• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.6. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

3.6.1. Analisis Korespondensi – Tabel Burt

Analisis Korespondensi – Tabel Burt digunakan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas situ. Analisis ini ekuivalen dengan Analisis Kuantifikasi Hayashi II1 yang banyak digunakan di Jepang, karena sulitnya memperoleh software Analisis Kuantifikasi Hayashi II maka dalam pengolahan data digunakan Analisis Korespondensi – Tabel Burt yang banyak digunakan di Perancis. Selain itu pemilihan model Analisis ini didasarkan pada kemampuan model terhadap hasil penelitian yang memiliki banyak variabel

1

penjelas, dengan model ini dapat dilihat variabel penjelas mana yang paling mempengaruhi kualitas situ.

Berdasarkan Benzérci (1973) web book statistic Analisis Korespondensi – Tabel Burt bertujuan untuk menduga parameter keterkaitan antara variabel-variabel penjelas dengan satu tujuan tertentu yang bersifat pengelompokkan. Analisis ini dapat digunakan untuk mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi situ. Variabel-variabel yang digunakan adalah variabel kualitas situ, variabel-variabel kelembagaan dan variabel-variabel non kelembagaan. Masing-masing variabel penjelas diukur dalam data yang bersifat kategorikal (nominal dan atau ordinal). Model analisis untuk kondisi situ dapat dituliskan sebagai berikut :

Y = f (X 1,, X 2 , X 3 , X 4, X 5 , X 6 , X 7 , X8 )

Variabel yang digunakan adalah :

Y = Variabel kondisi situ dengan kategori : 1. Buruk

2. Sedang 3. Bagus

X1 = Kestabilan dengan kategori :

1. Tidak stabil 2. Stabil

X2 = Ukuran dengan kategori :

1. Kecil 2. Sedang 3. Besar

X3 = Pola sifat lingkungan dengan kategori :

1. Tidak tertata 2. Tertata

X4 = Interaksi (ketergantungan) dengan kategori :

1. Kecil 2. Sedang 3. Tinggi

X5 = Tingkat pemanfaatan dengan kategori :

1. Minimal 2. Sedang 3. Optimal

X6 = Pengelola Situ dengan kategori :

1. Lainnya 2. Pemda

3. Pemerintah Pusat

X7 = Peraturan dengan kategori :

1. Tidak ada 2. Ada

X8 = Dana pengelolaan situ dengan kategori :

1. Tidak cukup 2. Cukup

Jika ditabulasikan maka model analisis dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabel 10. Variabel Kategorial Kondisi Situ

Variabel Kategori Keterangan

Y = Kondisi situ Bagus

Sedang Jelek

Kondisi air situ tidak tercemar dan badan situ bagus, batasnya jelas dan pengelolaanya bagus

Kondisi situ berada di tengah-tengah antara kondisi bagus dan jelek

Kondisi air situ tercemar dan badan situ tidak terawat, batasnya tidak jelas dan pengelolaanya tidak bagus

X1 = Kestabilan Stabil

Tidak stabil

Luas situ dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan

Luas situ dari tahun ke tahun

mengalami perubahan (penyempitan) X2 = Ukuran (ha) Kecil

Sedang Besar 0 – 5 5 – 15 > 15 X3 = Pola sifat lingkungan Tertata Tidak Tertata

Memiliki lansekap yang fungsional dan estetika

Pemanfaatan tumpang tindih dan mengabaikan estetika X4 = Interaksi (ketergantungan) Kecil Sedang Tinggi

Terletak di daerah non permukiman dan dikuasai oleh sebuah otoritas

Terletak di permukiman penduduk, dikuasai dan digunakan oleh kalangan tertentu

Terletak di permukiman penduduk, dikuasai dan digunakan oleh banyak pihak

Variabel Kategori Keterangan X5 = Tingkat pemanfaatan Optimal Sedang Minimal

Memiliki tiga fungi utama

(1) Konservasi (pengendali banjir dan resapan tampungan),

(2) Bermanfaat secara sosial (pariwisata) dan ekonomi (3) Tidak ada daya rusak Hanya 2 fungsi saja Hanya 1 fungsi saja X6 = Pengelola situ Pemerintah pusat Pemerintah daerah Lainnya Pemerintah pusat Pemerintah daerah

Perguruan tinggi, swasta, X7 = Peraturan Ada

Tidak

Ada peraturan yang melindungi keberlangsungan situ baik melalui SK Gubernur maupun lainnya

Tidak ada peraturan yang melindungi keberlangsungan situ

X8 = Dana

pengelolaan situ

Cukup Tidak cukup

Dana pengelolaan mencukupi untuk mengelola situ

Dana pengelolaan tidak mencukupi untuk mengelola situ

Adapun tahapan Analisis Korespondensi – Tabel Burt adalah: 1. Tahap 1, Skor (Koordinat Dimensi 1)

Tujuan dari analisis korespondensi adalah untuk mereproduksi jarak antar baris dan titik-titik kolom dalam sebuah tabel dua arah dalam tampilan yang lebih rendah-dimensi. Data yang diperoleh kemudian diberi skor setiap kategori dari tiap variabel kategorial Y, yakni variabel X1 sampai X8

2. Tahap 2, Proses Subtitusi

Tabel data variabel kategorial Y, X1 sampai X8 untuk 39 situ diubah menjadi

Tabel Skor variabel kategorial X1 sampai X8 untuk 39 situ

3. Tahap 3, Multikorelasi

Dari Tabel skor variabel kategorial X1 sampai X8 untuk 39 situ kemudian

dilakukan Analisis Korelasi antar varibel X1 sampai X8. Multikorelasi

4. Tahap 4, Analisis PCA

Langkah selanjutnya adalah mentranformasi menjadi variabel ortogonal dengan Analisis Faktor Metode Ekstrasi PCA dan Rotasi Varimaks Normal. Dalam statistika, PCA (Principal Component Analysis) adalah teknik yang digunakan untuk menyederhanakan suatu data, dengan cara mentransformasi data secara linier sehingga terbentuk sistem koordinat baru dengan varians maksimum. Prosedur PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component.

5. Tahap 5, Analisis Regresi Berganda

Selanjutnya dengan menggunakan Analis Regresi Berganda diperoleh hasil uji nyata terhadap nilai penduga parameter koefisien keterkaitan ini menunjukkan variabel-variabel penjelas mana saja yang paling nyata (significant) kaitannya dengan variabel pengelompokkan tersebut.

Analis Regresi merupakan suatu metode analisis statistik yang mempelajari pola hubungan antara dua atau lebih variabel. Pada kenyataan sehari-hari sering dijumpai sebuah kejadian dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel, oleh karenanya dikembangkanlah analisis regresi berganda dengan model :

Secara ringkas Prosedur Analisis Korespondensi – Tabel Burt dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Prosedur Analisis Burt

3.6.2. Analisis Pemahaman dan Pemanfaatan Situ oleh Stakeholders AHP

(Analysis Hierarchy Process)

Analisis terhadap pemahaman (persepsi) stakeholders di sekitar situ dilakukan dengan menggunakan analisis proses hirarki(AHP). Metode dan Teori AHP menurut Mahi (1991) mensyaratkan penggunaannya untuk tidak keluar dari beberapa aturan baku yang sederhana. Beberapa aturan yang dibuat ini dimaksudkan untuk mempermudah proses analisanya. Dalam hal pengukuran, AHP menggunakan kebiasaan prilaku manusia dalam melakukan pengukuran sederhana, yaitu dengan menggunakan perbandingan. Asas perbandingan sering digunakan sebagai metode ukur instrumen input nantinya. Membandingkan merupakan proses perhitungan paling mudah yang mampu dilakukan manusia. Dalam membandingkan dua objek w1 dan w2, manusia secara otomatis akan membentuk suatu skala rasio antara w1 dan w2 atau w1/w2. Bentuk rasio inilah

Hasil Akhir Analisis Correspondence Multiple

Analysis (Hayashi II) Skor (Koordinat Dimensi 1) Tiap Kategori dari Tiap Variabel Kategorkal Y, X1…X8 Tabel Data Variabel Kategorial Y, X1…X8 untuk 39 situ Proses Substitusi Tabel Skor Variabel Kategorial X1…X8 untuk 39 situ Tabel Skor Variabel Kategorial Y untuk 39 situ Tabel Skor Variabel Ortogonal (Faktor) F1…F8 untuk 39 situ Multikolineaitas Ditunjukkan dengan Matriks Korelasi antar Variabel X1...X8 Cek Multikolinearitas dengan Analisis Korelasi antar Variabel X1...X8 Transformasi Variabel X1...X8 Menjadi Variabel Ortogonal dengan Analisis Faktor Metode Ekstraksi

PCA dan Rotasi Varimaks Normal Tabel Loading: Korelasi antara F1...F3 dengan Variabel X1...X8 Parameter Model Y=f(F1...F3) Analisis Multiple Regression Y=f(F1...F3) 1 2 3 4 5

yang menjadi input dasar model AHP yang sekaligus menyatakan persepsi seseorang dalam menghadapi suatu masalah pengambilan keputusan. Karena otak manusia ada batasnya, maka skala rasio ini juga memiliki batas tertentu. Model AHP menggunakan batas 1 hingga 9 yang dianggap cukup mewakili persepsi manusia.

Adanya suatu standar atau batasan tertentu dalam skala ini didasarkan beberapa alasan. Pertama, perbedaan hal-hal yang kualitatif akan mempunyai arti dan dapat dijamin keakuratannya apabila dibandingkan dalam besaran yang sama dan jelas. Alasan kedua adalah, secara umum seseorang dapat menyatakan perbedaan hal-hal kualitatif dalam lima istilah umum yaitu: sama, lemah, kuat,

sangat kuat dan absolut. Komprominya sendiri dapat dibuat dengan penilaian yang lebih detail dan akurat diantara masing-masing nilai ukur tersebut. Keduanya membentuk sembilan nilai yang berurutan untuk menyatakan sifat manusia secara jelas dan tepat. Kesimpulan ini diperkuat lagi dengan pendapat yang menyatakan bahwa sikap seseorang terhadap suatu permasalahan kualitatif secara garis besar terbagi tiga: menerima, sama saja (indifferent)dan menolak. Setiap klasifikasi tersebut kemudian dibagi tiga lagi untuk menentukan klasifikasi yang lebih jelas yaitu: rendah, sedang dan tinggi. Dua orang yang dihadapkan dengan suatu permasalahan, mungkin akan memberikan reaksi menolak, tetapi belum tentu derajat penolakannya sama. Satu orang mungkin menolak keras (tinggi) sedangkan yang satunya lagi menolak biasa saja (sedang). Dengan dasar tiga klasifikasi utama yang dipecah masing-masing menjadi subklasifikasi maka secara keseluruhaan jelas ada sembilan tingkat persepsi manusia.

Alasan ketiga didasarkan pada penelitian Miller (1956) dalam Mahi (1991) menyimpulkan bahwa manusia tidak dapat secara simultan membandingkan lebih dari tujuh objek (tambah atau kurang dua). Pada kondisi tersebut manusia akan kehilangan konsistensinya dalam melakukan pembandingan. Pada umumnya manusia mampu membandingkan paling sedikit lima eleman secara konsisten. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka disusunlah suatu bentuk skala perbandingan antara dua objek yang dianggap umum seperti di bawah ini.

Tabel 11. Skala Perbandingan antara Dua Objek

1 Equal Importance (sama pentingnya)

3 Moderate Importance of One Over Another (relatif penting satu dengan lainnya) 5 Strong or Essential Importance (kuat atau

cukup penting)

7 Very Strong or Demostrated Importance (sangat kuat atau menunjukan kepentingannnya) 9 Extremely Importance (sangat penting) 2,4,6,8 Nilai antara untuk menilai kebalikannya

Atau dengan model pengamatan sederhana lainnya, intervel penilaian akan nampak seperti berikut:

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Sangat tidak penting

Kurang

penting Sedang Penting

Sangat penting

Dalam model AHP, langkah selanjutnya yang harus ditempuh adalah membuat matriks perbandingan (pair wise comparation). Cara ini digunakan untuk mengetahui elemen mana yang paling disukai atau paling penting setelah nilai persepsi dimasukkan untuk setiap perbandingan antara elemen-elemen yang berada dalam satu tingkatan. Bentuk matriknya adalah simetris atau biasa disebut dengan matriks bujursangkar. Apabila ada tiga elemen yang diperbandingkan dalam satu tingkatan maka matriksnya akan berbentuk 3 x 3. Ciri utama dari matriks perbandingan yang dipakai AHP adalah elemen diagonalnya dari kiri atas ke kanan bawah adalah satu karena yang diperbandingkan adalah dua elemen yang sama. Selain itu matriks yang terbentuk akan bersifat matriks resiprokal dimana elemen A lebih disukai dengan skala 3 dibandingkan elemen B, maka dengan sendirinya elemen B lebih disukai dengan skala 1/3 dibanding A. Dengan dasar kondisi-kondisi di atas dan skala standar input AHP dari 1 hingga 9, maka dalam matriks perbandingan terseebut angka terendah yang mungkin terjadi adalah 1/9, sedangkan angka tertinggi yang mungkin terjadi adalah 9/1.

Untuk mengukur bobot prioritas sebagai langkah selanjutnya tidaklah terlalu sulit. Saat ini telah dikembangkan program komputer perhitungan AHP yang mudah dan cepat. Hasil akhir dari perhitungan bobot prioritas tersebut merupakan suatu bilangan desimal dibawah satu (misalnya 0,01 sampai 0,99) dengan prioritas untuk elemen-elemen dalam satu kelompok sama dengan satu.

Konsistensi dalam AHP

Hal yang menarik dari model AHP adalah tidak adanya syarat konsistensi mutlak. Dasar dari teori utilitas manusia berangkat dari konsep ‘transitivity` dimana konsistensi 100% merupakan syarat mutlak. Apabila A lebih disukai daripada B dan B lebih disukai dari pada C maka sudah pasti A lebih disukai dari C. Pada kenyataannya, prinsip ini tidak dapat berlangsung sepenuhnya pada praktek kehidupan sehari-hari. Dapat saja C lebih disukai daripada A. Hal ini lebih banyak karena faktor-faktor non eksak yang ikut berperan didalamnya dan adanya persepsi dalam fikir manusia itu sendiri. Pengukuran konsistensi dalam model AHP dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah mengukur konsistensi setiap matriks perbandingan dan tahap kedua mengukur konsistensi keseluruhan hirarki. Pengukuran konsistensi matriks itu sendiri didasarkan atas suatu eigenvalue maksimum. Dengan eigenvalue maksimum, inskonsistensi yang biasa dihasilkan matriks perbandingan dapat diminimumkan.

Penyusunan modal AHP

Dalam model AHP dikenal adanya aksioma-aksioma yang dalam pengertiannya merupakan sesuatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya atau pasti terjadi. Misalnya, dalam ilmu ukur dikenal aksioma bahwa diantara dua titik hanya dapat dilewati sebuah garis lurus, atau matahari terbit di timur dan tenggelam di barat. Dalam model AHP ada empat buah aksioma yang harus diperhatikan. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan tidak validnya model yang dipakai yaitu :

Aksioma 1:

Aksioma 2:

Aksioma 3:

Aksioma 4:

Reciprocal Comparison

Pengambilan keputusan harus dapat membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensi itu sendiri harus memenuhi syarat resiprokal, yaitu kalau A lebih disukai dari B dengan skala x, maka B lebih disukai dari A dengan skala 1/x

Homogenity

Preferensi seseorang harus dapat dinyatakan skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya dapat dibandingkan satu sama lain. Kalau aksioma ini dipenuhi maka elemen-elemen yang diperbandingkan tersebut tidak homogen dan baru dibentuk suatu ‘cluster’ (kelompok elemen-elemen baru).

Independence

Preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada, melainkan oleh objektif secara keseluruhan. Ini menunjukan bahwa pola ketergantungan atau pengaruh dalam model AHP adalah searah ke atas. Artinya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu tingkatan dipengaruhi atau tergantung oleh elemen-elemen dalam tingkatan di atasnya.

Expectation

Tujuan pengambilan keputusan dalam struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengembilan keputusan tidak memakai seluruh kriteria dan atau objektif yang tersedia aau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.

Secara sederhana penggunaan model AHP akan mengikuti beberapa aktivitas seperti berikut ini:

a. Identifikasi Sistem

Identifikasi dimaksudkan untuk mencari faktor-faktor yang berpengaruh pada kondisi dalam penelitian ini. Dari seluruh faktor yang teridentifikasi, dipilih

beberapa faktor yang dominan. Prosesnya sendiri dilakukan dengan beberapa stakeholder yang terlibat dalam proyek ini.

b. Penyusunan Hirarki

Merupakan tahapan vital dari keseluruhan proses AHP, oleh karena itu dalam penyusunan harus benar-benar memberikan gambaran menyeluruh dari semua aspek yang dianalisis untuk dijadikan pedoman dalam penarikan kesimpulan. Pada prinsipnya penyusunan hirarki adalah untuk mengubah gambaran yang didapatkan pada identifikasi sistem ke dalam bentuk hirarki sesuai kaidah-kaidah AHP.

c. Penyusunan Kuesioner

Kuesioner dibuat berdasarkan hirarki yang telah disusun. Responden yang dipilih adalah responden yang ahli dalam bidang penelitian ini. Responden diminta untuk membandingkan setiap elemen dalam setiap tingkatan pada masing-masing hirarki. Untuk memudahkan permasalahan, kuesioner dibuat dalam bentuk tabel atau matriks perbandingan.

d. Penilaian Pendapat Individu

Setelah pengisian oleh responden kedalam matriks individu, langkah selanjutnya adalah menilai dari konsistensi kuesioner tersebut agar dapat dituangkan dalam penelitian dan bila perlu dilakukan perbaikan jawaban/pendapat dari responden tersebut.

e. Perhitungan Matriks Pendapat Gabungan

Seluruh responden yang matriks pendapat individunya konsisten, dicari rata- rata geometriknya. Hasil perhitungan ini merupakan pendapat gabungan dari seluruh responden. Matriks pendapat ini digunakan untuk memperoleh penilaian secara kelompok terhadap permasalahan yang telah disusun dalam hirarki.

f. Pengolahan Horisontal

Dilakukan untuk mencari nilai prioritas dalam setiap tingkatan hirarki. Nilai ini menunjukan bobot kepentingan setiap elemen pada suatu tingkatan terhadap elemen-elemen pada tingkatan diatasnya.

g. Pengolahan vertikal

Pengolahan ini dimaksudkan untuk mancari prioritas menyeluruh dari setiap tingkatan hirarki terhadap fokus hirarki. Nilai ini diperoleh melalui perkalian setiap vektor prioritas pada setiap tingkatan dengan vektor prioritas menyeluruh pada tingkatan di atasnya.

Secara umum tahapan pengambilan keputusan dengan metode AHP adalah sebagai berikut:

Gambar 4. Tahapan Pengambilan Keputusan dengan Metode AHP

Sumber : Saaty (1993) Mulai Identifikasi Sistem Pengisian Matriks Pendapat Individu CI :CR memenuhi Menyusun Matriks Gabungan Revisi Pendapat Pengolahan Vertikal Menghitung Vektor Prioritas Selesai

Penyusunaan Model AHP

Secara garis besar, aplikasi AHP dilakukan dalam dua tahap yaitu: Penyusunan hirarki dan evaluasi hirarki. Penyusunan hirarki yang lazim disebut dekomposisi hirarki memakai tiga proses berurutan dan saling berhubungan yaitu: identifikasi level, definisi konsep dan formulasi pertanyaan. Langkah pertama adalah mengidentifikasi level-level dan elemen-elemen yang akan ditempatkan dalam suatu level yang sama. Kemudian semua level dan elemen tadi didefinisikan dan dipakai dalam tahap formulasi pertanyaan. Langkah-langkah ini dianggap penting mengingat dari sinilah validitas dan keampuhan model dapat diuji. Pembentukan hirarki ini sendiri haruslah mencakup hal-hal yang relevan untuk menunjuk masalah yang ada senyata mungkin tetapi tidak terlalu berlebihan sehingga hirarki kehilangan sensitivitasnya terhadap perubahan-perubahan dari elemen. Pembentukan hirarki harus mempertimbangkan lingkungan di sekitar masalah. Selain itu penyusunan hirarki harus mampu mengidentifikasi asosiasi peserta terhadap masalah tersebut. Secara sederhana prosesnya akan nampak seperti dalam bagan berikut ini:

Identifikasi Tingkatan dan Elemen Definisi Konsep Formulasi Pertanyaan Pengisian Persepsi dan Prioritas Sintesa Konsistensi

Gambar 5. Langkah Penerapan Model AHP Dekomposisi (Penyusunan Hirarki)

Proses penyusunan hirarki untuk kepentingan penulisan thesis ini akan disampaikan sebagai berikut: Pertama, mengidentifikasikan tujuan keseluruhan pembuatan hirarki atau yang lazim disebut “goal’ atau ‘ultimate goal’. Kemudian, dilakukan penentuan kriteria-kriteria yang diperlukan atau kira-kira sesuai dengan tujuan keseluruhan. Kriteria ini terdiri dari syarat-syarat atau keadaan yang sekiranya dapat menunjang tercapainya sebuah “goal’ dan biasanya masih bersifat umum (general). Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan penambahan sub-sub kriteria di bawah setiap kriteria. Sub kriteria merupakan penjabaran lebih detail dari kriteria yang masih bersifat umum tersebut. Terakhir, identifikasi alternatif-alternatif yang akan dievaluasi dibawah sub-sub kriteria. Isinya dapat berupa atribut-atribut kriteria.

Pengelolaan situ optimal Konservasi (Pelestarian) Pemerintah Pusat Pendayagunaan (Pemanfaatan) Pengendalian daya rusak

Perencanaan Pelaksanaan Penegakan

Hukum Masyarakat Pemantauan dan Evaluasi Dunia Usaha Pemerintah Daerah Proses Penyelenggaraan Penataan Kawasan Situ

Pelaku yang berperan Tujuan

Penataan Kawasan Situ

Tujuan Akhir

Gambar 6. Kerangka AHP

3.6.3. Analisis Kelembagaan yang Mempengaruhi Kualitas Situ

Berdasarkan skenario yang dibuat oleh Agrawal (2002) maka analisis kelembagaan adalah sebagai berikut.

(1) Faktor Karakteristik Sumberdaya

f) Sumberdaya bersifat stabil dan mudah didelineasi

h) Tingkat pemanfaatan sumberdaya yang moderat

i) Dinamika sumberdaya relatif sudah dipahami dan teridentifikasi (2) Faktor karakteristik pengguna (CPRs appropriators)

d) Pengguna-pengguna yang memiliki tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi akan cenderung memiliki kesepakatan-kesepakatan bersama tentang pembatasan-pembatasan penggunaan sumberdaya.

e) Pengguna-pengguna yang memiliki saling keterkaitan dan resiprositas dalam rentang waktu yang lama akan mendorong kerjasama dan membangun social capital.

f) Heterogenitas pengguna terhadap realitas ekologis yang berlangsung menyusun ulang kesepakatan-kesepakatan yang ada

(3) Disain Kelembagaan (Institutional design)

Elemen-elemen esensial untuk suksesnya kelembagaan pengelola CPRs ditentukan oleh kemampuan dari CPRs appropriators untuk:

d) Berkomunikasi

e) Membuat peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya dengan baik f) Menerapkan penalti bagi perilaku pelanggaran aturan

(4) Faktor Luar

c) Politik (seperti UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air, UU Nomor 26 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 24 Tahun 2007 dan UU Nomor 5 tahun 1960).

d) Teknologi (aspek teknologi diasumsikan sejalan dengan pemahaman masyarakat tentang perilaku sehat seperti teknologi pembuangan sampah/limbah dan teknologi budidaya yang berkelajutan).

3.6.4. Analisis Perilaku

Analisi perilaku dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai siasat yang dilakukan oleh subyek-subyek yang dalam kerangka hukum melanggar atau mengkonstruksi ulang aturan main. Analisis perilaku ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam. Pertanyaan yang digali terkait dengan perubahan dalam perilaku dan perubahan yang diharapkan terjadi jika ada

perubahan kelembagaan dalam pengelolaan situ. Analisa perilaku melihat hubungan-hubungan antara peristiwa (apa yang terjadi, dimana, kapan, siapa yang terlibat dan mengapa), situasi (apa yang paling berharga bagi responden menyangkut berbagai peristiwa) dan konteks (yaitu apa yang diasosiasikan responden sebagai hubungan-hubungan yang bersifat kausal). Eksplorasi pertanyaan ini dapat dilakukan dengan metode transek, diagram venn, dan sejarah kawasan. Menyangkut rezim sumberdaya maka akan digali pengetahuan mereka mengenai tipologi rezim sumberdaya dan bagaimana mereka memperlakukan ‘property’ (stock and flow) sesuai dengan rezim sumberdaya.

Dokumen terkait