• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengetahuan, Persepsi, dan Sikap Pemangku Kebijakan Terhadap Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pengetahuan, Persepsi, dan Sikap Pemangku Kebijakan Terhadap Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BOGOR

SUCI LATIFAH

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pengetahuan, Persepsi, dan Sikap Pemangku Kebijakan Terhadap Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Suci Latifah

(3)

SUCI LATIFAH. Analisis Pengetahuan, Persepsi, dan Sikap Pemangku Kebijakan Terhadap Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI dan ARYA HADI DHARMAWAN.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produksi, ketersediaan, dan konsumsi pangan khususnya beras, menganalisis kebutuhan lahan untuk memenuhi konsumsi beras dan menganalisis pengetahuan, persepsi, dan sikap pemangku kebijakan terhadap perlindungan lahan di Kabupaten Bogor. Produksi padi Kabupaten Bogor menunjukkan tren penurunan sebesar 0.18%. Rata-rata ketersediaan beras Kabupaten Bogor memenuhi 64.6%. Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat menunjukkan konsumsi didominasi oleh beras (75.7%) setara dengan 275.8 g/kap/hr atau 100.67 kg/kap/th dengan PPH konsumsi sebesar 72.5. Prediksi kebutuhan lahan pada skenario IV adalah yang paling ideal. Pengetahuan dan persepsi pemangku kebijakan berbeda sehingga memengaruhi sikap terhadap perlindungan lahan. Selain itu dipengaruhi juga oleh banyaknya kepentingan yang harus difasilitasi oleh pemangku kebijakan yang bersangkutan.

Kata kunci: Ketahanan pangan, Perlindungan lahan pertanian, Pemangku kebijakan, Persepsi

ABSTRACT

SUCI LATIFAH. Analysis of Stakeholders Knowledge, Perception and Attitude of Sustainable Agricultural Land Protection in Bogor District. Supervised by YAYUK FARIDA BALIWATI and ARYA HADI DHARMAWAN.

The objective of this study are to analyze production, availability and consumption especially rice, to analyze land availability, and to analyze stakeholders’ knowledge, perception and attitude of agricultural land protection in Bogor District. The study found that average of rice production in Bogor District remains droped until 0.18% a year. The average of rice availability can suffice 64.6% rice consumtion in region, while the rest 35.4% was imported from other district. Food consumption pattern of carbohydrate fulfillment dominated by rice (75.7%) this equal to 275.8 g/cap/day or 100.67 kg/cap/year, so that dietary food pattern score remain 72.5. Land rice production prediction was designed with several scenarios showed that the 4th scenario was the best scenario. Stakeholder’s knowledge and perception was different to land conservation and affect to attitude to land conservation. In addition, attitude on agricultural land protection was depending on different interest that has to be facilitated by the stakeholders.

(4)

SUCI LATIFAH. Analisis Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Pemangku Kebijakan terhadap Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor. Dibawah bimbingan YAYUK FARIDA BALIWATI dan ARYA HADI DHARMAWAN.

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengetahuan, persepsi, dan sikap pemangku kebijakan terhadap perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor. Tujuan khusus penelitian ini adalah 1) menelaah situasi produksi, ketersediaan, dan konsumsi pangan khususnya beras Kabupaten Bogor tahun 2012, 2) menganalisis kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan beras Kabupaten Bogor, dan 3) mengidentifikasi pengetahuan, persepsi, dan sikap pemangku kebijakan terkait peraturan lahan pertanian pangan berkelajutan di Kabupaten Bogor.

Penelitian ini menggunakan desain studi desktiptif. Pengumpulan data penelitian dan analisis data dilaksanakan di Kabupaten Bogor, pada bulan September 2012 hingga Februari 2013. Analisis dan penulisan dilakukan pada bulan April 2013. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data wawancara dengan pemangku kebijakan terkait perlindungan lahan yakni, pemangku kebijakan perwakilan dari pemerintah daerah Kabupaten Bogor yang terdiri dari Dinas Pertanian dan Kehutanan, Badan Ketahanan Pangan, Dinas Bina Marga dan Pengairan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Tata Ruang dan Permukiman, dan Badan Perizinan Terpadu, Masyarakat yang terdiri dari Gapoktan, dan swasta pengembang perumahan. Sementara data sekunder penelitian menggambarkan situasi produksi, ketersediaan dan konsumsi penduduk serta ketersediaan lahan pertanian. Data primer dianalisis dengan analisis kualitatif sedangakan data sekunder dianalisis dengan beberapa indikator diantaranya laju produksi padi, tingkat kecukupan energi dan protein dari ketersediaan dan konsumsi, laju luas sawah serta kebutuhan lahan sawah dengan menggunakan skenario lahan. Data yang diperoleh selanjutnya diolah menggunakan Microsoft Excel 2010 for Windows.

Produksi padi Kabupaten Bogor dari tahun 2010-2012 menunjukan tren penurunan sebesar 0.18%. Total produksi beras Kabupaten Bogor tahun 2012 adalah 344 538 Ton. Produksi ini dapat memenuhi 67.4% kebutuhan beras. Ketersediaan beras Kabupaten Bogor ditambah estimasi impor adalah sebesar 545 000 Ton. Rata-rata ketersediaan beras Kabupaten Bogor memenuhi 64.6% sehingga 35.4% berasal dari luar wilayah sementara skor PPH ketersediaan untuk dikonsumsi Kabupaten Bogor pada tahun 2012 adalah 86.1. Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat menunjukan 75.7% konsumsi didominasi oleh beras. Konsumsi beras aktual Kabupaten Bogor mencapai 275.8 g/kap/hr setara dengan 100.67 Kg/kap/th. Karena itu diperlukan perbaikan konsumsi beras menuju ideal yakni 227 g/kap/hr atau 82.8 Kg/kap/th melalui penganekaragaman pangan. Skor PPH konsumsi Kabupaten Bogor tahun 2012 yakni 72.5.

(5)

Barat terletak di Kecamatan Pamijahan, Rumpin dan Cigudeg. Prediksi kebutuhan lahan dengan menggunakan skenario menunjukkan, pada skenario I Kabupaten Bogor memerlukan impor sebesar 32.6% pada tahun 2012 dan 45.7% pada tahun 2017. Pada skenario II 18.5% pada tahun 2012 dan 34.3% pada tahun 2017. Pada skenario III Kabupaten Bogor memerlukan impor sebesar 18% pada tahun 2012 dan 34% pada tahun 2017. Sedangkan, pada skenario IV Kabupaten Bogor memerlukan impor sebesar 18% pada tahun 2012 dan 31% pada tahun 2017. Skenario IV paling dianjurkan karena; laju alih fungsi lahan dapat ditekan hingga 0.5% per tahun dan pola konsumsi penduduk telah mencapai ideal sehingga kualitas konsumsi penduduk dapat ditingkatkan. Meskipun demikian, pemenuhan kebutuhan pangan penduduk Bogor tahun 2017 akan berbeda apabila tidak dilakukan perubahan kebijakan ke arah diversifikasi konsumsi pangan pokok dan peningkatan produksi melalui intensifikasi.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BOGOR

SUCI LATIFAH

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)

Nama : Suci Latifah

NIM : I14080067

Disetujui oleh

Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen

(9)

Alhamdulillah. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Analisis

Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Pemangku Kebijakan terhadap Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor” ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir.Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing pertama dan Bapak Dr.Ir.Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr selaku dosen pembimbing kedua atas curahan perhatian dalam membimbing dan memberi motivasi. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ita, Pak Joner, Pak Jun, Pak Ayip serta rekan-rekan lintas stakeholder lainnya yang telah membantu penulis dalam penelusuran data.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua tercinta ayahanda Jumedi dan Ibunda Qomariah atas limpahan doa dan kasih sayang yang tidak pernah putus, serta adik penulis yang selalu menyemangati. Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada sahabat Nunik, Yusti, Mbak Dati, Mbak Ratih, Mbak Rani, Mbak Retno atas limpahan doa dan semangat yang diberikan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat Anom, Aldi, Gery atas bantuannya selama penulis meneliti. Terimakasih penulis ucapkan kepada keluarga besar Beasiswa Aktivis 1 Dompet Dhuafa, Ponpes Mahasiswi Al Iffah, Al Fatih, AQSHO 45 serta seluruh sahabat, teman dan rekan kerja yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas limpahan doa dan perhatiannya kepada penulis. Selain itu ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada rekan-rekan GM 45 dan GM 46 yang telah menjadi kesatuan keluarga besar bagi penulis selama menimba ilmu di Departemen Gizi Masyarakat.

Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi semua pihak dan khususnya peminat ketahanan pangan. Penulis menyadari bahwa karya ini mengandung berbagai kelemahan. Kritik dan saran pembaca akan digunakan untuk kepentingan pendidikan kedepannya.

Bogor, Juli 2013

(10)

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR MATRIKS vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

Kerangka Pemikiran 2

METODE 4

Desain, Waktu dan Tempat 4

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 4

Prosedur pengolahan dan Analisis Data 4

Definisi Operasional 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Kondisi Umum Kabupaten Bogor 10

Situasi Produksi, Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Khususnya BeraS 11

Kebutuhan Lahan untuk Memenuhi Konsumsi Beras Penduduk 18

Pengetahuan, Persepsi, dan Sikap Pemangku Kebijakan 24

SIMPULAN DAN SARAN 45

Simpulan 45

Saran 46

DAFTAR PUSTAKA 46

LAMPIRAN 49

(11)

1 Keterkaitan tujuan penelitian dengan data dan sumber data 4

2 Pengolahan dan analisis data 5

3 Persentase produksi beras terhadap kebutuhan per kecamatan tahun 2012 13 4 Tingkat ketersediaan energi untuk dikonsumsi penduduk tahun 2012 15 5 Situasi ketersediaan pangan Kabupaten Bogor tahun 2012 15 6 Situasi konsumsi penduduk Kabupaten Bogor 2012 16 7 Analisis situasi beras Kabupaten Bogor tahun 2012 17 8 Luas lahan sawah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk tahun 2012 18 9 Simulasi dan proyeksi kebutuhan lahan sawah berdasarkan konsumsi beras 21 10 Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario I terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Bogor tahun 2012 dan 2017 22 11 Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario II terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Bogor tahun 2012 dan 2017 22 12 Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario III terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Bogor tahun 2012 dan 2017 22 13 Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario IV terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Bogor tahun 2012 dan 2017 23 14 Perbandinganland man ratiolahan pada skenario I, II, III dan IV 23

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 3

2 Produksi padi Kabupaten Bogor 2010-2012 12

3 Produksi padi Kabupaten Bogor 2010-2012 12

4 Persentase laju luas sawah Kabupaten Bogor 2010-2012 20

5 Proyeksi jumlah penduduk Kabupaten Bogor 29

6 Proyeksi kebutuhan lahan (padi) berdasarkan ketersediaan pangan 30

DAFTAR MATRIKS

1 Pemahaman pemangku kebijakan mengenai ketahanan pangan 25 2 Kecenderungan solusi menghadapi ketidaktahanan pangan 31 3 Pengetahuan informan tentang Undang–undang Perlindungan Lahan 34 4 Persepsi pemangku kebijakan terhadap Undang–undang Perlindungan Lahan 38

DAFTAR LAMPIRAN

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Bogor merupakan daerah penyangga Ibu Kota Jakarta yang berkembang dengan cepat dari sisi pertumbuhan infrastruktur, ekonomi dan penduduk. Pada tahun 2011 laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor mencapai 3.15 % sehingga jumlah total penduduk pada tahun 2012 telah mencapai 5 077 240 jiwa. Pertumbuhan penduduk yang cepat serta aktivitas pembangunan tentu akan turut meningkatkan permintaan lahan (Wijaya 2013). Akibatnya ancaman alih fungsi lahan akan sulit dihindarkan.

Alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun akan menjadi masalah karena alih fungsi lahan terjadi diatas lahan pertanian yang masih produktif. Alih fungsi lahan menyebabkan berkurangnya lahan sawah dan berdampak pada semakin rentannya ketahanan pangan di Kabupaten Bogor. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor mencatat telah terjadi penurunan luas lahan sawah dari 48 185 Ha menjadi 44 889 Ha pada tahun 2011-2012. Hal ini akan berdampak buruk pada pemenuhan kebutuhan beras, mengingat hingga kini 35.4% kebutuhan beras masih didatangkan dari luar wilayah. Jika alih fungsi lahan terus terjadi maka akan semakin mengurangi kapasitas produksi dan meningkatkan ketergantungan impor (Suryana 2005).

Terkait dengan hal tersebut, perlu adanya perlindungan terhadap lahan sawah secara berkelanjutan, sehingga minimal kebutuhan beras seluruh penduduk dapat dipenuhi dari produksi dalam wilayah secara mandiri. Pada tingkat nasional perlindungan lahan telah diatur dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2009. Penerapan undang-undang perlindungan lahan ini diharapkan dapat menjamin tersedianya lahan untuk kegiatan produksi pangan pokok masyarakat. Disamping itu, dukungan dari parastakeholderterkait yang memahami pentingnya ketahanan pangan akan sangat diperlukan (Hamelinet al. 2008). Oleh karena itu diperlukan suatu analisis pengetahuan, persepsi, dan sikap pemangku kebijakan terhadap perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rangka menjamin ketahanan pangan di Kabupaten Bogor

Perumusan Masalah

(13)

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengetahuan, persepsi, dan sikap pemangku kebijakan terhadap perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor. Tujuan khususnya adalah:

1. Menelaah situasi produksi, ketersediaan, dan konsumsi pangan khususnya beras Kabupaten Bogor tahun 2012.

2. Menganalisis kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan beras Kabupaten Bogor.

3. Mengidentifikasi pengetahuan, persepsi, dan sikap pemangku kebijakan terkait peraturan lahan pertanian pangan berkelajutan di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kabupaten Bogor mengenai gambaran pengetahuan, persepsi, dan sikap pemangku kebijakan terkait perlindungan lahan pertanian berkelanjutan menjamin ketahanan pangan di Kabupaten Bogor.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan ruang lingkup Kabupaten Bogor yang terdiri dari pemangku kebijakan (pejabat pemerintah daerah Kabupaten Bogor yang berada pada aras kelembagaan, organisasi masyarakat dan pihak swasta pengembang perumahan) dan menganalisis data-data sekunder dari berbagai instansi untuk mengetahui kondisi ketahanan pangan Kabupaten Bogor. Ruang lingkup ini diperuntukan untuk menganalisis lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam upaya untuk menjamin ketahanan pangan di Kabupaten Bogor.

Kerangka Pemikiran

Ketahanan pangan menurut Undang-undang No. 18 Tahun 2012 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Dengan mengacu pada definisi tersebut, setiap wilayah Kabupaten/Kota berkewajiban menyediakan pangan bagi setiap penduduknya.

(14)

memproduksi pangan secara mandiri maka diperlukan peningkatan produktifitas dan perluasan areal tanam. Sementara itu, diperlukan pula perlindungan terhadap lahan-lahan potensial yang ada.

Perlindungan terhadap lahan pertanian memerlukan dukungan berbagai pemangku kebijakan agar penerapan perlindungan lahan menjadi lebih efektif dan sesuai harapan. Dengan tersedianya lahan sebagai input ketahanan pangan diharapkan pemenuhan kebutuhan pangan penduduk dapat dipenuhi dari dalam wilayah. Kerangka pemikiran analisis lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk ketahanan pangan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada gambar 1.

Keterangan gambar :

: variabel yang diteliti : hubungan yang diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran analisis lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk ketahanan pangan di Kabupaten Bogor.

Pangan Berkelanjutan Lahan Penduduk

Ketersediaan Produksi

Pengetahuan, Persepsi, dan Sikap

Ketahanan Pangan

Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan Perlindungan Lahan

Konsumsi

(15)

METODE

Desain, Waktu dan Tempat

Penelitian ini menggunakan desain studi desktiptif. Pengumpulan data penelitian dan analisis data dilaksanakan di Kabupaten Bogor, pada bulan September 2012 hingga Februari 2013. Analisis dan penulisan dilakukan pada bulan April 2013.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dan dokumen diperoleh dari berbagai instansi terkait Kabupaten Bogor yang dapat dilihat pada tabel 1. Sementara data yang digunakan untuk mendeskripsikan gambaran umum wilayah Kabupaten Bogor meliputi data dan informasi di bidang pertanian, kependudukan, dan geografis wilayah.

Tabel 1 Keterkaitan tujuan penelitian dengan data dan sumber data

Tujuan Data/Informasi Sumber Data/Informasi

Kabupaten Bogor

1

a. NBM ketersediaan pangan untuk dikonsumsi tahun 2012 (sekunder)

Bappeda Kabupaten Bogor

b. Konsumsi pangan tahun 2012

(sekunder) Bappeda Kabupaten Bogor

(16)

Tabel 2 Pengolahan dan analisis data

Tujuan Pengolahan data Analisis data

1

a. Tngkat kecukupan ketersediaan energi dan protein

b. Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein

c. Menhgitung rata-rata laju produksi padi

a. Analisis tingkat kecukupan ketersediaan energi dan protein

b. Analisis tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein

a. Analisis gap antara luas lahan ideal dengan potensi luas lahan aktual

b. Analisis skenario lahan c. Analisis gap land man ratio

lahan sawah untuk produksi pangan ideal dan aktual

Secara lebih rinci langkah pengolahan dan analisis data diuraikan sebagai berikut: 1) Untuk menganalisis situasi konsumsi dan ketersediaan pangan, serta produksi

padi Kabupaten Bogor, yaitu dengan:

- Menghitung laju produksi padi dan rata-rata produksi padi tahun 2010-2012

Laju produksi padi = Produksi padit–Produksi padit-1x 100%

Produksi padit-1

Keterangan:

Produksi padit = produksi padi pada tahun tertentu (2010-2012)

Produksi padit-1 = produksi padi pada tahun sebelumnya

Rata-rata produksi padi = produksi padi1+ produksi padi2+ … + produksi padin

n

Keterangan:

produksi padi1 = produksi padi pada tahun ke 1

produksi padi2 = produksi padi pada tahun ke 2

produksi padin = produksi padi pada tahun ke n

(17)

- Menganalisis tingkat ketersediaan energi dan protein data ketersediaan pangan tahun 2012 dengan ketersediaan pangan ideal, kemudian dilakukan analisis terhadap ketersediaan beras.

- Menganalisis tingkat kecukupan energi dan protein data konsumsi pangan tahun 2012 dengan konsumsi pangan ideal, kemudian dilakukan analisis terhadap konsumsi beras.

2) Untuk menganalisis kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan beras penduduk Kabupaten Bogor tahun 2012-2017, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

- Menghitung kepadatan penduduk

Kepadatan penduduk = jumlah penduduk (jiwa) luas wilayah (Km2)

- Menghitung laju luas sawah Kabupaten Bogor tahun 2006-2012

Laju luas lahan sawah = luas sawaht–luas sawaht-1x 100%

luas sawaht-1

Keterangan:

Luas sawaht = luas sawah pada tahun tertentu (2006-2012)

Luas sawaht-1 = luas sawah pada tahun sebelumnya

- Menghitung laju pertumbuhan penduduk tahun 2013-2017 dengan menggunakan tingkat pertumbuhan penduduk 3.15% per tahun (BPS 2011), dengan rumus:

Pt= P0(1+r)n

Keterangan:

Pt = jumlah penduduk pada tahun ke-n (tahun 2013-2017)

P0 = jumlah penduduk pada tahun awal (tahun 2012)

r = tingkat pertumbuhan penduduk per tahun (3.15%) n = banyak perubahan tahun

- Menghitung proyeksi kebutuhan beras dalam satuan Ton dengan asumsi konsumsi aktual 100.67 Kg/Kap/th, dengan rumus:

Kebutuhan beras = Pnx 100.67

1000

Keterangan:

(18)

- Menghitung proyeksi luas lahan dari tren perubahan luas lahan pertanian tahun 2006-2012

Lut= Lu0(1-r)n

Keterangan:

Lut = jumlah lahan pada tahun ke-n (tahun 2013-2017)

Lu0 = jumlah lahan pada tahun awal (tahun 2012)

r = tingkat alih fungsi rata-rata per tahun (1.2%) n = banyak perubahan tahun

- Menghitung kebutuhan lahan tahun 2013-2017 untuk memenuhi konsumsi ideal dalam Hektar dengan menggunakan asumsi pertumbuhan penduduk 3.15% dan produktivitas tetap 6.11 Ton/Ha

Lt= x a*

b

Keterangan:

Lt = luas lahan tahun tertentu (2013-2017)

Pt = laju pertumbuhan penduduk tahun tertentu (2013-2017) a = konversi beras ke GKG

b = rata-rata produktivitas per indeks pertanaman

catatan: * angka konversi menurut standar BPS dan Kementrian Pertanian 2009

- Menyusun skenario lahan tahun 2012 dan 2017 berbasis konsumsi beras penduduk dengan asumsi produktivitas tanaman dan laju pertumbuhan penduduk tetap:

1. Pola pangan penduduk tetap dan laju alih fungsi tetap (skenario I) 2. Pola pangan penduduk ideal dan laju alih fungsi tetap (skenario II) 3. Pola pangan penduduk tetap dan laju alih fungsi ditekan hingga 0.5%

(skenario III)

4. Pola pangan penduduk ideal dan laju alih fungsi ditekan hingga 0.5% (skenario IV)

- Dari skenario I, II, III, IV kemudian dihitung land man ratiolahan sawah dengan rumus:

Land man ratio = luas sawah Jumlah penduduk

3) Mengidentifikasi pengetahuan, persepsi, dan sikap pemangku kebijakan terkait peraturan lahan pertanian pangan berkelajutan di Kabupaten Bogor, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

- Mengidentifikasi pemahaman ketahanan pangan menurut pemangku kebijakan dan mengidentifikasi sikap menghadapi ketidaktahanan pangan,

(83.2 x Pt)

(19)

serta pengetahuan, persepsi, dan sikap pemangku kebijakan terkait lahan pertanian pangan berkelajutan dengan metode kualitatif, yakni merujuk pada proses-proses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas ataupun frekuensi sehingga pendekatan ini dapat digunakan untuk mengungkap jawaban atas pertanyaan yang menekankan bagaimana pengalaman sosial dibentuk dan diberi makna (Denzin dan Lincoln 1994). Pendekatan ini diharapkan dapat mengungkap pengetahuan, persepsi, dan sikap pemangku kebijakan terhadap perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

• Pengumpulan data kualitatif penelitian ini menggunakan metode sekaligus (metode triangulasi) yang terdiri dari pengamatan berperanserta, penelusuran dokumen dan wawancara (Bungin 2003). Metode-metode pengumpulan data tersebut digunakan untuk memperoleh data sekunder dan data primer yang dapat menjawab tujuan penelitian. Data primer dari informan diperoleh melalui pengamatan berperanserta dan wawancara. Hasil dari pengamatan dan wawancara dituangkan pada catatan harian dalam bentuk uraian. Selain itu, dikumpulkan berbagai data sekunder seperti data terkait statistik pertanian, dan literatur-literatur terkait lainnya. Pemetaan kata kunci juga digunakan untuk membantu mengidentifikasi pemahaman definisi ketahanan pangan menurut pemangku kebijakan (Derrickson

et al.2002)

• Data primer berupa wawancara pemangku kebijakan dengan konsep tri partid (pemerintah, masyarakat, swasta), sehingga wawancara dilakukan pada berbagai dinas terkait pertanian padi, organisasi masyarakat petani dan pihak swasta pengembang perumahan. Pemangku kebijakan ditentukan secara purposive yang terkait perlindungan lahan pertanian pangan, dijelaskan sebagai berikut: - Instansi terkait pada awal penelitian ditentukan lima instansi yakni

Dinas Pertanian dan Kehutahan, Dinas Bina Marga dan Pengairan, Dinas Tata Ruang dan Permukiman, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan Dinas Perternakan dan Perikanan. Namun setelah melakukan proses verifikasi Dinas Perternakan dan Perikanan kurang relevan dan disarankan memasukkan Badan Ketahanan Pangan yang baru terbentuk awal tahun 2013. Selanjutnya dalam perjalanan penelitian diperlukan juga wawancara dengan Badan Perizinan Terpadu selaku badan yang mengurusi perizinan tanah dan bangunan sehingga Badan Perizinan Terpadu dimasukkan dalam daftar wawancara. Secara keseluruhan terdapat enam informan dari dinas terkait yang diwawancarai.

- Organisasi masyarakat mewakili petani dari wilayah yang relatif tidak mengalami ancaman alih fungsi yakni Gapoktan Situ Udik dan petani dari wilayah yang telah mengalami alih fungsi yakni Gapoktan Cibereum Jempol.

(20)

Definisi Operasional

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan padi untuk menjamin ketersediaan beras untuk ketahanan pangan.

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan di tingkat wilayah sampai individu baik secara kualitas dan kuantitas, dilihat berdasarkan situasi ketersediaan untuk dikonsumsi dan konsumsi pangan, berdasarkan indikator AKE, AKP dan skor PPH sesuai anjuran WNPG VIII tahun 2004; AKE ketersediaan 2200 kkal/kap/hr, AKP ketersediaan 57 g/kap/hr; AKE konsumsi 2000 kkal/kap/hr, AKP konsumsi 52 g/kap/hr; PPH 100. Pengetahuan adalah seputar pengetahuan informan dalam mengetahui bab

tertentu dalam undang-undang perlindungan lahan (bab perencanaan dan penetapan, bab pengendalian, dan bab sistem informasi) dan pemahaman mengenai definisi ketahanan pangan. Pengetahuan diamati secara kualitatif melalui wawancara.

Persepsi adalah berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap perlindungan lahan pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor yang akan berakibat terhadap stimulus tertentu. Persepsi diamati secara kualitatif melalui wawancara.

Sikap adalah kecenderungan, kemauan, dan kesediaan untuk bereaksi baik sikap positif (pro), sikap negatif (anti) maupaun netral terhadap ketidaktahanan pangan di Kabupaten Bogor dan perlindungan lahan. Sikap diamati secara kualitatif melalui wawancara.

Pemangku kebijakan adalah perwakilan dari pemerintah daerah Kabupaten Bogor yang terdiri dari Dinas Pertanian dan Kehutanan, Badan Ketahanan Pangan, Dinas Bina Marga dan Pengairan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Tata Ruang dan Permukiman, dan Badan Perizinan Terpadu, Masyarakat yang terdiri dari Gapoktan, dan swasta pengembang perumahan.

Pendudukadalah penduduk Kabupaten Bogor yang diukur dalam jumlah jiwa. Lahanadalah lahan basah yang digunakan untuk pertanian padi sawah.

Produksi adalah kemampuan Kabupaten Bogor untuk menghasilkan kapasitas pangan pokok beras di wilayahnya.

Sumber Daya Lahan adalah kelimpahan alam berupa lahan basah untuk pertanian padi yang tersedia di Kabupaten Bogor untuk mendukung ketahanan pangan.

Pola Pangan Harapan (PPH) adalah kualitas susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi setiap kelompok pangan utama dari konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Kebutuhan lahan adalah jumlah lahan ideal yang diperlukan untuk memenuhi

seluruh kebutuhan konsumsi beras penduduk Kabupaten Bogor.

Ketersediaan lahan adalah perbandingan jumlah lahan aktual yang dilihat berdasarkan kepadatan penduduk.

(21)

HASIL

DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Kabupaten Bogor

Wilayah administrasi

Kabupaten Bogor adalah salah satu dari dua puluh lima Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota kabupaten adalah Cibinong. Dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2851). Secara geografis terletak diantara 6º18'0" – 6º47'10" Lintang Selatan dan 106º23'45"–107º13'30" Bujur Timur. Secara administratif batas wilayah Kabupaten Bogor yaitu:

a. Sebelah Utara : Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten), Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Depok;

b. Sebelah Barat : Kabupaten Lebak (Provinsi Banten);

c. Sebelah Timur : Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta;

d. Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur; e. BagianTengah : Kota Bogor.

Kabupaten Bogor memiliki luas sebesar ± 298 838.304 Ha, terdiri dari 413 desa dan 17 kelurahan, 3 768 RW dan 14 951 RT yang tercakup dalam 40 kecamatan. Seluruh kecamatan tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah hasil pemekaran lima kecamatan di tahun 2005. Berdasarkan pola penggunaan tanah dikelompokkan menjadi kebun campuran seluas 85 202.5 Ha (28.48%), kawasan terbangun/pemukiman 47 831.2 Ha (15.99%), semak belukar 44 956.1 Ha (15.03%), hutan vegetasi lebat/ perkebunan 57 827.3 Ha (19.33%), sawah irigasi/tadah hujan 23 794 Ha (7.95%), tanah kosong 36 351.9 Ha (12.15%). Berdasarkan limpahan sumber daya alam tersebut, idealnya sektor pertanian merupakan sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakat Kabupaten Bogor dan karenanya Pemerintah Kabupaten Bogor telah menetapkan misi dan prioritas pembangunan selama tahun 2008-2013 adalah revitalisasi pertanian dan pembangunan berbasis perdesaan.

Pada tahun 2011 laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor mencapai 3.15 % dengan jumlah total penduduk 5 077 240 jiwa pada tahun 2012. Laju pertumbuhan penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Gunung Putri sebesar 6.27%, Kecamatan Bojonggede sebesar 5.86%, Kecamatan Cileungsi sebesar 5.72% dan Kecamatan Cibinong sebesar 4.62 %, Parung sebesar 4.22% ,Gunung Sindur sebesar 4.31% dan Tajur halang sebesar 4.16%. Pertambahan penduduk di tujuh kecamatan tersebut dapat cukup pesat karena merupakan pusat pengembangan usaha industri dan permukiman.

(22)

Kecamatan Tanjungsari, yakni sebanyak 385 orang/km². Sementara itu, Kecamatan Cibinong, Gunung Putri dan Cileungsi adalah tiga kecamatan dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak, yang masing-masing berjumlah 326 519 orang, 309 918 orang dan 246 369 orang. Sedangkan Kecamatan Cariu merupakan kecamatan yang paling sedikit penduduknya, yakni sebanyak 46 186 orang.

Kondisi geografis

Iklim. Secara klimatologis, wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara. Rata-rata curah hujan tahunan 2 500–5 000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 2 500 mm/tahun. Kelembaban udara 70%. Sedangkan kecepatan angin cukup rendah, dengan rata– rata 1.2 m/detik dan evaporasi di daerah terbuka rata–rata sebesar 146.2 mm/bulan. Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20°- 30°C, dengan rata-rata tahunan sebesar 25°C.

Tanah. Sebagian besar kondisi permukaan tanah Kabupaten Bogor berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung, yang terdiri dari andesit, tufa dan basalt. Gabungan batu tersebut termasuk dalam sifat jenis batuan relatif lulus air dimana kemampuannya meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi. Selanjutnya, jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan Andosol. Oleh karena itu, beberapa wilayah rawan terhadap tanah longsor.

Topografi. Kondisi topografi wilayah Kabupaten Bogor bervariasi mulai dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor berada di dataran tinggi yakni dengan rincian 29.28% berada pada ketinggian 15-100 meter di atas permukaan laut (dpl), 42.62% berada pada ketinggian 100-500 meter dpl, 19.53% berada pada ketinggian 500–1.000 meter dpl, 8.43% berada pada ketinggian 1 000–2 000 meter dpl dan 0.22% berada pada ketinggian 2 000–2 500 meter dpl.

Situasi Produksi, Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Khususnya Beras Kabupaten Bogor Tahun 2012

Situasi produksi padi

(23)

Gambar 2 Produksi padi Kabupaten Bogor 2010-2012 Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutahan

Produksi padi di Kabupaten Bogor pada tiga tahun terakhir cenderung fluktuatif. Rata-rata produksi padi tahun 2010-2012 adalah sebesar 542 694.67 Ton. Produksi tersebut dapat memenuhi 64.6% kebutuhan beras penduduk Kabupaten Bogor. Secara aktual kapasitas produksi dalam wilayah seluruh komoditas pangan baru mampu menyediakan sekitar 47% kebutuhan pangan penduduk dan sekitar 50% (21 kecamatan) yang tergolong rentan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator ketersediaan pangan dalam peta kerawanan pangan Kabupaten Bogor 2012 (Bappeda dan MWA 2012).

Pada rencana peningkatan produksi padi Kabupaten Bogor periode 2008-2013 oleh Dinas Pertanian dan Kehutahan terlihat bahwa, target kenaikan produksi padi sawah Kabupaten Bogor rata-rata sebesar 3.04% per tahun. Target ini akan dilaksanakan dengan strategi peningkatan indeks pertanaman untuk meningkatkan luas panen serta penggunaan benih VUB dan hibrida untuk meningkatkan provitas padi. Sedangkan, persentase laju produksi padi aktual selama tiga tahun terakhir menunjukkan, terjadi penurunan pada tahun 2011 dengan laju 4.6% kemudian meningkat pada tahun 2012 dengan laju 4.25%. Hal ini disebabkan realisasi tanam yang lebih besar dan indeks pertanaman pada diwilayah Bogor Barat dan Bogor Timur. Laju produksi padi rata-rata menunjukan penurunan 0.18 % per tahun (Gambar 3).

(24)

Sumaryanto et al. (2000) memaparkan, publikasi penelitian mengenai beras di Indonesia menunjukan kesimpulan yang hampir serupa, bahwa sejak dasawarsa terakhir terdapat tendensi yang jelas mengenai menurunnya kapasitas produksi beras untuk menyediakan pangan secara mandiri. Artinya dengan tanpa adanya upaya untuk memperbaiki laju pertumbuhan produksi pangan, maka ketahanan pangan akan menghadapi ancaman yang cukup serius. Dengan demikian, diperlukan strategi untuk menjaga kestabilan produksi aktual saat ini dan meningkatkan produksi padi kedepannya.

Tabel 3 Persentase produksi beras terhadap kebutuhan per kecamatan tahun 2012

No Kecamatan

2 Parung panjang 12 691 7 962 117 068 11 785 67.6

3 Jasinga 25 362 15 912 95 268 9 591 165.9

4 Cigudeg 26 469 16 607 121 194 12 201 136.1

5 Sukajaya 25 844 16 215 56 992 5 737 282.6

6 Nanggung 18 414 11 553 85 996 8 657 133.4

7 Rumpin 24 176 15 168 133 925 13 482 112.5

8 Leuwiliang 24 738 15 521 117 240 11 803 131.5

9 Leuwisadeng 12 980 8 144 72 830 7 332 111.1

10 Cibungbulang 21 994 13 799 129 187 13 005 106.1

11 Pamijahan 38 968 24 449 137 831 13 875 176.2

12 Ciampea 14 831 9 305 152 692 15 372 60.5

13 Tenjolaya 16 773 10 523 56 747 5 713 184.2

14 Gunung sindur 3 258 2 044 111 771 11 252 18.2

15 Parung 1 080 678 121 910 12 273 5.5

16 Ciseeng 4 849 3 042 103 772 10 447 29.1

17 Bojonggede 482 302 264 331 26 610 1.1

18 Tajurhalang 1 170 734 105 250 10 596 6.9

19 Kemang 1 571 986 98 648 9 931 9.9

20 Rancabungur 1 372 861 51 855 5 220 16.5

21 Dramaga 8 693 5 454 104 852 10 555 51.7

22 Ciomas 4 794 3 008 159 432 16 050 18.7

23 Tamansari 6 399 4 015 96 658 9 731 41.3

24 Cijeruk 9 630 6 042 82 192 8 274 73.0

25 Cigombong 7 773 4 877 93 550 9 418 51.8

26 Caringin 14 101 8 847 118 841 11 964 73.9

27 Ciawi 9 676 6 071 108 216 10 894 55.7

28 Megamendung 8 072 5 064 101 076 10 175 49.8

29 Cisarua 2 882 1 808 117 372 11 816 15.3

30 Sukaraja 913 573 184 074 18 531 3.1

(25)

Tabel 3 Persentase produksi beras terhadap kebutuhan per kecamatan tahun 2012

32 Babakan madang 3 442 2 160 110 093 11 083 19.5

33 Cibinong 759 476 356 454 35 884 1.3

34 Gunung putri 642 403 349 137 35 148 1.1

35 Cilenungsi 7 324 4 595 274 671 27 651 16.6

36 Klapanunggal 12 563 7 882 103 021 10 371 76.0

37 Jonggol 43 559 27 329 130 034 13 091 208.8

38 Sukamakmur 42 738 26 814 76 918 7 743 346.3

39 Cariu 33 192 20 825 46 707 4 702 442.9

40 Tanjungsari 33 532 21 038 51 171 5 151 408.4

Kabupaten Bogor 549 152 344 538 5 077 240 511 126 67.4

Tabel 3 menunjukan persentase produksi beras terhadap pemenuhan kebutuhan konsumsi yang dianalisis per kecamatan tahun 2012. Total produksi beras dalam wilayah Kabupaten Bogor tahun 2012 adalah 344 538 Ton. Produksi ini dapat memenuhi kebutuhan beras penduduk sebesar 67.4%. Terdapat kecamatan yang memiliki persentase produksi terhadap kebutuhan konsumsi penduduk melebihi 100% yang tersebar di Bogor Barat dan Bogor Timur.

Sepuluh kecamatan yang memiliki persentase produksi terbesar adalah Kecamatan Cariu, Tanjungsari, Sukamakmur, Sukajaya, Jonggol, Tenjolaya, Pamijahan, Tenjo, Jasinga dan Cigudeg. Sepuluh kecamatan ini memiliki persentase produksi terhadap pemenuhan konsumsi terbesar. Artinya pada sepuluh kecamatan ini produksi dalam wilayahnya telah melebihi kebutuhan sehingga berpotensi menjadi sentra produksi padi serta lumbung pangan Kabupaten Bogor. Sedangkan sepuluh kecamatan yang memiliki persentase produksi terhadap pemenuhan konsumsi terkecil terdapat pada Kecamatan Bojonggede, Gunung Putri, Cibinong, Sukaraja, Parung, Tajurhalang, Citeureup, Kemang, Cisarua dan Rancabungur. Sepuluh kecamatan ini memiliki persentase produksi terhadap pemenuhan konsumsi kurang dari 20% sehingga pada kecamatan ini memerlukan bantuan pasokan pangan dari wilayah lainnya.

Situasi ketersediaan pangan dan beras untuk konsumsi tahun 2012

(26)

Tabel 4 Tingkat ketersediaan energi untuk dikonsumsi penduduk Kabupaten Bogor tahun 2012 (berdasarkan data kemampuan produksi dalam wilayah)

No Kelompok Pangan g/kap/hr Jumlah energi

(kkal/kap/hr) %AKE*)

Skor PPH

1 Padi-padian 168.6 611 27.8 13.9

2 Umbi-umbian 106.3 137 6.2 2.5

3 Pangan Hewani 97.5 158 7.2 14.4

4 Minyak dan Lemak 0.3 2 0.1 0.1

5 Buah/Biji Berminyak 0.0 0 0.0 0.0

6 Kacang-kacangan 1.3 6 0.3 0.5

7 Gula 0.0 0 0.0 0.0

8 Sayur dan Buah 175.2 128 5.8 29.2

9 Lain-lain 0.0 0 0.0 0.0

Total 1 043 47.4 60.5

Keterangan: *) Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah 2 200 kkal/kap/hari (WNPG 2004) Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor- MWATraining&Consulting2012

Kontribusi energi produksi padi-padian dalam wilayah Kabupaten Bogor adalah sebesar 611 kkal/kap/hr atau setara dengan 168.6 g/kap/hr. Kontribusi ini didapatkan dari produksi padi sebesar 99.3% dan produksi jagung sebesar 0.7% sedangkan untuk terigu keseluruhan penyediaannya didatangkan dari impor luar wilayah. Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4 diatas, secara keseluruhan ketersediaan energi yang berasal dari kemampuan produksi wilayah di Kabupaten Bogor baru memenuhi kebutuhan 1 043 kkal/kap/hr atau 47.4% AKE.

Tabel 5 Situasi ketersediaan pangan Kabupaten Bogor tahun 2012*)

No Kelompok Pangan

1 Padi-padian 1336 60.7 33.3 58.5 25.0

2 Umbi-umbian 154 7.0 1.2 2.1 2.5

3 Pangan Hewani 189 8.6 18.4 32.2 17.2

4 Minyak dan Lemak 292 13.3 0.1 0.1 5.0

5 Buah/Biji Berminyak 3 0.1 0.0 0.0 0.1

6 Kacang-kacangan 55 2.5 5.4 9.5 5.0

7 Gula 59 2.7 0.0 0.0 1.3

8 Sayur dan Buah 303 13.8 30.8 54.1 30.0

9 Lain-lain 0 0.0 0.0 0.0 0.0

Total 2 390 108.6 89.3 156.6 86.1

Keterangan:

*) Ketersediaan pangan untuk dikonsumsi penduduk berdasarkan data produksi dan estimasi impor **) Angka Kecukupan Energi (AKE) Ideal adalah 2 200 kkal/kap/hari (WNPG 2004)

***) Angka Kecukupan Protein (AKP) Ideal adalah 57 g/kap/hari (WNPG 2004) Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor- MWATraining&Consulting2012

(27)

Ketersediaan pangan aktual untuk dikonsumsi penduduk ditunjukan berdasarkan analisis Neraca Bahan Makanan dengan menggunakan pendekatan perhitungan estimasi impor pangan yang didapat melalui data konsumsi pangan penduduk Kabupaten Bogor (Tabel 5). Hasil analisis Neraca Bahan Makanan dengan menggunakan data produksi dan estimasi impor menunjukkan bahwa situasi ketersediaan energi di Kabupaten Bogor adalah sebesar 2 390 kkal/kap/hari dan ketersediaan protein sebesar 89.3 g/kap/hr. Ketersediaan energi terbesar berasal dari kelompok pangan padi-padian yaitu sebesar 1 336 kkal/kap/hr (60.7% AKE). Demikian pula untuk ketersediaan protein, kontribusi terbesar masih berasal dari kelompok pangan padi-padian sebesar 33.3 g/kap/hr. Kontribusi ketersediaan energi kelompok pangan padi-padian di Kabupaten Bogor adalah sebesar 1 336 kkal/kap/hr atau setara dengan 373.9 g/kap/hr. Kontribusi ini didapatkan dari ketersediaan padi sebesar 82.4%, ketersediaan jagung sebesar 0.3% dan ketersediaan terigu sebesar 17.3%.

Nilai mutu ketersediaan pangan Kabupaten Bogor adalah sebesar 86.1. Nilai ini berada diatas nilai mutu ketersediaan pangan nasional yakni 77.3. Nilai mutu ini sudah cukup baik sehingga diharapkan keberagaman ketersediaan pangan Kabupaten Bogor dapat terus meningkat dengan mengintensifkan program diversifikasi pangan khususnya pangan lokal.

Situasi konsumsi pangan dan beras penduduk tahun 2012

Berdasarkan analisis konsumsi pangan menggunakan data Susenas Kabupaten Bogor tahun 2011 yang dilaksanakan atas kerja sama Bappeda Kabupaten Bogor dan MWA Training & Consulting lembaga tata kelola ketahanan pangan tahun 2012, ditampilkan situasi konsumsi penduduk Kabupaten Bogor tahun 2012.

Tabel 6 Situasi konsumsi penduduk Kabupaten Bogor 2012*)

No Kelompok

1 Padi-padian 309.3 1.210 60.5 28.3 54.5 25

2 Umbi-umbian 96.5 110 5.5 1.0 1.9 2.5

3 Pangan Hewani 88.4 163 8.1 15.2 29.2 16.3

4 Minyak dan Lemak 26.4 235 11.8 0.1 0.1 5.0

5 Buah/Biji Berminyak 2.2 13 0.7 0.3 0.6 0.3

6 Kacang-kacangan 23.8 50 2.5 4.8 9.1 5.0

7 Gula 15.4 52 2.6 0.0 0.1 1.3

8 Sayur dan Buah 189.7 69 3.4 2.5 4.9 17.2

9 Lain-lain 76.5 45 2.2 2.3 4.4 0.0

Total 1 946 97.3 54.5 104.7 72.5

Keterangan:

*) Konsumsi pangan penduduk berdasarkan Susenas Kabupaten Bogor 2011

**) Angka Kecukupan Energi (AKE) Ideal adalah 2.000 kkal/kap/hari (WNPG 2004) ***) Angka Kecukupan Protein (AKP) Ideal adalah 52 gram/kap/hari (WNPG 2004) Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor-MWATraining&Consulting2012

(28)

dianjurkan yaitu 2 000 kkal/kap/hr. Jika dihitung dari presentase angka kecukupan energi (% AKE) berdasarkan data Susenas Kabupaten Bogor 2011, maka tingkat konsumsi pangan untuk konsumsi penduduk mencapai 97.3% AKE. Tingkat ketersediaan energi mencerminkan besarnya proporsi ketersediaan energi aktual di Kabupaten Bogor dengan standar kecukupan energi ideal (% AKE) (Tabel 6).

Kelompok pangan padi-padian telah mencapai nilai skor PPH maksimum sedangkan pada kelompok pangan lainnya belum ada yang mencapai skor maksimum. Konsumsi kelompok pangan sayur dan buah dan pangan hewani Kabupaten Bogor sudah cukup baik dengan nilai skor PPH berturut-turut 17.2 dan 16.3. Secara keseluruhan nilai skor PPH konsumsi Kabupaten Bogor baru mencapai 72.5.

Hasil analisis pola konsumsi desa kota untuk pangan sumber kabohidrat menunjukkan konsumsi didominasi oleh beras, terigu dan ubi kayu dengan persentase kontribusi energi berturut-turut sebesar 75.7%, 15.9% dan 7.5%. Kelompok pangan padi-padian memberikan kontribusi protein tertinggi yakni mencapai 54.5% angka kecukupan protein atau setara dengan 28.3 g/kap/hr. Secara keseluruhan total konsumsi protein telah mencapai 54.5 g/kap/hr, melebihi standar angka kecukupan protein harian (52 g/kap/hr). Total konsumsi penduduk Kabupaten Bogor hampir memenuhi angka kecukupan energi ideal yakni sebesar 1 946 kkal/kap/hr.

Tabel 7 Analisis situasi beras Kabupaten Bogor tahun 2012

Situasi Ketahanan Pangan Aktual Ideal

Produksi untuk konsumsi aktual 344 538 Ton 511 126 Ton Ketersediaan beras dari produksi

dalam wilayah 300 500 Ton

-Ketersediaan total 545 000 Ton

-Konsumsi* 100.67 Kg/kap/hr

(498 418.4 Ton/th)

82.8 Kg/kap/th (493 292.5 Ton/th)

PPH konsumsi 72.5 100

Keterangan:

*Konsumsi SUSENAS Kabupaten Bogor 2011

(29)

Kebutuhan Lahan untuk Memenuhi Konsumsi Beras Penduduk Kabupaten Bogor

Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan pangan dan kebutuhan lahan. Menurut Ilunanwati (2011) jumlah penduduk yang meningkat pasti diikuti dengan kebutuhan beras yang juga meningkat, sehingga menimbulkan kebutuhan luas sawah yang meningkat pula. Sedangkan, lahan memiliki karakteristik yang unik dimana permintaannya selalu meningkat namun jumlahnya tetap. Maka diperlukan suatu pengaturan mengenai lahan untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan pangan.

Tabel 8 Luas lahan sawah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk Kabupaten Bogor tahun 2012

2 Parung panjang 1 485 117 068 1 862

3 Jasinga 1 949 95 268 458

4 Cigudeg 2 067 121 194 763

5 Sukajaya 1 600 56 992 747

6 Nanggung 1 619 85 996 636

7 Rumpin 2 353 133 925 2 197

8 Leuwiliang 1 781 117 240 1 898

9 Leuwisadeng 1 244 72 830 2 218

10 Cibungbulang 1 881 129 187 3 954

11 Pamijahan 3 234 137 831 1 704

12 Ciampea 1 440 152 692 2 990

13 Tenjolaya 1 375 56 747 2 396

14 Gunung sindur 298 111 771 2 181

15 Parung 166 121 910 4 776

16 Ciseeng 700 103 772 2 821

17 Bojonggede 45 264 331 8 945

18 Tajurhalang 96 105 250 3 595

19 Kemang 245 98 648 1 549

20 Rancabungur 307 51 855 2 392

21 Dramaga 611 104 852 4 303

22 Ciomas 375 159 432 9 781

23 Tamansari 514 96 658 4 473

24 Cijeruk 720 82 192 2 596

25 Cigombong 615 93 550 2 314

26 Caringin 1 263 118 841 2 074

27 Ciawi 833 108 216 4 193

(30)

Tabel 8 Luas lahan sawah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk Kabupaten Bogor tahun 2012 (lanjutan)

No Kecamatan Lahan

29 Cisarua 254 117 372 1 842

30 Sukaraja 122 184 074 4 284

31 Citeureup 233 209 789 3 122

32 Babakan madang 238 110 093 1 115

33 Cibinong 64 356 454 8 240

34 Gunung putri 46 349 137 2 558

35 Cilenungsi 763 274 671 3 723

36 Klapanunggal 942 103 021 1 055

37 Jonggol 3 515 130 034 1 025

38 Sukamakmur 2 702 76 918 461

39 Cariu 2 610 46 707 634

40 Tanjungsari 2 576 51 171 394

Total Kabupaten Bogor 44 889 5 077 240 1 699

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutahan 2012, BPS Kabupaten Bogor 2012 (diolah)

Potensi lahan sawah terluas terdapat di wilayah Bogor Timur yakni Kecamatan Jonggol, Sukamakmur, Cariu dan Tanjungsari dan di wilayah Bogor Barat terletak di Kecamatan Pamijahan, Rumpin dan Cigudeg. Pada kecamatan tersebut kepadatan penduduknya masih tergolong rendah. Kecamatan yang menjadi potensi lahan sawah terluas telah memiliki budaya tanam padi turun temurun sehingga keberadaan sawah di kecamatan ini harus dipertahankan meskipun terjadi tekanan alih fungsi.

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa pada Kecamatan Cibungbulang, Rumpin dan Leuwiliang terdapat lahan sawah terluas di wilayah Bogor Barat, sehingga dapat menyumbang ketersediaan beras wilayah dengan produksi padi sawah cukup signifikan yakni berturut-turut 4%, 4.5% dan 4.4% pada tahun 2012. Namun, disisi lain ketiga kecamatan tersebut memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi yaitu 3 954 jiwa/Km2, 1 898 jiwa/Km2dan

2 197 jiwa/Km2. Hal ini mengindikasikan resiko alih fungsi lahan pada kecamatan tersebut tinggi, sebab dengan jumlah penduduk yang tinggi akan meningkatkan tekanan permintaan lahan pada kecamatan tersebut.

Sebaliknya, pada Kecamatan Jonggol, Pamijahan, Sukamakmur, Cariu dan Tanjungsari tingkat kepadatan penduduknya tergolong rendah dibandingkan kecamatan lain dengan luas lahan sawah cukup besar. Lahan sawah pada kecamatan tersebut harus dipelihara keberlanjutannya sebab memiliki potensi untuk menjadi wilayah penghasil padi bagi Kabupaten Bogor. Sedangkan, lahan sawah terluas se-Kabupaten Bogor terdapat pada Kecamatan Jonggol di wilayah Bogor Timur, yang memiliki luas lahan sawah hingga mencapai 3 515 Ha.

(31)

lahan pada tahun 2011 sejumlah 48 148 Ha. Menindaklanjuti Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelajutan Kabupaten Bogor melakukan pendataan luas lahan sawah aktual. Hasil pendataan menunjukan penurunan lahan sawah sebesar 6.86% dari tahun 2011 sehingga jumlah lahan aktual Kabupaten Bogor tahun 2012 sebesar 44 889 Ha dengan rata-rata laju alih fungsi lahan selama 2006-2012 adalah sebesar 1.2% (Gambar 4).

Penyediaan lahan untuk produksi pertanian khususnya padi saat ini menghadapi masalah serta tantangan berat sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk. Akibatnya terjadi persaingan penggunaan lahan dan ancaman alih fungsi lahan sawah untuk peruntukan non pertanian (permukiman, jasa, transportasi, industri dan lain-lain). Salah satu solusi yang selalu digalakan adalah peningkatan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas padi. Namun menurut Arsyad (2010) dalam Ilunanwati (2011), peningkatan produksi dengan intensifikasi tidak selalu dengan tepat dan cepat dapat memenuhi kebutuhan pangan sebab diperlukan penyesuaian dalam penyediaan saprodi yang dilakukan dengan konsisten serta dukungan kepada petani untuk dengan cepat memanfaatkan teknologi baru. Sehingga, menjaga luas lahan sawah yang ada tetap stabil merupakan salah satu alternatif untuk menjaga kestabilan produksi padi tanpa memberatkan lahan.

Gambar 4 Persentase laju luas sawah Kabupaten Bogor 2010-2012 Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutahan (diolah)

Penurunan luas sawah Kabupaten Bogor disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah perubahan fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lain dalam bidang pangan seperti kolam dan tambak. Selain itu adanya pembangunan infrastruktur, jasa dan permukiman di Bogor Tengah dan Bogor Barat memaksa alih fungsi lahan sawah menjadi peruntukan non pertanian.

Proyeksi Kebutuhan Lahan Pertanian Untuk Pemenuhan Konsumsi

(32)

kebutuhan beras masih memerlukan bantuan impor dari daerah lain. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis dan proyeksi kebutuhan lahan pertanian untuk mencapai kemandirian pangan atau mempertahankan ketahanan pangan Kabupaten Bogor.

Berdasarkan pola konsumsi pangan padi-padian penduduk Kabupaten Bogor dalam SUSENAS 2011, diharapkan beras memberikan kontribusi ideal 82.5% yang setara dengan 227 g/kap/hr, maka dapat dihitung kebutuhan lahan untuk memenuhi konsumsi beras ideal Kabupaten Bogor dengan menggunakan simulasi dan proyeksi pada tabel 9.

Tabel 9 Simulasi dan proyeksi kebutuhan lahan sawah berdasarkan konsumsi beras penduduk

1. Laju pertumbuhan penduduk konstan 3.15 % per tahun 2. Konsumsi per kapita aktual 100.67 kg/kap/tahun 3. IP rata-rata konstan 200 %

4. Produktivitas lahan konstan 6.11 Ton/Ha

5. Konsumsi energi untuk hidup sehat sesuai anjuran WNPG 2004 dari padi-padian 50% (1000 kkal/kap/hari)*

* asumsi kontribusi harapan konsumsi beras 82.5% berdasar SUSENAS Kab Bogor 2011 Sumber: Dinas Pertanian dan Kebutahan Kabupaten Bogor 2013 (diolah)

Hasil simulasi menunjukan kebutuhan lahan basah untuk memenuhi konsumsi beras ideal (82.8 Kg/Kap/Tahun) seluruh penduduk Kabupaten Bogor pada tahun dasar 2012 adalah sebesar 55 098 Ha. Masih terdapat gap kekurangan lahan sebesar 22.74%. Artinya meskipun konsumsi beras penduduk Kabupaten Bogor telah memenuhi standar ideal, bila dibandingkan dengan jumlah aktual lahan yang tersedia saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh penduduk berdasarkan pola pangan harapan. Sedangkan, konsumsi beras aktual penduduk Kabuapten Bogor berdasarkan SUSENAS 2011 adalah sebesar 100.67 Kg/kap/tahun yang belum mendekati ideal. Untuk memenuhi kebutuhan aktual tersebut, produksi beras di Kabupaten Bogor baru memenuhi 64.6% kebutuhan, sedangkan selebihnya dipenuhi dari luar kabupaten baik melalui impor luar kabupaten lain maupun impor luar negeri. Oleh karena itu diperlukan suatu skenario pangan untuk menjamin ketersediaan beras di Kabupaten Bogor.

(33)

pangan penduduk tetap. Skenario kedua jika laju alih fungsi lahan tetap sedangkan pola konsumsi pangan sudah pada kondisi ideal. Skenario ketiga jika laju alih fungsi lahan ditekan hingga 0.5% per tahun dan pola konsumsi pangan sudah pada kondisi ideal. Laju alih fungsi ini berdasarkan kajian lahan PSP3 (2012) bahwa laju alih fungsi lahan Kabupaten Bogor 2009-2010 sebesar 0.5%. Skenario keempat jika laju alih fungsi lahan ditekan hingga 0.5% per tahun dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan pola konsumsi beras penduduk sudah mencapai ideal.

Tabel 10 Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario I terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Bogor tahun 2012 dan 2017

Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa dengan skenario I kebutuhan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan beras aktual akan terus menurun sehingga terdapat selisih negatif yang besar (-21 778 Ha dan -35 590 Ha). Artinya dengan menggunakan skenario I maka Kabupaten Bogor memerlukan impor sebesar 32.7% pada tahun 2012 dan 45.7% pada tahun 2017.

Tabel 11 Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario II terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Bogor tahun 2012 dan 2017

Skenario II jika laju alih fungsi lahan tetap dan pola konsumsi pangan sudah pada kondisi ideal kebutuhan luas sawah masih untuk memenuhi kebutuhan ideal masih akan terus menurun sehingga terdapat selisih gap sebesar -10 209 Ha pada tahun 2012 dan -22 080 Ha pada tahun 2017. Selisih ini relatif lebih rendah dari selisih pada skenario I, meskipun demikian dapat diketahui dengan pola konsumsi ideal pun Kabupaten Bogor masih memerlukan impor beras baik dari wilayah lain maupun dari luar negeri sebesar 18.5% pada tahun 2012 dan 34.3% pada tahun 2017.

Tabel 12 Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario III terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Bogor tahun 2012 dan 2017

Basis Lahan pertanian (Ha)

2012 2017

Tren potensi luas lahan 44 889 42 260

Lahan konsumsi aktual 66 667 77 850

Selisih -21 778 -35 590

Basis Lahan pertanian (Ha)

2012 2017

Tren potensi luas lahan 44 889 42 260

Lahan konsumsi ideal 55 098 64 340

Selisih -10 209 -22 080

Basis Lahan pertanian (Ha)

2012 2017

Tren potensi luas lahan 44 889 43 778

Lahan konsumsi aktual 66 667 77 850

(34)

Skenario III adalah dengan menekan laju alih fungsi lahan dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor fungsi hingga 0.5% dengan pola konsumsi beras masih pada kondisi aktual saat ini. Pada skenario III selisih kekurangan lahan untuk memenuhi kebutuhan beras seluruh penduduk adalah 21 778 Ha pada tahun 2012 dan -34 072 Ha pada tahun 2017. Artinya pada skenario III Kabupaten Bogor memerlukan pasokan beras dari luar wilayah sebanyak 32.7% pada tahun 2012 dan 43.7% pada tahun 2017.

Tabel 13 Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario IV terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Bogor tahun 2012 dan 2017

Skenario IV seperti halnya skenario III, pada skenario IV laju alih fungsi lahan dapat ditekan 0.5% per tahun, namun pola konsumsi penduduk sudah pada kondisi ideal. Berdasarkan skenario IV kebutuhan luas lahan di Kabupaten Bogor masih menunjukkan selisih negatif sebesar -10 209Ha pada tahun 2012 dan -20 562 pada tahun 2017. Dengan ini Kabupaten Bogor perlu mengimpor kebutuhan beras dari luar wilayah sejumlah 18.5% pada tahun 2012 dan 31.9% pada tahun 2017. Persentase pemenuhan kebutuhan beras dari luar wilayah pada skenario IV relatif lebih kecil dibandingkan dua skenario lainnya. Sehingga diharapkan dengan ditetapkannya Perda perlindungan lahan pertanian berkelanjutan Kabupaten Bogor tetap dapat mempertahankan sebagian besar pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi mandiri dalam wilayah.

Salah satu kriteria penting tingkat ketahanan pangan nasional adalah ketersediaan lahan pertanian per kapita atau land man ratio. Diantara negara-negara agraris lainnya di Asia khususnya, Indonesia memiliki land man ratio

hanya 365 m2 per kapita, jauh lebih kecil dibandingkan Thailand dan Vietnam

yang memilikiland man ratioberturut-turut 1 870 m2per kapita dan 1 300 m2per kapita (Adnyana 2008). Selain itu hal ini juga diperparah dengan semakin mengecilnya rata-rata penguasaan lahan pertanian per rumah tangga sebagai akibat meningkatnya jumlah petani gurem.

Tabel 14 Perbandinganland man ratiolahan pada skenario I, II, III dan IV

Tahun

Land man ratiosawah (m2/kapita) Skenario

2017 131.3 108.6 131.3 108.6 71.3

Jika dihitung daya dukung lahan pertanian pangan pada skenario I, II, III dan IV berdasarkan land man ratio, maka akan terlihat perbedan nilai land man ratio berkaitan dengan pola konsumsi penduduk. Hal ini menunjukan dengan adanya perbaikan pola konsumsi beras penduduk nilai land man ratio akan semakin kecil. Namun demikian, demand lahan sawah tetap lebih besar dari

supply lahan sawah pada tahun 2017 sebab ketersediaan lahan aktual telah

Basis Lahan pertanian (Ha)

2012 2017

Tren potensi luas lahan 44 889 43 778

Lahan konsumsi ideal 55 098 64 340

(35)

mengalami penurunan sejak tahun 2012. Oleh karena itu tetap diperlukan perlindungan lahan untuk menekan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Dengan menekan laju alih fungsi lahan nilai land man ratio sawah pada tahun 2017 dapat meningkat menjadi 73.8 m2/kapita.

Skenario I tidak dianjurkan sebab; 1) lahan sawah yang tersedia akan semakin terbatas jika laju alih fungsi tetap 1.2% per tahun, 2) pola konsumsi penduduk belum mencapai ideal sehingga impor pangan dari luar wilayah cukup tinggi, 3) sulit melakukan perluasan areal tanam. Menurut Sumarlin et al.(2009), jika pola konsumsi penduduk tidak mengalami perbaikan ke arah pola konsumsi gizi cukup dan seimbang serta tidak terjadi peningkatan produktivitas lahan dan indeks pertanaman maka kebutuhan luas lahan padi sawah akan semakin tinggi. Skenario II lebih memungkinkan karena; 1) pola konsumsi penduduk sudah mencapai ideal sehingga kualitas konsumsi pangan penduduk dapat ditingkatkan, 2) impor pangan dari luar wilayah dapat dikurangi.

Skenario III dianjurkan karena; 1) laju alih fungsi lahan dapat ditekan hingga 0.5% per tahun dengan adanya Peraturan Daerah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, 2) impor pangan dari luar wilayah dapat dikurangi meskipun pola konsumsi penduduk belum mencapai ideal. Skenario IV paling dianjurkan karena; 1) laju alih fungsi lahan dapat ditekan hingga 0.5% per tahun sehingga ketersediaan lahan relatif lebih banyak dibandingkan skenario I dan II, 2) pola konsumsi penduduk telah mencapai ideal sehingga kualitas konsumsi penduduk dapat ditingkatkan. Skenario IV adalah skenario pada kondisi ideal. Meskipun demikian, pemenuhan kebutuhan pangan penduduk Bogor tahun 2017 akan berbeda apabila tidak dilakukan perubahan kebijakan ke arah diversifikasi konsumsi pangan pokok dan peningkatan produksi melalui intensifikasi, sehingga diperlukan keseriusan dan kesiapan pemangku kebijakan serta pengawasan dan evaluasi dalam menjalan skenario lahan.

Pengetahuan, Persepsi, dan Sikap Pemangku Kebijakan

Pemahaman ketahanan pangan menurut pemangku kebijakan

Beras menjadi pangan pokok terpenting sejak zaman kolonial Belanda. Sebagai pangan pokok, beras juga dijadikan alat politik sebagai penjaga ketentraman negara sejak awal pemerintahan (Lassa 2010). Kekuatan (power) beras sebagai alat politik tercermin dalam kebijakan pangan Indonesia sejak 1952. Mears 1984, Mears dan Merljoni 1981 dalam Lassa 2010 mengungapkan hanya pangan pokok beras yang menjadi tolak ukur kesejahteraan masyarakat sehingga dalam pengelolaannya perlu adanya kebijakan khusus. Disamping itu, menurut Hariyadi (2011) kebijakan pangan Indonesia lebih sering bias pada beras sehingga menyebabkan pemahaman ketahanan pangan disamakan dengan swasembada beras.

(36)

Matriks 1 Pemahaman pemangku kebijakan mengenai ketahanan pangan Pemangku Kebijakan Pandangan pemahaman mengenai ketahanan pangan 1. Pemerintah

a. Dinas Pertanian dan Kehutanan

Terpenuhinya pangan bagi tiap individu maupun rumah tangga

b. Dinas Bina Marga dan Pengairan

Terpenuhinya pangan yang cukup, aman dan bermutu, merata dan terjangkau bagi tiap rumah tangga

c. BKP5K (Badan Ketahanan

Pangan)

Terpenuhinya produksi, akses, dan konsumsi pangan bagi tiap rumah tangga dan individu

d. Dinas Tata Ruang dan Permukiman

Terpenuhinya target produksi pangan secara kontinyu

e. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Terpenuhinya pangan masyarakat yang beragam, bergizi, seimbang serta aman yang menjamin produktivitas sumber daya manusia

Pemahaman mendasar ketahanan pangan yang dilihat dari pemahaman definisi ketahanan pangan menurut pemangku kebijakan didapatkan definisi yang berbeda-beda (matriks 1). Bedasarkan Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan definisi ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

(37)

Pemahaman yang cukup baik mengenai definisi ketahanan pangan dinilai dari pemahaman yang mendekati definisi ketahanan pangan dalam Undang-undang pangan. Pemahaman yang cukup baik diungkapkan oleh informan yang mewakili Dinas Bina Marga dan Pengairan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Kutipan definisi ketahanan pangan berdasarkan pernyataan Bapak Ag dari Dinas Bina Marga dan Pengairan adalah sebagai berikut:

”Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi. Selain itu juga harus merata dan terjangkau olehmasyarakat”

Pemahaman yang hampir senada diungkapkan oleh Ibu Rh yang mewakili Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Kutipan definisi ketahanan pangan berdasarkan pernyataan Ibu Rh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah adalah sebagai berikut:

”Ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan masyarakat yang beragam, bergizi dan seimbang juga aman sehingga menjamin produktivitas sumber daya manusia”

Berdasarkan wawancara diketahui Bapak Ag dan Ibu Rh merupakan salah satu orang yang aktif mengawal kegiatan kaji tindak ketahanan pangan Kabupaten Bogor, sehingga pemahamannya mengenai definisi ketahanan pangan termasuk baik. Pemahaman Bapak Ag dan Ibu Rh sudah cukup mendalam hingga aspek gizi. Menurut Hariyadi (2011) secara relatif ketahanan pangan suatu negara dapat dilihat dari status gizi masyarakatnya, konsep ini tidak hanya menunjukan komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak atas pangan namun juga menunjukan upaya peningkatan daya saing bangsa melalui peningkatan status gizi. Karena itu pemahaman definisi ketahanan pangan yang baik harus mencapai aspek pemenuhan gizi masyarakat. Meskipun demikian definisi yang diungkapkan Bapak Ag dan Ibu Rh belum mencukupi karena definisi ketahanan pangan yang dimaksud masih pada tingkat rumah tangga dan masyarakat belum sampai pada tingkat individu.

Pemahaman definisi ketahanan pangan yang berbeda diungkapkan informan yang mewakili Dinas Pertanian dan Kehutanan, BKP5K (Badan Ketahanan Pangan) dan Gapoktan Situ Udik. Definisi yang diungkapkan oleh informan tersebut telah mencapai aspek konsumsi individu namun belum mencapai aspek terpenuhinya gizi. Berikut ini kutipan pernyataan Bapak Ch dari Dinas Pertanian dan Kehutanan:

”Ketahanan pangan itu adalah tercukupinya bahan pangan bagi tiap individu maupun tiap rumah tangga

(38)

”Ketahanan pangan secara makro tidak hanya bicara produksi pertanian tetapi juga bagaimana memanfaatkan produksi [akses] untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga dan individu

Sedangkan menurut Bapak Gf dari Gapoktan Situ Udik menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah:

”Tahan pangan itu jangan sampai mau memasak tidak ada pangan. Setiap penduduk harus makan yang cukup”

Pemahaman definisi ketahanan pangan yang disampaikan ketiga pemangku kebijakan diatas hampir serupa pada aspek pemenuhan pangan hingga tingkat individu. Namun demikian pemahaman definisi ketahanan pangan belum sampai pada pemanfaatan pangan yang bergizi. Oleh karena itu dapat disimpulkan pemahaman definisi ketahanan pangan menurut ketiga pemangku kebijakan diatas cukup baik sebab telah mencapai aspek konsumsi.

Pemahaman definisi pangan lainnya diungkapkan informan yang mewakili Dinas Tata Ruang dan Permukiman, Badan Perizinan Terpadu, dan Gapoktan Cibereum Jempol. Ketiga pemangku kebijakan tersebut memiliki pendapat yang hampir serupa mengenai ketahanan pangan. Bapak Sp dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman menyatakan:

”Ketahanan pangan sebenarnya lebih kepada kontinyuitas untuk menyediakan pangan, namun bukan hanya beras tapi juga pangan lainnya”

Pemahaman tersebut hampir serupa dengan pemahaman Bapak As dari Badan Perizinan Terpadu. Berikut kutipan pernyataan Bapak As:

”Ketahanan pangan adalah kegiatan produksi pangan yang berkelanjutan”

Sedangkan menurut Bapak Am dari Gapoktan Cibereum Jempol menyatakan ketahanan pangan sebagai tersedianya pangan.

”Ketahanan pangan menurut sayadipertahankan tetap ada[tersedia] pangan itu”

(39)

sehingga kini harus mengimpor pangan dari luar wilayah seperti Karawang dan Cianjur.

Pemahaman definisi ketahanan pangan yang cukup berbeda diungkapkan praktisi dari pengembang perumahan. Bapak Ib mengungkapkan ketahanan pangan harus membuat petani menjadi sejahtera. Berikut kutipan penyataan Bapak Ib:

”Ketahanan pangan menurut saya kalau petani sudah sejahtera. Intinya ketahanan pangan adalahkesejahteraan petani

Pemahaman Bapak Ib didasarkan pada keprihatinan Bapak Ib terhadap petani yang telah bekerja susah payah bertani namun kualitas hidupnya tidak meningkat. Penghasilan sebagai petani tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sejahtera, sehingga menurut hemat Bapak Ib ketahanan pangan adalah apabila petani sebagai penghasil pangan sudah mendapat hidup sejahtera.

Hardinsyah (2001) menyatakan perbedaan dalam mengadopsi definisi ketahanan pangan yang akan dijadikan dasar perumusan kebijakan ketahanan pangan akan berimplikasi pada perbedaan arah atau tujuan, sasaran atau target dan prioritas pilihan kebijakan strategis serta indikator yang digunakan untuk melihat situasi ketahanan pangan. Pemahaman yang berbeda-beda ini tergantung pada input informasi yang didapatkan informan dan pengalaman sebelumnya dalam bidang ketahanan pangan.

Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan ketahanan pangan, menjadi tanggung jawab bersama terutama pemerintah agar pemangku kebijakan yang terlibat atau bersinggungan dengan ketahanan pangan untuk dapat mengetahui secara jelas konsep ketahanan pangan. Hal ini dapat dimulai dari pemahaman definisi ketahanan pangan yang baik merujuk pada Undang-undang pangan. Harapannya dengan pemahaman yang baik maka perumusan dan implementasi kebijakan ketahanan pangan dapat berjalan sesuai perencanaan.

Sikap menghadapi ketidaktahanan pangan Kabupaten Bogor

Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor yang tinggi mengakibatkan desakan alih fungsi lahan semakin tinggi dan kompetisi pemanfaatan lahan semakin besar yang berpotensi menimbulkan konflik lahan. Menurut Suryana (2002) dalam Suryana (2005) akan terjadi kompetisi pemanfaatan lahan untuk usaha, permukiman dan penyediaan sarana dan prasaran publik sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang tinggi. Menurut UNICEF diacu dalam Gerster dan Bentaya (2005) salah satu indikator ketahanan pangan dan gizi lingkup nasional dan regional pada domain ketersediaan pangan adalah jumlah populasi penduduk. Semakin besar tingkat kepadatan penduduk, maka lahan kosong untuk pertanian semakin sempit sehingga dapat menurunkan jumlah produksi pangan dan secara tidak langsung dapat berpengaruh pada konsumsi pangan.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran analisis lahan pertanian pangan berkelanjutan
Tabel 1 Keterkaitan tujuan penelitian dengan data dan sumber data
Tabel 2 Pengolahan dan analisis data
Gambar 3 Produksi padi Kabupaten Bogor 2010-2012 Sumber: Dinas Pertanian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang ulang tata letak UPS memperhatikan efektifitas pemanfaatan bangunan berdasarkan jumlah timbulan sampah, jenis

Konsep amr-ma’ruf (menyuruh untuk berbuat baik) telah membuktikan bahwa Islam memberikan tempat bagi perkembangan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat serta

Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa jarak pagar genotipe Medan I-5-1, Dompu, IP-2P- 3-4-1, Sulawesi, dan Bima M tergolong toleran tanah masam karena pada pH 5.0

Dalam hal ini pasien telah didiagnosis perdarahan post partum dini dikarenakan menurut definisinya perdarahan post partum (PPP) dini adalah perdarahan lebih

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemangkasan menghasilkan pertumbuhan rata-rata panjang batang lebih pendek dari perlakuan tanpa pemangkasan, sebaliknya

Meskipun penggunaan internet banking berguna namun bila terdapat kelemahan didalamnya maka dapat mengurangi nilai guna dari suatu internet banking .Hasil penelitian

Ada perbedaan yang sangat signifikan pada prestasi belajar fisika antara yang diajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan yang diajar menggunakan

Fase 4 peneliti membimbing kelompok yang mengalami kesulitan saat mengerjakan tugas, masih ada beberapa siswa tidak mengerti dengan maksud dari langkah-langkah