• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Tahap-Tahap Pengolahan Air Limbah

Tujuan utama pengolahan limbah adalah mengurangi partikel-partikel, BOD, membunuh organisme pathogen, menghilangkan nutrient , mengurangi komponen beracun, mengurangi bahan-bahan yang tidak dapat didegradasi agar konsentrasinya menjadi lebih rendah. Kegiatan pengolahan air limbah dikelompokkan menjadi 6 bagian, tetapi perlu diketahui bahwa untuk pengolahan limbah cair tidaklah harus selalu mengikuti tahap-tahap tersebut tetapi tergantung jenis kandungan limbahnya. Adapun keenam tahapan pengolahan air limbah adalah : ( Sugiharto,1987)

1. Pengolahan Pendahuluan (Pre Treatment)

Tahap pendahuluan air limbah sangat penting seperti tahap-tahap lainnya. Dalam pengolahan pendahuluan memiliki peralatan limbah cair agar memiliki homogenitas dan memudahkan bagi pengolahan tingkat lanjut. Merupakan tahap sebelum pengolahan dilakukan, kegiatannya ada 2 yaitu :

1. Pengambilan benda-benda terapung dengan cara melewatkan air limbah melalui para-para / saringan kasar atau dengan alat pencacah (Comunitor) untuk memotong zat padat yang terdapat pada air limbah.

2. Pengambilan benda-benda terendap seperti pasir. Digunakan bak penangkap pasir yang bertujuan untuk menghilangkan kerikil halus, koral atau zat padat. Bak

pengendap disediakan untuk mencegah terjadinya kerusakan alam akibat pengikisan dan terganggunya saluran. Disamping itu juga untuk mengurangi endapan pada pipa penyalur dan sambungan. Untuk mengangkat pasir yang telah mengendap di dasar bak dapat digunakan alat penyedot pasir (grit dragger) atau alat pengangkat pasir yang disebut macerator yang berfungsi mengumpulkan pasir yang mengendap ke satu tempat dengan menggunakan alat penggaruk.

2. Pengolahan Primer ( Primary Treatment)

Tujuan dari pengolahan primer adalah untuk menghilangkan zat padat tersuspensi melalui beberapa cara yaitu ;

1) Koagulasi Kimia (Chemical Coagulation)

Zat yang digunakan untuk menggumpalkan disebut koagulan yang dipakai antara lain : Almunium sulfat atau tawas (Al2 (SO4)3 ; Cooperas (FeSO4) ; Feri sulfat (SO4)3

; Feri klorida (FeCl) ; Kapur ( Ca(OH)2 atau soda (N2CO3) sering digunakan untuk membuat air limbah menjadi basa, sehingga proses penggumpalan lebih mudah terjadi. Almunium sulfat merupakan bahan penggumpal yang paling ekonomis karena harganya relatif murah, tetapi dengan adanya sulfat dapat menyebabkan kesadahan tetap, karena itu penggunaannya harus diamati dengan teliti. Bahan penggumpal lain yang sering digunakan adalah natrium alumiat yang dapat menghindari terjadinya kesadahan. Untuk proses koagulasi dibutuhkan bahan pembantu untuk alkalinitas air, karena proses koagulasi akan lebih baik bila pH larutan tinggi. Bahan pembantu yang dapat digunakan yaitu : kapur, soda abu, natrium silikat dan kaustik soda.

Proses pengolahan primer lain yaitu flokulasi. Bahan untuk pembentukan flokulasi antar lain koperas dan kapur untuk menaikkan pH dengan reaksi sebagai berikut :

FeSO4 + Ca(OH)2→ Fe(OH)2 + CaSO4Fe(OH)2 + 2H2O + O2→ 4 Fe(OH)2 yaitu ferihidroksida yang berbentuk flok.

3) Sedimentasi

Setelah proses pendahuluan atau memisahkan dari benda-benda yang kecil, air limbah masih mengandung bahan yang tersuspensi. Untuk mengendapkan bahan tersuspensi dilakukan dengan mengalirkan secara lambat air limbah tersebut dalam tangki sedimentasi. Proses sedimentasi dapat digunakan unuk mengendapkan bahan-bahan dalm bentuk flok akibat adanya proses flokulasi. Proses sedimentasi dapat mengurangi 3-5% kadar bahan buangan

3. Proses Pengolahan Sekunder

Tujuannya adalah untuk mengurangi bahan-bahan organik dengan memanfaatkan mikroorganisme. Dalam pengolahan sekunder terjadi proses biologis, dimana proses biologis ini dipengaruhi oleh jumlah air limbah, tingkat kekotoran, dan jenis kekotoran air limbah. Dalam pengolahan sekunder ada beberapa cara yaitu : kolam lumpur aktif, kolam penapis biologi, kolam oksidan, kolam fakultatif, dan kolam/ tangki anaerob.

Penggunaan mikroorganisme dalam pengolahan sekunder mutlak dibutuhkan, baik secara aerob maupun anaerob. Perbedaan utama pengolahan primer dan sekunder adalah pada pengolahan primer dilakukan secara kimiawi tanpa membutuhkan mikroorganisme.

Pengolahan biologi umumnya banyak digunakan untuk menangani air limbah yang mengandung bahan organik atau untuk zat pencemar yang mudah diuraikan oleh mikroorganisme, seperti buangan yang mengandung senyawa amino, sulfide, atau senyawa organik lainnya. Dalam proses biologi yang harus diperhatikan adalah pH, suhu, oksigen dan adanya zat-zat beracun dalam air limbah yang akan diolah. Untuk kebutuhan mikroorganisme dibutuhkan pH dan suhu yang optimum sesuai dengan jenis bakterinya, oksigen dibutuhkan untuk bakteri aerob sedangkan untuk bakteri anaerob adanya oksigen akan membunuhnya. Dalam pengolahan air limbah perlu diperhatikan nilai BOD nya. Jika nilai BOD tinggi perlu pengenceran agar daya asimilasi mikroorganisme tercapai.

Cara-cara penanganan air limbah secara biologi (Secondary Treatment) : a. Kolam lumpur aktif

Proses lumpur aktif adalah pengolahan secara biologi dalam keadaan aerob dengan menggunakan lumpur aktif. Yang dimaksud dengan lumpur aktif adalah suatu padatan organik yang telah mengalami peruraian secara hayati sehingga terbentuk biomassa yang aktif dan mampu menyerap partikel serta merombaknya dan kemudian membentuk massa yang mudah mengendap dan atau menyerap gas (Ginting, 2008).

Endapan lumpur aktif (biological material) dari tangki aerasi mengandung mikroorganisme. Pada proses lumpur aktif influen masuk ke dalam tangki aerasi, terjadi pencampuran antara mikroorganisme dan udara dengan air limbah yang masuk dan bakteri, protozoa, algae, serta fungi berkembangbiak dengan mendapat sumber nutrisi dari bahan dalam limbah dan secara langsung menguraikan bahan organik yang ada. Pertumbuhan mikroorganisme tersebut menyebabkan penggumpalan dan

pembentukan lumpur aktif, setelah beberapa jam campuran air limbah dan lumpur aktif dialirkan ke tangki pengendap. Sebagian mikroorganisme yang ada dalam tangki pengendap diambil dan dikembalikan ke dalam tangki aerasi untuk dibiarkan tetap hidup karena adanya pemberian oksigen tanpa ditambahkan nutrisi,mengakibatkan mikroorganisme tersebut kelaparan dan mikroorganisme dalam lumpur tersebut akan dikembalikan pada tangki aerasi untuk proses penguraian bahan organik kembali. Sisa lumpur aktif disalurkan pada tangki lain untuk diadakan pengolahan dengan klorin, dengan maksud membunuh mikroorganisme yang ada dalam efluen. Setelah itu, air yang telah diolah dikeluarkan.

b. Penapis Biologi (Trickling Filter)

Caranya adalah dengan mengalirkan air limbah secara lambat pada lapisan batuan untuk dilakukan penapisan. Mikroorganisme akan tumbuh pada permukaan batuan dan membentuk film dan air limbah dialirkan melalui film tersebut. Mikroorganisme yang membentuk film akan menguraikan bahan organik air limbah yang melewati film tersebut.

c. Kolam oksidasi

Pada dasarnya kolam oksidasi hanyalah sebuah kolam biasa yang diatur pada kedalaman dan luas permukaan tertentu agar terjadi proses oksidasi secara alami. Penggunaan kolam ini diatur dengan memanfaatkan sinar matahari dan tumbuhan lumut yang berada pada kolam. Kedalaman kolam yang lebih dari 2 meter menyebabkan sinar matahari tidak mencapai ke dasar kolam. Oleh karena itu, alga tidak berkembangbiak dan tidak dapat tumbuh. Untuk itu kedalam kolam diusahakan hanya mencapai 1,5 meter. Kondisi limbah yang mengandung bahan kasar, minyak,

lemak serta bahan terapung lainnya akam merintangi cahaya sehingga tidak terjadi proses fotosintesa. Demikian juga zat-zat tersuspensi dan terlarut sangat menggangu bagi proses ini. Oleh sebab itu, maka sebelum limbah masuk kolam pengolahan, limbah sudah harus mendapat perlakuan pendahuluan yaitu penyaringan bahan-bahan kasar dan penghilangan lapisan minyak dari permukaan.

d. Kolam Aerasi

Kolam aerasi adalah cara pengolahan secara aerob, kolam ini dilengkapi dengan aerator baik nerupa aerator mekanik maupun injeksi udara. Kolam aerasi merupakan modifikasi dari kolam oksidasi. Kedalaman kolam aerasi adalah 1,5-5 meter dan kedalaman optimum adalah 3 meter, pada kedalaman tersebut didasar kolam dapat terjadi proses anaerob, sehingga dibutuhkan aerator untuk pemberian oksigen. Pengolahan dengan kolam aerasi akan menghasilkan bisolid (endapan lumpur).

e. Proses Anaerob

Pengolahan dengan sistem anaerobik dilakukan pada kondisi tanpa kehadiran oksigen atau dengan kondisi oksigen dapat diabaikan. Pengolahan limbah pada konsentrasi padatan yang tinggi umumnya dilakukan dengan pengolahan cara anaerobik. Sistem pengolahan anaerob menghasilkan produk akhir berupa CO2 dan CH4, penguraian secara anaerob dapat mereduksi BOD 50-90% (Winarto, 1986). Dalam proses ini dapat terbentuk H2S, NH3, dan CH4 yang menyebabkan bau busuk. Proses anaerobik berjalan lebih lambat daripada proses aerob, karena pada proses anaerob terbentuk senyawa antar lain asam asetat atau asam lemak, sedangkan pada proses aerob bahan organik terurai sempurna menjadi CO2 dan H2O

f. Kolam fakultatif

Sistem ini umumnya digunakan untuk pengolahan air limbah, proses ini merupakan gabungan antara sistem aerob dan anaerob dan diikuti oleh sistem kolam maturasi. Pada kolam fakultatif keadaan aerob terdapat pada bagian permukaan kolam dan kondisi anaerob terdapat pada bagian dasar. Oksigen pada bagian atas kolam didapat dari proses fotosintesis. Kedalaman kolam pada umumnya 1-1,4 meter, karena bila kedalaman lebih dari 1,5 m kolam akan bersifat anaerob.

g. Kolam Maturasi (Maturation Ponds)

Kolam ini digunakan sebagai lanjutan dari pengolahan air limbah dengan kolam fakultatif. Fungsi utama kolam maturasi adalah untuk merombak “sludge” disamping itu juga untuk menentukan kualitas effluen pada tingkat akhir. Kolam maturasi seluruhnya bersifat aerob dan dapat dipertahankan sampai kedalaman 3 meter. Pada dua seri kolam maturasi masing-masing mempunyai kisaran waktu 7 hari. Waktu tersebut dibutuhkan untuk menurunkan BOD menjadi 25% . Jumlah kolam maturasi yang dibutuhkan pada setiap situasi tergantung pada tingkat pengurangan bakteri atau sludge yang ada. Setiap kolam dengan kisaran waktu 5-7 hari mampu mereduksi fecal coliform sampai tingkat 90-95%.

4. Proses Pengolahan Tertier

Merupakan kelanjutan dari pengolahan yang terdahulu. Pengolahan ini dilakukan apabila pengolahan pertama dan kedua masih banyak terdapat zat-zat berbahaya bagi masyarakat. Terdapat beberapa jenis pengolahan yang sering dilakukan yaitu : Saringan pasir, Saringan multi media, Precoal filter, Mikrostaini, Vakum filter, Penyerapan/ Adsorbtion, Pengurangan Fe dan Mn. Proses penanganan

tersier seringkali dilakukan untuk menghilangkan komponen-komponen organik dan anorganik terlarut dan salah satu cara untuk menghilangkan komponen terlarut tersebut adalah dengan proses adsorpsi (penyerapan). Arang aktif sering digunakan sebagai bahan penyerap dan dalam hal ini arang aktif digunakan untuk mengurangi kadar dari benda-benda organik terlarut (Fardiaz, 2008)

2.4.1 Proses Penyerapan (Adsorbsi)

Penyerapan adalah suatu proses pengumpulan benda-benda terlarut yang terdapat di dalam larutan dengan melakukan kontak antara dua permukaan yaitu antara cairan dengan gas, zat padat dengan cairan serta permukaan zat padat dan zat yang kental. Adsorpsi terjadi pada permukaan akibat gaya-gaya atom dan molekul-molekul pada permukaan tersebut.

Walaupun proses tersebut dapat terjadi pada seluruh permukaan benda, maka yang sering terjadi adalah bahan padat yang menyerap partikel yang berada dalam air limbah. Bahan yang akan diserap disebut adsorbate atau solute sedangkan bahan penyerapannya dikenal sebagai adsorbent. Proses ini dipakai pada penjernihan air limbah untuk mengurangi pengotoran bahan organik, partikel termasuk benda yang tak dapat diuraikan (non biodegradable) ataupun gabungan antara warna dan rasa.

Beberapa faktor yang mempengaruhi laju adsorpsi : a. Pengadukan

Makin cepat pengadukan, makin cepat pula penyerapan dan sebaliknya. b. Karakteristik zat penyerap

Ukuran partikel dan luas permukaan zat penyerap mempengaruhi laju penyerapan. Makin kecil diameter partikel, makin luas permukaan zat

penyerap dan laju adsorpsi makin cepat. Untuk meningkatkan kecepatan adsorpsi, dianjurkan agar menggunakan arang aktif yang telah dihaluskan.

c. Daya larut dari zat yang diserap d. Ukuran molekul adsorbat

Makin besar ukuran molekul dan ukuran pori maka gaya tarik menarik antara molekul adsorbent akan makin besar.

e. pH

f. Temperatur

Laju penyerapan bertambah dengan naiknya temperatur dan begitu pula sebaliknya.

Proses adsorpsi meliputi 3 tahap mekanisme yaitu :

a). Pergerakan molekul-molekul adsorbat menuju permukaan adsorben b). Penyebaran molekul-molekul adsorbat ke dalam rongga-rongga adsorben c).Penarikan molekul-molekul adsorbate oleh permukaan aktif membentuk

ikatan yang berlangsung sangat cepat.

Adsorbent adalah bahan penyerap yang digunakan dalam proses penyerapan. Banyak bahan padat yang digunakan sebagai bahan penyerap untuk mengurangi kekeruhan dari suatu cairan. Bahan penyerap yang mahal umumnya mempunyai luas permukaan yang lebih luas setiap unitnya. Peningkatan luas permukaan ini dilakukan dengan berbagai cara melalui pembelahan bahan adsorbent.

Adsorbent marupakan bahan yang berpori, selain itu harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :

b). Tidak mengadakan reaksi kimia dengan bahan yang akan diolah c). Harus dapat diregenerasi

Beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai adsorbent diantaranya yaitu : 1. Zeolit

Zeolit termasuk dalam kelompok mineral yang terjadi dari perubahan batuan gunung api termasuk batuan gunung api berbulir halus yang berkomposisi riolitik atau banyak mengandung massa gelas. Sifat-sifat fisik dari mineral ini adalah berbentuk kristal yang indah dan menarik, namun agak lunak dengan warna yang bermacam-macam yaitu warna hijau, kebiru-biruan, putih dan coklat. Zeolit dapat berasal dari alam yaitu dari batuan gunung api dan dapat berupa zeolit buatan yang terbuat dari gel almunium, natrium aluminat, natrium hidroksida. Zeolit ini dapat digunakan sebagai bahan penjernih kelapa sawit, penyerap warna, penyerap amoniak, dll.

2. Molekuler Sieves

Bahan-bahan sebagai molekuler sieves adalah bahan yang memiliki rongga-rongga sehingga dapat berfungsi sebagai penyaring molekul.

3. Karbon aktif

Karbon aktif (arang aktif) merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon, dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu tinggi.Karbon atau arang aktif adalah material yang berbentuk butiran atau bubuk yang berasal dari material yang mengandung karbon misalnya tulang, kayu lunak, sekam, tongkol jagung, tempurung kelapa, sabut kelapa, ampas penggilingan tebu, ampas pembuatan kertas, serbuk gergaji, kayu keras, batubara dan

sebagainya Ketika pemanasan berlangsung, diusahakan agar tidak terjadi kebocoran udara di dalam ruangan pemanasan sehingga bahan yang mengandung karbon tersebut hanya terkarbonisasi dan tidak teroksidasi. Karbon aktif digunakan sebagai adsorben (penyerap). Daya serap ditentukan oleh luas permukaan partikel dan kemampuan ini dapat menjadi lebih tinggi jika terhadap arang/ bahan karbon aktif tersebut dilakukan aktivasi dengan bahan-bahan kimia ataupun dengan pemanasan pada temperatur tinggi.

Dalam satu gram karbon aktif, pada umumnya memiliki luas permukaan seluas 500-1500 m2, sehingga sangat efektif dalam menangkap partikel-partikel yang sangat halus berukuran 0.01-0.0000001 mm. Karbon aktif bersifat sangat aktif dan akan menyerap apa saja yang kontak dengan karbon tersebut. Dalam waktu 60 jam biasanya karbon aktif tersebut menjadi jenuh dan tidak aktif lagi. Oleh karena itu biasanya arang aktif di kemas dalam kemasan yang kedap udara. Sampai tahap tertentu beberapa jenis arang aktif dapat di reaktivasi kembali, meskipun demikian tidak jarang yang disarankan untuk sekali pakai.

Berdasarkan penelitian Snell dan Hilton dalam Rahayu (2002) diketahui bahwa arang aktif mempunyai muatan positif. Arang aktif merupakan mikrokristalin (amorphous) yang tersusun oleh cincin 6-karbon (yang membentuk kisi-kisi heksagon) dengan susunan karbon yang tidak teratur dan membentuk paket-paket.

Menurut Arifin dan Ramli dalam Rahayu (2002), adsorpsi merupakan peristiwa penyerapan suatu zat pada permukaan bahan penyerap, dan yang menjadi dasar untuk proses adsorpsi adalah daya tarik menarik Van Der Waals dan daya tarik menarik elektrostatis Coulomb. Fenomena adsorpsi ini disebabkan oleh :

1. Adanya interaksi antara molekul-molekul komponen dengan permukaan bahan penyerap dimana gaya-gaya Van Der Waals bekerja

2. Adanya gaya tarik-menarik Coulomb, yang prinsip kerjanya karena adanya perbedaan muatan positf dan negatif (Haliday, 1990).

2.4.2 Tipe Sistem Adsorbsi

Sistem adsorbs dapat dilakukan dengan 2 cara : a. Cara Batch

Cara ini adalah menggunakan bejana, air limbah yang akan dianalisis diaduk bersama adsorben dengan kecepatan dan waktu tertentu. Selanjutnya proses adsorbsi dibiarkan sampai mencapai kesetimbangan. Sistem Batch sering digunakan apabila limbah yang akan diolah volumenya relatif tidak terlalu besar, oleh karena air limbah dalam volume besar tentunya membutuhkan bejana yang besar pula. Sistem ini sering digunakan untuk proses penjernihan air.

b. Cara Kolom

Cara kolom adalah menggunakan silinder vertikal atau horizontal. Air limbah yang akan diolah dialirkan secara terus-menerus ke dalam suatu kolom adsorbs. Sistem kolom ini luas penggunaanya, terutama untuk pengolahan limbah cair industri, pemakaian sistem kolom ini sangat cocok untuk air limbah dalam volume besar.

Dokumen terkait