• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN KOLABORATIF

KAWASAN KONSERVASI PENYU PANGUMBAHAN

KABUPATEN SUKABUMI

IRMA MINARTI HARAHAP

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015

(3)

RINGKASAN

IRMA MINARTI HARAHAP. Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan YUSLI WARDIATNO.

Pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Laut Kabupaten Sukabumi sekaligus pencadangan Kawasan Penyu Pantai Pangumbahan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), secara langsung maupun tidak langsung sangat membutuhkan peran serta masyarakat sekitar dalam pengelolaaannya. Pandangan (persepsi) stakeholder tentang kegiatan konservasi di lingkungan sekitar diharapkan dapat membantu peningkatan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji penerapan pengelolaan kolaboratif dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa model yang diuji memiliki nilai t-hitung yang lebih besar dari 1,96, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh koefisien jalur dari indikator terhadap variabel laten adalah signifikan. Pada model terlihat bahwa variabel pengelolaan (Y) dipengaruhi secara signifikan oleh dua variabel bebas, yaitu persepsi stakeholder (X1) dengan pengaruh sebesar 0,51 dan variabel kebijakan pemerintah daerah (X4) sebesar 0,54. Nilai t-hitung yang diperoleh untuk pengaruh dari X1 terhadap Y yaitu sebesar 4,67 dan sebesar 3,96 untuk jalur antara X4 terhadap Y sehingga dinyatakan signifikan secara statistik. Berdasarkan hasil analisis variabel yang menentukan tingkat keberhasilan dalam pengelolaan kawasan konservasi dapat disimpulkan bahwa variabel persepsi

stakeholder dan kebijakan pemerintah daerah terkait kawasan konservasi penyu Pangumbahan merupakan variabel yang paling dominan dalam menentukan keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi tersebut.

(4)

SUMMARY

IRMA MINARTI HARAHAP. Collaborative Management of Sea Turtle Marine Protected Area Pangumbahan Sukabumi District. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and YUSLI WARDIATNO.

The establishment of Marine Protected Area (MPA) at Sukabumi District within the designation sea turtle area of Pangumbahan beach as a coastal and small islands conservation area, directly and indirectly indeed need the active engagement of the local communities and other stakeholders in the management of the MPA. The perception of stakeholders about conservation activities in their surroundings is expected to improve the management of the MPA. The purpose of this study is to examine the application of collaborative management in Turtle Conservation Area Management at Pangumbahan, Sukabumi District.

The analysis shows that the tested models has t-test value greater than 1.96 which mean that the entire coefficient path of the indicator on the latent variables are significant. The model also demonstrates that the management variable (Y) is significantly influenced by the two independent variables, namely the perception of stakeholders (X1) with the effect of 0.51 and government policy variables (X4) of 0.54. T-test values obtained for the effect of X1 on Y are equal to 4.67 and of 3.96 for the path between the X4 to Y, thus it is statistically significant. Based on the analysis of variables, it can be concluded that the variable perception of stakeholders and local government policy regarding sea turtle conservation area of Pangumbahan are two most dominant variables in determining the success of the MPA management.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

PENGELOLAAN KOLABORATIF

KAWASAN KONSERVASI PENYU PANGUMBAHAN

KABUPATEN SUKABUMI

IRMA MINARTI HARAHAP

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Penelitian : Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi

Nama : Irma Minarti Harahap

NRP : C252100204

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc

Ketua Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini adalah pengelolaan kawasan konservasi, dengan judul Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin, M.Si dan Bapak Dr Ir Yusli Wardiatno, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Nyoman M.N. Natih, M.Si yang telah banyak memberi saran dan arahan. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ahman Kurniawan beserta staf dari UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan serta Bapak Musonip dari kantor Desa Pangumbahan, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, java chip, teman-teman, serta seluruh keluarga atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2015

(10)

DAFTAR ISI

Definisi: Pesisir, Sempadan Pantai, Sumberdaya Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil, Penyu, Konservasi, Kawasan Konservasi, Zona 7

Pesisir 7

Sempadan Pantai 7

Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 7

Penyu 7

Konservasi 8

Kawasan Konservasi 8

Zona 9

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Terpadu 9

Pengelolaan Kolaboratif (Co-management) 10

Persepsi 10

Partisipasi 10

Pemberdayaan Masyarakat 10

3 METODE 11

Waktu dan Tempat Penelitian 11

Metode Penelitian 12

Jenis dan Sumber Data 12

Metode Pengumpulan Data 12

Jumlah Penyu yang Naik ke Pantai 13

Lebar dan Kemiringan Pantai 13

Jejak, Pola, Ukuran Sarang dan Kebiasaan Bertelur Penyu 13

Jenis dan Diameter Substrat 14

Pengamatan Jenis Vegetasi 14

Pengamatan Ancaman (Predator) bagi Penyu Hijau 14 Persepsi dan Partisipasi Stakeholder, Penegakan Hukum dan

Upaya Pengawasan, Kebijakan, dan

Pengelolaan Kawasan Konservasi 14

Analisis Data 15

(11)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16 Keadaan Umum Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan 17 Jumlah Penyu yang Naik ke Pantai 17

1 Variabel laten dan indikator penelitian 15

2 Data penyu hijau (Chelonia mydas) di pantai Pangumbahan 18 3 Persentase besar butir pasir di kawasan konservasi penyu Pangumbahan 20 4 Hasil analisis substrat dengan metode sepuluh fraksi 21 5 Uji kecocokan pada beberapa kriteria goodness of fit index 23

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 6

2 Peta lokasi penelitian 11

3 Grafik jumlah pengunjung di kawasan konservasi Pangumbahan 18 4 Diagram nilai t-hitung dan standardized solution 24 5 Grafik analisis perbandingan kelompok responden 26

DAFTAR LAMPIRAN

1 Profil responden berdasarkan lokasi, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, dan status dalam keluarga

(12)

2 Analisis deskriptif terhadap variabel persepsi stakeholder, partisipasi

stakeholder, penegakan hukum dan upaya pengawasan, kebijakan pemerintah daerah, dan pengeloaan kawasan konservasi

39 3 Analisis validitas dan reabilitas terhadap variabel persepsi stakeholder,

partisipasi stakeholder, penegakan hukum dan upaya pengawasan, kebijakan pemerintah daerah, dan pengeloaan kawasan konservasi 41 4 Analisis perbandingan variabel pengelolaan terhadap lima kelompok

responden 44

5 Gambaran umum kawasan konservasi penyu Pangumbahan 45

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang memiliki wilayah paling luas di dunia. Luas perairan Indonesia tidak kurang dari 5,8 juta km2 dan memiliki sebanyak 17.480 pulau yang terdiri dari pulau besar dan pulau kecil dengan panjang garis pantai lebih kurang 95.186 km, yang merupakan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada.

Selain itu Indonesia merupakan bagian dari segi tiga terumbu karang (coral triangle), wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity country). Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang mempengaruhi massa air dari dua samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat didalamnya.

Keanekaragaman hayati atau sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut meliputi keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem. Pengertian keanekaragaman hayati dan nilai manfaatnya baik secara ekonomis, sosial, budaya, dan estetika perlu memperoleh perhatian serius agar strategi pengelolaan keanekaragaman hayati pesisir dan laut sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah banyak pemanfaatan sumberdaya alam kurang memperhatikan kelestarian sehingga berakibat pada menurunnya kualitas serta keanekaragaman hayati yang ada.

Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998), pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses yang dinamis dan berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan serta perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan. Salah satu tujuan utama diterapkannya pengelolaan pesisir terpadu dalam pengelolaan pesisir adalah untuk memperbaiki sistem pengelolaan dan kondisi lingkungan pesisir tersebut, yang dalam implementasinya digunakan berbagai macam alat (tools). Pengelolaan pesisir yang terpadu dapat diimplementasikan dalam bentuk kawasan konservasi. Sebagai contoh di negara Filipina, beberapa tools yang paling umum digunakan dalam pengelolaan pesisir terpadu adalah pendidikan tentang lingkungan, pemberdayaan masyarakat, Kawasan Konservasi Laut (KKL), dan skema mata pencaharian alternatif (Christie, 2005).

(14)

kepunahan sekaligus melindungi kondisi habitat yang penting seperti daerah pemijahan dan pemeliharaan spesies tersebut.

Salah satu wilayah di Indonesia yang telah melakukan pembentukan KKL sebagai salah satu cara pelestarian sumberdaya alam yang dimiliki adalah Kabupaten Sukabumi. Kabupaten Sukabumi memiliki panjang pantai 117 km, tersebar di sembilan kecamatan pesisir dan dua kecamatan diantaranya (Kecamatan Ciracap dan Ciemas) memiliki potensi satwa penyu yang bertelur di sembilan lokasi peneluran, yaitu (1) Pangumbahan, (2) Hujungan, (3) Karang Dulang, (4) Legon Matahiang, (5) Citirem (6) Batu Handap, (7) Cibulakan, (8) Cebek, dan (9) Cikepuh. Dalam pengelolaannya, delapan lokasi dikelola oleh BKSDA (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan satu lokasi yaitu Pantai Pangumbahan dikelola oleh pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi. Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi memiliki nilai yang sangat strategis terkait dengan upaya pelestarian penyu hijau (Chelonia mydas).

Penyu merupakan reptil yang hidup di laut, yang keberadaannya telah lama terancam baik dari alam maupun dari kegiatan manusia. Secara internasional, penyu masuk ke dalam red list di IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dan Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Speciesof Wild Fauna and Flora) yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah. Upaya konservasi penyu merupakan program penting dan mendesak untuk melindungi dan menyelamatkan populasi penyu. Enam jenis penyu dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia terdapat di Indonesia, yaitu Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu Tempayan (Caretta caretta), Penyu Pipih (Natator depressus), dan Penyu Hijau (Chelonia mydas), di antara jenis-jenis tersebut hanya penyu hijau yang mendominasi seluruh lokasi peneluran penyu di Kabupaten Sukabumi oleh karena itu penyu hijau dijadikan sebagai lambang Kabupaten Sukabumi.

Terpeliharanya populasi penyu dan habitatnya di Pantai Pangumbahan serta perairan laut sekitar secara tidak langsung mendukung upaya menjaga wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi agar tetap dalam kondisi baik. Melalui pelestarian penyu dan habitatnya secara tidak langsung dapat mendukung tingkat pemanfaatan sumberdaya alam pada wilayah pesisir dan perairan laut Kabupaten Sukabumi secara berkelanjutan.

Berdasarkan pertimbangan terhadap arti penting pelestarian penyu dan habitatnya serta dampak lanjutan dari upaya tersebut terhadap sebagian masyarakat pesisirnya, maka pemerintah Kabupaten Sukabumi secara serius melakukan pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi penyu di Pantai Pangumbahan. Dalam rangka pembentukan kawasan konservasi perairan laut serta mengacu pada Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka Bupati Sukabumi menerbitkan Surat Keputusan nomor: 523/Kep.639-Dislutkan/2008 tentang Pencadangan Kawasan Penyu Pantai Pangumbahan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Kabupaten Sukabumi dengan status “Taman Pesisir”.

(15)

mengenal produk yang dihasilkan oleh penyu sebagai produk yang menghasilkan uang. Dengan berbagai kondisi tersebut maka sangat dibutuhkan perhatian khusus dari pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi sebagai pengelola kawasan konservasi dalam praktek pengelolaannya, karena dikhawatirkan akan muncul konflik dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pada satu sisi pemerintah menetapkan kawasan tersebut sebagai taman pesisir yang harus dilindungi, namun di sisi lain masyarakat sekitar sangat berharap kebutuhan hidupnya terpenuhi.

Kenyataannya sejak pengelolaan kawasan konservasi diambil alih oleh pemerintah daerah sampai dengan awal tahun 2013, masih terjadi konflik antara masyarakat lokal dan pihak pengelola karena dianggap masih terjadi penyalahgunaan wewenang dalam praktek pengelolaan. Selain itu pengelolaan kawasan konservasi yang berjalan dianggap masih belum memasukkan peranan masyarakat lokal. Padahal diharapkan dengan peresmian Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan pada akhir Desember 2009, dapat menjadi langkah awal yang merupakan inisiasi konservasi bersama atau pengelolaan kolaboratif ( co-management) dalam mewujudkan pemanfaatan kawasan konservasi untuk wisata berbasis penyu yang melibatkan peran serta masyarakat.

Prospek pengelolaan kolaboratif dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan sangat terbuka lebar dan diatur jelas dalam Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan pasal 18, yang menyatakan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Asas kemitraan dimaksudkan agar pelaksanaan konservasi sumberdaya ikan dilakukan berdasarkan kesepakatan kerjasama antar pemangku kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya ikan. Pengelolaan kolaboratif yang di dalamnya terdapat hubungan antar stakeholder adalah suatu bentuk pengelolaan yang dapat memadukan hal-hal kompleks terkait politik, ekonomi dan lingkungan dalam suatu pengelolaan sumberdaya perikanan (Wilson et al., 2006).

Menurut Evans et al. (2011) pengelolaan kolaboratif saat ini sangat dikembangkan sebagai pendekatan utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan skala kecil di beberapa negara berkembang. Namun setiap negara memiliki kebutuhan yang berbeda dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, sebagai contoh untuk negara Vietnam dan Kamboja dibutuhkan suatu peraturan yang signifikan untuk mengontrol pemanfaatan sumberdaya perikanan serta aturan yang lebih baik dalam melibatkan masyarakat dalam pengelolaan (Nasuchon dan Charles, 2010).

Perumusan Masalah

(16)

dan benturan kepentingan para pihak; (4) Banyaknya pelanggaran yang terjadi di kawasan konservasi laut. Menurut Reefbase (2006), lebih dari 100 KKL yang tercatat di Indonesia, sebagaian besar diantaranya tidak memiliki rencana pengelolaan formal yang siap, mencerminkan fakta bahwa ekosistem laut umumnya telah diberikan prioritas yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah teresterial.

Masyarakat pesisir merupakan salah satu faktor penentu suatu kegiatan pengelolaan lingkungan karena masyarakat tersebut memiliki interaksi terbanyak dengan lingkungan pesisir sehingga secara tidak langsung meningkat atau turunnya suatu pengelolaan kawasan konservasi tergantung dari tingkat kepedulian masyarakat pesisir untuk menjaga sumberdaya yang ada di sekitarnya. Pengembangan konsep pengelolaan kolaboratif dalam pengelolaan kawasan konservasi laut sangat didukung oleh persepsi serta partisipasi para pemangku kepentingan, dan untuk meningkatkan persepsi serta partisipasi tersebut sangat didukung oleh peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat serta

stakeholder lainnya. Dalam suatu pengelolaan kawasan konservasi sangat penting untuk mengidentifikasi persepsi stakeholder terhadap sumberdaya alam yang menjadi objek konservasi (Horrill, IUCN). Pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan partisipasi masyarakat dapat berperan penting ketika pengelolaan yang bersifat sentralistik tidak berjalan efektif, salah satunya adalah untuk mengatasi terjadinya konflik dalam pemanfaatan sumberdaya alam (Pomeroy et al., 2007). Kunci dari suatu bentuk pengelolaan kolaboratif adalah adanya partisipasi dari para stakeholder dalam pelaksanaannya, antara lain yaitu nelayan, masyarakat, dan pemerintah (Chuenpagdee dan Jentoft, 2007).

Pembentukan kawasan konservasi perairan laut Kabupaten Sukabumi secara langsung maupun tidak langsung sangat membutuhkan peran serta masyarakat sekitar dan stakeholder lainnya dalam pengelolaaan kawasan tersebut. Selama beberapa tahun ini kawasan konservasi penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi banyak melakukan kegiatan konservasi yang melibatkan masyarakat di wilayah tersebut. Hal ini memunculkan berbagai pandangan terhadap keberadaan kegiatan konservasi di wilayah mereka. Pandangan (persepsi) stakeholder tentang kegiatan konservasi di lingkungan sekitar diharapkan dapat membantu peningkatan keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian tentang Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi. Secara sistematis kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menguraikan kondisi kawasan konservasi penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi.

(17)

3. Mengkaji hubungan antara persepsi dan partisipasi stakeholder, penegakan hukum serta kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan konservasi penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi.

Manfaat Penelitian

(18)

Gambar 1 Kerangka pemikiran Masyarakat

Lokal

Persepsi

Analisis

Pengelolaan Kolaboratif (Co-management) Partisipasi

Manfaat bagi Masyarakat Potensi SDA

KKL

Pemerintah Daerah

- Pemberdayaan Masyarakat

- Sosialisasi UU/Perda

(19)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi:

Pesisir, Sempadan Pantai, Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Penyu, Konservasi, Kawasan Konservasi, Zona

Pesisir

Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna (UU RI nomor 1 tahun 2014). Dahuri et al. (1996) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah perairan antara daratan dan lautan dimana ke arah darat adalah jarak secara arbiter dan rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah Provinsi atau state di suatu Negara.

Sempadan Pantai

Terdapat beberapa definisi menurut para ahli terkait pantai. Berdasarkan UU RI nomor 1 tahun 2014 yang dimaksud dengan sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Berdasarkan Undang-Undang RI nomor 1 tahun 2014, sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.

Penyu

Penyu merupakan hewan reptil yang hampir seluruh masa hidupnya berada di lautan. Semua jenis penyu dikelompokkan sebagai endangered species dalam IUCN yakni spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami kepunahan. Penyu hijau mempunyai ciri-ciri morfologi yaitu karapas berbentuk oval, berwarna kuning keabu-abuan, tidak meruncing di punggung dengan kepala bundar. Penyu termasuk hewan ovipar, pembuahan telur berlangsung dalam tubuh induk.

(20)

Konservasi

Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Menurut Bengen (2002) agar ekosistem dan sumberdaya dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan maka diperlukan upaya–upaya perlindungan dari berbagai ancaman degradasi yang dapat ditimbulkan dari berbagai aktivitas pemanfaatan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Konservasi menurut IUCN dalam McNeely (1992) adalah pengelolaan penggunaan manusia atas biosfer sehingga dapat menghasilkan manfaat berkelanjutan terbesar pada generasi sekarang, sementara memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi-generasi masa depan. Konservasi dalam definisi ini mencakup pelestarian, pemeliharaan, pemanfaatan berkelanjutan, pemulihan dan peningkatan mutu lingkungan alamiah. Menurut UU RI nomor 27 tahun 2007, konservasi wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil diselenggarakan untuk menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau–pulau kecil, melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain, melindungi habitat biota laut, melindungi situs budaya tradisional.

Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI nomor PER.17/MEN/2008 menyebutkan bahwa tujuan ditetapkannya konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah untuk memberi acuan atau pedoman dalam melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya. Sedangkan sasaran pengaturan kawasan konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditujukan untuk perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

Berdasarkan UU RI nomor 5 tahun 1990 tujuan dari kawasan konservasi adalah untuk mendapatkan bentuk penataan ruang dan arah pengelolaan kawasan konservasi yang optimal sehingga dapat meningkatkan fungsi dari kawasan lindung itu sendiri serta untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan. Menurut Anggoro (2006), tujuan kawasan konservasi antara lain:

1. Mewujudkan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan.

2. Mengurangi ancaman kerusakan kawasan serta seluruh penghuninya dari bencana alam.

3. Memelihara proses dan fungsi ekologis penting dengan sistem pendukung kehidupan.

(21)

Upaya pengelolaan kawasan konservasi perlu dilakukan agar peran dan fungsi kawasan konservasi sesuai dengan yang diharapkan. Widada dan Kobayashi (2006) menyatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi adalah serangkaian upaya penataan, perencanaan, perlindungan dan pengamanan, pembinaan habitat dan populasi, pemanfaatan, pemberdayaan dan peningkatan kesadaran masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola, koordinasi, dan monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan konservasi.

Zona

Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya (UU RI nomor 1 tahun 2014). Menurut Bengen (2002) dan Dahuri (2003), secara umum, zona-zona di kawasan konservasi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Zona inti atau perlindungan

Zona ini memiliki nilai konservasi tinggi dan bersifat sangat rentan terhadap gangguan dan perubahan. Zona ini dikelola dengan tingkat perlindungan yang sangat tinggi dan tidak diijinkan adanya aktivitas eksploitasi.

2. Zona penyangga

Zona ini bersifat lebih terbuka, namun tetap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Zona ini berfungsi untuk menjaga zona inti dari aktivitas yang dapat mengganggu dari pengaruh eksternal.

3. Zona pemanfaatan

Zona ini mentolerir berbagai tipe pemanfaatan yang tetap memperhatikan upaya untuk melindungi habitat penting, keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi.

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Terpadu

Menurut Kay dan Alder (1999) pengelolaan sumberdaya perikanan harus memperhatikan empat aspek, agar dapat berjalan secara efektif. Keempat aspek tersebut adalah (1) proses pengambilan keputusan harus bersifat adaptif; (2) pengenalan terhadap karakter alamiah dan potensi wilayah pesisir; (3) strategi pengelolaan yang komprehensif dan terpadu antar sektor yang terlibat; dan (4) penekanan dan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan.

(22)

Pengelolaan Kolaboratif (Co-management)

Co-management atau collaborative management, sering juga disebut

participatory management, joint management, shared-management, multi-stakeholder management. Istilah co-management di Indonesia sering diartikan sebagai pengelolaan kolaboratif, pengelolaan bersama, pengelolaan berbasis kemitraan atau pengelolaan partisipatif.

Co-management menurut Pomeroy dan Berkes (1997) didefinisikan sebagai perpaduan antara pengelolaan yang berbasis pemerintah dengan pengelolaan yang berbasis masyarakat. Terdapat paling sedikit sepuluh jenis hirarki bentuk

management yang menjadi bagian prinsip-prinsip co-management yaitu:

infrorming, consultation, cooperation, communication, information exchange, advisory role, joint action, partnership, community control, interarea coordination.

Keberadaan UU RI nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan peluang bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mengelola wilayahnya, tentunya pelibatan masyarakat dan prospek pengelolaan kolaboratif lebih terbuka. Arah kebijakan yang diinginkan dalam makna otonomi daerah ini adalah porsi co-management mungkin lebih besar dimana menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Setiap kegiatan mulai dari perencanaan, implementasi hingga monitoring dan evaluasi dilakukan secara bersama–sama oleh kedua belah pihak.

Persepsi

Menurut Saptorini (1989), persepsi adalah suatu proses mental yang rumit dan melibatkan berbagai kegiatan untuk menggolongkan stimulus yang masuk sehingga menghasilkan tanggapan untuk memahami stimulus tersebut. Persepsi dapat terbentuk setelah melalui berbagai kegiatan, yaitu proses fisik (penginderaan), fisiologis (pengiriman hasil penginderaan ke otak melalui saraf sensoris) dan psikologis (ingatan, perhatian, pemrosesan informasi di otak).

Partisipasi

Partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat dalam program-program pembangunan. Pada dasarnya partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang bersifat dimobilisasikan. Partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertaan dan peran sertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan memiliki arti keikutsertaan dan berperanserta atas dasar pengaruh orang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat menurut Sastropoetro (1986) adalah keadaan sosial masyarakat, kegiatan program pembangunan dan keadaan alam sekitarnya.

Pemberdayaan Masyarakat

(23)

seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Dalam rangka mencapai tujuan ini, faktor peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui berbagai pendidikan formal dan non formal perlu mendapat prioritas. Memberdayakan masyarakat bertujuan mendidik masyarakat agar mampu membantu diri mereka sendiri.

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan, Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dengan membagi pantai menjadi enam stasiun pengamatan yang berada di dalam kawasan konservasi penyu Pangumbahan. Penelitian dilaksanakan pada bulan April, Mei dan Agustus 2013. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sukabumi, 2011

(24)

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis metode survei. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat deskripsi mengenai komponen dan proses secara detail, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang dikaji. Dalam hal ini digunakan untuk mengetahui kondisi ekosistem serta korelasi antara kondisi ekosistem dengan jumlah penyu yang mendarat dan bertelur di kawasan konservasi penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi.

Selain itu metode penelitian juga difokuskan kepada masyarakat yang berhubungan erat dengan kawasan konservasi tersebut yaitu nelayan juga masyarakat lain seperti tokoh masyarakat yang berdomisili di lokasi penelitian, pengunjung yang datang dan stakeholder yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengambilan data melalui wawancara langsung dengan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan sumbernya dapat diklasifikasikan menjadi data primer dan sekunder. Data primer yakni data yang diperoleh dari informasi langsung di lapangan, baik melalui hasil pengamatan, kuisioner maupun hasil wawancara langsung dengan responden. Data primer yang diambil adalah data biologi dan fisik terkait habitat ideal bagi penyu hijau untuk bertelur, serta persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Faktor lingkungan fisik dan biologi pantai yang diamati dalam penelitian terdiri atas jumlah penyu yang naik dan bertelur; lebar pantai; kemiringan pantai; diameter, warna dan tekstur pasir; jenis vegetasi pantai; jejak penyu; kondisi sarang tempat penyu bertelur (kedalaman sarang, suhu sarang, dan jumlah telur); jenis ancaman/predator bagi penyu untuk bertelur. Data primer yang diambil terkait persepsi dan partisipasi stakeholder serta peran pemerintah dalam peningkatan pemberdayaan dalam pengelolaan kawasan konservasi meliputi beberapa variabel yaitu efektifitas koordinasi dan kerjasama; kualitas dan kuantitas SDM; keterlibatan dalam perencanaan, implementasi dan pengawasan; dukungan terhadap penegakan hukum; pengembangan alternatif usaha yang menguntungkan dan tidak merusak lingkungan.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian meliputi sejarah kawasan, keadaan fisik kawasan (letak geografis dan administratif, hidrologi, geologi, iklim), profil komunitas masyarakat (penduduk, potensi sosial ekonomi, interaksi masyarakat dengan kawasan konservasi), dokumen program-program yang pernah dilakukan. Sumber data sekunder antara lain laporan dinas/instansi pemerintah dan lembaga lain yang terkait.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer diperoleh melalui pengamatan, pengukuran, telaah langsung di lapangan, dan juga melalui wawancara dengan alat bantu kuesioner yang dilakukan kepada responden dari berbagai macam stakeholder.

Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling

(25)

kesediaan dan atau kepedulian mereka dengan keberadaan dan status kawasan konservasi penyu Pangumbahan. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui teknik wawancara, kuesioner maupun rangkaian studi kepustakaan.

Secara rinci teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teknik observasi (pengamatan); dilakukan untuk mendapatkan data mengenai kondisi kawasan konservasi serta data primer lainnya.

b. Teknik interview (wawancara); untuk mendapatkan data primer maka menggunakan teknik wawancara semi-terstruktur (semi structured interview) yakni wawancara yang pelaksanaannya lebih bebas dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka dengan narasumber atau responden yang dianggap paling banyak mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi.

c. Kuesioner; untuk mendapatkan data primer digunakan kuesioner sebagai alat untuk mengukur. Responden adalah para stakeholder antara lain nelayan, kepala kampung, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan serta instansi terkait.

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembaran data (data sheet), head lamp, kamera, alat hitung, termometer, meteran roll. Berikut adalah uraian metode pengumpulan data terkait beberapa variabel:

Jumlah Penyu yang Naik ke Pantai

Jumlah penyu yang naik untuk bertelur maupun tidak bertelur di tiap stasiun pengamatan dicatat setiap malam dengan metode observasi atau pengamatan langsung di sekitar pantai, waktu pencatatan dimulai 1-2 jam setelah pasang tertinggi setiap malamnya. Hal ini dilakukan guna menghindari terganggunya penyu yang akan bertelur. Selain pencatatan data harian yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan, juga dihimpun data yang berasal dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Pengamatan jumlah penyu yang naik ke pantai dilakukan pada enam titik stasiun yang berada dalam kawasan konservasi sepanjang 2.300 meter.

Lebar dan Kemiringan Pantai

Pengukuran lebar pantai dilakukan dengan menggunakan meteran roll 100 meter dan dibagi menjadi tiga, yaitu lebar supratidal yang diukur dari vegetasi terluar hingga batas pasang tertinggi, lebar intertidal yang diukur dari batas pasang tertinggi hingga batas surut terendah dan lebar total hasil penjumlahan dari lebar supratidal dengan lebar intertidal. Pengukuran tiap stasiun dilakukan sebanyak tiga kali ulangan di area yang mewakili lebar pantai masing-masing staisun. Pengukuran kemiringan pantai dimulai dari vegetasi terluar hingga ke pantai pertama kali basah oleh gelombang dengan memproyeksikan titik yang ekstrim tegak lurus pantai.

Jejak, Pola, Ukuran Sarang dan Kebiasaan Bertelur Penyu

(26)

jejak dilakukan malam hari dengan mengukur tiap jejak dengan menggunakan meteran.

Pengukuran kedalaman dan diameter sarang dilakukan dengan menggunakan meteran. Kedalaman sarang diukur mulai dari mulut sarang hingga dasar sarang. Suhu pasir sarang diukur dengan menggunakan termometer pada dasar pasir sarang peneluran. Setiap pengukuran parameter dilakukan sebanyak tiga kali ulangan untuk menambah keakuratan data.

Jenis dan Diameter Substrat

Pengambilan contoh substrat (pasir) dilakukan dengan menggunakan sendok semen dan kantong plastik (polyethilen). Contoh pasir diambil dari dua sarang pada tiap-tiap stasiun, pemilihan sarang dilakukan secara acak. Terhadap contoh pasir dilakukan pengukuran diameter dan tekstur pasir dengan metode sepuluh fraksi. Analisis lebih lanjut untuk jenis dan diameter substrat dilakukan pada laboratorium tanah IPB.

Pengamatan Jenis Vegetasi

Pengamatan jenis tanaman atau formasi vegetasi pantai yang biasa terdapat di sepanjang daerah peneluran penyu dilakukan dengan cara observasi di tiap stasiun pengamatan. Parameter yang diamati yaitu identifikasi jenis vegetasi yang menjadi tempat berlindung pada saat penyu bertelur atau tempat naungan penyu. Identifikasi juga dilakukan melalui wawancara dengan petugas yang berada di kawasan konservasi.

Pengamatan Ancaman (Predator) bagi Penyu Hijau

Jenis ancaman atau predator yang diamati meliputi keberadaan hewan-hewan pemangsa antara lain babi hutan, anjing liar, biawak. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap keberadaan kapal-kapal nelayan dengan berbagai jenis alat tangkap, seperti tombak, jaring insang (gill net), rawai panjang (longline) dan pukat (trawl).

Ancaman lain yang penting untuk diamati adalah penangkapan penyu dewasa untuk dimanfaatkan daging, cangkang dan tulangnya, pengambilan telur-telur penyu yang dimanfaatkan sebagai sumber protein, serta aktivitas pembangunan di wilayah pesisir yang dapat merusak habitat penyu untuk bertelur seperti penambangan pasir, pembangunan sarana-prasarana wisata pantai dan pembangunan dinding atau tanggul pantai. Data terkait ancaman atau predator diperoleh baik melalui pengamatan secara visual di tiap stasiun pengamatan maupun data hasil wawancara dengan para responden (petugas dan masyarakat).

Persepsi dan Partisipasi Stakeholder, Penegakan Hukum dan Upaya Pengawasan, Kebijakan, dan Pengelolaan Kawasan Konservasi

(27)

Analisis Data

Data hasil pengamatan yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data yang diperoleh dibandingkan antara data hasil pengamatan dengan kondisi habitat yang ideal bagi penyu untuk bertelur.

Structural Equation Modeling

Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui pengelolaan kolaboratif yaitu hubungan antara persepsi, partisipasi stakeholder dan variabel lainnya dalam pengelolaan kawasan konservasi penyu Pangumbahan adalah

Structural Equation Modeling (SEM) atau permodelan struktur berjenjang dengan alat analisis yang digunakan yaitu Lisrel 8.54, yang didukung dengan strategi pengumpulan data yang bersifat multi-metode (triangulasi), yaitu wawancara mendalam, pengamatan mendalam dan analisis dokumen (Yin, 2002: 118 dan Sitorus, 1988:25).

Teknik analisis SEM menggunakan beberapa uji statistik untuk menguji hipotesis. Model dikatakan goodness of fit, apabila memenuhi syarat: (1) Chi-square hitung < Chi-square tabel; (2) Significan probability (P) ≥ 0.05; (3)

RMSEA ≤ 0.08 dan (4) t hitung ≥ 1.96. Asumsi data SEM perlu dilakukan dalam

persamaan pengukuran dan persamaan struktural agar proses estimasi dapat dilakukan dengan baik dan output yang dihasilkan tidak bersifat bias.

Tabel 1 Variabel laten dan indikator penelitian

VARIABEL LATEN INDIKATOR SUMBER

(28)

Kebijakan Pengelolaan

Sumber: Hasil Studi Literatur 2010 (Mussadun 2012)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan

Pantai Pangumbahan memiliki nilai yang sangat strategis terkait dengan upaya pelestarian penyu hijau (Chelonia mydas). Hal ini ditunjukkan oleh dokumen resmi IUCN yang dikeluarkan pada tahun 2004 mengenai status populasi penyu hijau (Chelonia mydas) di dunia. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa pantai Pangumbahan yang terletak di Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu dari tiga lokasi di Indonesia dan tiga puluh lokasi lainnya yang tersebar di seluruh dunia yang menjadi indeks lokasi pengamatan kondisi populasi penyu hijau. Terpeliharanya populasi penyu dan habitatnya di Pantai Pangumbahan serta perairan laut sekitarnya secara tidak langsung mendukung upaya menjaga wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi agar tetap dalam kondisi baik.

Secara geografis Pantai Pangumbahan terletak pada koordinat 07˚19’08” - 07˚20’52’’ LS dan 106˚19’37” - 106˚20’07” BT. Lokasi kegiatan pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi penyu di pantai Pangumbahan terletak di Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara administratif, Desa Pangumbahan berbatasan dengan Cagar Alam (BKSDA Cikepuh) dan Desa Gunung Batu di sebelah utara, sebelah timur dengan Desa Gunung Batu dan Desa Ujung Genteng, dan sebelah selatan dengan Samudera Indonesia. Luas Kawasan pengelolaan 58,43 Ha dengan panjang pantai yang menjadi habitat peneluran penyu (nesting ground) ± 2.300 m (DKP Kab. Sukabumi, 2011).

Sejak bulan Agustus 2008 pengelolaan kawasan konservasi penyu di pantai Pangumbahan diambil alih oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi berdasarkan kesepakatan bersama antara pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi dengan CV. Daya Bakti. Penggantian aset milik CV. Daya Bakti yang ada di dalam kawasan konservasi penyu pantai Pangumbahan dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten dengan mekanisme penilaian aset oleh konsultan jasa penilai publik.

(29)

Sukabumi menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 523/Kep.639-Dislutkan/2008 tentang Pencadangan Kawasan Penyu Pantai Pangumbahan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Kabupaten Sukabumi dengan Status “Taman Pesisir”.

Jumlah Penyu yang Naik ke Pantai

Pengamatan jumlah penyu yang naik ke pantai dilakukan pada enam titik stasiun yang berada dalam kawasan konservasi sepanjang 2.300 m. Panjang masing-masing stasiun, yaitu dari stasiun 1 sampai dengan stasiun 6 berkisar antara 350-500 m. Pengamatan juga dilakukan pada lokasi yang berada di luar kawasan konservasi. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh data perbandingan jumlah penyu yang naik ke pantai di dalam kawasan konservasi dan di luar kawasan konservasi.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan dan data monitoring harian kawasan konservasi penyu Pangumbahan, dapat disimpulkan bahwa terdapat penyu yang naik ke pantai di setiap stasiun (1–6) namun jumlahnya tidak merata. Stasiun 1, 2 dan 4 merupakan lokasi yang paling banyak terdapat penyu naik dan bertelur, sedangkan stasiun 5 dan 6 paling sedikit terdapat penyu bertelur. Musim juga berpengaruh terhadap jumlah penyu yang naik ke pantai dan bertelur. Berdasarkan data monitoring tahunan, periode bulan Agustus–Oktober merupakan jumlah terbanyak penyu bertelur, sedangkan periode bulan Januari– Maret jumlah penyu yang bertelur tidak terlalu banyak. Menurut Nuitja (1992), di pantai Pangumbahan dapat diperoleh hubungan yang amat jelas antara kurva produksi telur dengan musim yang berlangsung pada waktu itu. Pada periode musim barat (Oktober–Maret), angin bertiup kencang dan kadang disertai dengan badai yang dahsyat. Angin yang kencang menyebabkan ombak menjadi besar dan menerbangkan butiran-butiran pasir pada daerah peneluran serta menerbangkan benda-benda ringan lainnya di sepanjang pantai. Dalam periode tersebut daerah peneluran akan lebih keras dan lebih sulit untuk digali.

Hasil pengamatan secara langsung di area kawasan konservasi pantai Pangumbahan yang dilakukan pada tanggal 17-19 April 2013 menunjukkan terdapat 11 ekor penyu yang naik ke pantai namun hanya 7 ekor yang bertelur dengan kisaran panjang karapas lengkung 110-120 cm dan kisaran lebar karapas lengkung 100-110 cm, jumlah kumulatif telur yang dihasilkan yaitu 702 butir. Sedangkan pada periode tanggal 8-10 Mei terdapat 4 ekor penyu yang naik dan bertelur dengan kisaran panjang karapas lengkung 100-110 cm serta kisaran lebar karapas lengkung antara 90-100 cm, jumlah telur yang dihasilkan sebanyak 393 butir.

(30)

mendarat di pantai Pangumbahan yaitu hanya 1.508 ekor dengan jumlah produksi telur 132.047 butir dan jumlah tukik yang menetas 79.449 ekor. Penurunan cukup drastis terlihat pada tahun 2012, jumlah penyu yang bertelur hanya 707 ekor atau 46,89% dibandingkan tahun 2011, sedangkan jumlah telur 66.026 butir dan jumlah tukik yang menetas sebanyak 76.036 ekor. Data jumlah penyu yang bertelur di pantai Pangumbahan sampai dengan bulan Mei tahun 2013 tercatat sebanyak 249 ekor dengan jumlah telur yang dihasilkan adalah 24.177 butir dan jumlah tukik yang dilepas sebanyak 18.280 ekor (DKP Kab. Sukabumi, 2013).

Data perbandingan Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang naik ke pantai Pangumbahan dan jumlah telur yang diproduksi selama kurun waktu tahun 2009 s/d bulan Mei 2013 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Data penyu hijau (Chelonia mydas) di pantai Pangumbahan

Tahun

Sumber: Diolah dari data DKP Kab. Sukabumi 2013

Penurunan jumlah penyu yang naik ke pantai maupun yang bertelur dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Berdasarkan hasil analisis antara lain dapat disebabkan oleh kondisi habitat yang kurang sesuai bagi penyu untuk bertelur, sedangkan faktor lainnya adalah aktivitas pengunjung yang datang untuk melihat penyu bertelur.

(31)

Jika dilihat dari data jumlah pengunjung yang datang ke kawasan konservasi penyu Pangumbahan periode tahun 2009-2012 (Gambar 3), setiap tahunnya mengalami peningkatan. Aktivitas pengunjung yang datang antara lain untuk melihat penyu yang sedang bertelur dan melepas tukik ke laut. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, seringkali aktivitas pengunjung saat melihat penyu bertelur membuat kondisi pantai peneluran menjadi kurang ideal bagi penyu untuk naik ke pantai dan bertelur yang disebabkan oleh suara gaduh maupun cahaya yang ditimbulkan saat adanya aktivitas pengunjung. Sebaiknya pihak pengelola kawasan konservasi perlu melakukan pengaturan terkait aktivitas pengunjung untuk melihat penyu bertelur, antara lain pemberlakuan waktu tertentu bagi pengunjung untuk dapat melihat proses penyu bertelur.

Selain pengamatan yang dilakukan di dalam kawasan konservasi penyu Pangumbahan juga dilakukan pengamatan penyu yang naik dan bertelur di luar kawasan konservasi. Hasil pengamatan penyu pada titik yang berada di luar kawasan konservasi selama penelitian berlangsung, menunjukkan tidak ada penyu yang naik ke pantai maupun bertelur. Hal itu diperkirakan terjadi karena lokasi pengamatan bukan merupakan habitat yang ideal bagi penyu untuk bertelur, salah satu faktor penyebab adalah kondisi yang terlalu terang.

Lebar dan Kemiringan Pantai

Lebar pantai juga menjadi salah satu faktor utama induk penyu hijau (Chelonia mydas) dalam memilih lokasi peneluran. Lebar pantai berpengaruh terhadap kenaikan penyu dan pembuatan sarang, bila lebar pantai kurang sesuai maka akan menyulitkan penyu dalam proses pembuatan sarang. Penyu umumnya membuat sarang di daerah supratidal atau daerah yang tidak terkena pasang surut. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, pantai Pangumbahan memiliki lebar pantai dengan kisaran antara 17–36 m. Stasiun 1, 2, 4 dan 6 memiliki lebar pantai di atas 30 m, sedangkan lebar pantai di stasiun 3 dan 5 kurang dari 30 m. Kondisi tersebut menunjukkan lebar pantai Pangumbahan masih berada dalam kisaran yang sesuai bagi penyu untuk membuat sarang dan bertelur. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Nuitja (1992) berdasarkan kesesuaian biofisik habitat bertelur penyu, lebar pantai yang sesuai yaitu lebih dari 30 m di atas pasang tertinggi karena penyu memiliki kecenderungan meletakkan sarangnya antara 30-80 m dari pasang terjauh. Penyu hijau lebih memilih pantai yang bebas dari gelombang pasang, daerah itu akan menarik naluri penyu untuk membuat sarang. Kondisi pantai Pangumbahan masih tergolong sesuai jika dibandingkan dengan habitat peneluran penyu hijau di lokasi lain, salah satunya adalah di pantai Sindangkerta Tasikmalaya yang memiliki lebar pantai dengan kisaran antara 2,86-17,02 m (Lestari, 2013).

(32)

semakin landai pantai peneluran maka semakin memudahkan penyu untuk melakukan aktivitas pendaratan mencari lokasi sarang sebagai tempat bertelur.

Jejak, Pola, Ukuran Sarang dan Kebiasaan Bertelur Penyu

Identifikasi penyu hijau berdasarkan jejak (track), ukuran sarang dan kebiasaan bertelur penyu dilakukan pada setiap stasiun pengamatan. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan, lebar jejak penyu hijau yang naik ke pantai berkisar antara 90-100 cm. Dalam pedoman teknis pengelolaan konservasi penyu (DKP, 2009)dijelaskan bahwa penyu hijau (Chelonia mydas) memiliki lebar jejak ± 100 cm, bentuk pintasan dan tanda diagonal berpola simetris yang dibuat oleh tungkai depannya.

Pengukuran kedalaman dan diameter sarang dilakukan dengan menggunakan meteran. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan di lapangan kedalaman sarang memiliki kisaran antara 50-70 cm, hal tersebut dapat juga dikaitkan dengan jumlah telur yang dikeluarkan oleh masing-masing penyu hijau, jika jumlah telur lebih dari 120 butir maka sarang yang dibuat oleh penyu semakin dalam. Diameter sarang berkisar antara 20-25 cm dengan suhu berkisar antara 28- 29°C. Menurut Nuitja (1992), Chelonia mydas memiliki kedalaman sarang dengan kisaran 55-60 cm dan diameter sarang dengan kisaran antara 23-25 cm. Yayasan Alam Lestari (2000) menyebutkan bahwa suhu yang diperlukan agar pertumbuhan embrio penyu berjalan dengan baik adalah antara 24-33°C.

Jenis dan Diameter Substrat

Terhadap contoh substrat yang diambil dari tiap stasiun pengamatan dilakukan analisis tekstur dengan metode sepuluh fraksi. Berdasarkan hasil analisis fraksi di laboratorium tanah IPB dan nilai persen pasir, debu dan liat, diketahui bahwa jenis fraksi di pantai Pangumbahan untuk tiap stasiun pengamatan tergolong dalam jenis pasir dengan diameter butiran berbentuk kasar– sedang. Hasil dari perhitungan persentase besar butir pasir di kawasan konservasi penyu Pangumbahan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil lengkap analisis tekstur terhadap substrat di enam stasiun kawasan konservasi penyu Pangumbahan seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 3 Persentase besar butir pasir di kawasan konservasi penyu Pangumbahan

(33)

Tabel 4 Hasil analisis substrat dengan metode sepuluh fraksi

Berdasarkan hasil analisis, kondisi substrat yang paling ideal untuk tempat penyu bertelur berada di stasiun 2 dan 4. Hal tersebut juga didukung dengan data monitoring yang menunjukkan bahwa stasiun 2 dan 4 merupakan lokasi dengan intensitas jumlah terbanyak penyu yang naik ke pantai dan bertelur.

Menurut Nuitja (1992), tempat yang diinginkan oleh penyu untuk bertelur adalah daratan dengan butiran pasir tertentu yang mudah digali dan secara naluriah dianggap aman untuk bertelur. Susunan tekstur daerah peneluran berupa pasir tidak kurang dari 90% dan sisanya adalah debu maupun liat, dengan diameter butiran berbentuk halus-sedang. Karakteristik habitat peneluran di pantai Pangumbahan memiliki kondisi yang relatif sama jika dibandingkan dengan pantai peneluran penyu hijau di Pulau Sangalaki-Kepulauan Derawan. Menurut Mukminin (2002), jenis fraksi untuk setiap stasiun peneluran didominasi oleh pasir kasar (>90%).

Pengamatan Jenis Vegetasi

(34)

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan pantai Pangumbahan ditumbuhi oleh vegetasi hutan pantai yang mempunyai sifat khas, tersusun dengan vegetasi campuran yang terdiri dari pohon-pohon tumbuhan perdu, semak dan belukar. Vegetasi yang mendominasi pada tiap stasiun pengamatan yaitu pandan (Pandanus tectorius), ketapang (Terminalia cattapa), waru (Hibiscus tiliaceus), nyamplung (Calophylum inophylum), bakung (Crinum asiacitum), babakoan (Calotropis gigantea). Bustard (1972) dalam Nuitja (1992) menyatakan bahwa jenis Pandanus tectorius memberikan pengaruh terhadap naluri penyu yang bertelur.

Pengamatan Ancaman (Predator) bagi Penyu Hijau

Keberadaan penyu baik di dalam perairan, ketika menuju daerah peneluran maupun saat bertelur banyak mendapatkan gangguan yang menjadi ancaman bagi kehidupannya. Jenis ancaman atau predator berdasarkan hasil pengamatan yaitu keberadaan hewan-hewan pemangsa antara lain anjing (Canis lupus), biawak (Varanus salvator), kepiting (Ocypoda sp), semut merah (Oechophylla smaragdina).

Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa di sekitar perairan pantai Pangumbahan masih banyak kapal-kapal nelayan yang beroperasi dengan berbagai jenis alat tangkap, seperti tombak, jaring insang (gill net). Pihak kawasan konservasi mengharapkan adanya kapal patroli untuk mengawasi kapal-kapal nelayan tersebut.

Persepsi dan Partisipasi Stakeholder, Penegakan Hukum dan Upaya Pengawasan, Kebijakan, dan Pengelolaan Kawasan Konservasi

Desa Pangumbahan terbagi menjadi empat dusun yaitu Dusun Waluran, Dusun Pangumbahan, Dusun Jaringao, dan Dusun Ciburial. Jumlah responden yang diambil untuk penilaian variabel persepsi dan partisipasi stakeholder, penegakan hukum, kebijakan pemerintah daerah, dan pengelolaan kawasan konservasi berjumlah seratus empat puluh orang responden. Masing-masing dusun diwakili oleh tiga puluh orang responden, dan dua puluh orang responden merupakan pegawai serta tenaga harian lepas (pengawas) yang bekerja di kawasan konservasi penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi.

Berdasarkan jenis kelamin, responden laki-laki berjumlah seratus dua puluh orang atau 85,7% dari total responden sedangkan responden perempuan berjumlah dua puluh orang. Jika dilihat dari tingkat pendidikan, sebanyak 50,7% responden berlatar pendidikan Sekolah Dasar (SD). Berdasarkan tingkat penghasilan, sejumlah 40,7% responden memiliki penghasilan dengan kisaran antara Rp. 500 ribu - Rp. 1 juta.

(35)

Berdasarkan pada output analisis SEM yang menggunakan software Lisrel 8.54 diperoleh nilai-nilai yang digunakan sebagai acuan dalam pengujian model secara keseluruhan. Nilai-nilai tersebut diperlihatkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Uji Kecocokan pada beberapa kriteria goodness of fit index

Goodness of Fit

Index Cut Off Value Hasil Penelitian

Derajat bebas (DF) Positif 868

CFI ≥ 0,90 0,92

RMSEA ≤ 0,080 0,079

IFI ≥ 0,90 0,92

Koefisien goodness of fit di atas menunjukkan adanya kecocokan model dengan tingkat kecocokan yang baik. Diperoleh nilai RMSEA yang disyaratkan lebih kecil dari 0,080 yaitu sebesar 0,079. Berdasarkan pada nilai-nilai koefisien di atas yang memenuhi persyaratan kecocokan sebuah model, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum model yang diperoleh memiliki tingkat kecocokan yang baik.

(36)

Gambar 4 Diagram nilai t-hitung dan standardized solution

Gambar 4 menunjukkan bahwa seluruh jalur yang dihipotesiskan memiliki nilai t-hitung yang lebih besar dari 1,96. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh koefisien jalur dari indikator terhadap variabel laten adalah signifikan. Pada model yang dihipotesiskan terlihat bahwa variabel Y dipengaruhi secara signifikan oleh dua variabel bebas, yaitu X1 (persepsi

stakeholder) dengan pengaruh sebesar 0,51 dan variabel X4 (kebijakan pemerintah daerah) sebesar 0,54. Nilai t-hitung yang diperoleh untuk pengaruh dari X1 terhadap Y lebih besar dari 1,96, yaitu sebesar 4,67 dan sebesar 3,96 untuk jalur antara X4 terhadap Y sehingga dinyatakan signifikan secara statistik.

Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa variabel persepsi

stakeholder (X1) dan kebijakan pemerintah daerah (X4) terkait kawasan konservasi penyu Pangumbahan merupakan variabel yang paling dominan dalam menentukan keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi tersebut. Semakin baik persepsi stakeholder maka semakin baik pula pengelolaan kawasan konservasi. Demikian pula dengan variabel kebijakan pemerintah daerah, berbagai kebijakan yang mendukung keberlanjutan kawasan konservasi akan berpengaruh positif terhadap keberhasilan pengelolaan. Menurut Robins (1996) beberapa hal yang mempengaruhi persepsi adalah:

1. Pelaku persepsi, bila seorang individu memandang pada suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari pelaku persepsi, antara lain sikap, motif/kebutuhan individu, suasana hati, pengalaman masa lalu, prestasi belajar sebelumnya dan pengharapan.

2. Target yang akan diamati, karakteristiknya dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan.

3. Situasi, yaitu unsur-unsur dalam lingkungan sekitar dapat mempengaruhi persepsi.

Namun bukan berarti variabel partisipasi stakeholder dan penegakan hukum tidak berperan penting dalam pengelolaan kawasan konservasi. Partisipasi

(37)

pengelolaan suatu kawasan konservasi. Menurut Bennett et al. (2006) partisipasi

stakeholder mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan suatu kawasan konservasi merupakan hal yang krusial dalam menentukan kesuksesan suatu bentuk konservasi. Dalam proses perencanaan pengelolaan kawasan konservasi laut di California, sangat mempertimbangkan faktor hubungan antara pengelola, stakeholder, dan organisasi lingkungan (Scholz et al. 2004). Menurut Pada et al. (2011) dalam contoh kasus persepsi masyarakat di KKLD Kabupaten Kaimana, masyarakat perlu lebih banyak dilibatkan dalam setiap kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan KKLD, agar tingkat pemahaman mereka menjadi semakin baik. Dinas Kelautan dan Perikanan diharapkan dapat lebih efektif dalam menjalankan program-program yang berkaitan dengan Perikanan, terutama dalam menempatkan tenaga-tenaga penyuluh pertanian yang efektif, serta juga harus mulai mengefektifkan sistem pengawasan/patroli bersama masyarakat dan Polair untuk mencegah masuknya nelayan-nelayan dari luar Kaimana serta alat-alat tangkap modern kedalam wilayah tangkap nelayan tradisional, yang dapat merusak lingkungan.

Dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan secara bersama kriteria yang perlu dipertimbangkan antara lain yaitu keterlibatan stakeholder, karena sangat penting dalam mendukung terlaksananya pengelolaan yang baik. Masing-masing stakeholder mempunyai peran dan tugas dalam pengelolaan tersebut. Dalam upaya pengelolaannya diperlukan suatu lembaga/badan/dinas pengelola yang akan menyusun program dan kegiatan kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan, penyelesaian permasalahan dan penyampaian informasi. Guna pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan, pendanaan kawasan konservasi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan, oleh karena itu berbagai mekanisme pendanaan yang ada dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi yang dilakukan. Menurut Supriharyono (2007) peningkatan kesadaran masyarakat ditujukan untuk meyakinkan kepada masyarakat pesisir khususnya nelayan akan manfaat jangka panjang dari perlindungan kawasan yaitu manfaat berkelanjutan yang dihasilkan oleh usaha perlindungan kawasan. Oleh karena itu partisipasi masyarakat harus dilibatkan pada proses identifikasi, perancangan dan pelaksanaan berbagai kemungkinan manfaat yang dapat diperoleh dari usaha perlindungan kawasan konservasi.

(38)

Pengelolaan kawasan konservasi penyu Pangumbahan dalam pelaksanaannya telah menerapkan pola partisipasi stakeholder, khususnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan terkait pengawasan. Hal itu dibuktikan dengan dibentuknya kelompok pengawas masyarakat yang pada pelaksanaannya bekerjasama dengan pemerintah (pengelola kawasan konservasi penyu Pangumbahan) untuk melakukan pengawasan di sekitar kawasan konservasi. Dengan keterlibatan stakeholder tersebut secara tidak langsung dapat menumbuhkan rasa memiliki dan menjaga habitat maupun spesies yang menjadi fokus utama pengelolaan kawasan konservasi tersebut. Suatu proses pengambilan keputusan yang melibatkan stakeholder dalam penerapan pengelolaan kolaboratif dalam suatu pengelolaan perikanan dapat meningkatkan kualitas maupun keabsahan keputusan tersebut, karena setiap pihak akan merasa bahwa keputusan yang diambil tidak akan merugikan salah satu pihak (Davis, 2008).

Selain analisis model, terhadap masing-masing kelompok responden juga dilakukan analisis perbandingan (Gambar 4.3). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai signifikan yang diperoleh adalah lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,000 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada aspek pengelolaan pada kelima kelompok responden. Kelompok yang memiliki nilai tinggi yaitu antara 4,16–4,35 adalah responden yang berasal dari Dusun Pangumbahan, Dusun Ciburial dan kawasan konservasi penyu Pangumbahan. Sementara kelompok yang memiliki nilai lebih rendah yaitu antara 3,65–3,80 adalah responden yang berasal dari Dusun Jaringao dan Dusun Waluran. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan alasan bahwa Dusun Pangumbahan dan Dusun Ciburial merupakan dusun yang terdekat dengan lokasi kawasan konservasi penyu Pangumbahan, sedangkan kelompok pegawai atau tenaga harian lepas (kawasan konservasi) merupakan orang-orang yang terlibat langsung setiap harinya dalam pengelolaan kawasan konservasi.

(39)

Pemberdayaan Masyarakat, Sosialisasi Peraturan, Pembinaan Masyarakat Kabupaten Sukabumi saat ini telah memiliki rencana zonasi serta UPTD pengelola kawasan konservasi penyu yang sudah operasional sekaligus dengan rencana pengelolaannya. Hal tersebut sejalan dengan konsep perencanaan tata ruang pesisir dan pulau-pulau kecil dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 34 tahun 2002, bahwa wilayah pesisir yang sangat dinamik tapi rentan terhadap perubahan yang terjadi harus dibagi ke dalam beberapa zonasi pengelolaan yaitu:

1. Zona Preservasi/Zona Inti

Merupakan area yang memiliki nilai konservasi tinggi yang sangat rentan terhadap gangguan dari luar sehingga diupayakan intervensi manusia di dalamnya seminimal mungkin. Dalam pengelolaannya, zona ini harus mendapat perlindungan yang maksimum.

2. Zona Konservasi

Merupakan zona perlindungan yang di dalamnya terdapat satu atau lebih zona inti. Zona ini dapat dimanfaatkan secara sangat terbatas, yang didasarkan atas pengaturan yang ketat.

3. Zona Penyangga

Merupakan zona transisi antara zona konservasi dengan zona pemanfaatan. Pada zona ini dapat diberlakukan pengaturan disinsetif bagi pemanfaatan ruang.

4. Zona Pemanfaatan (Kawasan Budidaya)

Pemanfaatan zona ini secara intensif dapat dilakukan, namun pertimbangan daya dukung lingkungan tetap merupakan persyaratan utama. Pada zona ini terdapat juga area-area yang merupakan zona perlindungan setempat.

5. Zona tertentu pada Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Merupakan kawasan khusus yang diperuntukkan terutama bagi kegiatan pertahanan dan militer.

Dengan ditetapkannya zona konservasi dalam suatu rencana zonasi antara lain bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau–pulau kecil, melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain, melindungi habitat biota laut, dan melindungi situs budaya tradisional.

Gambar

Grafik jumlah pengunjung di kawasan konservasi Pangumbahan
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Tabel 1 Variabel laten dan indikator penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara bidang kewirausahaan ikatan pelajar Muhammadiyah mampu mengajarkan serta meningkatkan jiwa kewirausahaan yang

Pengecualian dari instrumen ekuitas AFS, jika, pada periode berikutnya, jumlah penurunan nilai berkurang dan penurunan dapat dikaitkan secara obyektif dengan sebuah peristiwa

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan kejadian mioma uteri pada akseptor kontrasepsi oral dan bukan akseptor kontrasepsi oral dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengembangan karir, berarti semakin sering karyawan

Sistem sapaan remaja yang digunakan oleh remaja untuk berkomunikasi dengan temannya terdapat sapaan yang negatif dan positif.Sapaan yang merupakan kata yang

del tidak berubah atau konstan, sehingga dapat disimpulkan bahwa balita dapat menurunkan peluang memiliki gizi buruk dan gizi kurang apabila balita tersebut tinggal dengan keluarga

Bahwa oleh karena semasa hidupnya Tergugat V tidak mempunyai keturunan (anak) maka Tergugat V tidak mempunyai kapasitas ( legal standing ) untuk dihadirkan lagi dalam