• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP (Studi Putusan Pengadilan Negeri No. 121/PID/B-2008/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP (Studi Putusan Pengadilan Negeri No. 121/PID/B-2008/PN.TK)"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

(Studi Putusan Pengadilan Negeri No. 121/PID/B-2008/PN.TK)

Oleh

AMI RIZKI PURNAWAN

Untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup di persada nusantara ini merupakan tugas dan tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara tanpa terkecuali. Berbagai upaya ke arah lingkungan hidup tersebut nampak dilakukan oleh Pemerintah, lebih- lebih setelah diundangkannya Undang- undang Nomor 23 Tahun 1997 yang mengatur tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang sekarang sudah direpisi dalam Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan latar belakang tersebut yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam putusan No:121/PID/B-2008/PN.TK. Dan bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku dalam perkara tindak pidana.

Tujuan utama penelitian adalah untuk secara jelas dan pasti, dasar- dasar hukum apa saja yang digunakan para penegak hukum yang dalam hal ini para Hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara pidana perusakan lingkungan hidup pada perkara Nomor: 121/PID/B-2008/PN.TK. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis empiris dan yuridis normatif, dengan jenis data primer berupa hasil wawancara dengan Hakim dan Jaksa di Pengadilan Negeri Bandar Lampung. Sedangkan jenis data sekunder berupa aturan perundang- undangan dan kepustakaan lainnya. Dari data- data ini, selanjutnya penulis melakukan analisis data- data dengan menggunakan analisis kualitatif.

(2)

Adapun saran yang disampaikan antara lain: Hakim harus memutuskan suatu perkara dengan benar- benar melihat semua aspek berdasarkan hukum, kebenaran, dan keadilan. Agar keadilan yang sebenar- benarnya dapat tercapai dan dirasakan semua pihak hakim harus lebih mempertimbangkan lagi secara matang setiap putusan yang akan diambil, karena putusan hakim mempunyai posisi sentral bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Seorang tersangka tindak pidana lingkungan hidup mendapatkan pidana yang setimpal agar efek penjeraan dapat berjalan secara maksimal dan diharapkan pelakunya tidak akan mengulangi kejahatan yang sama dikemudian hari.

(3)

PERTANGGUNGJAWABAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

(Studi Putusan Pengadilan Negeri No.121/PID/B-2008/PN.TK)

Oleh

Ami Rizki Purnawan

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PERTANGGUNGJAWABAN SANKSI PIDANA TERHADAP

PELAKU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

(Studi Putusan NO: 121/PID/B-2008/PN.TK) (Skripsi)

Oleh :

AMI RIZKI PURNAWAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

(5)
(6)
(7)
(8)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup...5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual...6

E. Sistematika Penulisan...9

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penerapan Sanksi Hukum Pidana...11

B. Dasar- dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Pidana ...16

C. Teori- teori Pertanggungjawaban Pidana …...18

D. Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup………...24

E. Tindak Pidana yang Ditentukan oleh Undang-Undang Lain yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup...27

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah...39

B. Sumber dan Jenis Data...39

C. Populasi dan Sampel ...40

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data...41

(9)

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam

Putusan No. 121/PID/B-2008/PN.TK...43 C. Pertangung Jawaban Pelaku dalam Perkara Tindak Pidana

Lingkungan Hidup...49

V. PENUTUP

A. Kesimpulan...54 B. Saran...55

(10)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gambaran menyeluruh kehidupan yang ada pada suatu lingkungan tertentu

dan pada saat tertentu disebut sebagai “biotic community” atau masyarakat

organisme hidup. Di dalam biotic community ini terdapat suatu paramida yang menggambarkan komposisi kehidupan organisme-organisme di dalamnya. Dalam biotic community di kalangan tanaman dalam hutan belantara misalnya akan ditemukan beberapa pohon raksasa yang umurnya beratus-ratus tahun tetapi jumlahnya hanya sedikit di bawahnya akan terdapat pohon yang lebih kecil seperti tanaman bunga-bungaan dan akhirnya sebagai dasar paramidanya adalah tanaman rumput yang banyak sekali tetapi umur kehidupannya sangat pendek.1 Hutan yang penuh dengan aneka tumbuhan, hewan, dan benda-benda lainnya ini merupakan kekayaan (sumber daya) alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Terjadinya pembuangan limbah ke sungai disebabkan adanya unsur kesengajaan terhadap perusahaan disebabkan tidak dihiraukannya aturan-aturan yang ada dalam sebuah pemerintahan seperti yang dilakukan PT. Sinar

1

Husein M.Harun, Lingkungan Hidup, Masalah, Pengelolaan, dan Penegakan Hukum,

(11)

Bambu Kencana yang sebelumnya bernama PT. Sinar Bambu Mas yang dipimpin I Ruslan Darmali alias Alan Bin Lie Seng Kiat selaku Direktur dengan sengaja melepaskan atau membuang komponen yang berbahaya dan beracun masuk diatas atau kedalam air permukaan anak Sungai Way Tulung Tumi yang mengarah ke Sungai Way Seputih, serta Margono Bin Mangunrejo selaku penanggung jawab (IPAL) mengetahui maupun turut seta terhadap PT. Sinar Bambu Kencana melakukan perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain yang berupa perusakan atau pencemaran terhadap Sungai yang mana Sungai tersebut digunakan sehari-hari untuk kebutuhan hidup masyarakat yang berada disekitar aliran Sungai Way Tulung Tumi dan mengarah ke Sungai Way Seputih.2

Kemudian setelah mendengar tanggapan JPU yang pada pokoknya agar Majelis Hakim menolak pembelaan dari terdakwa dan menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana penjara sesuai dengan Surat Tuntutannya yang mana dalam Dakwaan Primair: Bahwa mereka terdakwa (I) Ruslan Darmali Alan Bin Lie Seng Kiat dan terdakwa (2) Margono, Bin Mangunrejo, atas nama Badan Hukum, Perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain sesuai dengan akte Notaris Ny. Tati Nurwati, SH, tanggal. 02 April 1991, PT. Sinar Bambu Kencana, selaku pemilik atau mewakili perusahaan serta pertanggung jawaban terhadap air limbah.

Kemudian Pada hari Rabu, tanggal 06 Juni 2007 sekitar pukul 14.00 WIB, bertempat di PT. Sinar Bambu Kencana Kampung Buyut Udik Kecamatan

2

(12)

Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah, oleh karena saksi-saksi sebagian besar bertempat tinggal di Bandar Lampung yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang maka berdasarkan Pasal, 84 ayat 2 KUHAP dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang berwenang mengadili perkara ini.

Bahwa dipersidangan telah diperlihatkan bukti-bukti yang berupa saksi-saksi yang bersangkutan dengan surat-surat yang terlampir dalam perkara penyidik, yaitu: Surat-surat pernyataan Terdakwa I, Surat Tegoran-Surat Peringatan kepada PT. Sinar Bambu Mas (sekarang PT. Sinar Bambu Kencana) dari Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah, Anggaran Dasar Surat Ijin Prinsip Lokasi, Surat Ijin Mendirikan Bangunan, Surat Ijin Tempat Usaha, namun terdakwa membantah bahwa tidak ada masyarakat desa tersebut yang mengadu dan tanda tangan tersebut sebagian dibantah oleh orang yang bersangkutan.

(13)

(tiga) Tahun dan paling lama 12 (dua belas) Tahun serta Pidana Denda sebesar Rp. 3.000.000.000,- (Tiga Miliar Rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000,- (Lima Belas Miliar Rupiah).

Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup (UULH) merupakan suatu perangkat hukum yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan sebagai tumpuan harapan untuk penegakan hukum, khususnya di bidang pidana. Namun, sampai dengan kurun waktu lima belas tahun (15) tahun belum menampakkan adanya penegakkan hukum pidana lingkungan yang berjalan baik. Selama 15 tahun penegakan hukum pidana di bidang lingkungan berjalan lambat dan terlihat tersendat-sendat. Pada kenyataanya UULH belum mampu menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat untuk menyelesaikan masalah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup di Indonesia.

Dengan lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULPH), yang oleh kalangan masyarakat dianggap jauh lebih maju dari UULH yang lama, baik substansi maupun cakupannya. Termasuk di dalamnya mengenai sanksi pidana bagi pelaku perusakan lingkungan yang semakin berat dan denda yang kian besar.

(14)

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian

dengan judul: “Pertanggungjawaban Sanksi Pidana terhadap Perusakan

Lingkungan Hidup”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Bertolak dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang perlu mendapat jawaban dalam proses penelitian adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam putusan No:121/PID/B-2008/PN.TK?

b. Bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup?

2. Ruang lingkup

Penelitian dalam skripsi ini dibatasi pada fungsionalisasi hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

(15)

a. Untuk mengetahui bagaimanakah pertimbangan hakim dalam putusan No:121/PID/B-2008/PN.TK.

b. Untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis, sebagai acuan pembelajaran dalam pemahaman untuk memperluas pengetahuan penulis di bidang ilmu hukum pidana, khususnya mengenai penerapan sanksi hukum pidana di bidang lingkungan hidup.

b. Secara praktis, untuk memberikan masukan kepada para penegak hukum mengenai penerapan sanksi hukum pidana di bidang lingkungan hidup.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori adalah konsep abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.3

Kerangka teori susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis untuk menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.4

3

(16)

Hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan teori pembuktian. Pembuktian mengenai ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan serta mengatur alat-alat bukti yang di benarkan dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah cara atau proses hukum yang dilakukan untuk mempertahankan dalil-dalil dengan alat bukti yang ada sesuai hukum acara yang berlaku. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakn bagian yang terpenting acara pidana.5

Pengertian tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana, jadi dalam arti luas hal ini berhubungan dengan pembahasan masalah deliquensi, deviasi, kualitas kejahatan berubah-ubah, proses kriminalisasi dan deskriminasi suatu tindakan atau tindak pidana mengingat tempat, waktu, kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup orang (berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebudayaan pada masa dan di tempat tertentu).6

Lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah bagian hak masyarakat untuk menikmatinya, sehingga permasalahan lingkungan hidup merupakan persoalan yang serius karena telah menjadi isu internasional yang sangat

4

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya, Bandung, Hlm. 73

5

Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif,

Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 94

6

(17)

penting dalam proses globalisasi disamping hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.

Persoalan serius tersebut juga terjadi di Indonesia sehingga penyelesaiannya dalam kerangka negara hukum dilakukan berdasarkan peraturan nasional yang mengatur tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan langkah awal, peraturan hukum lingkungan di Indonesia yang kemudian mengalami perubahan dengan lahirnya Undang-Undang no. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Penerapan sanksi hukum pidana lingkungan adalah sebagai cara mewujudkan hukum dalam kenyataan konkret untuk tetap menjaga lingkungan,7 agar penerapan sanksi hukum pidana itu dapat efektif maka harus melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat/badan penegak hukum, dan faktor kesadaran hukum. Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, dan budaya hukum.

2. Konseptual

a. Penerapan pidana adalah pertanggungan terhadap pemidanaan petindak yang telah melakukan tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang.8

7

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, Hlm. 157

8

(18)

b. Sanksi pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja diberikan kepada orang telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang bersifat tetap.9

c. Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan.10

d. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah di tetapkan.

e. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.11

E. Sistematika Penulisan

I. PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini memuat latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini pada dasarnya berisi telaah kepustakaan sebagai berikut pengertian penegakan hukum pidana, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan

(19)

hukum, pengertian hukum lingkungan hidup dan pengertian perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang metode penelitian yang digunakan, yang terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengelolaan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas mengenai hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, yang meliputi karakteristik responden, pertimbangan hakim dalam putusan perkara, dan pertanggung jawaban pelaku dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup.

V. PENUTUP

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana

Hukum pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga

stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan

merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembng sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.

Pengertian tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana, jadi dalam arti luas hal ini berhubungan dengan pembahasan masalah deliquensi, deviasi, kualitas kejahatan berubah-ubah, proses kriminalisasi dan deskriminasi suatu tindakan atau tindak pidana mengingat tempat, waktu, kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup orang (berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebudayaan pada masa dan di tempat tertentu).1

1

(21)

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau

kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan yang seperti terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkrit. Mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar fait) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut:

a. Menurut Simons, tindak pidana adalah “kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggungjawab”.2

b. Menurut Van Hamel, tindak pidana adalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet (undang-undang-pen), yang bersifat melawan

hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan”.3

c. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana merupakan sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum dan akan terbukti bahwa yang dihukum itu bukan perbuatannya, melainkan pelaku perbuatannya atau manusia selaku persoon.4

d. Menurut Mr. W. P. J. Pompe merumuskan secara teori tentang tindak pidana sebagai suatu pelanggaran norma atau suatu gangguan terhadap

2

Moeljanto, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1987, Hlm. 56

3

Moeljanto, Ibid, Hlm. 43

4

(22)

ketertiban umum, baik yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang pelaku, dalam mana penjatuhan sanksi pidana tersebut dimaksudkan untuk tetap terpeliharanya ketertiban hukum dan terjaminnya kepentingan umum.5

Hukum dapat juga diartikan penyelenggaraan hukum oleh petugas penegak hukum dan oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan sesuai dengan kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku. Bila dikaitkan dengan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dapat dikatakan selama ini hukum cukup melindungi lingkungan hidup, namun dalam hal penegakkan hukumnya masih kurang memberikan perhatian dan perlindungan terhadap lingkungan hidup dari pencemaran dan/atau perusakan yang dilakukan oleh manusia maupun industri-industri.

Soerjono Soekanto menyatakan, bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.6

Dengan demikian, penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta perilaku nyata manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya. Perilaku

5

Bambang Poernomo, Dalam Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, Hlm. 91

6

(23)

sikap dan tindakan itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian.

Dalam menganalisis masalah hukum, persoalannya tidak terlepas dari beroperasinya tiga komponen sistem hukum (legal system) yang menurut Lawrence M. Friedman, terdiri dari komponen “struktur, substansi, dan

kultur”.7 Komponen struktur adalah bagian-bagian yang bergerak dalam suatu

mekanisme, misalnya pengadilan. Komponen substansi merupakan hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum dan meliputi pula kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis. Sedangkan komponen kultur adalah nilai dan sikap yang mengikat sistem hukum itu secara bersamaan dan menghasilkan suatu bentuk penyelenggaraan hukum dalam budaya masyarakat secara keseluruhan.

Menurut Friedman, komponen kultur memegang peranana yang sangat penting dalam menegakkan hukum. Adakalanya tingkat penegakan hukum pada suatu masyarakat sangat tinggi, karena didukung oleh kultur masyarakat, misalnya melalui partisipasi masyarakat (publik participation) yang sangat tinggi pula dalam usaha melakukan pencegahan kejahatan, melaporkan dan membuat pengaduan atas terjadinya kejahatan, melaporkan dan membuat pengaduan atas terjadinya kejahatan lingkungannya dan kerja sama dengan aparat penegak hukum dalam usaha penanggulangan kejahatan, meskipun

7

(24)

komponen struktur dan substansinya tidak begitu baik dan bahkan masyarakat tidak menginginkan, prosedur formal itu diterapkan sebagaimana mestinya.8

Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari penyelesaiannya masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat, tidak seluruhnya diselesaikan melalui prosedur berdasar ketentuan hukum positif yang berlaku. Penyelesaian kasus banyak pertimbangan-pertimbangan untuk menyelesaikannya tanpa diajukan ke pengadilan, ini menandakan bahwa yang diinginkan oleh masyarakat sebenarnya bukan pada menegakkan hukumnya, akan tetapi pada nilai-nilai ketentraman dan kedamaian masyarakat. Menurut pandangan masyarakat alur penyelesaian melalui hukum atau pengadilan tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan seringkali memperluas pertentangan dan rasa tidak senang antar warga masyarakat yang berperkara.

Menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan, yang identik dengan penegakan hukum pidana, dapat ditempuh dengan menggunakan pendekatan kebijakan, dalam arti:9

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik osial; b. Ada keterpaduan (integralitas) anatara upaya penanggulangan kejahatan

dengan “penal” dan “non-penal”.

Keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial sebenarnya telah jelas diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 yang merumuskan tujuan nasional antara lain melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan

(25)

kesejahteraan umum. Dalam UUD 1945, khususnya Pasal 33 dengan penjelasannya juga merumuskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Asas kekeluargaan dalam sistem perekonomian itu tidak lain adalah terciptanya kondisi yang seimbang, selaras dan serasi antara kepentingan pemerintah, pengusaha dan masyarakat tanpa mengabaikan kepentingan salah satu pihak.

B. Dasar- dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Pidana

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di dalam perkara pidana hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa kesalahan yang di anggap telah terbukti, di samping itu adanya alat bukti menurut Undang-undang juga di tentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.10

Hakim dalam menjatuhkan putusan cendrung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat Yuridis dibandingkan pertimbangan non Yuridis. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dijelaskan tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Pasal 8 ayat (2) : Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan juga sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

10

Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif,

(26)

Kemudian dalam Pasal 53 ayat (2) menyatakan bahwa : Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud dalam pemeriksaan dan memutuskan perkara harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

Hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan teori pembuktian. Pembuktian mengenai ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan serta mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah cara atau proses hukum yang dilakukan untuk mempertahankan dalil-dalil dengan alat bukti yang ada sesuai hukum acara yang berlaku. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang di dakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.

Menurut Sudarto, sebelum hakim menentukan perkara terlebih dahulu ada serangkaian pertimbangan yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut :

a. Keputusan mengenai perkaranya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan dapat dipidana.

c. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.11

11

(27)

Menurut M. Rusli untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana, hakim membuat pertimbangan-pertimbangan yang bersifat yuridis yaitu pertimbangan yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap didalam persidangan dan Undang-undang yang ditetapkan sebagai berikut :

a. Dakwaan jaksa penuntut umum. b. Keterangan saksi.

c. Keterangan terdakwa. d. Barang bukti.

e. Pasal-pasal dalam Undang-undang tindak pidana.12

C. Teori- teori Pertanggungjawaban Pidana

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar- dasar dan aturan untuk:13

1. perbuatan- perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal- hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan- larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

(28)

Pengertian tersebut adalah salah satu pendapat ahli mengenai hukum pidana. Dari pengertian itu dapat diketahui bahwa hukum pidana mengatur mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pidana. Masalah pertanggungjawaban pidana tidak dapat dipisahkan dengan pelaku tindak pidana dan kesalahan (Mens Rea).

Mengenai subyek atau pelaku perbuatan pidana secara umum hukum hanya mengakui sebagai pelaku, sedangkan pertanggungjawaban pidana dianut asas kesalahan, yang berarti untuk dapat menjatuhkan pidana kepada pembuat delik samping harus memenuhi unsur- unsur rumusan delik juga harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab.14 Dengan adanya atau berlakunya asas kesalahan tersebut, tidak semua atau belum tentu semua pelaku tindak pidana dapat dipidana. Misalnya, orang gila telah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap seseorang anak yang sedang bermain. Orang gila tersebut tidak dapat dipidana karena tiodak memiliki kemampuan bertanggungjawab sebagai unsur dari kesalahan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 44 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:

“barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat di pertanggungjawab

padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau

terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Adapun unsur- unsur dari kesalahan itu sendiri selain kemampuan bertanggungjawab yaitu unsur kesengajaan (dolus/opzet) dan kelalaian

14

(29)

(culpa/alpa), serta unsur tidak ada lasan pemaaf. Unsur- unsur kesalahan tersebut dijelaskan satu persatu sebagai berikut:

1. Kemampuan bertanggungjawab

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur pertama dari kesalahan yang harus terpenuhi untuk memastikan bahwa pelaku tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau dapat dipidana. Kemampuan bertanggungjawab biasanya dikaitkan dengan keadaan jiwa pelaku tindak pidana, yaitu bahwa pelaku dalam keadaan sehat jiwanya atau tidak pada saat melakukan tindak pidana.

Menurut Moeljiatno,15 dari ucapan- ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:

1. Kemampuan untuk membeda- bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Yang pertama merupakan faktor akal (intelectual factor) yaitu dapat membeda- bedakan anatara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu

15

(30)

dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.16

Pasal yang mengatur mengenai kemampuan bertanggungjawab ini adalah Pasal 44 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu berdasarkan undang- undang ada beberapa hal yang menyebabkan pelaku tindak pidana tidak mampu bertanggungjawab, misalnya masih dibawah umur, ingatannya terganggu oleh penyakit, daya paksa, pembebanan terpaksa yang melampaui batas. Apabila keadaan- keadaan tersebut melekat paada pelaku tindak pidana, maka undang- undang memafkan pelaku sehingga ia terbebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

2. Kesengajaan (Dolus/Opzet) dan Kealpaan (Culpa/Alpa)

Kesengajaan (Dolus/Opzet) dan Kealpaan (Culpa/Alpa) merupakan unsur kedua dari kesalahan dimana keduanya merupakan hubungan batin antara pelaku tindak pidana dengan perbuatan yang dilakukan. Mengenai kesengajaan (dolus/opzet), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan pengertian. Namun pengertian kesengajaan dapat di ketahui dari MvT (Memorie van Toelichting), yang memberikan arti

kesengajaan sebagai “menghendaki dan mengetahui”.

Hukum pidana mengenal beberapa teori yang berkaitan dengan kesengajaan (dolus/opzet) yaitu :

16

(31)

a. Teori Kehendak (Wilstheorie)

Inti dari kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

b. Teori Pengetahuan atau Membayangkan

Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya suatu perbuatannya, orang tidak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya.17

Kesengajaan (dolus/opzet) memiliki 2 bentuk yaitu :

1. Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan (opzet alsoogmerk) atau dolus directus.

2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zeker heid sbewustzijn).

Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (voorwaardelijk opzet) atau dolus eventualis. Membicarakan mengenai kelalaian (culpa/alpa),

meskipun pada umumnya setiap kejahatan diperlukan unsur kesengajaan tidak terpenuhi dan yang terpenuhi adalah unsur kelalaian/kealpaan juga dapat dipidana.

Menurut Van Hamel, kealpaan mengandung dua syarat yaitu:

1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.

2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

17

(32)

Keterangan resmi dari pembentuk KUHP mengenai persoalan mengapa culpa juga diancam dengan pidana, walaupun lebih ringan, adalah berbeda

dengan kesengajaan atau dolus yang sifatnya “menentang larangan justru

dengan melakukan perbuatan yang dilarang”. Dalam hal kealpaan atau

culpa si pelaku “tidak begitu mengindahkan adanya larangan”.18

3. Tidak ada alasan pemaaf

Menurut doktrin hukum pidana, penyebab tidak dipidananya si pembuat tersebut dibedakan dan dikelompokan menjadi dua dasar, yakni :

1. Dasar pemaaf (schulduits luitings gronden), yang bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat.

2. Dasar pembenar (rechts vaarding ings gronden), yang bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain diluar batin si pembuat.19

Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.20

Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah

18

Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 106-107.

26

Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana II, Raja Grefindo Persada, Jakarta, hal. 18.

20

(33)

dilakukannya atau criminal responsibility. Alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal.

D. Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup

Ekosistem sebagai sarana penunjang kesinambungan lingkungan hidup apabila tidak terganggu oleh ulah manusia, maka lingkungan hidup akan tetapi lestari terpelihara keserasian dan keseimbangannya. Walaupun ada gangguan karena aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya apabila kadarnya dalam batas toleransi kemampuan ekosistem maka secara alamiah akan menetralisir dan memulihkannya seperti kesan semula, tetapi apabila aktivitas manusia berlebihan akan menimbulkan pencemaran, kerusakan dan pada akhirnya menimbulkan bencana yang menurut isu internasional adalah:

1. Permasalahan global yang menyebabkan perubahan iklim secara global dan kenaikan permukan laut, akibatnya hujan akan bertambah/berkurang tergantung daerahnya frekuensi badai/topan mengikat, banyak jenis binatang punah, daerah rendah tenggelam.

(34)

3. Ozon yang melindungi kehidupan dibumi dari sinar intra violet bergelombang dan beresensi tinggi menjadi berlubang akibat penggunaan zat kimia klorofluorokarbon (CFC) yang digunakan tiap hari dalam bentuk AC, kulkas, mesin pembeku, dan lain-lain. Lubang ozon menimbulkan penyakit kanker kulit, penyakit mata katarak dan menurunkan imunisasi tubuh manusia serta menurunkan produksi pertanian dan perikanan.

4. Sedangkan akibat yang sudah dirasakan sekarang ini adalah perubahan iklim yang tidak menentu, banjir, gempa bumi, dan sebagainya.

Salah satu upaya mengantisipasi dampak negatif akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah melalui upaya penegakan hukum lingkungan. Dalam penegakan hukum lingkungan, hal yang mendasar dan memerlukan pemahaman yang mendalam adalah pemahaman mengenai:

“bagaimanakah mengenali atau mengetahui bahwa lingkungan hidup telah

rusak atau tercemar?”. Menurut Pasal 1 sub 14 UUPLH yang dimaksud

dengan pencemaran lingkungan hidup adalah: “masuknya atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan /atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Dengan demikian Pasal 1 sub 14 ini memuat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup;

(35)

c. Menimbulkan penurunan “kualitas lingkungan” sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Sedangkan Pasal 1 sub 16 UUPLH memberikan peringatan perusakan

lingkungan hidup, sebagai berikut: “Perusakan lingkungan hidup adalah

tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.”

Dengan demikian Pasal 1 sub 16 memuat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Adanya tindakan;

b. Yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup;

c. Yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Dengan adanya kedua rumusan yang diterapkan secara tegas dalam UUPLH di atas, maka ada beberapa pihak yang menilai bahwa perumusan tersebut kurang tepat. Di antaranya ada yang menilai bahwa perumusan tersebut agak

lemah, karena hanya mengatur perkara lingkungan hidup yang “over aktif”

saja, yaitu hanya mengaitkan pada pencemaran atau perusakan lingkungan, sehingga kurang menjangkau luas kepentingan lingkungan hidup lain.21

21

(36)

Dalam pihak lain ada yang menilai perumusan tersebut terlalu luas, sehingga dapat mengundang berbagai penafsiran yang akhirnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, dengan memberikan beberapa pertanyaan: “Kapankah

dikatakan ada “perubahan lingkungan”, “menurunnya kualitas lingkungan

sampai derajat tertentu” atau “lingkungan menjadi kurang/tidak berfungsi lagi

sesuai dengan peruntukkannya atau dalam menunjang pembangunan yang

berkelanjutan?”. Memang didasari bahwa perumusan tindak pidana

lingkungan yang terperinci yang menyangkut segi-segi lingkungan hidup ini adalah tidak mudah. Sebab materi mengenai bidang lingkungan sangat luas, mencangkup segi-segi dari ruang angkasa sampai keperut bumi, dan meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non-hayati dan sumber daya buatan. Bidang yang demikian luas tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu undang-undang, tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan dengan arah dan ciri yang serupa.22

E. Tindak Pidana yang Ditentukan oleh Undang-Undang Lain yang

Berkaitan dengan Lingkungan Hidup

Sesuai dengan ketentuan Pasal 50 dalam Ketentuan Penutup yang

menyatakan “Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungabn hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini”.

22

(37)

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lingkungan hidup sampai saat ini sudah cukup banyak, baik yang ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia (yang masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945) maupun peraturan yang ada setelah kemerdekaan, termasuk peraturan yang dibuat setelah adanya Undang-Undang Lingkungan Hidup 1982. Peraturan perundang-undangan ini tersebar dalam berbagai bentuk peraturan, seperti: Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati, dan sebagainya.23

Dengan demikian berdasarkan Pasal 50 UULPH, maka tindak pidana yang berkaitan dengan lingkungan hidup yang diatur oleh peraturan perundang-undangan lain di luar UUPLH dapat dibagi dalam tiga kelompok sesuai dengan kurun waktu penetapannya, yaitu:

1. Tindak Pidana Lingkungan Hidup sebagai Produk Hukum Sebelum

Kemerdekaan

a. Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). 1. Pasal 187 yang menyatakan:

Barangsiapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:

Ke-1. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang;

23

(38)

Ke-2. Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain;

Ke-3. Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang.

2. Pasal 188:

Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika kerenanya timbul bahaya umum bagi barang, jika karenannya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya diakibatkan matinya orang.

3. Pasal 202:

(1) Barangsiapa memasukkan barang sesuatu kedalam sumur, pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh, atau bersama-sama dengan orang lain, padahal diketahui bahwa karenanya air lalu berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(39)

4. Pasal 203:

(1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang sesuatu dimasukkan kedalam sumur, pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama-sama dengan orang lain, sehingga karenanya air lalu berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu tahun.

5. Pasal 502:

(1) Barangsiapa tanpa izin penguasa yang wewenang untuk itu, memburu atau membawa senjata api ke dalam hutan negara, dimana dilarang untuk itu tanpa izin, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak dua ratus rupiah. (2) Binatang yang ditangkap atau ditembak serta perkakas dan senjata

yang telah digunakan dalam pelanggaran dapat dirampas.

6. Pasal 503:

(40)

Ke-1 Barangsiapa membikin kegaduhan atau memberisikkan tetanggga, sehingga ketentraman malam hari dapat terganggu.

Ke-2 Barangsiapa membikin kegaduhan di dekat bangunan untuk menjalankan ibadah yang dibolehkan atau untuk sidang pengadilan, di waktu ada ibadah atau sidang.

b. Dalam Hinderordonnantie Stb. No. 226/1996 (Ordonasi Gangguan), yaitu dalam Pasal 15 yang menyatakan:

(1) Pemilik, pemegang bezit, pemakai atau pengurus suatu tempat kerja sebagai tersebut dalam Pasal 1, dihukum:

a. Dengan hukuman kurungan selama-lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus gulden, jika ia mendirikan atau menjalakan atau terus menjalankan suatu tempat kerja sebagai tersebut tadi tanpa izin yang dikehendaki atau pada tempat lain daripada yang diterangkan dalam izin itu atau jika ia berlaku berlawanan dengan larangan dalam Pasal 2 dan 3;

b. Dengan hukuman kurungan selama-lamanya dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya dua ratus lima puluh gulden, jika ia berbuat berlawanan dengan syarat-syarat yang ditetapkan.

(2) Tindakan pidana tersebut dalam ayat (1), dipandang sebagai pelanggaran.

(41)

c. Dalam Monumentenordonnantie Stb. No. 238/1931 (Ordonasi Monumen), yaitu dalam Pasal 12 yang menyatakan:

(1) Yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) atau (2) atau Pasal 9, yang tidak memenuhi kewajiban seperti yang dibebankan kepadanya berdasarkan Pasal 7 ayat (1) atau ayat (2) atau Pasal 8 ayat (1), begitu pula yang tidak memenuhi syarat-syarat yang diberikan berdasarkan Pasal 6 ayat (3) atau Pasal 9, dikenakan hukuman kurungan paling tinggi tiga bulan atau denda paling banyak lima ratus gulden.

(2) Jika tindak pidana itu dilakukan oleh atau disebabkan oleh badan hukum, maka penuntutan hukuman dan keputusannya dilakukan Pengadilan Negeri terhadap para pengurus atau para wakilnya yang berada di Indonesia.

(3) Barang-barang seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1) dan (2), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9, sepanjang barang-barang itu kepunyaan tedakwa, dapat disita untuk kepentingan negara. (4) Tindak pidana seperti termasuk pada ayat (1), tersebut dianggap

sebagai pelanggaran.

(42)

2. Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam Kurun Waktu Setelah

Kemerdekaan sampai dengan Dibentuknya UULH 1982

Tindak pidana dalam kelompok ini merupakan tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional, yaitu yang ditetapkan /diundangkan dalam kurun waktu setelh kemerdekaan sampai dengan tahun 1982 (sebelum berlakunya UULH). Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain adalah:

a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria),

yaitu dalam Pasal 52 ayat (1): ”Barangsiapa dengan sengaja melanggar

ketentuan dalam Pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi –tingginya Rp. 10.000.-“

Sedangkan Pasal 15 yang dimaksudkan adalah mengatur tentang kewajiban pemeliharaan tanah, termasuk kesuburunnya serta mencegah kerusakannya.

b. Undang-Undang No.11 Tahun 1967 (Undang-Undang pokok Pertambangan), yaitu dalam Pasal 31 yang menyatakan:

(1) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah. Barangsiapa yang tidak mempunyai kuasa pertambangan melakukan usaha pertambangan seperti dimaksud dalam Pasal 14 dan 15.

(43)

kewajiban-kewajiban terhadap yang berhak atas tanah menurut undang-undang ini.

Sedangkan Pasal 14 dan 15 yang dimaksud adalah tentang usaha-usaha pertambangan yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan, pengangkutan dan penjualan.

c. Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 (tentang Landas Kontinen Indonesia), yaitu dalam Pasal 11 yang menyatakan:

“Kecuali tidak diatur secara khusus oleh undang-undang lain, diancam

dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) barangsiapa tidak mematuhi:

1. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 undang-undang ini;

2. Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang diterapkan berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 8 undang-undang ini”.

Pasal 4 mengatur tentang eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam. Pasal 5 mengenai penyelidikan ilmiah atas kekayaan alam. Pasal 8 mengatur tentang kewajiban untuk mencegah terjadinya pencemaran air laut dilandas kontinen Indonesia dan udara di atasnya, serta mencegah meluaasnya pencemaran jika terjadi pencemaran.

d. Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Dalam Pasal 15-nya di15-nyatakan:

(44)

a) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pengusahaan air dan atau sumber-sumber air yang tidak berdasarkan perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan serta pembangunan pengairan sebagaimana tersebut dalam Pasal 8 ayat (1) undang-undang ini;

b) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pengusahaan air dan atau sumber-sumber tanpa izin dari pemerintah sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ayat (2) undang-undang ini;

c) Barangsiapa yang sudah memperoleh izin dari pemerintah untuk pengusahaan air dan atau sumber-sumber air sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ayat (2) undang-undang ini, tetapi dengan sengaja tidak melakukan dan atau dengan sengaja tidak ikut membantu dalam usaha-usaha menyelamatkan tanah, air, umber-sumber air dan bangunan-bangunan pengairan sebagaimana tersebut dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, b, c, dan d undang-undang ini.

(2) Perbuatan pidana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah kejahatan. (3) Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan terjadinya pelanggaran

atas ketentuan tersebut dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1) huruf a, b, c, dan d undang-undang ini, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).

(45)

pengairan serta pembangunan pengairan. Pasal 11 yang dimaksud adalah pengusahaan air dan sumber-sumber air yang dilakukan oleh badan hukum, badan sosial dan atau perorangan harus memperoleh izin dari pemerintah.

3. Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan Setelah UULH 1982

dan UULPH 1997

Peraturan perundang-undangan mengenai ketentuan pidana yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang ditetapkan atau diundangkan setelah adanya UULH 1982 dan UUPLH 1997 antara lain sebagai berikut:

a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 (tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), yaitu dalam Pasal 16 ayat (1) yang menyatakan:

“Barangsiapa melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan

ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, dan Pasal 7 dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp. 225.000.000,- (dua ratus dua puluh lima juta rupiah).

Pasal 5 yang dimaksud adalah mengenai izin untuk melakukan eksploitasi dan atau eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan ekonomi lainnya di Zona Eksklusif Indonesia.

(46)

b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 (tentang Perindustrian), yaitu dalam Pasal 27 yang menyatakan:

(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

(2) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 21 ayat (1) yang dimaksud adalah mengenai kewajiban perusahaan industri untuk melaksanakan keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta mencegah timbulnya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.

c. Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 (tentang Perikanan), yaitu dalam Pasal 24 yang menyatakan:

“Barangsiapa di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia

sebagaimana dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- (seratus juta

(47)

Pasal 6 ayat (1) yang dimaksud adalah mengenai larangan melakukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan dan atau alat yang membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.

Pasal 19 ayat (1) yang dimaksud adalah mengenai larangan melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan suaka alam. Pasal 21 ayat (1) yang dimaksud pada intinya adalah larangan untuk mengambil, menggunakan dalam bentuk atau cara apapun tumbuh-tumbuhan yang dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati.

(48)

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan menelaah dan mengkaji konsep-konsep, teori-teori serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penerapan sanksi hukum pidana terhadap perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataannya, baik berupa penilaian, perilaku, pendapat, dan sikap yang berkaitan dengan penerapan sanksi hukum pidana terhadap perusakan lingkungan hidup.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian di lapangan. Data primer ini didapatkan dengan cara melakukan wawancara dengan Hakim pada Pengadilan Negeri Bandar Lampung dan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

(49)

dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penerapan sanksi pidana terhadap perusakan lingkungan hidup. Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengkait, antara lain: UU NO. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU NO. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, dan jurnal, koran, buku-buku.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, bibliografi, dan sebagainya.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah seluruh orang yang memberi atau mengetahui secara jelas untuk menjadi sumber informasi yang valid.1 Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah Hakim yang ada di Pengadilan Negeri Bandar Lampung dan Jaksa yang ada di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung kemudian akan dipilih untuk dijadikan sampel dalam penelitian yang dilakukan. Pemilihan sampel tersebut dilakukan dengan menggunakan metode tertentu.

1

(50)

Penentuan sampel, digunakan metode purposive sampling, yaitu penentuan sekelompok subjek yang didasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan yang telah ditetapkan serta sesuai ciri-ciri tertentu pada masing-masing responden yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi.

Berdasarkan metode sampling tersebut di atas, maka yang menjadi sampel/responden dalam penelitian ini adalah:

1. Jaksa pada Kejaksaan Negeri B. Lampung : 1 orang. 2. Hakim pada Pengadilan Negeri B. Lampung : 1 orang. +

J u m l a h : 2 orang.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: a. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi, dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip buku-buku atau literatur yang berhubungan dengan penerapan sanksi pidana terhadap perusakan lingkungan hidup.

b. Studi Lapangan

(51)

wawancara terpimpin, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu dan dilakukan wawancara secara langsung dengan responden.

2. Pengolahan data

a. Editing, yaitu data yang diperoleh dari penelitian diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, kejelasan, dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Interprestasi, yaitu menghubungkan, membandingkan, dan menguraikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian, untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan, sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis data

Data yang diperoleh dari penelitian, dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian, dengan menguraikan secara sistemtis untuk memperoleh kejelasan dan memudahkan pembahasan. Berdasarkan hasil analisis data tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan metode indukatif, yaitu suatu metode penarikan data yang didasarkan pada fakta-fakta

(52)

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam memutus perkara Nomor :121/PID/B-2008/PN.TK, yaitu dengan melihat unsur- unsur dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal- hal yang memberatkan, sikap prilaku terdakwa dalam persidangan. Selain itu juga bukti- bukti yang sudah cukup yaitu, keterangan saksi, pengambilan sempel air limbah dan air sungai, dan surat- surat lain yang ditunjukan dipersidangan.

2. Pertanggungjawaban pelaku dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan putusan Nomor : 121/PID/B-2008/PN.TK, menggunakan Undang- undang Nomor 23 tahun 1997 yang didakwakan kepada terdakwa dengan ancaman sanksi penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), namun dalam Undang- undang 32 Tahun 2009 ancaman sanksi penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.5000.000.000,-(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,-(lima belas miliar rupiah).

(53)

(dua ratus juta rupiah) subsidiair 6 (enam) bulan, menjadi selama 1 (satu) tahun, dan denda Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidiair 6 (enam) bulan.

Peringanan sanksi pidana yang diputus oleh hakim dari dakwaan jaksa terjadi karena dalam KUHP Indonesia sendiri tidak memuat pedoman pemberian pidana straftoemetingsleiddraad yang umum, yang artinya suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang- undang yang memuat asas- asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada.

B. Saran

1. Hakim harus memutuskan suatu perkara dengan benar- benar melihat semua aspek berdasarkan hukum, kebenaran, dan keadilan. Agar keadilan yang sebenar- benarnya dapat tercapai dan dirasakan semua pihak hakim harus lebih mempertimbangkan lagi secara matang setiap putusan yang akan diambil, karena putusan hakim mempunyai posisi sentral bagi pelaku, korban, dan masyarakat.

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Andrisman Tri, 2009, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Arief Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hanitijo Soemitro Ronny, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hardjasoemantri Koesnadi,1996, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Harun Husein M., 1995 Lingkungan Hidup, Masalah, Pengelolaan, dan Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta.

Kanter E. Y. dan Sianturi S. R., 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.

Lamintang P. A. F, 2000, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.

Moeljanto, 1987, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

Moeljatno, 1987, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina aksara, Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Munadjad Danusaputra Munadjad, 1985, Hukum Lingkungan, Binacipta, Jakarta. Poernomo Bambang, 2002, Dalam Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,

Jakarta.

(55)

Akibat Limbah Industri di Provinsi Lampung, Universitas lampung, Bandar Lampung.

Rahardjo Satjipto, 1993, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung. Sianturi S. R., 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Storia Grafika, Jakarta.

Soekanto Soerjono, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta.

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, Semarang.

Wahjono Padmo, 1989, Kerangka Landasan Pembangunan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Undang-undang

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Kamus

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pusat Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

(sambil menunjuk lubang hidungnya) Jawaban Syifa “ warna apa?” setelah mendengar pertanyaan “ Syifa suka warna apa?” melanggar maksim relevansi, karena jawaban tidak

(Bagian ini berlaku untuk semua pekerja yang dipekerjakan oleh Mitra Akses Pasar. Para petani kecil yang terdaftar yang secara struktural tergantung pada buruh tani dan

Untuk membantu proses pengeringan gabah yang lebih merata perlu dilakukan proses pembalikan atau pengadukan gabah, pada mesin pengering padi tersebut terdapat pengaduk yang

Pada umumnya siswa menyatakan bahwa dengan belajar kelompok, siswa lebih mudah memahami materi pelajaran yang sedang dibahas, pada umumnya siswa menyatakan bahwa

yang digunakan dalam menyusun satua sangat baik Kosa kata yang digunakan dalam menyusun satua sudah baik Kosa kata yang digunakan dalam menyusun satua cukup baik

Berdasarkan hasil penelitian dan manfaat yang diperoleh, maka beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut 1) Perlu dilakukan penelitian lanjutan

Untuk menunjang proses monitoring, pengendalian dan evaluasi yang cepat, tepat dan efisien dalam penanganan bencana dan keadaan darurat, maka diperlukan suatu

Dengan demikian perlu dilakukan evaluasi kinerja ruas jalan akibat aktivitas samping jalan di sekitar pasar untuk mengetahui kinerja jalan akibat adanya hambatan samping