• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sustainability of Marine Protected Area at Waha Village, Wakatobi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sustainability of Marine Protected Area at Waha Village, Wakatobi"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT

DI DESA WAHA KABUPATEN WAKATOBI

IRMAN SUWANDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Waha Kabupaten Wakatobi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Irman Suwandi

(4)

ABSTRACT

IRMAN SUWANDI. Sustainability of Marine Protected Area at Waha Village, Wakatobi. Supervised by M MUKHLIS KAMAL and MAJARIANA KRISANTI.

Marine Protected Area (MPA) is an approach that is commonly applied to a program of coastal and marine resource management, especially in developing countries that have a coral reef ecosystem. The study aims to assess the chances of sustainability management and development of marine protected area and formulate management strategies. The study was conducted in February 2013 to May 2013 in the village of Waha, Wakatobi, Southeast Sulawesi Province. The program is top-down management with initiated by government by involving community as a part of subject in managing the resources. The research method is descriptive and exploratory, while the analysis of the sustainability status using multidimension scaling (MDS) with Rapid Appraisal techniques for Fisheries (RAPFISH). Analysis of the results showed that the level of sustainability in the ecological aspects, social economic, policy and institutional

respectively 64,62; 64,23; 54,02; and 59,47. This value suggests that the sustainability of the management of MPAs including in the category of sustainable enough.

(5)

RINGKASAN

IRMAN SUWANDI. Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Waha Kabupaten Wakatobi. Dibimbing oleh M MUKHLIS KAMAL dan MAJARIANA KRISANTI.

Salah satu kebijakan yang ditempuh untuk melindungi, menyelamatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati maupun ekosistemnya adalah dengan

mengalokasikan suatu wilayah menjadi area yang dilindungi atau diatur

pemanfaatannya. Penetapan suatu areal menjadi kawasan konservasi tidak serta merta dapat menyelesaikan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya dan dapat

berkelanjutan karena memerlukan pengelolaan yang baik. Penelitian bertujuan mengkaji peluang keberlanjutan pengelolaan dan pengembangan daerah perlindungan laut (DPL) Desa Waha serta merumuskan strategi pengelolaannya. Penelitian dilakukan di Desa Waha, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara pada bulan Februari 2013 sampai dengan Mei 2013. Metode penelitian adalah metode deskriptif dan eksploratif, Hasil penentuan skor pada masing-masing aspek ekologi, sosial ekonomi, kebijakan dan kelembagaan kemudian diolah dengan menggunakan teknik RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for Fisheries) pada analisis aplikasi MDS.

Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DPL pada aspek ekologi adalah 64,62. Atribut yang sensitif atau paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan DPL yaitu penggunaan bom, eksploitasi karang, penggunaan alat tangkap dasar dan

eksploitasi terhadap sumberdaya lingkungan sekitar. Pada aspek sosial ekonomi nilai indeks adalah 64,23. Atribut yang paling berpengaruh yaitu kontribusi terhadap pendapatan masyarakat, pengaruh ganda, kegiatan lain yang mendukung DPL dan penyerapan tenaga kerja. Pada aspek kebijakan nilai indeks adalah 54,02. Atribut yang paling berpengaruh adalah keberadaan aturan khusus yang mendukung pengembangan DPL, dukungan kebijakan daerah, dukungan LSM/organisasi lain dan legalitas DPL. Pada aspek kelembagaan nilai indeks adalah 59,47. Atribut yang paling berpengaruh adalah program pendampingan, program pelatihan, kemampuan institusi pengelola dan hubungan dengan swasta

(6)

yang berbeda. Nilai indeks keberlanjutan yang lebih rendah menunjukkan bahwa banyak atribut-atribut keberlanjutan di DPL Desa Waha yang belum dikelola dengan baik. Kondisi aktual pengelolaan DPL di Desa Waha dengan pendekatan analisis RAPFISH menunjukkan nilai indeks keberlanjutan yang berbeda-beda dan menunjukkan banyak atribut-atribut keberlanjutan yang belum dikelola dengan baik.

Strategi yang perlu dilakukan dalam pengelolaan DPL Desa Waha adalah dengan mempertahankan atribut yang memiliki sensitivitas tinggi dan telah memberikan

dampak positif pada keberlanjutan pengelolaan DPL serta melakukan upaya-upaya dalam rangka memperbaiki atribut yang memiliki pengaruh sangat besar namun belum memberikan dampak positif atau belum dikelola dengan baik, yaitu (1) Mengoptimalkan dampak pengelolaan DPL bagi peningkatan pendapatan masyarakat Desa Waha; (2) Meminimalisir kebiasaan sebagian masyarakat Desa Waha yang masih mencari ikan di area DPL; (3) Mengupayakan untuk menghilangkan aktivitas masyarakat yang masih melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya lingkungan sekitar DPL; (4) Mengupayakan dukungan aspek legalitas bagi keberadaan DPL; (5) Menyusun suatu aturan atau acuan sebagai dasar rencana pengembangan DPL; (6) Membangun kembali komunikasi dengan tokoh masyarakat, kelompok masyarakat dan perangkat pemerintahan; dan (7) Mengupayakan program pendampingan yang rutin dalam pengelolaan DPL Desa Waha.

(7)
(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT

DI DESA WAHA KABUPATEN WAKATOBI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(11)

75

(12)

Judul Tesis : Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Waha Kabupaten Wakatobi

Nama : Irman Suwandi

NIM : C252100214

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc Ketua

Dr Majariana Krisanti, SPi, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr Ir Luky Adrianto, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Waha Kabupaten Wakatobi. Dengan harapan program pengelolaan pesisir dan laut tetap berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan hanya menjadi proyek sesaat yang terhenti setelah program terhenti.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir M Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr Majariani Krisanti, SPi, MSi selaku pembimbing serta Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi dan Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA selaku dosen penguji. Semoga keikhlasannya dalam mendidik menjadi pahala yang tak terputus. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala dan Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Aparat dan masyarakat Desa Waha yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan anak tercinta yang selama penyelesaian kuliah telah sabar melewati banyak hari tanpa ditemani, serta seluruh keluarga, 12 teman sekelas, Kang Dindin dan rekan kantor, atas segala bantuan dan pengertiannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Januari 1981 sebagai anak bungsu dari pasangan Nursin dan Cicih. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada sekolah pasca sarjana Institut Pertanian Bogor melalui izin belajar pada tahun 2011.

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 3

2 METODE 5

Waktu dan Tempat Penelitian 5

Metode Penelitian 6

Jenis dan Sumber Data 6

Metode Pengambilan Sampel 7

Metode Analisis Data 11

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 25

Hasil 25

Pembahasan 48

5 KESIMPULAN DAN SARAN 73

Kesimpulan 73

Saran 73

DAFTAR PUSTAKA 74

(17)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan sumber data primer 6

2 Jenis dan sumber data sekunder 7

3 Kode pencatatan data pada transek permanen dalam kegiatan Monitoring kesehatan terumbu karang, versi CRITC-COREMAP 10

4 Skala keberlanjutan pengelolaan DPL 16

5 Pembagian luasan wilayah Desa Waha 21

6 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin 22

7 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan 23

8 Komposisi nelayan berdasarkan alat tangkap 24

9 Koordinat batas DPL Desa Waha 25

10 Tutupan komponen terumbu karang 26

11 Frekuensi aktivitas yang mencurigakan di DPL Desa Waha 30 12 Jumlah wisatawan wisata pantai Desa Waha tahun 2013 33 13 Tarif sewa atau biaya wisata pantai Desa Waha 34

14 Perkembangan kondisi keuangan WTC 35

15 Daftar kelompok masyarakat penerima dana WTC 44

16 Nilai pada atribut-atribut keberlanjutan pengelolaan DPL Desa Waha 48 17 Nilai Stress dan derajat koefisien determinasi 69

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi Keberlanjutan Pengelolaan

DPL di Desa Waha Kabupaten Wakatobi 4

2 Peta Lokasi Penelitian 5

3 Tahapan Analisis Aplikasi MDS dalam Teknik RAPFISH 13 4 Perkembangan tutupan karang tahun 2008-2011 dan 2013 27 5 Kondisi tutupan karang tahun 2008-2011 dan 2013 27 6 Komposisi kelimpahan ikan karang berdasarkan ikan indikator, ikan

mayor dan ikan target dalam 250 m2 28

7 Aktivitas nelayan Desa Waha 31

8 Perkembangan pendapatan rumah tangga nelayan 33

9 Kegiatan wisata pantai di Desa Waha 35

10 Posisi keberlanjutan aspek ekologis pada pengelolaan DPL Desa Waha 50

11 Hasil analisis leverage pada aspek ekologis 52

12 Hasil analisis monte carlo pada aspek ekologis 52 13 Posisi keberlanjutan aspek sosial ekonomi pada pengelolaan DPL Desa

Waha 55

14 Posisi analisis leverage pada aspek sosial ekonomi 55 15 Posisi analisis monte carlo pada aspek sosial ekonomi 56 16 Posisi keberlanjutan aspek kebijakan pada pengelolaan DPL Desa

Waha 61

(18)

18 Posisi analisis monte carlo pada aspek kebijakan 62 19 Posisi keberlanjutan aspek kelembagaan pada pengelolaan DPL Desa

Waha 64

20 Posisi analisis leverage pada aspek kelembagaan 66 21 Posisi analisis monte carlo pada aspek kelembagaan 66 22 Diagram layang-layang keberlanjutan pengelolaan DPL Desa Waha 69

DAFTAR LAMPIRAN

1 Parameter Keberlanjutan 78

2 Quesioner Wawancara 82

3 Hasil Pengamatan Terumbu karang 87

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Tingginya keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan lautan Indonesia, baik dalam bentuk keanekaragaman genetik, spesies maupun ekosistem merupakan aset yang sangat berharga untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi keanekaragaman hayati yang dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung (Dahuri 2003). Namun pada sisi yang lain, karena sumberdaya pesisir dan lautan dianggap bersifat open access seringkali di dalam pemanfaatannya terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya menjadi ancaman bagi kelestariannya. Seiring dengan berjalannya waktu, tingkat pemanfaatan sumberdaya menjadi semakin tinggi. Pemanfaatan sumberdaya yang melebihi kemampuan untuk pulih, dapat membahayakan keberlanjutan bagi kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan. Sumberdaya perikanan termasuk kedalam sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), akan tetapi akan berdampak buruk terhadap keberlanjutannya jika di dalam pemanfaatannya tidak dikelola dengan benar.

Menyadari hal tersebut maka pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang lestari menjadi sebuah kebutuhan. Salah satu kebijakan yang ditempuh untuk melindungi, menyelamatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati maupun ekosistemnya adalah dengan mengalokasikan suatu wilayah menjadi area yang dilindungi atau diatur pemanfaatannya. Implementasi program pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan diantaranya pengelolaan kawasan konservasi dengan menetapkan kawasan konservasi perairan.

(20)

sumberdaya dari pengguna luar (Faiza 2011). Salah satu program yang mengadopsi konsep daerah perlindungan laut adalah Daerah Perlindungan Laut di Desa Waha Kabupaten Wakatobi. Program ini adalah bagian dari Program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) di Kabupaten Wakatobi. Pemberdayaan masyarakat pesisir agar mampu melestarikan terumbu karang dan ekosistem lainnya melalui pengelolaan bersama dengan pembentukan Daerah Perlindungan Laut merupakan salah satu tujuan pengelolaan berbasis masyarakat Program COREMAP. Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu lokasi lokasi COREMAP II di wilayah timur Indonesia. Sedangkan Desa Waha merupakan salah satu desa pertama yang menjadi lokasi Program COREMAP II di Kabupaten Wakatobi, yang dimulai sejak tahun 2006. Keberadaan daerah perlindungan laut dalam pelaksanaannya diharapkan tidak hanya memberikan manfaat bagi sisi ekologis tetapi juga berdampak pada perbaikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Mengingat pentingnya keberadaan daerah perlindungan laut, maka perlu melihat peluang keberlanjutannya, baik didasarkan pada indikator ekologis, sosial ekonomi maupun tata kelola.

Perumusan Masalah

Konservasi merupakan upaya untuk melindungi, melestarikan dan memanfaatkan fungsi suatu wilayah dalam rangka menjamin keberadaan dan keseimbangan sumberdaya ikan dan ekosistemnya. Total kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan, sampai dengan bulan Juni 2012 luasnya mencapai 15,78 juta hektar dari target 20 juta hektar pada tahun 2020 (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012). Upaya pengembangan kawasan konservasi ini diinisiasi oleh berbagai kalangan, baik oleh masyarakat sekitar, Pemerintah ataupun stakeholders yang lain. Namun demikian, beberapa daerah yang telah dikonservasi tujuan dan sasarannya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan (Pomeroy et al. 2004).

(21)

yang dilaksanakan di Indonesia, namun sebagian besar dari program tersebut berakhir seiring dengan berhentinya bantuan dari penyandang dana. Padahal bila ditinjau dari lingkup kegiatan, program-program pengelolaan pesisir di Indonesia selama ini sudah cukup dan menyeluruh (Faiza 2011). Oleh karena itu perlu diketahui seberapa besar peluang keberlanjutan keberadaan daerah perlindungan laut ini memberikan manfaat dan perubahan dari aspek sosial dan ekonomi bagi masyarakat, mengingat daerah perlindungan laut di Desa Waha merupakan daerah perlindungan hasil inisiasi dari pihak luar (melalui Program COREMAP).

Dari uraian di atas, dalam penelitian Keberlanjutan Daerah Perlindungan Laut di Desa Waha ini maka dirumuskan permasalahan, yaitu sejauhmana peluang keberlanjutan keberadaan daerah perlindungan laut di Desa Waha serta strategi apa yang dapat disusun agar keberadaannya tetap berlanjut.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji peluang keberlanjutan pengelolaan dan pengembangan daerah

perlindungan laut Desa Waha.

2. Merumuskan strategi pengelolaan daerah perlindungan laut di Desa Waha.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:

1. Sebagai informasi peluang keberlanjutan daerah perlindungan laut di Desa Waha.

2. Masukan bagi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan daerah perlindungan laut di Desa Waha.

Kerangka Pemikiran

(22)

berdampak negatif terhadap sumber daya. Dalam rangka menjaga ketiga aspek tersebut terpenuhi upaya yang dilakukan salah satunya dengan menetapkan suatu daerah perlindungan laut.

Penetapan daerah perlindungan tidak hanya berkaitan dengan tujuan kelestarian ekologis tetapi juga diharapkan memberikan keuntungan sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Dalam implementasinya pengelolaan daerah perlindungan laut menghadapi berbagai permasalahan, terutama dalam keberlanjutannya setelah program ini berakhir. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kajian untuk menilai peluang keberlanjutan baik dari aspek ekologis, sosial ekonomi, kebijakan dan kelembagaannya. Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi Keberlanjutan Pengelolaan DPL di Desa Waha Kabupaten Wakatobi ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi Keberlanjutan Pengelolaan DPL di Desa Waha Kabupaten Wakatobi

Fungsi sosial

tidak

ya Feedback

Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan

Fungsi ekologis Fungsi ekonomi

Tujuan Pembentukan Daerah perlindungan Laut

Evaluasi Indikator Ekologi, Sosek, Kebijakan dan Kelembagaan

Analisis Peluang Keberlanjutan

Mempertahankan Pengelolaan

Berlanjut? Perbaikan

(23)

2 METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Mei 2013 di Desa Waha, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengambilan sampel ekologi seperti tutupan terumbu karang dan kelimpahan ikan karang dilaksanakan di Daerah Perlindungan Laut (DPL) di desa tersebut. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan, Desa Waha merupakan salah satu lokasi kegiatan Coremap II Kabupaten Wakatobi dan terdapat DPL yang dibentuk melalui program Coremap II (Gambar 2).

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Coremap II 2009)

(24)

2.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan eksploratif untuk mengumpulkan data, gambaran sifat dan keadaan yang sedang berlangsung pada saat penelitian dilaksanakan, serta memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala yang terjadi.

2.3 Jenis dan Sumber Data

Data Primer

Jenis data primer yang diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi penelitian melalui wawancara langsung dengan masyarakat dan stakeholders serta observasi di lapangan yang terkait biofisik, sosial ekonomi, kebijakan maupun kelembagaan dengan berpedoman pada kuisioner yang telah dirancang sebelumnya. Komponen, jenis, dan sumber data Primer yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan sumber data primer

No Komponen Jenis Data Sumber Data

1 Biofisik 1.1. Tutupan terumbu karang In situ 1.2 Kelimpahan ikan karang In situ 2 Sosial ekonomi 2.1.Pendapatan In situ 2.2.Partisipasi In situ

2.3.Persepsi In situ

Data Sekunder

(25)

Tabel 2 Jenis dan sumber data sekunder

No Komponen Jenis Data Sumber Data

1 Biofisik 1.1.Tutupan terumbu karang LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW 1.2 Kelimpahan ikan karang LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW 2 Sosial

ekonomi

2.1. Jumlah penduduk LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW/desa 2.2. Mata Pencaharian LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW/desa 2.3.Kondisi Demografi LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW/desa 2.4.Pendidikan LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW/desa

2.4 Metode Pengambilan Sampel

Data Komponen Ekologi

Kondisi Terumbu Karang

Pengamatan kondisi tutupan terumbu karang dilakukan untuk mengetahui besaran tutupan per satuan luas areal pengamatan. Pengamatan kondisi terumbu karang dilakukan pada transek permanen yang telah ada di lokasi daerah perlindungan laut. Di daerah perlindungan laut COREMAP II World Bank, data baseline ekologi terumbu karang ditentukan dengan metode Point Intercept Transect (PIT), untuk mengakses kondisi terumbu karang berdasarkan persen

tutupan karang batu hidup. Kegiatan pengamatan kondisi tutupan terumbu karang dilakukan dengan teknik pengamatan yaitu Point Intercept Transect (PIT). Metode PIT, merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung lainnya di suatu lokasi terumbu karang dengan cara yang mudah dan dalam waktu yang cepat (Hill dan Wilkinson 2004). Metode ini dapat digunakan di daerah yang ingin diketahui kondisi terumbu karang untuk tujuan pengelolaan. Suatu daerah yang ingin mengelola terumbu karangnya tentu ingin mengetahui terumbu karangnya yang rusak, dan terumbu karangnya yang masih sehat untuk kepentingan pengelolaannya. Metode ini dapat memperkirakan kondisi terumbu karang di daerah berdasarkan persen tutupan karang batu hidup dengan mudah dan cepat. Secara teknis, metode Point Intercept Transect (PIT) adalah cara menghitung persen tutupan (% cover)

(26)

Cara kerja adalah sebagai berikut :

 Posisi DPL sebelumnya ditentukan dengan menggunakan GPS.

 Pita berskala (roll meter) sepanjang 25 meter atau tali bertanda diletakkan di dasar, ditentukan atau diikatkan pada titik nol (0).

 Tiap koloni karang, yang berada di bawah tali transek, dicatat jumlah kehadirannya per titik, dimulai dari titik ke 1, 2, 3 dan seterusnya sampai ke ujung akhir yaitu pada titik ke 50 (ujung meter ke-25). Diutamakan untuk karang, pencatatan dilakukan pada karang batu hidup. Biota lain atau substrat dasar, dicatat sesuai dengan keberadaannya di bawah masing-masing titik.  Kategori yang harus dicatat pada alat tulis ialah : karang batu dengan kode

AC dan NA, biota lain dan substrat dan seterusnya.

 Jumlah titik yang di bawahnya terdapat koloni karang batu atau biota lain atau substrat, masing-masing dikelompokkan dan dihitung sebagai persentase tutupan (%). Data pengamatan selanjutnya disusun dalam bentuk tabel untuk analisa selanjutnya.

Pengamatan ikan di terumbu karang

Pengamatan ikan di terumbu karang dilakukan di lokasi transek permanen yang sama dengan pengamatan karang. Metode yang digunakan ialah sensus visual (Under water Fish Visual Census, UVC), pada bidang pengamatan seluas 5 x 25 meter persegi.

Dalam penelitian ikan karang, ikan dikelompokkan kedalam 3 kategori, yakni :  Ikan target : kelompok ikan yang menjadi target nelayan, umumnya

merupakan ikan konsumsi dan bemilai ekonomis. Kelimpahannya dihitung secara ekor per ekor (kuantitatif). Untuk kegiatan di lokasi DPL, kelompok ikan target utama yang disensus terdiri atas suku : Serranidae (kelompok ikan kerapu); Suku Lutjanidae (kelompok ikan kakap); Lethrinidae (kelompok ikan lencam); dan Haemulidae (kelompok ikan bibir tebal). Sebagai catatan, untuk kelompok ikan target tersebut diatas juga harus dibatasi ukurannya, yaitu yang berukuran > 20 cm.

(27)

oleh Chaetodontidae (kelompok ikan kepe-kepe). Kelimpahannya dihitung secara kuantitatif.

 Ikan major : kelompok ikan karang yang selalu dijumpai di terumbu karang yang tidak termasuk dalam kedua kategori tersebut di atas. Pada umumnya peran utamanya belum diketahui secara pasti selain berperan di dalam rantai makanan. Kelompok ini terdiri dari ikan-ikan kecil < 20 cm yang dimanfaatkan sebagai ikan hias. Kelimpahannya dihitung secara (kuantitatif). Untuk ikan lainnya yang mempunyai sifat bergerombol (schooling), kelimpahan dihitung dengan cara taksiran (semi kuantitatif).

Cara kerja

 Pengamatan dilakukan disepanjang garis transek dengan jarak pandang sejauh 2,5 m ke sebelah kiri dan 2,5 meter ke sebelah kanan garis transek (pengamat berada di tengah).

 Pengamat mencatat semua jenis ikan dan mengitung jumlah kehadiran ikan yang ada di dalam area transek.

 Untuk ikan target dan ikan indikator, jumlah dihitung secara kuantitatif, sedangkan untuk ikan lainnya (major group) yang berkelompok, jumlah ikan dihitung secara semi kuantitatif.

 Sama halnya dengan pengamatan karang, juga dicatat parameter fisik seperti cuaca, keadaan laut, gelombang, kedalaman, kecerahan air laut dan pasang-surut dan sebagainya untuk tambahan deskripsi dalam pembuatan laporan.

Kode pencatatan data kondisi terumbu karang yang dilaksanakan pada transek permanen sebagaimana Tabel 3.

Tabel 3 Kode pencatatan data pada transek permanen dalam kegiatan Monitoring kesehatan terumbu karang, versi CRITC-COREMAP (Manuputty et al. 2006)

Kode Kategori Biota Keterangan

AC Acropora Karang Acropora

NA Non-Acropora Karang Non- Acropora

DC Death Coral Karang mati masih berwarna putih

DCA Death Coral Algae Karang mati yang warnanya berubah karena ditumbuhi alga filamen

SC Soft Coral Jenis-jenis Karang Lunak

(28)

R Rubble Patahan karang bercabang (mati) RK Rock Substrat dasar yang keras (cadas)

S Sand Pasir

SI Silt Pasir lumpuran yang halus

Data Sosial Ekonomi, Kebijakan dan Kelembagaan

Data sosial ekonomi yang dikumpulkan meliputi data pendapatan serta persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan daerah perlindungan laut Desa Waha. Data lain yang dikumpulkan yaitu menyangkut kelembagaan diantaranya tata kelola atau aturan-aturan dalam pengelolaan dan dukungan dari stakeholders.

Metode pengumpulan data sosial ekonomi, kebijakan dan kelembagaan dilakukan dengan observasi dengan mengamati langsung aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat Desa Waha, semistruktur wawancara atau diskusi untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang lokasi penelitian dan survey lapangan dengan menggunakan kuesioner yang telah dirancang (Polnac et al. 2000).

Penelitian ini spesifik tentang pengelolaankawasan konservasi oleh karena itu responden yang dimintai keterangan adalah responden yang terkait daerah perlindungan laut berbasis masyarakat Desa Waha. Oleh karena itu penentuan responden dengan sengaja (purposive sampling). Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dan diskusi dengan panduan kuesioner. Responden berasal dari nelayan setempat, perwakilan Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) Desa Waha, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah desa dan kabupaten, serta kelompok lain yang terkait. Responden rumah tangga nelayan yang diambil berjumlah 68 yang mewakili empat dusun di Desa Waha.

3.5 Metode Analisis Data

Persentase Penutupan Karang

(29)

semakin baik ekosistem terumbu karang tersebut. Rumus yang digunakan untuk menghitung persentase penutupan adalah :

x 100%

Keterangan :

C = Persentase Tutupan Karang (%) a = jumlah titik/jenis ke-i

A = jumlah titik total transek (50)

Penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang (Gomez dan Yap 1988), adalah sebagai berikut :

75% - 100% : Sangat baik 50% - 74,9% : Baik 25% - 49,9% : Sedang 0% - 24,9% : Rusak

Kelimpahan ikan karang

Kelimpahan komunitas ikan karang adalah jumlah ikan karang yang dijumpai pada suatu lokasi pengamatan persatuan luas transek pengamatan. Rumus yang digunakan untuk menghitung kelimpahan ikan karang adalah :

x 100%

Keterangan:

Xi = Kelimpahan ikan ke-i (%)

ni = jumlah total ikan pada stasiun pengamatan ke-i A = Luas transek pengamatan

Analisis Deskriptif Kualitatif

(30)

Analisis Keberlanjutan

Daerah perlindungan laut Desa Waha merupakan kawasan konservasi yang diinisiasi melalui pihak luar (Pemerintah melalui program COREMAP), oleh karena itu penting untuk menilai peluang keberlanjutan jika program ini diteruskan atau dikembangkan oleh masyarakat atau dengan kata lain jika tanggung jawab program diberikan kepada masyarakat sekitar ketika pihak pemerintah secara langsung maupun tidak langsung tidak terlibat lagi dalam program.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kawasan konservasi dikelompokan menjadi empat aspek yaitu :

1. Faktor yang berkaitan aspek ekologi

Faktor yang berkaitan aspek ekologi yaitu dampak terhadap kondisi tutupan karang, dampak terhadap sumberdaya ikan dan dampak terhadap perbaikan lingkungan.

2. Faktor yang terkait aspek sosial ekonomi

Faktor yang berkaitan dengan aspek sosial yaitu kesesuaian dengan aspek sosial, dampak terhadap peningkatan pendapatan dan dampak terhadap pengembangan usaha lain.

3. Faktor yang terkait aspek kebijakan

Faktor yang berkaitan dengan aspek kebijakan yaitu Kesesuaian dengan kebijakan setempat dan komitmen institusi lokal.

4. Faktor yang terkait dengan aspek kelembagaan

Faktor yang berkaitan dengan aspek kelembagaan yaitu kapasitas institusi setempat, penguatan SDM dan hubungan dengan donor.

(31)

Teknik RAPFISH (Diadaptasi dari Alder et al. 2000 dalam Taryono 2003) sebagaimana Gambar 3.

Gambar 3 Tahapan Analisis Aplikasi MDS dalam Teknik RAPFISH

Masing-masing dari delapan atribut pada empat aspek diberikan pilihan nilai antara 0 s.d. 3, yaitu 0, 1, 2 atau 3. Nilai 3 menunjukkan bahwa dampak dari keberadaan DPL Desa Waha memberikan efek positif pada atribut tersebut. Sedangkan nilai 0 menunjukkan hal yang sebaliknya, dimana keberadaan DPL Desa Waha tidak memberikan dampak yang positif. Tidak semua atribut memiliki pilihan nilai antara 0 s.d. 3, akan tetapi beberapa atribut hanya memiliki pilihan nilai 0, 1 dan 2 serta nilai 0 dan 1 (Lampiran 1). Penentuan nilai tersebut didasarkan banyaknya faktor-faktor yang berkaitan dengan masing-masing atribut. Semakin sedikit faktor yang berkaitan maka pilihan nilai menjadi semakin kecil atau semakin banyak faktor yang berkaitan maka pilihan nilai menjadi semakin beragam (Faiza, 2011).

Start

Review atribut dalam beberapa kriteria dan kategori

Identifikasi data dan penentuan jenis perikanan berdasar kriteria yang ditentukan

Penyusunan nilai skor dan penentuan titik referensi nilai tengah, Bad dan

Good

Ordinasi MDS untuk tiap set atribut, rotasi plot ordinasi bad dan Good dalam Garis Horisontal

Simulasi Monte Carlo untuk mengecek ketidakpastian dari analisis

Penilaian Kelestarian

(32)

Prosedur analisis RAPFISH di dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan yaitu :

 Analisis terhadap data pengelolaan daerah perlindungan laut di Desa Waha melalui data hasil laporan kegiatan dan pengamatan di lapangan.

 Melakukan skoring pada aspek ekologi, sosial ekonomi, kebijakan dan kelembagaan dengan menggunakan fasilitas perangkat lunak (software) RAPFISH yang dipautkan (add-in) pada MS Excel.

 Melakukan analisis MDS untuk menentukan ordinasi dan nilai stress dengan ALSCAL Algoritma.

 Melakukan “rotasi” untuk menentukan posisi perikanan pada ordinasi bad dan

good dengan MS Excel.

 Melakukan leverage analysis dan monte carlo analysis untuk memperhitungkan sensitivitas dan aspek ketidakpastian dari atribut yang dianalisis.

Pemilihan MDS dalam analisis RAPFISH dilakukan mengingat metode Multi-Variate Analysis yang lain seperti factor analysis dan Multi-Atribute Utility

Theory (MAUT) terbukti tidak melahirkan hasil yang stabil (Pitcher dan

Preikshot, 2001). Di dalam MDS, objek atau titik yang diamati dipetakan ke dalam ruang dua dan tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan ada sedekat mungkin terhadap titik asal (dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain). Sebaliknya objek atau titik yang sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Teknik ordinasi (penentuan jarak) dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang yang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut :

d =

Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik i ke titik j

dengan titik asal (dij) sebagaimana persamaan berikut:

(33)

Umumnya terdapat tiga teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan di atas yakni dengan metode least square (KRYST), metode least squared bergantian yang didasarkan pada akar Euclidian distance (squared

distance) atau disebut metode ALSCAL, dan metode yang didasarkan Maximum

Likelihood. Dari ketiga metode tersebut, Algoritma ALSCAL merupakan metode

yang paling sesuai dengan untuk RAPFISH dan mudah tersedia pada hampir setiap software statistika (SPSS dan SAS). Metode ALSCAL mengoptimasi jarak kuadrat (squared distance= dijk) terhadap data kuadrat (titik asal= Oijk), yang di

dalam tiga dimensiditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut:

S =

∑ ∑

∑ ∑

Dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot, atau ditulis:

d

2

ijk =

Pada setiap pengukuran yang bersifat mengukur (metric) seberapa fit (goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal, menjadi sangat penting. Goodness of fit dalam MDS tidak lain mengukur seberapa tepat (how well)

konfigurasi dari suatu titik mencerminkan data aslinya. Goodness of fit ini dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas. Nilai stress yang rendah menunjukkan good fit sementara nilai S yang tinggi sebaliknya. Di dalam RAPFISH model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0.25 (Fauzi dan Anna 2005).

Hasil analisis total terhadap empat aspek yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut akan didapatkan nilai antara 0 s.d. 100. Tingkat keberlanjutan pengelolaan tersebut dibagi ke dalam empat skala yaitu kategori tinggi, sedang, kurang dan rendah. Skala keberlanjutan pengelolaan DPL berbasis masyarakat sebagaimana Tabel 4.

Tabel 4 Skala keberlanjutan pengelolaan DPL

(34)

75,01 s.d. 100 Tinggi DPL akan berkelanjutan dan memberikan hasil optimal bagi pencapaian tujuan

50,01 s.d. 75,00 Sedang Cukup berkelanjutan, dimana DPL akan berkelanjutan namun dengan beberapa tujuan tidak tercapai

25,01 s.d. 50,00 Kurang Kurang berkelanjutan, DPL memiliki peluang kecil untuk berkelanjutan

(35)

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Keadaan Umum Kabupaten Wakatobi

Kondisi Geografis

Kepulauan Wakatobi sejak tahun 2003 telah menjadi Kabupaten sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah Kabupaten Wakatobi seluas 1.390.000 hektar sebagian besar atau lebih dari 90% berupa laut. Kabupaten Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Banda dan Pulau Buton, sedangkan sebelah Selatan dibatasi oleh Laut Flores. Di sebelah Timur dibatasi oleh Laut Banda, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Buton dan Laut Flores. Wakatobi merupakan kependekan dari nama empat pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Secara administratif Kabupaten Wakatobi terbagi ke dalam 75 desa, 24 kelurahan dan 8 (delapan) kecamatan.

Gerbang utama kawasan Kabupaten Wakatobi adalah Pulau Wangi-Wangi. Dari Kendari, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara, Wangi-Wangi dapat ditempuh melalui perjalanan laut dan udara. Melalui perjalanan laut memiliki 2 rute yaitu rute Kendari - Bau-Bau – Wangi-Wangi dan rute Kendari – Wangi-Wangi. Rute Kendari - Bau-Bau – Wangi-Wangi ditempuh dengan menggunakan kapal cepat menuju Bau-Bau dengan waktu tempuh ± 5 jam. Selanjutnya dari Bau-Bau ke Wangi-Wangi dengan menggunakan kapal kayu selama ± 9 jam atau kapal perintis dan PELNI. Rute Kendari – Wanci ditempuh dengan menggunakan kapal kayu dengan waktu tempuh ± 12 jam.

(36)

dengan rute Kendari – Wanci secara regular 4 kali seminggu. Sebagai daerah kepulauan, perhubungan antar pulau di Kabupaten Wakatobi memegang peranan penting dalam pengangkutan orang dan barang. Tersedianya Bandar udara membantu mempercepat mobilisasi orang dan barang dari Wakatobi ke Kabupaten atau Provinsi lain.

Keanekaragaman Hayati

Terumbu Karang

Terumbu karang perairan Wakatobi berada di pusat wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya tertinggi di dunia yang dikenal dengan segitiga karang dunia (the heart of coral triangle centre), yang meliputi Phillipina, Indonesia sampai Kepulauan

Solomon. Dari citra Landsat 2003, diketahui luas terumbu di Wakatobi adalah 54.500 ha. Panjang atol di Kaledupa ± 48 km, atol memanjang ke Tenggara dan Barat Laut 49,26 km dan lebar 9.75 km merupakan atol tunggal terpanjang di Asia Pasifik). Dari hasil penelitian WWF Indonesia tahun 2003 tercatat 396 spesies karang scleractinia hermatipik yang terbagi dalam 68 genus dan 15 famili. Sebanyak 10 spesies karang keras non scleractinia atau ahermatipik dan 28 genera karang lunak. Disamping karang keras dan karang lunak, terdapat 590 spesies ikan karang dari 52 famili, 31 spesies karang fungi (mushroom), 31 spesies dari foraminifera. Dari data tersebut tingkat keragaman ini termasuk relatif tinggi bila dihubungkan dengan keragaman habitat dan merupakan sebuah indikasi dimana Wakatobi terletak di pusat keanekaragaman hayati terumbu karang (Coremap 2011).

(37)

Ikan

Berdasarkan CDFI (Coral Fish Diversity Index/ Indeks Keragaman Ikan Karang) diketahui bahwa sekitar 942 spesies ditemukan di wilayah Wakatobi. Peringkat CFDI tersebut menempatkan wilayah Wakatobi pada kategori keanekaragaman hayati yang sama dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan Komodo di Indonesia. Famili-famili yang paling beragam spesiesnya antara lain jenis-jenis Wrasse (Labridae), Damsel (Pomacentridae), Kerapu (Serranidae), Kepe-kepe (Chaetodontidae), Surgeon (Acanthuridae), Kakatua (Scaridae), Cardinal (Apogonidae), Kakap (Lutjanidae), Squirrel (Holocentridae), dan Angel (Pomacanthidae). Kesepuluh famili ini meliputi hampir 70% dari total hewan yang tercatat. Penelitian tersebut juga menemukan kelompok ikan target yang bernilai ekonomis (komersial) sebanyak 647 ekor Kerapu (Serranidae) dan 29 ekor Napoleon Wrasse (Chelinus undulatus).

Penelitian yang dilakukan COREMAP II – LIPI tahun 2006 terhadap keanekaragaman jenis ikan karang untuk empat pulau utama, menemukan 211 jenis (Pulau Kadelupa), 208 jenis (Pulau Wangi-Wangi), 221 jenis (Pulau Tomia) dan 177 jenis (Karang Kapota). Sedangkan dengan menggunakan metode LIT pada 15 stasiun ditemukan 319 jenis ikan karang yang terdiri dari 182 jenis ikan major, 105 jenis ikan target dan 32 jenis ikan indikator atau dengan perbandingan 6 : 3 : 1. Hal ini menunjukkan, jika dijumpai satu ekor ikan indikator, maka akan dijumpai pula tiga ekor ikan target dan enam ekor ikan major. Nilai kelimpahan pada ke empat pulau adalah sebesar 14.982 individu per 350 m2.

Cetaceans

Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Wakatobi – World Wild Fund – The Nature Conservation sampai dengan tahun 2006 di perairan Wakatobi telah tercatat paus jenis : Physester macrocephalus (Paus Sperma), Globicephala Macrorhyncus (Paus Pemandu Sirip Pendek), Peponocephala electra (Paus Kepala Semangka), Balaenoptera musculus (Paus

(38)

Grampus griseus (Lumba-lumba abu-abu ) dan Tursiops truncates (Lumba-lumba

hidung botol).

Penyu

Hasil monitoring penyu oleh Balai Taman Nasional Wakatobi – World Wild Fund – The Nature Conservation sampai dengan tahun 2006 di Kepulauan Wakatobi ada 2 (dua) jenis penyu, yaitu Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) dan Penyu Hijau (Chelonia mydas). Diketahui terdapat 5 lokasi peneluran Penyu Hijau di yaitu Pulau Runduma, Pulau Anano, Pulau Kentiole, Pulau Tuwu-Tuwu (Cowo-Cowo) dan Pulau Moromaho.

Jenis biota yang dilindungi

Di perairan Wakatobi terdapat beberapa jenis hewan yang dilindungi, antara lain Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Hijau (Chelonia mydas), Lumba-lumba (Delphinus delphis, Stenella longilotris, Tursiops truncatus), Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus), Kima (Tridacna sp), Lola (Trochus sp), dan Ketam Kelapa (Birgus latro).

Keadaan Umum Desa Waha

Geografis dan Administrasi

Desa Waha merupakan sebuah desa yang terletak di sebelah barat Pulau Wangi-Wangi dan berada dalam wilayah Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi. Desa Waha memiliki luas wilayah daratan yaitu ± 1.350 Km x 2.800 Km, sekitar 15% dari luas wilayah kecamatan Wangi-Wangi, sedangkan luas perairan yaitu sekitar 16 Km2. Desa Waha memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara dengan Desa Koroe Onowa b. Sebelah Selatan dengan Desa Wapia-Pia c. Sebelah Timur dengan Desa Tindoi d. Sebelah Barat dengan Selat Buton

(39)

Desa Waha dengan Ibu Kota Kecamatan sekitar ± 8 Km. Untuk menjangkau Desa Waha tidak sulit, dapat ditempuh menggunakan jalur darat dan laut. Jalur laut dengan alat transportasi mobil, sepeda motor, sepeda atau jalan kaki sedangkan jalur laut dengan menggunakan perahu atau sampan.

Topografi dan Iklim

Bentuk topografi daratan Desa Waha yang terdekat dengan pantai relatif datar dengan ketinggian sekitar 1-2 meter dari permukaan laut. Profil pantai terdiri atas pantai putih dengan vegetasi pantai pada umumnya berupa pohon kelapa. Sedangkan daerah yang lebih jauh dari pantai terdiri atas perbukitan dengan rata-rata ketinggian antara 1 sampai 10 meter yang banyak dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, dengan kondisi daratan yang banyak berbatu. Kondisi daratan yang ada di Desa Waha meliputi: pemukiman penduduk, hutan, perkantoran dan lahan pertanian. Lokasi desa ini memanjang mengikuti arah pantai. Kondisi luasan wilayah Desa Waha sebagaimana Tabel 5.

Tabel 5 Pembagian luasan wilayah Desa Waha

No Keterangan Luas

1 Luas Desa 37 KM²

2 Luas Perairan 16 KM²

3 Luas Pemukiman 1,5 KM²

4 Luas Daerah Pertanian 3 KM²

Sumber : Profil Desa Waha 2010

(40)

Penduduk

Desa Waha didiami hampir seluruhnya oleh suku Buton dan beragama Islam. Penduduk yang bukan suku Buton merupakan pendatang karena mencari nafkah atau berkeluarga dengan penduduk setempat. Penduduk Desa Waha terdiri atas 353 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk sebanyak 1.272 jiwa, yang terdiri atas laki-laki sebanyak 650 dan perempuan sebanyak 622 jiwa. Komposisi jumlah penduduk Desa Waha berdasarkan jenis kelamin disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin

No Nama Dusun Jumlah Penduduk Jumlah KK

L P L + P

1 Limbo Tonga 199 197 396 105

2 Gelora 100 96 196 59

3 Menara 139 135 274 76

4 Membara 212 194 406 113

Total 650 622 1272 353

Sumber: Data primer diolah 2013

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting yang berperan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan suatu masyarakat, diharapkan semakin baik kualitas sumber daya manusia. Di Kabupaten Wakatobi, pada tahun 2009 sekitar 10,72 persen penduduk usia sepuluh tahun ke atas tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Hal ini berarti, 1 dari 10 orang dewasa tidak pernah bersekolah.

(41)

Tabel 7 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (%)

1 Tidak tamat SD 8,3

2 TK 30,4

3 Sekolah Dasar (SD) 29,3

4 Sekolah Menengah Pertama (SMP) 12

5 Sekolah Menengah Umum (SMU) 12

6 Diploma 4

7 Sarjana 3

8 Pasca Sarjana 1

Total 100

Sumber: Profil Desa Waha tahun 2010

Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang ada di Desa Waha antara lain jalan desa, kantor desa, TK 1 buah, SD 2 buah, SMP 1 buah, mesjid 3 buah, Mushola 1 buah, Pondok Informasi Terumbu Karang 1 buah. Fasilitas lainnya yaitu Taman

Pendidikan Qur’an 1 buah, Puskesmas Pembantu 1 buah, dan Dive Center 1 buah,

lapangan bola 2 buah dan lapangan voli 2 buah.

Pemenuhan kebutuhan masyarakat Desa Waha diperoleh dari pasar lokal terdekat yang terletak di kota, selain itu dalam mendapatkan kebutuhan sehari-hari juga dapat diperoleh dari warung-warung atau kios yang berada di dalam Desa Waha. Kegiatan jual beli hasil tangkapan nelayan biasanya dilakukan di Pasar Pagi, Pasar Sore atau Pasar Sentra.

Perekonomian

(42)

Masyarakat Desa Waha pada umumnya adalah nelayan penangkap ikan tuna dengan menggunakan pancing, dan sedikit yang menggunakan jaring dan bubu. Komposisi nelayan berdasarkan alat tangkap di Desa Waha dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Komposisi nelayan berdasarkan alat tangkap

No. Jenis Jumlah (%)

1 Pancing 85

2 Bubu 7

3 Jaring 8

Total 100

Sumber: Profil Desa Waha tahun 2010

(43)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Aspek Ekologi

Terumbu Karang

Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Waha memiliki karakteristik pesisir terdiri dari vegetasi pohon kelapa dengan pantai yang berpasir putih. Dari data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi luasan DPL Desa Waha yaitu dengan panjang 577,75 meter dan lebar 325,09 meter atau seluas 18,78 Ha. Koordinat pembatas DPL Desa Waha dapat dilihat di Tabel 9.

Tabel 9 Koordinat batas DPL Desa Waha

Lintang Bujur

5.24833 123.52700

5.25147 123.52285

5.25353 123.52512

5.25017 123.52928

Panjang Reef Flat lokasi DPL Desa Waha adalah ±150 meter dengan kondisi dasar perairan yang landai dan didominasi Soft Coral, Millepora dichotoma, Thallasia dan Siringodium. Topografi yang landai umumnya dijumpai

dengan kedalaman 5 meter dan selanjutnya adalah tubir dengan jarak 20-50 meter dari garis pantai. Kemiringan Reef Slope sekitar 75 - 85O dengan biota karang yang mendominasi adalah Acropora clatharata, Pachyseris speciosa, Soft Coral dan Tubastrea faulkneri serta biota lain adalah Hidroyd. Pada kedalaman 30 meter kisaran pertumbuhan terumbu karang sudah mulai jarang dimana hanya terdapat spesies dengan pertumbuhan karang submasiv dan encrusting (Coremap 2011).

(44)

sebesar 4 persen, Sponge (SP) sebesar 3,5 persen, karang mati/Death Coral (DC) dan batuan/Rock (RK) masing-masing sebesar 1,5 persen, serta pecahan karang/Rubble (R) dan pasir/Sand (SA) masing-masing sebesar 0,5 persen. Rata-rata komposisi penutupan karang di DPL Desa Waha ditampilkan pada Tabel 10.

Tabel 10 Tutupan komponen terumbu karang Kategori Biota Rata-rata Tutupan

Acropora 25.5%

Death Coral 1.5%

Death Coral Algae 11.0%

Fleshy Seaweed 2.5%

Non Acropora 49.0%

Rubble 1.0%

Rock 1.5%

Sand 0.5%

Soft Coral 4.0%

Sponge 3.5%

Sumber: Data lapangan 2013

Persentase tutupan karang hidup pada DPL Desa Waha adalah 74,5 persen yang didominasi oleh kelompok bentik terumbu karang Non Acropora sebanyak 49 persen dan Acropora sebanyak 25,5 persen, secara terperinci dapat dilihat dalam Lampiran 3. Hasil monitoring Coremap pada area DPL Desa Waha pada tahun 2008 menunjukkan kondisi terumbu karang dalam kondisi baik dengan tutupan karang sebesar 73 persen. Pada tahun 2009 dalam kondisi sedang dengan tutupan karang sebesar 47 persen. Di dalam area yang sama pada tahun 2010 dan 2011 terumbu karang diketahui dalam kondisi baik dengan tutupan karang masing-masing sebesar 69,5 persen dan 51 persen. Tutupan karang hasil monitoring Coremap tahun 2008 sampai dengan 2011 dan hasil survey pada tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 4.

(45)

Gambar 4 Perkembangan tutupan karang tahun 2008-2011 dan 2013. Sumber: Coremap 2008-2011 dan Data lapangan 2013

Gambar 5 Kondisi tutupan karang Tahun 2008-2011 dan 2013. Sumber: Coremap 2008-2011 dan Data lapangan 2013

Kondisi Ikan Karang

Pengamatan ikan di terumbu karang DPL Desa Waha dilakukan di lokasi transek permanen yang sama dengan pengamatan karang. Hasil dari pengamatan

(46)

ikan dengan menggunakan metode sensus visual/Under water Fish Visual Census (UVC), dicatat sebanyak 23 spesies ikan yang termasuk kedalam 9 famili, dengan total kepadatan ikan karang sebesar 13,04 individu/m2, secara terperinci dapat dilihat dalam Lampiran 4. Kepadatan ikan karang tidak banyak berubah dengan hasil pencatatan Coremap pada tahun 2009 yaitu sebesar 11,38 individu/m2 dengan sama-sama didominasi oleh ikan mayor.

Jenis dan jumlah ikan yang dicatat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok ikan mayor, kelompok ikan target dan kelompok ikan indikator. Ikan target ialah kelompok ikan yang biasanya menjadi target tangkapan nelayan, umumnya merupakan ikan konsumsi dan bernilai ekonomis. Kelompok ikan target yang dicatat yaitu jenis ikan baronang dari Famili Siganidae (Siganus argenteus), ikan lencam dari Famili Lethrinidae (Lethrinus spp), dan ikan

napoleon dari Famili Labridae (Cheilinus undulates). Sedangkan dari Famili Chaetodontidae yaitu Forcipiger flavissimus, kelompok ikan yang merupakan indikator kesehatan terumbu juga masih ditemukan di area DPL Desa Waha.

Dari pengamatan dalam dua waktu yang berbeda, pada tahun 2013 rata-rata ikan target yang tercatat sepanjang transek yaitu sebanyak 98 ekor sedangkan pada tahun 2009 tercatat 72 ekor. Berdasarkan kriteria dari Coremap yang menyebutkan kondisi kelimpahan ikan dengan jumlah ikan target sepanjang transek yaitu : <25 ekor adalah “sedikit”, 25-50 ekor adalah “banyak”, >50 ekor adalah “melimpah”, maka kondisi ikan karang di DPL Desa Waha termasuk cukup melimpah.

Gambar 6 Komposisi kelimpahan ikan karang berdasarkan ikan indikator, ikan mayor dan ikan target dalam 250 m2

0.61%

93.37% 6.01%

(47)

Dari 3.260 individu yang dicatat, yang mendominasi adalah kelompok ikan mayor sebesar 3.044 individu atau 93,37 persen. Sementara untuk kelompok kedua adalah ikan target sebanyak 196 individuatau sebesar 6,01 persen dan ikan indikator sebanyak 20 individu atau sebesar 0,61 persen. Rata-rata komposisi kelompok ikan di DPL Desa Waha ditampilkan pada Gambar 6.

Tekanan terhadap ekologi

Penggunaan cara yang merusak terumbu karang untuk mencari ikan misalnya dengan bom sudah tidak terjadi di DPL Desa Waha. Begitu juga dengan eksploitasi terumbu karang untuk bahan bangunan dan pengambilan abalone atau keperluan lainnya sudah tidak ditemukan lagi. Menurut informasi dari nelayan, aktivitas eksploitasi ikan dengan menggunakan bom masih ditemukan di wilayah Kabupaten Wakatobi, namun di daerah yang jauh dengan pemukiman desa dan diakui masyarakat hal tersebut sudah semakin berkurang dibandingkan sebelum tahun 2007. Dari data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi (2011), pengunaan bom dan bius di perairan Wakatobi dari tahun 2006-2010 ditemukan ada 9 kasus yang terdiri dari pemboman ikan 6 kasus dan pembiusan ikan 3 kasus. Penangkapan ikan yang menggunakan bom dan bius ini marak sekitar tahun 2006-2007 utamanya terjadi pada karang-karang luar Wakatobi.

Daerah Perlindungan Laut Desa Waha telah disepakati sebagai no take zone area yang tidak dibolehkan melakukan aktivitas penangkapan dengan jenis alat

tangkap apapun. Namun demikian, aktivitas penangkapan ikan karang di lokasi DPL masih terjadi, yaitu dengan menggunakan alat pancing sederhana dan jaring dengan perahu sampan.

(48)

Meskipun jarang terjadi, di area DPL Desa Waha masih ditemukan ikan mati yang kemungkinan akibat eksploitasi ikan dengan menggunakan racun yang terjadi ketika perairan sedang sepi. Pelaku dicurigai masyarakat berasal dari luar desa yang sering ditemui beraktivitas di wilayah DPL. Dari pantauan pengelola Waha Tourism Community (WTC), pada tahun 2013 tercatat ditemukan sedikitnya

22 kali aktivitas orang yang dicurigai akan melakukan kegiatan merusak terumbu karang atau menangkap ikan dengan cara yang merusak di area DPL Desa Waha, sebagaimana Tabel 11.

Tabel 11 Frekuensi aktivitas yang mencurigakan di DPL Desa Waha

No Bulan Frekuensi (kali)

1 Januari 10

2 Februari 4

3 Maret 2

4 April 6

Sumber: WTC 2013.

Aktivitas lain yang masih marak dalam pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat di sekitar DPL Desa Waha yaitu eksploitasi pasir pantai. Pasir pantai Desa Waha yang putih dianggap sebagai pasir dengan kualitas terbaik, sehingga laku apabila dijual di pasaran. Eksploitasi pasir pantai dilakukan oleh warga secara perorangan. Pasir dimanfaatkan sebagai bahan bangunan untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual kepada penduduk lain. Setelah dikumpulkan, pasir biasanya dikemas dalam karung. Satu karung pasir dijual dengan harga berkisar Rp4000,00-10.000,00.

(49)

Aspek Sosial Ekonomi

Kesesuaian dengan kondisi sosial masyarakat

Desa Waha termasuk desa pesisir merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupaten Wakatobi dengan 90% lebih wilayahnya merupakan perairan. Desa Waha terdiri dari empat buah dusun yang seluruhnya menghadap ke pesisir, sehingga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap lingkungan pesisir dan laut, baik untuk mata pencaharian maupun transportasi. Oleh karena itu, tekanan terhadap sumberdaya pesisir dan laut khususnya ikan secara akan berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat.

Mayoritas masyarakat Desa Waha menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan di laut atau sekitar 65% penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Kondisi pada lingkungan pesisir dan lautan seperti terumbu karang secara langsung maupun tidak langsung memiliki pengaruh pada mata pencaharian masyarakat. Sehingga program-program baik dari pemerintah maupun pihak lain yang dilaksanakan dalam rangka memperbaiki atau menjaga kualitas sumberdaya pesisir dan lautan sangat bermanfaat dan sesuai dengan kondisi masyarakat Desa Waha.

Gambar 7 Aktivitas nelayan Desa Waha

(50)

kunjungan sektor pariwisata maupun kegiatan lain telah didukung oleh fasilitas akomodasi dan transportasi yang cukup nyaman. Di Kabupaten Wakatobi, khususnya di Pulau Wanci terdapat beberapa pilihan tempat penginapan atau hotel dan rumah makan yang cukup memadai.

Dampak terhadap pendapatan

Keberadaan DPL yang bertujuan untuk menjaga kondisi ekosistem terumbu karang bermanfaat bagi terjaganya kelimpahan ikan karena berfungsi sebagai tempat berkembang biak, mengasuh dan daerah mencari makan bagi berbagai jenis organisme ikan yang diharapkan secara tidak langsung berperan dalam peningkatan perekonomian masyarakat. Mayoritas masyarakat Desa Waha menggantungkan hidupnya dengan menangkap ikan di laut. Selain pendapatan utama dari hasil tangkapan ikan, beberapa rumah tangga nelayan Desa Waha memiliki pendapatan tambahan dari bertani yang dilakukan oleh nelayan sendiri atau oleh anggota keluarga nelayan. Sumber pendapatan tambahan lain yaitu nelayan memiliki pekerjaan sampingan sebagai tukang batu atau tukang kayu.

Berdasarkan hasil survey, rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan Desa Waha perbulan adalah sebesar Rp2.011.765,00. Pendapatan minimal rumah tangga nelayan sebesar Rp700.000,00 dan maksimal sebesar Rp3.000.000,00. Pada umumnya rumah tangga nelayan di Desa Waha memiliki pendapatan sebesar Rp2.000.000,00 atau lebih dan tidak ada yang memiliki pendapatan di bawah Rp500.000,00. Pendapatan rumah tangga diperoleh dari pekerjaan sebagai nelayan dan pekerjaan tambahan dari semua anggota keluarga.

Penelitian yang dilakukan oleh Coremap pada tahun 2009-2011 dan hasil survey tahun 2013 diketahui bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan Desa Waha cenderung mengalami sedikit penurunan. Sedangkan median untuk pendapatan rumah tangga nelayan relatif tidak banyak berubah, yaitu berkisar sekitar Rp2.000.000,00 – Rp3.000.000,00. Perkembangan pendapatan pada tahun 2009-2011 dan 2013 dapat dilihat pada Gambar 8.

(51)

jam perjalanan dari pantai sehingga manfaat atau pengaruh keberadaan DPL untuk pendapatan nelayan tidak dirasakan secara langsung.

Gambar 8 Perkembangan pendapatan rumah tangga nelayan Sumber: Coremap 2009-2011 dan Data lapangan 2013

Dampak terhadap pengembangan usaha lain

Pasca Program Coremap yang berakhir pada tahun 2011 aktivitas Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) Desa Waha berubah bentuk menjadi Waha Tourism Community (WTC). Pembentukan WTC diarahkan sebagai kegiatan pengelolaan ekowisata pada daerah konservasi berbasis masyarakat. Pondok wisata pantai Desa Waha cukup ramai dikunjungi wisatawan dari wilayah Wakatobi, nasional maupun asing terutama pada hari libur. Menurut catatan dari pengelola WTC tak kurang dari 200 orang pengunjung setiap bulan yang melakukan aktivitas wisata di Desa Waha. Catatan jumlah wisatawan di Desa Waha dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah wisatawan wisata pantai Desa Waha tahun 2013

Bulan Jumlah Wisatawan (orang)

Wisata pantai Diving Snorkeling

(52)

Fasilitas yang disediakan di pondok wisata berupa tempat berteduh, kursi dan fasilitas sewa perlengkapan wisata laut. Perlengkapan yang disewakan merupakan alat selam dasar seperti baju selam, masker, snorkel, pelampung, fin dan speedboat.

Fasilitas lain yang ditawarkan yaitu paket makanan tradisional khas Wakatobi dan homestay. Tarif sewa atau biaya wisata dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Tarif sewa atau biaya wisata pantai Desa Waha

Jenis Tarif (Rp)

Alat snorkeling/unit 10.000

Foto bawah air 150.000

Home stay/hari 80.000

Speedboat/orang 50.000

Pemandu 50.000

Makanan khas/porsi 50.000

Sumber : WTC 2013

Perkembangan jumlah wisatawan di Desa Waha yang cukup baik memberikan manfaat bagi penyerapan tenaga kerja sebagai pemandu snorkeling dan mata pencaharian alternatif bagi ibu-ibu rumah tangga setiap ada kegiatan yang memesan paket konsumsi. Namun penyerapan tenaga kerja dan mata pencaharian alternatif ini belum berkembang dengan baik karena baru terbatas pada orang dan waktu-waktu tertentu saja.

(53)

Gambar 9 Kegiatan wisata pantai di Desa Waha

Jumlah pengunjung wisata DPL Desa Waha yang cukup banyak belum memberikan dampak atau efek ganda positif yang signifikan untuk perkembangan ekonomi masyarakat yang terlibat langsung dalam aktivitas wisata maupun bagi Pemerintah Desa dan masyarakat sekitar. Masih kecilnya dana yang dikelola oleh WTC dari kegiatan wisata dapat dilihat dari pemasukan dana pada tahun 2012 sebesar Rp22.161.000,00, sedangkan pengeluaran sebesar Rp7.855.000,00. Kondisi keuangan yang dikelola WTC dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Perkembangan kondisi keuangan WTC

Kegiatan 2012 2013 (april)

Masuk ( Rp.000)

Keluar ( Rp.000)

Masuk ( Rp.000)

Keluar ( Rp.000)

Sewa peralatan 11.131 3.800

Speedboat 6.700 2.100

Makanan 2.350 3.000

Kotak amal 480

Pelatihan 1.500

Konsumsi 3.500

Admistrasi/kebersihan 3.155 1.700

Operasional pengelola/pengawasan 1.200 4.400

Jumlah 22.161 7.855 8.900 6.100

Sumber : WTC 2013

Introduksi teknologi

(54)

Pengenalan teknologi lain yang pernah didapatkan masyarakat adalah berupa keterampilan merehabilitasi terumbu karang yaitu pelatihan teknik transplantasi terumbu karang. Pelatihan lain yang pernah diberikan kepada nelayan Desa Waha yaitu pelatihan penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Pelatihan-pelatihan dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, instansi pemerintah lain, maupun oleh lembaga-lembaga peduli konservasi.

Aspek kebijakan

Kesesuaian dengan aturan setempat

Kesesuaian daerah perlindungan laut dengan aturan pada berbagai level mempengaruhi keberlanjutan pengelolaannya. Berdasarkan wawancara dengan aparat desa dan masyarakat didapatkan informasi bahwa tidak terdapat aturan masyarakat baik berupa tradisi maupun aturan tertulis yang bertentangan dengan program pengelolaan sumberdaya terumbu karang khususnya keberadaan DPL.

Pengelolaan sumberdaya kelautan yang lestari di Desa Waha juga sesuai dengan kebijakan pembangunan Kabupaten Wakatobi yang selain dititikberatkan pada kesejahteraan masyarakat dan infrastruktur juga memberi perhatian pada aspek ekologi (pelestarian sumberdaya alam darat dan laut), hal ini dituangkan

dalam visi pembangunan Kabupaten Wakatobi Tahun 2012 - 2016 yaitu

Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut di Pusat Segi Tiga Karang Dunia”. Salah

satu misi dari visi tersebut yaitu meningkatkan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam, mencakup upaya-upaya yang terkait dengan pelestarian dan pemanfaatan potensi kelautan, perikanan dan ekowisata dalam prinsip pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu, pengelolaan sumberdaya air secara terpadu dan konservasi biodiversitas secara terpadu.

(55)

disepakati rancangan tersebut untuk disahkan menjadi Peraturan Desa, namun sampai dengan penelitian ini dilaksanakan Rancangan Peraturan Desa tersebut belum efektif dilaksanakan karena belum disahkan. Menurut Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, rancangan peraturan desa tersebut masih berada di Sekretariat Daerah Kabupaten Wakatobi.

Secara garis besar isi rancangan peraturan desa tersebut sama dengan peraturan desa lain baik yang berada di Kabupaten Wakatobi maupun daerah lain yang mendapat Program Coremap karena mengikuti contoh rancangan peraturan desa dari Coremap yang telah disiapkan oleh konsultan hukum program tersebut. Isi Peraturan Desa Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Waha terdiri atas 10 bab, yaitu:

1. Ketentuan umum, memuat definisi-definisi yang terkait dengan peraturan; 2. Tujuan dan manfaat adanya DPL;

3. Lokasi DPL, dengan luas 3,5 Ha;

4. Kewajiban dan hal-hal yang diperbolehkan dalam lokasi DPL;

5. Hal-hal yang dilarang, kegiatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang dalam zona DPL yaitu: pemboman; pembiusan dengan menggunakan potasium sianida; memancing/menangkap ikan dengan segala jenis alat tangkap; mengambil biota laut, tumbuhan dan karang yang hidup ataupun mati; menggunakan lampu di dalam DPL pada malam hari dengan maksud menarik ikan; melakukan budidaya rumput laut, ikan karang dan ikan lainnya di dalam DPL; menempatkan bagan di dalam DPL; membuang jangkar di dalam DPL; membuang sampah, limbah rumah tangga, Industri dan limbah kapal di dalam DPL; melakukan penambangan pasir dan batu karang di dalam areal DPL; pembangunan sarana wisata permanen; rekalamasi pantai; kegiatan lain yang dianggap merusak (jalan kaki dengan menginjak karang, membuang jangkar dengan sengaja, mendayung dengan dayung ditancapkan ke karang);

6. kelompok pengelola DPL, memuat kewajiban dan kepengurusan kelompok pengelola;

(56)

9. Sanksi;

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dikenakan sanksi yaitu :

 tingkat pertama berupa: permintaan maaf oleh pelanggar; mengembalikan semua hasil yang diperolehnya dari DPL kepada Desa; dan menandatangani surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi pelanggaran tersebut di hadapan aparat desa, Kelompok Pengelola dan masyarakat.

 pelanggaran kedua kalinya yang terbukti melanggar ketentuan, dikenakan sanksi tingkat kedua berupa: denda sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian oleh Kelompok Pengelola; dan menyita semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan DPL.

 pelanggaran ketiga kalinya yang terbukti melanggar ketentuan, dikenakan sanksi tingkat ketiga berupa: denda dengan sejumlah uang yang akan ditentukan kemudian oleh Kelompok Pengelola; menyita semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan DPL; dan diwajibkan melakukan pekerjaan sosial untuk kepentingan masyarakat seperti: kerja bakti, membetulkan mck umum, atau sanksi lain yang ditentukan kemudian oleh Kepala Desa dan/atau masyarakat desa.  pelanggaran ketentuan lebih dari tiga kali, dikenakan sanksi diserahkan

kepada pihak kepolisian untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 selain sanksi sebagaimana tersebut pada ketentuan dapat dikenakan sanksi adat yang masih diakui masyarakat.

10.Ketentuan penutup.

(57)

Luas total Cagar Biosfer Wakatobi yang diusulkan adalah 1.390.000 Hektar, terdiri atas :

a. Area Inti seluas 54.568 hektar.

b. Area Penyangga seluas 839.732 hektar. c. Area Transisi seluas 495.700 hektar.

Area Inti seluas 54.568 hektar mencakup Zona Inti Taman Nasional Wakatobi seluas 1.300 hektar, Zona Perlindungan Bahari Taman Nasional Wakatobi seluas 36.450 hektar, Zona Pariwisata Taman Nasional Wakatobi seluas 6.180 hektar, Daerah Perlindungan Laut berbasis masyarakat seluas 592 hektar yang di dalamnya termasuk DPL di Desa Waha, hutan lindung seluas 10.046 hektar, dan site budaya seperti Wangi-Wangi (9 site), Kaledupa (12 site), Tomia (4 site), dan Binongko (10 site).

Aturan khusus yang ditetapkan untuk pengembangan DPL berbasis masyarakat adalah Rencana Pengelolaan Terumbu Karang. Rencana Pengelolaan Terumbu Karang merupakan dokumen rencana strategis pengelolaan terumbu karang di Desa Waha yang berisi visi dan sasaran serta program kerja pengelolaan. Program kerja pengelolaan yang yang ditetapkan merupakan suatu kesepakatan berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program DPL. Akan tetapi dokumen Rencana Pengelolaan Terumbu Karang hanya dimanfaatkan selama Program Coremap masih berlangsung. Saat ini belum ada dokumen rencana pengembangan DPL berbasis masyarakat Desa Waha.

Dukungan Pemerintah Daerah

Gambar

Gambar 1  Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi Keberlanjutan Pengelolaan
Gambar 2  Peta Lokasi Penelitian
Gambar 3 Tahapan Analisis Aplikasi MDS dalam Teknik RAPFISH
Tabel 7  Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut tidak lepas dari kepuasan yang dirasakan oleh konsumen sehingga berakhir kepada loyalitas konsumen, yang akhirnya membuat Helios Fitness Center yakin

YOUR TITLE YOUR TITLE Kemendikbud © 2020 yons@apps.ipb 2021 PROGRAM KEWIRAUSAHAAN MERDEKA BELAJAR KAMPUS MERDEKA 2021 PROGRAM KEWIRAUSAHAAN MERDEKA BELAJAR- KAMPUS MERDEKA

5231009 Belanja Modal Pengadaan Papan Tulis Elektronik 5231010 Belanja Modal Pengadaan Papan Visual Elektronik 5231011 Belanja Modal Pengadaan Tabung Pemadam Kebakaran 5231012

Harapan untuk tidak masuk ke dalam lembaga ini berarti sudah dapat diterima di lingkungan masyarakat lagi dengan melakukan kegiatan positif seperti apa yang

b) penerima kuasa dari direktur utama/pimpinan perusahaan yang nama penerima kuasanya tercantum dalam akta pendirian atau perubhaanya; c) kepala cabang perusahaan yang

BUMDesa “USAHA BERSAMA” berbentuk badan usaha yang merupakan bagian dari Pemerintahan Desa Kedukan Bujang Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir yang dilegalisasi melalui

Tujuan pengembangan penelitian ini untuk menganalisa dan merancang aplikasi Sistem Informasi Ruang Terbuka Hijau Kota Manado berbasis GIS, dengan menggunakan metodologi

Pengetahuan tentang prilaku konsumen tersebut meliputi karakteristik konsumennya, proses pengambilan keputusan dalam memilih jasa layanan pra sekolah dan tanggapan konsumen