• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Pengelolaan Situ di Wilayah DKI Jakarta: Suatu Kajian Kelembagaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Masalah Pengelolaan Situ di Wilayah DKI Jakarta: Suatu Kajian Kelembagaan"

Copied!
362
0
0

Teks penuh

(1)

MASALAH PENGELOLAAN SITU

DI WILAYAH DKI JAKARTA:

SUATU KAJIAN KELEMBAGAAN

PRIYADI PRIYAUTAMA IGNATIUS

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Masalah Pengelolaan Situ di Wilayah DKI Jakarta: Suatu Kajian Kelembagaan adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

iii

ABSTRAK

PRIYADI PRIYAUTAMA IGNATIUS, Small Pond Management Problem in DKI Jakarta, An Institutional Review. Under the direction of Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr (Ketua) and Dr. Ir. Setia Hadi, MS .

(4)

iv

RINGKASAN

PRIYADI PRIYAUTAMA IGNATIUS, Masalah Pengelolaan Situ di Wilayah DKI Jakarta Suatu Kajian Kelembagaan. Dibimbing oleh Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr (Ketua) dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS .

Situ merupakan sumber daya alam yang hampir terlupakan. Di kota besar seperti Jakarta, tekanan penduduk dan pergeseran fungsi lahan semakin memperparah kondisi situ yang ada. Sebagian besar situ secara de jure dimiliki oleh pemerintah (pusat) atau “state property” walaupun ada pula situ yang merupakan “private property”. Namun secara de facto ada situ yang tetap menjadi “state property” dan “private property” namun ada pula situ yang secara de facto dapat dikategorikan sebagai sumberdaya alam milik bersama (common property) sehingga dapat dimanfaatkan oleh setiap orang bahkan ada juga yang menjadi open access. Di Jakarta karena tekanan penduduk dan pembangunan, situ cenderung mengalami pengelolaan yang tidak memadai (prinsip good governance belum sepenuhnya dilaksanakan) sehingga juga mengalami “the tragedy of the commons”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi situ, mengetahui pemahaman stakeholder terhadap pengelolaan situ dan mengidentifikasi mekanisme kelembagaan pengelolaan situ. Metode pengumpulan data dilakukan melalui pengumpulan data sekunder, wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan dan pengamatan langsung (observasi). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa faktor dominan dalam pengelolaan situ dengan metode Burt yang ekuivalen dengan Hayashi II. Analisis terhadap pemahaman (persepsi) stakeholder di sekitar situ dilakukan dengan menggunakan Analysis Hierarchy Process (AHP), karena penelitan ini adalah penelitian kebijakan sehingga AHP menjadi pilihan menganalisa proses kebijakan. Sedangkan analisis mekanisme kelembagaan pengelolaan situ dengan metode deskriptif kualitatif.

(5)

v

sekitar situ karena faktor pertama atau faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi situ terdiri dari pola sifat lingkungan, interaksi (ketergantungan), tingkat pemanfaatan, peraturan dan dana pengelolaan. Faktor yang paling berpengaruh di urutan kedua adalah kestabilan dan ukuran situ, sedangkan faktor ketiganya adalah pengelola situ.

Pemahaman stakeholder terhadap pengelolaan situ, dari hasil analisis AHP, prioritas pertama penataan kawasan situ adalah untuk konservasi (pelestarian). Dari keseluruhan hubungan elemen tujuan dan elemen proses, pelaksanaan menempati prioritas terakhir karena responden melihat bahwa proses yang harus dibenahi terlebih dahulu untuk keragaan situ adalah penegakan hukum, perencanaan serta pemantauan dan evaluasi. Pelaksanaan akan berjalan maksimal bila ketiga faktor sebelumnya telah selaras. Secara keseluruhan prioritas pelaku yang berperan dalam pengelolaan situ berturut-turut adalah pemerintah daerah, masyarakat, pemerintah pusat dan dunia usaha. Pada hasil pengolahan vertikal, responden menempatkan penegakan hukum menjadi prioritas pertama, hal ini mengindikasikan untuk mewujudkan pengelolaan situ yang optimal pendekatan konvensional adalah perlu penegakan hukum dan pengamanan fisik.

(6)

vi

© Hak cipta milik Priyadi Priyautama Ignatius, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

(7)

vii

MASALAH PENGELOLAAN SITU

DI WILAYAH DKI JAKARTA:

SUATU KAJIAN KELEMBAGAAN

PRIYADI PRIYAUTAMA IGNATIUS

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

(9)

ix

Judul : Masalah Pengelolaan Situ di Wilayah DKI Jakarta: Suatu Kajian Kelembagaan

Nama : Priyadi Priyautama Ignatius NRP : P15500046E

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Setia Hadi, MS . Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Dekan

Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda Dr. Ir. Dahrul Syah. M.Sc.Agr

(10)

x

PRAKATA

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi nikmat dan rahmat serta karunia-Nya, sehinga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang diambil dalam karya ilmiah ini adalah situ dan kelembagaan, dengan judul “Masalah Pengelolaan Situ di Wilayah DKI Jakarta Suatu Kajian Kelembagaan”.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr (Ketua) dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS yang telah memberikan bimbingan, komentar, dan kritik dalam proses penyusunan tesis ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada istri, anak-anak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(11)

xi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Solo pada tanggal 5 Oktober 1954 dari ayah Marwan Partosoebroto dan Ibu Floribertha Marsiyem, penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara.

Pada tahun 1979 penulis lulus dari Departemen Teknik Arsitektur, Institut Teknologi Bandung dan pada tahun 2000 penulis melanjukan pendidikan di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana IPB.

Dari tahun 1979 sampai dengan 1992, penulis bekerja sebagai arsitek dan wiraswasta. Mulai 1992 sampai sekarang penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

(12)

xii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengantar Kerangka Teoritis ... 6

2.2. Konsep Rezim Sumberdaya dan Hak Kepemilikan ... 6

2.3. Komponen Pengelolaan ... 14

2.4. Kelembagaan ... 16

2.5. Peraturan Pengelolaan Situ ... 22

2.6. Hasil Penelitian yang Berkaitan ... 28

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Berfikir ... 32

3.2. Kerangka Pendekatan Operasional Penelitian... 33

3.3. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan... 34

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 34

3.5. Penentuan Sampel dan Responden ... 36

3.6. Metode Analisis Data ... 39

BAB IV. KONDISI UMUM SITU 4.1. Latar belakang situ ... 54

4.2. Potret Situ di Jabodetabek ... 55

(13)

xiii

4.4. Kondisi situ di Jakarta... 57

4.5. Pengelolaan Situ... 58

4.6. Manajemen Situ dan Manfaatnya... 59

4.7. Perubahan Tata Guna Lahan ... 61

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Faktor yang berpengaruh terhadap kondisi situ ... 64

5.2. Pemahaman Stakeholder terhadap Pengelolaan situ ... 69

5.3. Tata Laksana Kelembagaan Pengelolaan Situ ... 79

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 94

6.2. Saran... 96

DAFTAR PUSTAKA... 99

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

1. Klasifikasi Barang menurut Sifat Eksklusivitasnya ... 4

2. Klasifikasi Barang/Benda Berdasarkan Sifat Persaingan dan Sifat Eksklusivitasnya... 7

3. Atribut Stock dan Flow dalam Rezimentasi Sumberdaya... 9

4. Kelembagaan dalam Aspek Pengelolaan Sit ... 22

5. Peraturan Pengelolaan Situ ... 23

6. Hasil Penelitian Sebelumnya ... 31

7. Tujuan, Analisis, Data dan Ouput Penelitian... 34

8. Jenis Data dan Metode Pengumpulannya ... 35

9. Sampel Situ Terpilih untuk Observasi ... 38

10. Variabel Kategorial Kondisi Situ... 40

11. Skala Perbandingan antara Dua Objek ... 45

12. Jumlah Situ-situ di Jabotabek dan Permasalahan yang dihadapi... 56

13. Situ Eksisting dan Potensi Situ yang Diidentifikasikan Menggunakan Metode Penginderaan Jauh (Data Satelit) ... 58

14. Situ Eksisting dan Potensi Situ Berdasarkan Ukuran (Data Satelit)... 59

15. Perbandingan Situ Data Satelit dan Database Proyek ... 59

16. Pengelompokan Situ Berdasarkan Ukuran dari Database Proyek dan Pemetaan Situ Eksisting dengan Citra Satelit ... 59

17. Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan untuk Seluruh DKI Jakarta dari Citra Landsat Tahun 1983 dan 2002 ... 62

18. Analisis Faktor Metode Ekstrasi PCA dan Rotasi Varimaks Normal ... 64

19. Ringkasan Hasil Analisis Kuantifikasi Variabel Kategorikal Situ-situ di Wilayah DKI Jakarta... 67

20. Ringkasan Hasil Analisis Variabel Penentu Semakin Bagusnya Kondisi Situ-situ di Wilayah DKI Jakarta... 68

(15)

xv

22.Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horisontal Antar Elemen pada

Tingkat 3 (Elemen Proses Pengelolaan Situ) ... 73

23.Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horisontal Antar Elemen pada Tingkat 4 (Elemen Proses Pelaku yang Berperan)... 75

24.Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal Tingkat 2 (Elemen Tujuan)... 76

25.Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal Tingkat 3 (Elemen Proses Pengelolaan) ... 77

26.Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal Tingkat 4 (Elemen Proses Pelaku yang Berperan) ... 77

27.Karakteristik Sumberdaya ... 79

28.Karakteristik Pengguna ... 83

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

1. Perkembangan Hak-hak Kepemilikan (Sumber: (Lynch & Harwell 2002) ... 8

2. Kerangka Berpikir ... 33

3. Prosedur Analisis Burt... 43

4. Tahapan Pengambilan Keputusan dengan Metode AHP... 49

5. Langkah Penerapan Model AHP Dekomposisi (Penyusunan Hirarki) ... 50

6. Kerangka AHP... 51

7. Hasil Pengolahan berdasarkan Kerangka AHP ... 71

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta DKI Jakarta ... 103

2. Peta Sungai Di DKI Jakarta ... 104

3. DAS Jabodetabekjur ... 105

4. Konsep Pengendalian Banjir ... 106

5. Situ-Situ Di Provinsi DKI Jakarta... 107

6. Kondisi 39 Sampel Situ... 111

7. Peta 39 Sampel Situ ... 113

8. Profil 39 Sampel Situ di DKI Jakarta... 154

9. Hasil Analisa Burt ... 160

10. Kuesioner AHP ... 175

(18)
(19)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Situ atau sering juga disebut setu (asal kata Sunda) merupakan suatu kawasan genangan air, baik air permukaan ataupun resapan air yang terbentuk alami. Dibandingkan dengan hutan dan pesisir, manfaat situ lebih banyak, diantaranya sebagai budidaya perikanan, irigasi, pariwisata, pengendalian banjir dan cadangan air. Manfaat hutan lebih ke budidaya hasil hutan, sedangkan pesisir lebih kepada budidaya laut dan pariwisata bahari. Akibat kerusakan hutan adalah, diantaranya pemanasan global dan hilangnya salah satu ekosistem. Akibat kerusakan pesisir diantaranya adalah terganggunya ekosistem bahari, sedangkan akibat kerusakan situ adalah tercemarnya situ dan daerah sekitar situ, pendangkalan dan bahkan hilangnya situ. Dari aspek legalitas, baik hutan, pesisir dan situ diatur dalam UUD 1945, sedangkan aturan yang lebih rinci untuk hutan disebutkan dalam UU No.41 tahun 1999 yang mengatur budidaya hutan, dan untuk pesisir diatur dalam UU No.32 tahun 2004 yang mengatur kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sedangkan situ diatur dalam UU No.7 tahun 2005 mengenai sumber daya air, yang mengatur masalah kewenangan pengelolaan situ, kepemilikan, perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan.

(20)

tanggung jawab pemeliharaan situ menjadi tidak jelas. Akhirnya banyak situ yang hilang karena diuruk dan akhirnya menjadi daratan.

Jumlah situ di Wilayah Provinsi DKI Jakarta berbeda satu sama lain tergantung dari instansi pengumpul data. Berdasarkan versi Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, jumlah situ sebanyak 27 buah, sedangkan menurut Dinas Tata Kota DKI Jakarta sebanyak 14 buah dan menurut Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta sebanyak 28 buah. Pendataan oleh pemerintah pusat cq Kementrian Pekerjaan Umum juga mengalami kerancuan. Data registrasi menyebutkan jumlah situ sebanyak 18 buah, namun data sensus menyebutkan jumlah situ sebanyak 149 buah. Perbedaan ini disebabkan kondisi lapangan yang berbeda saat observasi/pendataan dan pertimbangan tertentu lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa belum ada upaya yang serius untuk mengelola situ secara komprehensif. Hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa baik data registrasi maupun sensus menyebutkan bahwa ada beberapa situ yang sudah berubah menjadi daratan, sehingga jika tidak ditempuh langkah-langkah sistematis untuk memperbaikinya maka dikawatirkan situ tersebut akan hilang dan atau berubah peruntukannya.

(21)

diharapkan ada langkah-langkah yang strategis untuk mendukung pengelolaan situ.

1.2. Perumusan Masalah

Sebagian besar situ secara de jure dimiliki oleh pemerintah (pusat) atau “state property” walaupun ada pula situ yang merupakan “private property”. Secara de facto ada situ yang tetap menjadi “state property” dan “private property” namun ada pula situ yang secara de facto dapat dikategorikan sebagai sumberdaya alam milik bersama (common property) sehingga dapat dimanfaatkan oleh setiap orang bahkan ada juga yang menjadi open access. Seperti common property yang lain, maka situ juga dapat mengalami eksploitasi yang berlebihan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Selain itu pengelolaan situ juga cenderung tidak atau belum memadai sehingga terjadi “the tragedy of the commons”. Wade (1988), Ostrom (1990) dan Baland and Platteau (1996), mengemukakan bahwa prasyarat-prasyarat yang menentukan bagi keberlanjutan sumberdaya alam umum meliputi: karakteristik sumberdaya, karakterisik pengguna dari masyarakat sekitar, desain kelembagaan dan faktor lingkungan eksternal. Klasifikasi barang berdasarkan sifat eksklusivitasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Barang menurut Sifat Eksklusivitasnya

Rejim Penguasa Barang Sifat/ Karakteristik

Barang De jure De facto

Private good

Club good

Common poll resources (CPRs)

Pure public good

Private property

State property

Private property

State property

Common property

Open access

Sumber: Agrawal A, 2001 dan Ostrom E, 1990

Menurut data BPLHD DKI Jakarta (2006), pokok permasalahan yang ada adalah bahwa pengelolaan situ yang tidak optimal disebabkan oleh:

(22)

1. Perubahan fungsi akibat kebutuhan pembangunan fisik terutama untuk perumahan, jalan dan lahan komersial.

2. Pencemaran. Sumber air situ saat ini cenderung berasal dari saluran sungai, saluran kota dan saluran rumah tangga yang pada umumnya sudah tercemar.

3. Penyempitan akibat kurangnya pengawasan, sehingga banyak masyarakat memanfaatkan situ sebagai tempat pembuangan sampah bahkan dijadikan tempat tinggal secara ilegal.

4. Pendangkalan, selain disebabkan oleh sampah, juga oleh lumpur yang terbawa air dari sungai dan saluran lainnya.

5. Kelembagaan yang tidak optimal dalam pengelolaan situ.

Mengingat perkembangan kondisi saat ini maka sudah selayaknya dikembangkan upaya-upaya untuk melakukan reformasi pemerintahan dan juga dilakukan dorongan yang kuat dan efisien terhadap pembentukan kesadaran (awareness) masyarakat yang berwawasan ekologi. Berdasarkan data Dinas PU (2009), secara umum permasalahan pengelolaan situ di seputar Jabodetabek adalah sebagai berikut.

1. Kerusakan yang disebabkan oleh perubahan tata guna lahan 2. Kerusakan akibat kondisi hidrologi

3. Ketakjelasan pola pengelolaan 4. Kurangnya kesadaran masyarakat

5. Kurang jelasnya batasan penguasaan lahan situ 6. Perubahan tata guna lahan dan pengalihan fungsi situ 7. Terbatasnya keuangan pemerintah pusat dan daerah

8. Rendahnya kesadaran masyarakat akan fungsi dan keberadaan situ 9. Belum mantapnya master plan, rencana detail dan rencana teknis situ 10.Lemahnya pengamanan (termasuk sertifikasi tanah situ) dan penegakan

hukum

(23)

Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, sebagian besar penelitian tentang situ terfokus pada aspek fisik dan sosial semata, sementara kondisi aktual di lapangan menunjukan bahwa harus ada perhatian khusus juga terhadap aspek kelembagaan. Selain itu walaupun secara de jure kondisi situ di DKI Jakarta cukup jelas namun pada kenyataanya kondisi situ di DKI Jakarta cukup beragam. Terdapat situ dengan kondisi bagus namun ada pula situ dengan kondisi buruk bahkan menjadi daratan. Oleh karena itu keragaman situ perlu dikaji lebih mendalam khususnya melalui pendekatan kelelembagaan.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi terkait dengan kondisi situ:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi situ 2. Mengetahui pemahaman stakeholder terhadap pengelolaan situ

3. Mengidentifikasi mekanisme kelembagaan pengelolaan situ

1.4. Manfaat Penelitian

(24)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengantar Kerangka Teoritis

Kajian pengelolaan situ dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kelembagaan. Pendekatan ini akan menekankan pada “fakta” mengenai apa yang terjadi dalam pengelolaan situ, yaitu terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga kondisi aktual terjadi. Kegiatan yang akan diamati merupakan interaksi yang beroperasi pada dua level, yaitu pengembangan dan spesifikasi kelembagaan atau aturan main (rule of the game) dan kegiatan yang mencakup interaksi manusia di dalam kelembagaan yang tersedia (the game). Aoki (2001) dalam Rachbini (2006) melengkapi konstelasi tersebut dengan perlunya pengamatan terhadap unsur penting yang ketiga yaitu pelaku (players of the game). Selain itu berdasarkan kajian Ostrom (1990) maka faktor karakteristik fisik sumber daya dan faktor luar (teknologi dan politik) juga mempengaruhi kondisi aktual yang ada. Selain itu karena subyek penelitian tidak terlepas dari aturan hukum mengenai substansi penelitian maka akan dikaji juga peraturan perundangan yang terkait. Meskipun dalam pendekatan kelembagaan ada berbagai teori namun yang akan dibahas lebih lanjut selain konsep dan teori kelembagaan adalah teori yang mempunyai relevansi erat dengan subyek penelitian ini, yaitu konsep sumberdaya bersama.

2.2. Konsep Rezim Sumberdaya dan Hak Kepemilikan

(25)

tidak dapat dimiliki secara individual. Kurang tertatanya aturan mengenai pemanfaatan berbagai bentuk “sumberdaya bersama” mengakibatkan terjadinya degradasi pada sumberdaya yang dimanfaatkan. Terjadinya degradasi terhadap sumberdaya ini sangat dipengaruhi oleh sistem manajemen yang dipergunakan dalam memanfaatkannya.

Dibawah ini Rustiadi, et.al., (2009) memberikan contoh bagaimana mendefinisikan barang menurut tingkat persaingan dan eksklusivitasnya. Barang privat adalah barang yang memperlihatkan kepemilikan pribadi serta memiliki ciri (1) excludable, artinya tidak bisa dikonsumsi semua orang, karena bila sudah dikonsumsi oleh seseorang akan mengurangi pihak lain untuk mengkonsumsinya, dan (2) terbatas (karena adanaya persaingan). Contoh barang privat adalah barang yang dimiliki sehari-hari, seperti roti, beras yang dikonsumsi seseorang. Sedangkan barang publik seperti common goods mencakup sumberdaya milik bersama (common property resources/ CPR’s), barang klub (clubs group), dan barang publik (public groups).

Tabel 2. Klasifikasi Barang/ Benda Berdasarkan Sifat Persaingan dan Sifat Eksklusivitasnya

Excludability/ Kemampuan Melarang Akses

Pihak Luar) Pembagian Cara Klasik

Barang Ekonomi

Ya Tidak

Ya Barang milik pribadi (Private good)

Sumber daya bersama (common poll resource) Rivalness

(Persaingan)

Tidak Barang Klub (Club good)

Barang publik (Public good)

Sumber: Ostrom (2000) dalam Ernan Rustiadi et.al,. (2009)

Ciri yang paling bisa dikenali dari sumberdaya milik bersama adalah sebagai berikut:

1. Terlampau besarnya biaya untuk menghambat secara fisik maupun dengan menggunakan instrumen hukum positif dan menggunakan sumberdaya (excludabilities).

(26)

Gambar 1. Perkembangan Hak-hak kepemilikan (Sumber : Lynch & Harwell 2002)

Sedangkan jika dilihat perkembangan mengenai hak-hak kepemilikan (Feeny et al., 1990; Lynch & Harwell 2002) dapat dilihat sebagai berikut :

1. Akses terbuka (open access): Tidak ada hak kepemilikan terhadap sumber daya. Sumber daya bebas dan terbuka diakses oleh siapapun. Tidak ada regulasi yang mengatur. Hak-hak pemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas.

2. Milik privat (private property): Sumber daya dimiliki oleh organisasi swasta. Sumber daya ini bukan milik negara. Ada aturan yang mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumber daya alam. Manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik. Hak kepemilikan dapat dipindahtangankan.

3. Dikuasai masyarakat (common property). Sumber daya dikuasai oleh sekelompok masyarakat dimana para anggota memiliki kepentingan untuk kelestarian pemanfaatan. Pihak luar bukan anggota tidak boleh memanfaatkan. Hak pemilikan tidak bersifat ekslusif, dapat dipindah-tangankan sepanjang sesuai aturan yang disepakati bersama. Aturan pemanfaatan mengikat anggota kelompok.

4. Dikuasai negara (state property): Hak pemanfaatan sumber daya alam secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah berkewenangan memutuskan tentang akses, tingkat dan sifat eksploitasi sumber daya alam.

Public Property Rights (Milik Negara)

Private Property Rights (Bukan Milik Negara)

Group Rights (Hak-hak Komunitas)

Individual Rights (Hak-hak Individu)

Private Community-Based Property Rights Komunitas-Privat

Individu-Privat

(27)

Dari rezimentasi sumberdaya di atas maka Ostrom (2000) menggambarkan bahwa terjadi perubahan dalam atribut pengelolaan terkait dengan penggunaan (flow) dalam kerangka penyediaan terbatas namun terus terjadi dalam waktu tertentu dan pencadangan (stock) digunakan untuk pembatasan atau perlindungan dari eksploitasi. Jika dilihat maka rezimentasi sumberdaya jika dilihat dari konsep titik kritis pemanfaatan (eksploitasi) adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Atribut Stock dan Flow dalam Rezimentasi Sumberdaya

Kepemilikan Privat

Kepemikan Bersama (CPRs)

Kepemilikan Negara (Publik)

Flow Parsel Parsel Tetap

Stock Parsel Tetap Tetap

Sumber: Ostrom (2000)

Keterangan: Parsel dapat dibagi-bagi dan didistribusikan pemanfaatannya, tetap tidak dapat dibagi atau diditribusikan

Dari keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa rezim sumberdaya milik bersama jika dimaksudkan sebagai pencadangan (stock dalam pemanfaatan) maka harus dijaga dari eksploitasi. Sebaliknya, dalam kepemilikan negara, jika dimaksudkan sebagai sumberdaya yang dapat dibagi dan didistribusikan maka kepemilikan oleh negara hanya dapat dimanfaatkan oleh negara, tidak dapat didistribusikan. Hal ini kontras dengan fakta pemanfaatan hutan lindung (milik negara) berdampingan (di tempat dan waktu yang sama) dengan pertambangan (milik negara atau privat).

2.2.1. Permasalahan Universal Pengelolaan Sumberdaya Bersama

(28)

produksinya disebut free rider problem. Oleh karenanya, fenomena public goods selalu memunculkan free rider. Ketika suatu barang menjadi sumber daya bersama, maka setiap orang cenderung menggunakannya secara berlebihan (over used). Apabila hal ini terjadi secara terus menerus maka terjadilah “the tragedy of the commons”.

2.2.2. Dari ”Tragedy of The Commons” ke “The Drama of The Commons

Penduduk dunia semakin bertambah sehingga kebutuhannya juga bertambah. Hal ini menimbulkan beberapa masalah karena lahan tidak bertambah. Kondisi ini menyebabkan wilayah-wilayah dan sumberdaya-sumberdaya yang tadinya dianggap tidak terbatas dan tidak terpikir untuk diatur, maka sekarang harus mulai dicarikan solusinya. Tragedy of the commons merupakan fenomena penting yang mendasari konsep-konsep dalam ekologi manusia dan studi lingkungan. Mayoritas isu lingkungan memiliki aspek-aspek the commons di dalamnya. Inti dari semua teori sosial adalah perbedaan antara manusia yang dimotivasi oleh kepentingannya yang sempit dan manusia yang dimotivasi oleh pandangan terhadap orang lain atau untuk masyarakat secara keseluruhan. Sebenarnya tragedy of the commons dapat dihindari melalui suatu mekanisme yang dapat menyebabkan individu memandang barang-barang atau sumberdaya sebagai milik bersama serta adanya kelembagaan yang mengaturnya.

Salah satu masalah utama yang terkait dengan penggunaan sumberdaya common-pool recources (CPRs) adalah biaya untuk membatasi/mencegah akses pengguna potensial. Penunggang gelap (free rider) dapat menyebabkan munculnya biaya tinggi dari sumberdaya common-pool dan barang-publik. Masalah penunggang gelap dapat terselesaikan apabila aturan-aturan diadopsi dan diterima dalam mengatur kegiatan-kegiatan individu dan biaya transaksi pengendalian (social cost) masih bisa lebih rendah dari manfaat (social benefit).

(29)

gelap, misalnya distribusi konflik. Karakteristik khusus bagi common-pool resources dan penggunanya mempengaruhi institusi dalam mengatur penggunaan sumberdaya tersebut. Semakin seragam, sederhana dan semakin kecil skala sumberdaya maka akan semakin mudah untuk merancang institusi dan untuk mencegahnya dari over-use serta perusakan. Begitu pula sumberdaya yang rumit dengan penggunaan interaktif dan externalitas negatif akan sulit untuk dikendalikan. Karakteristik individu pengguna, seperti preferensi, aset, dan karakteristik kelompok (keeratan, tingkat kepercayaan, homogenitas dan ukuran) akan mempengaruhi institusi. Penggunaan common-pool resources dipengaruhi juga oleh institusi yang mengatur dan keberadaan teknologi.

2.2.3. Jenis (Rejim) Penguasaan Sumberdaya Bersama

Rejim penguasaan/pemilikan (ownership) sumberdaya dapat digolongkan atas empat kelompok rejim, yakni: kepemilikan privat, kepemilikan oleh negara (state ownership), kepemilikan bersama/umum (common property) dan kepemilikan tanpa aturan (open access). Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa tidak ada fakta konsisten yang menunjukkan bahwa satu rejim merupakan pilihan yang terbaik untuk pengelolaan semua tipe sumberdaya bersama. Ostrom (1990) mengamati sejumlah sumberdaya bersama, common-pool recources (CPRs) yang dikelola oleh masyarakat lokal dengan self management tertentu justru menjadi lebih baik dan bertentangan dengan ramalan tragedy of the commons menurut Garret Hardin, yang menyatakan pengelolaan oleh masyarakat akan mendorong ke arah over used dari suatu sumberdaya bersama.

(30)

(1) Faktor Karakteristik Sumberdaya

a) Skala sumberdaya berukuran kecil/lokal, memudahkan dimonitor dengan tingkat akurasi yang cukup baik. Stock dan flow CPRs berskala besar (skala regional dan global) membutuhkan teknik-teknik pengukuran yang canggih (sophisticated)

b) Sumberdaya bersifat stabil dan mudah didelineasi

c) Eksternalitas negatif dari pemanfaatan sumberdaya relatif kecil d) Tingkat pemanfaatan sumberdaya yang moderat

e) Dinamika sumberdaya relatif sudah dipahami dan teridentifikasi (2) Faktor karakteristik pengguna (CPRs appropriators)

a) Pengguna-pengguna yang memiliki tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi akan cenderung memiliki kesepakatan-kesepakatan bersama tentang pembatasan-pembatasan penggunaan sumberdaya.

b) Pengguna-pengguna yang memiliki keterkaitan dan resiprositas dalam rentang waktu yang lama akan mendorong kerjasama dan membangun social capital.

c) Heterogenitas pengguna terhadap realitas ekologis yang berlangsung menyusun ulang kesepakatan-kesepakatan yang ada

(3) Disain Kelembagaan (Institutional design)

Elemen-elemen esensial untuk suksesnya kelembagaan pengelola CPRs ditentukan oleh kemampuan dari CPRs appropriators untuk:

a) Berkomunikasi

b) Membuat peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya dengan baik c) Menerapkan penalti bagi perilaku pelanggaran aturan

(4) Faktor luar a) Politik b) Teknologi

(31)

narasi besar, sehingga tidak memungkinkan menjelaskan perbedaan-perbedaan yang sifatnya subjektif terkait dengan peristiwa (event), situasi dan konteks ketika peristiwa tersebut terjadi. Untuk menghindari penjelasan yang sifatnya deduktif, melalui narasi besar maka dibutuhkan penjelasan mengenai perubahan kebiasaan terkait dengan peristiwa, situasi dan konteks tersebut. Penjelasan inilah yang disebut sebagai penjelasan alternatif atas pertanyaan ‘jika peristiwa x tidak terjadi apakah y terjadi’. Jika dikaitkan dengan kelembagaan CPRs, maka jawaban tersebut akan memberikan ruang perbedaan dari teori CPRs yang dipandangnya telah mapan.

Rezim CPRs merakit institutional design yang berpihak kepada keberlanjutan fungsi sumberdaya karena pengaturan sumberdaya atau commons pool resources oleh pemerintah sering mengalami kegagalan, disebabkan oleh : 1) Pemerintah sering membuat kebijakan yang mengabaikan indegenous institution seperti hak ulayat atau hak pribadi yang sering diambil alih oleh pemerintah dan 2) Sumberdaya yang dimiliki pemerintah tidak diimbangi oleh kemampuan serta kapasitas pemerintah sebagai pengelola dan pemanfaat sumberdaya.

Performa yang baik bagi suatu institutional design dalam menangani commons pool resources adalah : 1) Mengikutsertakan partisipasi resource users dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah/ institusi, 2) Pemerintah membuat aturan-aturan yang mudah untuk dimonitor/diawasi dalam pelaksanaannya, 3) Membuat aturan-aturan yang enforceable, 4) Mengatur dan melaksanakan mekanisme sanksi oleh pelanggar, 5) Ajudifikasi tersedia secara low cost, 6) Institusi monitoring dengan aparat yang akuntable, 7) Institusi yang mengatur commons pool resources dibuat dalam level-level berhierarki sesuai fungsinya dan 8) Adanya prosedur yang memungkinkan adanya revisi peraturan (Agrawal, 2002).

Ostrom (1990) menganalisa desain institusi dengn mengidentifikasi delapan prinsip desain yang menjadi syarat untuk pengelolaan sumberdaya bersama, yaitu:

1. Kejelasan batasan/definisi sumberdayanya

(32)

3. Pengaturan kolektif yang mengikutsertakan lebih banyak pengguna dalam penyediaan sumberdaya dan proses pengambilan keputusan

4. Monitoring yang efektif

5. Penerapan sanksi terhadap pengguna yang tidak menghargai aturan masyarakat

6. Mekanisme penyelesaian konflik yang murah dan memudahkan akses 7. Minimal mengenal hak untuk mengatur

8. Dalam kasus CPRs berskala besar/luas, pengaturan berlapis-lapis terbagi atas kelompok-kelompok kecil/lokal

2.3. Komponen Pengelolaan

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air, udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang diperlukan memiliki keterbatasan dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga memiliki keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana.

Keberadaan sumberdaya alam sangat menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Namun sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak ditentukan oleh aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan.

(33)

lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan, oleh sebab itu dalam makalah ini dicoba diungkap secara umum sebagai gambaran potret lingkungan hidup, khususnya dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah.

Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Dengan demikian, pengertian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

Bagi Indonesia, mengingat bahwa kontribusi yang dapat diandalkan dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah dari sumberdaya alam, maka sumberdaya alam memiliki peranan penting dalam perekonomian. Namun demikian, dilain pihak, keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan. Demikian juga aturan sebagai landasan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung pembangunan dari sektor ekonomi kurang diperhatikan. Hal ini berakibat pada penurunan daya dukung lingkungan dan menipisnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada serta penurunan kualitas lingkungan hidup.

(34)

tataran operasional implementasi kelembagaan, khususnya untuk pengelolaan situ dapat dipilah menjadi empat aspek yaitu: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pemanfaatan dan pelestarian. Aspek perencanaan meliputi penyusunan rencana induk pengembangan secara terintegrasi dan peraturan penyelenggaraan yang berupa perencanaan teknis. Aspek pemanfaatan meliputi implementasi perencanaan dengan mempertimbangkan kondisi teknis, kondisi ekologi dan kondisi sosial ekonomi serta sumberdaya hayati yang terdapat di dalam situ. Aspek pengamanan atau pengendalian pemanfaatan dilaksanakan dengan tidak mengubah bentuk/fungsi kawasan dan tetap menjaga estetika serta keasliannya. Aspek pelestarian dilakukan untuk menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat situ.

2.4. Kelembagaan

Kelembagaan diartikan sebagai lembaga atau organisasi, yaitu bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka mencapai suatu tujuan yang ditentukan, dalam ikatan mana terdapat seseorang/beberapa orang yang disebut atasan dan seseorang/ sekelompok orang disebut bawahan (Siagian, 1995). Menurut Pakpahan, A. (1986) ada tiga unsur yang menetukan faktor kelembagaan yaitu (1) Batas yurisdiksi, (2) Property right dan (3) Aturan representasi. Suatua kebijakan berhasil atau idak tergantung kepada apakah kebijakan yang dimaksud menghasilkan keragaan yang dinyatakan atau tidak dinyatakan.

(35)

akan mengakibatkan peningkatan kesejahteraan sekaligus kelestarian sumber daya dan lingkungan tetap terjaga.

Han van Dijk (1994) membedakan batas yurisdiksi ini dengan sistem tenurial dan sistem teritorial. Kedua konsep tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu berkenaan dengan adanya klaim hak penguasaan atas suatu sumber daya. Tenure dapat dipahami sebagai penegasan mengenai suatu hak khusus yang dimiliki oleh individu atau kelompok terhadap suatu objek yang jelas batas-batasnya, misalnya terhadap sebidang tanah atau suatu jenis pohon tertentu. Suatu klaim tenure mensyaratkan adanya faktor investasi dari manusia kedalamnya, misalnya investasi tenaga, modal, dan kontrol terhadap proses-proses alamiah melalui perubahan jenis tutupan vegetasi (misalnya dengan adanya praktek budidaya tanaman tertentu di atas sebidang tanah).

Sementara itu batas-batas klaim dalam sistem penguasaan teritorial biasanya lebih fleksibel secara sosial maupun geografis. Teritorial mencakup klaim hak atau penguasaan terhadap suatu kawasan (teritori) tertentu, dimana pengukuhan terhadap klaim tersebut didasarkan pada aspek-aspek ideologis, moral, legal atau alasan-alasan politik; bukan mengacu pada aspek- aspek ekologis tetapi lebih didasarkan kepada persepsi orang terhadap kondisi-kondisi ekologis dan sosio-politik mereka. Klaim penguasaan berupa territoriality tidak mensyaratkan faktor investasi manusia seperti halnya dalam tenure. Dengan kata lain, suatu klaim penguasaan territoriality bisa sama dan sebangun dengan tenure, tetapi bisa juga melampaui batas-batas tenure.

(36)

mengambil contoh desa-desa di Jepang, maka aturan representasi yang menyangkut pengambilan keputusan atau otoritas juga terkait dengan organisasi (dalam konteks ini organisasi tradisional) yang mengatur pemanfaatan sumberdaya bersama, yang di dalamnya termasuk lumbung padi, pengairan, dimana jika terdapat ancaman terhadap sumberdaya tersebut maka otoritas ini yang kemudian mengubah aturan.

Ketiga unsur kelembagaan di atas harus dibuat secara sosial, artinya masyarakat mengetahui fungsi kelembagaan agar tidak terjadi pemakluman atas pelanggaran batas, kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Sedangkan menurut Soekanto, S. (1997), kelembagaan dapat diartikan dalam dua makna, yaitu lembaga sebagai institusi (institution) dan pelembagaan (institutionalization). Lembaga dalam pengertian institut merupakan organ-organ yang berisikan konsep dan struktur dalam menjalankan fungsi masyarakat. Sedangkan pelembagaan dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilewati oleh suatu norma atau aturan untuk dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati oleh masyarakat.

Lembaga tumbuh dari kebiasaan yang menjadi adat-istiadat, kemudian berkembang menjadi tata kelakuan dan bertambah matang apabila telah diadakan penjabaran terhadap aturan dan perbuatan. Untuk menjalankan aturan dan perbuatan tersebut terbentuklah struktur yakni sarana atau struktur prasarana. Dengan demikian lembaga merupakan konstelasi dari perangkat kaidah-kaidah yang mengacu pada organisasi, baik abstrak maupun konkrit (Soekanto, 1997). Lembaga yang mengacu pada organisasi abstrak adalah lembaga yang diakui dan diterima oleh masyarakat namun tidak memiliki justifikasi hukum. Contohnya adalah lembaga-lembaga adat. Sedangkan lembaga yang mengacu pada organisasi yang kongkrit adalah lembaga yang diakui secara formal dan mempunyai justifikasi hukum, contohnya lembaga-lembaga pemerintah.

(37)

merupakan terjemahan dari dua istilah, yaitu institute yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga yang juga berarti organisasi dan institution yang merupakan wujud abstrak dari lembaga yang berarti pranata dan merupakan sekumpulan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia.

Koentjaraningrat (1981), menggunakan istilah pranata sosial untuk menjelaskan kelembagaan sosial, yang merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Soekanto (1990), mendefinisikan kelembagaan sebagai himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Sesungguhnya masih banyak lagi pendapat ahli tentang kelembagaan, namun apa yang dimaksud pada umumnya adalah sama. Kelembagaan merupakan sekumpulan norma yang stabil, mantap, dan berpola serta berfungsi untuk tujuan tertentu di masyarakat. Kelembagaan dapat ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern atau dapat berbentuk tradisional sekaligus modern dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial.

Pada penelaahan lebih jauh, Syahyuti (2003) menunjukkan bahwa jika masuk kedalamnya, maka terlihat ada dua aspek dalam kelembagaan, yaitu: 1) Aspek kelembagaan nilai dan 2) Aspek keorganisasian struktur. Keduanya merupakan komponen pokok dalam setiap kelompok sosial. Perhatian pokok aspek kelembagaan adalah perilaku dengan kompleks faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku tersebut. Sekumpulan faktor-faktor tersebut adalah berupa ide-ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan. Sedangkan pokok utama aspek keorganisasian adalah struktur, yaitu: menjelaskan tentang bagian-bagian pekerjaan dalam aktivitas kelembagaan, bagaimana kaitan antar fungsi-fungsi yang berbeda, penjenjangan antar bagian, konfigurasi otoritas, kesalinghubungan antar otoritas serta berhubungan dengan lingkungan.

(38)

kebutuhan pengguna. Sitorus (1998), mengemukakan ada dua hal untuk menilai kinerja kelembagaan, yaitu produknya sendiri berupa jasa atau material pelayanan dan faktor manajemen yang membuat produk tersebut dapat dihasilkan. Kedua hal tersebut, pelayanan dan pengelolaan dalam kajian ini, terkait dengan tinjauan penguatan kelembagaan, digunakan sebagai aspek dalam kategorisasi keragaan kinerja kelembagaan. Djatiman (1997) menggolongkan institusi atau kelembagaan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:

1. Bureaucratic institution; adalah institusi yang datangnya dari pemerintah dan tetap akan menjadi milik birokrasi, contohnya pemerintah desa;

2. Community Based Institution; adalah institusi yang dibentuk pemerintah berdasarkan atas sumber daya masyarakat yang diharapkan menjadi milik masyarakat, seperti koperasi;

3. Grass Root Institution; adalah institusi yang murni tumbuh dari masyarakat dan merupakan milik masyarakat, contohnya arisan.

Kata kelembagaan memiliki dua jenis pengertian, yaitu kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi. Sebagai aturan main, Schmid (1972) dalam Pakpahan (1990) mengartikan kelembagaan sebagai perangkat yang terdiri dari hubungan-hubungan yang teratur antara orang-orang yang mendefinisikan hak-hak, keterbukaan terhadap hak orang lain, hak-hak khusus, serta tanggungjawab. Oleh karena itu kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya yang memiliki kontribusi sangat besar dalam memecahkan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, seperti pengaturan penggunaan/alokasi sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan.

(39)

dan sebagainya. Sedangkan aturan yang informal tidak tertulis, tetapi hidup dan dipraktikkan oleh masyarakat karena telah menjadi kesepakatan kolektif dalam perjalanan hidup serta sejarah masyarakat itu sendiri.

Institusi juga bisa dengan sengaja diciptakan dan bisa juga tidak sengaja hadir karena secara spontan masyarakat memerlukannya. Institusi yang sengaja diciptakan hadir atau ada karena adanya institusi-institusi formal yang sengaja dibangun untuk menciptakan aturan main agar kehidupan masyarakat menjadi lebih berharga dan lebih baik. Sedangkan institusi yang muncul spontan terjadi karena adanya kebutuhan mendesak sehingga masyarakat tanpa rekayasa bersama menghadirkannya untuk kebutuhan bersama pula.

Menurut Aoki (2001) dalam Rachbini (2006), institusi memiliki tiga unsur penting, yang saling terkait satu sama lain.

1. Aturan main (rules of the game) 2. Pelaku (players of the game)

3. Strategi keseimbangan dalam permainan (equilibrium strategies of the game)

Aturan main merupakan unsur paling penting dalam institusi karena semua ada dalam kerangka kesepakatan bersama, dimana tindakan dan perilaku harus sesuai dengan aturan main tersebut. Unsur kedua adalah pelaku yang terlibat dan berpartisipasi dalam kerangka institusi tersebut, baik dalam masyarakat maupun organisasi. Yang tidak kalah pentingnya adalah strategi keseimbangan dalam permainan karena institusi datang untuk mengatur kebersamaan dalam keseimbangan yang teratur.

Saat ini dari aspek pengelolaan situ maka kelembagaan yang ada antara lain dapat dilihat pada Tabel berikut ini

Tabel 4. Kelembagaan dalam Aspek Pengelolaan Situ

Tingkat Nama Lembaga

Pusat • Kementrian Lingkungan Hidup

• Kementrian Dalam Negeri, Ditjen Bangda

(40)

Daerah • BPLHD

• Bappeda

• Dinas PU

• Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

• Dinas Kelautan dan Pertanian

• Walikota

2.5. Peraturan Pengelolaan Situ

Hukum lingkungan Indonesia telah mulai berkembang sejak zaman penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda. Hukum pada masa itu lebih berorientasi pada pemakaian (used-oritented law). Sedangkan hukum Indonesia berubah menjadi tidak hanya mengenai pemakaian tetapi juga perlindungan (environment-oriented law). Perubahan ini tidak terlepas dari lahirnya hukum internasional yang ditandai dengan Deklarasi Stockholm 1972. Perkembangan hukum lingkungan Indonesia sangat dipengaruhi oleh hukum lingkungan internasional.

Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping juga perangkat hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.

(41)

Tabel 5. Peraturan Pengelolaan Situ

Tingkat Nama perundangan dan peraturan

Undang-Undang • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

• Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

• Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air

• Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI Peraturan Pemerintah • Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,

• Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Peraturan Menteri • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

06/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penggunaan Sumber Daya Air

(42)

maksimum, Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hokum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

Sejalan dengan lajunya pembangunan nasional yang dilaksanakan, permasalahan situ yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan. Beberapa situ di perkotaan tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga. Masalah pencemaran ini disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran para pelaku dunia usaha ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan kualitas lingkungan yang baik. Dengan kata lain, permasalahan lingkungan tidak semakin ringan namun justru akan semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan UU Lingkungan Hidup maka kualitas situ menjadi tanggung jawab BPLHD.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dikatakan pada Pasal 2 ayat (4) dan (5) bahwa:

• Ayat (4): Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya.

• Ayat (5): Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.

(43)

a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;

b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan

c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Sedangkan dalam Pasal 17 ayat (2) dikatakan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antar pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:

a. Pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;

b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antar pemerintahan daerah; dan

c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya.

Konsekuensi pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 mengenai pengelolaan lingkungan hidup titik beratnya ada di daerah, walaupun pengelolaan sumberdaya air yang mencakup lintas sektoral dan lintas wilayah memerlukan keterpaduan untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Pengelolaan sumberdaya air perlu dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumberdaya air.

(44)

sumberdaya air di sepanjang aliran Sungai Ciliwung Cisadane yang mencakup wilayah Jabodetabek. Namun faktanya terjadi tumpang tindih kewenangan regulasi beberapa situ di Wilayah DKI Jakarta yang bersinggungan dengan wilayah aliran Sungai Ciliwung Cisadane, sehingga menyebabkan pengelolaan situ tidak maksimal.

Jakarta sebagai ibukota negara secara khusus diatur melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana Provinsi DKI Jakarta diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah, kecuali hal-hal yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang ini. Dalam Pasal 26 dikatakan salah satu kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom mencakup seluruh urusan pemerintahan penetapan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penggunaan Sumber Daya Air maka pengelolaan sumberdaya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Pengelolaan sumberdaya air dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumberdaya air. Koordinasi dilakukan oleh wadah yang bernama Dewan Sumber Daya Air atau dengan nama lain, misalnya Panitia Tata Pengaturan Air Provinsi. Wadah tersebut memiliki tugas pokok menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air yang beranggotakan unsur pemerintah dan non pemerintah dalam jumlah seimbang atas dasar prinsip keterwakilan.

(45)

keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air serta sumber air, baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. Fungsi Dewan Sumber Daya Air Nasional adalah memberikan pertimbangan kepada presiden dalam menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah atas dasar masukan dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometerologi dan hidrogeologi ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan usul Dewan Sumber Daya Air Nasional.

Dewan Sumber Daya Air Nasional untuk tingkat pusat, wilayah sungai lintas propinsi dan wilayah sungai strategis nasional dibentuk oleh pemerintah pusat. Dewan Sumber Daya Air tingkat Propinsi dan atau pada wilayah sungai lintas Kabupaten/Kota dibentuk oleh pemerintah propinsi. Dewan Sumber Daya Air tingkat Kabupaten/Kota dan atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dibentuk oleh pemerintah kabupaten/kota. Hubungan kerja antar tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota dan wilayah sungai bersifat konsultatif dan koordinatif. Sebagai tindak lanjut dari UU Sumber Daya Air maka telah dibentuk Dewan Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2011.

Dengan kondisi tersebut maka pengelolaan situ perlu ditingkatkan kualitasnya melalui dukungan penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas, sumberdaya manusia yang berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta asimilasi sosial budaya yang semakin mantap. Perlu segera didorong terjadinya perubahan cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan melalui internalisasi kedalam kegiatan/proses produksi dan konsumsi dan menanamkan nilai serta etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran sosial serta pendidikan formal pada semua tingkatan.

(46)

pedoman dalam melaksanakan serta mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan situ cukup banyak tetapi lemah dalam implementasinya. Ada beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuannya sendiri. Hal ini disebabkan lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam hal pengawasan.

2.5. Hasil Penelitian Yang Berkaitan

Rosnila (2004) melakukan penelitian mengenai perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap keberadaan situ di Depok. Pergeseran fungsi kota ke daerah pinggiran telah mempercepat terjadinya perubahan penggunaan lahan yang mengarah pada perkotaan. Kondisi ini berdampak pada penurunan luas dan kualitas situ. Luas pada tujuh situ yang diteliti, selama kurun waktu 1991–2001 memiliki kecenderungan menurun. Kondisi umum pada ketujuh situ telah mengalami pendangkalan akibat sedimentasi, banyaknya gulma yang tumbuh, pengurugan dan alih fungsi lahan di areal situ. Perubahan penggunaan lahan di DTA situ menunjukkan terjadinya penurunan luas vegetasi campuran yang diikuti tegalan dan lahan sawah. Sebaliknya permukiman dan lahan terlantar justru mengalami penambahan luas. Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan luas situ adalah jarak desa, dimana situ berlokasi ke ibukota kabupaten/kota yang membawahi, laju perubahan luas permukiman, laju perubahan luas lahan sawah, laju perubahan luas lahan terlantar dan jarak desa dimana situ berlokasi ke ibukota kabupaten/kota yang terdekat. Hasil analisis menunjukkan pendapat masyarakat terhadap pembuangan limbah industri dan limbah domestik ke dalam situ, kegiatan perikanan dan kegiatan rekreasi memiliki perbedaan yang nyata antara situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh aktivitas manusia.

(47)

Sinurat (2002), besarnya potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah, akan mengakibatkan banyak lembaga ataupun instansi yang merasa berkepentingan memanfaatkan sumberdaya di wilayah tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya permasalahan yang menimbulkan konflik dalam pengelolaan sumberdaya dikawasan tersebut.

Konflik tersebut terjadi akibat tumpang tindih pemanfaatan ruang antar stakeholder dan tumpang tindih fungsi serta kewenangan antar lembaga/instansi pemerintah, baik secara vertikal maupun horisontal. Akibatnya pengelolaan sumberdaya tidak optimal dan berkelanjutan (unsustainable development). Upaya dan strategi yang perlu diterapkan dalam pengelolaan wilayah yaitu: (a) mampu mengakomodasi mekanisme koordinasi kegiatan antar sektor dalam pengelolaan, pengembangan dan konservasi kekayaan alam di wilayah pesisir; (b) mampu mengkoordinasikan kegiatan penelitian dan memanfaatkan hasil-hasilnya termasuk pengelolaan data dan informasi mengenai wilayah pesisir serta mekanisme diseminasinya dan (c) mampu mengembangkan peraturan-peraturan dalam upaya pelaksanaan dan penegakan hukum secara efektif dan efisien. Pendekatan pengelolaan pesisir secara terpadu dengan melibatkan semua stakeholder merupakan implementasi dari kebijakan dalam mengatasi konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya wilayah.

(48)

maupun masyarakat dalam kondisi tertentu untuk mencapai kinerja yang diharapkan.

Masduki (2005) melakukan penelitian tentang analisis konflik penggunaan lahan dalam pengembangan wilayah Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan. Perencanaan pengembangan wilayah perkampungan Situ Babakan melibatkan banyak pihak (stakeholders) termasuk instansi lingkup Pemerintah DKI Jakarta. Potensi konfllik yang terjadi disebabkan oleh benturan kepentingan dalam penggunaan lahan sebagai areal permukiman, ruang terbuka hijau dan lahan usaha. Dalam penelitian ini dikaji potensi konflik kepentingan antara pengguna lahan dan faktor-faktor pendorongnya serta memformulasi strategi resolusi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan studi peta dan analisis deskriptif. Aksesibilitas kepada jalan utama yaitu Jalan Mohamad Kahfi II merupakan faktor pendorong utama terhadap perubahan ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun. Sebagian besar pelaku usaha yang berada di dalam areal wisata Situ Babakan tidak keberatan untuk ditertibkan, sepanjang diatur dalam peraturan yang disepakati dan disediakan lahan untuk melakukan kegiatan usaha secara resmi. Diberlakukannya sistem struktur insentif dan disinsentif sebagai langkah untuk mengendalikan laju perubahan lahan dinilai dapat menjaga fungsi perkampungan ini sebagai wilayah konservasi budaya. Penerapan sistem ini juga dapat mendorong partisipasi masyarakat pelaku usaha untuk meningkatkan kegiatan ekonomi di dalam wilayah perkampungan.

(49)
[image:49.595.82.516.30.823.2]

kelembagaan sehingga perlu dilengkapi dengan kajian dengan pendekatan kelelembagaan. Secara ringkas hasil penelitian sebelumnya disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Hasil Penelitian Sebelumnya

Peneliti Judul Tesis Topik Penelitian

Rosnila (2004)

Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Keberadaan Situ

Pengaruh aktivitas manusia dan kondisi lokasi situ terhadap kondisi situ

Sinurat (2002)

Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Timur Rawa Sragi Kabupaten Lampung Selatan

Analisis konflik kelembagaan bagi SDA potensial dan merumuskan alternatif kebijakan

Rustamadji (2002)

Kajian Proses Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Hutan dalam Rangka Otonomi Daerah

Faktor pendorong dan penghambat proses pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan dalam rangka implementasi otonomi daerah Masduki

(2005)

Analisis Konflik Penggunaan Lahan dalam Pengembangan Wilayah Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan

Potensi konflik kepentingan antara pengguna lahan dan faktor-faktor pendorongnya serta memformulasi strategi resolusi yang dapat disepakati oleh para pihak

Mustafa Dinamika dan Model Institusi

Pengelolaan Kawasan yang Berkelanjutan: Studi Kasus pada Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur

Konflik pengelolaan aset alami untuk menuju pada pengelolaan

(50)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Berfikir

Sebagai bagian dari sistem tata air, situ merupakan subsistem terbuka, secara de jure situ merupakan milik negara (state property) dan cenderung merupakan sumberdaya bersama sehingga berpotensi mengalami “the tragedy of the common”. Faktanya, secara de facto kebanyakan situ yang ada terjebak pada kepemilikan yang terbuka (open access) sehingga tidak jelas mekanisme kelembagaannya. Hal ini menyebabkan terjadi permasalahan seperti: kondisi rusak, pendangkalan, tercemar berat dan hilang sama sekali tergantikan oleh pemanfaatan yang lain. Jika dilihat dari permasalahan yang ada maka penyebabnya diprediksi karena pengelolaan (kelembagaan) dan penataan kawasan sekitar situ yang tidak jelas arahnya.

Permasalahan penataan kawasan terkait dengan (1) Perencananaan, (2) Pemanfaatan dan (3) Pengendalian. Sedangkan permasalahan kelembagaan terkait dengan (1) Batas yurisdiksi, (2) Property right dan (3) Aturan representasi. Batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan. Konsep ini dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga. Property right mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat, tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

(51)
[image:51.595.105.515.92.755.2]

Gambar 2. Kerangka Berfikir

3.2 Kerangka Pendekatan Operasional Penelitian

(52)

Tabel 7. Tujuan, Analisis, Data dan Ouput Penelitian

Tujuan Analisis Data Output Mengidentifikasi

faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas situ

Analisis Peta dan data statistik,

Data dokumen diolah dengan Analisis Burt karena data

kelembagaan bersifat katagorial/ kualitatif

Kondisi situ Faktor penjelas (39 sampel situ)

Teridentifikasinya faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi situ Mengetahui pemahaman stakeholder terhadap pengelolaan situ Analysis Hierarchy Process (AHP) yang merupakan salah satu alat untuk menganalisa proses kebijakan Persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan situ (26 responden) Karakteristik proses kelembagaan pengelolaan situ Mengidentifikasi mekanisme kelembagaan pengelolaan situ Deskriptif eksploratif dari hasil wawancara mendalam Empiris Lapangan (6 lokasi observasi) Eksplorasi karakteristik tata laksana pengelolaan situ

3.3. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jakarta dengan melibatkan beberapa stakeholders kunci yang mempunyai kewenangan formal dan kepentingan dalam pengelolaan situ di wilayah DKI Jakarta. Penelitian dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Februari sampai dengan Maret tahun 2011.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner yang telah disiapkan, pengamatan langsung (observasi) dan pengumpulan data sekunder.

Pengumpulan Data Sekunder

(53)

Pengumpulan Data Primer

Tujuan pengumpulan data primer adalah untuk memperoleh data empiris secara langsung dari pihak-pihak terkait Pengumpulan data primer dilakukan dengan dua metode:

a. Metode Kuantitatif, yaitu pengumpulan data yang melibatkan 26 responden stakeholders (pemangku kepentingan) yang terpilih untuk Analysis Hierarchy Process (AHP) melalui wawancara terstruktur dengan kuesioner. b. Metode Kualitatif, melalui wawancara mendalam dengan responden terkait

serta obsevasi.

Secara ringkas jenis data dan metode pengumpulnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Jenis Data dan Metode Pengumpulannya

No Sumber Data Parameter Jenis Data

A. Data Sekunder

1. 2.

3

Peta rencana Data statistik

- Jakarta Dalam Angka (JDA)

- Laporan penelitian terkait

Inventarisasi situ oleh BBSCC, DTR, DPU, BPLHD Prov. DKI Jakarta

Rencana peruntukan Data pendukung Karakteristik situ DS DS DS DS

B. Data Primer

1.

2.

Kuesioner AHP

Observasi

- Persepsi stakeholders

- Kondisi fisik

- Lokasi

- Kelembagaan

W

W,O

Keterangan : DS = Data Sekunder; O=Observasi/pengamatan; W= Wawancara

3.5. Penentuan Sampel dan Responden

(54)

menurut Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta sebanyak 28 buah. Pencatatan oleh pemerintah pusat cq Kementrian Pekerjaan Umum juga mengalami kerancuan. Data registrasi situ menyebutkan jumlah sebanyak 18 buah, sementara data sensus menyebutkan jumlah sebanyak 149 buah, karena berdasarkan kondisi lapangan dengan pertimbangan tertentu. BPLHD misalnya menentukan jumlah situ lebih pada aspek pencemaran, sedangkan pemerintah pusat lebih menekankan pada situ yang berada pada aliran sungai Ciliwung Cisadane. Situ yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kawasan genangan air, baik air permukaan ataupun resapan air yang terbentuk alami dan terdaftar di salah satu sumber yang tersebut di atas. Oleh karena itu dari sekian banyak data dari aneka sumber tersebut akhirnya diperoleh sampel yang diambil adalah sebanyak 39 situ yang diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai keragaman permasalahan yang dihadapi, khususnya di Wilayah DKI Jakarta. Untuk lebih jelasnya mengenai proses penentuan dan kondisi 39 situ tersebut dapat dilihat pada bagian lampiran.

Untuk mengetahui persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan situ digunakan Analysis Hierarchy Process dengan melakukan penyebaran kuesioner terhadap 26 responden yang mewakili instansi berikut ini:

1. Bappenas

2. Ditjen SDA Kementrian PU 3. Dinas PU DKI Jakarta 4. BPLHD DKI Jakarta

5. Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) 6. Dinas Pariwisata DKI Jakarta

7. Pengusaha Pariwisata 8. Bank Dunia

(55)

Metode yang digunakan berikutnya adalah wawancara mendalam dan observasi. Menurut Moleong (1994), Metode ini biasanya digunakan untuk untuk memperoleh infomasi tentang pengalaman, pendapat, perasaan, dan hal-hal subyektif lainnya dari informan, yang berkaitan dengan topik dan tujuan penelitian. Kriteria pemilihan informan tersebut disesuaikan dengan topik dan tujuan yang ingin dicapai. Informan untuk diwawancarai dipilih diantara individu-individu yang diasumsikan atau sudah bisa dipastikan memiliki informasi yang ingin diperoleh. Tidak ada ketentuan baku dalam menentukan jumlah informan. Jumlah informan tergantung kepada tujuan penelitian, kuantitas dan kualitas informasi yang dibutuhkan, kapasitas informan serta varian/keragaman latar belakang informan (untuk membandingkan informasi antar informan agar semakin memperkaya informasi itu sendiri). Kekuatan informasi hasil wawancara terletak pada tingkat kepercayaan masyarakat umum terhadap kebenaran dan kenyataan yang digambarkan dari informasi tersebut. Metode ini dinilai tepat digunakan untuk mengetahui makna yang tersembunyi. Data yang diperoleh dari wawancara mendalam dan obervasi diolah dan dideskripsikan dengan penguraian yang logis.

Metode penentuan sample adalah purposive sampling yaitu bagian dari pengambilan sampling non probabilitas (Non probability). Asumsinya penulis mengetahui atau memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ingin diteliti dan objek penelitian adalah objek yang tidak secara umum dianggap homogen (general). Metode ini juga berpengaruh pada teknik pengambilan responden yang akan diwawancarai, karena terkait dengan pengetahuan responden mengenai objek penelitian. Oleh sebab itu reponden yang dipilih adalah responden yang memiliki kedekatan dengan objek penelitian. Untuk masyarakat awam kedekatan yang dimaksud adalah pengguna atau orang yang terkena dampak langsung dari perubahan pemanfaatan lahan di sekitar situ. Sedangkan untuk tokoh masyarakat dipilih karena dianggap memiliki pengetahuan mengenai kelembagaan situ.

(56)
[image:56.595.55.517.115.643.2]

Tabel 9. Sampel Situ Terpilih untuk Observasi

Kategori Nama Lokasi Ukuran Fungsi Keterangan

Situ Babakan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jaksel

32 ha Konservasi, rekreasi, ekonomi Rutin Situ dengan kondisi bagus Situ Lembang Gondangdia, Menteng, Jakpus

1 ha Konservasi, rekreasi Rutin Situ Rawa Dongkal (Cibubur Indah) Cibubur, Ciracas Jakarta Timur

12 ha Konservasi Rutin

Situ dengan kondisi sedang Situ Pengilingan/ Aneka Elok Perum Aneka Elok, Penggilingan

5,8 ha Konservasi Insidentil/ tidak terawat Situ Rawa

Badung

Jatinegara, Cakung

2,5 ha Konservasi Diserobot masyarakat, pendangkalan

Situ dengan kondisi

buruk Situ Rorotan Rorotan, Jakut

25 ha Konservasi, rekreasi (dalam

perencanaan)

Proses pembenahan

3.6. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

3.6.1. Analisis Korespondensi – Tabel Burt

Analisis Korespondensi – Tabel Burt digunakan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas situ. Analisis ini ekuivalen dengan Analisis Kuantifikasi Hayashi II1 yang banyak digunakan di Jepang, karena sulitnya memperoleh software Analisis Kuantifikasi Hayashi II maka dalam pengolahan data digunakan Analisis Korespondensi – Tabel Burt yang banyak digunakan di Perancis. Selain itu pemilihan model Analisis ini didasarkan pada kemampuan model terhadap hasil penelitian yang memiliki banyak variabel

1

(57)

penjelas, dengan model ini dapat dilihat variabel penjelas mana yang paling mempengaruhi kualitas situ.

Berdasarkan Benzérci (1973) web book statistic Analisis Korespondensi – Tabel Burt bertujuan untuk menduga parameter keterkaitan antara variabel-variabel penjelas dengan satu tujuan tertentu yang bersifat pengelompokkan. Analisis ini dapat digunakan untuk mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi situ. Variabel-variabel yang digunakan adalah variabel kualitas situ, variabel-variabel kelembagaan dan variabel-variabel non kelembagaan. Masing-masing variabel penjelas diukur dalam data yang bersifat kategorikal (nominal dan atau ordinal). Model analisis untuk kondisi situ dapat dituliskan sebagai berikut :

Y = f (X 1,, X 2 , X 3 , X 4, X 5 , X 6 , X 7 , X8 )

Variabel yang digunakan adalah :

Y = Variabel kondisi situ dengan kategori : 1. Buruk

2. Sedang 3. Bagus

X1 = Kestabilan dengan kategori :

1. Tidak stabil 2. Stabil

X2 = Ukuran dengan kategori :

1. Kecil 2. Sedang 3. Besar

X3 = Pola sifat lingkungan dengan kategori :

1. Tidak tertata 2. Tertata

X4 = Interaksi (ketergantungan) dengan kategor

Gambar

Tabel 6. Hasil Penelitian Sebelumnya
Gambar 2. Kerangka Berfikir
Tabel 9. Sampel Situ Terpilih untuk Observasi
Tabel  10. Variabel Kategorial Kondisi Situ
+7

Referensi

Dokumen terkait