• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cognitive Behaviour Therapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Remaja Gay

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Cognitive Behaviour Therapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Remaja Gay"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

REMAJA

GAY

TESIS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Magister Psikologi Profesi

Oleh

AYU WARDANI

117029014

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

KEKHUSUSAN KLINIS ANAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh

Nama : Ayu Wardani NIM : 117029014

Kekhususan : Psikologi Klinis Anak

Judul Tesis : Cognitive Behaviour Therapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Remaja Gay.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada kekhususan Psikologi Klinis Anak Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, dihadapan para dewan penguji.

DEWAN PENGUJI

Penguji I/Pembimbing : Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, psikolog [ ] NIP 196501122000032001

Penguji II : Eka Ervika, M.Si, psikolog [ ]

NIP 197710142002122001

Medan, 11 Februari 2014

Koordinator Program Pasca Sarjana Dekan Fakultas Psikologi USU Fakultas Psikologi USU

Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, psikolog Prof. Dr. Irmawati, psikolog

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya bahwa tesis yang saya susun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Psikologi dari Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara adalah hasil karya saya sendiri.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis saya yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam tesis ini, saya bersedia menerima sanksi lainnya dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 11 Februari 2014

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

ridhonya saya bisa menyelesaikan tesis ini. Peyusunan tesis dengan judul

Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis

Remaja Gay” dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi di Fakulatas Psikologi Universitas Sumatera Utara Medan.

Ucapan terimaksih yang tidak ternilai juga penulis sampaikan kepada orangtua, yaitu Mulyono dan Maimunah, untuk semua dukungan moril dan materi sehingga saya bisa menyelesaikan program Magister Psikologi Profesi ini.

Penulis menyadari bahwa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa awal perkuliahan hingga pada penyusunan tesis ini, sehingga

penulis ingin berterima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M. Si selaku dekan Fakultas Psikologi.

2. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, Psikolog selaku koordinator program

Magister Psikologi Profesi sekaligus selaku pembimbing tesis atas ilmu, saran, nasehatnya serta semangat untuk dapat menyelesaikan tesis ini

sebaik-baiknya.

3. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen penguji atas saran, ilmu dan dorongan yang diberikan

(5)

4. Keluarga besar Magister Psikologi Profesi atas berbagai bantuan yang

telah diberikan kepada selama proses pendidikan di Magister Psikologi Profesi.

5. Keluarga saya, abang dan kakak yang telah memberikan dukungan materi dan semangat untuk tetap melanjutkan program Magister Psikologi Profesi ini.

6. Alm. Citra Mustika yang telah menjadi sahabat dan kakak selama saya menjalani masa perkuliahan. Tesis ini salah satunya ayu persembahkan

untuk “tante”. Semoga diberikan kelapangan oleh Allah disana dan tetap

tersenyum.

7. Teman-teman KLAbers, Umi Nila Anggreiny yang selalu memberikan

pencerahan dan dorongan disaat penulis mulai menyerah. Terimakasih telah sabar menghadapi ayu, Umi. Teriakasih juga penulis sampaikan

kepada kak Rahma Mutiah, kak Septi Mayang Sari, kak Winida Marpaung, kak Yulinda Septiani Manurung dan juga bang Nasrizulhaidi untuk semua bantuan dan dukungan, serta semangat yang tidak

berkesudahan yang diberikan kepada penulis. Terimakasih atas kebersamaan kita, kisah-kisah yang tidak terlupakan yang memberi energi

untuk terus berjuang.

8. Teman-teman MP2 angkatan 2011 yang telah memberi warna selama

(6)

9. Sahabat-sahabat saya, Eky Juliany Famy Lubis, Indah Permatasari

Nasution, dan Yasra Hayati Sirait. Meskipun sudah lama sekali kita tidak berkumpul bersama, doa dan dukungan semangat kalian tetap menguatkan

penulis.

10.Semua klien dan orang tua klien mulai dari penyelesaian kasus hingga tesis yang sangat memberikan pelajaran berarti bagi penulis berusaha

pantang menyerah dan bersyukur terhadap semua kelebihan dan keterbatasan yang diberikanNya.

11.Terima Kasih juga penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Akhir kata, penulis berharap agar Allah dapat membalas segala kebaikan saudara-saudara semuanya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum cukup

sempurna, untuk itu penulis menharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian ini serta penulis berharap kiranya hasil dari penelitian ini nantinya akan bermanfaat bagi perkembangan dunia psikologi

khususnya di bidang klinis anak.

Medan, Februari 2014

(7)

DAFTAR ISI

COVER ...i

LEMBAR PENGESAHAN ...ii

LEMBAR PERNYATAAN ...iii

KATA PENGANTAR ...iv

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GAMBAR ...xi

ABSTRAK ...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Perumusan Masalah ...14

C. Tujuan Penelitian ...15

D. Manfaat Penelitian ...15

1. Manfaat teoritis ...15

2. Manfaat praktis...16

E. Sistematika penulisan ...16

BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis ...18

1. Definisi Kesejahteraan Psikologis...18

2. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis ...18

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ...21

B. Cognitive Behavior Therapy ...23

1. Definisi dan Konsep Dasar Cognitive Behavior Therapy ...23

(8)

3. Teknik-teknik dalam Cognitive Behavior Therapy ...27

C. Gay dan Pembentukan Identitas Seksual pada Gay ...28

1. Definisi Gay ...28

2. Definisi dan Proses Pembentukan Identitas Seksual (Coming Out) .29 D. Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Gay yang Menjalani Proses Pembentukan Identitas Seksual ...31

E. Efektifitas Cognitive Behavior Therapy untuk meningkatkan Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Gay yang Menjalani Proses Pembentukan Identitas Seksual ...33

F. Hipotesa Penelitian...36

BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian ...37

B. Variabel Penelitian ...37

1. Kesejahteraan psikologis ...37

2. Cognitive behavioural therapy ...38

C. Subjek Penelitian ...38

D. Alat Ukur Penelitian ...39

E. Prosedur Penelitian...40

1. Tahap persiapan penelitian ...40

2. Tahap pelaksanaan penelitian ...44

3. Tahap evaluasi ...62

F. Analisis Data ...62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ...63

1. Subjek A ...63

2. Subjek B ...65

B. Hasil Analisis Data ...67

1. Analisis data secara umum ...67

(9)

3. Analisis data individual ...69

a. Hasil analisis data subjek A ...70

b. Hasil analisis data subjek B...78

C. Pembahasan ...83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...89

B. Saran ...91

1. Saran Metodologis ...91

2. Saran Praktis...91

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis ...39 Tabel 3.2. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis ...40 Tabel 3.3. Kategorisasi Dimensi Kesejahteraan Psikologis ...40 Tabel 3.4. Rancangan Terapi CBT Untuk Meningkatkan Kesejahteraan

Psikologis ...42 Tabel 3.5. Rincian Kegiatan CBT Untuk Meningkatkan Kesejahteraan

Psikologis ...43 Tabel 3.6. Jadwa Pertemuan Terapi CBT Responden A ...44 Tabel 3.7. Jadwal Pertemuan Terapi CBT Responden B ...45

Tabel 3.7. Gambaran Kegiatan Pelaksanaan Terapi CBT Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis ...46

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2. Kerangka Berpikir ... 35

Gambar 4.1. Grafik Perbandingan Skor Kesejahteraan Psikologis Subyek ... 67 Gambar 4.2. Grafik Perbandingan Skor Dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 68 Gambar 4.3. Grafik Perbandingan Skor Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Subyek A ... 69 Gambar 4.4. Grafik PErbandingan Skor Dimensi Kesejahteraan Psikologis

(12)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Februari 2014

Ayu Wardani : 117029014

Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Remaja Gay.

X + 88 halaman; 2014

Bibliografi : 30 (1993 – 2013)

Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimen yang bertujuan menguji pengaruh terapi Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja gay. CBT adalah psikoterapi yang berfokus pada thought dan core beliefs yang menyebabkan distress emosional, yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengubah pemikiran atau kognisi yang irasional menjadi pemikiran yang lebih rasional. Peningkatan kesejahteraan psikologis dilihat dengan menggunakan skala Kesejahteraan Psikologis yang mengungkap penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Partisipan dalam penelitian adalah dua orang remaja gay yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis rendah. Pengukuran tingkat kesejahteraan psikologis dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Analisa data yang digunakan adalah dekriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh CBT untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis. Subjek A mengalami peningkatan skor dari rendah menjadi sedang pada dimensi penerimaan diri dan hubungan positif. Keempat dimensi lainnya, subjek A juga mengalami perubahan namun tidak terlalu banyak. Subjek B mengalami perubahan lebih baik untuk semua aspek.

(13)

ABSTRACT

Faculty of Psychology, University of Sumatera Utara February 2014

Ayu Wardani : 117029014

Cognitive Behavior Therapy to Improve the Psychological Well-Being in Gay Adolescent

X + 88 pages; 2014

Bibliography: 30 (1993-2013)

This study ia a pre-experimental research that aimed to examine the effect of Cognitive Behavior Therapy (CBT) in improving psychological well-being in gay adolescent. CBT is a psychotherapy that focuses on thought and core beliefs that cause emotional distress, which aims to assist individuals in changing irrational thoughts or cognitions become more rational thinking. Psychological well-being improvement seen using Psychological Well-Being Scale that reveals self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth.

Participants in the study were two gay adolescent who have low psychological well-being. Measurement of psychological well-being performed before and after treatment. Analysis of the data used is descriptive qualitative. The results of this study indicate that there is the effect of CBT to improve psychological well-being. On subject A, scores increased from low to medium on the dimensions of self-acceptance and positive relations. The other dimensions also changed but not too much. Subject B experienced a change for the better on all dimensions.

(14)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Februari 2014

Ayu Wardani : 117029014

Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Remaja Gay.

X + 88 halaman; 2014

Bibliografi : 30 (1993 – 2013)

Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimen yang bertujuan menguji pengaruh terapi Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja gay. CBT adalah psikoterapi yang berfokus pada thought dan core beliefs yang menyebabkan distress emosional, yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengubah pemikiran atau kognisi yang irasional menjadi pemikiran yang lebih rasional. Peningkatan kesejahteraan psikologis dilihat dengan menggunakan skala Kesejahteraan Psikologis yang mengungkap penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Partisipan dalam penelitian adalah dua orang remaja gay yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis rendah. Pengukuran tingkat kesejahteraan psikologis dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Analisa data yang digunakan adalah dekriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh CBT untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis. Subjek A mengalami peningkatan skor dari rendah menjadi sedang pada dimensi penerimaan diri dan hubungan positif. Keempat dimensi lainnya, subjek A juga mengalami perubahan namun tidak terlalu banyak. Subjek B mengalami perubahan lebih baik untuk semua aspek.

(15)

ABSTRACT

Faculty of Psychology, University of Sumatera Utara February 2014

Ayu Wardani : 117029014

Cognitive Behavior Therapy to Improve the Psychological Well-Being in Gay Adolescent

X + 88 pages; 2014

Bibliography: 30 (1993-2013)

This study ia a pre-experimental research that aimed to examine the effect of Cognitive Behavior Therapy (CBT) in improving psychological well-being in gay adolescent. CBT is a psychotherapy that focuses on thought and core beliefs that cause emotional distress, which aims to assist individuals in changing irrational thoughts or cognitions become more rational thinking. Psychological well-being improvement seen using Psychological Well-Being Scale that reveals self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth.

Participants in the study were two gay adolescent who have low psychological well-being. Measurement of psychological well-being performed before and after treatment. Analysis of the data used is descriptive qualitative. The results of this study indicate that there is the effect of CBT to improve psychological well-being. On subject A, scores increased from low to medium on the dimensions of self-acceptance and positive relations. The other dimensions also changed but not too much. Subject B experienced a change for the better on all dimensions.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG

Masa remaja merupakan masa bagi individu untuk mencari jati dirinya. Mereka menemukan, mengakumulasikan dan kemudian mengintegrasikan

peran-peran baru dan harapan akan peran-peran-peran-peran tersebut, dan kemudian mengidentifikasinya dalam dirinya (Newman & Muzzognigro, 1993). Ini

merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja, yaitu membentuk identitas diri (Hurlock, 1999). Bagi sebagian besar remaja, meskipun harus menghadapi tantangan-tantangan yang ada, mereka mampu melewati dan

menyelesaikan tugas perkembangan ini dengan cukup baik. Bagi remaja homoseksual, tugas ini cukup sulit. Remaja homoseksual harus mengenali dan

mengintegrasikan identitas homoseksual mereka (Newman & Muzzognigro, 1993), yang mana hal ini bertentangan dengan norma masyarakat.

Morrow (dalam Johns, 2009) menyatakan bahwa secara umum masa

remaja merupakan masa krisis dalam mengembangkan identitas dirinya, termasuk identitas seksual. Seperti remaja pada umumnya, remaja homoseksual juga

berusaha untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya dalam kelompoknya

namun ada perasaan ”berbeda” terkait dengan penerimaan sosial masyarakat

(17)

Orientasi seksual merupakan ketertarikan untuk menjalin hubungan

seksual dan romantis dengan orang lain (Lahet, 2004). Caroll (2005) membagi orientasi seksual menjadi tiga, yaitu heteroseksual, homoseksual dan biseksual.

Heteroseksual merujuk kepada ketertarikan terhadap jenis kelamin yang berbeda, sementara itu, homoseksual merujuk kepada ketertarikan terhadap jenis kelamin yang sama dan biseksual merujuk kepada ketertarikan kepada kedua jenis

kelamin. Heteroseksual disebut juga dengan istilah straight, dan wanita homoseksual disebut dengan lesbian, sedangkan pria homoseksual dikenal dengan

istilah gay (untuk selanjutnya homoseksual akan lebih dispesifikkan pada gay). Remaja gay mengembangkan identitas seksual dengan mengeksplorasi orientasi seksual mereka, kemudian menemukan identitas seksual dan

membaginya dengan keluarga, teman, dan masyarakat. Proses ini merupakan proses perkembangan yang signifikan dalam kehidupan remaja gay, yang meliputi mengakui, menerima, mengekspresikan dan membaginya dengan orang lain (Ritter & Terndrup, 2002).

Proses mengembangkan identitas seksual (coming out) merupakan proses panjang yang dimulai dengan pengalaman subjektif dalam mengakui dirinya sendiri sampai akhirnya membaginya dengan orang lain. Pengakuan terhadap

dirinya sendiri biasanya disertai dengan gairah, perasaan ragu, ataupun keduanya. Namun ketika akhirnya ia berhasil melalui tahapan itu, remaja gay merasa hidup

(18)

identitas diri individu, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan

pemahaman diri yang stabil dan otentik.

Ketakutan dimulai ketika remaja sudah melalui tahapan tersebut dan

masuk ke tahapan selanjutnya, yaitu mengakui hal tersebut kepada orang lain. Rasa takut akan penolakan memainkan peran yang signifikan ketika seseorang memutuskan untuk menyatakan identitas seksualnya kepada orang lain atau tidak.

Biasanya bagi mereka yang memutuskan untuk tidak membaginya dengan orang-orang di sekitarnya, seperti keluarga dan teman, memutuskan untuk berbagi

dengan orang asing, yang biasanya mengalami hal serupa dengan mereka (Drescher, 2007).

Secara umum coming out atau proses perkembangan identitas seksual pada homoseksual (gay dan lesbian) dioperasionalkan dalam tiga tahap. Dimulai dari tahap sensitization, dimana individu mulai peka dengan perasaan berbeda dalam dirinya; kemudian dilanjutkan dengan tahap awareness, dimana individu mengalami kebingungan, penolakan, rasa bersalah dan rasa malu terhadap kondisi tersebut; dan terakhir adalah tahap acceptance, dimana individu menerima orientasi seksual dan mengembangkan identitas seksualnya (Newman & Muzzonigro, 1993).

(19)

confusion dan identity comparison, individu gay mulai merasa bahwa dirinya berbeda dengan teman sebayanya dan mengalami krisis identitas personal, yang muncul dalam kekacauan dalam dirinya, perasaan terasing dan kebingungan

terhadap perasaan dan/atau perilakunya yang berbeda terhadap sesama jenis. Ia mulai membandingkan dirinya dengan teman sebaya dan merasakan adanya ketidaksesuaian persepsi dirinya dengan persepsi orang lain terhadap mereka.

Kondisi ini memunculkan perasaan bahwa mereka tidak termasuk ke dalam kelompok manapun dan biasanya muncul dalam bentuk perilaku mengisolasi diri.

Tahap selanjutnya, yaitu tahap identity tolerance, merupakan tahap dimana individu mulai menghubungi individu gay lainnya untuk menghilangkan perasaan terisolasi dan terasing yang mereka alami. Tindakan tersebut bukan karena mereka

menerima kondisi yang mereka alami, melainkan sekedar bentuk toleransi terhadap identitas homoseksual itu sendiri. Perasaan bahwa mereka bukanlah

heteroseksual mulai berkembang di akhir tahap ini.

Memasuki tahap keempat, yaitu identity aacceptance, individu semakin meningkatkan interaksinya dengan kelompok gay dan/atau lesbian lainnya. Mereka mengevaluasi individu homoseksual lainnya secara lebih positif dan mulai menerima gambaran diri sebagai gay secara positif, bukan sekedar bentuk toleransi. Tahapan akhir, yaitu tahap identity pride dan tahap identity synthesis,

merupakan tahap dimana individu mulai mengembangkan kesadaran mengenai

(20)

Proses membentuk dan menemukan identitas seksual tersebut menjadi hal

yang sulit dan menakutkan bagi sebagian individu gay, terutama remaja yang memang berada pada masa krisis. Remaja gay dihadapkan dengan ketakutan ditolak oleh masyarakat sosial, terutama oleh keluaga. Ketakutan-ketakutan yang dirasakan berupa ketakutan diusir dari rumah, bahkan diputuskan hubungan emosional dan finansial dari keluarga. Hal-hal tersebut menimbulkan berbagai

permasalahan psikologis bagi remaja gay.

Stigmatisasi dan diskriminasi yang mereka terima menjadi salah satu

penyebab utama munculnya gangguan psikis (Carroll, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Hughes et al. (2011) yang dituliskan dalam salah satu artikel di situs Beyondblue menemukan bahwa individu gay mengalami diskriminasi, kekerasan verbal dan fisik, dikucilkan dan dilekatkan dengan prasangka yang kemudian memunculkan simtom-simtom depresi, kecemasan, dan melukai diri.

Ada banyak sekali stigma yang berlaku di dalam masyarakat terhadap kaum homoseksual. Stigma tersebut muncul dalam bentuk kekerasan verbal hingga pengasingan sosial dan kekerasan fisik (Maris, et al., 2000). Hal ini menjadikan individu dengan orientasi seksual sejenis menganggap homoseksualitas sebagai hal yang patologis dan mengalami tekanan yang unik.

Pandangan negatif terhadap homoseksual banyak dirasakan oleh remaja yang mulai mengembangkan ataupun sudah memutuskan untuk menjalani

orientasi seksual sebagai gay. Hal ini ditemukan dalam perbincangan dengan beberapa remaja gay, yang mengemukakan bahwa homoseksual merupakan

(21)

istilah “sakit” untuk menggambarkan kondisi mereka. Istilah tersebut semakin

melekat dengan diri mereka dan individu gay lainnya, sehingga mereka menyebut individu dengan orientasi homoseksual sebagai orang “sakit”. Berikut ini

merupakan pernyataan yang dikemukakan oleh remaja gay:

“Awalnya nggak tau kak istilah-istilah kayak gitu. Taunya homo aja. Tapi pas kenal dengan orang-orang yang kayak gini juga, mulai tau istilah-istilah yang sering dipake. “Sakit” itu ya dipake untuk

bilangin kami.”

… ini kan gak normal kak, jadi orang-orang kan bilangnya itu. Sakit.

Kalo dipikir kan emang iya, kami sakit…

Pertama-tama dibilang gitu ya gak enak tapi lama-lama jadi dipake

juga”

(Komunikasi personal, 11 November 2013)

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa individu homoseksual pada usia muda memiliki kecenderungan bunuh diri yang lebih

besar dibandingkan dengan individu heteroseksual sebayanya (Salvin-Williams, 1996; Carroll, 2005). Mereka harus mengantisipasi stigma,

penilaian negatif, dan perasaan akan penolakan lingkungan terhadap identitas seksual mereka (Legate, Ryan, Weinstein, 2012). Secara umum remaja homoseksual rentan terhadap kekerasan dan risiko dalam berbagai

bentuk lainnya, antara lain meningkatnya masalah kesehatan, menurunnya performa di sekolah, membolos, kabur dari rumah, penyalahgunaan

obat-obatan, prostitusi dan perilaku seksual yang tidak sehat (Crisp & McCave; Little; Vare; dalam Johns, 2009).

(22)

Kondisi tersebut mempengaruhi kehidupannya, bahkan membuatnya berpikir

mengenai bunuh diri.

“ehm… macem-macem kak. Yang nangislah, jadi malaslah, pokoknya macem-macem. Sampe mikir mau mati juga pernah kak…

… nangisnya kan awal-awal ngerasa beda. Sedih, marah, kenapa aku gini. Trus jadi malas mau ngapa-ngapain. Itu kan SMA, jadi gak mau ke sekolah. Takut, apalagi ada temen yang aku suka di sekolah. Jadi takut ketahuan

… Kalo ketahuan… parahlah kak. Waktu itu gak terpikir kekmana

kalo orang itu tau aku “sakit”.

(Komunikasi personal, 19 November, 2013).

Tidak hanya secara fisik, tekanan yang besar membuat kaum homoseksual

rentan terhadap masalah-masalah psikososial. Konsekuensi lain yang mungkin muncul dalam bentuk harga diri yang rendah, depresi, kecemasan, dan lain sebagainya (Maris, dkk., 2000; Carroll, 2005). Selain itu, dilaporkan juga bahwa

kaum homoseksual mengalami distres emosional dengan level yang tinggi (Savin-Willims, 2006), serta menunjukkan simtom-simtom depresi yang lebih

besar (Riley, 2010).

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan yang dirasakan oleh salah satu remaja gay. Ia mengungkapkan bahwa menyadari dirinya homoseksual membuat ia mengalami kecemasan ketika harus bersosialisasi dengan masyarakat. Hal ini membuatnya lebih memilih untuk menghabiskan waktu di rumah. Ia juga

memutuskan untuk berhenti sementara dari kuliahnya yang baru dimulai karena ada perasaan takut menghadapi penilaian masyarakat terhadap dirinya.

“jujur kak… awal-awal tu FD gak mau diajak temen ketemuan ma

kakak. Karna kan… aku kan ya… bisa aja kita kenal dimana, atau

(23)

…Cemas kak. Ntar jalan kesini kesana, takut dikenalin ma orang. Gitu-gitu kak… apalagi sebenarnya udah banyak yang tau dan bisa ngebedain kami…

…kuliahku baru masuk, tapi karna udah banyak absennya gak

dilanjutin. Kata dosennya juga udah percuma karna absennya udah

gak mencukupi.”

(Komunikasi Personal, 12 Desember 2013)

Proses pembentukan identitas seksual pada remaja gay menjadi permasalahan yang cukup serius bagi remaja dalam proses menerima kondisinya

sendiri. Mengakui dan menerima diri sebagai homoseksual dan kemudian membaginya dengan masyarakat, akan membuat remaja gay distigma dan dinilai

“sakit” oleh masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Lewis, Derlega, Griffin,

dan Krowinski (dalam Kelleher, 2009) menunjukkan bahwa stigma yang diterima oleh individu dengan orientasi homoseksual secara positif berkaitan dengan

simtom-simtom depresi yang mereka alami. Remaja gay yang mengalami kondisi tersebut cenderung memilih untuk menyembunyikan identitas mereka untuk

menghindari “sanksi” negatif, yang akhirnya malah mendorong pada munculnya

tekanan yang lebih besar.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Miller & Major (dalam Legate,

Ryan, & Weinstein, 2012) yang menyatakan bahwa menutup identitas diri sebagai

gay memiliki dampak negatif, yaitu semakin meningkatkan stress yang dialami oleh remaja gay, kepuasan yang rendah dalam interaksi sosial, kemungkinan terinfeksi HIV yang lebih besar, dan juga perilaku/pikiran bunuh diri.

(24)

berdampak pada kesejahteraan psikologis individu. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Gottschalk (2007) turut mendukung penelitian lainnya terkait dampak stigma, diskriminasi, dan pelecehan terhadap kaum homoseksual.

Gottschalk menemukan bahwa kesadaran dan keyakinan individu gay atau lesbian

mengenai stereotip negatif terkait seksualitasnya akan berdampak pada rasa keberhargaan diri (self-worth) dan kesejahteraan psikologisnya, terutama selama proses pengembangan identitas seksualnya.

Kesejahteraan psikologis merupakan keadaan dimana individu dapat

menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan tingkah lakunya sendiri, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu mengatur lingkungan,

dan memiliki tujuan dalam hidupnya. Ryff (1989) mengemukakan bahwa individu dengan kesejahteraan psikologis yang positif tidak sekedar terbebas dari hal-hal

yang berkaitan dengan afek negatif, seperti bebas dari rasa cemas atau merasa bahagia, melainkan lebih menekankan pada keberfungsian diri secara positif serta bagaimana pandangan individu terhadap potensi-potensi positif dalam dirinya.

Selanjutnya, Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi kesejahteraan psikologis. Dimensi pertama yaitu penerimaan diri. Dengan menerima diri apa

adanya, seseorang dimungkinkan untuk bersikap positif terhadap diri sendiri yang selanjutnya dapat meningkatkan toleransi akan frustasi dan berbagai kondisi yang

(25)

menerima kondisi tersebut. Terlebih lagi adanya penolakan masyarakat terhadap

homoseksual, yang menjadikan mereka merasakan pergolakan di dalam dirinya. Berikut merupakan hasil wawancara personal dengan salah satu remaja gay:

“susah jelasinnya kak… dan kakak pun pasti gak percaya kalo aku

bilang. Jadi sakit kayak gini bukan berarti aku terima jadi homo.

Tapi gimana lagi… gak bisa dilawan.”

“… gara-gara udah ngerasa ditolak gini, kemana-mana jadinya ya gak PD. Mau unjuk kebolehan kayak nge-band nanti ada yang ngenalin aku sakit trus disebarin. Bahkan mau nunjukkin yang

baek-baeknya, pasti orang mikirnya jelek aja karna sakit ini.”

(Komunikasi personal, 13 November 2013)

Dimensi kedua adalah hubungan positif dengan orang lain. Dimensi ini meliputi meliputi kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang

hangat dan saling percaya, saling mengembangkan pribadi satu dengan yang lain, kemampuan untuk mencintai, berempati, memiliki afeksi terhadap orang lain,

serta mampu menjalin persahabatan yang mendalam. Dari wawancara personal yang dilakukan kepada beberapa remaja gay, mereka mengemukakan hal yang sama dimana mereka tidak membuka orientasi seksual mereka sebagai gay kepada orang lain, selain orang-orang terdekat mereka yang juga gay. Sedangkan dengan orang-orang yang menurut mereka normal, mereka selalu berusaha untuk menjaga

jarak. Berikut merupakan kutipan wawancara dengan salah satu remaja gay:

“hm… gak ada kak. Waktu SMA sih ada temen satu genk. Kan dulu belum mikirin kali pendapat orang. Masih terbuka-terbuka aja. Jadi lucu-lucuanpun. Malah kadang suka godain juga temen cowok. Tapi sekarang malu. Mau gabung lagi sama orang itu juga segan. Gimana

ya… mereka kayaknya nerima. Tapi… kayak diomongin juga gitu.

Jadi bahan lelucon. Kalo dulu belum dipikirin, sekarang beda. Truspun belum tentu mereka bisa jaga mulut. Susah lah kak kalo sama yang normal. Kalo sama yang sakit-sakit gini kan sama. Jadi mereka juga gak mungkin nyeritain kita.”

(26)

Selanjutnya dimensi ketiga, yaitu otonomi, yang melihat kemandirian

individu dalam memutuskan dan mengatur perilakunya sendiri yang bebas tekanan dari pihak manapun. Ini akan terkait dengan dimensi keempat, yaitu

penguasaan lingkungan. Dimensi ini melihat kemampuan individu dalam menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengatur sesuai dengan keadaan dirinya sendiri. Berdasarkan wawancara personal dengan beberapa

remaja gay, hampir semuanya mengatakan bahwa mereka cenderung menahan keinginan mereka. Dalam masyarakat, mereka cenderung mengikuti aturan

ataupun hal-hal yang “seharusnya” dilakukan dalam masyarakat. Menurut mereka sulit sekali untuk bisa melakukan apa yang menjadi keinginan mereka karena adanya ketakutan menghadapi penolakan ataupun pandangan negatif masyarakat

yang mungkin mengetahui orientasi seksual mereka sebagai homoseksual. Berikut kutipan wawancara dengan salah satu remaja gay:

“kayak yang tadi ku bilang kak… berusaha gak unjuk gigi. Jadi kayak mencoba di sisi yang gak dilihat orang. Kalo dimisalkan ya kak, lagi

rapat OSIS, aku punya pendapat, tapi gak bisa bilang di rapat.”

“aku pribadi sulit. Jadi ya diam aja la… gak mau ngelawan kali sama

pandangannya masyarakat. Kan emang salah kan ya kak? Hm… salah

gak sih kak?”

(Komunikasi personal, 13 November 2013)

Dimensi kelima, yaitu dimensi tujuan hidup. Menurut dimensi ini, orang

yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup merasa bahwa kehidupan di masa lalu dan masa sekarang memiliki makna, serta memegang keyakinan yang

(27)

bertumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman yang baru, memiliki

keinginan untuk merealisasikan potensinya, serta dapat melihat kemajuan dalam diri dan perilakunya dari waktu ke waktu. Beberapa remaja gay yang diwawancarai secara personal mengemukakan bahwa mereka hanya menjalani kehidupan mereka saat ini. Bagi mereka, penolakan masyarakat adalah mutlak, sheingga tidak ada gunanya bagi mereka memikirkan ataupun merancang masa

depan. Berikut ini merupakan kutipan wawancara dari salah satu remaja gay:

“dari pada mikirin yang gak jelas dan bikin galau, mendingan jalanin aja yang sekarang kak. Aku senang, gak stress. Gak galau lah.”

“mau gimana lagi. Emang udah sakit, ya bakal sakit. Mau dipikirin di masa depan aku pengen gini pengen gini pengen gini. Tapi gak bisa kan ya? Akhirnya kan harus nikah juga sama cewek. Jadi jalanin aja la

sekarang. Yang nanti, nanti lah.”

(Komunikasi personal, 13 November 2013).

Goffman (dalam LaSala, 2006) menyatakan bahwa seiring berjalannya waktu, individu yang menyadari bahwa dirinya gay, telah sangat dipengaruhi oleh tuntutan masyarakat yang menstigma homoseksual. Mereka telah tumbuh dalam budaya yang melabel gay sebagai orang sakit dan cabul, sehingga tidak pantas untuk dicintai, dihargai, dan dipenuhi hal asasinya. Dampak dari stigma tersebut

yang kemudian menjadikan individu gaymerasakan depresi, kecemasan, dan berbagai permasalahan psikologis lainnya.

Beck (dalam LaSala, 2006) menyatakan bahwa distress emosional yang dialami oleh individu bukanlah dampak dari peristiwa dan situasi yang

(28)

yang kemudian menimbulkan berbagai permasalahan psikologis dan emosional

dalam dirinya, seperti depresi dan kecemasan.

Bartholomew (2013) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis dapat

ditingkatkan melalui cognitive behavior therapy. CBT merupakan terapi yang mengubah cara coping pada situasi atau kondisi sulit, dengan melatih cara berpikir secara positif dan perilaku yang konstruktif (Corey, 2007). Terapi CBT

memungkinkan individu untuk menyadari pikiran dan perasaan yang dimilikinya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran, dan perilaku mempengaruhi emosi,

dan meningkatkan perasaan positif dengan mengubah pikiran yang disfungsional dan perilaku individu (Cully & Teten, 2008).

Association for Behavioral and Cognitive Therapies (2010) mengemukakan bahwa CBT biasanya berupa intervensi jangka pendek (sekitar 6

– 20 sesi), yang berfokus untuk mengajarkan klien keahlian-keahlian yang

spesifik terkait dengan permasalahan yang dialami. Menurut Reineeke (2006), CBT menggabungkan dua jenis psikoterapi yang efektif, yaitu terapi kognitif dan terapi perilaku. Terapi kognitif mengajarkan individu bagaimana pola-pola pikiran

tertentu adalah penyebab dari simtom-simtom yang dialami individu. Terapi perilaku membantu individu untuk melemahkan koneksi antara situasi yang

menyulitkan dengan reaksi yang biasa individu tampilkan, seperti rasa takut, depresi, atau marah dan perilaku merusak diri. Terapi ini juga mengajarkan

(29)

O’Donohue (2003) menyatakan bahwa CBT merupakan terapi yang

memberikan kemampuan kognitif dan perilaku pada individu yang bertujuan untuk memfasilitasi fungsi adaptif dan mengembangkan kebermaknaan diri (well

being). Pendekatan CBT dapat diadaptasi untuk membantu individu gay dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka alami terkait dengan orientasi seksualnya. Teknik CBT yang berfokus pada mengembangkan teknik coping yang efektif dan meningkatkan frekuensi klien dalam menilai kejadian positif akan membantu mereka dalam menghadapi berbagai stressor terkait dengan stigma

masyarakat terhadap diri mereka (Safren, Hollander, Hart, & Heimberg, 2001). Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan diuji efektifitas dari program intervensi cognitive behavior therapy untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja gay yang menjalani proses pembentukan identitas seksual. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah cognitive restructuring sebagai intervensi kogntif dan social skills training sebagai intervensi perilaku.

I.B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan

(30)

I.C. TUJUAN PENELITAN

Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu :

C.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas cognitive behavior therapy

untuk meningkatkan kesejahteraan psikologispada remaja gay.

C.2. Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada dimensi-dimensi yang meliputi penerimaan diri, hubungan positif, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi pada remaja gay.

I. D. MANFAAT PENELITIAN D.1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya mengenai homoseksualitas

(31)

D.2. Manfaat Praktis

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi masyarakat, khususnya remaja gay untuk membantu mereka dalam menjalani proses pembentukan identitas seksual.

2. Hasil penelitian juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi ataupun bahan pertimbangan bagi para terapis dan konselor yang ingin menerapkan cognitive behavior therapy pada remaja gay yang menjalani proses pembentukan identitas seksual.

I. E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:

Bab I

Bab II

Bab III

Pendahuluan : dalam bab ini berisikan uraian mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Tinjauan pustaka : dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan dalam penelitian, yaitu kesejahteraan psikologis,

cognitive behavior therapy, homoseksual dan proses pembentukan identitas seksual pada homoseksual, serta gambaran efektifitas

cognitive behavior therapy untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja gay yang menjalani proses pembentukan identitas seksual.

(32)

Bab IV

BAB V

subjek dan lokasi penelitian, prosedur penelitian, tahap

pelaksanaan penelitian dan metode analisa data.

Pelaksanaan dan Hasil Penelitian : dalam bab ini berisikan

pelaksanaan intervensi, hasil penelitian serta pembahasan hasil penerapan terapi CBT pada remaja gay.

Kesimpulan dan Saran : pada bab ini akan diuraikan tentang

(33)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS II.A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1989) meramu pandangan mengenai pemfungsian positif manusia

dan kemudian mengemukakan bahwa individu dengan kesejahteraan psikologis yang positif tidak sekedar terbebas dari hal-hal yang berkaitan dengan afek negatif, seperti bebas dari rasa cemas atau merasa bahagia, melainkan lebih

menekankan pada pemfungsian positif serta bagaimana pandangannya terhadap potensi-potensi positif dalam dirinya. Menurutnya, kesejahteraan psikologis

adalah keadaan dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan tingkah lakunya sendiri, mampu mengembangkan potensi diri secara

berkelanjutan, mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan hidup.

II.B.2. Dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis

Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis

sebagai berikut:

a. Penerimaan diri (self-acceptance)

Penerimaan diri merupakan ciri utama dari konsep kesehatan mental dan

(34)

ditandai dengan kemampuan menerima diri seperti apa adanya dari segi

positif dan negatif (Jahoda, dalam Ryff, 1989). Dengan menerima diri apa adanya, seseorang dimungkinkan untuk bersikap positif terhadap diri

sendiri yang selanjutnya dapat meningkatkan toleransi akan frustasi dan berbagai kondisi yang tidak menyenangkan, termasuk keterbatasan diri, tanpa merasa menyesal atau marah yang mendalam.

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Kualitas yang dihubungkan dengan kemampuan membina hubungan yang

positif dengan orang lain meliputi kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya, saling mengembangkan pribadi satu dengan yang lain, kemampuan untuk mencintai, berempati,

memiliki afeksi terhadap orang lain, serta mampu menjalin persahabatan yang mendalam (Ryff, 1989).

c. Otonomi (autonomy)

Dimensi otonomi memiliki kualitas-kualitas seperti penentuan diri ( self-determination), kemandirian, pengendalian perilaku dari dalam diri, dan penggunaan locus of control yang bersifat internal dalam mengevaluasi diri (Ryff, 1989). Dimensi ini melihat kemandirian individu dalam

memutuskan dan mengatur perilakunya sendiri yang bebas tekanan dari pihak manapun.

d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

(35)

kondisinya, berpartisipasi dalam lingkungan di luar dirinya,

mengendalikan dan memanipulasi lingkungan yang kompleks, serta kemampuan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan di lingkungan

(Ryff, 1989). Secara umum dapat dikatakan bahwa dimensi ini melihat kemampuan individu dalam menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengatur sesuai dengan keadaan dirinya sendiri.

e. Tujuan hidup (purpose in life)

Orang yang berkualitas menurut dimensi ini adalah orang yang memiliki

tujuan dan arah dalam hidup, merasa bahwa kehidupan di masa lalu dan masa sekarang memiliki makna, serta memegang keyakinan yang memberikan tujuan dalam hidup. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki

tujuan hidup ditandai dengan karakteristik kurang mampu memahami makna hidup, tidak dapat melihat tujuan dari kehidupan di masa lampau,

tidak memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dalam hidup. f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Untuk mencapai fungsi psikologis yang optimal, seseorang perlu

memiliki aspek-aspek pertumbuhan pribadi yang baik. Hal ini antara lain ditandai dengan adanya keinginan untuk terus berkembang, kemampuan

untuk melihat dirinya sebagai sesuatu yang terus bertumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman yang baru, memiliki keinginan

(36)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada enam dimensi

kesejahteraan psikologis, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

II.B.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis

Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff (1989) menemukan

bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya mempengaruhi perkembangan kesejahteraan psikologis seseorang.

a. Usia

Ryff (1989) menemukan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi

pengasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang ia semakin

mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.

b. Jenis kelamin

Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan

(37)

2001). Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat stereotip ini akhirnya

terbawa oleh individu sampai individu tersbeut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya,

sepanjang hidupnya perempuan terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan

positif dan dapat mempertahankan hubungan dengan orang lain. c. Status sosial ekonomi

Ryff, dkk. (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki

status sosial ekonomi rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari

dirinya. Menurut Davis (dalam Robinson & Andrews, 1991), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih

tinggi. d. Budaya

Ruff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampay terhadap kesejahteraan psikologis yang dimiliki suatu

(38)

menjunjung tinggi kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi

hubungan positif dengan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan empat faKtor yang

mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu, yaitu usia, jenis kelamin, status social ekonomi, dan budaya.

II.B. COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY (CBT)

II.B.1. Definisi dan Konsep Dasar Cognitive Behavior Therapy

CBT merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi yang dimodifikasi secara langsung, yaitu dengan mengubah pikiran maladaptif dan kemudian secara tidak langsung juga akan mengubah tingkah laku yang nampak

(overt action). Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2003) menekankan CBT pada pandangan individu tentang keyakinan (hipotesa) sementaranya dan

kemudian menguji validitasnya dengan mengumpulkan bukti-bukti untuk menolak atau mendukung hipotesanya. Pucci (2005) menambahkan bahwa CBT berfokus pada thought dan core beliefs yang menyebabkan distress emosional, yaitu dengan menempatkan kembali pikiran-pikiran yang sehat dan akurat.

CBT bertujuan untuk memfasilitasi individu dalam menciptakan “situasi

emosional positif”, sehingga dapat mengimplementasi strategi-strategi spesifik,

seperti restrukturisasi kognitif, mengatur jadwal aktivitas dan strategi lainnya

(39)

Hackney & Cormier (dalam Cengage Learning, 2008) dalam penelitiannya

mengemukakan bahwa CBT terbukti lebih efektif untuk mengatasi masalah-masalah emosional dan fisik. CBT juga merupakan terapi yang efektif sebagai

treatmen untuk berbagai gangguan psikologis dan juga meningkatkan kesejahteraan psikologis dan emosional (Bortholomew, 2013).

Dalam pelaksanaan CBT, perlu dilakukan analisa fungsional berdasarkan

prinsip “S-O-R-C”. Berdasarkan analisa fungsional ini dapat diidentifikasi kognisi

yang terdistorsi, serta pola perilaku maladaptifnya. Prinsip S-O-R-C tersebut

secara rinci adalah sebagai berikut:

S (Stimulus) : peristiwa yang terjadi sebelum individu menunjukkan perilaku tertentu.

O (Organism) : individu dengan aspek kognisi (K) dan Emosi (E) di dalamnya.

R (Response) : apa yang dilakukan oleh individu atau organism,

sering juga disebut dengan perilaku (behavior), baik perilaku yang tampak (overt behavior) ataupun perilaku yang tidak tampak (covert behavior).

C (Consequences) : peristiwa yang terjadi setelah atau sebagai hasil dari perilaku atau response. Consequences termasuk apa yang terjadi secara langsung pada individu, pada orang lain, dan pada lingkungan fisik sebagai hasil dari perilaku tersebut. Ketika consequences atas perilaku adalah positif, individu akan lebih cenderung untuk mengulangi perilaku yang sama. Sebaliknya, ketika

(40)

ataupun dari luar individu (eksternal). Diagram analisa S-O-R-C dapat dilihat

sebagai berikut:

Gambar 2.1. Diagram Analisa S-O-R-C

II.B.2. Proses Kognisi dan Kesalahan yang Umum dalam Cognitive Behavior Therapy

Oei (1999) menyatakan bahwa pada situasi stressful, seringkali individu menghadapinya dengan menggunakan pemahaman atau pengalaman masa lalu.

Masalahnya, pemahaman tersebut seringkali berupa kognisi yang maladaptif dan memicu emosi negatif, yang kemudian memunculkan perilaku-perilaku yang

semakin memperburuk masalah. Beck menyebut hal itu dengan automatic thought, yaitu pikiran yang muncul secara otomatis dan sangat cepat, yang sifatnya repetitif dank has. Mengidentifikasi automatic thought merupakan hal yang perlu dilakukan dalam upaya mengubah pikiran-pikiran yang irasional menjadi pikiran yang rasional (Beck, dalam Spiegler & Guevremont, 2003).

Adapun beberapa bentuk distorsi kognitif yang umum ditemui, yaitu: a. Arbitrary inference / jumping to conclusion – mengambil kesimpulan tanpa

bukti yang relevan atau tanpa pengujian lebih lanjut. S

(Stimulus): Peristiwa

O (Organism): Kognisi dan

Emosi

R (Response):

Perilaku

C

(41)

b. Overgeneralization – menggeneralisasikan satu kejadian negative pada kejadian lainnya.

c. Selective abstraction – memperhatikan detail dengan mengabaikan keseluruhan

d. Personalization – mengaitkan situasi eksternal pada diri sendiri secara berlebihan.

e. Polarized or dichotomous thinking / all or nothing thinking – berpikir secara ekstrim, ya atau tidak, hitam atau putih.

f. Magnification or minimization – memandang sesuatu lebih jauh atau lebih penting dari yang sebenarnya, ataupun mengurangi kepentingan sesuatu dari yang seharusnya.

g. Mental filter – mengambil pernyataan negative dari situasi dan menggunakannya dengan mengabaikan pertimbangan positif yang lebih

besar.

h. Automatic discounting – sensitifitas terhadap informasi negative yang diserap dan memotong informasi negatif.

i. Emotional reasoning – menggunakan perasaan sebagai bukti dari kebenaran dalam suatu situasi.

j. “Should statement”– kewajiban moral yang berlebihan.

(42)

II.B.3. Teknik-teknik dalam Cognitive Behavior Therapy

Beberapa ahli terapi CBT memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menjalankan terapi CBT. Pendekatan tersebut diterjemahkan dalam teknik-teknik

berstruktur yang disesuaikan dengan target terapi.

Spiegler & Guevremont (2003) menyatakan bahwa ada 2 model CBT, yaitu:

a. Cognitive restructuring : berfokus pada kognitif maladaptif dan bertujuan untuk menggantikan kognisi yang maladaptif dengan kognisi yang adaptif.

b. Cognitive behavior coping skills : berfokus pada kogninsi yang kurang adaptif dan bertujuan untuk melatih individu dalam memberikan respon yang adaptif, agar mampu menghadapi situasi secara efektif.

McGinn (2000) secara spesifik menyatakan bahwa ada beberapa teknik yang digunakan dalam CBT dan kemudian dibagi atas tiga area, yaitu:

a. Area kognitif : cognitice restructuring, yaitu mengoreksi pikiran-pikiran yang terdistorsi secara negative dan diarahkan menjadi lebih logis dan adaptif. b. Area perilaku : activity scheduling, social skills training, dan assertiveness

training.

c. Area fisiologis : teknik imagery, meditasi, relaksasi.

(43)

digunakan untuk melatih individu agar lebih mampu dalam mengatur situasi

interpersonal secara efektif. Teknik social skills training yang akan digunakan adalah social perception skills training, yaitu mengajarkan individu untuk mampu memonitor, membedakan, dan mengidentifikasi: (a) emosi dan perasaan orang lain, (b) emosi, perasaan, dan perspektif orang lain dalam interaksi, (c) karakteristik dan aturan-aturan sosial dalam konteks sosial yang spesifik (Milne

& Spence, dalam Spence, 2003).

II.C. GAY DAN PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS SEKSUAL PADA GAY (COMING OUT)

II.C.1. Definisi Gay

Sebelum mendefinisikan apa yang dimaksud dengan gay, perlu dipahami terlebih dahulu konsep orientasi seksual. Yang dimaksud dengan orientasi seksual

adalah ketertarikan seseorang secara emosional, fisik, seksual dan romantis terhadap suatu gender maupun lebih (Carroll, 2005). Individu yang tertarik kepada lawan jenis kelaminnya disebut heteroseksual dan individu yang tertarik

pada jenis kelamin yang sama disebut homoseksual. Sementara itu, individu yang tertarik pada kedua jenis kelamin disebut biseksual. Kelompok yang disebut

(44)

II.C.2. Definisi dan Proses Pembentukan Identitas Seksual (Coming Out) Menurut Klinger dan Cabaj (dalam Sadock & Sadock, 1998) pembentukan identitas seksual merupakan proses dimana individu mengemukakan orentasi

seksualnya dihadapan stigma sosial dengan keberhasilan untuk menerima dirinya sendiri. Cass (dalam Carroll, 2005) mengemukakan model enam tahapan dalam pembentukan identitas homoseksual. Tidak semua individu homoseksual

mencapai tahap keenam, tergantung seberapa nyaman individu dalam orientasinya di masing-masing tahapan.

a. Tahap I: Identity Confusion

Individu mulai meyakini bahwa tingkah lakunya dapat diidentifikasi sebagai homoseksual. Mungkin akan ada kebutuhan untuk mendefinisikan ulang

konsep individu mengenai tingkah laku homoseksual dengan segala bias dan kesalahan informasi yang dialami kebanyakan orang. Individu mungkin menerima

peran tersebut dan mencari informasi, mungkin menekan dan menyembunyikan segala tingkah laku homoseksual (bahkan mungkin menjadi seorang anti homoseksual dan mengutuknya), atau mungkin menyangkal keterkaitannya

dengan identitasnya.

b. Tahap II: Identity Comparison

Individu menerima potensi identitas dirinya sebagai seorang homoseksual, menolak heteroseksual namun tidak memiliki model lain yang dapat menjadi

(45)

c. Tahap III: Identity Tolerance

Di tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin homoseksual dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan

sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun tetapi identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya individu masih tidak memberitahukan identitas barunya dan menjalani gaya hidup ganda, sebagai

homoseksual dan sebagai heteroseksual. d. Tahap IV: Identity Acceptance

Terbentuk pandangan positif tentang identitas diri dan mulai mengembangkan jaringan hubungan dengan kaum homoseksual yang lain. Ia mulai membuka diri terhadap teman dan keluarga serta semakin membenamkan diri dalam budaya

homoseksual.

e. Tahap V: Identity Pride

Berkembang kebanggaan akan homoseksualitas sejalan dengan kemarahan akan

treatment yang pada akhirnya mengakibatkan penolakan terhadap heteroseksualitas karena dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa

gaya hidupnya yang baru adalah sesuatu yang benar dan sesuai. f. Tahap VI: Identity Shynthesis

Individu menjalani gaya hidup homoseksual yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi menjadi masalah dan muncul kesadaran bahwa ada banyak sisi

(46)

II.D. Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Gay yang Menjalani Proses Pembentukan Identitas Seksual

Salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah

membentuk identitas diri (Hurlock, 1999). Sebagian besar remaja dapat memenuhi tugas ini dengan baik, namun tidak bagi remaja gay. Remaja gay harus mengintegrasikan identitas diri mereka sebagai gay (Newman & Muzzognigro, 1993), yang mana hal ini bertentangan dengan norma masyarakat. Di dalam prosesnya, pada awal pencarian jati diri sebagai seorang individu gay, akan banyak konflik batin yang dialami oleh individu. Menurut situs Gay & Lesbian Information (2006), ada 4 elemen yang berkaitan dengan konflik individu dalam membentuk identitas seksualnya sebagai gay, yaitu: (1) perasaan akan persepsi

pembentukan diri yang ”berbeda” dengan orang lain; (2) perasaan dan proses

menjalani pengalaman tertarik dan terangsang dengan kehadiran individu lain

yang memiliki jenis kelamin sama; (3) perasaan sensitif terhadap stigma seputar kehidupan homoseksualitas; dan (4) kurangnya pengetahuan terkait homoseksualitas itu sendiri.

Membentuk identitas seksual merupakan proses yang panjang dan menakutkan bagi remaja gay. Mereka dihadapkan dengan ketakutan ditolak oleh masyarakat sosial, terutama oleh keluarga. Banyak situasi seperti lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan lingkungan keluarga, serta agama dan sosial yang

(47)

menjadi permasalahan yang cukup serius bagi remaja gay dalam menerima kondisinya sendiri. Mengakui dan menerima diri sebagai gay akan membuat

mereka distigma dan dinilai ”sakit” oleh masyarakat. Stigmatisasi dan

diskriminasi yang mereka terima menjadi salah satu penyebab utama munculnya berbagai masalah selama proses pembentukan identitas seksual (Caroll, 2005).

Membuka diri merupakan sesuatu yang sulit, penuh risiko dan dapat

menimbulkan risiko dan dapat menimbulkan kecemasan (Savin-Williams, 1996; Maris, 2000; Woolfe, 2003; Carroll, 2004). Terkait dengan kondisi tersebut, tidak

sedikit remaja gay yang memutuskan untuk menutup diri dan menyembunyikan kondisinya. Akan tetapi hal ini dapat meningkatkan stres dan berbagai permasalahan psikologis yang dialami oleh remaja gay. Menutup diri dari lingkungan mengenai kebenaran seksualitasnya juga dapat menimbulkan rasa bersalah, ketidakjujuran, keterasingan dari orang lain dan diri sendiri, serta

ketakutan bahwa rahasianya akan terungkap (Maris, 2000; Woolfe, 2003).

D’Augelli (dalam Legate, Ryan, & Weinstein, 2012) menemukan bahwa

proses pembentukan identitas seksual akan menimbulkan berbagai dampak

negatif, yang salah satunya berdampak pada kesejahteraan psikologis individu. Dalam penelitian, Gottschalk (2007) menemukan bahwa kesadaran dan keyakinan

(48)

II.E. Efektifitas Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Gay yang Menjalani Proses Pembentukan Identitas Seksual

Selama bertahun-tahun, individu homoseksual telah melakukan konsultasi pada terapis untuk mengubah orientasi seksualnya menjadi heteroseksual dengan terapi reparatif. Banyak sekali terapi reparatif yang mengajarkan bahwa

homoseksulitas tidak wajar dan menjijikkan. Hal ini akan meningkatkan kecemasan dan perasaan membenci diri sendiri pada individu homoseksual

(Robinson, 2006). Walaupun demikian, menurut beberapa ahli psikologi, tekanan sosial terhadap individu untuk menjadi seorang heteroseksual menimbulkan keraguan bahwa permintaan tersebut memang pilihan yang mereka buat dengan

kondisi dimana mereka memiliki kebebasan untuk memilih. Salvin-Williams (1996) melaporkan bahwa individu yang menyadari orientasi seksualnya sebagai

seorang homoseksual akan kehilangan kemampuan untuk menghormati dan menghargai dirinya sendiri karena hal tersebut berbeda atau dipandang tidak normal oleh lingkungannya. Individu yang memiliki dugaan bahwa dirinya

seorang homoseksual akan berhadapan dengan pesan seksual yang negatif tentang perasaan seksual mereka, yang terbukti bersifat korosif terhadap self-esteem dan

psychological well-being (Wolfe, 2003).

Beck (dalam LaSala, 2006) menyatakan bahwa distress emosional yang

(49)

yang kemudian menimbulkan berbagai permasalahan psikologis dan emosional

dalam dirinya, seperti depresi dan kecemasan.

Terapi CBT memungkinkan individu untuk menyadari pikiran dan

perasaan yang dimilikinya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran, dan perilaku mempengaruhi emosi, dan meningkatkan perasaan positif dengan mengubah pikiran yang disfungsional dan perilaku individu (Cully & Teten,

2008). Pendekatan CBT dapat diadaptasi untuk membantu individu gay dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka alami terkait dengan orientasi

seksualnya. Teknik CBT yang berfokus pada mengembangkan teknik coping yang efektif dan meningkatkan frekuensi klien dalam menilai kejadian positif akan membantu mereka dalam menghadapi berbagai stressor terkait dengan stigma

(50)

Remaja

Salah satu tugas perkembangan: Membentuk identiitas diri

Membentuk identitas seksual

Orientasi Seksual: Ketertarikan secara emosional dan seksual

Homoseksual Heteroseksual

Gay Lesbi

Tahapan: 1.Identity Confusion

2.Identity Comparison

3.Identity Tolerance

4.Identity Acceptance

5.Identity Pride

6.Identity Synthesis  Ketakutan ditolak keluarga dan sosial

 Menghadapi stigma dan stereotype gay

 Kesulitan untuk mengembangankan

public intimate relationship  Menerima tindak kekerasan dan

pelecehan

 Merasakan diskriminasi

Kesejahteraan psikologis rendah

Cognitive Behavior Therapy

Homoseksual

Cognitive restructuring

Social perception

(51)

II. F. HIPOTESA PENELITIAN

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen menggunakan desain penelitian pre-test/post-test design (A-B-A design). Desain ini dapat mengukur suatu perubahan pada suatu situasi, fenomena, isu, masalah, atau sikap dan merupakan desain yang sesuai untuk menelaah efektivitas dari suatu program. Kedua pengukuran tersebut (pre-test dan post-test) akan dibandingkan untuk melihat adanya pengaruh dari intervensi cognitive behavior therapy yang dilakukan terhadap kesejahteraan psikologis remaja gay.

B. Variabel Penelitian

Penelitian ini melibatkan dua variabel yaitu kesejahteraan psikologis sebagai variabel tergantung dan cognitive behavior therapy sebagai variabel bebas.

1. Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana individu dapat menerima

kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan tingkah lakunya sendiri, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu mengatur lingkungan, dan memiliki

(53)

dikembangkan oleh Ryff (1989), dan kemudian diadaptasi oleh Situmorang

(2008) ke dalam Bahasa Indonesia. Skala ini langsung diisi oleh subjek. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, berarti semakin tinggi tingkat kesejahteraan

psikologis yang dimiliki subjek.

2. Cognitive Behavior Therapy (CBT)

Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan suatu proses terapeutik yang berfokus pada thought dan core beliefs yang menyebabkan distress emosional, yaitu dengan menempatkan kembali pikiran-pikiran yang sehat dan

akurat. Dalam CBT ini remaja akan dilatih untuk mengubah keyakinan negatif yang menyebabkan kesejahteraan psikologis mereka menjadi rendah sehingga

remaja dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan tingkah lakunya sendiri, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu

mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan dalam hidupnya. CBT dilakukan dalam lima tahap, yaitu tahap pengenalan masalah, tahap pengenalan target

perilaku, tahap intervensi kognitif, tahap intervensi perilaku, dan tahap penutup. Keseluruhan sesi dilakukan dalam 8 pertemuan dan terdiri dari 19 sesi.

C. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja pertengahan

(54)

1. Remaja pertengahan yaitu berusia antara 15-18 tahun karena pada masa ini

individu harus memenuhi tugas perkembangannya untuk membentuk identitas diri (termasuk identitas seksualnya).

2. Mengalami masalah terkait dengan kesejahteraan psikologis, dimana individu mengalami hambatan atau kesulitan dalam penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan/atau

pertumbuhan pribadi.

3. Skor skala kesejahteraan psikologis berada pada kategori rendah (x < 217,63;

berdasarkan skala Kesejahteraan Psikologis).

D. Alat Ukur Penelitian

Psychological well-being self-rating inventory merupakan skala untuk melihat tingkat kesejahteraan psikologis subjek. Skala ini dikembangkan oleh Ryff (1989), sesuai dengan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis yang

dikemukakannya. Skala ini memberikan gambaran kesejahteraan psikologis individu secara umum dan secara lebih spesifik pada masing-masing aspeknya.

Dalam penelitian ini akan digunakan skala kesejahteraan psikologis yang telah diadaptasi oleh Situmorang (2008) ke dalam Bahasa Indonesia. Setelah dilakukan

uji coba alat ukur, diperoleh koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,950. Berikut ini merupakan blueprint skala yang digunakan dalam penelitian dan kategorisasinya:

Tabel 3.1. Blue Print Skala Kesejahteraan Psikologis N

o

Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Nomor aitem Jumlah

Favorable Unfavorable

(55)

3 Otonomi 13, 28, 30, 52 54 5 4 Penguasaan lingkungan 5, 18, 19, 29, 44, 47 14, 22, 39 9 5 Tujuan hidup 20, 34, 38, 41, 45 2, 7, 11, 15, 31, 49 11 6 Pertumbuhan pribadi 1, 10, 23, 37, 40, 53, 55 6, 33, 48 10

Total 32 23 55

Tabel 3.2. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis

Rendah Sedang Tinggi

Kesejahteraan Psikologis x < 217,63 217,63 < x < 283,77 x > 283,77

Tabel 3.3. Kategorisasi Dimensi Kesejahteraan Psikologis Dimensi Kesejahteran

Prosedur penelitian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama tahap

persiapan penelitian, kedua tahap pelaksanaan penelitian, dan ketiga tahap evaluasi.

1. Tahap persiapan penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam tahap persiapan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Melakukan studi literatur

Gambar

Gambar 2.1. Diagram Analisa S-O-R-C
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir
Tabel 3.2. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis
Tabel 3.4. Rancangan terapi CBT untuk Meningkatkan Kesejahteraan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis pada narapidana kelompok eksperimen tidak mengalami peningkatan skor yang signifikan setelah diberikan

0,000 (p&lt;0,01) yang berarti terdapat perbedaan signifikan kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen yang telah diberikan pelatihan menulis pengalaman emosional

Remaja laki-laki telah memiliki kesejahteraan psikologis per aspek dengan cukup baik, dimana aspek penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan, dan aspek tujuan dalam hidup

Remaja laki-laki telah memiliki kesejahteraan psikologis per aspek dengan cukup baik, dimana aspek penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan, dan aspek tujuan dalam hidup

Lopez dkk (2010:81) mengatakan bahwa penerimaan diri adalah kunci utama dari kesejahteraan psikologis individu. Berdasarkan pemaparan di atas, penerimaan diri pada

Proses pelaksanaan mengurangi adiktif youtube melali pendekatan cognitive behavior therapy dengan teknik self control pada remaja terdapat lima langkah proses konseling

Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Sarandria (2012) bahwa intervensi konseling dengan pendekatan cognitive-behavior therapy yang

Tujuan artikel ini adalah untuk melihat kegunaan konseling kelompok melalui pendekatan cognitive behavior therapy (CBT) dalam upaya meningkatkan kesadaran melanjutkan