• Tidak ada hasil yang ditemukan

Populasi Dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) Di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Populasi Dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) Di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

POPULASI DAN HABITAT MONYET EKOR PANJANG

(

Macaca fascicularis

) DI CAGAR ALAM DUNGUS IWUL

KABUPATEN BOGOR

MUHAMMAD SUKRI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Alam Dungus Iwul Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)

ABSTRAK

MUHAMMAD SUKRI. Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh NYOTO SANTOSO.

Cagar Alam Dungus Iwul dengan luasan ± 9 ha merupakan salah satu habitat alami monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Hasil penelitian menunjukkan terdapat dua kelompok monyet ekor panjang dengan ukuran populasi yang berbeda. Kelompok 1 terdiri dari 56 individu, sedangkan kelompok 2 terdiri dari 29 individu. Kepadatan populasi monyet ekor panjang sebesar 9 individu/ha, dengan struktur umur terbanyak yaitu individu muda. Sex ratio individu dewasa pada kelompok 1 (1:1.6) dan pada kelompok 2 (1:2.25). Aktivitas harian yang paling sering dilakukan oleh kelompok 1 adalah makan (29.50 %), sedangkan kelompok 2 adalah berpindah (36.70 %). Wilayah jelajah kelompok 1 seluas 12.43 ha dengan jelajah harian 527.67 m, sedangkan kelompok 2 seluas 9.95 ha dengan jelajah harian 469.33 m. Penggunaan ruang oleh monyet ekor

panjang lebih banyak pada strata tajuk C (4-20 m) sebesar 44.69 %. Analisis

vegetasi pada habitat monyet ekor panjang ditemukan 41 jenis tumbuhan diseluruh petak contoh. Tumbuhan iwul (Orania sylvicola) merupakan tumbuhan yang paling dominan. Pakan yang paling sering di makan monyet ekor panjang adalah buah dengan persentase 61 %. Potensi pakan hasil analisis vegetasi sebanyak 31 jenis tumbuhan.

Kata kunci : habitat, monyet ekor panjang, populasi, sex ratio.

ABSTRACT

MUHAMMAD SUKRI. Population and Habitat of Long Tailed Monkey (Macaca fascicularis) in Dungus Iwul Nature Reserve. Supervised by NYOTO SANTOSO.

Dungus Iwul Nature Reserve with area of 9 ha is one of the natural habitat of long-tailed macaque (Macaca fascicularis). The results of research indicated that there are two groups of long-tailed monkeys with different population sizes. Group 1 had 56 individual and group 2 had 29 individual. Population density of long tailed macaque were 9 individu/ha, dominated by young individu. Sex ratio only observed in adult individu. Sex ratio of group 1 were (1:1.86) and group 2 (1:2.25). The daily activities of group 1 are eating activity (29.50 %), while the group 2 are moving activity (36 , 70 %). Home range of group 1 (12:43 ha) with daily cruising 527.67 m, while the group 2 (9.95 ha) with daily cruising 469.33 m. The use of space by long-tailed macaque at the canopy strata was at stratum C (4 – 20 m) with a percentage (44.69 %). Analysis of vegetation on the long-tailed

macaque’s habitat showed that there are 41 plants. The most often feed to the long-tailed macaque was fruits with a percentage of 61 %. Potential feed from the analysis of vegetation was found in the 31 species of plants.

(5)

POPULASI DAN HABITAT MONYET EKOR PANJANG

(

Macaca fascicularis

) DI CAGAR ALAM DUNGUS IWUL

KABUPATEN BOGOR

MUHAMMAD SUKRI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor

Nama : Muhammad Sukri NIM : E34110035

Disetujui oleh

Dr Ir Nyoto Santoso, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang telah dilakukan

berjudul “Studi Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor”. Pengumpulan data lapangan dilakukan pada bulan November-Desember 2014 dan Januari 2015.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nyoto Santoso, MS selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu, arahan, saran dan bantuan pendanaan serta bimbingan dengan penuh kesabaran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bidang KSDA Wilayah I - Seksi Konservasi Wilayah II atas ijin dan bantuannya selama penelitian, terimakasih juga kepada Pak Wardi, Ibu Uta dan keluarga atas keramahan dan pendampingan selama pengambilan data. Ucapan terimakasih setulusnya kepada kedua orang tua Syafrijal. Imam Bandaro dan Yon Lailis, Da Afdhal Syarif, Uni Ayelfi Susanti, Rozita Syafitri, Nurkolis Ahmad, Rahmawita Hidayah, Taufiq Qurrahman dan seluruh keluarga, atas semua doa, motivasi, perhatian dan kasih sayang yang tulus. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Annisa Murtafiah sebagai teman seperjuangan selama penelitian. Terimakasih kepada kawan-kawan KSHE 48, dosen beserta staf DKSHE dan Fakultas Kehutanan IPB, Himakova, IKMP Bogor atas kekeluargaan, kebersamaan dan pengalamannya serta memberikan motivasi selama penelitian.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE PENELITIAN 2

Lokasi dan Waktu Penelitian 2

Alat dan Bahan 3

Objek Penelitian dan Jenis Data yang Dikumpulkan 3

Metode Pengumpulan Data 3

Pengolahan dan Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kondisi Umum 6

Populasi Monyet Ekor Panjang 6

Habitat Monyet Ekor Panjang 17

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 26

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lokasi penelitian 2

Gambar 2 Desain gambar analisis vegetasi 4

Gambar 3 Struktur umur kelompok 1 dan 2 monyet ekor panjang 9

Gambar 4 (a) Jantan dewasa (b) betina 9

Gambar 5 Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang 12 Gambar 6 Aktivitas makan dan aktivitas sosial monyet ekor panjang 12 Gambar 7 Peta wilayah jelajah monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul 14 Gambar 8 (a) Habitat riparian (b) monyet ekor panjang di lahan masyarakat 15 Gambar 9 Predator alami monyet ekor panjang (a) elang (b) biawak 16 Gambar 10 Gangguan dari luar (a) truk angkutan sawit (b) masyarakat 16 Gambar 11 (a) Sumber air dan (b) perbatasan dengan kebun sawit 17 Gambar 12 (a) Kondisi lantai hutan yang sering digunakan monyet ekor panjang

(b) kondisi lahan masyarakat 18

Gambar 13 Diagram profil pohon di dua lokasi habitat monyet ekor panjang 20 Gambar 14 Pemanfaatan ruang monyet ekor panjang dalamaktivitas harian 21 Gambar 15 (a) makan ulat di pembuangan limbah dan (b) menjarah buah sawit 22 Gambar 16 Persentase pemilihan pakan oleh monyet ekor panjang 22 Gambar 17 (a) ulat (b) buah sawit bekas makanan monyet ekor panjang 23 Gambar 18 (a) Anakan iwul pada lantai hutan (b) pohon tumbang 25

DAFTAR TABEL

1 Populasi monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul 6 2 Perbandingan Sex ratio monyet ekor panjang di beberapa lokasi 11 3 Beberapa jenis tumbuhan yang mendominasi pada tingkat pertumbuhan 19 4 Potensi pakan monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi penelitian di CA Dungus Iwul 33

2 Hasil Analisis Vegetasi Jalur 1 34

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan hutan Dungus Iwul ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Goverment Besluit (GB) Nomor: 23 stbl 99 tanggal 21-3-1931, seluas 9 ha. Secara administratif, kawasan Cagar Alam Dungus Iwul terletak di Desa Cigeulung, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat (Ditjen PHKA 2012). Vegetasi di kawasan ini didominasi oleh iwul (Orania sylvicola). Tingginya INP iwul (Orania sylvicola) pada setiap tingkat pertumbuhan menunjukkan bahwa spesies iwul memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya sehingga kemampuan untuk bertahan hidup dan memperbanyak jenis cukup tinggi (Simbolon 2013). Selain itu, Cagar Alam (CA) Dungus Iwul juga menjadi habitat berbagai jenis satwaliar diantaranya monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Monyet ekor panjang adalah salah satu anggota suku Cercopithecidae dari ordo Primata. Secara umum monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) memiliki warna tubuh bervariasi mulai dari abu-abu sampai kecoklatan. Bagian punggungnya berwarna lebih gelap dibandingkan dada dan perut. Rambut di kepala dan sekeliling wajahnya membentuk jambang yang lebat. Ekornya yang panjang ditutupi rambut yang pendek dan halus. Anatomi monyet ekor panjang yang paling umum dapat diketahui dengan adanya kantong pipi (cheek pouch) yang berguna untuk menyimpan makanan sementara (Napier dan Napier 1967). Monyet ekor panjang merupakan salah satu spesies arboreal yang menggunakan kanopi hutan bagian atas sebagai tempat tinggal dan bagian mahkota pohon yang tertinggi di diantara pohon lain di sekitarnya yang paling banyak menerima sinar matahari sebagai tempat tidur dan beristirahat (Priyono 1998). Menurut Karimullah (2011), monyet ekor panjang hidup mengelompok terdiri dari banyak jantan dan banyak betina (multi-male multi-female) dengan sistem perkawinan

tidak pilih-pilih. Ukuran kelompok antara 5-40 ekor dengan satu kelompok

terdapat 2-5 pejantan dan jumlah betina 2-5 kali lipatnya serta salah satu monyet jantan sebagai pemimpin kelompok (Rahayu 2007). Populasi yang terus bertambah akan menyebabkan monyet ekor panjang menggunakan habitat dan relung ekologi yang lebih luas, sementara luasan CA Dungus Iwul tidak bertambah.

(12)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengumpulkan data untuk mengetahui kondisi populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) beserta kondisi habitatnya di CA Dungus Iwul.

Manfaat Penelitian

Data yang didapat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pengelola CA Dungus Iwul dalam upaya pelestarian monyet ekor panjang dan sumber referensi bagi masyarakat.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Dungus Iwul, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan November-Desember 2014 dan Januari 2015 (Gambar 1).

Skala 1:10.0000

(13)

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan antara lain: peta kawasan Cagar Alam Dungus Iwul, Global Positioning System (GPS), Tally sheet, meteran, alat tulis, kamera, kantong plastik, kompas, spidol, tali plastik, dan binokuler.

Objek Penelitian dan Jenis Data yang Dikumpulkan

Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah monyet ekor panjang dengan spesifikasi pendataan populasi dan habitatnya. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat dari pengamatan langsung terhadap habitat dan monyet ekor panjang di lapang. Data ini meliputi:

1. Populasi yang mencakup ukuran dan kepadatan populasi, struktur umur, sex ratio, posisi ruang, wilayah jelajah dan aktivitas harian.

2. Habitat yang mencakup kondisi umum habitat, komposisi dan struktur vegetasi, serta identifikasi potensi pakan.

Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari keadaan iklim dan topografi, jenis satwa lain yang terdapat di dalam kawasan cagar alam serta jenis-jenis pohon yang berpotensi sebagai pakan maupun habitat monyet ekor panjang. Data tersebut berasal dari studi literatur hasil penelitian sebelumnya, buku, jurnal, dan berdasarkan wawancara kepada masyarakat sekitar lokasi penelitian.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui : 1. Studi literatur

Studi literatur untuk menghimpun data dengan mempelajari dan menelaah laporan, penelitian, dan sumber lainnya yang terkait dengan laporan.

2. Metode concentration count.

Metode ini merupakan metode pengamatan langsung terhadap ukuran populasi monyet ekor panjang. Pengamatan dilakukan pada lokasi tempat berkumpul pada waktu dan tempat yang bersamaan, misalnya lokasi tidur dan istirahat. Pengamatan dilakukan selama 15 kali ulangan pada pukul 06.00-18.00. Penentuan lokasi pengamatan berdasarkan identifikasi keberadaan kelompok monyet ekor panjang yang ditemukan di CA Dungus Iwul.

3. Metode ad libitum sampling.

Metode ini dilakukan dengan mencatat sebanyak mungkin aktivitas satwa (dalam kelompok) yang teramati. Aktivitas harian yang dicatat selama pengamatan dikelompokan ke dalam suatu rangkaian perilaku secara keseluruhan, yaitu :

Istirahat : duduk, berbaring, dan berdiri Berpindah : berjalan, melompat, dan memanjat

Makan : memegang, memetik, dan memasukan ke dalam mulut Aktifitas sosial : bermain, kawin, grooming dan bersuara

(14)

dilakukan bersamaan dengan pengamatan pakan dan wilayah jelajah monyet ekor panjang. Posisi satwa dalam pengamatan juga dicatat sebagai data penggunaan ruang oleh monyet ekor panjang.

4. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mendukung data hasil observasi lapang serta menambah informasi mengenai lokasi monyet ekor panjang sering terlihat, sehingga memudahkan dalam melakukan pengamatan serta dalam mengumpulkan faktor-faktor penunjang keberadaan monyet ekor panjang, seperti pakan, cover, dan sumber air.

5. Analisis vegetasi habitat monyet ekor panjang

Analisis vegetasi untuk habitat monyet ekor panjang dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak. Metode ini dimulai dengan membuat petak contoh seluas 20 m x 20 m. Petak contoh yang dibuat minimal sebanyak 3 petak contoh dalam setiap jalur pengamatan. Petak contoh yang telah dibuat akan dibagi menjadi petak ukur sesuai pertumbuhan tiap vegetasinya (Gambar 2)

Gambar 2 Desain gambar analisis vegetasi

Keterangan :

1. Petak ukur semai (2 m x 2 m), yaitu anakan dengan tinggi < 1.5 m dan tumbuhan bawah/semak/herba, termasuk di dalamnya liana, epifit, pandan dan palem.

2. Petak ukur pancang (5 m x 5 m), yaitu anakan dengan tinggi > 1.5 m dan diameter batangnya < 10 cm.

3. Petak ukur tiang (10 m x10 m), yaitu diameter batang antara 10 cm – 19.9 cm. 4. Petak ukur pohon (20 m x 20 m), yaitu pohon berdiameter batang ≥ 20 cm.

Pengolahan dan Analisis Data

Populasi monyet ekor panjang

Populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) ditentukan berdasarkan jumlah keseluruhan individu yang ditemukan. Selanjutnya dihitung kepadatan populasi dengan rumus:

(15)

Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif mengenai jumlah kelompok, jumlah populasi, dan kepadatan populasi.

Struktur umur dan sex ratio

Struktur umur diketahui berdasarkan pendekatan Soma et al. (2009) yaitu jantan dewasa, betina dewasa, muda, dan anakan. Sex ratio dapat dihitung dengan persamaan:

S =

Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif mengenai struktur umur dan rasio jantan dengan betina.

Analisis aktivitas harian

Hasil yang diperoleh dari pengamatan berupa frekuensi aktivitas harian yang muncul selama pengamatan. Setiap perilaku yang dicatat, akan dihitung nilai rata-rata dan presentasenya agar terlihat aktivitas harian yang sering dilakukan oleh monyet ekor panjang. Selanjutnya, data hasil pengamatan akan ditampilkan dalam bentuk grafik dan dianalisis secara deskriptif terhadap hubungannya dengan waktu dan penggunaan ruang.

Analisis vegetasi

Indeks Nilai Penting (INP) menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas dengan kata lain INP digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Soerianegara dan Indrawan (2005) menjelaskan mengenai INP yang dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR).

- Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh

- Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100 % Kerapatan seluruh jenis

- Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah seluruh plot dalam unitcontoh

- Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100 % Frekuensi seluruh jenis

- Dominansi (D) = Luas bidang dasar suatu jenis Luas unit contoh

- Dominansi Relatif (DR) = Dominansi suatu jenisx 100 % Dominansi seluruh jenis

- Indeks Nilai Penting = KR + FR + DR

Potensi pakan

(16)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondis Umum Lokasi Peneltian

Kawasan hutan Dungus Iwul ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Goverment Besluit (GB) Nomor: 23 stbl 99 tanggal 21-3-1931, seluas 9 ha. Secara administratif kawasan Cagar Alam Dungus Iwul terletak di Desa Cigeulung Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat (Ditjen PHKA 2012) dengan batas kawasan Desa Curug (Utara), Desa Jugalajaya (Timur), Desa Luhur Jaya (Selatan) dan Desa Guradog (Barat). Kawasan Cagar Alam Dungus Iwul terletak di pinggir jalan raya antara Bogor dan Rangkasbitung sehingga mudah dicapai dengan rute perjalanan Bandung-Bogor ± 120 km, Bogor-Jasinga-Lokasi ± 60 km dengan kondisi jalan baik dan banyak dilintasi oleh kendaraan umum (Dishut 2007). Iklim di kawasan Cagar Alam Dungus Iwul menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim A dengan curah hujan rata-rata per tahun 3 191 mm (Ditjen PHKA 2012).

Topografi kawasan Cagar Alam Dungus Iwul relatif datar dengan kemiringan 8–15% berada pada ketinggian 175 m diatas permukaan laut. Tanah kawasan ini berjenis podsolik merah kuning yang terbentuk dari batuan infravulkan (dasit) batuan pasir dan endapan kuarsa (LIPI 2009). Menurut Schmidt dan Ferguson (1951), iklim di kawasan Cagar Alam Dungus Iwul termasuk tipe hujan A dengan curah hujan rata-rata 3.348 mm/tahun serta

temperatur udara 22.5˚C –33˚C (LIPI 2009). Pada bulan Oktober sampai dengan Maret terjadi musim basah yang bersamaan dengan angin barat, sedangkan pada bulan Juli sampai dengan September terjadi musim kering yang bersamaan dengan periode musim angin tenggara (Dishut Jawa Barat 2008). Vegetasi Cagar Alam Dungus Iwul merupakan gambaran dari hutan dataran rendah yang dahulunya terhampar luas di bagian utara Jawa Barat. Flora yang tumbuh di cagar alam ini adalah iwul (Orania sylvicola), kibentili (Kickseia arborea), anggrit (Adina polychepala), dahu (Dracontomelon mangiferum), ki hijoer (Quercus blaumena), ranji (Dialium indum) dan teureup (Artocarpus elastica). Beberapa jenis satwaliar yang terdapat pada kawasan ini adalah jenis burung (aves) seperti elang ular (Spilornis cheela) dan beo (Gracula religiosa), merpati yang mirip kakatua (Treron pamedora pulverulenta), sedangkan jenis mamalia diantaranya adalah lutung (Tracyphithecus auratus), bajing terbang (Sciurepterus sagitta) dan jelarang (Ratufa bicolor) (Ditjen PHKA 2012).

Populasi Monyet Ekor Panjang

Ukuran dan kepadatan populasi

(17)

Tabel 1 Populasi monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul Iwul termasuk tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Trisnawati (2014) di CA Pananjung Pangandaran sebesar 19 individu/kelompok dan populasi kelompok monyet ekor panjang di Taman Wisata Alam (TWA) Pangandaran sebesar 50 individu/kelompok. Penelitian Hidayat (2012) menunjukkan populasi

monyet ekor panjang di Hutan Pendidikan Gunung Walat ( HPGW ) yaitu 23–31

individu/kelompok, Supartono (2001) menemukan populasi monyet ekor panjang

di HPHTI PT RAPP sebesar 18–53 individu dalam satu kelompok. Populasi

monyet ekor panjang lebih tinggi di Hutan Wisata Alas Kedaton Tabanan (Soma

et al. 2009) yaitu sebesar 87 individu/kelompok dan Hutan Kaliurang sebesar 48– 68 individu/kelompok (Kusmardiastuti 2010). Akan tetapi hasil penelitian ini

sesuai dengan pernyataan (Lekagul dan McNeely 1977) yang menyatakan satu

kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri lebih dari 100 ekor dan menurut Nowak (1999) dalam satu kelompok monyet ekor panjang rata-rata terdiri dari 6– 100 individu.

Ukuran kelompok monyet ekor panjang bervariasi menurut kondisi habitatnya. Hutan primer satu kelompok monyet ekor panjang ± 10 ekor, di hutan mangrove ± 15 ekor dan di areal terganggu lebih dari 40 ekor (Crocket dan Wilson 1980). Tingginya populasi monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul mungkin dikarenakan kondisi habitat yang sesuai dan ketersediaan pakan yang cukup beragam. Habitat yang tersedia berupa kondisi hutan yang masih alami, aliran sungai sebagai sumber air, tempat berlindung berupa pohon-pohon yang

besar. Referensi pakan juga tersedia cukup beragam di dalam cagar alam, selain

itu sekitar 70% kawasan cagar alam dikelilingi oleh perkebunan sawit PTPN VIII yang menjadi sumber pakan dan tersedia setiap waktu. Berbeda dengan lokasi penelitian Hidayat (2012) di HPGW dengan habitat berupa hutan tanaman yang memiliki tegakan seragam sehingga referensi pakan yang sedikit. Sedangkan tingginya populasi monyet ekor panjang di Hutan Wisata Alas Kedaton

disebabkan karena kawasan tersebut merupakan hamparan hutan sekunder juga

merupakan habitat monyet ekor panjang yang keberadaannya di lokasi ini sudah melebihi 30 tahun yang lalu (Kawamoto et al.1984).

Kepadatan populasi monyet ekor panjang dihitung berdasarkan akumulasi semua anggota kelompok sebesar 9 individu/ ha. Kepadatan ini dinilai sangat

besar apabila dibandingkan dengan kepadatan populasi monyet ekor panjang di

(18)

karena kondisi hutan berupa hutan sekunder, sedangkan tingginya kepadatan populasi yang ditemukan di CA Pananjung Pangandaran disebabkan karena hanya membandingkan jumlah individu dengan luas jalur pengamatan bukan dengan

luas cagar alam secara keseluruhan. Menurut Lekagul dan McNeely (1977)

umumnya kepadatan populasi monyet ekor panjang di hutan primer lebih rendah dibandingkan kepadatan populasi di hutan sekunder. Meskipun CA Dungus iwul merupakan hutan primer, akan tetapi memiliki kepadatan yang tergolong tinggi apabila dibandingkan dengan hutan primer lainnya. Hal ini diduga karena tersediannya kebutuhan pakan dan kondisi habitat yang mendukung

keberlangsungan kehidupan anggota kelompok monyet ekor panjang. Kepadatan

yang tinggi pada kelompok Macaca fascicularis juga diduga karena tersedianya kebutuhan pakan bagi berkembangbiaknya satwa primata ini secara optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan cover (Djuwantoko 1986).

Perbedaan ukuran populasi antara kelompok monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul disebabkan oleh kondisi habitat dan ketersediaan pakan. Menurut Iskandar (1997) yang menyatakan bahwa pembentukan kelompok Macaca fascicularis dipengaruhi berbagai faktor diantaranya tersedianya sumber pakan. Kelompok 1 memiliki jumlah anggota yang lebih banyak dari kelompok 2. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya sumber pakan yang tersedia dengan cover yang memadai sebagai habitat monyet ekor panjang. Besarnya ukuran kelompok dan kepadatan monyet ekor panjang disebabkan karena terpenuhinya komponen pakan, pelindung, air dan ruang jelajah serta minimnya kehadiran predator yang akan menyebabkan terjadinya pengurangan ukuran kelompok secara drastis. Kelompok 1 memiliki banyak referensi pakan yang tersedia di dalam kawasan maupun di pinggir kawasan, sedangkan kelompok 2 memiliki referensi pakan yang sedikit. Selain itu pada habitat kelompok 2 juga ditemukan lutung jawa (Trachypithecus aurastus) yang menggunakan ruang habitat yang sama, sehingga ada perebutan ruang dalam mendapatkan pakan. Kompetisi ini tergantung pada ukuran kelompok, jumlah makanan yang tersedia dan kemampuan individu dalam bertahan (Fuentes 1999). Hal ini merupakan salah satu penyebab monyet ekor panjang dikelompok 2 sering keluar kawasan hingga ke kebun masyarakat untuk mencari pakan.

Struktur umur dan sex ratio

Struktur umur dan sex ratio monyet ekor panjang ditentukan berdasarkan

perbedaan morfologi yang dibedakan menjadi jantan dewasa, betina dewasa,

individu muda, dan anak. Monyet jantan dewasa ditandai oleh adanya skrotum,

(19)

dan 6 individu anak. Struktur umur monyet ekor panjang yang berada di Cagar Alam Dungus Iwul secara keseluruhan menunjukan keadaan populasi yang berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan struktur umur anak rata-rata 18.5 % dan struktur umur muda 41 % yang nantinya akan memiliki reproduksi yang tinggi serta struktur umur dewasa 20.25 % (Gambar 3).

Gambar 3 Struktur umur kelompok 1 dan 2 monyet ekor panjang

Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sampurna (2014) yang menemukan struktur umur muda dan anak di Pulau Peucang sebesar 51 % dan penelitian Soma et al. (2009) di Hutan Wisata Alas Kedaton Tabanan yang

menemukan struktur umur muda dan anak sebesar 56.6 %. Kondisi ini berbeda

dengan penelitian Trisnawati (2014) yang menemukan struktur umur dewasa lebih tinggi di CA Pananjung Pangandaran sebesar 63.66 %, struktur umur muda 28.66% dan struktur umur anak yang sangat kecil yaitu 7.67 %. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi populasi dan habitat yang berbeda dilokasi penelitian dan metode pengamatan yang digunakan. Cagar Alam Dungus Iwul merupakan kawasan alami monyet ekor panjang, akan tetapi terjadi interaksi yang tinggi dengan kehadiran manusia sehingga akan mempermudah pengamatan struktur umur monyet ekor panjang. Berbeda dengan lokasi penelitian di CA Pananjung Pangandaran menurut Trisnawati (2014) yang menyebutkan monyet ekor panjang yang berada di dalam cagar alam tidak terbiasa dengan adanya manusia, apalagi individu muda lebih sensitif terhadap suara dan gerakan.

Berdasarkan struktur umur yang diperoleh dapat diketahui nilai natalitas kasar. Nilai natalitas kasar diperoleh berdasarkan perbandingan jumlah anak terhadap betina produktif. Kelompok 1 memiliki nilai natalitas kasar sebesar 0.69, sedangkan kelompok 2 memiliki nilai sebesar 0.67. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Hidayat (2012) di

HPGW dan Soma et al. (2009)dengan nilai sebesar 0.24 dan 0.4, sedangkan nilai

(20)

akan terjadi lebih cepat dan lebih sering. Akan tetapi, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini tidak bisa selalu benar karena individu betina reproduktif yang diperoleh hanya dari struktur umur betina dewasa, sedangkan struktur umur muda reproduktif belum dapat teridentifikasi. Nilai natalitas spesifik monyet ekor panjang di alam tidak bisa dihitung secara tepat karena umur individu monyet ekor panjang tidak bisa ditentukan secara pasti, pengelompokan umur setiap individu berdasarkan ciri-kualitatif, dan selang waktu antara umur tidak sama

Priyono (1998).

Struktur umur pada kelompok 1 berbeda dengan struktur umur kelompok 2. Kelompok 1 lebih didominasi oleh individu muda sebesar 48%, sedangkan kelompok 2 lebih didominasi oleh individu dewasa dengan persentase 45%. Struktur umur yang berbeda antara kelompok monyet ekor panjang mungkin disebabkan juga oleh dasar pembentukan kelompok. Menurut wawancara dengan penjaga cagar alam, awalnya hanya ada satu kelompok monyet ekor panjang dengan populasi sekitar 17 individu. Hal ini bisa dibuktikan di lapangan dengan struktur umur kelompok 2 didominasi oleh individu dewasa yang mungkin memisahkan diri dari kelompok 1. Pemisahan kelompok juga mungkin disebabkan oleh persaingan antara populasi monyet ekor panjang dalam

kelompok. Kepadatan yang tinggi akan meningkatkan ketegangan dan agresivitas

diantara anggota populasi sehingga terjadi pemisahan kelompok (Alikodra 2002).

Rata-rata ukuran struktur umur individu dewasa dan muda pada dua kelompok monyet ekor panjang hampir sama, hal ini menunjukkan kedepannya populasi monyet ekor panjang akan mengalami peningkatan yang signifikan dimasa yang akan datang. Banyaknya individu dewasa dalam kelompok akan meningkatkan populasi dalam jangka pendek, sedangkan banyaknya populasi individu muda akan meningkatkan monyet ekor panjang kedepannya dalam jangka waktu yang lama. Kondisi tersebut menandakan populasi akan terus

berkembang. Menurut Dharmawan et al. (2005) struktur umur meningkat adalah

struktur umur pada populasi dengan kerapatan kelompok umur muda paling besar, populasi dengan struktur umur demikian akan mengalami pertumbuhan populasi yang cepat pada periode mendatang. Akan tetapi selama penelitian tidak ditemukan individu bayi, hal ini menunjukkan bahwa selama penelitian tidak terjadi kelahiran. Perbedaan struktur umur pada monyet ekor panjang bisa dilihat

dari morfologi (Gambar 4).

(21)

Kelompok monyet ekor panjang dipimpin oleh seekor pimpinan kelompok yang menguasai seluruh kelompok. Kelompok 1 dipimpin oleh betina dewasa dengan ukuran tubuh yang besar, taring yang panjang, rambut yang sudah keputihan. Perilakunya terlihat mengarahkan kelompok pada pagi hari untuk mencari makan dan menjadi pemimpin kelompok memasuki kebun sawit. Selain

itu, jika betina dewasa tersebut mengeluarkan suara “kra..kra..kraa..” maka semua

kelompok akan diam, biasanya dilakukan ketika ada gangguan dari truk yang mengangkut sawit atau masyarakat yang masuk ke kawasan cagar alam. Kelompok 2 dipimpin oleh seekor jantan dewasa yang selalu memimpin kelompok memasuki kebun masyarakat yang berada di pinggir kawasan. Tatanan sosial dalam monyet ekor panjang tersusun secara hierarki dengan tingkatan

tertinggi yaitu betina dominan (Alpha female) untuk monyet ekor panjang betina

dan jantan dominan (Alpha male) untuk monyet ekor panjang jantan yang

sekaligus sebagai pemimpin kelompok (Fuentes dan Dolhinow 1999).

Kondisi populasi yang seimbang bisa dilihat dari sex ratio dalam kelompok.

Penghitungan sex ratio pada penelitian ini dilakukan secara global/keseluruhan.

Monyet ekor panjang yang berada di CA Dungus Iwul memiliki sex ratio

1:1.85-2.25. Perbandingan sex ratio monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul dan lokasi

lainnya dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan sex ratio monyet ekor panjang di beberapa lokasi

No Lokasi Sex ratio Sumber

1 CA Dungus Iwul 1 : 1.85-2.25 Data primer 2 CA Pananjung Pangandaran 1 : 3-4 Trisnawati (2014)

3 Pulau Peucang 1 : 1.2 Sampurna (2014)

4 HPGW 1 : 1.33-3.75 Hidayat (2012)

5 Hutan Alas Kedaton Tabanan 1 : 1-5 Soma et al. (2009)

Berdasarkan hasil penelitian terlihat rendahnya perbedaan sex ratio di CA Dungus Iwul apabila dibandingkan dengan penelitian di CA Pananjung Pangandaran, HPGW, dan Hutan Alas Kedaton Tabanan. Akan tetapi lebih tinggi jika dibandingkan dengan sex ratio di Pulau Peucang. Selanjutnya Napier dan Napier (1967) menyatakan sex ratio satu kelompok monyet ekor panjang di habitat alami adalah 1:2. Apabila dilihat dari ukuran populasi yang besar dalam kelompok monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul maka akan terjadi kompetisi yang tinggi dalam mencari pasangan. Akan tetapi selama penelitian tidak ditemukan terjadinya kompetisi dalam bentuk perkelahian memperebutkan

pasangan. Hal ini mungkin disebabkan oleh sex ratio yang diperoleh hanya dari

individu dewasa, sedangkan individu muda tidak berhasil diidentifikasi. Sulitnya

mengidentifikasi sex ratio monyet ekor panjang disebabkan oleh beberapa hal,

diantaranya pergerakan individu muda yang cepat, morfologi yang hampir sama antara jantan dan betina, serta tutupan tajuk iwul yang rapat sehingga kesulitan melihat individu monyet ekor panjang.

Aktivitas harian

(22)

adalah makan dengan persentase (29.50 %), selanjutnya berpindah (27.80 %), istirahat (22.60 %), dan aktivitas sosial (20.10 %), sedangkan aktivitas yang paling sering dilakukan kelompok 2 adalah aktivitas berpindah dengan persentase (36.70%), selanjutnya makan (26.20 %), istirahat (20.40 %), dan aktivitas sosial (16.70%) (Gambar 5).

Gambar 5 Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang

Aktivitas harian dilakukan dengan mencatat sebanyak mungkin tingkah laku monyet ekor panjang (dalam kelompok yang teramati) menggunakan metode ad libitum sampling. Data yang diperoleh merupakan aktivitas kelompok secara umum dengan rata-rata waktu pengamatan. Berdasarkan data yang diperoleh, kelompok 1 cenderung lebih sering melakukan aktivitas makan (Gambar 6). Aktitas makan ini terlihat mulai dari memilih pakan, memegang, memetik, dan memasukkan makanan kedalam mulut. Secara umum aktivitas makan ini dimulai pada pagi hari jam 06.30 dan sore hari pada jam 15.00.

Gambar 6 Aktivitas makan dan aktivitas sosial monyet ekor panjang

(23)

alam. Kawasan cagar alam yang berbatasan langsung dengan jalan mobil perkebunan menyebabkan lalu-lalang mobil dan manusia menjadi gangguan bagi keberadaan monyet ekor panjang yang sensitif terhadap kehadiran manusia, akan tetapi sifat monyet ekor panjang yang berada CA Dungus Iwul tidak seperti primata lainnya yang langsung kabur dan tidak kembali lagi. Hal ini didukung oleh kemampuan monyet ekor panjang untuk tetap bertahan hidup pada habitat yang terganggu (Cowlishaw dan Dunbar 2000). Aktivitas istirahat dilakukan monyet ekor panjang sekitar jam 10.00-15.00 WIB. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pada jam tersebut monyet ekor panjang akan turun ke lantai hutan dan menempelkan badan mereka ke tanah. Hal tersebut sesuai dengan fungsi habitat sebagai pengendali panas tubuh monyet ekor panjang. Aktivitas istirahat juga sering terlihat di daerah sekitar sungai yang berada di pinggir kawasan, karena sungai menyediakan kebutuhan air dan pakan serta daerah yang berbatasan dengan lahan masyarakat. Selain itu, aktivitas istirahat juga terlihat disela-sela aktivitas lainnya misalnya ketika berada di tajuk pohon yang tinggi. Aktivitas paling sedikit dilakukan oleh kelompok 1 adalah aktivitas sosial. Aktivitas sosial yang paling sering terlihat ketika pagi hari sebelum mencari makan berupa grooming, saling mengejar dan pada siang hari terlihat berkelahi dan prilaku seksual, sedangkan pada sore hari lebih banyak aktivitas sosial yaitu bersuara.

Perbedaan aktivitas pada kelompok 2 terlihat dengan tingginya aktifitas berpindah yaitu sebesar 36.70 %. Aktivitas berpindah terlihat ketika monyet ekor panjang berjalan, berlari di lantai hutan, ataupun melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Hal ini disebabkan oleh mobilisasi kelompok monyet ekor panjang yang tinggi keluar kawasan menuju kebun masyarakat dan perkebunan sawit untuk mencari pakan. Aktivitas berpindah yang dilakukan oleh monyet ekor panjang pada pagi hari sekitar jam 06.00 dan pada sore hari jam 17.00 WIB. Aktivitas makan yang dilakukan oleh kelompok 2 sebesar 26.20 %. Hal ini menunjukkan tingginya aktivitas berpindah yang dilakukan oleh monyet ekor panjang sebagai bentuk penyesuaian diri dengan habitat yang ada. Hal ini berbeda dengan pendapat Widiyanti (2001) menyatakan bahwa aktivitas makan merupakan aktivitas yang paling banyak dilakukan selain bergerak. Sementara itu, kelompok 2 lebih sedikit menggunakan waktu untuk melakukan aktifitas istirahat yaitu sebesar 20.40 %. Selanjutnya Santoso (1996) menyatakan rata-rata monyet ekor panjang mulai mencari makan pukul 06.00 hingga pukul 08.00.

Wilayah jelajah

(24)

dengan wilayah seluas 12.43 ha, sedangkan jelajah terjauh kelompok 2 sebesar 469.33 m dengan wilayah seluas 9.95 ha.

Gambar 7 Peta wilayah jelajah monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul

Hasil ini sama dengan penelitian Anggraeni (2013) yang menyatakan daerah jelajah monyet ekor panjang di Kawasan Wisata Mangrove Wonorejo, Surabaya seluas 12.43 Ha. Walaupun wilayah jelajah yang didapatkan sama tapi terdapat perbedaan luasan kawasan penelitian. Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo memiliki luasan 266.7 ha, lebih luas dibandingkan CA Dungus Iwul yang memiliki luasan 9 ha. Apabila dibandingkan dengan penelitian Mukhtar (1982) di CA Pananjung Pangandaran dengan luas 454.615 ha diketahui wilayah jelajah monyet ekor panjang seluas 23.3 ha dengan rata-rata jarak perjalanan harian sejauh 1812.50 m. Menurut Sanderson (1966) luasan wilayah jelajah bervariasi tergantung jenis satwa. Semakin luas habitat dari populasi secara keseluruhan maka semakin luas pula daerah teritori dari masing-masing kelompok monyet ekor panjang di lokasi tersebut. Menurut Aldrich-Blake (1976) dalam Chivers (1980), Macaca fascicularis menggunakan wilayah jelajah secara tidak merata, hanya beberapa tempat lebih sering digunakan dari pada tempat lainnya dalam wilayah jelajah tersebut yang diduga sebagai wilayah inti.

(25)

oleh Crockett dan Wilson (1980) diacu dalam Anggraeni (2013) bahwa Macaca fascicularis lebih menyukai habitat-habitat sekunder, khususnya habitat riparian (tepi danau, tepi sungai, atau sepanjang pantai) dan hutan-hutan sekunder yang berdekatan dengan lahan pertanian. Selanjutnya Alikodra (2010) menyebutkan beberapa alasan mengapa daerah riparian memegang peranan penting bagi satwa liar termasuk monyet ekor panjang; (1) tersedianya air sebagai komponen habitat sangat penting, (2) cukup banyak air yang tersedia bagi tumbuhan akan meningkatkan keanekaragaman tumbuhan sehingga menghasilkan tempat hidup yang baik bagi satwa liar terrmasuk monyet ekor panjang, (3) daerah riparian dapat menghasilkan iklim mikro yang lebih baik bagi satwa liar monyet ekor panjang, (4) dapat menjadi koridor jalur migrasi, (5) daerah riparian merupakan penghubung berbagai kondisi habitat yang menghasilkan daerah pertemuan antar habitat yang disukai satwa liar monyet ekor panjang. Selanjutnya Haerunisa (2010) menyebutkan setiap hari monyet ekor panjang menghabiskan 1 liter air tiap ekornya.

Gambar 8 (a) Habitat riparian (b) monyet ekor panjang di lahan masyarakat

Wilayah jelajah monyet ekor panjang di dalam kawasan overlap ± 1.5 ha,

hal ini meyebabkan seringnya terjadi ketegangan antara kelompok monyet ekor

panjang dalam mencari pakan. Satwa akan berjuang keras untuk mempertahankan

daerah kekuasaan yang terbaik, jika seekor saingan masuk ke daerahnya satwa tersebut dihalau keluar teritori (Bolen dan Robinson 2003). Hal ini disebabkan terbatasnya wilayah dan pakan yang tersedia sehingga satwa tersebut harus mampu mempertahankan daerahnya agar tetap hidup. Tuntutan daerah teritori jelas tampak pada monyet ekor panjang dan dalam mempertahankan daerah tersebut menjadi tugas monyet jantan dewasa, salah satu cara mempertahankan adalah dengan mengeluarkan suara keras serta membesarkan diri agar nampak menakutkan dengan mengembangkan bulu-bulu pada daerah tertentu (Napier dan Napier 1985). Selain itu keberadaan lutung jawa juga menyebabkan terjadinya

persaingan. Menurut Hendratmoko (2009) terdapat kohabitasi monyet ekor

panjang dan lutung dengan tumpang tindih wilayah jelajah sebesar 54.10%.

Gangguan populasi

(26)

bagian yaitu gangguan dari dalam kawasan dan gangguan dari luar kawasan. Gangguan dari dalam lebih disebabkan oleh persaingan antar individu monyet ekor panjang dalam kelompok, persaingan dengan lutung jawa dan kehadiran predator. Persaingan antara individu dalam kelompok lebih bersifat intensif karena terbatasnya wilayah jelajah monyet ekor panjang. Tingginya jumlah individu dalam kelompok dengan sex ratio yang rendah juga menimbulkan perkelahian dalam mencari makan dan pasangan. Persaingan dengan lutung jawa juga terlihat ketika ada pohon pakan yang berbuah sehingga terjadi perkelahian yang menyebabkan anak-anak monyet ekor panjang kesulitan dalam mencari pakan. Kondisi populasi monyet ekor panjang yang tinggi secara alami bisa dikurangi dengan kehadiran predator alami. Predator alami monyet ekor panjang yang ditemukan selama penelitian adalah biawak, ular, dan elang (Gambar 9). Selain predator alami tidak ditemukan ancaman populasi seperti penangkapan atau perburuan monyet ekor panjang yang dilakukan oleh masyarakat.

a b

Gambar 9 Predator alami monyet ekor panjang (a) elang (b) biawak

Gangguan dari luar kawasan disebabkan adanya interaksi yang intensif dengan manusia. Hal ini disebabkan kawasan yang berbatasan langsung dengan kebun sawit dengan jalan yang dilewati truk pengangkut sawit berada di pinggir kawasan (Gambar 10a). Hal ini akan menggaggu monyet ekor panjang dengan lalu-lalang truk lebih kurang 16 kali setiap harinya. Selain itu di dalam kawasan juga ditemukan kerbau peliharaan masyarakat dan domba yang dilepaskan disekitar kawasan (Gambar 10b). Menurut Fuentes et al. (2007) monyet ekor panjang dapat beradaptasi pada berbagai macam kondisi terutama pada habitat yang mendapat pengaruh dari kegiatan manusia.

a b

(27)

Habitat Monyet Ekor Panjang

Kondisi umum habitat

Topografi kawasan Cagar Alam Dungus Iwul relatif datar dengan kemiringan 8–15% berada pada ketinggian 175 m diatas permukaan laut. Tanah kawasan ini berjenis podsolik merah kuning yang terbentuk dari batuan infravulkan (dasit) batuan pasir dan endapan kuarsa (LIPI 2009). Menurut Schmidt dan Ferguson (1951), iklim di kawasan Cagar Alam Dungus Iwul termasuk tipe hujan A dengan curah hujan rata-rata 3.348 mm/tahun serta

temperatur udara 22.5˚C – 33˚C (LIPI 2009). Pada bulan Oktober sampai dengan Maret terjadi musim basah yang bersamaan dengan angin barat, sedangkan pada bulan Juli sampai dengan September terjadi musim kering yang bersamaan dengan periode musim angin tenggara (Dishut Jawa Barat 2008).

Kawasan cagar alam berbatasan dengan kebun sawit PTPN VIII pada sisi utara, barat, timur dan sebagain kecil sisi selatan, sedangkan kebun campuran masyarakat berada pada sisi selatan kawasan (Gambar 11b). Menurut informasi masyarakat, monyet ekor panjang pada awalnya sangat sering mengunjungi kebun masyarakat, akan tetapi intensitas berkunjung monyet ekor panjang berkurang setelah tumbuhan sawit berbuah. Pada bagian selatan terdapat aliran air yang bersumber dari kawasan dengan panjang ± 550 m yang menjadi sumber air utama bagi monyet ekor panjang dan lokasi bermain pada siang hari (Gambar 11a). Menurut Galdikas (1978), monyet ekor panjang biasanya terdapat disepanjang sungai-sungai dan rawa-rawa yang langsung berbatasan dengan sungai serta hutan-hutan tanah kering. Selanjutnya Bailey (1984) juga menyatakan bahwa kebanyakan satwa mencukupi kebutuhan air dengan meminum air permukaan.

Satwa memilih habitat melalui sebuah hierarki keruangan, yaitu seleksi pada skala jelajah geografis, seleksi pada skala melakukan aktivitasnya (dalam home range), seleksi pada komponen tertentu dalam wilayah jelajah satwa, serta seleksi pada saat satwa memilih bagaimana mereka akan memperoleh sumberdaya dan lokasi mikro-nya (Johnson 1980). Satwaliar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif. Adapun pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni: ketersediaan mangsa (pakan), menghindari pesaing dan menghindari predator (Morris 1987).

a b

(28)

Komponen habitat yang terdapat di dalam CA Dungus Iwul diantaranya adalah sumber air yang tersedia sepanjang hari (Gambar 11a), cover sebagai pelindung dan berkembang biak, shelter sebagai tempat bermain dan aktivitas sosial. Fungsi cover terlihat dengan adanya pohon-pohon besar dan tinggi dengan tajuk yang lebar yang digunakan sebagai pohon tidur dan berlindung ketika adanya ancaman. Hal ini terlihat ketika penelitian monyet ekor panjang selalu menggunakan pohon yang memiliki tajuk lebar sebagai pohon tidur. Selain itu fungsi cover didukung juga oleh kondisi lantai hutan yang rapat dengan banyaknya tumbuhan rotann berduri. Kondisi ini menjadi faktor pembatas susahnya mengikuti pergerakan monyet ekor panjang. Alikodra (2002) mendefinisikan habitat sebagai kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan berfungsi sebagai tempat hidup, menyediakan makanan, air, pelindung serta berkembang biak satwaliar. Selanjutnya Bolen dan Robinson (2003) menjelaskan cover digunakan sebagai tempat untuk melarikan diri dari predator, berlindung dari panas, hujan, angin, ataupun kehilangan panas tubuh pada malam hari.

Fungsi shelter didukung dengan adanya tumbuhan iwul. Tumbuhan iwul (Orania sylvicola) memiliki kerapatan tinggi dengan tajuk yang lebar sangat membantu pergerakan monyet ekor panjang. Selain itu pada tengah kawasan cagar alam yang memiliki kelerengan 10–35 m terdapat lantai hutan yang bersih. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, lantai hutan ini sangat sering digunakan oleh monyet ekor panjang pada siang hari untuk istirahat dan aktivitas sosial (Gambar 12a). Selain itu habitat yang terdapat di CA Dungus Iwul berupa lahan masyarakat berupa kebun campuran. Kebun campuran masyarakat ditanami dengan bambu, karet, akasia, kayu afrika, manggis, rambutan (Gambar 12b).

a b

Gambar 12 (a) Kondisi lantai hutan yang sering digunakan monyet ekor panjang (b) kondisi lahan masyarakat

Analisis vegetasi

(29)

jenis yang dominan seperti iwul (Orania sylvicola ), menteng monyet (Mallotus sp.), kihujan (Engelhardtia spicata Lesh.) dan gandaria (Bouea macrophylla) (Tabel 3).

Tabel 3 Tumbuhan yang mendominasi pada setiap tingkat pertumbuhan

Jalur Tingkat No Nama lokal Nama ilmiah INP(%)

1

Semai

1 Iwul Orania sylvicola 101.34

2 Kibangkong Endiandra rubescens 16.95 3 Kitahun Ardisia elliptica Thunb. 14.52

Pancang

1 Menteng monyet Mallotus sp. 22.36

2 Kayu afrika Maesopsis emenii Engler 13.66

3 Opolalai Eugenia densiflora 13.66

Tiang

1 Iwul Orania sylvicola 190.77

2 Kisawo Aporosa nitida Merr. 49.79

3 kibangkong Endiandra rubescens 21.17

Pohon

1 Kihujan Engelhardtia spicata 76.98

2 Taritih Drypetes sumatrana 36.81

3 Gandaria Bouea macrophylla 51.86

2

Semai

1 Iwul Orania sylvicola 74.31

2 Kitoke Parinari sumatrana 11.08

3 Kisawo Aporosa nitida Merr. 7.380

Pancang

1 Kitulang Polyalthia subcordata Bl. 22.06

2 Kisawo Aporosa nitida Merr. 20.94

3 Kilaja Knema Laurina (Bl.)

Warb 18.80

Tiang

1 Iwul Orania sylvicola 151.29

2 Kitulang Polyalthia subcordata Bl. 38.26

3 Kitoke Parinari sumatrana 38.26

Pohon

1 Sasah Canarium denticulatum 38.66

2 Kitulang Polyalthia subcordata Bl. 34.79

(30)

spesies dalam suatu komunitas (Soegianto 1994 diacu dalam Indriyanto 2006). Hal ini terlihat dilokasi pengamatan bahwa tumbuhan iwul sangat banyak ditemukan diseluruh kawasan. Tingginya INP iwul pada setiap tingkat pertumbuhan menunjukkan bahwa spesies iwul memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya sehingga kemampuan untuk bertahan hidup dan memperbanyak jenisnya cukup tinggi (Simbolon 2013). Dominansi tumbuhan iwul juga mengkhawatirkan kelangsungan habitat monyet ekor panjang karena menutupi asupan cahaya matahari kedalam kawasan sehingga akan menghambat pertumbuhan jenis lain. Hal ini terlihat dengan rendahnya INP pada tingkat semai dan pancang selain iwul yang ditemukan di lokasi penelitian.

Hasil analisis vegetasi pada semua plot contoh selanjutnya dibuat diagram profil pohon untuk mengetahui tutupan vegetasi pohon di habitat monyet ekor panjang (Gambar 13). Diagram profil pohon akan didapatkan ukuran lebar tajuk, tinggi total pohon yang akan dihubungkan dengan pemanfaatan ruang dalam posisi monyet ekor panjang melakukan aktivitas harian. Jalur 1 memiliki tutupan tajuk yang relatif lebih terbuka dari jalur 2. Hal ini terjadi karena pada jalur 1 vegetasi lebih di dominasi oleh iwul (Oralia sylvicola). Sedangkan pada jalur 2 kondisi tutupan tajuk lebih tertutup dengan vegetasi pohon yang tinggi, hal ini dikarenakan jalur 2 merupakan habitat lutung jawa yang berkohabitasi dengan monyet ekor panjang. Kondisi habitat pada jalur 2 ini berada pada kemiringan ±

30˚ yang dekat dengan aliran air. Selain itu jalur 2 tidak terlalu didominasi oleh iwul.

Gambar 13 Diagram profil pohon di dua lokasi habitat monyet ekor panjang

Stratifikasi tajuk dapat digunakan untuk melihat pola pemanfaatan cahaya serta dapat pula digunakan untuk melihat jenis-jenis pohon dominan dan jenis jenis pohon yang dapat tumbuh di bawah naungan (toleran).

JALUR 1

(31)

Penggunaan ruang

Monyet ekor panjang dalam melakukan aktivitas harian akan bergantung dengan penggunaan ruang. Penggunaan ruang diketahui berdasarkan ketinggian yang digunakan oleh monyet ekor panjang dalam melakukan aktivitas. Monyet ekor panjang akan menggunakan habitat berdasarkan klasifikasi ketinggian vegetasi. Hutan hujan terdiri dari 5 stratum yaitu stratum A (upper storey) disusun oleh pohon-pohon dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Stratum B (middle storey) terdiri atas pohon-pohon yang tingginya 20 – 30 meter. Pohon-pohon pada stratum A dan B adalah pohon-pohon tua yang di batang dan cabangnya telah dipenuhi dengan berbagai jenis lumut. Pada batang dan cabang pohon juga ditumbuhi berbagai jenis paku-pakuan, anggrek, Lichenes dan tumbuhan efifit lainnya yang tumbuh pada batang/cabang dimana terdapat lapisan tanah berasal dari lumut mati. Stratum C (understorey) disusun oleh pohon, tiang dan pancang dengan tinggi 4 – 20 meter. Sedangkan stratum D (shrub layer) terdiri atas herba, semak dan stratum E penutup tanah (Soerianegara dan Indrawan 2005).

Hasil penelitian menunjukan bahwa monyet ekor panjang lebih sering memanfaatkan ruang pada stratum C (4-20 m) sebesar 44. 67 % dan sangat jarang ditemukan pada strtun A (>30 m) sebesar 1.85 % (Gambar 14). Hal ini sama dengan penelitian Trisnawati (2014) yang menjelaskan bahwa aktivitas makan dilakukan oleh monyet ekor panjang di CA Pananjung Pangandaran pada rata-rata ketinggian pohon 8.2 meter. Hal ini diduga ketinggian 4-20 m merupakan rata-rata ketinggian pohon pakan yang terdapat di lokasi penelitian. Pada umumnya, kebiasaan makan monyet ekor panjang di Pulau Tinjil menempati strata C dan D atau menduduki vegetasi tingkat tiang dan pohon (Santoso 1996). Pada ketinggian >30 m juga ditemukan aktivitas makan dan aktivitas soaial monyet ekor panjang, hal ini disebabkan ketika penelitian terdapat pohon asam keranji (Dialum indum L) yang sedang berbuah. Sedangkan pada Stratum E (lantai hutan) juga ditemukan aktivitas harian monyet ekor panjang seperti aktivitas makan, berpindah, aktivitas sosial dan istirahat.

Gambar 14 Pemanfaatan ruang monyet ekor panjang dalamaktivitas harian

(32)

panjang ini juga akan turun ke lantai hutan ketika ada gangguan dari truk atau manusia disekitar kawasan cagar alam. Satwa ini bersifat arboreal namun seringkali terlihat turun ke tanah (Lekagul dan McNeely 1977).

a b

Gambar 15 (a) makan ulat di pembuangan limbah dan (b) menjarah buah sawit

Pakan

Pakan merupakan komponen habitat yang nyata merupakan sumber nutrisi dan energi. Energi dari makanan digunakan untuk bahan bakar proses metabolisme sedangkan nutrisi digunakan sebagai pendukung pertumbuhan dan perbaikan tubuh (Bolen dan Robinson 2003). Pemilihan pakan monyet ekor panjang yang berada diidentifikasi berdasarkan pengamatan langsung ketika mengamati aktivitas harian. Data pakan yang diperoleh merupakan akumulasi dari dua kelompok monyet ekor panjang yang diamati. Dari data yang diperoleh pakan yang paling sering di makan adalah buah dengan persentase 61 %, selanjutnya daun 21 %, bunga 11 %, kepiting 4 %, dan ulat 3 % (Gambar 16).

Gambar 16 Persentase pemilihan pakan oleh monyet ekor panjang

(33)

elastica), dan sawit. Menurut Romauli (1993) jenis pakan monyet ekor panjang adalah 70.01% buah-buahan, dan untuk jenis pakan yang lainnya 6.06%. Dari semua pakan buah yang dimakan oleh monyet ekor panjang, sawit adalah buah yang selalu dimakan setiap harinya dengan intensitas sangat sering. Hal ini terlihat selama penelitian monyet ekor panjang selalu turun ke kebun sawit untuk makan buah sawit. Aktivitas makan ditentukan oleh kemudahan monyet untuk mendapatkan makanan. Kemudahan monyet mendapatkan makanan berkaitan dengan daerah jelajah (Wheatley 1980). Daun yang dimakan oleh monyet ekor panjang adalah daun yang muda. Intensitas makan daun termasuk jarang, karena hanya beberapa monyet ekor panjang saja yang memakan pucuk daun, diantaranya hauan, taritih, dan darandan.

Monyet ekor panjang yang berada di lokasi penelitian juga memakan bunga yang sedang mekar. Hal ini terlihat ketika monyet ekor panjang memakan bunga gandaria. Pakan lain yang dimakan oleh monyet ekor panjang adalah kepiting dan ulat. Kepiting ini terdapat di aliran anak sungai yang berada di pinggir kawasan dekat perbatasan kebun masyarakat. Biasanya monyet ekor panjang akan turun ke anak sungai ketika siang hari sekitar jam 11.00 dan bermain di air. Pakan monyet ekor panjang terdiri dari buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan molusca (Lekagul & McNeely 1977). Hal senada juga dijelaskan oleh Hadi (2005) yang menyatakan jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh monyet ekor panjang diantaranya buah, bunga, daun, biji, serangga, dan umbi-umbian (Gambar 17). Jika persediaan makanan berlimpah M. fascicularis lebih bersifat frugivorous (pemakan buah). Serangga yang dimakan oleh monyet ekor panjang adalah adalah jenis serangga yang berada di tempat pembuangan limbah sawit.

Gambar 17 (a) ulat (b) buah sawit bekas makanan monyet ekor panjang

(34)

sawit yang muda dan belum berbuah, sehingga kelompok ini mencari makan sampai ke kebun masyarakat.

Potensi pakan

Potensi pakan monyet ekor panjang diperoleh dari hasil analisis vegetasi. Berdasarkan penelitian diketahui terdapat 31 jenis tumbuhan yang berpotensi menjadi pakan monyet ekor panjang (Tabel 4).

Tabel 4 Potensi pakan monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul

No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian yang di

3 Gandaria Bouea macrophylla Buah, bunga 25.07

4 Gempol Nuclea orientalis Buah 25

5 Harendong Clidemia hirta G. Don Buah 33.33

6 Huni kerbau Semecarpus heterophyll Buah, pucuk 25

7 Iwul Orania sylvicola Buah 2658.33

8 Janetran Elaeocarpus petiolatus Buah 0.7

9 Kayu afrika Maesopsis emenii Engler Buah 0.7

10 Kecapi Sandoricum koetjape Buah 8.33

11 Kiara Ficus sp Buah, pucuk 16.67

12 Kibangkong Endiandra rubesce Buah, pucuk 109.03 13 Kihujan Engelhardtia spicata Buah, Bunga 33.33

14 Kilaja Knema laurina (Bl.) Warb Buah 25.7

15 Kiputri Calophyllum dasypodum Buah, pucuk 8.33

16 Kirinyuh Rhodamnia cinerea Buah 50

17 Kisawo Aporosa nitida Buah 108.39

18 Kitahun Ardisia elliptica Buah, pucuk 66.67

19 Kitulang Polyalthia subcordata Bl. Buah 59.03

20 Kopolalai Eugenia densiflora Buah 8.33

21 Mangga babi Mangifera sp. Buah 8.33

22 Matoa Pometia pinnata Buah 50.06

23 Menteng monyet Mallotus sp. Buah 41.83

24 Paku Pucuk 8.33

25 Pandan Pandanus tectorius Buah 16.67

26 Rambutan Nephelium mutabile Buah 8.33

27 Sampang Melicope latifolia Buah 8.33

28 Sasah Canarium denticulatum Buah, pucuk 41.66

29 Sulangkar Leea sambucina Buah,

batang 0.7

30 Taritih Drypetes sumatrana buah, pucuk 141.66

(35)

Tumbuhan yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah iwul yaitu 2658.33 individu/ha. Penyebaran tumbuhan ini temukan hampir diseluruh kawasan cagar alam. Jenis lain yang memiliki kerapataan tinggi adalah kibangkong dengan kerapatan 109.03 individu/ha, kisawo dengan kerapatan 108.39 individu/ha. Bagian yang paling banyak dimakan adalah buah. Monyet ekor panjang di habitat alaminya termasuk satwa frugivorous karena hampir 60% jenis pakan alaminya berupa buah-buahan, sedangkan 40% lainnya dipenuhi dari jenis pakan lain berupa serangga. Tingginya potensi pakan yang ditemukan di CA Dungus Iwul menunjukan keberlangsungan kehidupan monyet ekor panjang masih sangat baik, apalagi didukung oleh kondisi habitat yang sesuai. Akan tetapi kekhawatiran tetap terjadi karena kebanyakan pohon pakan yang ditemukan sudah berusia tua dan banyak pohon yang roboh ketika melakukan penelitian.

Gangguan habitat

Gangguan terhadap habitat monyet ekor panjang bisa menyebabkan degradasi habitat dimasa yang akan datang. Beberapa gangguan habitat monyet ekor panjang yang diidentifikasi selama penelitian diantaranya adalah keberadaan kebun sawit yang mengelilingi sekitar 75% kawasan cagar alam, keberadaan iwul yang dominan dengan penyebaran yang merata diseluruh kawasan. Keberadaan kebun sawit akan menyebabkan tanah menjadi gersang, sehingga berpengaruh kepada kemampuan tumbuhan dan tanah dalam menyerap air. Berdasarkan informasi dari masyrakat disekitar cagar alam, sumber air yang berasal dari cagar alam dahulunya memiliki aliran yang lebih besar dari sekarang ini. Apabila hal ini terjadi, maka ketersediaan air sebagai komponen habitat akan berkurang.

Keberadaan iwul yang berada didalam kawasan juga dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan tumbuhan lain, terutama tumbuhan pakan monyet ekor panjang. Kondisi ini terlihat ketika sedikitnya tumbuhan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah yang ditemukan selain iwul. Anakan iwul yng berada di dalam kawasan hampir menutupi lantai hutan. Hal ini bisa menyebabkan tidak terjadinya regenerasi tumbuhan dimasa yang akan datang. Akibat dari adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih menguasai atau dominan dari yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tajuk tumbuhan di dalam hutan (Soerianegara dan Indrawan 1988). Selain itu, selama penelitian juga banyak ditemukan pohon-pohon besar yang sudah roboh (Gambar 18).

a b

(36)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Populasi monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul sebanyak 86 individu yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok 1 sebanyak 56 individu dan kelompok 2 sebesar 29 individu. Kelas umur muda ditemukan paling banyak disetiap kelompok. Sex ratio pada kelompok 1 adalah sebesar 1 : 1.86 dan kelompok 2 sebesar 1: 2.25. Aktivitas harian yang paling sering dilakukan kelompok 1 adalah makan dengan persentase 29.50 % dan kelompok 2 adalah berpindah dengan persentase 36.70 %. Persentase pakan monyet ekor panjang adalah buah dengan persentase 61 %, daun 21 %, bunga 11 %, kepiting 4 %, dan ulat 3 % . Penggunaan ruang berdasarkan strata tajuk dalam melakukan aktivitas harian adalah strata A (>30 m) dengan persentase 1.85 %, strata B (20-30 m) sebesar 14.24 %, strata C (4-20 m) sebesar 44.69 %, strata D (0-4 m) sebesar 18.21 %, dan strata E sebesar 21.01 %.

Analisis vegetasi pada lokasi penelitian ditemukan 41 jenis tumbuhan. Vegetasi didominasi oleh iwul (Orania sylvicola) pada tingkat semai dan tiang dengan INP 101.34 % dan 151.29 %, sedangkan pada tingkat pancang didominasi oleh menteng monyet (Mallotus sp.) dengan INP 22.36 % dan pohon didominasi kihujan (Engelhardtia spicata Lesh.) dengan INP 76.98 % dan gandaria (Bouea macrophylla) dengan INP 51,864 %. Potensi pakan dari hasil analisis vegetasi ditemukan sebanyak 31 jenis tumbuhan. Wilayah jelajah harian kelompok 1 seluas 12.43 ha dengan jelajah harian sejauh 527.67 sedangkan wilayah jelajah kelompok 2 seluas 9.95 ha dengan jelajah harian sejauh 469.33 m.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kesesuaian habitat monyet ekor panjang, karena tingginya populasi yang tidak seimbang dengan luasan kawasan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh sawit dan iwul (Orania sylvicola) terhadap habitat monyet ekor panjang. Pengaruh kehadiran manusia perlu dikaji secara komprehensif untuk melihat sejauh mana dampak perubahan yang terjadi di dalam kelompok monyet ekor panjang tersebut dengan kondisi habitat alaminya.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrich-Blake FPG. 1980. Long tailed macaques. Di dalam Chivers DJ (ed). Malayan Forest Primates.New York (US): Plenurn Press, pp 147-165. Alikodra HS. 1980. Dasar-dasar pembinaan margasatwa. Fakultas Kehutanan IPB.

Bogor.

(37)

Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar Dalam Rangka Mempertahankan Keragaman Hayati Indonesia. Bogor : IPB Press.

Anggraeni IWS. 2013. Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Kawasan Ekowisata Manggrove Wonorejo dan Sekitarnya. Surabaya

Bailey J. 1984. Principle of Wildlife Management. Colorado (US): John Wailey and Sons Inc. 373p.

Bolen EG, Robinson WC. 2003. Wildlife Ecology and Management. 5th ed.New Jersey (US): Prentice Hall.

Cowlishaw G, Dunbar R. 2000. Primate Conservation Biology. London (UK): The University of Chicago Press.

Crockett CM, Wilson WL. 1980. The ecologycal seperation of Macac nemestrina and Macaca fascicularis in Sumatera. New York

Dharmawan A, Ibrahim, Taurita H, Suswono H, Susanto P. 2005. Ekologi Hewan.

Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang.

[Dishut] Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 2007. Cagar Alam Dungus Iwul. [internet]. http://www.dishut.jabarprov.go.id. [25 September 2014].

[Dishut Jawa Barat] Dinas Kehutanan Jawa Barat. 2008. http://dishut. Jabarprov. go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=517&idMenu=521 [diakses tanggal 15 Mei 2015].

[Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2012. Daftar Cagar Alam. [internet]. http://www.ditjenphka.dephut.go.id. [25 September 2014].

Djuwantoko. 1986. Pemanfaatan satwaliar di hutan tanaman industri. Makalah seminar. Yogyakarta (ID) : Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.

Eudey AA. 2008. The crab-eating macaque (Macaca fascicularis) widespread and

rapidly declining. J Primate Conservation (23) : 129-132.

Fuentes A, Dolhinov P.1999. The Nonhuman Primates. London: Myfield Publishing Company.

Fuentes A, Rompis ALT, Putra IGAA, Watiniasih NL. Suartha IN, Soma IG,

Wandia IN, Putra IDHK & StephensonR.2007.The Macaca fascicularis at

Padang Tegal.Bali.Indonesia (Laporan Akhir). Bali. Pusat Kajian Primata University Udayana.

Galdikas BMF. 1978. Adaptasi orangutan di Suaka Tanjung Putting Kalimantan Tengah. Jakarta: Universitas Indonesia Press

Hadi I. 2005. Feeding ecology of long-tailed macaques at Cikakak monkey park [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Haerunisa R. 2010. Perilaku, Wilayah Jelajah, Jelajah Harian, Relung Ekologi,

dan Teritori Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Http//

www.rizkyhaerunisa08’blog@worldpress.com [akses 10 Juni 2015]

Hendratmoko Y. 2009. Studi kohabitasi monyet ekor panjang dengan lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hendras EW, Supriatna J . 2000. Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

(38)

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara

Iskandar E, Kyes RC, Siregar R., Lelana RPA,. 1997. Pembentukan kelompok monyet ekor pajang (Macaca fascicularis) yang diintroduksi ke pulau Tinjil, Jawa Barat. Media Konservasi Vol. V No (1) : 35-39. Bogor (ID): Pusat Studi Satwa Primata LP-IPB.

Johnson DH. 1980. The comparison of usage and availibility measurements for evaluation resources preference ecology. Ecology 61 (1): 65-71.

Karimullah. 2001. Social organization and malting system of Macaca fascicularis

(long tailed macaque). International Journal of Biology 3 (2)23-31

Kawamoto Y, Ischak TM, Supriatna J. 1984.Genetic variation within and between troops of the crab-eating macaque (Macaca fascicularis) onSumatra, Jawa, Bali, Lombok and Sumbawa, Indonesia. Primates, 25(2):131-159.

Kusmardiastuti. 2010. Penentuan Kuota Panen Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Lang KC. 2006. Primate Factsheets : Long-tailed macaque (Macaca fascicularis)

Behavior.http:/pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/long tailed_macaque [diakses 11 januari 2015].

Lekagul B, Mcnelly JA. 1997. Mamals of Thailand. Kurusupha Ladprao Press. Bangkok.

Martin P, Bateson P. 1993. Measuring Behaviour. Volume 2. London : Cambridge University Press

Medway L. 1978. The wildmamals of Malaya and Singapore. Oxford Unifersity Press. Kuala Lumpur.

Morris DW. 1987. Test of density-dependent habitat selection in a patchy environment. Ecol. Monogr 57(4): 269–281

Mukhtar AS. 1982. Populasi dan Distribusi Monyet Ekor Panjang (Macacafascicularis) di Cagar Alam Pangandaran [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Napier JR,Napier PH.1967. A Hand Book of Living Primates. Academic Press. London.

Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of the Primates. Cambridge.Massachusetts : MIT Press.

Nowak RM. 999. Waklker’s Primates of the World. Baltimore, London (UK): The

Johns Hopkins University Press.

Priyono A. 1998. Penentuan Ukuran Populasi Optimal Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dalam Penangkaran Sistem Pemeliharaan di Alam Bebas. [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Rahayu R. 2007. Aktivitas Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Kelompok Pancalikan Periode juni-agustus di Cagar Budaya Ciung Wanara Ciamis, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Romauli S. 1993. Studi Vegetasi Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil. [skripsi] Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Sampurna B. 2014. Pendugaan Parameter Demografi dan Model Pertumbuhan

Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) Pulau Peucang, Tn. Ujung Kulon[tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

(39)

Shofa I. 2014. Potensi Pakan dan Perilaku Makan Lutung Budeng (Trachypithecus auratus) di Cagar Alam Dungus Iwul, Jawa Barat.[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Simbolon RS. 2013. Keanekaragaman dan Pola Sebaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Dungus Iwul, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Soerianegara I dan Indrawan A. 2005. Ekosistem Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Soma IG, Wandia IN, Suatha IK, Widyastuti SK, Ompis ALT, Arjentinia GY.2009. Dinamika populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di hutan wisata Alas Kedaton Tabanan. Buletin Veteriner Udayana 1(2):47-53 Supartono T. 2001. Studi Habitat dan Populasi Monyet Ekor Panjang di Kawasan

Lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp And Paper [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tobing ISL. 2008. Teknik estimasi ukuran populasi suatu spesies primata. Vis Vitalis 1 (1).

Trisnawati SA. 2014. Studi Populasi Dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca

Fascicularis) Di Cagar Alam Pananjung Pangandaran Jawa Barat.[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wheatley BP. 1980. Feeding and ranging of East Bornean Macaca fascicularis. dalam Lindberg DG, editor. The Macaques : studies in ecology, behavior and evolution. New York : Van Nostrand-Reinhold. Hlm 215-247

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian
Tabel 1  Populasi monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
Gambar 4  (a) Jantan dewasa (b) betina dewasa
Gambar 5   Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Antara lain, saya sering mengatakan, birokrasi yang masih bermasalah di banyak tempat, korupsi sendiri, masih terjadi juga konflik komunal, kekerasan-kekerasan horizontal, anarki

Radioisotop 131 I yang dihasilkan dengan metode pemisahan kolom kromatografi penukar ion dapat menjanjikan untuk diaplikasikan dalam pengobatan atau diagnosis kanker

Terna merupakan ide pusat dalam suatu cerita, atau merupakan pokok pikiran yang utama atau yang terpenting. Pokok pikiran utama dalam naskah Ma'rifatul Bayan ini,

pendukung kehidupan bayi anda (plasenta, rahim, membrane, cairan dan pasokan darah ibu) bertumbuh selama kehamilan, berkembang sesuai yang dibutuhkan untuk memenuhi

Hasil jagung P 27 pada perlakuan pupuk kandang (T1) dan sludge (T2) secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 5) disebabkan karena kandungan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kombinasi pupuk organik dan anorganik berpengaruh nyata pada tinggi tanaman pada pengamatan 42, 56 dan

Anak Usia Dini adalah anak dimana hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain dengan bermain itulah Anak UsiaDini tumbuh dan mengembangkan seluruh aspek yang

Dalam pengertian yang luas sebagai perasaan na- sional lagu-lagu perjuangan disebut sebagai lagu wajib yang diajarkan mulai pada tingkat pendidikan dasar, hingga perguruan tinggi