• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) berbentuk pipih dorsoventral dengan tiga bagian tubuh yaitu kepala, toraks dan abdomen dengan ukuran 2 2.7 mm. Kutu dewasa berwarna keabu-abuan, memiliki antena pendek berbentuk filiform dengan lima segmen. Kutu memiliki tiga pasang kaki yang berkembang dengan baik yang terdiri atas coxa, throcanter, femur, tibia dan tarsus. Panjang kaki depan, tengah dan belakang hampir sama panjang. Ujung tarsus berbentuk seperti cakar (claws) yang berfungsi untuk menggenggam pada batang rambut (Gambar 1).

Perbedaan jantan dan betina tampak pada bentuk abdomen jantan yang lebih ramping dengan bagian ujung abdomen yang membulat. Abdomen betina lebih besar dengan ujung membentuk seperti huruf v. Kutu kepala jantan memiliki alat kelamin yaitu aedeagus (penis). Kutu kepala betina memiliki terminal portion yang disebut gonopod dan uterine gland. Uterine gland mengeluarkan cairan cement seperti lem yang berfungsi untuk melekatkan telur pada rambut agar tidak mudah lepas. Telur berwarna putih keabu-abuan, mengkilap atau putih keperakan dan berbentuk oval. Pada bagian ujung telur memiliki operculum (Gambar 2) yang akan membuka pada saat telur menetas.

Morfologi dan ukuran kutu yang diperoleh dalam penelitian ini tidak berbeda dengan morfologi kutu yang dalam penelitian lainnya (Marjan et al. 2015; Abdulla 2015). Menurut Marjan et al. (2015) kutu dewasa memiliki urukuran 1- 3 mm. Bentuk nimfa hampir sama dengan kutu dewasa, perbedaanya hanya tampak pada ukuran abdomen karena adanya peningkatan segmen abdomen. Kutu tidak mampu terbang ataupun melompat, namun mampu bergerak cepat dengan kecepatan hingga 23 cm per menit (Nutanson et al. 2008). Telur diletakkan pada batang rambut pada jarak 2 – 4 mm dari kulit kepala dan dapat melekat erat pada rambut karena cairan cement. Pada operculum terdapat aeropyles yang dibutuhkan untuk respirasi embrio (Abdulla 2015).

Gambar 1 Kutu kepala dewasa (Pediculus humanus capitis) pada anak sekolah dasar di Kota

Sabang (menggunakan optilab dengan perbesaran mikroskop 1000x). (1) Jantan, (2) Betina, (a) Claws, (b) Spirakel, (c) Penis dan (d) Gonopod

2

1

c

b

a

b

a

d

12

Gambar 2 Telur Kutu Kepala (nits) yang masih hidup pada rambut anak sekolah dasar di Kota Sabang (menggunakan optilab dengan perbesaran mikroskop 100x).

(a) operculum, (b) cement

Prevalensi Infestasi Kutu Kepala

Hasil pemeriksaan langsung untuk mendiagnosa infestasi kutu kepala pada 350 orang anak sekolah dasar di Kota Sabang diperoleh 95 orang anak positif terinfestasi kutu kepala dengan angka prevalensi infestasi sebesar 27.1%. Hal ini menunjukkan bahwa infestasi kutu kepala masih menjadi masalah kesehatan pada anak-anak sekolah dasar di Kota Sabang.

Angka prevalensi infestasi kutu kepala dalam penelitian ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di Yogyakarta yaitu sebesar 12.3% (Zhen 2014) dan 19.6% (Munusamy 2014). Infestasi kutu kepala juga dilaporkan menjadi masalah kesehatan pada anak-anak sekolah dasar di berbagai negara di dunia dengan angka prevalensi bervariasi mulai dari 0.7 – 59% bahkan dapat dijumpai dengan infestasi yang sangat tinggi yaitu lebih dari 70% (Combescot-Lang et al.2015; Lashari et al. 2015). Laporan prevalensi infestasi kutu kepala pada anak-anak sekolah dasar dari manca negara dalam lima tahun terakhir diantaranya yaitu sebesar 0.7% terjadi pada daerah Kashan Iran Tengah (Doroodgar et al. 2014); 1.12% dari total 1771 siswa yang diperiksa pada anak-anak sekolah dasar di daerah rural Sirjan, Iran Selatan (Yousefi et al. 2012); 8.8% dilaporkan terjadi pada anak sekolah dasar di Iran Moosazadeh et al (2015); pada daerah timur Bangkok, Thailand angka infestasi pada anak sekolah terjadi sebesar 23.32% (Rassami and Soonwera 2012); 42.7% di Bahia Blanca Argentina (Guiterrez et al. 2012) dan infestasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 74.24% tejadi pada anak sekolah di Pakistan (Lashari et al. 2015).

Prevalensi infestasi kutu kepala ditemukan lebih tinggi terjadi pada anak perempuan (48.0%) dibandingkan anak laki-laki (7.3%), sebagaimana tersaji pada Tabel 1. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan terjadinya infestasi kutu kepala (p < 0.05).

a

13 Tabel 1 Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kota

Sabang 2016 Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur.

Variabel Jumlah siswa yang

diperiksa Jumlah yang positif Prevalensi (%) Nilai p 1 Jenis Kelamin 0.00* Perempuan 171 82 48.0 Laki-laki 179 13 7.3 Total 350 95 27.1 2 Kelompok Umur 0.54 6 – 8 145 41 28.3 9 – 11 173 47 27.2 12 – 14 32 7 21.9 Total 350 95 27.1

Ket: * Signifikan pada taraf 95%

Anak perempuan di Kota Sabang umumnya menggunakan kerudung saat berada di sekolah. Penggunaan kerudung (jilbab) mungkin dapat membatasi transmisi kutu kepala dari satu anak perempuan ke temannya saat berada di sekolah, namun transmisi kutu kepala dapat terjadi pada saat bermain diluar jam sekolah. Kondisi rambut dan kulit kepala cenderung menjadi lebih lembab karena saat berkerudung dan menggunakan kerudung pada saat rambut masih basah setelah keramas dapat menjadikan rambut sebagai tempat yang disenangi kutu untuk berkembang. Kebiasaan anak perempuan juga lebih sering melakukan kontak yang lebih dekat, senang bermain dan tidur bersama-sama dan bertukar aksesoris rambut dengan teman atau saudaranya dan juga memiliki rambut yang lebih panjang diduga dapat menjadi jalur transmisi infestasi kutu kepala. Anak laki-laki lebih jarang melakukan kontak saat bermain dibandingkan anak perempuan.

Hal ini serupa dengan laporan di Yogyakarta, menurut Zhen (2014) infestasi kutu kepala lebih banyak terjadi pada anak perempuan. Hal yang sama juga dilaporkan terjadi di manca negara (Moosazadeh et al. 2015). Menurut Rassami and Soonwera (2012) anak perempuan memiliki kebiasaan bermain bersama teman-temannya dalam kelompok kecil dan lebih sering mengalami kontak lebih dekat bersama temannya (head to head contact). Head to head contact merupakan jalur aktif untuk terjadinya transmisi kutu kepala sedangkan penularan pasif dapat terjadi pada penggunaan bersama aksesoris seperti sisir dan jepit rambut.

Prevalensi infestasi berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa infestasi lebih banyak terjadi pada anak dalam kelompok umur 6 – 8 tahun, namun tidak memperlihatkan perbedaan dengan kelompok umur lainnya. Anak-anak diatas umur 5 tahun biasanya sudah bisa melakukan aktivitas mandi dan mencuci rambut sendiri, namun diduga masih kurang memperhatikan dengan baik aspek higiene perorangan. Uji chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kelompok umur dengan terjadinya infestasi kutu kepala (p > 0.05).

Menurut Akturk et al. (2012) epidemiologi infestasi kutu kepala sering terjadi pada anak umur 4 – 14 tahun dengan kelompok umur yang banyak terinfestasi kutu kepala adalah pada umur 7 – 13 tahun. Di Sivas Turki infestasi lebih tinggi dilaporkan terjadi pada anak umur 6 – 12 tahun dengan infestasi yang

14

tertinggi dijumpai pada anak umur 9 tahun (Degerli et al. 2012). Menurut Azni (2014) tingkat infestasi meningkat seiring bertambahnya usia dan kenaikan kelas. Masalah higiene perorangan terutama mandi dan mencuci rambut pada anak perempuan yang masih kecil biasanya masih berada dalam pengawasan orang tua khususnya ibu, namun seiring bertambahnya umur pengawasan tersebut semakin berkurang. Hal ini menyebabkan infestasi kutu kepala lebih tinggi ditemukan pada anak-anak yang lebih besar.

Uji statistik menggunakan model regresi logistik menunjukkan bahwa jenis kelamin berperan sebagai faktor risiko terjadinya infestasi kutu kepala (Sig < 0.05) dengan nilai Odds Ratio (OR) sebesar 11.8 (Lampiran 3.3). Hal ini diartikan bahwa anak perempuan berisiko 11.8 kali lipat dapat terinfestasi kutu kepala dibandingkan dengan anak laki-laki. Namun infestasi kutu kepala yang lebih tinggi pada anak perempuan bukan mutlak didasari karena adanya perbedaan jenis kelamin, akan tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor lainnya.

Beberapa laporan infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di luar negeri juga menemukan hasil yang tidak jauh berbeda. Anak perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi dapat tertular infestasi kutu kepala lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki. Di negara Turki anak perempuan di kota Izmir berisiko 3.14 kali lipat (Karakus et al. 2014) dan anak-anak perempuan di daerah Koaceli berisiko 4.99 kali lipat (Akturk et al. 2012). Di Iran anak-anak perempuan lebih berisiko 5.5 kali lipat dapat terinfestasi kutu kepala di bandingkan anak laki-laki (Moosazadeh et al. 2015) dan di Thailand anak perempuan 40 kali lipat lebih berisiko (Rassami and Soonwera 2012).

Prevalensi infestasi kutu kepala pada anak sekolah di Kecamatan Sukakarya adalah sebesar 31.4% dan 22.2% di Kecamatan Sukajaya sebagaimana tersaji pada Tabel 2. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan bahwa infestasi kutu kepala masih menjadi masalah pada masing-masing sekolah dengan angka prevalensi infestasi yang bervariasi dari 9.1% – 50.0 %.

Tabel 2 Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Sukakarya dan Sukajaya Kota Sabang 2016.

Nama Sekolah Siswa yang diperiksa Siswa terinfestasi Total siswa terinfestasi Prevalensi

(%) L P L P Kecamatan Sukakarya SD Neg A 32 35 0 17 17 25.4 SD Neg B 31 24 3 17 20 36.4 SD Neg C 11 13 2 7 9 37.5 SD Neg D 8 8 0 8 8 50.0 SD Neg E 14 12 2 3 5 19.2 Total 96 92 7 52 59 31.4* Kecamatan Sukajaya SD Neg F 19 18 2 9 11 29.7 SD Neg G 14 19 0 3 3 9.1 SD Neg H 17 13 1 4 5 16.7 SD Neg I 26 19 1 9 10 22.2 SD Neg J 7 10 1 6 7 41.2 Total 83 79 5 31 36 22.2*

Ket: L: Laki-laki; P: Perempuan *

15 Tabel 3 Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kota

Sabang 2016 Berdasarkan Letak Lokasi Sekolah.

Variabel Total Infestasi Prevalensi

(%) Nilai p

Negatif Positif

Urban 192 141 51 26.6 0.88

Rural 158 114 44 27.8

Total 350 255 95

Menurut Rassami and Soonwera (2012) prevalensi infestasi dapat bervariasi dipengaruhi oleh kebijakan dalam penanganan kejadian infestasi, metode pemberantasan yang dilakukan, banyaknya kontak langsung (head to head contact), tingkat higiene perorangan, keadaan tempat tinggal dan kondisi ekonomi keluarga termasuk pendapatan keluarga serta pengetahuan dan perhatian dalam melakukan pemberantasan kutu kepala.

Prevalensi infestasi kutu kepala berdasarkan letak lokasi sekolah lebih tinggi terjadi pada sekolah-sekolah dasar yang berada di daerah rural (27.8 %), namun angka prevalensi ini tidak terlalu berbeda jauh jika dibandingkan dengan prevalensi infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di daerah urban (26.6%) (Tabel 3). Hasil uji chi-square menunjukkan tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara letak lokasi sekolah di daerah rural dan urban dengan tingginya angka infestasi kutu kepala (p > 0.05).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Yogyakarta, dilaporkan bahwa prevalensi infestasi kutu kepala lebih tinggi terjadi pada anak sekolah dasar di daerah rural dibandingkan daerah urban (Zhen et al. 2014; Munusamy et al. 2014). Begitu pula dengan laporan di Damghan Iran, angka prevalensi infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di daerah rural dua kali lebih tinggi dibandingkan pada daerah urban (Azni 2014). Namun hasil ini masih perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk menganalisis faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya perbedaan angka prevalensi infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di kedua daerah tersebut.

Derajat Infestasi Kutu Kepala

Berdasarkan kategori derajat infestasi diketahui bahwa lebih setengah dari jumlah anak yang diperiksa berada pada derajat infestasi kategori tingkat 1 dan 2 sebagaimana tersaji pada Gambar 3. Pada derajat infestasi tingkat 1 jumlah anak laki-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Hal ini berarti bahwa lebih banyak anak laki-laki yang bebas dari infestasi kutu kepala (negatif) dibandingkan anak perempuan. Jumlah anak perempuan yang terinfestasi kutu kepala lebih banyak dibandingkan anak laki-laki ditemukan pada kategori tingkat 2 – 5, yang berarti bahwa infestasi kutu lebih banyak terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.

Hasil pemeriksaan selama 5 menit dengan menggunakan sisir kutu diperoleh bahwa anak-anak yang terinfestasi kutu kepala dengan derajat infestasi tingkat 5 dapat ditemukan lebih dari 10 ekor nimfa dan kutu kepala dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa infestasi kutu kepala yang terjadi sudah berada pada kategori infestasi kutu aktif dan dapat dijumpainya tahapan perkembangan nimfa dan kutu

16 164 2 1 4 8 78 11 5 23 54 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4 Tingkat 5

Jum lah Si sw a Derajat Infestasi Laki-laki Perempuan

dewasa dalam jumlah yang banyak. Hal ini serupa dengan penelitian derajat infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di Bahia Blanca City, Argentina pada derajat infestasi kategori tingkat 5 dapat ditemukan lebih dari 10 ekor kutu kepala dewasa (Gutierrez et al. 2012).

Menurut Catala et al. (2005) derajat infestasi dapat digunakan sebagai parameter yang baik dalam pengobatan dan pemberantasan kutu kepala. Pada kategori tingkat 1 dan 2 tidak diperlukan perawatan dan penanganan, sedangkan pada anak-anak yang ditemukan telur (nits) aktif yang berada pada jarak 1 cm dari kulit kepala tanpa ditemukan tahapan perkembangan nimfa dan dewasa (kategori tingkat infestasi 3 dan 4) hanya perlu perawatan secara manual dan tidak memerlukan perawatan dengan insektisida untuk kutu kepala (pediculicide). Pada kegiatan di lembaga-lembaga pendidikan hal ini penting diketahui serta menjadi perhatian dan pengawasan untuk mencegah munculnya kejadian infestasi kutu kepala baru pada anak-anak.

Anak yang terinfestasi kutu kepala aktif dapat mengalami gangguan seperti rasa gatal dan timbulnya iritasi pada kulit kepala akibat garukan. Hal ini dapat berdampak pada terganggunya konsentrasi belajar anak dan menurunkan kualitas tidur dimalam hari. Infestasi kutu kepala aktif dalam waktu lama jika tidak diobati dapat menyebabkan terjadinya anemia pada anak (Yousefi et al. 2012).

Jumlah darah yang dikonsumsi oleh kutu kepala pada saat menghisap darah dilaporkan bervariasi antara kutu kepala betina, jantan dan juga nimfa. Satu ekor kutu betina dewasa mampu menghisap darah sebanyak 0.0001579 ml, kutu jantan dewasa 0.0000657 ml dan nimfa sebanyak 0.0000387 ml. Bila diasumsikan kutu menghisap darah sebanyak 3 kali sehari maka pada anak yang terinfestasi 30 ekor kutu kepala (10 ekor kutu betina, 10 ekor kutu jantan dan 10 ekor nimfa) dapat kehilangan darah sebanyak 0.008 ml per hari atau 2.1 ml per tahun. Namun belum diketahui dengan pasti berapa kali kutu menghisap darah dalam satu hari. Jika kutu menghisap darah lebih sering maka anak yang terinfestasi kutu dalam jumlah banyak dapat berpotensi mengalami anemia dan kekurangan zat besi (Speare et al. 2006).

Gambar 3 Derajat Infestasi kutu kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kota Sabang 2016

17

Faktor Risiko Infestasi kutu kepala

Faktor risiko terjadinya infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di Kota Sabang yang diamati dalam penelitian ini adalah karakteristik rambut, higiene perorangan, keberadaan saudara kandung dan teman yang terinfestasi, infestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir dan penggunaan obat untuk pengobatan dan sosio ekonomi keluarga.

Dari hasil pemeriksaan terhadap 95 orang anak yang positif terinfestasi kutu kepala sebanyak 59 orang anak memiliki rambut yang tebal dan sebanyak 64 orang anak memiliki panjang rambut lebih dari sebahu (Tabel 4). Hasil uji chi-square untuk ketiga karakteristik rambut tersebut adalah menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya infestasi kutu kepala. Secara berturut-turut hasil tersebut adalah jenis rambut, ketebalan rambut dan panjang rambut menunjukkan hubungan yang signifikan (p < 0.05) (Tabel 4). Anak-anak yang terinfestasi kutu kepala dalam penelitian ini umumnya memiliki rambut yang panjang dan tebal dan diberi minyak agar lebih licin dan tidak mudah kusut saat disisir. Rambut anak perempuan diikat/kucir dan lebih lembab karena menggunakan kerudung. Karakterisitik rambut demikian dan ditambah frekuensi mencuci rambut yang jarang diduga menjadi habitat yang disukai oleh kutu kepala sebagai tempat hidup dan berkembangbiak.

Uji statistik lanjutan menggunakan model regresi logistik berdasarkan karakteristik rambut terhadap risiko penularan infestasi kutu kepala menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi adalah panjang rambut sebahu dan panjang rambut lebih dari sebahu (Sig < 0.05). Nilai OR panjang rambut sebahu adalah 4.8 (Lampiran 3.8) yang berarti bahwa anak yang memiliki panjang rambut sebahu dapat berisiko 4.8 kali lipat dapat terinfestasi kutu kepala, sedangkan nilai OR untuk rambut yang panjang lebih dari sebahu adalah 9.7 (Lampiran 3.8) yang berati bahwa anak yang memiliki panjang rambut lebih dari sebahu dapat berisiko 9.7 kali terinfestasi kutu kepala.

Tabel 4 Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji chi-square Berdasarkan Karakteristik Rambut terhadap Infestasi Kutu Kepala

No Variabel Total Infestasi Prevalensi

(%) Nilai P Negatif Positif 1 Jenis Rambut 0.00* Lurus 228 182 46 20.2 Ikal 99 57 42 42.4 Keriting 23 16 7 30.4 2 Ketebalan Rambut 0.02* Tipis 36 24 12 33.3 Sedang 129 105 24 18.6 Tebal 185 126 59 31.9 3 Panjang Rambut 0.00* Setelinga 191 172 19 9.9 Sebahu 35 23 12 34.3

Lebih dari sebahu 124 60 64 51.6

18

Tabel 5 Hasil Analisis statistik menggunakan Uji Chi-square Berdasarkan Perilaku Higiene Perorangan terhadap Infestasi Kutu Kepala.

No Variabel Total

Siswa

Infestasi Prevalensi

(%) Nilai P

Negatif Positif

1 Frekuensi mencuci Rambut 0.01* 1 kali seminggu 39 26 13 33.3 2 kali seminggu 64 37 27 42.2 3 kali seminggu 47 34 13 27.2 >3 kali seminggu 200 158 42 21.0 2 Penggunaan shampo 0.05 Tidak 13 10 3 23.1 Kadang-kadang 82 68 14 17.1 Ya 255 177 78 30.6 3 Penggunaan Sisir bersama orang lain 0.75

Ya 216 154 61 28.4 Kadang-kadang 10 8 2 20.0

Tidak 125 93 32 25.6 4 Kebiasan tidur bersama orang lain 0.06

Ya 268 188 80 29.9

Tidak 82 67 15 18.3

Ket: * Signifikan pada taraf 95%

Anak-anak yang positif terinfestasi kutu kepala umumnya mencuci rambut 2 kali dalam seminggu dan memiliki kebiaaan tidur bersama orang lain (Tabel 5). Hasil uji chi-square untuk faktor risiko berdasarkan higiene perorangan berturut-turut adalah adalah frekuensi mencuci rambut menunjukkan hubungan yang signifikan (p < 0.05) sedangkan penggunaan shampo, penggunaan sisir bersama orang lain dan kebiasaan tidur bersama orang lain menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p > 0.05).

Pada uji statistik menggunakan model regresi logistik berdasarkan perilaku higiene perorangan terhadap risiko terjadinya infestasi kutu kepala menunjukkan bahwa kebiasaan tidur bersama orang lain menjadi faktor yang paling berpengaruh (sig < 0.05). Nilai OR kebiasaan tidur bersama orang lain adalah 2.1 (Lampiran 3.13) yang berarti bahwa anak yang tidur bersama orang lain akan berisiko 2.1 kali lipat dapat tertular infestasi kutu kepala.

Anak-anak yang berumur kurang dari 12 tahun biasanya masih terbiasa tidur bersama orang lain yaitu dengan kakak, orang tua atau bersama nenek serta saudara lainnya. Kebiasaan tidur bersama dapat menjadi jalur transmisi perpindahan kutu kepala dari satu orang ke orang lain. Menurut Speare et at. (2006) kutu dapat berpindah dari kepala dan rambut ke sarung bantal saat kita tidur malam dan mampu bertahan hingga 9 jam sebelum akhirnya menemukan dan kembali ke rambut.

Informasi mengenai perilaku higiene perorangan ini diperoleh dari responden yang merupakan anak sekolah dasar. Gambaran informasi ini mungkin tidak menunjukkan gambaran yang sebenarnya tentang praktik perilaku higiene anak. Hal ini dapat terjadi karena jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada anak terkadang merupakan jawaban yang cenderung disenangi dan dipikirkan anak. Hasil penelitian mungkin dapat berbeda bila responden penelitian

19 menggunakan orang yang lebih dewasa. Informasi gambaran perilaku higiene dapat lebih akurat dan menunjukkan perilaku higiene perorangan yang dilakukan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari 95 orang anak yang positif terinfestasi kutu kepala, 48 orang (41%) diantaranya memiliki saudara kandung yang juga positif terinfestasi kutu kepala serta 51 orang (35.7%) memiliki teman bermain yang positif terinfestasi kutu kepala (Tabel 6). Hasil uji chi-square anak yang memiliki saudara kandung dan memiliki teman yang positif terinfestasi kutu kepala menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap terjadinya infestasi kutu kepala pada anak yang diperiksa (p < 0.05).

Uji statistik menggunakan model regresi logistik terhadap faktor risiko terjadinya infestasi kutu kepala berdasarkan keberadaan saudara kandung dan teman yang positif terinfestasi kutu kepala menunjukkan bahwa anak yang memiliki saudara kandung dan teman yang terinfestasi dapat berisiko terinfestasi kutu kepala (sig < 0.05). Nilai OR pada anak yang memiliki saudara kandung yang positif terinfestasi kutu kepala adalah 2.8 (Lampiran 3.16); hal ini berarti bahwa anak yang memiliki saudara kandung yang terinfestasi kutu kepala 2.8 kali lipat dapat berisiko ikut tertular infestasi kutu kepala. Nilai OR pada anak yang memiliki teman yang positif terinfestasi kutu kepala adalah 2.1 (Lampiran 3.16); yang berarti bahwa anak yang memiliki teman yang terinfestasi kutu kepala berisiko 2.1 kali lipat dapat ikut tertular infestasi kutu kepala.

Anak yang memiliki saudara kandung dan teman yang terinfestasi kutu kepala dapat berisiko tertular infestasi kutu kepala saat bermain bersama, tidur bersama dan bahkan meminjam barang-barang seperti sisir, kerudung dan akseroris rambut lainnya yang diduga dapat menjadi jalur transmisi penularan kutu kepala.

Jumlah anak yang pernah terinfestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir dan yang menggunakan obat untuk mengatasi infestasi kutu kepala tersaji pada Tabel 7. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara infestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir dan penggunaan obat untuk pengobatan kutu kepala dengan kejadian infestasi kutu kepala pada anak saat dilakukan pemeriksaan (p < 0.05).

Tabel 6 Hasil Analisis statistik menggunakan Uji Chi-square Berdasarkan Keberadaan Saudara Kandung dan Teman Bermain yang Terinfestasi Kutu terhadap Infestasi Kutu Kepala.

No Variabel Total

Siswa

Infestasi Prevalensi

(%) Nilai P

Negatif Positif

1 Memiliki Saudara kandung yang terinfestasi kutu 0.00* Ya 117 69 48 41.0

Tidak 233 186 47 20.2

2 Memiliki teman bermain yang terinfestasi kutu 0.00* Ya 143 92 51 35.7

Tidak 207 163 44 21.1

20

Tabel 7 Hasil Analisis statistik menggunakan Uji chi-square Berdasarkan Kejadian Infestasi Kutu Kepala dalam Tiga Bulan Terakhir dan Pengunaan Obat untuk Pengobatan Infestasi Kutu terhadap Infestasi Kutu Kepala. No Variabel Total Siswa Infestasi Prevalensi (%) Nilai p Negatif Positif

1 Pernah terinfestasi kutu dalam 3 bulan terakhir 0.00* Ya 112 45 67 59.8

Tidak 238 210 28 11.8

2 Penggunaan obat untuk pengobatan Infestasi kutu 0.00* Tidak 294 239 55 18.7

Ya 56 16 40 71.4

Ket: * Signifikan pada taraf 95%

Uji statistik lanjutan menggunakan model regresi logistik terhadap faktor risiko infestasi kutu kepala berdasarkan kejadian infestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir dan penggunaan obat menunjukkan bahwa nilai OR untuk anak yang pernah terinfestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir adalah 6.9 (Lampiran 3.19). Hal ini berarti bahwa anak yang pernah terinfestasi kutu kepala memiliki risiko 6.9 kali lipat masih terinfestasi kutu kepala pada saat dilakukan pemeriksaan. Nilai OR untuk anak yang tidak pernah menggunakan obat adalah 3.0 (Lampiran 3.19), hal ini berarti bahwa anak yang tidak menggunakan obat untuk mengobati infestasi kutu kepala memiliki risiko 3.0 kali lipat dapat ditemukan infestasi kutu kepala pada saat pemeriksaan.

Infestasi kutu kepala berulang (reinfestasi) mungkin dapat terjadi pada anak yang telah bebas dari infestasi kutu kepala setelah diobati atau mendapat perawatan. Menurut Azni (2014) pada orang yang pernah terinfestasi kutu kepala

Dokumen terkait