• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Infestasi Kutu Kepala (Pediculus Humanus Capitis) Pada Anak Sekolah Dasar Di Kota Sabang, Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalensi Infestasi Kutu Kepala (Pediculus Humanus Capitis) Pada Anak Sekolah Dasar Di Kota Sabang, Provinsi Aceh"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

YUNI NINDIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2016

PREVALENSI INFESTASI KUTU KEPALA (

Pediculus humanus capitis

)

DAN FAKTOR RISIKO PENULARANNYA PADA ANAK SEKOLAH

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Prevalensi Infestasi Kutu Kepala (Pediculus humanus capitis) dan Faktor Risiko Penularannya pada Anak Sekolah Dasar di Kota Sabang Provinsi Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

YUNI NINDIA. Prevalensi Infestasi Kutu Kepala (Pediculus humanus capitis) pada Anak Sekolah Dasar di Kota Sabang, Provinsi Aceh. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan RISA TIURA.

Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) merupakan ektoparasit obligat yang menginfeksi rambut dan kulit pada kepala manusia. Infestasi kutu kepala dapat menimbulkan penyakit pediculosis capitis. Infestasi kutu kepala dapat menyerang siapa saja dari segala kelompok umur, jenis kelamin dan juga ras. Infestasi kutu kepala paling banyak terjadi pada anak-anak. Kutu kepala tidak menjadi vektor penyakit, namun infestasi kutu kepala pada anak-anak dapat menimbulkan dampak berupa terjadinya iritasi pada kulit kepala serta dapat menimbulkan gangguan seperti berkurangnya konsentrasi belajar dan juga dapat mengurangi kualitas tidur anak dimalam hari akibat rasa gatal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis prevalensi, derajat infestasi dan faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan terjadinya penularan infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di Kota Sabang, Provinsi Aceh.

Penelitian ini dilaksanakan pada dua kecamatan dan pada masing-masing kecamatan ditentukan lima sekolah yaitu 2 dua sekolah di daerah urban dan tiga sekolah di daerah rural. Sebanyak 350 orang anak sekolah dasar diperiksa rambut dan kulit kepala anak untuk mendiagnosa infestasi kutu kepala dengan menggunakan sisir satu kali pakai (single use comb/disposal comb) untuk mencegah perpindahan kutu dari satu anak ke anak yang lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa infestasi kutu kepala masih menjadi masalah kesehatan pada anak sekolah dasar di Kota Sabang, Provinsi Aceh dengan angka prevalensi infestasi terjadi sebesar 27.1%. Prevalensi infestasi kutu kepala pada masing-masing sekolah bervariasi dari 9.1% – 50.0 % dengan prevalensi infestasi yang lebih tinggi terjadi pada sekolah dasar-sekolah dasar di Kecamatan Sukakarya (31.4%). Prevalensi infestasi kutu kepala lebih tinggi terjadi pada anak sekolah dasar di daerah rural (27.8%) dibanding dengan anak-anak sekolah dasar di daerah urban (26.6%). Infestasi kutu kepala berhubungan erat dengan perbedaan jenis kelamin. Prevalensi infestasi kutu kepala pada anak perempuan sebesar 48.0% dan pada anak laki-laki sebesar 7.3%. Anak perempuan memiliki risiko 11.8 kali lipat dapat tertular infestasi kutu kepala dibandingkan anak laki-laki. Infestasi kutu kepala ditemukan pada anak sekolah dari umur 6 – 14 tahun, namun infestasi kutu kepala tidak menunjukkan hubungan yang signifikan berdasarkan perbedaan kelompok umur. Umumnya anak-anak yang positif terinfestasi kutu kepala sudah berada pada derajat infestasi kutu kepala sangat aktif dan dapat ditemukan lebih dari 10 ekor nimfa atau kutu kepala yang hidup rambut dan kulit kepalanya.

(6)

infestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir berisiko sebesar 6.9 kali lipat masih terinfestasi kutu kepala pada saat pemeriksaan, (5) tidak pernah menggunakan obat untuk mengobati infestasi kutu kepala dapat menyebabkan anak berisiko 3.0 kali lipat masih terinfestasi kutu kepala saat pemeriksaan. Faktor ekonomi keluarga seperti pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua, jumlah saudara kandung serta jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan terjadinya infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar.

(7)

SUMMARY

YUNI NINDIA. Prevalence of Head Lice (Pediculus humanus capitis) Infestastion among Primary Schoolchildren in Sabang City, Aceh Province. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI dan RISA TIURA.

Head lice (Pediculus humanus capitis) is an obligate ectoparasite that infected human hair and scalp. Head lice infestations lead to a disease called Pediculosis capitis. Head lice infestations occur endemically and can affect anyone of any age group, gender and race. However, the infestations mostly occur among children. Head lice are not vectors for any diseases, yet head lice infestations that are not treated lead to various effects such as irritation and nuisances such as a reduced quality of sleep in children at night due to itching. This study aimed to analyzed head lice prevalence, infestation level and risk factors due to head lice infestation among primary schoolchildren in Sabang City, Aceh Province.

This study was conducted in two districts and each district selected five primary schools consist two primary schools in urban areas and three primary schools in rural areas. A total of 350 schoolchildren was examined to diagnose head lice infestation by a disposable comb (single use comb) in order to avoid transmission of lice from one student to another.

The results showed that overall head lice infestation is a common health problem among primary schoolchildren in Sabang City. The prevalence of head lice infestation in Sabang city was 27.1% and range 9.1 – 50.0% on each school. The head lice prevalence was higher in schools located in Sukakarya District (31.4%) and in schools located in rural areas (27.8) than in urban areas (26.6%). Head lice infestation closely related to difference gender, the prevalence in girls was higher (48.0%) than boys (7.3%). Girls have about 11.8 times of risk can be infected head lice infestation than boys. Head lice infestation occured among primary schoolchildren in aged 6 – 14 years olds but there was no significant relationship based to aged of group. In general, schoolchildren with head lice infestation could be found more than 10 nymphs and adults.

Risk factors due to head lice infestation was (1) hair characteristics; children with hair length above the shoulder have 4.7 times of risk and hair length extended that shoulder have 9.656 times of risk can be infected head lice infestation (2) co-sleeping habit with other person can caused 2.1 times of risk, (3) 2.8 time of risk if they have sibling with head lice infestation and 2.1 time of risk if they have friends with head lice infestation, (4) head lice infestation in last three months can caused 6.9 times of risk still infested with head lice when examine was conducted, (5) never treatment with pediculicide can caused 3.0 times of risk still infested with head lice when examine was conducted. Family economic factors such as parents education and parents occupation, number of sibling and number of family members who live at home showed no significant relationship due to the head lice infestation among primary schoolchildren.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

YUNI NINDIA

PREVALENSI INFESTASI KUTU KEPALA (

Pediculus humanus capitis

)

DAN FAKTOR RISIKO PENULARANNYA PADA ANAK

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 ini ialah Prevalensi Infestasi Kutu Kepala (Pediculus humanus capitis) pada Anak Sekolah Dasar di Kota Sabang, Provinsi Aceh.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat komisi pembimbing Ibu Prof drh Upik Kesumawati Hadi, MS PhD dan Ibu drh Risa Tiuria, MS PhD atas bimbingan, arahan dan masukan serta motivasi semangat yang diberikan kepada penulis selama pendidikan hingga akhir penyelesaian studi. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Sabang dan Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan Lanjutan Dinas Pendidikan Kota Sabang yang telah memberikan izin dan mendukung pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh Kepala Sekolah dan guru-guru dan anak-anak sekolah yang terlibat dalam penelitian ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen di Mayor PEK yang telah memberikan ilmunya, kepada para staf pada Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) dan juga kepada teman-teman Pascasarjana Program Studi PEK angkatan 2014 atas kebersamaan selama ini juga bantuan serta motivasi yang diberikan. Terima kasih juga disampaikan kepada Isfanda dan Rahmat Aulia yang sudah membantu dalam pengumpulan data di lapangan, juga kepada kak Yulidar yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk berbagi ilmu dan pengalaman.

Ucapan terima kasih kepada suami tercinta, Wahyu yang telah memberi izin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor, yang senantiasa selalu memberikan cinta, kasih sayang, motivasi semangat serta selalu mendoakan untuk keberhasilan penulis. Tak lupa terima kasih kepada ayahanda tercinta almarhum M. Djam dan Ibunda Sitti Rohana atas kasih sayang yang selalu diberikan dan juga ibu mertua Basyariah. Terima kasih kepada abang, kakak dan adik tercinta (Dharma Setiawan, Dharni Nuzulla, Dharli Syafriza dan Maunida Isnin) beserta kakak, abang dan adik-adik ipar dan juga keponakan-keponakan tersayang yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis. Terima kasih juga diucapkan untuk seluruh keluarga besar penulis yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktur Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Aceh, Ketua Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Aceh dan Pusat Standarisasi, Sertifikasi dan Pendidikan Berkelanjutan Sumber Daya Manusia Kesehatan (Pustanserdik), Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BPPSDM) Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis mengikuti tugas belajar dan memperoleh pembiayaan sepenuhnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Morfologi Kutu Kepala 3

Siklus Hidup Kutu Kepala 4

Transmisi Kutu Kepala 5

Dampak Infestasi Kutu Kepala 5

Screening Untuk Mendiagnosa Infestasi Kutu Kepala 6

Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala 6

3 METODE 8

Lokasi dan Waktu Penelitian 8

Pemeriksaan Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar 8 Penentuan Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala 8 Preservasi Spesimen dan Identifikasi Kutu Kepala 9

Analisis Data 9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Deskripsi Kutu Kepala 11

Prevalensi Infestasi Kutu Kepala 12

Derajat Infestasi Kutu Kepala 15

Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala 17

5 SIMPULAN DAN SARAN 23

Simpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 24

LAMPIRAN 27

(14)

DAFTAR TABEL

1 Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kota Sabang 2016 Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur

2 Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Sukakarya dan Sukajaya di Kota Sabang 2016 3 Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di

Kota Sabang 2016 Berdasarkan Letak Lokasi Sekolah

4 Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square Berdasarkan Karakeristik Rambut terhadap Prevalensi Infestasi Kutu Kepala

5 Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square Berdasarkan Perilaku Higiene Perorangan terhadap Prevalensi Infestasi Kutu Kepala

6 Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square Berdasarkan Keberadaan Saudara Kandung dan Teman bermain yang Terinfestasi Kutu Kepala terhadap Prevalensi Infestasi Kutu Kepala

7 Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square Berdasarkan adanya Infestasi Kutu Kepala dalam Tiga Bulan Terakhir dan Penggunaan Obat untuk pengobatan Infestasi Kutu Terhadap Prevalensi Infestasi Kutu Kepala

8 Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square Berdasarkan Jumlah Saudara Kandung dan Jumlah Anggota Keluarga yang tinggal Serumah terhadap Prevalensi Infestasi Kutu Kepala

9 Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square Berdasarkan Sosio Ekonomi Keluarga terhadap Prevalensi Infestasi Kutu Kepala

Kutu Kepala Dewasa (Pediculus humanus capitis) pada Anak Sekolah Dasar di Kota Sabang

Telur Kutu Kepala (Nits) pada Anak Sekolah Dasar di Kota Sabang

Derajat Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kota Sabang 2016

11 12 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) Penelitian 28 2 Pemeriksaan untuk Mendiagnosa Infestasi Kutu Kepala pada Anak

Sekolah Dasar di Kota Sabang 29

(15)

1

1 PENDAHULUAN

Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) merupakan ektoparasit obligat yang menyerang kulit kepala manusia. Kutu kepala hidup dan memperoleh makanan, kehangatan serta kelembaban dari tubuh manusia (Yousefi et al. 2012). Kutu kepala ditemukan di seluruh negara di dunia pada iklim yang berbeda-beda. Infestasi kutu kepala dapat menyerang siapa saja dari segala kelompok umur, jenis kelamin maupun ras (Doroodgar et al. 2014). Akibat infestasi kutu kepala dapat menimbulkan penyakit yang disebut pediculosis capitis. Menurut Falgas et al. (2008) infestasi kutu kepala paling banyak terjadi pada anak-anak.

Infestasi kutu kepala dapat menimbulkan dampak berupa iritasi pada kulit kepala dan gangguan seperti berkurangnya konsentrasi belajar, berkurangnya kualitas tidur di malam hari akibat rasa gatal dan gangguan sosial seperti rasa rendah diri dan malu. Infestasi kutu kepala juga dapat menyebabkan terjadinya anemia dan timbulnya infeksi sekunder akibat luka pada garukan karena rasa gatal (Yousefi et al. 2012). Infestasi kutu kepala masih menjadi masalah pada kesehatan masyarakat di seluruh dunia terutama pada anak-anak dengan tingkat prevalensi 0.7 – 59% (Combescot-Lang et al. 2015), bahkan infestasi yang sangat tinggi dilaporkan lebih dari 70% di Pakistan pada tahun 2015 (Lashari et al. 2015).

Penyakit akibat infestasi kutu kepala masih menjadi masalah dan dilaporkan setiap tahunnya terjadi peningkatan dalam tiga dekade terakhir (Doroodgar et al. 2014), namun menurut Feldmeier and Heukelbach (2009) infestasi kutu kepala masih dikategorikan sebagai penyakit yang terabaikan (neglected disease) terutama pada negara miskin dan negara-negara berkembang. Infestasi kutu kepala belum menjadi prioritas dan upaya pengendalian kutu kepala sangat jarang dilakukan oleh masyarakat pada negara miskin dan negara yang sedang berkembang.

Penelitian mengenai infestasi kutu kepala lebih baik jika dilakukan secara regional karena prevalensi kutu dapat bervariasi sesuai dengan situasi sosial, genetik dan karakteristik budaya suatu populasi (Borges and Mendes 2002). Infestasi kutu kepala terutama pada anak-anak sekolah dasar setiap tahun dilaporkan terjadi di berbagai negara, namun Indonesia masih sangat jarang melaporkan tentang infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar. Infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di Yogyakarta adalah sebesar 19.6% di daerah rural (Munusamy et al. 2014) dan sebesar 12.3% pada anak sekolah dasar di daerah urban (Zhen et al. 2014).

(16)

2

saatnya dilakukan penelitian untuk mengkaji infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar dan faktor risiko yang berhubungan dengan penularan infestasi kutu kepala.

(17)

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ordo Phthiraptera dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu kutu penghisap (sucking lice) darah yaitu sub ordo Anoplura dan kutu mengunyah (chewing lice) yang terdiri atas tiga sub ordo yaitu Amblycera, Ishnocera dan Rhynchopthirina. Kutu merupakan ektoparasit obligat yang memiliki inang yang spesifik. Dua genus dari kutu penghisap yang merupakan parasit pada manusia yaitu Pthirus dan Pediculus yang meliputi dua spesies yang penting dalam masalah kesehatan yaitu Pthirus pubis dan Pediculus humanus. Keduanya merupakan spesies yang penting dalam masalah kesehatan manusia. Pediculus humanus menimbulkan masalah kesehatan yang penting dalam masyarakat yang terdiri atas dua ecotype yaitu kutu kepala (Pediculus humanus capitis) dan kutu badan (Pediculus humanus corporis) (Veracx and Raoult 2012).

Kutu kepala dan kutu badan memiliki anatomi yang hampir mirip, perbedaan yang mencolok hanya pada preferensi tempat hidupnya. Kutu kepala hidup pada rambut dan kulit kepala, meletakkan telurnya pada batang rambut, sedangkan kutu badan bertelur pada pakaian yang jarang atau tidak dicuci dan menghisap darah orang yang memakai pakaian tersebut (Pray 1999). Kutu kepala dan kutu badan merupakan varietas dari satu spesies yang sama. Keduanya dapat melakukan perkawinan (interbreeding) namun menghasilkan keturunan yang fertil (Veracx and Raoult 2012).

Kutu badan dapat mentransmisikan tiga jenis bakteria penyebab penyakit yaitu Rickettsia prowazekii dan Bartonella quintana dari sub kelompok Proteobacteria dan Borrelia recurrentis dari kelompok spirocheta. Rickettsia prowazekii menjadi agen penyebab penyakit epidemic thypus dan Borrelia recurrentis menyebabkan louse borne relapsing fever serta Bartonella quintana dapat menimbulkan penyakit trench fever (Howard and James 1979). Dua jenis bakteri lain juga ditemukan dalam tubuh kutu badan yaitu Acinobacter spp. dan Serratia marcescens namun tidak diketahui pasti apakah dapat ditularkan ke manusia saat menghisap darah (Veracx and Raoult 2012).

Kutu kepala tidak bertindak sebagai vektor penyakit pada manusia namun demikian dapat ditemukan adanya infeksi bakteri Bartonella quintana pada kutu kepala (Veracx and Raoult 2012). Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) hanya ditemukan sebagai parasit pada manusia dan tidak dapat menular ke anjing, kucing atau hewan peliharaan lainnya (Pray 1999).

Morfologi Kutu Kepala

(18)

4

bergerak dengan kecepatan hingga 23 cm per menit, namun tidak mampu terbang ataupun melompat (Nutanson et al. 2008).

Kutu kepala berukuran lebih kecil dibandingkan dengan kutu badan dan memiliki kitin yang lebih kuat. Tubuhnya berwarna lebih gelap dengan lekukan yang terlihat jelas pada bagian lateral antar segmen di abdomen. Perbedaan lainnya antara kedua ecotype terlihat pada antena kutu badan yang lebih panjang dibandingkan dengan antena pada kutu kepala. Hal ini berhubungan dengan kemampuan beradaptasi pada kegelapan. Kutu kepala lebih rentan terhadap kelaparan dibandingkan dengan kutu badan hal ini terjadi karena kutu badan beradaptasi untuk mampu bertahan pada pakaian yang tidak dipakai selama waktu yang lama. Selain itu, kutu kepala memproduksi telur lebih rendah dengan persentase telur yang menetas juga lebih rendah. Kutu kepala bergerak lebih aktif pada suhu yang rendah (Veracx and Raoult 2012).

Penyebaran kutu kepala hanya terbatas pada daerah kulit atau rambut kepala terutama di belakang kepala dan di dekat telinga pada anak-anak. Telur dilekatkan pada pangkal rambut yang sangat dekat dengan kulit kepala. Karena pertumbuhan rambut diperkirakan satu cm perbulan, maka jarak antara letak telur kutu terjauh terhadap kulit kepala dapat menunjukkan sudah berapa lama infestasi kutu kepala terjadi (Soviana 2006).

Siklus Hidup Kutu Kepala

Dalam hidupnya kutu kepala mengalami metamorfosis yang tidak sempurna yang diawali dengan telur, nimfa, dan dewasa. Telur kutu disebut nits (lingsa, jawa) (Hadi dan Soviana 2010). Jumlah telur yang dihasilkan oleh satu ekor induk kutu dapat mencapai 10 – 300 butir telur selama hidupnya Kutu betina bertelur 6 – 8 butir per hari yang dilekatkan pada rambut inangnya dengan perekat khusus yang disebut cement Telur berbentuk oval dan memiliki operculum pada bagian ujungnya. Telur berwarna putih keabu-abuan, mengkilap atau putih keperakan. Telur diletakkan pada batang rambut pada jarak 2 – 4 mm dari kulit kepala (Abdulla 2015; Marjan et al. 2015).

Setelah kawin kutu kepala betina dewasa akan menghasilkan telur yang terbungkus cangkang (nits) dan diletakkan pada batang rambut. Telur akan menetas 7 – 12 hari kemudian dan berkembang menjadi nimfa dan dewasa yang terjadi dalam 9 – 15 hari. Siklus perkembangan kutu kepala dari telur sampai menghasilkan telur kembali terjadi dalam waktu sekitar 3 minggu (Finlay and MacDonald 2008).

(19)

5 Nimfa berkembang menjadi kutu dewasa setelah mengalami tiga kali molting dalam 8 – 10 hari setelah menetas. Nimfa instar pertama berukuran 400 – 600 µm, nimfa instar kedua 700 – 900 µm dan nimfa instar akhir dapat mencapai ukuran 1000 – 1400 µm. Perbedaan juga tampak terlihat pada morfologi dan anatomi mulut pada nimfa instar kedua dan nimfa instar ketiga yaitu adanya perkembangan bagian mulut agar dapat menghisap darah. Cakar pada tarsi berkembang dengan baik pada nimfa instar ketiga (Marjan et al. 2015).

Kutu kepala dewasa mampu hidup selama 23 – 30 hari (Marjan et al. 2015). Setelah kawin kutu betina dewasa akan menghasilkan telur yang terbungkus cangkang (nits) dan diletakkan pada batang rambut. Siklus perkembangan kutu kepala dari telur sampai menghasilkan telur kembali terjadi dalam waktu sekitar 3 minggu (Finlay and MacDonald 2008). Pada pemeliharaan di laboratorium kutu dapat berkembang baik dan mencapai kematangan seksual pada suhu 23 0C dan 28 0C. Perkembangan kutu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pencahayaan di dalam ruangan, karena ketika moulting nimfa sangat sensitif terhadap cahaya dan bisa mati (Marjan et al. 2015).

Transmisi Kutu Kepala

Kutu kepala merupakan crawling insect, tidak dapat melompat maupun terbang (Devore et al. 2015). Penularan kutu rambut terutama terjadi akibat kontak antara inang seperti anak-anak yang tidur bersama pada satu ranjang atau saling bergantian menggunakan sisir yang terkontaminasi rambut berkutu (Soviana 2006). Mekanisme utama dalam transmisi kutu kepala terjadi melalui kontak langsung antara inang ke inang dan melalui benda mati. Transmisi melalui benda mati dapat terjadi karena: 1). rambut yang mengandung kutu kepala atau telurnya jatuh; 2). tiupan angin; 3). gerakan statis dan 4). kontak dengan kutu yang jatuh dan merangkak di lantai (Lee et al. 2005).

Stadium kutu dewasa, nimfa dan juga telur bisa berpindah menuju inang baru. Transmisi tersebut dapat terjadi karena adanya kondisi tekanan misalnya saat inang melakukan grooming. Pada situasi tertekan, kutu dapat melakukan pergerakan dengan cepat menjauh dari bagian yang mengalami gangguan. Kutu mudah bisa copot dan jatuh karena tiupan angin, menyisir, handuk atau juga transfer pasif saat dua bahan berdekatan. Pada semua stadium kutu kepala cukup aktif bergerak, hanya instar 1 menunjukkan kecenderungan sangat kurang bergerak berpindah dari satu inang ke inang yang lain. Kutu kepala dewasa adalah yang paling berperan dalam memulai kasus infestasi kutu kepala yang baru. Tindakan pengendalian difokuskan pada mengendalikan stadium dewasa (Lee et al. 2005).

Dampak Infestasi Kutu Kepala

(20)

6

kepala namun umumnya tidak menimbulkan morbiditi (Hansen 2004). Infeksi sekunder dapat diperparah dengan adanya mikroba maupun jamur. Pada akhirnya dapat membentuk kerak berwarna gelap (hiperkeratinasi) dan penebalan di permukaan kulit kepala terutama pada tempat-tempat predileksi kutu. Tanda khas pada permukaan kulit kepala ini dikenal sebagai Vagabond’s disease.

Keberadaan kutu kepala dapat menimbulkan gangguan emosional, menimbulkan masalah dalam status sosial di kelas serta mengganggu kemampuan belajar baik pada anak anak maupun orang dewasa (Hansen 2004). Infestasi kutu kepala juga dapat menyebabkan kekurangan zat besi dan anemia. Menurut Speare et al. (2006) pada anak yang terinfestasi kutu dewasa sekitar 30 ekor dapat kehilangan darah sekitar 0.008 ml perhari. Hal ini dapat berpotensi menimbulkan terjadinya anemia dan kekurangan zat besi.

Di negara Amerika Serikat konsekuensi akibat infestasi kutu kepala dapat mempengaruhi hubungan sosial dan kehadiran anak-anak ke sekolah. Sekolah-sekolah umumnya memberlakukan peraturan “no nits policies”. Kebijakan ini dilakukan untuk mengontrol infestasi kutu kepala di sekolah. Anak anak yang terbukti terinfestasi kutu tidak diizinkan hadir dan bersekolah sampai benar-benar bebas dari infestasi kutu kepala. Kebijakan tersebut dapat menyebabkan anak-anak kehilangan kesempatan berharga untuk mengikuti pelajaran di sekolah (Hansen 2004; Falagas et al 2008). Kebijakan ini bukan hanya berlaku di Amerika, namun hampir di seluruh sekolah pada negara-negara berkembang telah menerapkan kebijakan “no nit policies” seperti Canada, Vancouver, Australia, dan Jerman.

Screening untuk Mendiagnosa Infestasi Kutu Kepala

Kriteria standar untuk mendiagnosa infestasi kutu kepala adalah dengan mengidentifikasi dan menemukan adanya kutu dan telur kutu yang masih hidup di rambut dan kulit kepala. Penggunaan sisir serit adalah cara yang paling efektif untuk mendeteksi kutu hidup dan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pemeriksaan manual atau visual saja. Bila ditemukan adanya kutu yang hidup selama pemeriksaan menunjukkan bahwa infestasi kutu aktif sedangkan bila hanya dijumpai telur kutu yang kosong menunjukkan infestasi telah terjadi sebelumnya (Degerli et al. 2012).

Menurut Feldemeier (2010) diagnosa infestasi kutu kepala dilakukan dengan melakukan pemeriksaan secara visual pada rambut dan kulit kepala atau dengan menggunakan sisir kutu (serit) baik dalam keadaan basah ataupun kering. Pemilihan metode yang digunakan tergantung dari tujuan pemeriksaan yang akan dilakukan, apakah untuk mendeteksi infestasi kutu kepala yang aktif, melihat keberadaan tahap perkembangan, melihat ada tidaknya telur kutu atau hanya untuk mengidentifikasi lama waktu infestasi. Untuk mengidentifikasi perkembangan kutu kepala dilakukan dengan melakukan pengamatan visual pada lima titik predileksi yaitu pada rambut, kulit kepala, pelipis, di belakang telinga dan tengkuk (tingkat keakuratan 80 – 90%).

(21)

7 2010). Menurut Mumcuoglu et al. (2001) pemeriksaan yang dilakukan dengan cara menyisir rambut empat kali lebih efektif dan dua kali lebih cepat untuk mendiagnosa infestasi kutu kepala. Pemeriksaan secara visual secara langsung tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosa keberadaan kutu kepala yang aktif.

Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala

Review sistematis dan meta-analisis yang dilakukan oleh Moosazadeh et al. (2015) terhadap data-data laporan prevalensi infestasi kutu kepala di Iran dan di negara-neraga lain disimpulkan bahwa ada banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap terjadinya infestasi kutu kepala pada anak-anak sekolah dasar. Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar diantaranya adalah:

1 Panjang rambut (8 dari 14 penelitian melaporkan hubungan yang signifikan antara panjang rambut dengan infestasi kutu kepala)

2 Penggunaan bersama (sharing) personal hygiene items (8 dari 15 penelitian memperlihatkan hasil yang signifikan pada anak-anak yang menggunakan sisir bersama)

3 Tingkat pendidikan ibu (27 penelitian melaporkan bahwa risiko terjadinya infestasi kutu kepala lebih tinggi pada anak-anak yang memiliki ibu yang berpendidikan rendah)

4 Tingkat pendidikan ayah (21 dari 27 penelitian melaporkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ayah dengan risiko terjadinya infestasi kutu kepala)

5 Pekerjaan ayah (19 penelitian memperlihatkan hubungan yang signifikan antara pekerjaan ayah dengan infestasi kutu kepala)

6 Pekerjaan ibu (23 penelitian memperlihatkan hubungan yang signifikan). Lima penelitian melaporkan bahwa pada anak-anak yang memiliki ibu tidak bekerja (ibu rumah tangga) dan ayah bekerja berisiko tinggi terinfestasi kutu kepala dan pada 14 penelitian juga melaporkan bahwa risiko infestasi kutu kepala yang tinggi juga terjadi pada anak-anak yang memiliki ayah dan ibu tidak bekerja.

7 Jumlah anggota keluarga (17 dari 22 penelitian memperlihatkan adanya risiko infestasi kutu yang lebih tinggi terjadi pada anak yang tinggal rumah yang memiliki anggota keluarga yang banyak)

(22)

8

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional study yang dilaksanakan pada bulan Februari – April 2016 pada 10 sekolah dasar di dua kecamatan di Kota Sabang, Provinsi Aceh. Lima sekolah dasar ditentukan pada masing-masing kecamatan yang terdiri atas dua sekolah dasar di daerah urban (berada di sekitar ibukota kecamatan dan merupakan sekolah dasar favorit) dan tiga sekolah dasar di daerah rural (berada jauh dari ibukota kecamatan/di daerah pesisir). Jumlah siswa yang diperiksa yaitu sebanyak 350 orang yang ditentukan dari besar populasi dengan menggunakan rumus Cochran (Cochran 1991; Sastroasmoro dan Ismael 2014). Jumlah siswa pada masing-masing sekolah ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah siswa di sekolah tersebut.

Pemeriksaan Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar

Pemeriksaan dilakukan di ruangan terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan. Setiap anak diperiksa dengan menggunakan sisir satu kali pakai (single use comb/disposal comb) untuk menghindari berpindahnya kutu dari satu anak ke anak yang lain. Pemeriksaan kutu kepala dilakukan selama 5 menit di dalam ruangan yang memiliki cahaya penerangan yang baik. Rambut terlebih dahulu disisir dengan menggunakan sisir biasa agar tidak kusut dan acak-acakan serta untuk memudahkan dalam pemeriksaan. Rambut yang lebat dan cenderung kering dan kusut disisir dengan sisir yang memiliki kerapatan lebih jarang supaya tidak menimbulkan rasa sakit saat disisir. Anak dengan gangguan serta kelainan rambut dan kulit kepala tidak dilibatkan sebagai sampel dalam penelitian ini.

Seluruh bagian rambut diperiksa secara seksama terutama di pelipis, tengkuk dan belakang telinga. Anak yang yang dinyatakan positif terinfeksi kutu kepala yaitu apabila ditemukan satu telur kutu kepala yang hidup di dekat kulit kepala atau bila ditemukan setidaknya satu ekor nimfa atau kutu kepala dewasa (Pollack et al. 2000). Jumlah telur kutu yang masih hidup hanya dihitung secara visual. Untuk memperoleh kutu kepala dewasa dan nimfa yang masih aktif dilakukan dengan menyisir rambut menggunakan sisir serit kutu selama 3 – 5 menit.

Menurut Gutierrez et al. (2012) karakteristik rambut yang perlu diperhatikan dalam kaitan terjadinya infestasi kutu kepala adalah 1). jenis rambut yaitu lurus, bergelombang (ikal) atau keriting; 2). ketebalan rambut yaitu tebal, sedang atau tipis; dan 3). panjang rambut yaitu pendek (diatas kerah dan telinga), sedang (diatas bahu), panjang (lebih dari bahu). Karakteristik rambut tersebut ditentukan secara visual.

Penentuan Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala

(23)

9 karakteristik rambut. Pengumpulan data lainnya dilakukan dengan menggunakan form pendataan yang meliputi variabel umur, jenis kelamin, tingkat kelas belajar, tempat tinggal, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, jumlah saudara kandung, jumlah anggota keluarga dalam satu rumah, kebiasaan tidur dan penggunaan barang bersama yaitu sisir. Umur anak dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu umur 6 – 8 tahun , 9 – 11 tahun, 12 – 14 tahun.

Preservasi Spesimen dan Identifikasi Kutu Kepala

Spesimen kutu yang diperoleh di lapangan dikumpulkan dan dimasukkan kedalam botol koleksi yang sudah diisi alkohol 70%. Spesimen dibawa ke Laboratorium Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB Dramaga Bogor untuk dibuat spesimen kaca dan diidentifikasi.

Pembuatan slide preparat dilakukan dengan menggunakan metode Hadi dan Soviana (2010). Koleksi kutu kepala yang dikumpulkan dalam alkohol 70% dibilas dengan menggunakan aquades dan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi KOH 10%. Tabung dipanaskan namun tidak sampai mendidih agar kitin kutu menipis. Kutu kemudian dibilas dengan air sampai bersih dan bila abdomen masih menggembung maka ditusuk dengan jarum atau ditekan secara perlahan supaya isinya dapat dikeluarkan.

Proses dehidrasi bertahap dilakukan dengan menggunakan alkohol 70%, 85% dan 95%. Pada masing-masing fase dehidrasi dilakukan sekitar 10 menit. Selanjutnya proses clearing dilakukan setelah tahap dehidrasi dengan merendam kutu kedalam minyak cengkeh selama 15 – 30 menit dan dilanjutkan mencuci dengan menggunakan larutan xylol. Jika pada pencucian pertama kali terlihat berkabut, xylol dibuang dan diganti dengan larutan yang baru. Spesimen yang sudah bersih kemudian diletakkan pada object glass yang telah diberi canada balsam dan ditutup dengan cover glass. Kemudian slide dimasukkan kedalam inkubator atau dibiarkan pada suhu ruangan selama 7 – 10 hari agar canada balsam mengeras.

Identifikasi kutu kepala dilakukan dengan menggunakan monograph kunci identifikasi kutu Ferris (1935) dan Tuff (1977), serta kunci identifikasi bergambar (Stojanovich and Pratt dalam CDC [tahun tidak diketahui]).

Analisis Data

Prevalensi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar

Prevalensi infestasi kutu kepala diukur berdasarkan persentase jumlah anak sekolah dasar yang positif terinfestasi kutu kepala dibagi dengan total jumlah anak sekolah dasar yang diperiksa.

Derajat Infestasi Kutu Kepala

(24)

10

kutu yang kosong atau mati lebih dari satu di rambut, tingkat 3 = bila ditemukan ada infestasi kutu baru dengan probabilitas kutu aktif yang rendah, yaitu bila ditemukan 1 – 10 telur kutu kurang dari 1 cm dari kulit kepala dan tidak ditemukan telur kutu yang kosong atau tahap perkembangan lainnya. Tingkat 4 = bila ditemukan kutu baru dengan probabilitas kutu aktif yaitu ditemukan lebih dari 10 telur kutu hidup pada rambut kurang dari 1 cm dari kulit kepala dan tanpa telur yang kosong atai tanpa tahap perkembangan lainnya, tingkat 5 = bila ditemukan infestasi kutu kepala aktif, yaitu ditemukan lebih dari 10 telur kutu yang hidup kurang dari 1 cm dari kulit kepala dan ditemukan kutu dalam tahap perkembangan nimfa maupun dewasa (Catala et al. 2005).

Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala

(25)

11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Kutu Kepala

Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) berbentuk pipih dorsoventral dengan tiga bagian tubuh yaitu kepala, toraks dan abdomen dengan ukuran 2 2.7 mm. Kutu dewasa berwarna keabu-abuan, memiliki antena pendek berbentuk filiform dengan lima segmen. Kutu memiliki tiga pasang kaki yang berkembang dengan baik yang terdiri atas coxa, throcanter, femur, tibia dan tarsus. Panjang kaki depan, tengah dan belakang hampir sama panjang. Ujung tarsus berbentuk seperti cakar (claws) yang berfungsi untuk menggenggam pada batang rambut (Gambar 1).

Perbedaan jantan dan betina tampak pada bentuk abdomen jantan yang lebih ramping dengan bagian ujung abdomen yang membulat. Abdomen betina lebih besar dengan ujung membentuk seperti huruf v. Kutu kepala jantan memiliki alat kelamin yaitu aedeagus (penis). Kutu kepala betina memiliki terminal portion yang disebut gonopod dan uterine gland. Uterine gland mengeluarkan cairan cement seperti lem yang berfungsi untuk melekatkan telur pada rambut agar tidak mudah lepas. Telur berwarna putih keabu-abuan, mengkilap atau putih keperakan dan berbentuk oval. Pada bagian ujung telur memiliki operculum (Gambar 2) yang akan membuka pada saat telur menetas.

Morfologi dan ukuran kutu yang diperoleh dalam penelitian ini tidak berbeda dengan morfologi kutu yang dalam penelitian lainnya (Marjan et al. 2015; Abdulla 2015). Menurut Marjan et al. (2015) kutu dewasa memiliki urukuran 1- 3 mm. Bentuk nimfa hampir sama dengan kutu dewasa, perbedaanya hanya tampak pada ukuran abdomen karena adanya peningkatan segmen abdomen. Kutu tidak mampu terbang ataupun melompat, namun mampu bergerak cepat dengan kecepatan hingga 23 cm per menit (Nutanson et al. 2008). Telur diletakkan pada batang rambut pada jarak 2 – 4 mm dari kulit kepala dan dapat melekat erat pada rambut karena cairan cement. Pada operculum terdapat aeropyles yang dibutuhkan untuk respirasi embrio (Abdulla 2015).

Gambar 1 Kutu kepala dewasa (Pediculus humanus capitis) pada anak sekolah dasar di Kota

(26)

12

Gambar 2 Telur Kutu Kepala (nits) yang masih hidup pada rambut anak sekolah dasar di Kota Sabang (menggunakan optilab dengan perbesaran mikroskop 100x).

(a) operculum, (b) cement

Prevalensi Infestasi Kutu Kepala

Hasil pemeriksaan langsung untuk mendiagnosa infestasi kutu kepala pada 350 orang anak sekolah dasar di Kota Sabang diperoleh 95 orang anak positif terinfestasi kutu kepala dengan angka prevalensi infestasi sebesar 27.1%. Hal ini menunjukkan bahwa infestasi kutu kepala masih menjadi masalah kesehatan pada anak-anak sekolah dasar di Kota Sabang.

Angka prevalensi infestasi kutu kepala dalam penelitian ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di Yogyakarta yaitu sebesar 12.3% (Zhen 2014) dan 19.6% (Munusamy 2014). Infestasi kutu kepala juga dilaporkan menjadi masalah kesehatan pada anak-anak sekolah dasar di berbagai negara di dunia dengan angka prevalensi bervariasi mulai dari 0.7 – 59% bahkan dapat dijumpai dengan infestasi yang sangat tinggi yaitu lebih dari 70% (Combescot-Lang et al.2015; Lashari et al. 2015). Laporan prevalensi infestasi kutu kepala pada anak-anak sekolah dasar dari manca negara dalam lima tahun terakhir diantaranya yaitu sebesar 0.7% terjadi pada daerah Kashan Iran Tengah (Doroodgar et al. 2014); 1.12% dari total 1771 siswa yang diperiksa pada anak-anak sekolah dasar di daerah rural Sirjan, Iran Selatan (Yousefi et al. 2012); 8.8% dilaporkan terjadi pada anak sekolah dasar di Iran Moosazadeh et al (2015); pada daerah timur Bangkok, Thailand angka infestasi pada anak sekolah terjadi sebesar 23.32% (Rassami and Soonwera 2012); 42.7% di Bahia Blanca Argentina (Guiterrez et al. 2012) dan infestasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 74.24% tejadi pada anak sekolah di Pakistan (Lashari et al. 2015).

Prevalensi infestasi kutu kepala ditemukan lebih tinggi terjadi pada anak perempuan (48.0%) dibandingkan anak laki-laki (7.3%), sebagaimana tersaji pada Tabel 1. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan terjadinya infestasi kutu kepala (p < 0.05).

a

(27)

13 Tabel 1 Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kota

Sabang 2016 Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur.

Variabel Jumlah siswa yang

Anak perempuan di Kota Sabang umumnya menggunakan kerudung saat berada di sekolah. Penggunaan kerudung (jilbab) mungkin dapat membatasi transmisi kutu kepala dari satu anak perempuan ke temannya saat berada di sekolah, namun transmisi kutu kepala dapat terjadi pada saat bermain diluar jam sekolah. Kondisi rambut dan kulit kepala cenderung menjadi lebih lembab karena saat berkerudung dan menggunakan kerudung pada saat rambut masih basah setelah keramas dapat menjadikan rambut sebagai tempat yang disenangi kutu untuk berkembang. Kebiasaan anak perempuan juga lebih sering melakukan kontak yang lebih dekat, senang bermain dan tidur bersama-sama dan bertukar aksesoris rambut dengan teman atau saudaranya dan juga memiliki rambut yang lebih panjang diduga dapat menjadi jalur transmisi infestasi kutu kepala. Anak laki-laki lebih jarang melakukan kontak saat bermain dibandingkan anak perempuan.

Hal ini serupa dengan laporan di Yogyakarta, menurut Zhen (2014) infestasi kutu kepala lebih banyak terjadi pada anak perempuan. Hal yang sama juga dilaporkan terjadi di manca negara (Moosazadeh et al. 2015). Menurut Rassami and Soonwera (2012) anak perempuan memiliki kebiasaan bermain bersama teman-temannya dalam kelompok kecil dan lebih sering mengalami kontak lebih dekat bersama temannya (head to head contact). Head to head contact merupakan jalur aktif untuk terjadinya transmisi kutu kepala sedangkan penularan pasif dapat terjadi pada penggunaan bersama aksesoris seperti sisir dan jepit rambut.

Prevalensi infestasi berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa infestasi lebih banyak terjadi pada anak dalam kelompok umur 6 – 8 tahun, namun tidak memperlihatkan perbedaan dengan kelompok umur lainnya. Anak-anak diatas umur 5 tahun biasanya sudah bisa melakukan aktivitas mandi dan mencuci rambut sendiri, namun diduga masih kurang memperhatikan dengan baik aspek higiene perorangan. Uji chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kelompok umur dengan terjadinya infestasi kutu kepala (p > 0.05).

(28)

14

tertinggi dijumpai pada anak umur 9 tahun (Degerli et al. 2012). Menurut Azni (2014) tingkat infestasi meningkat seiring bertambahnya usia dan kenaikan kelas. Masalah higiene perorangan terutama mandi dan mencuci rambut pada anak perempuan yang masih kecil biasanya masih berada dalam pengawasan orang tua khususnya ibu, namun seiring bertambahnya umur pengawasan tersebut semakin berkurang. Hal ini menyebabkan infestasi kutu kepala lebih tinggi ditemukan pada anak-anak yang lebih besar.

Uji statistik menggunakan model regresi logistik menunjukkan bahwa jenis kelamin berperan sebagai faktor risiko terjadinya infestasi kutu kepala (Sig < 0.05) dengan nilai Odds Ratio (OR) sebesar 11.8 (Lampiran 3.3). Hal ini diartikan bahwa anak perempuan berisiko 11.8 kali lipat dapat terinfestasi kutu kepala dibandingkan dengan anak laki-laki. Namun infestasi kutu kepala yang lebih tinggi pada anak perempuan bukan mutlak didasari karena adanya perbedaan jenis kelamin, akan tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor lainnya.

Beberapa laporan infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di luar negeri juga menemukan hasil yang tidak jauh berbeda. Anak perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi dapat tertular infestasi kutu kepala lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki. Di negara Turki anak perempuan di kota Izmir berisiko 3.14 kali lipat (Karakus et al. 2014) dan anak-anak perempuan di daerah Koaceli berisiko 4.99 kali lipat (Akturk et al. 2012). Di Iran anak-anak perempuan lebih berisiko 5.5 kali lipat dapat terinfestasi kutu kepala di bandingkan anak laki-laki (Moosazadeh et al. 2015) dan di Thailand anak perempuan 40 kali lipat lebih berisiko (Rassami and Soonwera 2012).

Prevalensi infestasi kutu kepala pada anak sekolah di Kecamatan Sukakarya adalah sebesar 31.4% dan 22.2% di Kecamatan Sukajaya sebagaimana tersaji pada Tabel 2. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan bahwa infestasi kutu kepala masih menjadi masalah pada masing-masing sekolah dengan angka prevalensi infestasi yang bervariasi dari 9.1% – 50.0 %.

Tabel 2 Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Sukakarya dan Sukajaya Kota Sabang 2016.

Nama Sekolah Siswa yang diperiksa Siswa terinfestasi Total siswa terinfestasi Prevalensi

(%)

(29)

15 Tabel 3 Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kota

Sabang 2016 Berdasarkan Letak Lokasi Sekolah.

Variabel Total Infestasi Prevalensi

(%) Nilai p

Negatif Positif

Urban 192 141 51 26.6 0.88

Rural 158 114 44 27.8

Total 350 255 95

Menurut Rassami and Soonwera (2012) prevalensi infestasi dapat bervariasi dipengaruhi oleh kebijakan dalam penanganan kejadian infestasi, metode pemberantasan yang dilakukan, banyaknya kontak langsung (head to head contact), tingkat higiene perorangan, keadaan tempat tinggal dan kondisi ekonomi keluarga termasuk pendapatan keluarga serta pengetahuan dan perhatian dalam melakukan pemberantasan kutu kepala.

Prevalensi infestasi kutu kepala berdasarkan letak lokasi sekolah lebih tinggi terjadi pada sekolah-sekolah dasar yang berada di daerah rural (27.8 %), namun angka prevalensi ini tidak terlalu berbeda jauh jika dibandingkan dengan prevalensi infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di daerah urban (26.6%) (Tabel 3). Hasil uji chi-square menunjukkan tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara letak lokasi sekolah di daerah rural dan urban dengan tingginya angka infestasi kutu kepala (p > 0.05).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Yogyakarta, dilaporkan bahwa prevalensi infestasi kutu kepala lebih tinggi terjadi pada anak sekolah dasar di daerah rural dibandingkan daerah urban (Zhen et al. 2014; Munusamy et al. 2014). Begitu pula dengan laporan di Damghan Iran, angka prevalensi infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di daerah rural dua kali lebih tinggi dibandingkan pada daerah urban (Azni 2014). Namun hasil ini masih perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk menganalisis faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya perbedaan angka prevalensi infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di kedua daerah tersebut.

Derajat Infestasi Kutu Kepala

Berdasarkan kategori derajat infestasi diketahui bahwa lebih setengah dari jumlah anak yang diperiksa berada pada derajat infestasi kategori tingkat 1 dan 2 sebagaimana tersaji pada Gambar 3. Pada derajat infestasi tingkat 1 jumlah anak laki-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Hal ini berarti bahwa lebih banyak anak laki-laki yang bebas dari infestasi kutu kepala (negatif) dibandingkan anak perempuan. Jumlah anak perempuan yang terinfestasi kutu kepala lebih banyak dibandingkan anak laki-laki ditemukan pada kategori tingkat 2 – 5, yang berarti bahwa infestasi kutu lebih banyak terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.

(30)

16

Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4 Tingkat 5

Jum pada derajat infestasi kategori tingkat 5 dapat ditemukan lebih dari 10 ekor kutu kepala dewasa (Gutierrez et al. 2012).

Menurut Catala et al. (2005) derajat infestasi dapat digunakan sebagai parameter yang baik dalam pengobatan dan pemberantasan kutu kepala. Pada kategori tingkat 1 dan 2 tidak diperlukan perawatan dan penanganan, sedangkan pada anak-anak yang ditemukan telur (nits) aktif yang berada pada jarak 1 cm dari kulit kepala tanpa ditemukan tahapan perkembangan nimfa dan dewasa (kategori tingkat infestasi 3 dan 4) hanya perlu perawatan secara manual dan tidak memerlukan perawatan dengan insektisida untuk kutu kepala (pediculicide). Pada kegiatan di lembaga-lembaga pendidikan hal ini penting diketahui serta menjadi perhatian dan pengawasan untuk mencegah munculnya kejadian infestasi kutu kepala baru pada anak-anak.

Anak yang terinfestasi kutu kepala aktif dapat mengalami gangguan seperti rasa gatal dan timbulnya iritasi pada kulit kepala akibat garukan. Hal ini dapat berdampak pada terganggunya konsentrasi belajar anak dan menurunkan kualitas tidur dimalam hari. Infestasi kutu kepala aktif dalam waktu lama jika tidak diobati dapat menyebabkan terjadinya anemia pada anak (Yousefi et al. 2012).

Jumlah darah yang dikonsumsi oleh kutu kepala pada saat menghisap darah dilaporkan bervariasi antara kutu kepala betina, jantan dan juga nimfa. Satu ekor kutu betina dewasa mampu menghisap darah sebanyak 0.0001579 ml, kutu jantan dewasa 0.0000657 ml dan nimfa sebanyak 0.0000387 ml. Bila diasumsikan kutu menghisap darah sebanyak 3 kali sehari maka pada anak yang terinfestasi 30 ekor kutu kepala (10 ekor kutu betina, 10 ekor kutu jantan dan 10 ekor nimfa) dapat kehilangan darah sebanyak 0.008 ml per hari atau 2.1 ml per tahun. Namun belum diketahui dengan pasti berapa kali kutu menghisap darah dalam satu hari. Jika kutu menghisap darah lebih sering maka anak yang terinfestasi kutu dalam jumlah banyak dapat berpotensi mengalami anemia dan kekurangan zat besi (Speare et al. 2006).

(31)

17

Faktor Risiko Infestasi kutu kepala

Faktor risiko terjadinya infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di Kota Sabang yang diamati dalam penelitian ini adalah karakteristik rambut, higiene perorangan, keberadaan saudara kandung dan teman yang terinfestasi, infestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir dan penggunaan obat untuk pengobatan dan sosio ekonomi keluarga.

Dari hasil pemeriksaan terhadap 95 orang anak yang positif terinfestasi kutu kepala sebanyak 59 orang anak memiliki rambut yang tebal dan sebanyak 64 orang anak memiliki panjang rambut lebih dari sebahu (Tabel 4). Hasil uji chi-square untuk ketiga karakteristik rambut tersebut adalah menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya infestasi kutu kepala. Secara berturut-turut hasil tersebut adalah jenis rambut, ketebalan rambut dan panjang rambut menunjukkan hubungan yang signifikan (p < 0.05) (Tabel 4). Anak-anak yang terinfestasi kutu kepala dalam penelitian ini umumnya memiliki rambut yang panjang dan tebal dan diberi minyak agar lebih licin dan tidak mudah kusut saat disisir. Rambut anak perempuan diikat/kucir dan lebih lembab karena menggunakan kerudung. Karakterisitik rambut demikian dan ditambah frekuensi mencuci rambut yang jarang diduga menjadi habitat yang disukai oleh kutu kepala sebagai tempat hidup dan berkembangbiak.

Uji statistik lanjutan menggunakan model regresi logistik berdasarkan karakteristik rambut terhadap risiko penularan infestasi kutu kepala menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi adalah panjang rambut sebahu dan panjang rambut lebih dari sebahu (Sig < 0.05). Nilai OR panjang rambut sebahu adalah 4.8 (Lampiran 3.8) yang berarti bahwa anak yang memiliki panjang rambut sebahu dapat berisiko 4.8 kali lipat dapat terinfestasi kutu kepala, sedangkan nilai OR untuk rambut yang panjang lebih dari sebahu adalah 9.7 (Lampiran 3.8) yang berati bahwa anak yang memiliki panjang rambut lebih dari sebahu dapat berisiko 9.7 kali terinfestasi kutu kepala.

Tabel 4 Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji chi-square Berdasarkan Karakteristik Rambut terhadap Infestasi Kutu Kepala

No Variabel Total Infestasi Prevalensi

(32)

18

Tabel 5 Hasil Analisis statistik menggunakan Uji Chi-square Berdasarkan Perilaku Higiene Perorangan terhadap Infestasi Kutu Kepala.

No Variabel Total

Anak-anak yang positif terinfestasi kutu kepala umumnya mencuci rambut 2 kali dalam seminggu dan memiliki kebiaaan tidur bersama orang lain (Tabel 5). Hasil uji chi-square untuk faktor risiko berdasarkan higiene perorangan berturut-turut adalah adalah frekuensi mencuci rambut menunjukkan hubungan yang signifikan (p < 0.05) sedangkan penggunaan shampo, penggunaan sisir bersama orang lain dan kebiasaan tidur bersama orang lain menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p > 0.05).

Pada uji statistik menggunakan model regresi logistik berdasarkan perilaku higiene perorangan terhadap risiko terjadinya infestasi kutu kepala menunjukkan bahwa kebiasaan tidur bersama orang lain menjadi faktor yang paling berpengaruh (sig < 0.05). Nilai OR kebiasaan tidur bersama orang lain adalah 2.1 (Lampiran 3.13) yang berarti bahwa anak yang tidur bersama orang lain akan berisiko 2.1 kali lipat dapat tertular infestasi kutu kepala.

Anak-anak yang berumur kurang dari 12 tahun biasanya masih terbiasa tidur bersama orang lain yaitu dengan kakak, orang tua atau bersama nenek serta saudara lainnya. Kebiasaan tidur bersama dapat menjadi jalur transmisi perpindahan kutu kepala dari satu orang ke orang lain. Menurut Speare et at. (2006) kutu dapat berpindah dari kepala dan rambut ke sarung bantal saat kita tidur malam dan mampu bertahan hingga 9 jam sebelum akhirnya menemukan dan kembali ke rambut.

(33)

19 menggunakan orang yang lebih dewasa. Informasi gambaran perilaku higiene dapat lebih akurat dan menunjukkan perilaku higiene perorangan yang dilakukan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari 95 orang anak yang positif terinfestasi kutu kepala, 48 orang (41%) diantaranya memiliki saudara kandung yang juga positif terinfestasi kutu kepala serta 51 orang (35.7%) memiliki teman bermain yang positif terinfestasi kutu kepala (Tabel 6). Hasil uji chi-square anak yang memiliki saudara kandung dan memiliki teman yang positif terinfestasi kutu kepala menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap terjadinya infestasi kutu kepala pada anak yang diperiksa (p < 0.05).

Uji statistik menggunakan model regresi logistik terhadap faktor risiko terjadinya infestasi kutu kepala berdasarkan keberadaan saudara kandung dan teman yang positif terinfestasi kutu kepala menunjukkan bahwa anak yang memiliki saudara kandung dan teman yang terinfestasi dapat berisiko terinfestasi kutu kepala (sig < 0.05). Nilai OR pada anak yang memiliki saudara kandung yang positif terinfestasi kutu kepala adalah 2.8 (Lampiran 3.16); hal ini berarti bahwa anak yang memiliki saudara kandung yang terinfestasi kutu kepala 2.8 kali lipat dapat berisiko ikut tertular infestasi kutu kepala. Nilai OR pada anak yang memiliki teman yang positif terinfestasi kutu kepala adalah 2.1 (Lampiran 3.16); yang berarti bahwa anak yang memiliki teman yang terinfestasi kutu kepala berisiko 2.1 kali lipat dapat ikut tertular infestasi kutu kepala.

Anak yang memiliki saudara kandung dan teman yang terinfestasi kutu kepala dapat berisiko tertular infestasi kutu kepala saat bermain bersama, tidur bersama dan bahkan meminjam barang-barang seperti sisir, kerudung dan akseroris rambut lainnya yang diduga dapat menjadi jalur transmisi penularan kutu kepala.

Jumlah anak yang pernah terinfestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir dan yang menggunakan obat untuk mengatasi infestasi kutu kepala tersaji pada Tabel 7. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara infestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir dan penggunaan obat untuk pengobatan kutu kepala dengan kejadian infestasi kutu kepala pada anak saat dilakukan pemeriksaan (p < 0.05).

Tabel 6 Hasil Analisis statistik menggunakan Uji Chi-square Berdasarkan Keberadaan Saudara Kandung dan Teman Bermain yang Terinfestasi Kutu terhadap Infestasi Kutu Kepala.

1 Memiliki Saudara kandung yang terinfestasi kutu 0.00* Ya 117 69 48 41.0

Tidak 233 186 47 20.2

2 Memiliki teman bermain yang terinfestasi kutu 0.00* Ya 143 92 51 35.7

Tidak 207 163 44 21.1

(34)

20

Tabel 7 Hasil Analisis statistik menggunakan Uji chi-square Berdasarkan Kejadian Infestasi Kutu Kepala dalam Tiga Bulan Terakhir dan Pengunaan Obat untuk Pengobatan Infestasi Kutu terhadap Infestasi Kutu Kepala.

1 Pernah terinfestasi kutu dalam 3 bulan terakhir 0.00* Ya 112 45 67 59.8

Tidak 238 210 28 11.8

2 Penggunaan obat untuk pengobatan Infestasi kutu 0.00* Tidak 294 239 55 18.7

Ya 56 16 40 71.4

Ket: * Signifikan pada taraf 95%

Uji statistik lanjutan menggunakan model regresi logistik terhadap faktor risiko infestasi kutu kepala berdasarkan kejadian infestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir dan penggunaan obat menunjukkan bahwa nilai OR untuk anak yang pernah terinfestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir adalah 6.9 (Lampiran 3.19). Hal ini berarti bahwa anak yang pernah terinfestasi kutu kepala memiliki risiko 6.9 kali lipat masih terinfestasi kutu kepala pada saat dilakukan pemeriksaan. Nilai OR untuk anak yang tidak pernah menggunakan obat adalah 3.0 (Lampiran 3.19), hal ini berarti bahwa anak yang tidak menggunakan obat untuk mengobati infestasi kutu kepala memiliki risiko 3.0 kali lipat dapat ditemukan infestasi kutu kepala pada saat pemeriksaan.

Infestasi kutu kepala berulang (reinfestasi) mungkin dapat terjadi pada anak yang telah bebas dari infestasi kutu kepala setelah diobati atau mendapat perawatan. Menurut Azni (2014) pada orang yang pernah terinfestasi kutu kepala lebih rentan terjadi re-infestasi dibandingkan dengan orang yang belum pernah memiliki riwayat terinfestasi kutu kepala. Riwayat pernah terinfestasi kutu kepala memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian infestasi kutu kepala pada saat ini.

Kebanyakan anak diobati dengan memberikan pediculicide yang dijual bebas di apotek dalam bentuk sediaan topikal yang dioleskan ke rambut dan kulit kepala dengan kandungan bahan aktif berupa permetrin 1% atau dibersihkan secara manual oleh orang tuanya. Penggunaan pediculicide dengan cara yang kurang tepat ataupun penggunaan dalam waktu yang lama sebagai bentuk pengobatan mungkin sudah menimbulkan terjadinya resistensi, namun hal ini perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat resistensi kutu kepala terhadap pediculicide yang digunakan masyarakat.

(35)

21 Tabel 8 Hasil Analisis statistik menggunakan Uji chi-square Berdasarkan Jumlah Saudara Kandung dan Jumlah Anggota Keluarga yang Tinggal Serumah Terhadap Infestasi Kutu Kepala.

1 Jumlah Saudara Kandung 0.11 > 4 orang 32 19 13 40.6

3 – 4 orang 154 109 45 29.2 1 – 2 orang 160 123 37 23.1 Tidak Punya 4 4 0 0

2 Jumlah anggota keluarga serumah 0.22 > 8 orang 12 9 3 25.0

7 – 8 orang 44 27 17 38.6 5 – 6 orang 173 125 48 27.7 3 – 4 orang 121 94 27 22.3

Ket: * Signifikan pada taraf 95%

Jumlah saudara kandung dan jumlah anggota keluarga tidak menjadi faktor risiko dalam terjadinya penularan infestasi kutu kepala. Hal ini mungkin terjadi karena anak-anak yang terinfestasi kutu kepala memiliki tempat tinggal yang cukup luas yang dapat dihuni oleh banyak anggota keluarga, sehingga kontak anatar anggota keluarga menjadi jarang terjadi. Namun hal ini perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengenai keadaan dan kondisi rumah terhadap terjadinya penularan infestasi kutu kepala.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian serupa yang dilakukan di Pakistan yang melaporkan bahwa sosial ekonomi keluarga yang rendah dengan jumlah saudara dan anggota keluarga yang banyak secara signifikan dapat meningkatkan risiko terjadinya infestasi kutu kepala. Hal ini bisa terjadi karena pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang ramai kurang memberikan perhatian dalam kebersihan dan pemeliharaan rambut serta sering bermain berkerumun di rumahnya yang meningkatkan kontak orang ke orang (Lashari et al. 2015).

Sosio ekonomi keluarga yang diamati dalam penelitian ini sebagai faktor risiko terjadinya penularan infestasi kutu yaitu pendidikan ayah dan ibu serta pekerjaan ayah dan ibu seperti yang tersaji pada Tabel 9. Hasil uji chi-square untuk pendidikan ayah dan pekerjaan ayah menunjukkan hubungan signifikan (p < 0.05), sedangkan pendidikan ibu dan pekerjaan ibu memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan sebagai faktor risiko terjadinya penularan infestasi kutu kepala (Sig > 0.05) sebagaimana tersaji pada Lampiran 3.26.

(36)

22

Hasil penelitian ini sejalan dengan dua penelitian yang dilakukan di Yogyakarta yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara faktor sosio ekonomi tersebut terhadap terjadinya penularan infestasi kutu kepala (Zhen et al. 2014; Munusamy et al. 2014). Hal yang hampir serupa dilaporkan pada penelitian dilakukan di Turki (Cetinkaya et al. 2011) yang melaporkan bahwa tingkat pendidikan orang tua, tipe rumah dan keberadaan kamar mandi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap terjadinya penularan infestasi kutu kepala, sedangkan pada penelitian lainnya di negara yang sama ditemukan bahwa ibu yang merawat anak-anaknya dan tingkat pendidikan serta status ekonomi keluarga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan tingginya prevalensi infestasi kutu kepala (Karakus et al. 2014).

Tabel 9 Hasil Analisis statistik menggunakan Uji chi-square Berdasarkan Sosio Ekonomi Keluarga Terhadap Infestasi Kutu Kepala

(37)

23

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Infestasi kutu kepala masih menjadi masalah kesehatan pada anak sekolah dasar di Kota Sabang, Provinsi Aceh dengan angka prevalensi infestasi terjadi sebesar 27.1%. Prevalensi infestasi kutu kepala pada masing-masing sekolah bervariasi dari 9.1% – 50.0 % dengan prevalensi infestasi yang lebih tinggi terjadi pada sekolah dasar-sekolah dasar di Kecamatan Sukakarya (31.4%). Prevalensi infestasi kutu kepala lebih tinggi terjadi pada anak sekolah dasar di daerah rural (27.8%) dibanding dengan anak-anak sekolah dasar di daerah urban (26.6%).

Infestasi kutu kepala berhubungan erat dengan perbedaan jenis kelamin. Prevalensi infestasi kutu kepala pada anak perempuan sebesar 48.0% dan pada anak laki-laki sebesar 7.3%. Anak perempuan memiliki risiko 11.8 kali lipat dapat tertular infestasi kutu kepala dibandingkan anak laki-laki. Infestasi kutu kepala ditemukan pada anak sekolah dari umur 6 – 14 tahun, namun infestasi kutu kepala tidak menunjukkan hubungan yang signifikan berdasarkan perbedaan kelompok umur. Umumnya anak-anak yang positif terinfestasi kutu kepala sudah berada pada derajat infestasi kutu kepala sangat aktif dan dapat ditemukan lebih dari 10 ekor nimfa atau kutu kepala yang hidup rambut dan kulit kepalanya.

Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi dalam penularan infestasi kutu kepala adalah (1) karakteristik rambut yaitu panjang rambut sebahu yang memiliki risiko 4.7 kali lipat dan panjang rambut lebih dari sebahu yang memiliki risiko 9.7 kali lipat lebih berisiko, (2) kebiasaan tidur bersama orang lain dapat menyebabkan anak memiliki risiko 2.1 kali lipat dapat terinfestasi kutu kepala, (3) memiliki saudara kandung yang terinfestasi dan teman yang terinfestasi kutu kepala dapat memiliki nilai risiko masing-masing adalah 2.8 dan 2.1 kali dapat lebih berisiko, (4) infestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir berisiko sebesar 6.9 kali lipat masih terinfestasi kutu kepala pada saat pemeriksaan, (5) tidak pernah menggunakan obat untuk mengobati infestasi kutu kepala dapat menyebabkan anak berisiko 3.0 kali lipat masih terinfestasi kutu kepala saat pemeriksaan. Faktor ekonomi keluarga seperti pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua, jumlah saudara kandung serta jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan terjadinya infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar.

Saran

(38)

24

DAFTAR PUSTAKA

Abdulla BS. 2015. Morphological Study and Prevalence of Head Lice (Pediculus humanus capitis) (Anoplura: Pediculidae) Infestation among Some Primary School Students in Erbil City, Kurdistan Region. Zanco J Pure Appl Sci. 27(5): 29 – 36.

Akturk AS, Ozkan O, Gokdemir M, Tecimer S, Bilen N. 2012. The Prevalence of Pediculosis Capitis and Factors Related to The Treatment Succes in Primary School Children and Their Family Members in Kocaeli. TAF Prev

Med Bull 11(2): 181 – 190.

Azni SM. 2014. Prevalence of Head Lice at the Primary School in Damghan, Iran. Zahedan J Res Med Sci. 16(11): 47 – 49.

Catala S, Junco L, Vaporaky R. 2005. Pediculus capitis Infestation According to Sex and Social Factors in Argentina. Rev Saúde Publica 39: 438 – 443. Cetinkaya U, Hamamci B, Delice S, Ercal BD, Gucuyetmez, Yazar S, Sahin I.

2011. The Prevalence of Pediculus humanus capitis in Two Primary Schools of Hacilar, Kayseri. Turkiye Parazitol Derg 35: 151 – 153. Cochran WG. 1991. Tehnik Penarikan Sampel. Jakarta (ID). UI Press

Combescot-Lang C, Vander Stichele RH, Toubate B, Veirron E, Mumcuoglu KY. 2015. Ex vivo Effectiveness of French Over-the-Counter Products Against Head Lice (Pediculus humanus capitis De Geer, 1778). Parasitol Research, 114(5):1779 – 1792.

Degerli S, Malatyali E, Celiksoz A, Ozcelik S and Mumcuoglu KY. 2012. The Prevalence of Pediculus humanus capitis and the Coexistence of Intestinal Parasites in Young Children in Boarding School in Sivas, Turkey. Pediatr Dermatol 29(4): 426 – 429.

Doroodgar A, Sadr F, Dororodgar M, Doroodgar M, Sayyah M. 2014. Examining the Prevalence Rate of Pediculus capitis Infestation according to Sex and Social Factors in Primary School Children. Asian Pac J Trop 4(1): 25 – 29. doi:10.1016/S2222-1808(14)60308-X.

Devore CD, MD, FAAP, Schutze GE, MD. 2015. Guidance for the Clinician in Rendering Pediatric Care. Clinical Report. The council on school health and committee on infectious diseases

Falagas ME, Matthaiou DK, Rafailidis PI, Panos G, Pappas G. 2008 Worldwide Prevalence of Head Lice. Emerge Infect Dis 14(9): 1493 – 1494. doi: 10.3201/eid1409.080368.

Feldemeier H. 2010. Diagnosis of Head Lice: An Evidence-Based Review. Open Dermatol J 4: 69 – 71.

Feldmeier H, Heukelbach J. 2009. Epidermal Skin Disease: A Neglected Category of Poverty-Associated Plagues. Bull World Health Organ 87: 152 – 159. Ferris GF. 1935. Contribution Towardds a Monograph of the Sucking Lice.

Gambar

Gambar 1 Kutu kepala dewasa (Pediculus humanus capitis) pada anak sekolah dasar di Kota
Tabel 1 Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kota
Tabel 2  Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di
Tabel 5 Hasil Analisis statistik menggunakan Uji Chi-square Berdasarkan
+3

Referensi

Dokumen terkait