• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Karbon Aktif Kulit Singkong Untuk Menurunkan Kadar Biological Oksigen Demand (Bod) Dan Total Suspended Solid (Tss) Air Limbah Pabrik Tepung Tapioka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektifitas Karbon Aktif Kulit Singkong Untuk Menurunkan Kadar Biological Oksigen Demand (Bod) Dan Total Suspended Solid (Tss) Air Limbah Pabrik Tepung Tapioka"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS KARBON AKTIF KULIT SINGKONG UNTUK MENURUNKAN KADAR BIOLOGICAL OKSIGEN DEMAND (BOD) DAN

TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) AIR LIMBAH PABRIK TEPUNG TAPIOKA

SKRIPSI

OLEH :

FARIDAH HANUM RAJAGUKGUK NIM. 071000116

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

EFEKTIFITAS KARBON AKTIF KULIT SINGKONG UNTUK MENURUNKAN KADAR BIOLOGICAL OKSIGEN DEMAND (BOD) DAN

TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) AIR LIMBAH PABRIK TEPUNG TAPIOKA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan Judul :

EFEKTIFITAS KARBON AKTIF KULIT SINGKONG UNTUK MENURUNKAN KADAR BIOLOGICAL OKSIGEN DEMAND (BOD) DAN

TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) AIR LIMBAH PABRIK TEPUNG TAPIOKA

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima

Tim Penguji

FARIDAH HANUM RAJAGUKGUK NIM: 071000116

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 29 Maret 2011 dan

Ketua Penguji

Ir. Indra Chahaya S, MSi NIP. 19681101 199303 2 005

Penguji II

Penguji I

dr. Surya Dharma, MPH NIP. 19580404 198703 2 002

Penguji III

Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS

NIP. 19650109 199403 2 002 NIP. 19780331 200312 1 001 Medan, Maret 2011

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Dekan,

dr. Taufik Ashar, MKM

(4)

ABSTRAK

Kulit singkong merupakan limbah padat yang mengandung 59,31% karbon mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai karbon aktif dan berguna untuk bahan penyerap, terutama bahan-bahan organik, warna dan bau.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas karbon aktif kulit singkong dalam menurunkan kadar BOD dan TSS air limbah pabrik tepung tapioka.

Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperiment dengan menggunakan Rancangan Pre and Post Test dengan perlakuan penambahan karbon aktif kulit singkong sebanyak 1 gr, 2 gr, 3 gr dan kontrol ( 0 gr) dalam tiap 200 ml air dimana setiap perlakuan dilakukan pengulangan 3 kali.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0 gr, kadar BOD dan TSS (1013,2 mg/l ; 1722 mg/l), pada konsentrasi 1 gr (150 mg/l ; 56,4 mg/l), pada konsentrasi 2 gr (197,2 mg/l ; 63,4 mg/l), pada konsentrasi 3 gr (429,8 mg/l ; 69,6 mg/l). Berdasarkan uji Anova One Way menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan dengan berbagai konsentrasi karbon aktif kulit singkong dalam menurunkan kadar BOD dan TSS air limbah pabrik tepung tapioka

Kesimpulan hasil penelitian adalah dari hasil Uji Duncan dan uji Beda Nyata Jujur ( BNJ) menunjukkan bahwa konsentrasi karbon aktif kulit singkong yang paling optimum (terbaik) untuk menurunkan kadar BOD dan TSS limbah tapioka adalah konsentrasi 1 gr karena mampu menurunkan kadar BOD dan TSS sesuai dengan syarat baku mutu limbah cair berdasarkan KepMenLH NO.51 Tahun 1995.

Sehubungan dengan penelitian tersebut, penulis menyarankan kepada pihak pengelola pabrik tepung tapioka agar melakukan pengolahan limbah cair tapioka dengan menggunakan karbon aktif yang terbuat dari kulit singkong. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh penambahan karbon aktif kulit singkong terhadap kadar Sianida limbah.

(5)

ABSTRACT

Cassava peel is a solid waste that contains 59.31% carbon which has the potential to serve as active carbon absorbent and useful for absorbent material, especially organic substances, colors and odor.

Based on this, the authors conducted a study that aims to determine the effectiveness of activated carbon cassava peel in reducing levels of BOD and TSS tapioca starch factory waste water.

The study was Quasi experiment using Pre and Post Test Plan with the addition of activated carbon treatment of cassava peel as much as 1 g, 2 g, 3 g and the control (0 g) in each 200 ml of water in which each treatment was done 3 times repetition.

The results showed that at concentrations of 0 g, levels of BOD and TSS (1013.2 m /l, 1722 mg l), at a concentration of 1 g (150 mg/ l, 56.4 mg /l), at a concentration of 2 g ( 197.2 mg/l, 63.4 mg/l), the concentration of 3 g (429.8 mg/l, 69.6 m /l). Based on the One Way Anova test shows that there are significant differences between treatment with various concentrations of active carbon cassava peel in reducing levels of BOD and TSS starch factory wastewater

Conclusion of the study is from Duncan's test results and test Honestly Significant Difference (BNJ) showed that the concentration of active carbon cassava peel an optimum (best) to reduce levels of BOD and TSS concentrations of tapioca wastewater is 1 gram of being able to reduce levels of BOD and TSS in accordance with requirement effluent quality standards based on KepMenLH No.51 of 1995.

In connection with these studies, the author suggests to the manager of starch plant for tapioca processing wastewater using activated carbon made from cassava peel. In addition, further research is necessary to know the effect of adding activated carbon to the levels of cyanide cassava peel waste.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Faridah Hanum Rajagukguk

Tempat/Tanggal Lahir : Sidikalang/ 23 Februari 1988

Agama : Islam

Anak ke : 5 dari 8 bersaudara

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Runding NO. 54 Kelurahan Sidiangkat, Kab. Dairi

Riwayat Pendidikan Formal :

1. 1995-2001 : SD Inpres 034779 Sidiangkat

2. 2001-2004 : SMP Negeri 3 Sidikalang

3. 2004-2007 : SMA Negeri 1 Sidikalang

4. 2007-2011 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

Riwayat Pendidikan Non Formal :

1.Training Mahasiswa Islam (Tamsil) PHBI FKM USU Tahun 2007

2. Latihan Kader 1 HMI Cabang Medan Tahun 2008

3. Training of Trainer HMI FKM USU Tahun 2009

4. Training Pendidik Sebaya (TPS) HMI FKM USU Tahun 2009

5. Training Go Green ISKMI Tahun 2009

6. Latihan Khusus KOHATI Regional Sumut Tahun 2010

7. Annual Training MER-C Medan Tahun 2010

(7)

Riwayat Organisasi :

1. Anggota Departemen Internal KOHATI HMI Komisariat FKM USU Periode

2007-2008

2. Anggota departemen Pembinaan Anggota HMI Komisariat FKM USU Periode 2007-2008

3. Bendahara Umum KOHATI HMI Komisariat FKM USU Periode 2009-2010

4. Sekretaris Umum KOHATI HMI Komisariat FKM USU Periode 2009-2010

5. Ketua Bidang Perencanaan dan Strategi IMAKEL Tahun 2010

6. Relawan dan Anggota Divisi Program MER-C Medan Tahun 2010

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Efektifitas Karbon Aktif Kulit Singkong untuk Menurunkan Kadar Biological

Oksigen Demand (BOD) dan Total Suspended Solid (TSS) Air Limbah Pabrik Tepung Tapioka” yang merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk

menyelesaikan pendidikan dan untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan bagi kedua orang tua, Ayahanda Mangiring Rajagukguk dan Ibunda Ros Bangun Padang yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang yang tiada putus-putusnya dan senantiasa memberikan doa, dukungan, serta nasehat kepada penulis.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Kepala Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Ir. Indra Chahaya S, M.Si, selaku dosen Pembimbing I yang telah memberikan sumbangan pemikiran yang luar biasa dengan penuh keikhlasan serta waktu yang diluangkan kepada penulis dalam bimbingan skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. dr. Surya Dharma, MPH, selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah memberi masukan dan saran yang membangun dalam penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

5. dr. Taufik Ashar, MKes, selaku Dosen Penasehat Akademik yang senantiasa membimbing dan memotivasi penulis selama melaksanakan perkuliahan di FKM USU.

6. Bapak Anshari, SKM selaku kepala Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Medan (BTKL-PPM)

7. Bapak Noviandi, selaku Manajer Teknik Laboratorium Kimia Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantsan Penyakit Menular (BTKL-PPM) 8. Kepada asisten laboratorium Kimia Analitik FMIPA USU dan BTKL Medan

yang telah membantu penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. 9. Seluruh Bapak/Ibu dosen dan seluruh staf di Fakultas Kesehatan Masyarakat

(9)

10. Teristimewa kepada keluarga penulis : (Hamzah Martua dan keluarga); Bambang; Siti Rahmah dan keluarga; Ahmad Saleh dan keluarga; dan kepada adik-adik tersayang (Jefriadi. Joni, dan Ade Sutriani) terima kasih atas segala doa dan dukungan moril maupun materil, motivasi dan kasih sayang yang kalian berikan kepada penulis selama ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

11. Sahabat terbaikku Retno Farid dan Jusmanizah yang selalu menemani, memberikan dukungan dan motivasi serta kasih sayang yang tidak akan terlupakan oleh penulis.

12. Kepada adik-adikku tersayang seluruh pengurus KOHATI HMI Komisariat FKM USU Periode 2010-2011

13. Kepada seluruh pengurus HMI Komisariat FKM USU Periode 2010-2011 mulai dari stambuk 2007-2010, terkhusus kepada Amalia Akita, Santi dan Putri yang menjadi teman seperjuangan dalam beraktifitas di komisariat. Banyak kenangan yang telah kita lalui bersama baik suka maupun duka dan telah memberikan warna dalam kehidupan penulis dan juga kepada kakanda-kakanda senior dan alumni yang telah memberikan sumbangan ide, dukungan dan pengalaman kepada penulis.

14. Teristimewa kepada teman-teman relawan dan teman seperjuangan di MER-C Medan terutama divisi program dan seluruh pengurus.

15. Keluargaku tersayang di kos Sederhana 31, Kak Tuti, Kak Diana, Kak Danur, Icut, Dani, dan Rika dan kepada kak Wiwik yang telah banyak membantu penulis.

16. Rekan-rekan peminatan Kesehatan Lingkungan (IMAKEL), sahabat-sahabat organisasi (UKMI FKM USU) dan teman-teman di FKM USU atas do’a, bantuan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.

17. Semua pihak yang telah membantu skripsi ini sehingga dapat diselesaikan Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan serta masih diperlukan penyempurnaan, hal ini tidak terlepas dari keterbatasan kemampuan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Semoga bermanfaat.

Medan, Maret 2011

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Riwayat penulis ... iv

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi... ix

Daftar Lampiran ... xi

Daftar tabel ...xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Pengertian Air Limbah ... 6

2.1.1 Sumber dan Macam Air Limbah ... 7

2.1.2 Karakteristik Air Limbah ... 9

2.2 Industri Tepung Tapioka ... 16

2.2.1 Kulit Singkong ... 18

2.2.2 Karakteristik Limbah Cair Industri Tepung Tapioka ... 19

2.2.3 Dampak dari Air Limbah Tepung Tapioka ... 22

2.3 Pengolahan Limbah ... 24

2.4 Tahap-Tahap Pengolahan Air Limbah ... 25

2.4.1 Proses Penyerapan (Adsorpsi) ... 32

2.4.2 Tipe Sistem Adsorpsi ... 37

2.5 Karbon Aktif ... 38

2.5.1 Proses Aktivasi Karbon Aktif ... 38

2.5.2 Manfaat Karbon Aktif ... 43

2.5.3 Kulit Singkong sebagai Karbon Aktif ... 44

2.6 Kerangka Konsep ... 46

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Jenis Penelitian ... 47

3.2 Lokasi Penelitian ... 48

3.3 Waktu Penelitian ... 48

3.4 Sampel Penelitian ... 48

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 48

3.6 Defenisi Operasional ... 49

(11)

dan Media Pengadukan ... 50

3.7.2 Proses Pengadukan Air Limbah dengan Karbon Aktif ... 52

3.8 Cara Pemeriksaan Sampel ... 52

3.8.1 Pengukuran BOD ... 52

3.8.2 Pengukuran TSS ... 55

3.9 Analisa Data ... 56

3.9.1 Uji Anova One Way ... 56

3.9.2 Uji Duncan dan Uji Beda Nyata Jujur ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 58

4.1 Hasil Pemeriksaan Awal Kadar BOD dan TSS ………..58

4.2 Hasil Pemeriksaan Kadar BOD dan TSS Air Limbah Setelah Penambahan Karbon Aktif Kulit Singkong ………...59

4.3 Analisa Statistik Pengaruh Penambahan Karbon Aktif Kulit Singkong terhadap Kadar BOD Air Limbah Tapioka ... 61

4.4 Hasil Uji Duncan ... 62

4.5 Analisa Statistik Pengaruh Penambahan Karbon Aktif Kulit Singkong terhadap Kadar TSS Air Limbah Tapioka ... 64

4.6 Hasil Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) ... 65

BAB V PEMBAHASAN ... 67

5.1 Hasil Pemeriksaan Kadar BOD dan TSS Air Limbah Pabrik Tepung Tapioka ... 67

5.2 Pengaruh Karbon Aktif Kulit Singkong dalam Menurunkan Kadar BOD dan TSS Air Limbah Tapioka ... 68

5.3 Pengujian Konsentrasi Karbon Aktif yang Paling Efektif untuk Menurunkan Kadar BOD dan TSS Air Limbah Tapioka... 74

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 77

6.1 Kesimpulan ... 77

6.2 Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKM USU Lampiran 2 : Surat Keterangan Selesai Penelitian dari FMIPA USU Lampiran 3 : Surat Keterangan Izin Penelitian dari BTKL

Lampiran 4 : Surat Keterangan Selesai Penelitian dari BTKL

Lampiran 5 : Hasil Pemeriksaan Contoh Uji Air Limbah dari BTKL Lampiran 6 : Hasil Analisa Statistik

a. Tabel Uji Normalitas Kadar BOD

b. Tabel Uji Kesamaan Varians Kadar BOD c. Tabel Anova One Way

d. Tabel Uji Normalitas TSS

e. Tabel Uji Kesamaan Varians TSS f. Tabel Anova One Way

g. Koefisien Keragaman (KK) h.Tabel hasil uji Duncan

i. Tabel hasil Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) Lampiran 7 :

a. Hasil Uji Duncan terhadap Rata-rata Penurunan Kadar BOD pada Berbagai Konsentrasi Karbon Aktif Kulit Singkong Menurut RAL dalam Bagan Huruf dan Angka Bertanda

b. Hasil Uji Duncan terhadap Rata-rata Penurunan Kadar BOD pada Berbagai Konsentrasi Karbon Aktif Kulit Singkong Menurut RAL dalam Bagan Huruf dan Angka Bertanda

(13)

ABSTRAK

Kulit singkong merupakan limbah padat yang mengandung 59,31% karbon mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai karbon aktif dan berguna untuk bahan penyerap, terutama bahan-bahan organik, warna dan bau.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas karbon aktif kulit singkong dalam menurunkan kadar BOD dan TSS air limbah pabrik tepung tapioka.

Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperiment dengan menggunakan Rancangan Pre and Post Test dengan perlakuan penambahan karbon aktif kulit singkong sebanyak 1 gr, 2 gr, 3 gr dan kontrol ( 0 gr) dalam tiap 200 ml air dimana setiap perlakuan dilakukan pengulangan 3 kali.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0 gr, kadar BOD dan TSS (1013,2 mg/l ; 1722 mg/l), pada konsentrasi 1 gr (150 mg/l ; 56,4 mg/l), pada konsentrasi 2 gr (197,2 mg/l ; 63,4 mg/l), pada konsentrasi 3 gr (429,8 mg/l ; 69,6 mg/l). Berdasarkan uji Anova One Way menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan dengan berbagai konsentrasi karbon aktif kulit singkong dalam menurunkan kadar BOD dan TSS air limbah pabrik tepung tapioka

Kesimpulan hasil penelitian adalah dari hasil Uji Duncan dan uji Beda Nyata Jujur ( BNJ) menunjukkan bahwa konsentrasi karbon aktif kulit singkong yang paling optimum (terbaik) untuk menurunkan kadar BOD dan TSS limbah tapioka adalah konsentrasi 1 gr karena mampu menurunkan kadar BOD dan TSS sesuai dengan syarat baku mutu limbah cair berdasarkan KepMenLH NO.51 Tahun 1995.

Sehubungan dengan penelitian tersebut, penulis menyarankan kepada pihak pengelola pabrik tepung tapioka agar melakukan pengolahan limbah cair tapioka dengan menggunakan karbon aktif yang terbuat dari kulit singkong. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh penambahan karbon aktif kulit singkong terhadap kadar Sianida limbah.

(14)

ABSTRACT

Cassava peel is a solid waste that contains 59.31% carbon which has the potential to serve as active carbon absorbent and useful for absorbent material, especially organic substances, colors and odor.

Based on this, the authors conducted a study that aims to determine the effectiveness of activated carbon cassava peel in reducing levels of BOD and TSS tapioca starch factory waste water.

The study was Quasi experiment using Pre and Post Test Plan with the addition of activated carbon treatment of cassava peel as much as 1 g, 2 g, 3 g and the control (0 g) in each 200 ml of water in which each treatment was done 3 times repetition.

The results showed that at concentrations of 0 g, levels of BOD and TSS (1013.2 m /l, 1722 mg l), at a concentration of 1 g (150 mg/ l, 56.4 mg /l), at a concentration of 2 g ( 197.2 mg/l, 63.4 mg/l), the concentration of 3 g (429.8 mg/l, 69.6 m /l). Based on the One Way Anova test shows that there are significant differences between treatment with various concentrations of active carbon cassava peel in reducing levels of BOD and TSS starch factory wastewater

Conclusion of the study is from Duncan's test results and test Honestly Significant Difference (BNJ) showed that the concentration of active carbon cassava peel an optimum (best) to reduce levels of BOD and TSS concentrations of tapioca wastewater is 1 gram of being able to reduce levels of BOD and TSS in accordance with requirement effluent quality standards based on KepMenLH No.51 of 1995.

In connection with these studies, the author suggests to the manager of starch plant for tapioca processing wastewater using activated carbon made from cassava peel. In addition, further research is necessary to know the effect of adding activated carbon to the levels of cyanide cassava peel waste.

(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang cukup strategis untuk

meningkatkan pendapatan dan perekonomian masyarakat secara cepat yang ditandai

dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja, transfer teknologi dan meningkatnya

devisa negara. Akan tetapi, selain memberikan dampak yang positif ternyata

perkembangan di sektor industri juga memberikan dampak yang negatif berupa

limbah industri yang bila tidak dikelola dengan baik dan benar akan mengganggu

keseimbangan lingkungan, sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan

tidak dapat tercapai (Hamrad, 2007).

Salah satu industri yang menghasilkan air limbah adalah pabrik tepung tapioka

yang jenis limbahnya adalah limbah organik. Limbah tapioka jika tidak dikelola

dengan baik sebelum dibuang ke badan air akan mengakibatkan gangguan kesehatan

seperti timbulnya penyakit gatal-gatal, badan air menjadi keruh dan berbau,

membunuh kehidupan biota-biota yang ada di air serta merusak keindahan karena bau

busuk dan pemandangan yang tidak sedap dipandang mata ( Purba, 1999).

Salah satu kasus pencemaran akibat limbah pabrik tepung tapioka yang

meresahkan masyarakat adalah seperti kejadian di Desa Slorok Kabupaten Malang.

Warga di sekitar pabrik mengeluhkan bau busuk yang menyengat, saat limbah cair

dibuang di sungai, terutama di malam hari. Warga berulang kali memprotes pihak

pabrik karena pabrik tersebut membuang limbah tanpa pengolahan limbah yang

(16)

Selain itu, pencemaran lingkungan akibat limbah pabrik tapioka di Desa

Firdaus, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai sejak 11 tahun lalu

hingga kini terus meresahkan bagi masyarakat setempat. Pasalnya, pabrik

penggilingan ubi kayu itu setiap hari beroperasi, tetapi tidak memiliki unit

pengolahan limbah (UPL) standar, dan air limbah yang mengandung bau busuk

tersebut disalurkan begitu saja ke sungai Rampah ( Anonimus, 2008).

Pabrik tepung tapioka merupakan industri pengolah bahan pangan yang

menghasilkan limbah terutama limbah cair. Pembuangan air limbah tepung tapioka

ke badan air dengan kandungan beban BOD melebihi kadar maksimum yaitu 200

mg/L dan TSS melebihi 150 mg/l menyebabkan turunnya jumlah oksigen dalam air.

Kondisi tersebut mempengaruhi kehidupan biota air terutama biota yang hidupnya

tergantung pada oksigen terlarut di air.

Untuk menurunkan angka BOD dan TSS pada limbah cair yang dihasilkan

pabrik tepung tapioka sebelum dibuang ke badan sungai, maka diperlukan proses

pengolahan limbah agar parameter-parameter yang terdapat dalam air limbah tersebut

sesuai dengan baku mutu yang diizinkan. Penanganan limbah cair industri dapat

dilakukan dengan berbagai metode mulai dari metode yang sederhana sampai dengan

metode dengan bantuan teknologi canggih.

Selain limbah cair, pabrik tepung tapioka juga menghasilkan limbah padat.

Limbah padat berupa kulit singkong, ampas basah dan ampas kering. Selama ini

limbah kulit singkong belum dimanfaatkan secara maksimal di masyarakat. Kulit

(17)

dan selebihnya dibuang ke TPA karena mengandung Cyanogenic glucosides yang

dapat meracuni hewan ternak.

Sebenarnya limbah kulit singkong ini bisa dimanfaatkan menjadi produk

karbon aktif. Proses pembuatan karbon aktif dari kulit singkong ini sangat sederhana

yakni proses aktivasi dan karbonisasi. Karbon aktif memiliki manfaat yang sangat

banyak, misalkan sebagai pembersih air, pemurnian gas, industri gula, pengolahan

limbah cair, dan lain sebagainya ( Nursita, 2005)

Karbon aktif merupakan senyawa karbon amorph, yang dapat dihasilkan dari

bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan

cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Karbon aktif bisa dibuat

dari tongkol jagung, ampas penggilingan tebu, tempurung kelapa, sekam padi, serbuk

gergaji, kayu keras, dan kulit singkong. Luas permukaan karbon aktif berkisar antara

300-3500 m2/gram dan ini berhubungan dengan struktur pori internal yang

menyebabkan arang aktif mempunyai sifat sebagai adsorben. Karbon aktif dapat

mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau sifat adsorpsinya

selektif, tergantung pada besar atau volume pori-pori dan luas permukaan (Sembiring,

2003).

Menurut Deby Jannati dan Shona Mazia (2009), kulit singkong juga dapat

dijadikan sebagai karbon aktif karena kulit singkong yang berwarna putih tersebut

mengandung 59,31% karbon dan setelah dilakukan pengujian di laboratorium

(18)

dengan menggunakan karbon aktif kulit singkong sebanyak 2 gram untuk setiap 20

ml air limbah.

Berdasarkan penelitian Alfi (2006), konsentrasi karbon aktif dari Acacia

mangium yang paling efektif menurunkan kadar TSS air limbah adalah 1 gr dan 2 gr

untuk setiap 100 ml sampel dengan penurunan sebesar 97,71%. Selain dapat

meningkatkan nilai ekonomis kulit singkong, pembuatan karbon aktif dari kulit

singkong lebih ramah lingkungan.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa tertarik untuk mencoba

membuat suatu alternatif pengolahan limbah cair tepung tapioka dengan

menggunakan limbah padatnya berupa kulit singkong yang mudah didapat dengan

terlebih dahulu menjadikannya sebagai karbon aktif. Kulit singkong yang awalnya

kurang dimanfaatkan oleh pihak industri tapioka atau malah membuangnya, ternyata

dapat dijadikan sebagai pengolah limbah cairnya. Hal ini tentunya akan sangat

menguntungkan perusahaan khususnya dan masyarakat umumnya karena lingkungan

di sekitar terutama sungai akan terhindar dari pencemaran limbah cair tapioka.

1.2 Rumusan Masalah

Industri tepung tapioka di Sumatera Utara saat ini sudah banyak terdapat di

beberapa daerah mulai dari industri yang berskala besar maupun berskala kecil

(industri rumah tangga). Masalah pencemaran lingkungan akibat buangan limbah cair

pabrik tepung tapioka merupakan masalah yang serius untuk ditangani. Sehingga

perlu dilakukan pengolahan limbah cair pabrik tepung tapioka sebelum di buang ke

(19)

belum begitu dimanfaatkan di masyarakat mempunyai potensi untuk dijadikan

sebagai karbon aktif yang berguna untuk bahan penyerap, terutama bahan-bahan

organik, warna dan bau. Oleh karena itu, dapat dirumuskan masalah apakah karbon

aktif yang terbuat dari kulit singkong efektif untuk menurunkan BOD dan TSS air

limbah tapioka?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektifitas karbon aktif kulit singkong dalam menurunkan

kadar BOD dan TSS air limbah pabrik tepung tapioka.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui kadar BOD dan TSS sebelum penambahan karbon aktif kulit

singkong

b. Untuk mengetahui kadar BOD dan TSS air limbah tapioka dengan penambahan

karbon aktif kulit singkong 1 gr, 2 gr, dan 3 gr untuk setiap 200 ml air limbah.

c. Untuk mengetahui konsentrasi karbon aktif yang paling efektif untuk

menurunkan kadar BOD dan TSS air limbah tapioka sehingga sesuai dengan

(20)

1.4 Manfaat Penelitian

a. Sebagai masukan kepada pengusaha yang dapat digunakan sebagai modifikasi

teknologi pengolahan limbah cair pabrik tepung tapioka.

b. Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kulit singkong dapat

dijadikan sebagai karbon aktif yang bernilai ekonomis dan bermanfaat untuk

penyaringan air limbah.

c. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya sehingga penelitian ini dapat

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Air Limbah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001,

limbah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya atau

beracun yang karena sifat atau konsentrasinya dan jumlahnya baik secara langsung

atau tidak langsung akan dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,

kelangsungan hidup manusia serta mahluk lain.

Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu

tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi ( Purba,

2009). Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor

51 Tahun 1995 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri yang dimaksud

dengan limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan

industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas

lingkungan.

Jumlah aliran air limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi, hal ini

tergantung dari jenis industri dan besar kecilnya industri, pengawasan pada proses

industri, derajat penggunaan air, dan derajat pengolahan air limbah.

Dari defenisi di atas maka secara umum dapat disimpulkan bahwa air limbah

adalah sisa suatu usaha atau kegiatan berupa cairan yang berasal dari rumah tangga,

industri, atau tempat-tempat umum lainnya yang biasanya mengandung zat-zat yang

membahayakan kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan hidup.

(22)

2.1.1 Sumber dan Macam Air Limbah

Sumber dan macam air limbah dipengaruhi oleh tingkat kehidupan masyarakat

atau dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kehidupan masyarakat maka semakin

beragam pula sumber dan macam limbah yang dihasilkannya.

Air limbah yang umum dikenal dalam kehidupan sehari-hari adalah :

a. Air limbah rumah tangga (Domestic Sewage) misalnya air dari buangan kamar

mandi dan dapur.

b. Air limbah perdagangan (Comercial Wastes), misalnya air buangan dari hotel,

restoran, dan kolam renang.

c. Air limbah industri (Industrial Wastes), misalnya air buangan dari pabrik

tepung tapioka, pabrik kelapa sawit, pabrik tahu, dll.

d. Air limbah lainnya, misalnya air yang bercampur dengan air comberan.

Pada lazimnya susunan air limbah terdiri dari tiga komponen utama yaitu bahan

padat, bahan cair dan gas. Semua bahan ini berada dalam air limbah dengan bentuk

bahan yang mengapung (Ploating Material), bahan yang terlarut (Disolved Solid),

bahan kolodial (Coloid), bahan mengendap (Sediment), bahan melayang (Dispersed

Solid).

Sumber-sumber limbah pada industri :

1) Sumber limbah padat

Limbah padat berupa bahan padat seperti potongan kayu, serpihan logam,

lumpur, kertas-kertas, kain-kain tekstil, ampas ubi kayu, ampas pabrik tahu, kulit ubi

kayu, serta potongan-potongan karet dan lain-lain yang banyak terproduksi dari

(23)

limbah padat erat kaitannya dengan proses daur ulang dalam upaya memanfaatkan

limbah yang berdaya guna. Proses daur ulang selain berguna untuk pemanfaatan

limbah juga untuk mencegah agar limbah tidak mengganggu lingkungan hidup.

Seringkali limbah padat ditumpukkan pada lapangan yang membuat pemandangan

menjadi jelek dan estetika lingkungan kota terganggu. Limbah padat juga sering kali

dibuang ke sungai sehingga membuat pendangkalan sungai dan akan berakibat pada

kejadian banjir.

2) Sumber limbah cair

Limbah cair dijumpai pada industri yang menggunakan air dalam proses

produksinya. Mulai dari pra pengolahan bahan baku, seperti pencucian, sebagai

bahan penolong, sampai pada produksi akhir menghasilkan limbah cair. Limbah cair

ini tidak hanya bersumber dari air masuk melainkan air itu sendiri sudah ada dalam

bahan baku dan harus dikeluarkan. Seperti pada pengolahan tepung tapioka ubi kayu

mengandung kadar air mencapai 40% dari beratnya dan pada proses produksinya

masih membutuhkan air. Limbah cair yang dihasilkannya nantinya akan lebih banyak

dari air yang dimasukkan karena telah mendapat tambahan dari bahan baku.

Pada dasarnya limbah air tidak memberi efek pencemaran sepanjang kandungan

dalam air tidak membawa senyawa-senyawa yang membahayakan ataupun

bahan-bahan endapan. Air adalah salah satu media yang sangat efektif untuk membawa

limbah yang pada gilirannya mencemari lingkungan. Air digunakan sebagai bahan

penolong, sehingga dalam air terdapat kandungan bahan organik dan anorganik yang

(24)

amat banyak mengandung lumpur dan padatan tersuspensi. Pabrik pembuatan syrup

markisa yang menghasilkan limbah berwarna dan mempunyai keasaman tinggi.

Persoalan penting dalam limbah cair adalah bagaimana perusahaan industri

mengolah limbahnya sebelum dilakukan pembuangan dan kemana hasil olahan

tersebut akan dibuang. Oleh karena itu, industri perlu melakukan pengolahan limbah

cairnya sebelum dibuang ke badan sungai atau ke lingkungan.

2.1.2 Karakteristik Air Limbah

Karakteristik limbah cair dapat diketahui menurut sifat-sifat dan karakteristik

kimia, fisika, dan biologis. Studi karakteristik limbah perlu dilakukan agar dapat

dipahami sifat-sifat tersebut serta konsentrasinya dan sejauh mana tingkat

pencemaran dapat ditimbulkan limbah terhadap lingkungan.

Dalam menentukan karakteristik limbah maka ada 3 jenis sifat yang harus

diketahui yaitu :

1. Sifat Fisik

Sifat fisik suatu limbah ditentukan berdasarkan jumlah padatan terlarut,

tersuspensi dan total padatan, alkalinitas, kekeruhan, warna, salinitas, daya hantar

listrik, bau dan temperatur. Sifat fisik ini beberapa diantaranya dapat dikenali secara

visual tapi untuk mengetahui secara lebih pasti maka digunakan analisa laboratorium.

a) Padatan

Dalam limbah ditemukan zat padat yang secara umum diklasifikasikan ke

(25)

padatan terlarut maupun tersuspensi dapat bersifat organis maupun inorganis

tergantung dari mana sumber limbah. Disamping kedua padatan ini ada lagi padatan

yang dapat terendap karena mempunyai diameter yang lebih besar dan dalam keadaan

tenang dalam beberapa waktu akan mengendap sendiri karena beratnya. Zat padat

tersuspensi yang mengandung zat-zat organik pada umumnya terdiri dari protein,

ganggang dan bakteri.

Pengukuran konsentrasi mikroorganisme dalam limbah diukur dengan zat padat

tersuspensi yang menguap pada temperatur tertentu. Padatan tersuspensi mempunyai

diameter yang lebih besar daripada padatan terlarut. Padatan tersuspensi mempunyai

diameter diameter antara 0.01 mm sampai dengan 0.001 mm. Pemahaman terhadap

jenis-jenis padatan amat dibutuhkan dalam upaya mengendalikan pencemaran

(Ginting, 2008).

Salah satu parameter yang sering digunakan adalah Total Suspended Solid

(TSS). Total Suspended Solid merupakan zat-zat padat yang berada dalam suspensi,

dapat dibedakan menurut ukurannya, sebagai partikel tersuspensi koloid dan partikel

tersuspensi biasa. Total Suspended Solid yaitu jumlah berat dalam mg/l kering lumpur

yang ada di dalam air limbah setelah mengalami proses penyaringan dengan

membran berukuran 0,45 µm. Adanya padatan-padatan ini menyebabkan kekeruhan

air, padatan ini tidak terlarut dan tidak dapat mengendap secara langsung. TSS yang

sangat tinggi menghalangi masuknya sinar matahari.

Air buangan industri mengandung jumlah padatan tersuspensi dalam jumlah

yang sangat bervariasi tergantung dari jenis industrinya. Air buangan dari

(26)

mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah relatif tinggi. Jumlah padatan

tersuspensi di dalam air dapat diukur menggunakan alat turbidimeter. Seperti halnya

padatan terendap, padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar/cahaya ke

dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesis (Fardiaz,

2008).

b) Kekeruhan

Sifat keruh air dapat dilihat dengan mata secara langsung karena ada partikel

kolodial (diameter 10-8 µ mm) yang terdiri dari kwartz, tanah liat, sisa bahan-bahan,

protein dan ganggang yang terdapat dalam limbah. Kekeruhan merupakan sifat optis

larutan. Sifat keruh membuat hilang nilai estetikanya.

c) Bau

Sifat bau limbah disebabkan karena zat-zat organik yang telah terurai dalam

limbah mengeluarkan gas-gas seperti sulfida atau amoniak yang menimbulkan bau

tidak enak bagi penciuman disebabkan adanya campuran dari nitrogen, sulfur dan

fosfor yang berasal dari pembusukan protein yang dikandung limbah. Timbulnya bau

yang diakibatkan limbah merupakan suatu indikator bahwa terjadi proses alamiah.

Dengan adanya bau ini akan lebih mudah mendeteksi adanya bahaya sehingga lebih

mudah menghindarkan tingkat bahaya yang ditimbulkannya.

d) Temperatur

Limbah yang mempunyai temperatur panas yang akan mengganggu

pertumbuhan biota tertentu. Temperatur yang dikeluarkan suatu limbah cair harus

merupakan temperatur alami. Suhu berfungsi memperlihatkan aktifitas kimiawi dan

(27)

Tingkat zat oksidasi lebih besar pada suhu tinggi dan pembusukan jarang terjadi pada

suhu rendah.

e) Warna

Warna dalam air disebabkan adanya ion-ion logam besi dan mangan (secara

alami), humus, plankton, tanaman air dan buangan industri. Warna berkaitan dengan

kekeruhan, warna disebabkan zat terlarut dan zat tersuspensi. Warna menimbulkan

pemandangan yang jelek dalam air limbah meskipun warna tidak menimbulkan sifat

racun. Limbah berwarna ditemukan pada limbah tekstil, pabrik pembuatan alkohol,

pabrik pembuatan cat, dan pabrik pengolahan tepung tapioka.

2. Sifat Kimia

Karakteristik kimia air limbah ditentukan oleh Biological Oksigen Demand

( BOD), Chemical Oksigen Demand (COD) dan logam-logam berat yang terkandung

dalam air limbah. Test BOD dalam air limbah merupakan salah satu metode yang

paling banyak digunakan sampai saat ini. Metode pengukuran limbah dengan cara ini

sebenarnya merupakan pengukuran tidak langsung dari bahan organik. Pengujian

dilakukan pada temperatur 200 C selama 5 hari. Kalau disesuaikan dengan temperatur

alami di Indonesia maka seharusnya pengukuran dapat dilakukan pada suhu lebih

kurang 300C. Pengukuran dengan COD lebih singkat tapi tidak mampu mengukur

limbah yang dioksidasi secara biologis. Nilai-nilai COD selalu lebih tinggi dari nilai

BOD.

a) Biological Oksigen Demand (BOD)

Pemeriksaan BOD dalam air limbah didasarkan atas reaksi oksidasi zat-zat

(28)

ada sejumlah bakteri. BOD adalah kebutuhan oksigen bagi sejumlah bakteri untuk

menguraikan (mengoksidasikan) semua zat-zat organik yang terlarut maupun sebagai

tersuspensi dalam air menjadi bahan organik yang lebih sederhana. Nilai ini

merupakan jumlah bahan organik yang dikonsumsi bakteri. Penguraian zat-zat

organis ini terjadi secara alami. Aktifnya bakteri-bakteri menguraikan bahan organik

mengakibatkan oksigen dalam air habis terkonsumsi.

Dengan habisnya oksigen terkonsumsi membuat biota lainnya yang

membutuhkan oksigen menjadi kekurangan dan akibatnya biota yang memerlukan

oksigen ini tidak dapat hidup. Semakin tinggi angka BOD semakin sulit bagi mahluk

air untuk dapat bertahan bertahan hidup karena rendahnya kandungan oksigen di

dalam air.

b) Chemical Oksigen Demand (COD)

Pengukuran kekuatan limbah dengan COD adalah bentuk lain pengukuran

oksigen dalam air. Metode ini lebih singkat waktunya dibandingkan dengan analisa

BOD. Pengukuran ini menekankan kebutuhan oksigen akan kimia dimana

senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dapat dipecah secara biokimia.

Adanya racun atau logam tertentu dalam limbah mengakibatkan pertumbuhan bakteri

akan terhalang dan pengukuran BOD menjadi tidak realistis. Untuk mengatasinya

lebih tepat menggunakan analisa COD. Chemical Oksigen Demand (COD) adalah

sejumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat anorganis dan organis

sebagaimana BOD. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat

anorganik. Semakin dekat nilai BOD terhadap COD menunjukkan bahwa semakin

(29)

c) Oksigen Terlarut (Demand Oksigen/ DO)

Keadaan oksigen terlarut (DO) berlawanan dengan BOD. Semakin tinggi BOD

semakin rendah oksigen terlarut. Keadaan oksigen terlarut dalam air dapat

menunjukkan tanda-tanda kehidupan ikan dan biota dalam perairan. Kemampuan air

untuk mengadakan pemulihan secara alami tergantung pada tersedianya oksigen

terlarut. Angka DO yang tinggi menunjukkan keadaan air semakin baik.

d) Methan

Gas methan terbentuk akibat penguraian zat-zat organik dalam kondisi anaerob

pada air limbah. Gas ini dihasilkan lumpur yang membusuk pada dasar kolam, tidak

berdebu, tidak berwarna dan mudah terbakar. Suatu kolam limbah yang menghasilkan

gas methan akan sedikit sekali menghasilkan lumpur, sebab lumpur habis terolah

menjadi gas methan, air, dan CO2.

e) Keasaman Air

Keasaman diukur dengan pH meter. Keasaman ditetapkan berdasarkan tinggi

rendahnya konsentrasi ion hydrogen dalam air. Air buangan yang mempunyai pH

terlalu tinggi atau rendah menjadikan air steril dan sebagai akibatnya membunuh

mikroorganisme air yang diperlukan untuk keperluan biota tertentu. Air yang

mempunyai pH rendah membuat air menjadi korosif terhadap bahan-bahan

konstruksi besi yang kontak dengan air.

(30)

Tinggi rendahnya alkalinitas air ditentukan air senyawa karbonat, garam-garam

hidroksida, kalsium, magnesium, dan natrium dalam air. Tingginya kandungan

zat-zat tersebut mengakibatkan kesadahan dalam air.

g) Lemak dan Minyak

Kandungan lemak dan minyak yang terdapat dalam limbah bersumber dari

industri yang mengolah bahan baku mengandung minyak bersumber dari proses

klasifikasi dan proses perebusan. Lemak dan minyak merupakan bahan organis

bersifat tetap dan sukar diuraikan oleh bakteri. Limbah ini membuat lapisan pada

permukaan air sehingga membentuk selaput. Karena berat jenisnya lebih kecil dari air

maka minyak tersebut berbentuk lapisan tipis di permukaan air dan menutup

permukaan yang mengakibatkan terbatasnya oksigen masuk dalam air.

3. Sifat Biologis

Bahan-bahan organik dalam air terdiri dari berbagai macam senyawaan. Protein

adalah salah satu senyawa kimia organik yang membentuk rantai kompleks, mudah

terurai menjadi senyawa-senyawa lain seperti asam amino. Sebagai bahan organik

mengandung karbon, hydrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan phosphor. Penyebab

bau busuk pada suatu limbah adalah dekomposisi dari zat-zat tersebut dalam jumlah

besar. Karbohidrat dengan rumus kimia (CH2O)n yang mempunyai komposisi

karbon, hydrogen dan oksigen merupakan suatu polimer yang tersusun dari senyawa

monomer-monomer. Bahan-bahan seperti gula, pati, sellulosa, serat kayu, adalah

merupakan karbohidrat yang dapat terurai melalui bantuan enzim maupun mikroba.

(31)

mikrobiologi. Bahan ini dalam limbah akan diubah oleh mikroorganisme menjadi

senyawa kimia yang sederhana seperti karbondiksida, air dan amoniak.

2.2 Industri Tepung Tapioka

Ubi kayu (Manihot esculenta) dikenal melalui pengolahannya menjadi tapioka

dan gaplek. Ubi kayu terdiri atas kulit luar 0,5-2% dan kulit dalam antara 8-15% dari

bobot sebuah ubi. Sebagian besar umbi kayu terdiri atas karbohidrat, yang berkisar

antara 30-36% tergantung dari varietas dan umur panen. Pati merupakan bagian dari

karbohidrat yang besarnya antara 64-72% (Wijandi, 1976).

Tabel 1. Komposisi Kimia Ubi Kayu,Tapioka dan Tepung Gaplek per 100 gram

bahan)

Komposisi Kimia Ubi Kayu Tapioka ( Pati Ubi Kayu) Tepung Gaplek

Air (gr) 62,5 12 9,1

Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1981)

Pati merupakan komponen terbesar dalam ubi kayu, tersusun dari unsur

karbon, hidrogen dan oksigen dengan rumus kimia (C6H10O5) serta terdiri atas dua

komponen penyusun pati yaitu amilosa dan amilopektin. Pati yang berasal dari ubi

kayu rata-rata mengandung 18% amilosa.

Komponen kimia lainnya terdapat pada ubi kayu adalah senyawa racun yaitu

(32)

perbandingan 93% dan 7%, senyawa sianogenik tersebut jika dihidrolisa oleh asam

atau enzim linmarase akan menghasilkan asam sianida (HCN) yang bersifat racun.

Menurut Wijandi (1976), kandungan zat racun ubi kayu dapat dibedakan dalam :

a. Tidak beracun, yaitu bila kadar HCN kurang dari 50 mg/kg umbi basah kupas

b. Setengah beracun, yaitu bila kadar HCN antara 50-100 mg/kg umbi basah

kupas

c. Sangat beracun yaitu bila kadar HCN lebih dari 100 mg/kg umbi basah kupas.

Untuk mengurangi kadar HCN ubi kayu dapat dilakukan dengan cara

pengolahan, seperti pemarutan dan pengepresan. Adanya pengepresan untuk

mengeluarkan sebagian cairan pada saat proses fermentasi dan penguapan HCN

bebas. Semakin lama fermentasi,makin banyak cairan yang keluar sehingga semakin

banyak yang dikeluarkan. Fermentasi merupakan salah satu cara untuk menurunkan

kadar HCN singkong.

2.2.1 Kulit Singkong

Hampir semua bagian dari pohon singkong bisa dimanfaatkan mulai dari umbi

hingga daunnya. Umbi Singkong biasanya hanya diambil dagingnya dan untuk

digoreng atau direbus. Sedangkan kulitnya dibuang begitu saja atau di jadikan

makanan untuk hewan ternak. Kulit singkong selama ini memang sering disepelekan

dan dianggap sebagai limbah dari tanaman singkong. Padahal, kulit singkong ini

memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi yang dapat dikonsumsi pula oleh

manusia. Presentase jumlah limbah kulit bagian luar sebesar 0,5-2% dari berat total

(33)

singkong juga terdiri dari bahan karbon sebesar 59,31% sehingga dapat dimanfaatkan

sebagai karbon aktif.

Kulit singkong mempunyai komposisi yang terdiri dari karbohidrat dan serat.

Menurut Djaeni (1989), kulit singkong mengandung ikatan glikosida sianogenik yaitu

suatu ikatan organik yang dapat menghasilkan racun dalam jumlah 0.1% yang dikenal

sebagai racun biru (linamarin). Oleh karena itu, pemanfaatan kulit singkong belum

terlalu luas. Namun sebenarnya racun tersebut dapat dihilangkan dengan cara

menguapkannya atau mengeringkannya pada suhu tinggi dan jika diolah menjadi

karbon aktif racun biru tersebut akan hilang.

Sampah kulit singkong termasuk dalam kategori sampah organik karena

sampah ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Pengolahan limbah

kulit singkong dapat dimanfaatkan sebagai:

a). Kompos : Kulit singkong dapat diproses menjadi pupuk organik yang kemudian

disebut sebagi pupuk kompos. Kompos kulit singkong bermanfaat sebagai sumber

nutrisi bagi tumbuhan dan berpotensi sebagai insektisida tumbuhan.

b). Pakan ternak : Kulit singkong sebagai pengganti rumput lapang. Karena kulit

singkong yang mengandung karbohidrat tinggi dapat dengan cepat menggemukkan

hewan ternak.

c). Bio energi : Kulit singkong bisa berpotensi untuk diproduksi menjadi bietanol

yang digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak. Teknologi pembuatan

bioetanol dari limbah kulit singkong melalui proses hidrolisa asam dan enzimatis

(34)

penyediaan bahan bakar non migas yang terbarukan yaitu BB ( bahan bakar nabati )

sebagai pengganti bensin.

d). Sebagai karbon aktif

2.2.2 Karakteristik Limbah Cair Industri Tepung Tapioka

Dalam prosesnya, industri tepung tapioka mengeluarkan tiga macam limbah

yaitu limbah padat, gas dan limbah cair . Proses pengolahan singkong menjadi tepung

tapioka akan menghasilkan limbah 2/3 sampai 3/4 dari bahan mentahnya. Limbah

padat berasal dari proses pengupasan kayu dan proses pemerasan serta penyaringan

(ampas dan onggok). Limbah cair berasal dari pencucian ubi terutama terdiri atas

polutan organik, kulit ubi, tanah atau pasir serta proses suspensi tepung. Limbah gas

dari persenyawaan organik dan anorganik yang mengandung nitrogen, sulfur dan

fosfor yang berasal dari pembusukan protein (Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan, 1996)

Parameter penting yang menentukan kualitas limbah cair industri tepung tapioka

adalah :

a. Kekeruhan

Kekeruhan terjadi karena adanya zat organik (sisa pati) yang terurai, mikroorganisme

dan koloid lainnya yang tidak dapat mengendap segera. Kekeruhan ini merupakan

sifat fisik yang mudah dilihat untuk menilai kualitas air limbah tepung tapioka.

b. Warna

Air limbah industri tapioka yang masih baru berwarna putih kekuning-kuningan,

(35)

c. Bau

Bau busuk dapat menunjukkan apabila air limbah tersebut masih baru atau telah

membusuk. Air limbah tepung tapioka yang masih baru berbau khas ubi. Bau tersebut

akan berubah menjadi asam setelah 1 sampai 2 hari, kemudian air tersebut akan

menjadi busuk dan mengeluarkan bau khas yang tidak sedap. Salah satu zat yang

dihasilkan dari proses penguraian senyawa-senyawa organik adalah asam sulfida,

posfor dan amoniak yang menyebabkan air jadi busuk dan berbau amat menusuk

yang tercium pada jarak sampai 5 kilometer (Abbas, 1985).

d. Padatan tersuspensi

Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan warna air limbah. Apabila

terjadi pengendapan dan pembusukan zat-zat tersebut di badan air penerima air

buangan. Sehingga akan mengurangi nilai guna perairan tersebut.

e. pH (Keasaman)

Konsentrasi ion hydrogen adalah ukuran kualitas air maupun dari air limbah.

Perubahan pH pada air limbah industri tepung tapioka menandakan bahwa sudah

terjadi aktivitas mikroorganisme yang merubah bahan-bahan organik yang mudah

terurai menjadi asam. Limbah cair yang nasih segar 6-6,5 akan turun menjadi pH

kira-kira 4,0 (Departemen Perindustrian, 1986).

f. Biochemical Oxigen Demand (BOD)

Merupakan parameter yang umum dipakai dalam menentukan pencemaran oleh

bahan-bahan organic biodegradable pada air limbah.

(36)

Komponen kimia lainnya yang terdapat pada limbah industri tepung tapioka adalah

asam sianida. Asam sianida disebut juga asam biru, mudah sekali menguap. Asam ini

sering digunakan untuk fumigasi tikus dan untuk sintesis bahan kimia. Senyawa ini

sangat beracun dan apabila terminum dalam jumlah yang melampaui batas yang

ditetapkan maka akan mengganggu rantai pernafasan sel. Kadar sianida dalam air

minum tidak boleh lebih besar dari 0,05 ppm/l (Winarno, 1985). Sedangkan

berdasarkan KEPMEN LH No.51 1995, kadar sianida dalam air limbah tapioka

maksimum 0,5 mg/l

2.2.3 Dampak Air Limbah Pabrik Tepung Tapioka

a. Terhadap Lingkungan

Air limbah tapioka adalah buangan yang mengandung unsur nabati yang mudah

membusuk. Limbah tapioka mempunyai konsentrasi BOD dan TSS yang tinggi. Hal

ini menyebabkan kandungan oksigen terlarut di dalam air menjadi rendah, bahkan

habis sama sekali. Akibatnya oksigen sebagai sumber kehidupan bagi mahluk air

tidak dapat terpenuhi sehingga mahluk tersebut akan mati. Selain itu, air limbah yang

dibuang ke lingkungan (tanah dan badan air) banyak menimbulkan masalah bagi

perkembangbiakan vektor. Air yang tergenang menjadi tempat perkembangbiakan

vektor seperti nyamuk, lalat, dll.

Limbah tepung tapioka yang dibuang ke badan air akan mencemari badan air

tersebut. Bahan pencemar yang ada di dalamnya akan mengalami penyebaran dan

pengenceran yang bersifat reaktif dengan adsorbsi, reaksi atau penghancuran

biologis. Air limbah juga mencemari tanah dan dalam perjalanannya akan mengalami

(37)

Selanjutnya Soeriaatmadja (1984), menyatakan bahwa limbah tepung tapioka

yang dibiarkan di perairan terbuka akan menimbulkan perubahan yang dicemarinya.

Pencemaran tersebut antara lain :

a. Peningkatan zat padat berupa senyawa organik, sehingga timbul kenaikan

limbah padat, tersuspensi maupun terlarut.

b. Peningkatan kebutuhan mikroba pembusuk senyawa organik akan oksigen,

dinyatakan dengan BOD dalam air.

c. Peningkatan kebutuhan proses kimia dalam air akan oksigen air dinyatakan

dengan COD

d. Peningkatan senyawa-senyawa beracun dalam air dan pembawa bau busuk

yang menyebar keluar dari ekosistem aquatik itu sendiri.

e. Peningkatan derajat keasaman yang dinyatakan dengan pH yang rendah dari

air tercemar, sehingga dapat merusak keseimbangan ekosistem perairan

terbuka.

b. Terhadap manusia

Secara umum, konsentrasi BOD yang tinggi di dalam air menunjukkan adanya

bahan pencemar organik dalam jumlah yang banyak, sejalan dengan hal ini jumlah

mikroorganisme baik yang pathogen maupun tidak pathogen banyak di badan air.

Limbah cair tapioka mengandung zat-zat organik yang cenderung membusuk jika

dibiarkan tergenang sampai beberapa hari di tempat terbuka. Hal ini merupakan

proses yang paling merugikan, karena adanya proses dimana kadar oksigen di dalam

air buangan menjadi nol maka air buangan berubah menjadi warna hitam dan busuk.

(38)

maka kemungkinan akan merembes dan sumur tercemar atau tidak termanfaatkan lagi

(Nurhasan, 1991). Selain itu, jika limbah tapioka mencemari air sungai yang akan

dimanfaatkan masyarakat dapat menimbulkan masalah penyakit seperti gatal-gatal.

2.3 Pengelolaan Limbah

Secara garis besar pengelolaan limbah industri ada 3 macam yaitu :

1. Memanfaatkan limbah yang bersangkutan misalnya limbah padat dari industri

tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan karbon aktif, kompos, atau

makanan ternak.

2. Mendaur ulang limbah yang bersangkutan misalnya air limbah industri setelah

melalui suatu proses tententu dapat dimanfaatkan menjadi air proses.

3. Mengolah limbah yang bersangkutan dengan teknologi tertentu, kemudian

dibuang ke media pembuangan limbah.

Berdasarkan karakteristik limbah industri dapat dipilih cara-cara penanganan

yang lebih tepat. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan didalam

pemilihan alternatif pengolahan limbah antara lain :

1. Limbah yang mengandung logam berat, banyak mineral maupun

garam-garam tertentu tidak boleh dibuang untuk dipergunakan bagi pertanian

sebelum melalui perlakuan/pengolahan

2. Limbah yang akan dipergunakan untuk keperluan pertanian harus diuji di

laboratorium yang berwewenang

3. Limbah yang akan didaur ulang tidak boleh mengandung bahan bersifat

(39)

4. Limbah yang akan dibuang ke sungai harus memenuhi baku mutu yang

ditetapkan

5. Limbah yang akan dibuang ke sungai harus mendapat izin dari Gubernur,

Kepala Daerah atau oleh Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup

dan harus diuji di laboratorium yang berwewenang.

2.4 Tahap-Tahap Pengolahan Air Limbah

Tujuan utama pengolahan limbah adalah mengurangi partikel-partikel, BOD,

membunuh organisme pathogen, menghilangkan nutrient , mengurangi komponen

beracun, mengurangi bahan-bahan yang tidak dapat didegradasi agar konsentrasinya

menjadi lebih rendah. Kegiatan pengolahan air limbah dikelompokkan menjadi 6

bagian, tetapi perlu diketahui bahwa untuk pengolahan limbah cair tidaklah harus

selalu mengikuti tahap-tahap tersebut tetapi tergantung jenis kandungan limbahnya.

Adapun keenam tahapan pengolahan air limbah adalah : ( Sugiharto,1987)

1. Pengolahan Pendahuluan (Pre Treatment)

Tahap pendahuluan air limbah sangat penting seperti tahap-tahap lainnya.

Dalam pengolahan pendahuluan memiliki peralatan limbah cair agar memiliki

homogenitas dan memudahkan bagi pengolahan tingkat lanjut. Merupakan tahap

sebelum pengolahan dilakukan, kegiatannya ada 2 yaitu :

1. Pengambilan benda-benda terapung dengan cara melewatkan air limbah melalui

para-para / saringan kasar atau dengan alat pencacah (Comunitor) untuk memotong

zat padat yang terdapat pada air limbah.

2. Pengambilan benda-benda terendap seperti pasir. Digunakan bak penangkap pasir

(40)

pengendap disediakan untuk mencegah terjadinya kerusakan alam akibat pengikisan

dan terganggunya saluran. Disamping itu juga untuk mengurangi endapan pada pipa

penyalur dan sambungan. Untuk mengangkat pasir yang telah mengendap di dasar

bak dapat digunakan alat penyedot pasir (grit dragger) atau alat pengangkat pasir

yang disebut macerator yang berfungsi mengumpulkan pasir yang mengendap ke

satu tempat dengan menggunakan alat penggaruk.

2. Pengolahan Primer ( Primary Treatment)

Tujuan dari pengolahan primer adalah untuk menghilangkan zat padat tersuspensi

melalui beberapa cara yaitu ;

1) Koagulasi Kimia (Chemical Coagulation)

Zat yang digunakan untuk menggumpalkan disebut koagulan yang dipakai antara

lain : Almunium sulfat atau tawas (Al2 (SO4)3 ; Cooperas (FeSO4) ; Feri sulfat (SO4)3

; Feri klorida (FeCl) ; Kapur ( Ca(OH)2 atau soda (N2CO3) sering digunakan untuk

membuat air limbah menjadi basa, sehingga proses penggumpalan lebih mudah

terjadi. Almunium sulfat merupakan bahan penggumpal yang paling ekonomis karena

harganya relatif murah, tetapi dengan adanya sulfat dapat menyebabkan kesadahan

tetap, karena itu penggunaannya harus diamati dengan teliti. Bahan penggumpal lain

yang sering digunakan adalah natrium alumiat yang dapat menghindari terjadinya

kesadahan. Untuk proses koagulasi dibutuhkan bahan pembantu untuk alkalinitas air,

karena proses koagulasi akan lebih baik bila pH larutan tinggi. Bahan pembantu yang

dapat digunakan yaitu : kapur, soda abu, natrium silikat dan kaustik soda.

(41)

Proses pengolahan primer lain yaitu flokulasi. Bahan untuk pembentukan

flokulasi antar lain koperas dan kapur untuk menaikkan pH dengan reaksi sebagai

berikut :

FeSO4 + Ca(OH)2→ Fe(OH)2 + CaSO4Fe(OH)2 + 2H2O + O2→ 4 Fe(OH)2 yaitu

ferihidroksida yang berbentuk flok.

3) Sedimentasi

Setelah proses pendahuluan atau memisahkan dari benda-benda yang kecil, air

limbah masih mengandung bahan yang tersuspensi. Untuk mengendapkan bahan

tersuspensi dilakukan dengan mengalirkan secara lambat air limbah tersebut dalam

tangki sedimentasi. Proses sedimentasi dapat digunakan unuk mengendapkan

bahan-bahan dalm bentuk flok akibat adanya proses flokulasi. Proses sedimentasi dapat

mengurangi 3-5% kadar bahan buangan

3. Proses Pengolahan Sekunder

Tujuannya adalah untuk mengurangi bahan-bahan organik dengan memanfaatkan

mikroorganisme. Dalam pengolahan sekunder terjadi proses biologis, dimana proses

biologis ini dipengaruhi oleh jumlah air limbah, tingkat kekotoran, dan jenis

kekotoran air limbah. Dalam pengolahan sekunder ada beberapa cara yaitu : kolam

lumpur aktif, kolam penapis biologi, kolam oksidan, kolam fakultatif, dan kolam/

tangki anaerob.

Penggunaan mikroorganisme dalam pengolahan sekunder mutlak dibutuhkan,

baik secara aerob maupun anaerob. Perbedaan utama pengolahan primer dan

sekunder adalah pada pengolahan primer dilakukan secara kimiawi tanpa

(42)

Pengolahan biologi umumnya banyak digunakan untuk menangani air limbah

yang mengandung bahan organik atau untuk zat pencemar yang mudah diuraikan

oleh mikroorganisme, seperti buangan yang mengandung senyawa amino, sulfide,

atau senyawa organik lainnya. Dalam proses biologi yang harus diperhatikan adalah

pH, suhu, oksigen dan adanya zat-zat beracun dalam air limbah yang akan diolah.

Untuk kebutuhan mikroorganisme dibutuhkan pH dan suhu yang optimum sesuai

dengan jenis bakterinya, oksigen dibutuhkan untuk bakteri aerob sedangkan untuk

bakteri anaerob adanya oksigen akan membunuhnya. Dalam pengolahan air limbah

perlu diperhatikan nilai BOD nya. Jika nilai BOD tinggi perlu pengenceran agar daya

asimilasi mikroorganisme tercapai.

Cara-cara penanganan air limbah secara biologi (Secondary Treatment) :

a. Kolam lumpur aktif

Proses lumpur aktif adalah pengolahan secara biologi dalam keadaan aerob

dengan menggunakan lumpur aktif. Yang dimaksud dengan lumpur aktif adalah suatu

padatan organik yang telah mengalami peruraian secara hayati sehingga terbentuk

biomassa yang aktif dan mampu menyerap partikel serta merombaknya dan kemudian

membentuk massa yang mudah mengendap dan atau menyerap gas (Ginting, 2008).

Endapan lumpur aktif (biological material) dari tangki aerasi mengandung

mikroorganisme. Pada proses lumpur aktif influen masuk ke dalam tangki aerasi,

terjadi pencampuran antara mikroorganisme dan udara dengan air limbah yang masuk

dan bakteri, protozoa, algae, serta fungi berkembangbiak dengan mendapat sumber

nutrisi dari bahan dalam limbah dan secara langsung menguraikan bahan organik

(43)

pembentukan lumpur aktif, setelah beberapa jam campuran air limbah dan lumpur

aktif dialirkan ke tangki pengendap. Sebagian mikroorganisme yang ada dalam tangki

pengendap diambil dan dikembalikan ke dalam tangki aerasi untuk dibiarkan tetap

hidup karena adanya pemberian oksigen tanpa ditambahkan nutrisi,mengakibatkan

mikroorganisme tersebut kelaparan dan mikroorganisme dalam lumpur tersebut akan

dikembalikan pada tangki aerasi untuk proses penguraian bahan organik kembali.

Sisa lumpur aktif disalurkan pada tangki lain untuk diadakan pengolahan dengan

klorin, dengan maksud membunuh mikroorganisme yang ada dalam efluen. Setelah

itu, air yang telah diolah dikeluarkan.

b. Penapis Biologi (Trickling Filter)

Caranya adalah dengan mengalirkan air limbah secara lambat pada lapisan

batuan untuk dilakukan penapisan. Mikroorganisme akan tumbuh pada permukaan

batuan dan membentuk film dan air limbah dialirkan melalui film tersebut.

Mikroorganisme yang membentuk film akan menguraikan bahan organik air limbah

yang melewati film tersebut.

c. Kolam oksidasi

Pada dasarnya kolam oksidasi hanyalah sebuah kolam biasa yang diatur pada

kedalaman dan luas permukaan tertentu agar terjadi proses oksidasi secara alami.

Penggunaan kolam ini diatur dengan memanfaatkan sinar matahari dan tumbuhan

lumut yang berada pada kolam. Kedalaman kolam yang lebih dari 2 meter

menyebabkan sinar matahari tidak mencapai ke dasar kolam. Oleh karena itu, alga

tidak berkembangbiak dan tidak dapat tumbuh. Untuk itu kedalam kolam diusahakan

(44)

lemak serta bahan terapung lainnya akam merintangi cahaya sehingga tidak terjadi

proses fotosintesa. Demikian juga zat-zat tersuspensi dan terlarut sangat menggangu

bagi proses ini. Oleh sebab itu, maka sebelum limbah masuk kolam pengolahan,

limbah sudah harus mendapat perlakuan pendahuluan yaitu penyaringan bahan-bahan

kasar dan penghilangan lapisan minyak dari permukaan.

d. Kolam Aerasi

Kolam aerasi adalah cara pengolahan secara aerob, kolam ini dilengkapi dengan

aerator baik nerupa aerator mekanik maupun injeksi udara. Kolam aerasi merupakan

modifikasi dari kolam oksidasi. Kedalaman kolam aerasi adalah 1,5-5 meter dan

kedalaman optimum adalah 3 meter, pada kedalaman tersebut didasar kolam dapat

terjadi proses anaerob, sehingga dibutuhkan aerator untuk pemberian oksigen.

Pengolahan dengan kolam aerasi akan menghasilkan bisolid (endapan lumpur).

e. Proses Anaerob

Pengolahan dengan sistem anaerobik dilakukan pada kondisi tanpa kehadiran

oksigen atau dengan kondisi oksigen dapat diabaikan. Pengolahan limbah pada

konsentrasi padatan yang tinggi umumnya dilakukan dengan pengolahan cara

anaerobik. Sistem pengolahan anaerob menghasilkan produk akhir berupa CO2 dan

CH4, penguraian secara anaerob dapat mereduksi BOD 50-90% (Winarto, 1986).

Dalam proses ini dapat terbentuk H2S, NH3, dan CH4 yang menyebabkan bau busuk.

Proses anaerobik berjalan lebih lambat daripada proses aerob, karena pada proses

anaerob terbentuk senyawa antar lain asam asetat atau asam lemak, sedangkan pada

(45)

f. Kolam fakultatif

Sistem ini umumnya digunakan untuk pengolahan air limbah, proses ini

merupakan gabungan antara sistem aerob dan anaerob dan diikuti oleh sistem kolam

maturasi. Pada kolam fakultatif keadaan aerob terdapat pada bagian permukaan

kolam dan kondisi anaerob terdapat pada bagian dasar. Oksigen pada bagian atas

kolam didapat dari proses fotosintesis. Kedalaman kolam pada umumnya 1-1,4 meter,

karena bila kedalaman lebih dari 1,5 m kolam akan bersifat anaerob.

g. Kolam Maturasi (Maturation Ponds)

Kolam ini digunakan sebagai lanjutan dari pengolahan air limbah dengan kolam

fakultatif. Fungsi utama kolam maturasi adalah untuk merombak “sludge” disamping

itu juga untuk menentukan kualitas effluen pada tingkat akhir. Kolam maturasi

seluruhnya bersifat aerob dan dapat dipertahankan sampai kedalaman 3 meter. Pada

dua seri kolam maturasi masing-masing mempunyai kisaran waktu 7 hari. Waktu

tersebut dibutuhkan untuk menurunkan BOD menjadi 25% . Jumlah kolam maturasi

yang dibutuhkan pada setiap situasi tergantung pada tingkat pengurangan bakteri atau

sludge yang ada. Setiap kolam dengan kisaran waktu 5-7 hari mampu mereduksi fecal

coliform sampai tingkat 90-95%.

4. Proses Pengolahan Tertier

Merupakan kelanjutan dari pengolahan yang terdahulu. Pengolahan ini

dilakukan apabila pengolahan pertama dan kedua masih banyak terdapat zat-zat

berbahaya bagi masyarakat. Terdapat beberapa jenis pengolahan yang sering

dilakukan yaitu : Saringan pasir, Saringan multi media, Precoal filter, Mikrostaini,

(46)

tersier seringkali dilakukan untuk menghilangkan komponen-komponen organik dan

anorganik terlarut dan salah satu cara untuk menghilangkan komponen terlarut

tersebut adalah dengan proses adsorpsi (penyerapan). Arang aktif sering digunakan

sebagai bahan penyerap dan dalam hal ini arang aktif digunakan untuk mengurangi

kadar dari benda-benda organik terlarut (Fardiaz, 2008)

2.4.1 Proses Penyerapan (Adsorbsi)

Penyerapan adalah suatu proses pengumpulan benda-benda terlarut yang

terdapat di dalam larutan dengan melakukan kontak antara dua permukaan yaitu

antara cairan dengan gas, zat padat dengan cairan serta permukaan zat padat dan zat

yang kental. Adsorpsi terjadi pada permukaan akibat gaya-gaya atom dan

molekul-molekul pada permukaan tersebut.

Walaupun proses tersebut dapat terjadi pada seluruh permukaan benda, maka

yang sering terjadi adalah bahan padat yang menyerap partikel yang berada dalam air

limbah. Bahan yang akan diserap disebut adsorbate atau solute sedangkan bahan

penyerapannya dikenal sebagai adsorbent. Proses ini dipakai pada penjernihan air

limbah untuk mengurangi pengotoran bahan organik, partikel termasuk benda yang

tak dapat diuraikan (non biodegradable) ataupun gabungan antara warna dan rasa.

Beberapa faktor yang mempengaruhi laju adsorpsi :

a. Pengadukan

Makin cepat pengadukan, makin cepat pula penyerapan dan sebaliknya.

b. Karakteristik zat penyerap

Ukuran partikel dan luas permukaan zat penyerap mempengaruhi laju

(47)

penyerap dan laju adsorpsi makin cepat. Untuk meningkatkan kecepatan

adsorpsi, dianjurkan agar menggunakan arang aktif yang telah dihaluskan.

c. Daya larut dari zat yang diserap

d. Ukuran molekul adsorbat

Makin besar ukuran molekul dan ukuran pori maka gaya tarik menarik antara

molekul adsorbent akan makin besar.

e. pH

f. Temperatur

Laju penyerapan bertambah dengan naiknya temperatur dan begitu

pula sebaliknya.

Proses adsorpsi meliputi 3 tahap mekanisme yaitu :

a). Pergerakan molekul-molekul adsorbat menuju permukaan adsorben

b). Penyebaran molekul-molekul adsorbat ke dalam rongga-rongga adsorben

c).Penarikan molekul-molekul adsorbate oleh permukaan aktif membentuk

ikatan yang berlangsung sangat cepat.

Adsorbent adalah bahan penyerap yang digunakan dalam proses penyerapan.

Banyak bahan padat yang digunakan sebagai bahan penyerap untuk mengurangi

kekeruhan dari suatu cairan. Bahan penyerap yang mahal umumnya mempunyai luas

permukaan yang lebih luas setiap unitnya. Peningkatan luas permukaan ini dilakukan

dengan berbagai cara melalui pembelahan bahan adsorbent.

Adsorbent marupakan bahan yang berpori, selain itu harus memenuhi beberapa

syarat, yaitu :

(48)

b). Tidak mengadakan reaksi kimia dengan bahan yang akan diolah

c). Harus dapat diregenerasi

Beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai adsorbent diantaranya yaitu :

1. Zeolit

Zeolit termasuk dalam kelompok mineral yang terjadi dari perubahan batuan

gunung api termasuk batuan gunung api berbulir halus yang berkomposisi riolitik

atau banyak mengandung massa gelas. Sifat-sifat fisik dari mineral ini adalah

berbentuk kristal yang indah dan menarik, namun agak lunak dengan warna yang

bermacam-macam yaitu warna hijau, kebiru-biruan, putih dan coklat. Zeolit dapat

berasal dari alam yaitu dari batuan gunung api dan dapat berupa zeolit buatan yang

terbuat dari gel almunium, natrium aluminat, natrium hidroksida. Zeolit ini dapat

digunakan sebagai bahan penjernih kelapa sawit, penyerap warna, penyerap amoniak,

dll.

2. Molekuler Sieves

Bahan-bahan sebagai molekuler sieves adalah bahan yang memiliki rongga-rongga

sehingga dapat berfungsi sebagai penyaring molekul.

3. Karbon aktif

Karbon aktif (arang aktif) merupakan suatu padatan berpori yang mengandung

85-95% karbon, dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan

pemanasan pada suhu tinggi.Karbon atau arang aktif adalah material yang berbentuk

butiran atau bubuk yang berasal dari material yang mengandung karbon misalnya

tulang, kayu lunak, sekam, tongkol jagung, tempurung kelapa, sabut kelapa, ampas

Gambar

Tabel 1. Komposisi Kimia Ubi Kayu,Tapioka dan Tepung Gaplek per 100 gram
Tabel.2 Aplikasi penggunaan karbon aktif dalam industri.
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Awal Kadar BOD dan TSS Air Limbah Tapioka
Tabel 4.2 Kadar BOD Air Limbah Setelah Penambahan Karbon Aktif Kulit Singkong
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel Hasil Pengukuran Proses Filtrasi Dengan Media Zeolit dan Karbon Aktif Terhadap Penurunan Kadar Total Suspended Solid (Tss) Limbah Cair Tahu. Perhitungan Kadar Total

Bahan baku alam yang digunakan berupa karbon aktif kulit singkong sebagai material dielektrik yang dikombinasikan dengan material magnetik berupa barium

Pada hasil penelitian didapatkan karbon aktif kulit singkong terbaik pada variabel daya gelombang microwave 800 watt dengan bilangan iod sebesar 3.173,25 mg/gram memiliki

Dari hasil analisa dan pembahasan didapat massa karbon aktif kulit kacang tanah dan lama penyerapan terbaik dalam penurunan kadar COD limbah cair Industri Tahu dengan

B erdasarkan hasil penelitian dengan judul “ Rekayasa Material Penyerap Gelombang Radar Berbahan Dasar Batuan Besi Laterit dan Karbon Aktif Kulit Singkong pada Rentang

Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan adsorpsi karbon aktif dari limbah kulit singkong terhadap logam timbal (Pb) menggunakan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi Activating Agent KOH terhadap karakteristik karbon aktif kulit singkong, mengetahui

Hasil uji daya serap karbon dari kulit singkong yangdiaktifkan dengan activator NaOH 0,1N variable aktivasi ukuran partikel mesh terhadap larutan iodin 0,1N 10ml, berat sampel 2 gram,