ABSTRACT
THE EFFECTIVITY OF KRISAN FLOWER (Chrysanthemum morifolium) ETHANOL EXTRACT AS LARVACIDE TOWARDS Aedes aegypti
INSTAR III LARVAE
By
DEVI PUTRI AMALIA SURYANI
Dengue hemorrhagic fever is one of healthy problem in Indonesia. Larvacide is vector control. Utilization of herbal extract have been developed as larvacides that environmental friendly. This study aim to determine the effectiveness, LC50 and LT50 from krisan flower (Chrysanthemum morifolium) ethanol extract.
Design of this study is randomized control trial with post test only control group design, divide into 6 concentration consists of negative control (0%), 0.25%, 0.5%, 0.75%, 1% and positive control (Abate 1%), and observed at 5 to 4320 minutes. Used sample of 600 larvaes, divided into 25 larvaes each group in 200 ml solution with various concentrations and four with repetitions. This checking is used by Kruskal-Wallis method (p<0.05), Post Hoc Mann Whitney (p<0.05) and Probit test.
The average number result of death larvaes is 92,4%. LC50 value was 13,329% at
20 minutes;10.973% at 40 minutes; 5.319% at 60 minutes; 2.984% at 120 minutes; 1.605% at 240 minutes; 0.565% at 480 minutes. LT50 value was 249.972 minutes at 0.25% concentration; 269.100 minutes at 0.5% concentration; 102.775 minutes at 0.75% concentration; 88.985 minutes at 1% concentration.
Krisan flower (Chrysanthemum morifolium) is effective as natural larvacide with LC50 0.565% and LT50 <4320 minutes.
ABSTRAK
UJI EFEKTIFITAS EKSTRAK ETANOL BUNGA KRISAN (Chrysanthemum morifolium) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP
LARVA Aedes Aegypti INSTAR III
Oleh
DEVI PUTRI AMALIA SURYANI
Demam berdarah dengue adalah salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Cara pengendalian vektor salah satunya dengan larvasida. Senyawa yang terdapat dalam tanaman banyak dikembangkan sebagai larvasida ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektifitas, LC50 dan LT50 ekstrak etanol bunga Krisan (Chrysanthemum morifolium).
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Jenis penelitian eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola post test only control group design. Perlakuan dibagi menjadi 6 konsentrasi, terdiri dari kontrol negatif (0%), 0,25%, 0,5%, 0,75%, 1% dan kontrol positif (Abate 1%) diamati pada rentang waktu 5 sampai 4320 menit. Sampel 600 larva, tiap kelompok 25 larva 4 kali pengulangan. Uji yang digunakan adalah Kruskal-Wallis (p<0,05) ,Post Hoc Mann Whitney (p<0,05) dan uji Probit.
Rerata prosentase kematian dari seluruh konsentrasi 92,4%. Nilai LC50 13,329% menit ke 20; 10,973% menit ke 40; 5,319% menit ke 60, 2,984% menit ke 120; 1,605% menit ke 240; 0,565% menit ke 480. Nilai LT50 249,972 menit pada konsentrasi 0,25%; 269,1 menit pada konsentrasi 0,5%; 102,775 menit, konsentrasi 0,75%; konsentrasi 1%;88,985 menit
Bunga Krisan (Chrysanthemum morifolium) efektif sebagai larvasida alami. Nilai LC50 adalah 0,565 % dan LT50<4320.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Brebes, Jawa Tengah pada tanggal 23 Desember 1993,
sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari bapak H. Masudin dan ibu Hj.Umi
Baroroh.
Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak di Baros 01 Brebes, Jawa
Tengah, pada tahun 1998 lulus pada tahun 1999. Pendidikan sekolah dasar (SD)
ditempuh di SD N 01 Baros tahun 1998 dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan
sekolah menengah pertama (SMP) ditempuh di SMP N 1 Ketanggungan, Brebes
yang diselesaikan pada tahun 2008. Pendidikan sekolah menengah atas
diselesaikan di SMA N 01 Tanjung, Brebes. Tahun 2011, penulis terdaftar
sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Penghargaan yang pernah diperoleh antara lain pada tahun 2003 memperoleh
juara 1 lomba renang antar sekolah sekabupaten Brebes, tahun 2004, 2006 dan
2007 penulis juga menjuarai olahraga renang sekabupaten Brebes dan mewakili
Persembahan terindah kepada mama
dan bapak yang telah mendidik saya
sampai saya bisa belajar dan tumbuh,
kuat dan mandiri, ikhlas dan tawakal,
serta mampu melangkah sampai dititik
ini, terima kasih tak terhingga, terima
kasih, terima kasih, terima kasih tak
SANWACANA
Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT
yang senantiasa mencurahkan segala nikmat dari-Nya sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Shalawat beriring salam kepada junjungan kita,
Rasullulah Muhammad SAW, semoga kita mendapat syafaatnya di hari akhir.
Skripsi dengan judul “Uji Efektifitas Ekstrak Etanol Bunga Krisan
(Chrysanthemum morifolium) Sebagai Larvasida terhadap Larva Aedes aegypti
Instar III”adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di
Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku dekan Fakultas Kedoketran
Universitas Lampung;
2. Kepada dr. Ety Apriliana, M.Biomed., selaku Dosen Pembimbing Utama atas
kesediaan dan kesabarannya dalam membimbing, kesediaannya waktu untuk
membimbing, kesediaannya untuk memberi saran, kritik dan masukan dalam
dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
4. Kepada dr. Betta Kurniawan, M.Kes., selaku Dosen Penguji Utama.
Terimakasih atas bimbingan, waktu, ilmu, kritikan dan saran-saran yang telah
diberikan;
5. Terimakasih pada dr. Reni Zuraida, M.Si, selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang senantiasa memberikan pengarahan dan saran-saran dalam
proses penyelesaian skripsi ini, dan proses belajar selama menjalani
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;
6. Terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda Umi Baroroh, atas doa yang
selalu diucapkan, kesabarannya dalam mendidik penulis, perhatian, kasih
sayang dan dukungan yang selalu diberikan. Terima kasih yang tak terhingga
juga kepada Ayahanda Masudin yang selalu memberikan perhatian, kasih
sayang dan dukungan yang ternilai. Terimakasih juga kepada kakak tercinta
dr. Putri Rahmawati atas dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi
ini dan kepada adik tercinta Aninda Ayu Hapsarai dan Ayu Zahrani yang
selalu mendukung penulis dalam meraih cita-cita.
7. Seluruh staf Dosen FK Universitas Lampung atas ilmu yang telah diberikan
kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk
mencapai cita-cita, terima kasih kepada dr. Betta Kurniawan, M.Kes., dr. Ety
8. Seluruh staf Tata Usaha FK Universitas Lampung dan pegawai yang turut
membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada mbak Mega, mbak Ida, mba Kori, bapak
Ma’mun dan ibu Sofi yang selalu memberi saran untuk segala pengurusan
kelengkapan surat-surat. Tak lupa juga terima kasih untuk mbak Romiana
yang mengizinkan peneliti untuk meminjam Laboratorium Parasitologi
Fakultas Kedokteran untuk kepentingan skripsi ini dan tidak lupa terima kasih
kepada bapak Syahrudin yang bersedia membuka laboratorium saat waktu
masih pagi, peneliti ucapkan terima kasih atas dukungannya;
9. Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada teman tim skripsi dan teman
seperjuangan dalam meraih cita-cita, Intan Mayangsari, Alvionita Nur
Fitriana, Andini Saraswati, yang selalu memberi perhatian, semangat,
dukungan, kebersamaan dan kebahagiaan bagi penulis;
10. Terima kasih kepada dr. Arri Kurniawan atas perhatian, bantuan, semangat,
kasih sayang dan motivasi untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
11. Terimakasih kepada sahabat baiknya kakak dr. Diah, dr. Tetra, dr. Sandy dan
dr. Abi yang telah memberi dukungan, semangat, berbagi pengalaman dan
ilmu kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini;
12. Teman-teman angkatan 2011 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terima
14. Teman-teman dari kecil Dian Ayu, Retno Dewi, Rizky, Nur Aeda M, Maya
Ulfa, Listiani, Bunga Budi Utami, Fitryah Utami, Syafiqul Anam, Rendy,
Mulana Rizky, Amalia Fatmasari, Desi Priyanti, Ulil Azmi, Lastri, Dian Nur
cahyani, Crio Ferisandi, Nurul Hidayah dan Irfan Setia Bekti, yang selalu
memberikan semangat, motivasi dan pembelajaran hidup kepada penulis
sehingga penulis dapat melangkah jauh seperti sekarang ini, terima kasih tak
terhingga penulis ucapkan;
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat
dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Terima kasih.
Bandar Lampung, Januari 2015m
Penulis m
DAFTAR ISI
2.1.1 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue ………. 9
2.1.2 Patogenesis Infeksi Demam Berdarah Dengue ………... 11
2.1.3 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue ………. 12
2.1.4 Pencegahan ……….. 14
2.2 Nyamuk Aedes aegypti ………... 14
2.3 Bunga Krisan (Chrysanthemum morifolium) ………. 20
2.4 Kandungan senyawa kimia bunga krisan (Chrysanthemum morifolium) ……… 24
2.4.1 Flavonoid ……….. 24
2.4.2 Saponin ………... 25
2.4.3 Polifenol ……… 25
2.4.4 Kepolaritasan senyawa ………... 26
2.5 Kerangka Teori ………... 27
2.6 Kerangka Konsep ……….... 29
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kandungan flavonoid pada ekstrak etanol bunga krisan
(Chrysanthemum morifolium)……….... 23
2. Jumlah total sampel………... 32
3. Definisi operasional………….……….. 34
4. Jumlah ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium) yang dibutuhkan……… 36
5. Kematian larva Aedes aegypti instar III dalam 480 menit pengamatan……….………...….. 41
6. Hasil uji normalitas data……… 43
7. Hasil uji Kruskal Walis……….. 44
8. Nilai p hasil uji Mann-Whitney antar konsentrasi perlakuan………. 44
9. Jumlah total larva yang mati disetiap waktu pengamatan………. 45
10. Nilai LC50 ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium) terhadap larva Aedes aegypti instar III pada berbagai waktu pengamatan……….... 47
11. Nilai LT50 ektrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium)…… 49
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Penyebaran Aedes aegypti……… 9
2. Penyebaran Aedes albopictus………... 10
3. Klasifikasi Demam Berdarah Dengue ………..……….. 13
4. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti………... 16
5. Telur nyamuk Aedes aegypti (perbesaran 100x)………... 17
6. Perbedaan mesonotum Aedes aegypti dan Aedes albopictus (perbesaran 100x)……… 19
7. Perbedaan mesepimeron Aedes aegypti dan Aedes albopictus (perbesaran 100x)……… 20
8. Perbedaan kaki Aedes aegypti dan Aedes albopictus (perbesaran 100x)… 20
9. Krisan tipe standard dan tipe spray……… ..21
10. Bunga krisan ( Crhysanthemum morifolium)……….. 22
11. Struktur kimia flavonoid………. 24
12. Struktur kimia polifenol………... 25
13. Kerangka teori………. 28
14. Kerangka Konsep………. 30
15. Alur Penelitian………. 38
16. Jumlah Total Larva yang Mati Disetiap Waktu Pengamatan…………... 46
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Preparasi bahan uji dan uji efektifitas
Lampiran 2. Data hasil uji normalitas
Lampiran 3. Uji Kruskal Wallis
Lampiran 4. Output uji Post Hoc Mann Whitney
Lampiran 5. Uji Probit
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
merupakan penyakit menular yang masih menyerang penduduk dunia
sampai saat ini. DBD merupakan salah satu masalah kesehatan utama di
Indonesia. Penyakit ini sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di
beberapa kabupaten atau kota di Indonesia. Pada tahun 2012, kasus DBD di
Indonesia dilaporkan sebanyak 90.245 orang dengan kematian 816 orang
(Ditjen PP dan PL, 2013).
Angka kejadian DBD di Indonesia khususnya di Bandar Lampung
mengalami peningkatan tiap tahunnya. Kejadian terbesar pada tahun 2007
dengan Incidence Rate (IR) 235,5 per 100.000 penduduk dan Case Fatality
Rate (CFR) 0,75%. Menurun pada tahun 2008 dan 2009, lalu kembali
meningkat di tahun 2010 sebesar 90,80 per 100.000 penduduk (Dinkes
Bandar Lampung, 2011). Angka kesakitan DBD tahun 2012 sebesar 64,44
per 100.000 penduduk diatas IR nasional yaitu 55 per 100.000 penduduk
(Profil Kesehatan Prov. Lampung, 2012).
Saat ini belum ada obat maupuan vaksin untuk mengatasi DBD.
intravena. Tindakan pencegahan dengan memberantas sarang nyamuk dan
membunuh larva serta nyamuk dewasa merupakan tindakan yang terbaik.
Upaya pencegahan yang selama ini dilakukan untuk menanggulangi
peningkatan angka kasus DBD adalah dengan pengendalian lingkungan dan
pengendalian kimiawi. Pengendalian lingkungan yang telah dilakukan yaitu
menutup penampungan air, mengubur barang bekas, menguras
penampungan air serta menghindari gigitan nyamuk dengan cara memasang
kelambu dan memakai obat anti nyamuk. Sedangkan pengendalian secara
kimia yaitu dengan cara penyemprotan menggunakan insektisida sintetik,
obat nyamuk semprot, obat nyamuk bakar dan obat nyamuk oles (Depkes
RI, 2006).
Pemberantasan vektor secara kimiawi khususnya pemberantasan vektor
yang menggunakan insektisida, baik digunakan untuk pemberantasan
nyamuk dewasa atau larva akan merangsang terjadinya seleksi pada
populasi serangga yang menjadi sasaran. Nyamuk atau larva yang rentan
terhadap insektisida tertentu akan mati, sedangkan yang kebal (resistant)
tetap hidup. Jumlah yang hidup lama-lama akan bertambah banyak,
sehingga terjadi perkembangan kekebalan nyamuk atau larva terhadap
insektisida tersebut (Waris, 2013).
Resistensi nyamuk atau larva Aedes aegypti terhadap insektisida atau
larvasida kimia merupakan masalah yang membutuhkan alternatif
pengendalian lain yang lebih berwawasan lingkungan. Insektisida dari
dikembangkan. Hal ini dikarenakan senyawa insektisida dari tumbuhan
tersebut mudah terurai di lingkungan dan relatif aman terhadap makhluk
bukan sasaran. Sumber bahan dari berbagai jenis tumbuhan yang telah
diketahui mengandung senyawa seperti fenilpropan, flavonoid, alkaloid,
asetogenin, saponin dan tanin yang bersifat sebagai larvasida atau
insektisida. Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput
mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding traktus menjadi korosif.
Flavonoid merupakan senyawa pertahanan yang dapat bersifat menghambat
makan serangga dan juga bersifat toksik (Dinata, 2009).
Bunga krisan sudah lama digunakan sebagai obat tradisional Cina.
Digunakan untuk mengobati penyakit seperti demam, sakit kepala, batuk
dan gangguan penglihatan secara tradisional (Wijaya, 2012). Bunga krisan
terbagi atas beraneka ragam spesies, dimana beberapa spesies bunga krisan
telah diteliti efektifitasnya. Chrysanthemum cinerariaefolium merupakan
salah satu spesies bunga krisan yang dapat digunakan sebagai pengusir
nyamuk (repellent) bagi nyamuk Aedes aegypti (Simanjuntak, 2006).
Penelitian juga telah dilakukan pada bunga krisan spesies Chrysanthemum
indicum yang terbukti berpengaruh dan efektif sebagai larvasida terhadap
larva Aedes sp. (Setiyowati, 2008). Selain kedua spesies tersebut terdapat
juga spesies Chrysanthemum morifolium yang memiliki kandungan senyawa
alami potensial seperti flavonoid yang telah diisolasi pada beberapa
senyawa volatil dimana terdapat delapan senyawa flavonoid dan 58 senyawa
volatil yang teridentifikasi (Wijaya, 2012).
Bunga krisan spesies Crysanthemum morifolium mengandung senyawa
flavonoid yang berfungsi sebagai anti-HIV (Human Immuno Deficiency
Virus) (Lee et al., 2012). Selain mengandung senyawa flavonoid, bunga
krisan spesies ini juga mengandung senyawa polifenol (Cui et al., 2014).
Senyawa polifenol memiliki efek larvasida (Ismatullah et al., 2014). Selain
senyawa-senyawa tersebut bunga krisan spesies ini juga mengandung
senyawa triterpenoid (Wijaya, 2012). Triterpenoid ini merupakan salah satu
subdivisi dari senyawa saponin (Vincken et al., 2007).
Berdasarkan kandungan senyawa-senyawa potensial yang dimiliki oleh
bunga krisan spesies ini maka peneliti tertarik untuk mengetahui efektifitas
ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium) sebagai larvasida
terhadap larva Aedes aegypti instar III.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu:
1.2.1 Apakah ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium)
efektif digunakan sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti
instar III ?
1.2.2 Berapakah Lethal Concentration 50 (LC50) dari ekstrak etanol bunga
krisan (Chrysanthemum morifolium) sebagai larvasida terhadap larva
1.2.3 Berapakah Lethal Time 50 (LT50) dari ekstrak etanol bunga krisan
(Chrysanthemum morifolium) sebagai larvasida terhadap larva Aedes
aegypti instar III ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui efektifitas ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum
morifolium) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu:
1.3.2.1 Mengetahui nilai LC50 dari ekstrak etanol bunga krisan
(Chrysanthemum morifolium) sebagai larvasida terhadap
larva Aedes aegypti instar III.
1.3.2.2 Mengetahui nilai LT50 dari ekstrak etanol bunga krisan
(Chrysanthemum morifolium) terhadap larva Aedes aegypti
instar III.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu:
1.4.1.1 Bidang ilmu Parasitologi
Menambah referensi mengenai siklus hidup dari nyamuk
(Chrysanthemum morifolium) dalam pemanfaatannya sebagai
larvasida.
1.4.1.2 Bidang ilmu Kedokteran Komunitas
Meningkatkan pengetahuan mengenai pengendalian vektor
DBD secara alami yang ramah lingkungan.
1.4.1.3 Bidang ilmu Penyakit Dalam
Menambah referensi mengenai cara pengendalian kasus
penyakit DBD yaitu dengan menghambat siklus hidup Aedes
aegypti pada stadium larva dengan menggunakan ekstrak
etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium) sebagai
larvasida alami.
1.4.2 Manfaat Aplikatif
Manfaat aplikatif dari penelitian ini yaitu:
1.4.2.1 Bagi peneliti
Menambah pengetahuan peneliti mengenai efektifitas dari
ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium)
sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III.
1.4.2.2 Bagi masyarakat
Membantu masyarakat dalam penanganan penyebaran vektor
Aedes aegypti dengan menginformasikan mengenai
efektifitas ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum
lingkungan serta efektif terhadap larva Aedes aegypti instar
III.
1.4.2.3 Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Meningkatkan penelitian dibidang Agromedicine sehingga
dapat menunjang pencapaian visi fakultas kedokteran
Universitas Lampung 2015 sebagai fakultas kedokteran
sepuluh terbaik di Indonesia pada tahun 2025 dengan
kekhususan Agromedicine.
1.4.2.4 Bagi peneliti lain
Manfaat penelitian ini bagi peneliti lain yaitu:
a. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk dilakukannya
penelitian yang serupa berkaitan dengan efek ekstrak
etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium)
sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III.
b. Mencari alternatif biolarvasida lain selain ekstrak etanol
bunga krisan (Chrysanthemum morifolium) sebagai
larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue.
Penyakit ini ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis dan menginfeksi luas
dibanyak negara di Asia Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue,
masing-masing dapat menyebabkan demam berdarah baik ringan maupun
fatal (Department of Health Hongkong, 2014). DBD ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus yang terdapat hampir diseluruh daerah Indonesia
(Candra, 2010).
Transmisi virus dengue tergantung pada faktor biotik dan faktor abiotik.
Faktor biotik termasuk virus, vektor dan pejamu (host). Faktor abiotik
termasuk suhu, kelembaban dan curah hujan (WHO, 2011). Faktor
lingkungan juga mempengaruhi kejadian DBD. Faktor lingkungan ini
meliputi kondisi geografi dan demografi. Kondisi geografi yaitu ketinggian
dari permukaan laut, angin dan iklim (Djati et al., 2012).
Virus dengue adalah genus dari Flavivirus dan familia Flaviviridae dengan
ukuran 50 nm, mengandung RNA rantai tunggal sebagai genome. Virion
lipoprotein. Virus dengue memiliki 4 strain DENV1, DENV2, DENV3 dan
DENV4. Infeksi salah satu serotipe virus dapat membentuk sistem imun dari
serotipe yang menginfeksi. Apabila terjadi infeksi sekunder dengan serotipe
lain atau multipel infeksi dengan serotipe berbeda dapat menyebabkan
infeksi dengue berat yaitu Dengue Hemorragic Fever (DHF) atau Dengue
Shock Syndrome (DSS) (WHO, 2011).
2.1.1 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
Kasus DBD meningkat pada lima dekade terakhir. Terdapat 50-100
juta kasus infeksi baru yang diperkirakan terjadi lebih dari 100 negara
endemik DBD. Setiap tahun ratusan sampai ribuan kasus DBD
meningkat dan menyebabkan 20.000 kematian. Pada Asia Tenggara
menjadi area endemik dengan laporan kasus dengue sejak tahun
2000-2010 angka kematian mencapai 355.525 kasus (WHO, 2012).
Penyebaran vektor DBD di dunia dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2.
Gambar 2. Penyebaran Aedes albopictus (WHO, 2011)
DBD pertama kali ditemukan tahun 1968 di Surabaya dengan 58
kasus pada anak dan diantaranya 24 anak meninggal. DBD
menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah kasus dan luas
daerah terjangkit. Wilayah diseluruh Indonesia mempunyai resiko
untuk terjangkit penyakit DBD kecuali daerah yang memiliki
ketinggian lebih dari 1.000 meter DPL (Diatas Permukaan Laut).
Jumlah kasus DBD di Indonesia tahun 2008 mencapai 137.469 kasus
dan jumlah kematian sebanyak 1.187 orang. Tahun 2009 kasus DBD
meningkat mencapai 158.912 kasus, jumlah kematian 1.420 orang.
Selama tahun 2010, kasus DBD menurun menjadi 156.806 kasus dan
jumlah kematian 1.358 orang (Waris, 2013). Dengue di Indonesia
memiliki siklus epidemik setiap sembilan hingga sepuluh tahunan. Hal
ini terjadi karena perubahan iklim yang berpengaruh terhadap
kehidupan vektor diluar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya
DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia pada umumnya dan Provinsi Lampung pada khususnya.
Kasus DBD cenderung meningkat dan semakin luas penyebarannya
serta berpotensi menimbulkan KLB. IR selama tahun 2004-2012
cenderung berfluktuasi. Angka kesakitan DBD di Provinsi Lampung
tahun 2012 sebesar 68,44 per 100.000 penduduk (diatas IR Nasional
yaitu 55 per 100.000 penduduk) dengan Angka Bebas Jentik (ABJ)
kurang dari 95% namun CFR telah kurang dari 1% (Profil Kesehatan
Prov. Lampung, 2012).
2.1.2 Patogenesis infeksi Demam Berdarah Dengue
Terdapat tiga faktor yang berperan dalam timbulnya suatu penyakit
termasuk DBDyaitu pejamu, vektor dan lingkungan.
2.1.2.1Pejamu
Virus dengue dapat menginfeksi manusia dan beberapa spesies
primata. Manusia merupakan reservoir utama virus dengue di
daerah perkotaan. Beberapa variabel yang berkaitan dengan
karakteristik pejamu adalah umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, imunitas, status gizi, ras dan perilaku (Widodo,
2012).
2.1.2.2Vektor
Vektor penyakit adalah serangga penyebar penyakit atau
Arthropoda yang dapat memindahkan atau menularkan agen
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopictus,
Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain yang
kurang berperan. Penularan DBD terjadi melalui gigitan
nyamuk Aedes sp. betina yang sebelumnya telah membawa
virus dalam tubuhnya dari penderita baru. Nyamuk Aedes
aegypti sering menggigit manusia pada pagi dan siang hari
(Shidiq, 2010).
2.1.2.3Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang
berkaitan dengan terjadinya infeksi dengue. Lingkungan
pemukiman sangat besar peranannya dalam penyebaran
penyakit menular. Kondisi perumahan yang tidak memenuhi
syarat rumah sehat apabila dilihat dari kondisi kesehatan
lingkungan akan berdampak pada masyarakat itu sendiri.
Dampaknya dilihat dari terjadinya suatu penyakit yang
berbasis lingkungan yang dapat menular seperti DBD (Maria,
2013).
2.1.3 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue
Klasifikasi infeksi virus berdasarkan manifestasi klinis menurut WHO
Gambar 3. Klasifikasi Demam Berdarah Dengue (WHO, 2011)
2.1.3.1Dengue Fever (DF)
DF atau demam dengue terjadi pada anak remaja hingga
dewasa. Secara umum gejala yang muncul adalah demam akut
terkadang bifasik dengan sakit kepala berat, myalgia, atralgia,
kemerahan (rash), leukopenia dan trombositopenia. Umumnya
muncul gejala perdaraham seperti perdarahan saluran cerna,
hipermenorea, dan epistaksis masif.
2.1.3.2Dengue Hemorragic Fever (DHF)
DHF biasanya dapat terjadi pada anak-anak usia 15 tahun
hingga dewasa dan dapat terjadi di daerah endemik DBD.
Karakteristik DHF adalah onset akut serta demam tinggi dan
berhubungan dengan tanda DF pada fase awal demam (early
2.1.3.3Expanded Dengue Syndrome
Manifestasi tidak biasa pada pasien dengan komplikasi organ
seperti ginjal, hati, otak, atau jantung yang berhubungan
dengan infeksi dengue dengan kebocoran plasma. Kebanyakan
pasien DHF dengan manifestasi komplikasi organ
menunjukkan periode syok yang memanjang dengan gagal
organ.
2.1.4 Pencegahan
Dengan melakukan 3M plus, yakni secara berkala melakukan
pengurasan tempat penampungan air, menutup tempat penampungan
air, mengubur barang-barang bekas, serta menaburkan bubuk
lavarsida di tempat penampungan air akan membantu dalam memutus
siklus rantai kehidupan nyamuk Aedes aegypti yang cepat berkembang
melalui air yang tergenang (CDC, 2013).
2.2 Nyamuk Aedes aegypti
Aedes aegypti merupakan nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor
berbagai macam penyakit diantaranya DBD. Walaupun beberapa spesies
dari Aedes sp. dapat pula berperan sebagai vektor tetapi Aedes aegypti tetap
merupakan vektor utama dalam penyebaran penyakit DBD. Di Indonesia,
vektor penyakit DBD adalah nyamuk Aedes sp. terutama adalah Aedes
aegypti walaupun Aedes albopictus dan Aedes scutellaris dapat juga
Aedes aegypti lebih senang pada genangan air yang terdapat di dalam suatu
wadah atau container, bukan genangan air di tanah. Tempat
perkembangbiakan yang potensial adalah tempat penampungan air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti drum, bak mandi, bak WC,
tempayan, ember dan lain-lain. Tempat-tempat perkembangbiakan lainnya
terkadang ditemukan pada vas bunga, pot tanaman hias, ban bekas, kaleng
bekas, botol bekas, tempat minum burung dan lain-lain. Tempat
perkembangbiakan yang disukai adalah yang berwarna gelap, terbuka lebar
dan terlindungi dari sinar matahari langsung (Rahayu, 2013). Nyamuk
Aedes aegypti menggigit pada siang hari pukul 09.00-10.00 dan sore hari
pada pukul 16.00-17.00. Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap
dua hari. Protein dari darah manusia diperlukan untuk pematangan telur
yang dikandungnya. Setelah menghisap, nyamuk ini akan mencari tempat
hinggap (Marsaulina, 2012). Kedudukan taksonomi Aedes aegypti dalam
taksonomi hewan adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Subfamilia : Culicinae
Genus : Aedes
Morfologi nyamuk Aedes aegypti secara umum sebagaimana serangga
lainnya mempunyai tanda pengenal sebagai berikut :
1. Terdiri dari tiga bagian yaitu kepala, dada, dan perut.
2. Pada kepala terdapat sepasang antena yang berbulu dan moncong yang
panjang (proboscis) untuk menusuk kulit hewan atau manusia dan
menghisap darahnya.
3. Pada dada ada 3 pasang kaki yang beruas serta sepasang sayap depan
dan sayap belakang yang mengecil yang berfungsi sebagai
penyeimbang (Aradilla, 2009).
Aedes aegypti memiliki siklus hidup yang kompleks dengan perubahan
signifikan fungsi, serta habitat. Nyamuk betina bertelur pada dinding basah,
kemudian telur menetas dan menjadi larva lalu berubah menjadi pupa dan
terakhir menjadi nyamuk dewasa baru (CDC, 2014).
Tahapan daur nyamuk Aedes aegypti meliputi :
2.2.1 Telur
Telur nyamuk Aedes aegypti memiliki dinding bergaris-garis dan
membentuk bangunan seperti kasa. Telur berwarna hitam dan
diletakkan satu persatu pada dinding perindukan. Panjang telur 1 mm
dengan bentuk bulat oval atau memanjang. Telur dapat bertahan
berbulan-bulan pada suhu -2oC sampai 42oC dalam keadaan kering.
Telur ini akan menetas jika kelembaban terlalu rendah dalam waktu 4
atau 5 hari. Ciri-ciri dari Telur Nyamuk Aedes aegypti adalah
berwarna hitam dengan ukuran ±0,08 mm, dan berbentuk seperti
sarang tawon (Mariaty, 2010).
Gambar 5. Telur Nyamuk Aedes aegypti (perbesaran 100x) (CDC, 2014)
2.2.2 Larva
Setelah menetas telur akan berkembang menjadi larva (jentik-jentik).
Pada stadium ini kelangsungan hidup larva dipengaruhi suhu, pH air
perindukan, ketersediaan makanan, cahaya, kepadatan larva,
lingkungan hidup serta adanya predator (Aradilla, 2009). Larva
memiliki kepala yang cukup besar serta thorax dan abdomen yang
cukup jelas. Larva menggantungkan dirinya pada permukaan air untuk
dan partikel-partikel lainnya dalam air (Palgunadi et al., 2010).
Adapun ciri-ciri larva Aedes aegypti adalah:
- Adanya corong udara (siphon) pada segmen terakhir,
- Pada segmen-segmen terakhir tidak ditemukan adanya
rambut-rambut berbentuk kipas (Palmate hairs),
- Sepasang rambut serta jumbai pada siphon,
- Pada sisi torak terdapat duri yang panjang dengan bentuk kurva
dan adanya sepasang rambut di kepala,
- Siphon dilengkapi pecten,
(Aradilla, 2009).
Terdapat empat tingkat larva sesuai dengan pertumbuhan larva
tersebut, yaitu:
- Instar I berukuran 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada belum
jelas dan corong pernapasan pada siphon belum jelas,
- Instar II berukuran 2,5-3,5 mm, duri-duri dada belum jelas,
corong kepala mulai menghitam,
- Instar III berukuran 4-5 mm, berumur 3-4 hari setelah telur
menetas, duri-duri didada mulai jelas dan corong berwarna coklat
kehitaman,
- Instar IV berukuran 5-6 mm dengan warna kepala gelap,
2.2.3 Pupa
Kepompong nyamuk Aedes aegypti berbentuk seperti koma,
gerakannya lambat dan sering berada dipermukaan air. Setelah 1-2
hari kepompong akan menjadi nyamuk dewasa baru. Siklus nyamuk
Aedes aegypti dari telur hingga nyamuk dewasa memerlukan waktu
7-10 hari. Pupa akan tumbuh baik pada suhu optimal sekitar 28oC-32oC.
pertumbuhan pupa nyamuk jantan memerlukan waktu 2 hari,
sedangkan nyamuk betina selama lebih dari 2 hari (Djakaria, 2004).
2.2.4 Nyamuk dewasa
Aedes aegypti secara makroskopis memang terlihat hampir sama
seperti Aedes albopictus tetapi berbeda pada letak morfologis pada
punggung (mesonotum) dimana Aedes aegypti mempunyai punggung
berbentuk garis seperti lyre b. dengan dua garis lengkung dan dua
garis lurus putih sedangkan Aedes albopictus hanya mempunyai satu
strip putih pada mesonotum, perbedaan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Perbedaan Mesonotum (a) Aedes aegypti dan (b) Aedes albopictus (perbesaran 100x) (Rahayu, 2013).
Secara mikroskopis mesepimeron pada mesonotum yang ditunjukan
Gambar 6 dan Gambar 7 dimana antara Aedes aegypti dan Aedes
albopictus berbeda. Anterior pada kaki Aedes aegypti bagian femur
(a) (a)
kaki tengah terdapat garis putih memanjang sedangkan pada Aedes
albopictus tanpa garis putih memanjang hal tersebut dapat dilihat pada
Gambar 8. Dengan memahami klasifikasi dan morfologi Aedes
aegypti dan Aedes albopictus sangat berperan dalam melakukan upaya
pengendalian vektor DBD karena Aedes aegypti dan Aedes albopictus
mempunyai habitat yang berbeda (Rahayu, 2013).
Gambar 7. Perbedaan mesepimeron (a) Aedes aegypti dan (b) Aedes albopictus (perbesaran 100x) (Rahayu, 2013)
Gambar 8. Perbedaan kaki (a) Aedes aegypti dan (b) Aedes albopictus
(perbesaran 100x) (Rahayu, 2013)
2.3 Bunga Krisan (Chrysanthemum morifolium)
Tanaman di dunia kaya akan kandungan fitokimia. Kandungan yang dapat
digunakan sebagai insektisida dan larvasida sintetik sebagai pengendalian
nyamuk. Efikasi dari fitokimia sebagai larvasida nyamuk menurut
kandungan kimia alaminya dan berpotensi sebagai larvasida alami antara
lain adalah golongan alkali, aromatik sederhana, lakton, esensial oil, terpen,
alkaloid, steroid dan salah satunya golongan isoflavonoid (Ghosh et al.,
2012).
(b) (b)
Krisan merupakan salah satu jenis tanaman hias bunga yang sangat populer
dan memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi di Indonesia serta
mempungai prospek pemasaran yang cerah. Selain menghasilkan bunga
potong dan tanaman hias pot yang dimanfaatkan untuk memperindah
ruangan dan menyegarkan suasana, beberapa varietas krisan juga ada yang
berkasiat sebagai obat antara lain untuk mengobati sakit batuk, nyeri perut
dan sakit kepala akibat peradangan rongga sinus (sinusitis) dan sesak napas.
Selain sebagai tanaman hias dan menyembuhkan sesak napas tanaman
krisan varietas piretrum mengandung bahan aktif piretrin, cinerin dan
jasmolin pada bunganya dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga
rumah, lalat, hama gudang, hama sayuran dan buah-buahan serta hama
tanaman kehutanan (Widiastuti, 2013).
Varietas krisan terdiri dari dua tipe utama yaitu tipe standard (single) dan
tipe bercabang banyak (spray). Krisan tumbuh dengan baik pada wilayah
dataran medium sampai dataran tinggi dengan kisaran ketinggian tempat
700-1200 m (BPTP Yogyakarta, 2006)
Gambar 9. Krisan (a) tipe standard dan (b) tipe spray
Bunga krisan merupakan bunga majemuk. Didalam satu bonggol bunga
terdapat bunga cakram yang berbentuk tabung dan bunga tepi yang berbentuk
pita. Bunga tabung dapat berkembang dengan warna yang sama atau berbeda
dengan bunga pita. Pada bunga pita terdapat bunga betina (pistil), sedangkan
bunga tabung terdiri atas bunga jantan dan bunga betina (biseksual) dan
biasanya fertil. Bentuk dan warna bunga krisan yang beranekaragam
memungkinkan banyak pilihan bagi konsumen. Tingkatan taksonomi dari
bunga krisan sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi: Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Asterales
Suku : Asteraceae
Marga : Chrysanthemum
Spesies : Chrysanthemum morifolium
(Wijaya, 2012)
Bunga krisan memiliki kandungan senyawa alami yang potensial seperti
flavonoid, triterpenoid dan caffeoylquinic acid derivatives yang telah
diisolasi pada beberapa penelitian sebelumnya. Senyawa-senyawa
menunjukkan efek farmakologi yang sangat luas, diantaranya sebagai
penghambat dari aktivitas enzim HIV-1 integrase dan aldose reduktase dan
sebagai antioksidan, anti-radang, anti-mutagenik dan anti-aktivitas alergi
(Xie et al., 2009).
Pada penelitian oleh Sun et al., (2010), dilakukan identifikasi senyawa
flavonoid dan senyawa volatil dari bunga Chrysanthemum morifolium. Pada
penelitian ini terdapat delapan senyawa flavonoid dan 58 senyawa volatil
yang teridentifikasi. Diantaranya 4 senyawa flavonoid glukosida, yaitu
vitexin-2-O-rhamnosida, quercetin-3-galaktosida, luteolin-7-glukosida dan
quercetin-3-glukosida. kaempherol, myricetin dan quercetin termasuk
kedalam salah satu kelompok flavonoid yaitu flavonol (Wijaya, 2012).
Kandungan senyawa flavonoid seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan flavonoid pada ekstrak etanol bunga krisan (C. Morifolium)(Wijaya, 2012).
Senyawa Kadar (mg/gr)
Querectin-3-galactoside 2.46 + 0.02 Luteolin-7-glucoside 50.59 + 0.94 Quercetin-3-glucoside 1.33 + 0.09 Quercitrin 21.38 + 0.80 Myricetin 2.13 + 0.08 Luteolin 5.22 + 0.48 Apigenin 0.70 + 0.10 Kaemferol 0.14 + 0.02 Vitexin-2-O-rhanoside 0.10 + 0.01
2.4 Kandungan Senyawa Kimia Bunga Krisan (Chrysanthemum morifolium)
2.4.1 Flavonoid
Flavonoid adalah substansi fenol yang mempunyai karakteristik berat molekul rendah dan terdapat pada bunga krisan. Flavonoid dalam
tubuh manusia memberikan banyak fungsi seperti antioksidan,
antialergenik, antibakterial, antifungal, antiviral dan antikarsinogenik.
Struktur kimia dasar senyawa flavonoid adalah C6-C3-C6 phenyl-benzopyran (Gomez, 2010). Turunan dari golongan senyawa
flavonoid seperti pada Gambar 11.
Gambar 11. Struktur kimia flavonoid (Pinheiro et al., 2012)
Berdasarkan penelitian Farias (2010), menunjukan hasil ekstrak
tanaman yang mengandung unsur atau senyawa flavonoid memiliki
efek toksisitas terhadap larva Aedes aegypti instar III. Penelitian
memiliki angka mortalitas lebih dari 60% terhadap larva Aedes
aegypti instar III.
2.4.2 Saponin
Saponin adalah suatu glikosida alamiah. Saponin mempunyai aktifitas
farmakologi yang cukup luas diantaranya meliputi immunomodulator,
anti tumor, anti inflamasi, antivirus, anti jamur, dapat membunuh
kerang-kerangan, hipoglikemik, dan efek hypocholesterol. Saponin
juga mempunyai sifat bermacam-macam, misalnya terasa manis,
pahit, dapat berbentuk buih, dapat menstabilkan emulsi, dapat
menyebabkan hemolisis. Terdapat tiga kelas saponin dimana salah
satunya adalah kelas triterpenoid. Saponin merupakan salah satu
senyawa yang bersifat larvasida. Saponin dapat menurunkan tegangan
permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding
traktus menjadi korosif (Rahmawati, 2013).
2.4.3 Polifenol
Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan.
Polifenol berperan dalam memberi warna pada suatu tumbuhan seperti
warna daun saat musim gugur. Bunga krisan (Chrysanthemum
morifolium) merupakan bunga yang kaya akan polifenol yang
merupakan senyawa yang dapat digunakan sebagai larvasida (Cui et
Gambar 12. Struktur kimia polifenol (Cui et al., 2014)
2.4.4 Kepolaritasan Senyawa
Senyawa polar senyawa yang terbentuk akibat adanya suatu ikatan
antar elektron pada unsur-unsurnya. Hal ini terjadi karena unsur yang
berikatan tersebut mempunyai nilai keelektronegatifitas yang berbeda.
Senyawa nonpolar senyawa yang terbentuk akibat adanya suatu ikatan
antar elektron pada unsur-unsur yang membentuknya. Hal ini terjadi
karena unsur yang berikatan mempunyai nilai elektronegatifitas yang
sama atau hampir sama. Ciri-ciri senyawa polar yaitu dapat larut
dalam air dan pelarut polar lain, memiliki kutub negatif dan kutub
positif, akibat tidak meratanya distribusi elektron, memiliki pasangan
elektron bebas (bila bentuk molekul diketahui) atau memiliki
perbedaan keelektronegatifan, sedangkan ciri-ciri senyawa nonpolar
yaitu tidak larut dalam air dan pelarut polar lain, tidak memiliki kutub
negatif dan kutub positif, akibat meratanya distribusi elektron, tidak
atau keelektronegatifannya sama (Pinheiro et al., 2012). Senyawa yang bersifat nonpolar adalah etanol. Etanol dapat digunakan sebagai
pelarut sehingga dapat menarik zat aktif, terutama flavonoid dan
polifenol yang bersifat nonpolar (Ismatullah et al., 2014).
2.5 Kerangka Teori
Bunga krisan (Chrysanthemum morifolium) adalah bunga majemuk yang
terdiri atas banyak bunga dan sudah lama digunakan sebagai obat
tradisional. Penelitian terdahulu, bunga krisan diidentifikasi mengandung
senyawa flavonoid sebanyak delapan jenis. Senyawa flavonoid adalah salah
satu senyawa yang dapat digunakan sebagai larvasida karena dapat
menghambat pencernaan dan bersifat toksik bagi larva nyamuk Aedes
aegypti instar III. Selain flavonoid bunga krisan juga mengandung senyawa
saponin golongan triterpenoid (Xie et al., 2009). Saponin dapat menurunkan
tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga
dinding traktus menjadi korosif (Rahmawati, 2013). Bunga krisan juga
mengandung senyawa polifenol yang berfungsi sebagai larvasida (Cui et al.,
Gambar 13. Kerangka Teori Upaya Pengendalian Vektor
Pengendalian Alami Pengendalian Buatan
Lingkungan Fisik Kimia Mekanik Biologi Genetik
Insektisida Larvasida Ovisida
Ekstrak etanol bunga krisan
(Chrysanthemum morifolium)
Flavonoid Saponin Polifenol
menghambat sistem kerja saluran cerna
larva Triterpenoid
Larva Aedes AegyptiMati
Larva Aedes Aegypti instar III
Menghambat makan serangga dan juga
bersifat toksik
Menurunkan aktifitas enzim pencernaan dan
2.6 Kerangka Konsep
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue, dimana nyamuk Aedes aegypti berperan sebagai vektor
penyakit DBD. Nyamuk Aedes aegypti memiliki 4 stadium pertumbuhan,
yaitu stadium telur, stadium larva, stadium pupa dan stadium nyamuk
dewasa. Pada stadium telur sampai dengan stadium pupa pertumbuhan
terjadi pada air bersih. Pemutusan siklus pertumbuhan nyamuk dapat
dilakukan saat nyamuk pada stadium larva dengan menggunakan larvasida
alami dan sintetis. Kasus resistensi dalam penggunaan larvasida sintesis
telah banyak terjadi dilingkungan sehingga masyarakat mulai beralih
menggunakan larvasida alami. Senyawa yang dapat digunakan sebagai
larvasida salah satunya adalah senyawa flavonoid, polifenol dan senyawa
triterpenoid yang merupakan golongan saponin yang dapat ditemukan pada
ekstrak etanol bunga krisan. Kerangka konsep dalam penelitian ini seperti
Gambar 14. Kerangka Konsep
2.7 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah ekstrak etanol bunga krisan
(Chrysanthemum morifolium)efektif sebagai larvasida terhadap larva Aedes
III. METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain Penelitian pada penelitian ini adalah eksperimental dengan
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola post test only
control group design.
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September–Oktober 2014 di
Laboratoriun Parasitologi Fakultas Kedokteran dan Pembuatan Ekstrak
dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Fakultas matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah larva nyamuk Aedes aegypti instar III.
Dengan bibit telur nyamuk didapatkan dari Loka Litbang P2B2 Ciamis.
Sampel pada penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria inklusi, kriteria
eksklusi dan besar sampel.
3.3.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu larva Aedes aegypti yang
3.3.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu bukan larva bebas, larva
yang bergerak pasif dan larva mati sebelum penelitian
3.3.3 Besar Sampel
Berdasarkan acuan WHO tahun 2005, jumlah sampel larva 25 dengan
empat kali pengulangan. Sehingga pada penelitian ini membutuhankan
total sebanyak 600 larva dengan rincian sebagai seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah total sampel
Perlakuan Dosis Jumlah Larva x Pengulangan Total
Kontrol negative 0% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan I 0.25% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan II 0.5% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan III 0.75% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan IV 1% 25 larva x 4 100 larva Kontrol positif Abate 25 larva x 4 100 larva Total 600 Larva
3.4 Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari dua jenis, yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Variabel bebas pada penelitian ini adalah ekstrak etanol bunga
krisan (Chrysanthemum morifolium) dengan konsentrasi 0,25%, 0,50%,
0,75%, 1% dan kontrol 0%. Sedangkan variabel terikat pada penelitian ini
adalah larva nyamuk Aedes aegypti instar III.
3.5 Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya alat-alat yang
digunakan untuk preparasi bahan uji yaitu dua buah baskom dengan
pembuatan larutan uji yaitu timbangan, blender, toples, baskom, saringan
dan evaporator. Alat untuk uji efektifitas yaitu pipet larva, pipet tetes,
batang pengaduk, gelas ukur 250 ml dan gelas plastik sebanyak 24 gelas.
3.6 Definisi Operasional
Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar ruang lingkup
penelitian tidak terlalu luas maka dibuat definisi operasional sebagai seperti
Tabel 3. Definisi operasional yang dibutuhkan untuk membunuh 50% larva uji pada konsentrasi tertentu Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat
Ukur Hasil Ukur
Ekstrak etanol bunga krisan bergerak saat disentuh dengan jarum didaerah
3.7 Prosedur Penelitian
[
3.7.1 Pembuatan Larutan Uji
Pembuatan ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium)
ini menggunakan bunga krisan (Chrysanthemum morifolium) yang
didapat dari salah satu toko bunga yang terdapat di Bandar Lampung.
Pelarutnya berupa etanol 96 %. Bunga krisan (Chrysanthemum
morifolium) sebanyak 1 kg yang telah didapat dipotong dari
tangkainya kemudian dibersihkan dengan menggunakan air kemudian
dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari lalu
diblender kering (tanpa air). Setelah diblender serbuk bunga krisan
(Chrysanthemum morifolium) ditimbang terlebih dahulu. Bunga krisan
yang telah diblender dan ditimbang direndam selama 24 jam didalam
etanol 96 % sebanyak 100 ml. Setelah direndam selanjutnya bahan
tersebut dievaporasi dalam suhu 40oC untuk memisahkan pelarut dari
zat-zat yang terlarut, kemudian disaring sehingga diperoleh hasil
akhirnya berupa ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum
morifolium) dengan konsentrasi 100%. Untuk membuat berbagai
konsentrasi yang diperlukan dapat digunakan digunakan rumus
sebagai berikut:
VІ MІ = VЇ MЇ.
Keterangan :
VІ = Volume larutan yang akan diencerkan (ml)
VЇ = Volume larutan (air + ekstrak) yang diinginkan (ml)
MЇ = Konsentrasi ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum
morifolium) yang akan dibuat (%)
Tabel 4. Jumlah ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium) yang dibutuhkan.
(Chrysanthemum morifolium) dengan konsentrasi 0,25 %, 0,5 %, 0,75
%, dan 1 %. Uji efektifitas ini dilakukan untuk menentukan nilai LC50,
LT50 dan konsentrasi yang paling efektif sebaga larvasida terhadap
larva Aedes aegypti. Ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum
morifolium) dengan berbagai konsentrasi tersebut diletakkan dalam
gelas plastik. Larva diletakkan ke dalam gelas plastik yang berisi
berbagai konsetrasi ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum
morifolium) dengan menggunakan pipet larva. Masing-masing
perlakuan berisi 25 larva Aedes aegypti instar III dengan jumlah
pengulangan sebanyak 4 kali.
Menurut WHO (2005) pengamatan pada setiap kelompok sampel
dilakukan dalam 4320 menit dan peneliti membagi pencatatan waktu
selama perlakuan yaitu dengan interval waktu 5, 10, 20, 40, 60, 120,
240, 480, 1440, 2880 dan 4320. Pengukuran berakhir pada menit ke
4320 dengan cara menghitung larva yang mati disetiap waktu
pengamatan.
3.7.3 Menentukan Nilai LC50 dan LT50
Kelompok perlakuan terdiri dari satu kontrol negatif, empat
konsentrasi ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium)
dan satu kontrol positif. Jumlah total larva adalah 600 larva yang
dibagi menjadi 25 larva disetiap konsentrasi pada satu kali
pengulangan. Penentuan nilai LC50 dan LT50 dengan analisis probit
menggunakan software statistik pada komputer. Nilai LC50 diperoleh
dengan menghitung jumlah larva yang mati disetiap waktu
pengamatan, sedangkan nilai LT50 diperoleh dengan menghitung
kematian larva disetiap kelompok konsentrasi.
3.8 Alur Penelitian
Ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium) diencerkan dalam
berbagai konsentrasi yaitu konsentrasi 0%, 0,25%, 0,5%, 0,75% dan 1 %
yang kemudian diujikan pada larva Aedes aegypti yang telah dikelompokan
dimana setiap kelompok terdiri dari 25 larva Aedes aegypti instar III dan
dilakukan pengulangan sebanyak empat kali, dengan alur penelitian seperti
Gambar 15. Alur Penelitian
Hitung jumlah larva yang mati
Analisis Dosis I
0%
Ekstrak Etanol Bunga Krisan (Chrysanthemum morifolium)
3.9 Analisis Data
3.9.1 Uji Normalitas Data
Pada data yang diperoleh dilakukan uji normalitas data yaitu dengan
Shapiro Wilk. Uji normalitas data ini dilakukan pada data dengan
sampel kurang dari 50.
3.9.2 Analisis Bivariat
Untuk mengetahui adanya perbedaan antara perlakuan yang diberikan
maka digunakan analisis bivariat One Way Anova, tetapi bila sebaran
data tidak normal atau varian data tidak sama, dapat dilakukan uji
alternatif, yaitu uji Kruskal Wallis. Uji ini bertujuan untuk mengetahui
paling tidak terdapat perbedaan antara dua kelompok perlakuan.
Apabila pada uji tersebut didapatkan hasil yang signifikan (bermakna)
yaitu p<0.05 maka dilakukan analisis Post Hoc untuk mengetahui
kelompok perlakuan yang bermakna. Uji Post Hoc untuk One Way
Anova adalah Bonferroni sedangkan untuk Kruskal Wallis adalah
Mann Whitney.
3.9.3 Uji probit
Untuk menilai toksisitas suatu insektisida dapat menggunakan suatu
metode pengujian dengan analisis probit. Lethal Concentration
merupakan suatu ukuran untuk mengukur daya racun dari jenis
pestisida terhadap serangga uji. Pada uji efektifitas ditunjukkan LC50
yang berarti berapa persen konsentrasi yang dapat menyebabkan
dibutuhkan untuk mematikan 50% larva uji. Nilai subletal ditentukan
dengan analisis Probit. Analisis ini diolah dengan software
penghitungan statistik pada komputer.
3.10 Etik Penelitian
Penelitian uji efektifitas ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum
morifolium) sebagai larvasida larva Aedes aegypti instar III telah disetujui
oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung dengan nomor surat 1938/UN26/DT/2014. Surat lolos kaji etik
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
5.1.1 Simpulan Umum
Ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum morifolium) efektif
sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III.
5.1.2 Simpulan Khusus
Simpulan khusus dari penelitian ini yaitu:
5.1.2.1 Nilai LC50 ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum
morifolium) yaitu 0,565%.
5.1.2.2 Nilai LT50 ekstrak etanol bunga krisan (Chrysanthemum
morifolium) kurang dari 4320 menit.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan agar :
5.2.1 Melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan
senyawa fitokimia yang terkandung dalam bunga krisan
(Chrysanthemum morifolium) dan pada bagian lainnya seperti daun
dan batang, sebagai alternatif larvasida alami yang ramah
5.2.2 Penelitian lanjutan mengenai efek larvasida ekstrak bunga krisan
(Chrysanthemum morifolium) dengan pelarut etanol 70% atau
menggunakan pelarut air sehingga dapat dibandingkan efektifitasnya
dan efek terhadap lingkungan.
5.2.3 Melakukan penelitian mengenai uji efek larvasida menggunakan
tanaman lain yang mengandung senyawa seperti flavonoid, saponin,
DAFTAR PUSTAKA
Adriani F. 2013. Hubungan Keberadaan Jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012 (Skripsi). Universitas Sumatera Utara. Medan. p3-4.
Aradilla AS. 2009. Uji Efektifitas larvasida ekstrak ethanol daun mimba (Azadirachta indica) terhadap larva Aedes aegypti (Skripsi). Universitas Diponegoro. Semarang. p15, 41-42.
Arifianti L, Oktarina RD, Kusumawati I. 2014. Pengaruh jenis pelarut terhadap kadar sinensetin dalam ekstrak daun Orthosiphon stamineus Benth. J of Planta Husada. 2(1) : 1-3.
Candra A. 2010. Demam berdarah dengue: epidemiologi, patogenesis, dan faktor risiko penularan. J of Aspirator. 2(2):110-119.
Cania E, Setyaningrum E. 2013. Uji efektifitas larvasida daun legundi (Vitex trifolia) terhadap larva Aedes aegypti. J of Universitas Lampung.2(4):52-60.
CDC. 2013. Prevention of Dengue and the Aedes aegypti mosquito (leaflet). National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Diseases Division of Vector-Borne Diseases. Puerto Rico, North America.
David JP, Rey D, Cuany A, Bride JM, Meyran JC. 2002. Larvacidal properties of decomposed leaf litter in the subalpine mosquito breeding sites. J of Enviro Toxicol Chem. 21(1):6-8.
Departemen Kesehatan. 2006. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: DEPKES RI.
Departement of Health Hongkong. 2014, Dengue Fever. Department of Health The Government of the Hong Kong Special Administrative Region. Hongkong. Dinas Kota Bandar Lampung. 2011. Data Jumlah Kasus DBD 2001-2010 di kota
Bandar Lampung. Lampung. P10-15.
Dinata A. 2009. Mengatasi DBD dengan kulit jengkol. www.miqraindonesia. blogspot.com. Diakses tanggal 16 September 2014.
Ditjen PP dan PL. 2013. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. p20-35.
Djakaria, S. 2004. Pendahuluan Entomologi. Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. p60-61.
Djati AP, Rahayujati B, Raharto S. 2010. Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul Provinsi DIY Tahun 2010 (Skripsi). UNSOED. Purwokerto. p21-22.
Farias DF. 2010. Water extract of brazilian legominous seeds as rich sources of larvacidal compound against Aedes aegypti. J of An Acad Bras Cienc. Brazil. 82(3):585-94.
Ismatullah A, Kurniawan B, Wintoko R, Setianingrum E. 2013. Uji efektifitas larvasida ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap larva Aedes aegypti Instar III. J of Universitas Lampung. P1-4.
Komariah, Pratita S, Malaka T. 2012. Pengendalian Vektor. J of STIK Bina Husada. Palembang. 6(1):34-37.
Komisi pestisida. 1995. Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida. Komisi Pestisida. Bandung.
Krisan (Chrysantheumum morifolium). http://www.finegardening.com. Diakses pada 22 September 2014.
Maria I, Ishak H, Selomo M. 2013. Faktor risiko kejadian demam berdarah dengue (DBD) di kota Makassar tahun 2013. J of UNHAS. Makassar. p1-3.
Mariaty PD. 2010. Kedudukan taksonomi dan morfologi nyamuk Aedes aegypti. J of UAJY. p5-6.
Marsaulina . 2012. Demam berdarah dengue. J of Universitas Sumatra Utara. Palembang. p2-5.
Palgunadi BU, Rahayu A. 2012. Aedes aegypti sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue. J of UWKS. Surabaya. p23-25.
Pinheiro PF, Justino GC. 2012. Structural analysis of flavonoids and relate compounds a review of spectroscopic applications (Clinical Review). University of Lisbon, Portugal. Portugal. p33.
Rahmawati P. 2013. Uji Efektifitas buah manggis (Garsinia mangostana linn) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. p27-29.
Setyowati E. 2008. Pengaruh perasan bunga krisan (chrysanthemum indicum) terhadap larva Aedes sp (Skripsi). Universitas Indonesia. Jakarta p13-20.
Shidiq P. 2010. Keefektifan penyuluhan keluarga terhadap pemberantasan demam berdarah dengue di kabupaten bondowoso (Tesis). Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta. P27-28.
Sidiek A. 2012. Hubungan tingkat pengetahuan ibu mengenai penyakit DBD terhadap kejadian penyakit DBD pada anak (Skripsi). Universitas Diponegoro Semarang. p16-18.
Simanjuntak RE. 2006. Pengaruh pemberian beberapa konsentrasi hasil maserasi bunga krisan (Chrysantemum cinerariaefolium) terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti (Skripsi). Universitas Sumatra Utara. p27-30.
Sudaryanto B. 2006. Teknologi Budidaya Tanaman Hias Krisan. BPTP. Yogyakarta. p4-5.
Sun QL, Hua S, Ye JH, Zheng XQ, Liang YR. 2010. Flavonoids and volatiles in Chrysanthemum morifolium ramat flower from tongxiang country in China. J of Afr Biotechnol. 9(23):3817-3821.
Vincken JP, Heng L, Groot AD, Gruppen H. 2007. Saponins, classification an occurance in the to plant kingdom. J of Phytochemistry. 68(3) : 275.
Widodo NP. 2012. Faktor yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat. (Tesis). Universitas Indonesia. Jakarta. p1-2.
Wijaya NI. 2012. Penentuan jenis eksplan dan konsentrasi asam 2,4-diklorofenoksiasetat pada induksi kalus krisan (Chrysanthemum morifolium) cv. puspita pelangi sebagai sumber flavonoid (Thesis). Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta. p24-26.
World Health Organization. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. Swiss: World Health Organizatin. p8-11.
World Health Organization. 2011. Comprehensive Guideline for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO Regional South-East Asia. p9.11-12.
World Health Organization. 2012. Incidence of dengue fever and dengue hemorrhagic fever (Bulletin). India: World Health Organization. p55-56