebagai marker rujukan

respon obat (Hatton.J., 2001).

Bagan. 2. Induksi Glutamate pada Cedera Saraf Akut (Alzheimer, 2002).

2.8.4 Kalsium

Setiap terjadi iskemik otak, N-type voltage-sensitif calsium channel terbuka.Hal ini memungkinkan kalsium dan sodium masuk ke dalam terminal neuron yang

cedera.Peningkatan kalsium intraseluler memberi konstribusi terhadap depolarisasi

membran dan kerusakan saraf terminal. Dalam kondisi normal, kalsium di dalam sitosol

sel ditranspor keluar sel dengan pompa membrane yang bergantung pada energi atau

dibuang oleh mitokhondria dan retikulum endoplasma. Metabolisme seluler diturunkan

sehubungan dengan ikatan kalsium dengan membrane mitokhondria dan berlawanan

dengan transpor elektron dan produksi ATP. Hilangnya sumber daya energi sel dapat, mengeluarkan sinyal kematian sel dan melapaskan toksin sehingga siklus cedera otak

berlansung terus. Phospholipase mengaktifkan sinyal untuk merusak phospholipid dan

menghasilkan kerusakan dinding membran sel yang mengandung phospholipide dan juga

(34)

anorganik, dan asam amino merupakan petanda sudah terjadi pelepasan. Hal ini

kemudian memicu mekanisme internal selular untuk siklus kematian sel (Hatton.J.,

2001).

Sinyal dari kerusakan axon secara lambat dapat terlihat dalam 2-3 jam setelah

cedera otak dan menetap selama 24 jam atau lebih.Peningkatan kalsium intraseluler dan

bisa mengaktifkan protease netral spesifik kalsium. Kerja protease dapat menyebabkan

peningkatan jangka lama pada calpain-induced spectrin degradation breakdown products, kerusakan sel dan perubahan tingkah laku. Degradasi yang termediasi kalsium dari cytoskleton dianggap menjadi penting pada cedera axonal secara lambat yang mana kerusakan menjadi lebih buruk pada 24 jam pertama pascacedera otak. Actine adalah

suatu protein struktur besar polymerase dari bentuk microfilamen yang dapat membatasi

masuknya kalsium dari voltage-gated channel atau NMDA. Gelsoline suatu enzyme intraseluler yang menghambat masuknya kalsium lebih banyak lagi. Gelsoline

memotong microfilamen dan menggangu fungsi sel normal. Gelsoline juga bisa menjadi

mediator apoptosis karena dia secara spesifik diaktifkan oleh caspase-3 sebagai enzyme

kunci pada cascade apoptosis (Hatton.J., 2001).

Fungsi mitokhondria adalah untuk mempertahankan kalsium intraseluler dan

perlindungan sel. Kalsium masuk ke dalam sel dengan low capasitor antiporter atau electronic uniporter. Pompa mitokhondria mengeluarkan kalsium ketika kadar kalsium dalam sitosol tinggi. Masuknya kalsium yang berlebihan setelah aktivasi glutamat pada

NMDA reseptor menyebabkan cedera sekunder pada neuron. Pada kondisi normal mitokhondria terlindungi dari cedera cytotoxic oleh akumulasi kalsium ketika terpapar

oleh glutamate. Cyclosporin telah diteliti potensialnya terhadap neuroproteksi karena efeknya pada mekanisme pengangkutan kalsium di mitochondria (Hatton.J., 2001).

2.8.5 Radikal Bebas

Kerusakan membran phopholipid merupakan kerusakan sekunder terhadap aktivasi

phospholipase-C yang dapat menghasilkan spesies radikal bebas yang sangat reaktif. Radikal bebas adalah produk sampingan yang tidak bisa dielakkan dari proses redok

(35)

banyak menghasilkan hidrogen peroksida dalam otak. Pengubahan hidrogen peroksida ke

hydroxiyl radikal dikatalisa oleh metal transisi (contoh: besi dan tembaga). Radikal

reaktif OH, Lipid peroxyl radikal, thio atau thio-ferro radikal yang merusak sel dengan menyebakan:

1. Peroksidasi lemak

2. Oksidasi protein atau proteolysis 3. Mengurangi adenosine triphosphate 4. Memecahkan DNA

Enzyme antioxidant endogen meliputi superoxida dismustase(SOD), Catalase, gluthation peroxidase dan reduktase, thiol-spesifik antioxidan enzyme, thioredoxin dan protease inhibitor. Antioxidatif seluler ini adalah sistem perlindungan yang secara aktif melindungi sel otak dan neuron dari cedera oxidant.Otak mengandung sejumlah besar

asam lemak polyunsaturasi, target untuk peroxidase, dan pembentukan species radikal bebas reaktif.Selama iskemik, katekolamin oksidasi, extravasasi oksidasi haemoglobin, neutrophil infiltrasi, dan nitric oxide memberi konstribusi dalam mempercepat produksi radikal bebas.Ketersediaan nitric oxide selama iskemik juga meningkatkan potensial toxisitas dari superoxida radikal. Antioxidan endogen normal, superoxida dismustase, catalase dan gluthathion peroxidase tidak dapat sepenuhnya menetralisasi reaksi ini dalam keadaan iskemik. Seluruh produksi radikal ini, peroxidasi lemak secara lansung

merusak membrane sel dan juga mengubah kontraktilitas vaskuler dan mengurangi aliran

darah. Setiap radikal cascade diakhiri, anyaman menyilang di dalam membrane atau dengan komponen sel lain dapat terjadi. Hal ini bisa menyebabkan inflamasi sel, edema,

dan merubah sistem enzyme. Perubahan ini memengaruhi permiabelitas seluler dan

merubah kemotaxis sehingga menyebabkan kerusakan tidak langsung. Radikal bebas

mengawali peroxidasi membrane sel, melibatkan myelin, dikatalisa oleh ion besi bebas

yang dilepas oleh hemoglobin, transferin, dan ferritin oleh setiap penurunan PH atau oksigen jaringan (Chieueh.C., 1999).

Peningkatan induksi kalsium dapat melepaskan radikal bebas dari mitokhondria dan

memicu kalsium teraktivasi protease dan lipase. Hal ini menyebabkan degradasi asam

(36)

produksi thromboxan A2, Prostaglandin, dan leukotrine. Hal ini tidak begitu jelas apakah

peristiwa ini menyebabkan kerusakan yang sama pada pembuluh darah dan neuron. Nitic oxide dihasilkan in vivo pada sel endotelial, astroglia dan sedikit pada neuron dengan tiga bentuk berbeda dari NOS. Nitric oxide bisa berkerja melalui second messengers, contohnya, cyclic guadinosine monophosphate (GMP), yang menyebabkan sinyal neurogenik vasodilatasi. NFκB dan IL-1 dapat mengiduksi sinyal NOS (iNOS) dapat menghasilkan Nitric Oxide. Ada bukti menunjukkan bahwa aktivasi reseptor NMDA bisa meransang pembentukan Nitric Oxide. Nitric oxide telah berakibat pada pelepasan ikatan phosphorilasi oxidatif pada mitokhondria, memicu apoptosis, dan pengurangan produksi

energi melalui aktivasi polyadenosin diphosphate (ADP)-ribosesintetase (PARS). Kadar nitrit dan nitrat (produk stabil nitric oxide) dalam CSF meningkat antara 30 dan 42 jam setelah cedera otak manusia. Lubeluzol, yaitu suatu obat yang diteliti dapat menghambat

induksi glutamat pada cedera otak dan diusulkan sebagai mekanisme yang terlibat dalam

patway nitric oxide intraseluler. Nitric oxide adalah sumber untuk produksi radikal bebas dan NO. Radikal ini dihasilkan selama iskemik dan secara umum telah dikenal sebagai neurotoxic (Chieueh.C., 1999).

2.8.6 Ekspresi Gen, Sintesa Protein dan Growth Factors

SSPmemunyai mRNA hampir 30.000 gen dan diperkirakan ada 20.000 protein berbeda di otak. Semua sintesis protein berkurang setelah cedera otak, tetapi urutan

mRNA baru diekspresikan dan protein tertentu secara khusus disintesis. Dalam hitungan

menit setelah cedera otak, stimulasi glutamat dari NMDA reseptor meningkatkan kalsium intraseluler atau degradasi membran lemak yang memicu up-regulasi kelompok

stres protein dan yang melewati area cedera akut. Stress protein (heat-shock protein ) berkerja memobilisasi pertahanan sel dan stabilisasi cytoskleton. Gen tertentu dianggap

terlibat dalam dalam respon yang lebih lambat terhadap cedera otak dan efek nya

meliputi proteksi dan pencegahan apoptosis. Gen growth factor sudah ada dalam beberapa jam cedera kepala, tetapi produksi protein memerlukan waktu beberapa hari.

Banyak neurotrophic growth factor telah diidentifikasi. Selain itu, dikenal dengan baik

(37)

Factor(GDNF), dan Neurotrophic Factor-3), neurotrophic factror bisa meng up-regulasi sintesis protein baru untuk berkerja menguragi efek kerusakan akibat masuknya ion

kalsium dalam jumlah banyak yang menyebabkan sekunder injury. Ada bukti dari

percobaan in vitro bahwa growth factor dapat memproteksi neuron untuk melawan cedera dari energi yang hilang atau kalsium yang berlebihan. Transmisi growth factor bisa dipengaruhi oleh kerusakan axon setelah cedera otak. Pada manusia dengan cedera

otak, kadar sistemik IGF-1 endogen menurun setelah cedera otak dan tetap rendah sampai 14 hari. IGF-1 yang ada sekarang hanya growth factor yang diperiksa secara klinis untuk potensial neuroprotektif nya pada pasien dengan cedera otak (Hatton.J., 2001).

2.9 Strategi Farmakologi Pemilihan Neuroproteksi

Mekanisme kematian sel hal penting untuk meningkatkan mamfaat ketika

dipertimbangkan intervensi target terapi. Mediator inflamasi, cytokine, growth factor,

glutamate, dan neurotrasmitter lainnya telah dieksplorasi sebagai tempat yang potensial

untuk memutuskan siklus kematian sel setelah cedera otak akut. Obat yang menghambat

reseptor untuk mediator ini berusaha memutuskan siklus kerusakan sel yang terus

berlangsung dengan cara menghambat sinyal eksternal inflamasi sel. Banyak sekali

susunan mekanisme dan mediator-mediator berperan terhadap komplikasi berkembang

trauma otak sekunder yang menjadi latar belakang strategi efektif untuk pemilihan obat

neuroproteksi. Mekanisme terapi yang berkerja tunggal untuk usaha beberapa multipel

proteksi mungkin tidak adequate. Kemungkinan target untuk intervensi adalah termasuk

antagonis kalsium channels sensitif-voltage, reseptor antagonis NMDA, glysine, atau reseptor antagonis polyamine, antagonis radikal bebas atau scavengers, modulator leukosit, dan growth faktor atau gen terapi. Tantangan terapi meliputi klarifikasi target

sinyal yang paling sesuai, waktu pemberian, metode pemberian, dosis optimal yang akan

mencapai konsentrasi sistemik atau sentral yang mampu membangkitkan suatu respon

(38)

2.9.1 Apoptosis Inhibibisi

Target obat pada program sel bunuh diri dalam kondisi iskemik meliputi inhibisi

caspase, inhibisi protein modulator neuronal apoptosis(NAIP, dan inhibisi poly (ADP-ribose) polymerase (PARP) .Aktifasi Caspase-3 telah diobservasi pada penderita stroke, trauma medula spinalis dan cedera otak. NAIP diekspresikan hampir secara khusus dalam sel saraf dan menghambat aktifitas enzyme caspase-3. Pada stroke hewan percobaan , modulasi NAIP expresi dapat mencegah kematian sel saraf (Hatton.J., 2001).

.

2.9.2 Agonis α-Adrenoceptor

Agonis α2-Adrenoceptor menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah otak dan mengurangi ICP pada cedera kepala hewan percobaan. Dexmedotomidine pada tikus

percobaan menurunkan volume iskemik 40% walaupun hipotensi dan hiperglikemia

telah diobservasi pada beberapa hewan percobaan. Arginin juga telah diberikan pada

hewan percobaan ini dan efektivitasnya mengurangi volume kontusio tanpa mengubah

ICP. Penelitian ini mengesankan bahwa ada terapi alternatif yang bisa diharapkan

mengurangi aliran darah otak tanpa memengaruhi hipotensi sistemik untuk

mempertahankan tekan perfusi otak (Hatton.J., 2001).

2.9.3 Agonis cholinergic

Kadar acetilcholin meningkat pada jaringan otak dan cairan otak setelah cedera

otak. Pada penderita yang bertahan hidup, gangguan kognitif mungkin berkaitan dengan

penurunan aktivitas choline acethyl transferase karena autopsi specimen dari pasien dengan cedera otak memperlihatkan perlindungan reseptor muscarinik pada tempat ikatannya di temporal kortek. Juga, pengurangan ikatan pada reseptor cholinergic di hipocampus dan batang otak menetap sampai dua minggu setelah cedera otak. Pusat

inhibisi selektif acetylcholine estaras dan rivastigmin, dan mempercepat penyembuhan fungsi motorik, perbaikan Morris Water Maze Performance dan dapat mengurangi edema serebri dengan cedera otak. Blok selektif reseptor muscarinik M2 postsynap menggunakan BIBN 99 dalam 24 jam cedera otak dan diteruskan selama 11-15 hari

(39)

menunjukkan pengurangan aktivitas kholinergik yang berperan terhadap sequele nerologis setelah cedera otak (Hatton.J., 2001).

2.9.4 Antagonis kinin

Bradikinin menyebabkan dilatasi vaskuler otak dan dengan nyata meningkatkan

permiabelitas vaskuler otak. Efek dimediasi oleh reseptor bradikinin yang terletak pada

endotelium vasculer. Aktivasi reseptor bradikinin-2 memediasi edema otak. LF 160687 adalah reseptor antagonis bradikinin-2 yang jelas mengurangi edema otak pada tempat cedera. Satu penelitian yang menggunakan LF 160687 pada dosis 100μ gr/kg/mnt pada tikus dengan edema otak fokal memperlihatkan penyembuhan fungsional yang secara

signifikan membaik dalam 6-7 hari. Percobaan klinis dari antagonis kinin Deltibant(CP 0127) telah sempurna. Dua puluh pasien dengan cedera otak ringan sampai sedang (GCS 9-14) diterapi selama 7 hari dengan Deltibant 3 μgr/kg/mnt dalam 24-96 jam cedera otak. Kontrol ICP lebih baik dan sedikit menurun pada score GCS dapat terlihat pada kelompok yang menerima dengan plasebo (Pruneau.D., 1999).

2.9.5 Inhibisi Cyclo-Oxygenase-2(COX-2)

Kadar COX-2 meningkat dalam neuron dan astrocyte setelah cedera otak pada tikus. Inhibisi COX-2 telah memperlihatkan hasil yang beragam. Celecoxib terlihat memperburuk penampilan motorik, tetapi tidak pada fungsi kognitif tes. Nimesulide, COX-2 inhibitor lain menurunkan pembentukan prostaglandin E2 pada hypotalamus dan jaringan kortek tetapi relatif tidak memunyai efek pada edema otak atau aktivitas

fungsional setelah cedera otak pada tikus. Proses inflamasi yang dipicu oleh cedera otak

tidak hanya mengaktifasi produksi asam arachidonat, tetapi juga mengaktifasi platelet-factor(PAF). Yang terakhir adalah aktifator transkripsional yang dapat diinduksi gen COX-2. Antagonis PAF telah digunakan untuk mengurangi expresi COX-2 setelah cedera otak iskemik reperfusi fokal pada hewan percobaan. Pada hewan percobaan

prostacycline infus mengurangi volume lesi cortex 45% dibandingkan dengan kontrol.

Neuroproteksi ini mungkin berkaitan dengan perubahan microsirkulasi berhubungan

(40)

2.9.6 Antagonis Adhesion Molekul Intraseluler

Pada Citicoline secara alamiah ditemukan senyawa endogen yang dilaporkan

dapat memberi efek neuroprotektif setelah iskemik otak. Obat ini terlihat tergantung

dosis pada hewan percobaan. Pada dosis lebih tinggi citicoline dapat mengurangi edema

dan kerusakan sawar darah otak. Efek ini diobservasi pada kasus cedera dan noncedera.

Walaupun citicoline tidak memperlihatkan efek yang signifikan pada percobaan klinis

stroke (phase II/III) harapan ke depan pada cedera otak akibat trauma masih ada

(Hatton.J., 2001).

2.9.7 Antagonis reseptor NMDA (N-Methyl –D-Aspartate)

Fokus besar penelitian neuroprotektif ditargetkan pada reseptor NMDA. Pada keadaan normal kompleks reseptor NMDA terlibat dalam proses belajar dan memori. Dengan menghambat proses transduksi sinyal dalam neuron, antagonis NMDA bisa menginduksi halusinasi, phisikosis, dan efek samping CNS lainya pada pasien sadar. Kompetitif antagonis NMDA memunyai affinitas yang tinggi terhadap reseptor glutamate. Secara teoritis obat ini jika diberikan dalam konsentrasi yang cukup, akan menghambat

glutamat dari ikatan pada reseptornya dan mencegah pembukaan NMDA channel. Saat ini target baru bentuk modulasi efek glutamat pada reseptor NMDA telah diidentifikasi. Penelitian sekarang menghubungkan usaha untuk mengurangi akumulasi glutamat selama

iskemik dengan menghambat kunci enzyme intraseluler, N-acetylated alpha-linked acidic dipeptidase (NAALADase). Pendekatan ini potensial menguntungkan secara selektif pada tempat di mana glutamat diproduksi berlebihan dari pada keseluruhan otak. Ini bisa

diusulkan perbaikan yang substansial dalam profile yang aman modulator glutamat dan

tergantung pada bukti lanjut keefektifan setiap penelitian kedepan yang sempurna

(Hatton.J., 2001).

2.9.8 Antagonis Receptor α-Amino-3-Hydroxy-5-Methyl-4- Isoxazolepropionate

(AMPA)

(41)

sangat baik pada hewan percobaan dan berpotensial sebagi neuroprotektif setelah cedera

otak. Obat ini diabsorbsi dengan pemberian oral dan berinteraksi dengan beberapa obat

lain yang dimetabolisme oleh Cytocrome P450 (CYP) 3 A isoenzyme. Percobaan klinis obat ini pada cedera otak belum dimulai (Hatton.J., 2001).

2.9.9 Magnesium Sulfate

Magnesium mengatur masuknya kalsium ke dalam sel melalui reseptor NMDA. Kadar magnesium intraseluler baik yang bebas maupun total lebih rendah pasca cedera

otak dan berkorelasi dengan beratnya cedera axon diffuse. Penurunan magnesium bebas

dalam sel menetap sampai 4 hari dan akhirnya menurun ke nilai dasar hari ke 6.

Pemberian magnesium chlorida 125 μ mol pada tikus dalam 60 menit dari cedera otak,

mampu memperbaiki kadar magnesium terionisasi darah sampai ke nilai dasar dalam

waktu 24 jam pasca cedera otak , berkorelasi pada 1-2 minggu dengan perbaikan motorik

tetapi tidak mempengaruhi hal yang berkaitan dengan belajar. Waktu pemberian setelah

cedera otak penting, ketika magnesium diberikan antara 8-12 jam setelah cedera otak

tikus terus memperlihatkan perbaikan motorik. Konsentrasi magnesium terionisasi dalam

darah bisa menjadi indikator prognostik motorik outcome. Konsentrasi serum 1,49 mmol/L dan telah memperlihatkan efek neuroprotektif pada penelitian preklinis. Skema

dosis pemberian magnesium chlorida 0,5 mmol/kg intravena sebagai loading dose diikuti dengan 0,12 mmol/kg/jam untuk mempertahankan konsentrasi magnesium serum 2

mmol/l (Hatton.J., 2001).

2.9.10 Dexanabinol

Dexanabinol (HU 211) adalah nonpsychotropic sintetis cannabinol dengan sifat farmakologi yang sama dengan non kompetitif antagonis reseptor NMDA; walaupun ia stereoselective inhibisi reseptor. Mekanisme lain dari neuroprotektif telah ditemukan dengan obat ini yang meliputi scavenging dari peroxide, hydroxi radikal dan dapat

menghambat produksiTNFα pada tikus cedera otak tertutup. Injeksi tunggal yang diberikan pascacedera otak menghasilkan perbaikan fungsional jangka panjang dan

meningkatkan ketahanan hidup neuronal pada hewan percobaan dengan kerusakan otak

(42)

sempurna.Dexanabinol pada psienmemperlihatkan efektif yang terbatas pada hipertensi intrakranial dalam episode 4 jam pascacedera otak. Obat diberikan dalam 6 jam cedera

otak dengan dosis 48 mg, 150 mg dan 200 mg (Hatton.J., 2001).

2.9.11 Stratrienes

Estradiol secara lokal dibentuk di jaringan saraf dan ekspresi dipengaruhi dalam astrocyte setelah cedera otak.Estrogen telah dilaporkan memberikan beberapa tingkat neuroprotektif m

Gambar

Gambar 1 : Faktor-Faktor  yang memengaruhi  Prognosis Setelah Cedera Otak
Tabel.1. Diambil dari: American College of Surgeons 1997, Advance Trauma Life
Tabel. 2. Nilai GOS Asli dan Extended
Table-3:Interpretasi dari Nilai MMSE (Lezak, 2004; Indharty.S, 2012).
+7

Referensi

Dokumen terkait