• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi pengindraan jauh untuk menduga suhu permukaan dan udara di lahan gambut dan mineral dengan menggunakan metode neraca energi: area study Sampit, Kalimantan tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi pengindraan jauh untuk menduga suhu permukaan dan udara di lahan gambut dan mineral dengan menggunakan metode neraca energi: area study Sampit, Kalimantan tengah"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

DESI. Application of Remote Sensing to Estimate Surface and Air Temperature in Peat and Mineral Soil by Using the Energy Balence Method (Case Study : Sampit, Central Kalimantan ). Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO.

Prediction using satellite imagery can be very useful if used to estimate the temperature in different regions with different land cover types. This study aims to analyze the surface and rising air temperatures in peat lands and minerals, with the energy balance approach using satellite image data TM / ETM +. The methodology undertaken is the determination of the study area, initial processing of satellite images that include: data import images, geometric correction, radiometric, land cover classification, extraction of surface temperature values and calculate the components of energy balance to determine the value of air temperature. The results showed that land use change on mineral and peat soil for 15 years resulted in increased surface temperatures and air temperatures. The range of average surface temperature as a whole in 1989 for mineral soil and peat (27-41) oC, In 2004 the surface temperature of the mineral soil (32-40) oC, and peat (29-35)

o

C, and the average value range of temperatures (25-36) oC. On the other hand detection of surface temperature using thermal bands of satellite imagery, should pay attention to aspects of the use of their land to avoid misinterpretation, because the condition of land cover types were very influential in the increase or decrease the temperature of the sector in a region.

Keywords : Land use change, surface temperature, air temperature, Mineral soil, Peat soil, Satellite Imagery

(2)

(Area Studi : Sampit, Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO.

Pendugaan menggunakan citra satelit dapat sangat bermanfaat jika digunakan untuk menduga suhu pada cakupan areal yang luas dengan berbagai tipe penutupan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk menduga dan menganalisis perubahan suhu permukaan dan udara pada lahan gambut dan mineral pada periode waktu tertentu, dengan metode pendekatan neraca energi menggunakan data citra satelit TM/ETM+. Metodelogi yang dilakukan adalah penentuan daerah studi penelitian, pemrosesan awal citra satelit yang meliputi : import data citra, koreksi geometrik, radiometrik, klasifikasi penutup lahan, menduga nilai suhu permukaan di setiap obyek klasifikasi di lahan gambut dan mineral berdasarkan pada nilai spektral termal dan menghitung nilai komponen neraca energi untuk mengetahui nilai suhu udara di atasnya. Hasil penelitian menunjukan perubahan penggunaan lahan di tanah mineral dan gambut selama 15 tahun mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu permukaan dan suhu udara. Kisaran nilai rata-rata suhu permukaan secara keseluruhan pada tahun 1989 untuk tanah mineral dan gambut (27-41) oC, tahun 2004 di tanah mineral (32-40) oC, di tanah gambut (29-35) oC, dan nilai kisaran rata-rata suhu udara yaitu (25-36) oC. Di sisi lain pendeteksian suhu permukaan menggunakan spektral radiasi thermal pada citra satelit harus memperhatikan aspek penggunaan lahannya untuk menghindari kesalahan interpretasi, karena perubahan suatu tipe penutupan lahan sangat berpengaruh terhadap terjadinya peningkatan atau penurunan suhu disuatu daerah.

Kata Kunci : Perubahan penggunaan lahan, Suhu permukaan, Suhu udara, Gambut, Mineral , Citra Satelit 

(3)

 

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Suhu menunjukkan gambaran umum energi kinetik suatu obyek, demikian juga dengan suhu udara. Oleh karena itu, tidak semua bentuk energi yang dikandung suatu obyek dapat diwakili oleh suhu. Sebagai contoh adalah energi panas laten udara. Suhu udara hanya menunjukkan kondisi atau manifestasi dari panas terasa. Energi panas terasa tergantung dari perbedaan suhu permukaan dan suhu udara, kerapatan udara, kapasitas panas udara, dan hambatan tahanan aerodinamisnya. Hal ini menggambarkan bahwa besarnya suhu udara dipengaruhi oleh beberapa hal tersebut. Suhu permukaan akan ditransfer ke udara dengan proses konveksi melalui media yang bernama udara. Jumlah energi yang ditransfer dipengaruhi oleh media yang dilaluinya.

Sifat fisik permukaan suatu obyek menentukan keadaan suhu permukaan dan suhu udara diatasnya, sehingga jenis tanah dan penggunaan lahan akan sangat mempengaruhi nilainya. Pada tutupan lahan bervegetasi di lahan gambut dan mineral akan mempunyai nilai suhu yang berbeda karena kedua mempunyai sifat fisik yang berbeda. Demikian juga jika pada kedua jenis lahan tersebut mengalami perubahan tutupan lahan, maka respon perubahannya juga akan berbeda. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan sifat fisik dari lahan dalam penerimaan radiasi matahari, dan kemampuan untuk melepaskan panas yang diterimanya dari radiasi matahari tersebut. Jika kedua jenis lahan tersebut terdapat dalam satu wilayah, maka keduanya akan membentuk kondisi suhu di wilayah tersebut dengan proporsi dan interaksi yang berbeda. Oleh karena itu di dalam penelitian ini akan dikaji interaksi antar penutupan lahan di tanah mineral dan gambut dalam suatu wilayah dalam membentuk kondisi suhu udara rata-rata di wilayah tersebut.

Banyaknya pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah memiliki dampak positif dan negatif, yaitu dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun sekaligus dapat mengancam kelestarian sumber daya alam, dan hilangnya habitat tempat sebagian flora dan fauna. Pada penelitian ini dikaji hubungan perubahan suhu dilahan gambut dan mineral berdasarkan perubahan tutupan lahan

untuk lebih memperhatikan jenis vegetasi dan tanah pada saat melakukan konversi hutan.

Pengukuran suhu permukaan dan udara dapat dilakukan secara langsung dan dapat diduga dari citra satelit. Pendugaan menggunakan citra satelit dapat sangat bermanfaat jika digunakan untuk menduga suhu pada cakupan areal yang luas dengan berbagai tipe penutupan lahan. Pada penelitian ini akan menganalisis hubungan antara suhu permukaan dan udara dengan metode neraca energi di lahan gambut dan mineral yang diduga dari citra satelit Landsat TM/ETM+.

Penghitungan neraca energi dapat juga dimanfaatkan untuk menentukan jenis tutupan lahan di suatu kawasan. Tipe tutupan lahan yang berbeda akan menghasilkan komponen neraca energi yang berbeda pula. Karena itu, dengan menggunakan metode neraca energi dapat pula diduga apakah di suatu kawasan terjadi perubahan penutupan lahan atau tidak. Perubahan penutupan lahan akan berimplikasi pada penurunan pada salah satu komponen neraca energi dan peningkatan pada komponen lainnya.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menduga suhu permukaan dan

udara di lahan gambut dan mineral dari data citra satelit landsat TM/ETM+ dengan menggunakan metode neraca energi.

2. Melakukan analisis perubahan suhu permukaan dan udara di lahan gambut dan mineral berdasarkan perubahan penutupan lahan yang terjadi di wilayah kajian dari tahun 1989-2004.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Citra dan Penggunaan

Lahan

(4)

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Suhu menunjukkan gambaran umum energi kinetik suatu obyek, demikian juga dengan suhu udara. Oleh karena itu, tidak semua bentuk energi yang dikandung suatu obyek dapat diwakili oleh suhu. Sebagai contoh adalah energi panas laten udara. Suhu udara hanya menunjukkan kondisi atau manifestasi dari panas terasa. Energi panas terasa tergantung dari perbedaan suhu permukaan dan suhu udara, kerapatan udara, kapasitas panas udara, dan hambatan tahanan aerodinamisnya. Hal ini menggambarkan bahwa besarnya suhu udara dipengaruhi oleh beberapa hal tersebut. Suhu permukaan akan ditransfer ke udara dengan proses konveksi melalui media yang bernama udara. Jumlah energi yang ditransfer dipengaruhi oleh media yang dilaluinya.

Sifat fisik permukaan suatu obyek menentukan keadaan suhu permukaan dan suhu udara diatasnya, sehingga jenis tanah dan penggunaan lahan akan sangat mempengaruhi nilainya. Pada tutupan lahan bervegetasi di lahan gambut dan mineral akan mempunyai nilai suhu yang berbeda karena kedua mempunyai sifat fisik yang berbeda. Demikian juga jika pada kedua jenis lahan tersebut mengalami perubahan tutupan lahan, maka respon perubahannya juga akan berbeda. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan sifat fisik dari lahan dalam penerimaan radiasi matahari, dan kemampuan untuk melepaskan panas yang diterimanya dari radiasi matahari tersebut. Jika kedua jenis lahan tersebut terdapat dalam satu wilayah, maka keduanya akan membentuk kondisi suhu di wilayah tersebut dengan proporsi dan interaksi yang berbeda. Oleh karena itu di dalam penelitian ini akan dikaji interaksi antar penutupan lahan di tanah mineral dan gambut dalam suatu wilayah dalam membentuk kondisi suhu udara rata-rata di wilayah tersebut.

Banyaknya pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah memiliki dampak positif dan negatif, yaitu dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun sekaligus dapat mengancam kelestarian sumber daya alam, dan hilangnya habitat tempat sebagian flora dan fauna. Pada penelitian ini dikaji hubungan perubahan suhu dilahan gambut dan mineral berdasarkan perubahan tutupan lahan

untuk lebih memperhatikan jenis vegetasi dan tanah pada saat melakukan konversi hutan.

Pengukuran suhu permukaan dan udara dapat dilakukan secara langsung dan dapat diduga dari citra satelit. Pendugaan menggunakan citra satelit dapat sangat bermanfaat jika digunakan untuk menduga suhu pada cakupan areal yang luas dengan berbagai tipe penutupan lahan. Pada penelitian ini akan menganalisis hubungan antara suhu permukaan dan udara dengan metode neraca energi di lahan gambut dan mineral yang diduga dari citra satelit Landsat TM/ETM+.

Penghitungan neraca energi dapat juga dimanfaatkan untuk menentukan jenis tutupan lahan di suatu kawasan. Tipe tutupan lahan yang berbeda akan menghasilkan komponen neraca energi yang berbeda pula. Karena itu, dengan menggunakan metode neraca energi dapat pula diduga apakah di suatu kawasan terjadi perubahan penutupan lahan atau tidak. Perubahan penutupan lahan akan berimplikasi pada penurunan pada salah satu komponen neraca energi dan peningkatan pada komponen lainnya.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menduga suhu permukaan dan

udara di lahan gambut dan mineral dari data citra satelit landsat TM/ETM+ dengan menggunakan metode neraca energi.

2. Melakukan analisis perubahan suhu permukaan dan udara di lahan gambut dan mineral berdasarkan perubahan penutupan lahan yang terjadi di wilayah kajian dari tahun 1989-2004.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Citra dan Penggunaan

Lahan

(5)

 

penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu penggunaan lahan pedesaan dalam arti yang luas, termasuk pertanian, kehutanan, cagar alam dan tempat rekreasi dan penggunaan; lahan perkotaan dan industri termasuk kota, komplek industri, jalan raya dan pertambangan. Salah satu aplikasi penginderaan jauh adalah klasifikasi penggunaan lahan.

Klasifikasi data adalah suatu proses dimana semua pixel dari suatu citra yang mempunyai penampakan spektral yang sama akan diidentifikasikan. Sebagai contoh suatu citra Landsat TM dengan tujuh buah informasi band dapat diklasifikasi untuk mengidentifikasi lingkupan hutan atau tata guna lahan. Kita mempunyai sejumlah pilihan untuk membuat suatu klasifikasi, kita dapat memilih jenis keluaran yang diinginkan dan juga pengolahan data yang diinginkan. Dalam proses klasifikasi kita akan membuat suatu data set klasifikasi atau suatu algoritma dari tiap-tiap baris yang mempresentasikan suatu kelas.

Secara digital klasifikasi citra dapat dilakukan secara terbimbing (supervised classification) dan tak terbimbing (unsupervised classification)

• Klasifikasi terbimbing (supervised classification). Klasifikasi terbimbing menggunakan informasi untuk membuat training sites yang akan dikategorikan menjadi kelas-kelas tertentu. Prosesnya dengan pemilihan training site yang representatif dalam bentuk poligon.

• Klasifikasi tak terawasi (unsupervised classification). Klasifikasi terbimbing dengan proses pengklasan secara otomatis dilakukan oleh komputer sampai menghasilkan pengelompokan akhir gugus-gugus spectral.

Klasifikasi tidak terbimbing (Unsupervised classifications) merupakan salah satu dari dua metode yang digunakan untuk mentransformasikan citra multispektral menjadi informasi tematik kelas penutup lahan. Prosedur umumnya mengasumsikan bahwa citra dari area geografis tertentu adalah di kumpulkan pada multi region dari spectrum elektromagnetik. Dengan menggunakan metode ini, program klasifikasi mencari pengelompokan secara natural atau

clustering berdasarkan sifat spectral dari setiap pixel.

Hasil klasifikasi merupakan kelas-kelas spektral yang belum diketahui identitasnya, karena didasarkan hanya pada pengelompokan secara natural. Pada software ErMapper teknik ini menggunakan iterasi otomatis sehingga lebih mudah digunakan. Pengguna hanya memasukkan parameter banyak kelas yang dinginkan dan minimum standar deviasi masing masing kelas pada dialog box yang tersedia.

2.2 Klasifikasi Lahan Berdasarkan Jenis Tanah

Lahan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia karena lahan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Lahan mengacu pada muka tanah sebagai ruang berukuran panjang kali lebar (berdimensi dua). Lahan mempunyai pengertian yang lebih luas dari tanah, lahan merupakan lingkungan fisis dan biotik yang berkaitan dengan dukungnya terhadap perikehidupan dan kesejahteraan hidup manusia. Lingkungan fisis berupa relief, topografi, iklim, tanah, dan air. Sementara lingkungan biotik berupa hewan, tumbuhan, dan manusia. itu artinya lahan lebih mengacu pada fungsi sosial tanah (Brandyk et al. 2001).

2.2.1 Tanah Mineral

(6)

2.2.2 Tanah Gambut

Lahan Gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 50%) dengan ketebalan 80 cm teratas (Andriesse 1988), dan merupakan tempat penyimpanan karbon yang sangat penting. Tanah gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.

Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik. Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai. Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatera relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan.

Gambar 1 Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c. pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen (Noor 2001 mengutip van de Meene 1982).

Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:

Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air hujan. Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.

2.3 Suhu Permukaan dan Udara

Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek. sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan, dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya belum tentu sama. Hal ini tergantung pada sifat fisik objek pada permukaan tersebut. Sifat fisis objek tersebut diantaranya : emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal. Suatu objek di permukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah, sedangkan konduktivitas thermalnya tinggi akan menyebabkan suhu permukaannya meningkat.

Hal sebaliknya terjadi pada suatu objek yang memiliki emisivitas dan kapasitas jenis yang tinggi sedangkan konduktivitas thermalnya rendah akan menyebabkan lebih rendahnya suhu permukaan. Suhu permukaan akan mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara. (Lessard R 1994).

(7)

 

berkas cahaya jatuh tegak lurus, yakni pada waktu tengah hari (Lessard 1994).

Suhu permukaan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit yang diekstrak dari band 6 thermal. Dimana dalam remote sensing suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai suhu permukaan rata-rata dari suatu permukaan, yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda.

2.4 Neraca Energi

Neraca energi di dekat permukaan adalah penentu utama dari pembentukan cuaca/iklim. Merupakan kesetimbangan dinamis antara masukan energi dari matahari dengan kehilangan energi oleh permukaan setelah melelui proses-proses yang kompleks. Selisih antara masukan (gelombang panjang yang datang) dan keluaran (gelombang panjang dan gelombang pendek yang keluar) disebut radiasi netto (Rn). Pada siang hari Rn bernilai positif dan H, G, dan E negatif (meninggalkan permukaan) dan pada malam hari Rn bernilai negatif dan sebagian E (penguapan) bernilai negatif, sedangkan H, G, dan E (pengembunan) bernilai positif.

Gambar 2 Ilustrasi neraca energi. (http://www.grida.no/pub lications/other/ipcc_tar)

Konsep neraca energi dapat diperhatikan jumlah energi yang mengalir antara benda-benda di permukaan, sedangkan selisih antara masukan (input) dan keluaran (output) pada sistem tersebut merupakan energi yang digunakan atau

tersimpan (De Rozari 1991). Albedo (α) merupakan rasio antara radiasi yang dipantulkan oleh permukaan dengan radiasi yang sampai di permukaan tersebut. Albedo merupakan faktor yang menentukan besarnya radiasi netto yang diterima oleh suatu permukaan. Semakin kecil nilai albedo suatu permukaan maka semakin besar radiasi gelombang pendek yang akan diterima. Besar albedo akan berbeda untuk jenis permukaan yang berbeda, bahkan untuk jenis permukaan yang sama besarnya albedo juga bisa berbeda Besarnya albedo suatu permukaan akan ditentukan oleh sifat fisik permukaan tersebut, sudut datang radiasi matahari, sifat radiasi permukaan, dan kondisi atmosfer. Sifat fisik permukaan yang mempengaruhi besarnya albedo diantaranya adalah warna, kandungan air dan kekasaran permukaan. Perawanan dan kandungan aerosol atmosfer juga mempengaruhi besar albedo.

Tabel 1 Albedo berbagai jenis permukaan

Surface Albedo (%)

Fine sandy soil 37

Dark black soil 14

Moist black soil 8

Decidious forest 17

Pine forest 14

Prairie 12-13

Desert scrubland 20-29

Forest 10-20

Sea ice 36

Cotton 20-22

Grass (dry) 31-33

Grass (green) 26

Lettuce 22 Lucerne 23-32 Maize 16-23 Rice 11-21

Sugar beet 18

Rye 11-21

Wheat 16-23

(8)

Tabel 2 Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan

Penutup

Lahan Albedo (Unitless)

Min Max Mean

Hutan alam 0.043 0.056 0.051 Agroforest Karet 0.048 0.058 0.052 Monokultur

Karet

0.051 0.065 0.053

P. Kelapa Sawit 0.052 0.070 0.060 Semak Belukar 0.057 0.077 0.064 T. Paku-Pakuan 0.057 0.077 0.067

Sawah 0.066 0.090 0.077

Pemukiman 0.070 0.140 0.093 Badan Air 0.141 0.257 0.190 Sumber: Setiawan (2006)

2.5 Pengindraan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai sebuah objek, area atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari alat yang tidak bersentuhan langsung dengan objek, area atau fenomena yang sedang diamati Lillesand dan Kiefer (1997). Prinsip dasar penginderaan jauh adalah perekaman informasi dengan menggunakan matahari dan sumber energi dalam sensor sebagai sumber tenaga. Radiasi yang dipancarkan oleh matahari atau sumber energi lainnya akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi dan atmosfer dalam bentuk reflektansi permukaan. Hasil pantulan tersebut akan direkam oleh sensor satelit. Hasil perekaman tersebut akan digunakan dalam proses pengolahan data untuk memperoleh informasi tentang permukaan bumi.

2.5.1 Citra Satelit Landsat

Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat. Sensor Thematic Mapper mengamati obyek-obyek di permukaan bumi dalam 7 band spektral, yaitu band 1, 2 dan 3 adalah sinar tampak (visible), band 4, 5 dan 7 adalah infra merah dekat, infra merah menengah, dan band 6 adalah infra merah termal yang mempunyai resolusi spasial 120 x 120 m. Luas liputan satuan citra adalah 175 x 185 km pada permukaan bumi. Landsat 5 mempunyai kemampuan untuk meliput daerah yang sama pada permukaan bumi pada setiap 16 hari, pada Kemampuan

ketinggian orbit 705 km (Sitanggang, 1999 di acu dalam Ratnasari 2000).

Satelit Landsat-7 mengorbit pada ketinggian 705 km, sun synchronous, dan memetakan bumi dengan siklus pengulangan 16 hari sekali. Sistem Landsat-7 dirancang untuk bekerja 7 band atau kanal energi pantulan (band 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8) dan satu band energi emisi band 6, (tabel 2). Data ETM+ yang dikalibrasi dengan baik dapat diolah untuk mengubah energi surya yang dikumpulkan oleh sensor menjadi nilai radiance. Sensor ETM+ bekerja pada 3 resolusi, yaitu 30 meter untuk band 1-5, dan 7, 60 meter untuk band 6, dan 15 meter untuk band 8. Luas cakupan citra Landsat adalah sekitar 185 km x 185 km.

BAB III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2010. Lokasi yang dijadikan sebagai daerah kajian penelitian adalah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur 02º 32’ LS 112º 58’ BT, provinsi Kalimantan Tengah. Pengolahan data dilakukan di laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Udara Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

3.2 Data dan Alat Penelitian 3.2.1 Data yang digunakan

• Data citra Landsat 5 TM Path/Row 119/062, 7 Februari 1989. Data citra Lansat 7 ETM+ Path/Row 119/062, 19 Agustus 2004 diperoleh dari web: http://glovis.usgs.gov/. Peta dasar wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur . Peta sebaran lahan gambut oleh Wetlands International , Indonesia Program, 2002.

3.2.2 Alat yang digunakan

• PC (Personal Computer), Software Ms. Excel dan Ms. Word 2007

Software Er Mapper

Software ini digunakan untuk analisis Suhu permukaan dan suhu udara dengan metode perhitungan suhu permukaan dan komponen neraca energi.

Sofware Arc View Gis 3.3 with full extenxion

(9)

 

Tabel 2 Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan

Penutup

Lahan Albedo (Unitless)

Min Max Mean

Hutan alam 0.043 0.056 0.051 Agroforest Karet 0.048 0.058 0.052 Monokultur

Karet

0.051 0.065 0.053

P. Kelapa Sawit 0.052 0.070 0.060 Semak Belukar 0.057 0.077 0.064 T. Paku-Pakuan 0.057 0.077 0.067

Sawah 0.066 0.090 0.077

Pemukiman 0.070 0.140 0.093 Badan Air 0.141 0.257 0.190 Sumber: Setiawan (2006)

2.5 Pengindraan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai sebuah objek, area atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari alat yang tidak bersentuhan langsung dengan objek, area atau fenomena yang sedang diamati Lillesand dan Kiefer (1997). Prinsip dasar penginderaan jauh adalah perekaman informasi dengan menggunakan matahari dan sumber energi dalam sensor sebagai sumber tenaga. Radiasi yang dipancarkan oleh matahari atau sumber energi lainnya akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi dan atmosfer dalam bentuk reflektansi permukaan. Hasil pantulan tersebut akan direkam oleh sensor satelit. Hasil perekaman tersebut akan digunakan dalam proses pengolahan data untuk memperoleh informasi tentang permukaan bumi.

2.5.1 Citra Satelit Landsat

Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat. Sensor Thematic Mapper mengamati obyek-obyek di permukaan bumi dalam 7 band spektral, yaitu band 1, 2 dan 3 adalah sinar tampak (visible), band 4, 5 dan 7 adalah infra merah dekat, infra merah menengah, dan band 6 adalah infra merah termal yang mempunyai resolusi spasial 120 x 120 m. Luas liputan satuan citra adalah 175 x 185 km pada permukaan bumi. Landsat 5 mempunyai kemampuan untuk meliput daerah yang sama pada permukaan bumi pada setiap 16 hari, pada Kemampuan

ketinggian orbit 705 km (Sitanggang, 1999 di acu dalam Ratnasari 2000).

Satelit Landsat-7 mengorbit pada ketinggian 705 km, sun synchronous, dan memetakan bumi dengan siklus pengulangan 16 hari sekali. Sistem Landsat-7 dirancang untuk bekerja 7 band atau kanal energi pantulan (band 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8) dan satu band energi emisi band 6, (tabel 2). Data ETM+ yang dikalibrasi dengan baik dapat diolah untuk mengubah energi surya yang dikumpulkan oleh sensor menjadi nilai radiance. Sensor ETM+ bekerja pada 3 resolusi, yaitu 30 meter untuk band 1-5, dan 7, 60 meter untuk band 6, dan 15 meter untuk band 8. Luas cakupan citra Landsat adalah sekitar 185 km x 185 km.

BAB III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2010. Lokasi yang dijadikan sebagai daerah kajian penelitian adalah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur 02º 32’ LS 112º 58’ BT, provinsi Kalimantan Tengah. Pengolahan data dilakukan di laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Udara Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

3.2 Data dan Alat Penelitian 3.2.1 Data yang digunakan

• Data citra Landsat 5 TM Path/Row 119/062, 7 Februari 1989. Data citra Lansat 7 ETM+ Path/Row 119/062, 19 Agustus 2004 diperoleh dari web: http://glovis.usgs.gov/. Peta dasar wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur . Peta sebaran lahan gambut oleh Wetlands International , Indonesia Program, 2002.

3.2.2 Alat yang digunakan

• PC (Personal Computer), Software Ms. Excel dan Ms. Word 2007

Software Er Mapper

Software ini digunakan untuk analisis Suhu permukaan dan suhu udara dengan metode perhitungan suhu permukaan dan komponen neraca energi.

Sofware Arc View Gis 3.3 with full extenxion

(10)

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan dua analisis yaitu analisis suhu permukaan, analisis komponen neraca energi untuk mengetahui nilai suhu udara.

3.3. 1 Analisis Suhu Permukaan 3.3.1.1 Pengolahan Awal Citra Satelit

1. Koreksi Geometrik dan

Radiometrik :

Koreksi geometrik dilakukan untuk meminimalisasi error atau kesalahan geometri dari citra satelit yang terdistorsi karena perbedaan sistem koordinat dan datum. Koreksi Radiometrik dilakukan untuk menghilangkan error atau kesalahan nilai spektral citra satelit yang disebabkan oleh proses penyerapan, penghamburan dan pemantulan di atmosfer selama proses akuisisi citra satelit

2. Cropping Wilayah Kajian

Cropping bertujuan untuk mengefisienkan besarnya citra satelit yang akan diolah. Metode yang digunakan adalah metode sub-sampling image dengan memotong wilayah kajian dengan data vektor.

3. Klasifikasi Penutup Lahan

Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing atau Unsupervised Classification.

.

Gambar 3 Proses Klasifikasi Unsuvervised (Harry et al, 2002).

Pada citra Landsat 1989, 2004, untuk lansat ETM+ dibagi menjadi 6 kelas untuk mendapatkan penutup lahan diantaranya : hutan primer, hutan sekunder, badan air, perkebunan, lahan terbuka, semak belukar,

sedangkan landsat TM hanya dibagi menjadi 5 kelas.

3.3.1.2 Estimasi Suhu Permukaan

Untuk mengestimasi suhu permukaan dari citra satelit Landsat TM/ETM+ digunakan band 6. Band 6 yang memiliki panjang gelombang 10.40 - 12.50 m, juga memiliki fungsi sebagai band thermal infrared. Adapun tahap yang dilakukan untuk mendapatkan nilai suhu permukaan adalah sebagai berikut ;

1. Konversi Nilai Digital Number ke Dalam Nilai Spectral Radiance

Suhu kecerahan dihitung dengan menggunakan nilai spectral radiance yang diperoleh dari nilai digital number USGS (2002), persamaannya adalah :

L = Gain * QCAL + Offset...(1)

( ) () ) ( ) ( i MIN MIN MAX MIN MAX i MIN i MAX L QCAL QCAL QCAL QCAL L L

L ⎟⎟× − +

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − − = χ ...(2) Dimana :

L = Spectral radiance pada kanal ke i (Wm-2sr-1μm-1) QCAL = Nilai digital number kanal

ke i

LMIN = Nilai minimum spectral radiance kanal ke i

LMAX = Nilai maximum spectral radiance kanal ke i

QCALMIN = Minimum pixel value QCALMAX= Maximum pixel value (255)

2. Konversi Nilai Spectral Radiance (Lλ) ke Dalam Brightness Temperature (TB)

Persamaan yang digunakan mengikuti hubungan yang sama dengan persamaan Planck dengan dua konstanta kalibrasi. Konstanta kalibrasi data citra landsat K1= 666.09 Wm-2sr-1μm-1 dan K2 =

1282.71K untuk landsat ETM sedangkan untuk landsat TM, K1= 607,76 Wm-2sr-1μm-1

dan K2 = 1260.56K, USGS ( 2002).

2 1 ln 1 B K T K Lλ = ⎛ ⎞ + ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ …... ...(3)

Di dalam software Er-Mapper formula yang digunakan untuk mengestimasi brightness temperature (TB) didasarkan pada

(11)

 

TB = (1282.71/log (1+666.09) / (17.04/255)

*i1)))-273.15 ...(4)

3. Koreksi Emisivitas

Untuk mendapatkan suhu permukaan dari citra landsat ETM+, perlu dikoreksi dengan emisivitas benda melalui persamaan (Weng 2001) :

ε

λ

ln

1

)

(

+

=

TB

T

koreksi

T

B s …...(5) Dimana :

Ts = Suhu permukaan yang terkoreksi (K)

λ

= Panjang gelombang radiasi emisi

(11.5 µm)

= hc/ (1.438 x 10-2 mK)

h = Konstanta Planck (6.26x10-34 J sec) c = Kecepatan cahaya (2.998 x 108 m

sec-1) ε = Emisivitas

= Konstanta Stefan Boltzman (1.38 x 10-23 JK-1)

Nilai emisivitas untuk lahan non vegetasi yaitu sekitar 0.92, untuk lahan vegetasi sekitar 0.95, dan nilai emisivitas untuk air sekitar 0.98 (Weng 2001).

3.3.2 Analisis Komponen Neraca Energi

Komponen neraca energi terdiri dari albedo, radiasi netto, fluks pemanasan permukaan (G), fluks pemanasan udara (H), fluks pemanasan laten (

λ

E), dan fluks radiasi untuk fotosintesis tumbuhan. Namun dalam penelitian ini hanya mengkaji albedo, fluks pemanasan permukaan (G) dan radiasi netto .

3.3.2.1 Radiasi Gelombang Pendek dan Albedo

Energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan, dapat diduga dari sensor satelit yang menerima kisaran panjang gelombang pendek. Pada citra satelit landsat kisaran panjang gelombang pendek diterima oleh kanal visible (1, 2 dan 3). Persamaan yang digunakan mengikuti persamaan (2), dengan nilai QCAL, LMIN dan LMAX untuk band 1, 2, dan 3.

Nilai spectral radiance untuk kanal 1, 2, dan 3 adalah sebagai berikut (Khomarudin 2005) :

Kanal 1 ; low gain ; L = 1.17 DN –6.2 high gain ; L = 0.775 DN – 6.2

Kanal 2 ; low gain ; L = 1.205 DN – 6.4 high gain ; L = 0.796 DN – 6.4 Kanal 3 ; low gain ; L = 0.939 DN – 5 high gain ; L = 0.619 DN – 5

Albedo (α) merupakan perbandingan jumlah radiasi yang dipantulkan dengan jumlah energi radiasi surya yang diterima oleh suatu permukaan. Energi yang dipantulkan oleh suatu permukaan memiliki panjang gelombang yang pendek, sehingga sensor yang digunakan untuk menghitung albedo adalah sensor yang menerima panjang gelombang pendek. Pendugaan albedo dari citra landsat dalam (USGS 2002) dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti ; jarak astronomi bumi-matahari (d), rata-rata nilai solar spectral irradiance pada kanal tertentu (ESUN ), spectral radiance (L ), dan sudut zenith matahari (Cos Ө), yang dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan USGS ( 2002):

2

. .

. L d ESU N C os

λ

λ

π

α

θ

= ...(6)

Tabel 3

Parameter perhitungan albedo

Parameter Band 1 Band 2 Band 3

Sudut elevasi matahari

Irradiasi matahari

Jarak bumi ke matahari

58o32’

1969

1.03368

58o32’

1840

1.03368

58o32’

1551

1.03368

Sumber : USGS (2002)

Untuk menghitung nilai d2 perlu diketahui JD (julian Day) artinya jumlah hari dalam satu tahun yang dihitung dari tanggal 1 Januari sampai tanggal akuisisi data citra satelit pada tahun yang bersangkutan. Persaman yang digunakan (Hermawan 2005) :

d2 = (1-0.01674.Cos(0.9856 (JD-4)))2...(7)

(12)

permukaan dapat diperoleh dengan persamaan USGS (2002) :

s

R

↓=

R

s

α

... ………...(8)

¾ Konversi Satuan

Satuan energi radiasi surya yang digunakan adalah Wm-2. Satuan tersebut menggambarkan satuan radiasi surya sesaat (kerapatan fluks) yang berhasil direkam oleh citra satelit Landsat dalam waktu sesaat. Namun satuan untuk total energi radiasi gelombang pendek hasil estimasi dengan penginderaan jauh masih dinyatakan dalam satuan Wm-2steradian-1 m-1. Satuan tersebut menyatakan laju perpindahan energi (W, Watts) yang terekam oleh sensor per m-2 luas permukaan, untuk 1 steradian (sudut tiga dimensi dari sebuah titik di permukaan bumi ke sensor satelit) per unit panjang gelombang dalam satu kali pengukuran.

Agar nilai energi radiasi surya hasil estimasi penginderaan jauh bisa dilakukan perhitungan lebih lanjut dengan parameter lainnya, maka harus dilakukan konversi dari Wm-2steradian-1 m-1 menjadi satuan energi Wm-2. Untuk mengembalikan nilai menjadi radiasi yang tidak tergantung pada sifat lengkung permukaan bumi, maka nilai radiasi merupakan fungsi dari nilai irradians yang terbebas dari besaran arah (radiasi isotropic). Fungsi perhitungan adalah integral terhadap dΩ yang menghasilkan persamaan berikut (Hermawan 2005) :

E= πd2

……..………...(9)

Dimana : π = 3.14

d2 = Jarak bumi matahari dalam satuan astronomi.

Untuk menghilangkan unsur panjang gelombang ( m-1) maka perlu dikalikan dengan nilai tengah panjang gelombang dari masing -masing kanal.

¾ Radiasi Gelombang Panjang

Radiasi gelombang panjang yang dipancarkan oleh permukaan bumi dapat diturunkan dari persamaan Stefan Boltzman, dimana ε = emisivitas, σ =Tetapan Stefan-Boltzman (5.67x10-8 Wm-2 K-4) dan Ts merupakan suhu permukaan objek (K).

L

R =

εσ

T

S4 …...(10)

Radiasi gelombang panjang yang datang sangat kecil bila dibandingkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Karena data citra satelit landsat ETM+ yang diperoleh untuk penelitian ini tidak memiliki penutupan awan, sehingga besarnya radiasi matahari yang diemisikan dari awan sangat kecil. Untuk nilai radiasi gelombang panjang, hanya diambil nilai radiasi gelombang panjang yang dipancarkan dari permukan bumi.

3.3.2.2 Radiasi Netto

Radiasi Netto adalah jumlah energi radiasi gelombang pendek yang datang dikurangi dengan radiasi gelombang panjang yang keluar ditambah energi radiasi gelombang panjang yang datang dan dikurangi energi gelombang panjang yang keluar. Persamaan untuk menghitung radiasi netto adalah sebagai berikut.

Rn = Rsin + Rlin – Rsout – Rlout ...(11) Rn = (1 - α)Rs + Rl - ε (Ts + 273.16) 4...(12)

Dimana Rn adalah Radiasi netto (MJ m-2 hari-1), Rsin adalah radiasi gelombang pendek yang datang, Rlin adalah radiasi gelombang panjang yang datang, Rsout adalah radiasi gelombang pendek yang keluar, Rlout adalah radiasi gelombang panjang yang keluar, Rs adalah radiasi gelombang pendek yang datang (MJ m-2 hari-1), Rl adalah Radiasi gelombang panjang yang datang (MJ m-2 hari-1) (Swinbank 1963) tergantung dari suhu udara dan dibedakan pada kondisi berawan dan tidak berawan, α adalah albedo permukaan (diduga dari data satelit), Ts adalah suhu permukaan (K) (diduga dari data satelit), ε adalah emisivitas permukaan dibedakan untuk vegetasi sebesar 0,95 dan untuk non vegetasi sebesar 0,92 (Weng 2001), dan adalah tetapan Stefan Bolztman (4,90 X 1019 m-2 hari-1K-4).

3.3.2.3 Fluks Pemanasan Tanah (Soil Heat Flux)

(13)

 

Pada penelitian ini nilai Fluks pemanasan tanah ditentukan dari persentase radiasi netto yang di terima oleh suatu permukaan/penutup lahan seperti ditunjukan oleh Tabel 3.

Tabel 4 Tabel proporsi untuk penentuan G Penutup

Lahan

Rn G Proporsi

Tambak 212 15 0.07

Sawah Vegetasi

208 17 0.08

Sawah bera 195 20 0.10

Industri 194 21 0.11

Perkotaan 194 20 0.10

Perdesaan 201 19 0.10

Belukar 207 18 0.09

Perkebunan 213 16 0.08

Sumber : Khomarudin (2005)

3.3.2.4 Fluks Pemanasan Udara (H)

Fluks pemanasan udara (H) merupakan energi yang terkonversi dari radiasi netto untuk proses pemanasan atmosfer sekitarnya Monteith dan Unsowrth (1990)

H =

(

)

β

β

+

1

G

R

n

…... (13)

Tabel 5 Nilai β pada beberapa penutup

Sumber : * Oliver (1973), ** Khomarudin (2005) 3.3.3 Estimasi Suhu Udara

Suhu udara dapat diduga dari nilai Sensible Heat Flux Montheith dan Unsworth (1990). persamaan untuk menentukan suhu udara (Ta) sebagai berikut :

Ta = s aH

air p H r T

C

ρ

⎛ ⎞

− ⎜

⎝ ⎠

... (14)

Dimana :

H = Fluks Pemanasan Udara (Wm-2) ρair = Kerapatan Udara Lembab (1.27 kg

m-3)

Cp = Panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 J Kg-1 K-1)

Ts = suhu permukaan (K) Ta = Suhu udara (K)

raH = Tahanan aerodinamik (ms-1 )

Tahanan aerodinamik merupakan fungsi dari kecepatan angin. Semakin besar kecepatan angin, maka tahanan aerodinamik yang menghambat fluks panas akan semakin kecil. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan (Brown dan Rosenberg 1974, dalam Hermawan 2005), tahanan aerodinamik memiliki persamaan :

raH = 31.9 u -0.96...(15)

Kecepatan angin normal pada ketinggian 1-2 m, yaitu sekitar 2 ms-1 . Pada penelitian ini nilai kecepatan angin dibedakan pada tiga penutup lahan yaitu ; air (2.01 ms-1), non vegetasi (1.79 ms-1) dan vegetasi (1.41 ms-1), (Khomarudin 2005).

Penutup lahan Bowen Ratio (β)

Pemukiman* Perkebunan ** Air **

Sawah ** Hutan Tropis *

(14)

Gambar 4 Diagram alir penelitian.

Analisis Suhu Permukaan dan udara dengan jenis lahan Gambut dan Mineral

Regristrasi, Digitasi Peta

Gambut

(15)

11 

 

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Klasifikasi dan Perubahan Penutupan

Lahan

Analisis yang dilakukan pada penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tipe penutupan lahan yang mendominasi serta lokasi lahan gambut dan mineral di daerah Kabupaten Sampit, dan menganalisis perubahan penutupan lahan yang terjadi selama periode 15 tahun yang digunakan sebagai acuan untuk analisis penggunaan lahan selanjutnya serta pengaruhnya bterhadap peningkatan suhu di Sampit.

4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan

Data citra yang digunakan adalah citra Landsat 5 TM Path/Row 119/062, akusisi 7 Februari 1989 dan Lansat 7 ETM+ Path/Row 119/062, akusisi 19 Agustus 2004. Proses pengambilan area studi menggunakan metode cropping area dan band yang digunakan yaitu band 1, 2,3 karena band 1, 2, dan 3 pada data landsat dapat digunakan untuk menganalisis klasifikasi daerah baik itu jenis vegetasi, dan badan air. dimana spesifikasi ke 3 band tersebut yaitu, band1 dirancang untuk penetrasi kedalam tubuh air, pemetaan perairan pantai, juga berguna untuk pembedaan jenis tanah /vegetasi, pemetaan tipe hutan, band 2 mengukur puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau, yang berguna untuk melihat perbedaan vegetasi dan tingkat kesuburan dan band 3 untuk mengetahui wilayah serapan klorofil yang berguna untuk pembedaan spesies tanaman . Pengambilan area studi dilakukan dengan data vektor lokasi kecamatan Mentaya Hilir Utara, Mentaya Hilir Selatan, Baamang, Pulau Hanaut dan Ketapang, yang merupakan kecamatan yang berada di Kabupaten Sampit. Kemudian di-overlay dengan data citra satelit Landsat ETM+/TM path/row : 119/062. Gambar 4 dan 5 menyajikan citra satelit setelah mengalami analisis citra dasar dan cropping studi area. Setelah proses crooping maka dilakukan proses klasifikasi .

Prosedur klasifikasi tak terbimbing umumnya mengasumsikan bahwa citra dari area geografis tertentu adalah di kumpulkan pada multi region dari spektrum elektromagnetik, dengan menggunakan metode ini, program klasifikasi mencari pengelompokan secara natural atau clustering berdasarkan sifat spektral dari

setiap pixel. Hasil klasifikasi merupakan kelas-kelas spektral yang belum diketahui identitasnya, karena didasarkan hanya pada pengelompokan secara natural. Peneliti harus membandingkan dengan data referensi, yaitu data peta penggunaan lahan Kotimkab (2002) dan membandingkan dari google earth, dengan demikian kelas-kelas spektral tersebut dapat diberikan identitasnya. Proses selanjutnya adalah memberi identitas penutup lahan dan warna yang berbeda dari masing-masing kelas pada citra.

4.1.2 Perubahan Penutupan Lahan

Penutupan lahan untuk wilayah kabupaten sampit dalam penelitian ini yaitu akan dibahas untuk Kecamatan Mentaya hilir utara, Mentaya hilir selatan, Baamang, Ketapang dan Pulau Hanaut. Klasifikasi dibagi 5 kelas untuk tahun 1989 dan 6 kelas untuk tahun 2004. Klasifikasi tersebut membagi daerah kajian menjadi 6 tipe tutupan lahan yaitu; hutan primer, hutan sekunder, perkebunan (kelapa sawit dan karet), semak belukar, badan air, dan lahan terbuka (Gambar 4 dan 5).

Klasifikasi penutupan lahan pada tahun 1989 didominasi oleh vegetasi hutan sekunder yakni hutan - hutan yang merupakan hasil regenerasi (pemulihan) setelah sebelumnya mengalami kerusakan ekologis yang cukup berat; misalnya akibat pembalakan, kebakaran hutan, atau pun bencana alam, dan hutan primer yang merupakan hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya,dan pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang-batang pohon mati yang masih tegak, tunggul, serta kayu-kayu rebah. Luasan untuk masing-masing tutupan lahan hutan primer dan sekunder yaitu seluas 110205.72 Ha dan 130246.02 Ha.

(16)
(17)

13 

 

(18)

Tahun 2004, sebesar 12198.33 Ha dari tutupan semak belukar tahun 1989 sudah hilang . Masing - masing areal perkebunan telah menggantikan tutupan lahan semak belukar . Penutupan lahan tebuka juga mengalami perubahan luasan 22101.93 Ha menjadi 28632.24 Ha. Kedua jenis penutup lahan ini banyak ditemukan di Kecamatan ketapang dan mentaya hilir utara, ( Gambar 4 dan 5). Informasi luasan penutup lahan untuk masing-masing penutup lahan hasil klasifikasi (berdasarkan satuan hektar dan persentase) terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6 Klasifikasi penutupan lahan di Kabupaten Sampit pada tahun 1989 dan 2004

Penutup Lahan

Luas Area tahun 1989 (Ha)

Luas Area tahun 2004 (Ha)

Hutan

Primer 110205.72 73037. 16

Hutan

Sekunder 130246.02 97510.50

Perkebunan 73224. 10 107706.42

Lahan

Terbuka 22101.93 28632.24

Semak

Belukar 14849.37 2651.04

Badan air - 73970.01

Luasan pada masing-masing penutup lahan di atas tidak sepenuhnya menunjukan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hasil luasan pada masing-masing penutup lahan dipengaruhi oleh beberapa kesalahan perhitungan seperti faktor error secara spasial ketika proses klasifikasi penutup lahan dilakukan sehingga perlu dilakukan ground cek ke lapangan.

4.2 Distribusi Suhu Permukaan

Pendugaan suhu permukaan terkoreksi pada penelitian ini menggunakan persamaan (Weng 2001) dengan asumsi yang digunakan nilai emisivitas untuk lahan non vegetasi yaitu sekitar 0.92, untuk lahan vegetasi sekitar 0.95, dan nilai emisivitas untuk air sekitar 0.98. Hasil estimasi rata-rata nilai suhu permukaan 1989 pada tiap penutupan lahan di tanah gambut yaitu hutan sekunder 29 oC, hutan primer 27 oC, perkebunan 32 oC, lahan terbuka 40 oC, dan semak belukar 41 oC, dan pada tanah mineral suhu permukaan yang berbeda hanya pada vegetasi perkebunan 31 oC, artinya terjadi peningkatan suhu pada lahan gambut yang ditanami dengan vegetasi

perkebunan. Begitu juga hasil estimasi suhu permukaan pada tahun 2004 di lahan gambut untuk hutan primer 32 oC, hutan sekunder 32 oC, perkebunan 34 oC, semak belukar 35 oC, dapat dilihat terjadi peningkatan suhu pada tahun 2004 baik itu dilahan gambut dan mineral (Tabel 7) suhu permukaan yang dibahas pada penelitian ini adalah suhu dengan tutupan vegetasi dan lahan terbuka sehinggga suhu permukaan pada badan air tidak dilakukan analisis.

Tabel 7 Rata-Rata nilai suhu permukaan (oC) tiap penutupan lahan di Kabupaten Sampit tahun 1989 dan 2004

Tutupan Lahan Suhu permukaan ( oC ) Mineral Gambut 1989 2004 1989 2004 Hutan Primer 27 32 27 32 Hutan Sekunder 29 32 29 32 Perkebunan 31 32 32 34 Lahan Terbuka 40 40 40 - Semak Belukar 41 35 41 35

(19)

15 

 

penggunaan lahan dimana terbukti dengan peningkatan luas lahan perkebunan pada tahun 2004 lebih besar dibandingkan pada tahun 1989. Bertambahnya luas area juga meningkatkan suhu permukaan pada semak belukar di tahun 1989 dengan luas 73224. 10 ha dan suhu 41 oC sebaliknya penyusutan perubahan lahan semak belukar pada tahun 2004 menjadi 2651.04 ha memiliki suhu 35 oC. Berdasarkan hasil analisis klasifikasi penutupan lahan yang telah dioverlay dengan peta gambut pada tahun 2004 lahan terbuka untuk lahan gambut telah digantikan dengan perkebunan kelapa sawit sehingga untuk lahan terbuka di lahan gambut tidak dilakukan analisis.

Pada penelitian ini nilai Ts Perkebunan di tanah gambut lebih besar dibandingkan dengan di tanah mineral, Ts perkebunan di lahan gambut terjadi peningkatan suhu sebesar 2 oC dari suhu perkebunan di lahan mineral. Hasil yang ditunjukkan pada tabel 6 sangat jelas dimana nilai suhu permukaan pada tipe penutup lahan non -vegetasi (lahan terbuka) lebih tinggi dengan tipe penutupan lahan vegetasi, dimana suhu permukaan pada lahan terbuka berkisar 40 oC, kondisi ini menunjukkan hubungan antara konduktivitas panas jenis dan konduktivitas thermal, semakin tinggi konduktivitas thermal dan kapasitas jenis panas yang rendah maka suhu permukaan akan lebih tinggi.

4.3 Analisis Komponen Neraca energi Nilai keseimbangan energi atau neraca energi dapat di identifikasi pada suatu daerah dengan menggunakan data satelit Landsat TM/ETM+, dengan adanya input atau informasi dan data yang tersedia. Analisis ini dapat digunakan dalam menetukan nilai penerimaan radiasi netto, albedo, fluks pemanasan tanah, dan fluks pemanasan udara (komponen neraca energi). Pada penelitian ini Informasi komponen neraca energi tersebut yang diperlukan untuk menghitung atau menduga nilai fluks pemanasan tanah dan nilai suhu udara.

4.3.1 Analisis Albedo dengan Tipe Tutupan Lahan

Albedo (α) merupakan perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan. Nilai albedo diperoleh dari

pengolahan data citra Landsat ETM+ dengan memanfaatkan fungsi dari Band 1, 2 dan 3. Nilai albedo untuk tiap tutupan lahan di Kabupaten Sampit berkisar antara 0.047- 0.206 (Tabel 8). Berdasarkan data citra satelit Landsat pada wilayah Kecamatan Mentaya hilir selatan, Mentaya hilir utara, Ketapang, Baamang dan Pulau Hanaut yang terletak di Kalimantan Tengah pada tahun 1989 dan 2004 dapat diketahui nilai albedo untuk badan air berkisar 0.081, dan nilai albedo untuk lahan terbuka sekitar 0.083 - 0.0969.

Tabel 8 Rata-rata nilai albedo (unitless) tiap penutupan lahan di Kabupaten Sampit tahun 1989 dan 2004

Tutupan

Lahan Albedo Mineral Albedo Gambut 1989 2004 1989 2004 Hutan

Primer 0.0473 0.0600 0.0478 0.0599 Hutan

Sekunder 0.0584 0.0681 0.0543 0.0685 Perkebunan 0.0593 0.0753 0.0613 0.0724 Lahan

Terbuka 0.083 0.0969 0.083 - Semak

Belukar Badan Air

0.057 0.082 0.058 0.084

0.081 0.081

Albedo pada lahan terbuka lebih tinggi karena pancaran radiasi yang diterima pada lahan terbuka lebih banyak dipantulkan kembali dan sangat sedikit radiasi yang diserap oleh lahan terbuka (tidak ada vegetasi yang menyerap radiasi) dan untuk lahan terbuka, tanah sangat sedikit menyerap radiasi., Sedangkan pada badan air pancaran radiasi yang diterima selain dipantulkan ada juga yang diserap oleh badan air yang selanjutnya akan di hantarkan untuk memanaskan lapisan air yang ada dibawahnya.

Nilai albedo pada hutan primer sekitar 0.0473 - 0.06 dan nilai albed o pada hutan sekunder antara 0.0584 - 0.0685. Albedo pada kedua tipe penutupan lahan ini jelas terlihat berbeda. Hal ini disebabkan oleh kerapatan vegetasi yang terdapat pada masing-masing penutupan lahan ini, selain itu berbagai jenis vegetasi yang menutupi permukaan diatasnya pula dapat menjadi adanya perbedaan albedo (Geiger et al, 1961).

(20)

kanopi yang tinggi dan kerapatan vegetasi yang tinggi menyebabkan kecilnya nilai albedo. Dimana, radiasi yang diterima sebagian besar diserap oleh vegetasi. Sedangkan pada hutan sekunder yang telah mengalami pengurangan vegetasi yang tumbuh dan kanopi pada vegetasi yang ada relatif lebih rendah serta kerapatan vegetasinya juga sudah mulai jarang menyebabkan radiasi yang diterima sebagian dipantulkan kembali dan sebagian kecil yang diserap oleh vegetasi.

4.3.2 Analisis Radiasi Netto dengan Tipe Tutupan Lahan

Radiasi netto (Rn) yang dihitung dari jumlah radiasi gelombang pendek yang datang dengan jumlah energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dari suatu permukaan dikurangi dengan jumlah energi radiasi gelombang panjang yang dipancarkan. Hasil ekstraksi radiasi netto memiliki kisaran 273.94 – 384.12 Wm-2 Tahun 1989 dan 255.4-358.62 Wm-2 Tahun 2004 (Tabel 9)

Berdasarkan (Tabel 9) nilai rata-rata Rn untuk penutup lahan bervegetasi (Hutan Primer, hutan sekunder, perkebunan, semak belukan,lahan terbuka, badan air ) memiliki nilai yang semakin meningkat dari mulai penutup lahan jenis hutan alam ke penutup lahan terbuka. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya kerapatan kanopi tumbuhan bervegetasi yang menutupi lahan dan berbedanya nilai emisivitas masing-masing penutup lahan membuat semakin bertambahnya energi radiasi gelombang pendek dan panjang yang dipantulkan. Nilai radiasi netto di daerah dengan penutup lahan bervegetasi terutama hutan paling tinggi, sementara di lahan non vegetasi (lahan terbuka) nilainya rendah.

Tabel 9 Rata-rata nilai radiasi netto (Wm-2) tiap penutupan lahan di Kabupaten sampit 1989 dan 2004

Penutup

Lahan Rn (Wm-2

)

Mineral Gambut

1989 2004 1989 2004

Hutan Primer 413.47 383.88 421.47 376.45 Hutan

Sekunder 401.70 376.45 448.94 376.45

Perkebunan 389.69 370.23 382.60 363.96 Lahan

Terbuka 340.02 348.02 340.02 -

Semak

Belukar 270.15 363.96 270.15 363.96

Adanya perbedaan penerimaan Rn pada tiap tipe penutup lahan, dipengaruhi oleh albedo, radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang. Pada Penutup lahan terbuka memiliki nilai albedo yang tinggi. Hal ini akan mengakibatkan energi radiasi gelombang pendek yang diterima rendah dan energi radiasi gelombang panjang yang dipancarkan tinggi, sehingga radiasi nettonya rendah. Perubahan penutupan lahan dengan berkurannya daerah hutan dapat mengakibatkan radiasi lebih banyak dipantulkan daripada diserap, dan penerimaan radiasi netto menjadi lebih rendah diliat juga berdasarkan nilai albedo tiap penutupan lahan.

4.4 Analisis Suhu Udara

Pendugaan nilai suhu udara dilalukan dengan metode penurunan komponen neraca energi, dengan menggunakan data suhu permukaan yang diperoleh dari data satelit. Hasil estimasi suhu udara diperoleh dari penurunan persamaan 13 untuk fluks pemanasan udara dan persamaan 14. Rata-rata sebaran suhu udara di lima Kecamatan Kabupaten Sampit untuk tiap tutupan lahan yang berbeda dapat dilihat pada (Tabel 10).

Tabel 10 Rata-rata nilai suhu udara (oC) tiap penutupan lahan di Kabupaten Sampit tahun 1989 dan 2004

Tutupan

Lahan Suhu udara ( oC ) Mineral Gambut 1989 2004 1989 2004 Hutan

Primer 25 29 25 29 Hutan

Sekunder 27 29 27 29 Perkebunan 29 32 30 32 Lahan

Terbuka 35 34 35 - Semak

Belukar 36 34 36 34

(21)

17 

 

terhadap perubahan suhu dapat diformulasikan sebagai berikut (Saryono 1989, diacu dalam Adiningsih et. al., 2001)

C = ρc ... (16) Dimana C merupakan kapasitas panas yaitu jumlah energi yang diperlukan untuk memanaskan atau mendinginkan suatu volume benda sekian derajat (J m3), c merupakan kapasitas panas jenis (J/Kg) dan ρ adalah massa jenis (Kg/m3) .

Pada penelitian ini nilai suhu udara di lahan gambut dan mineral tidak jauh berbeda, hal ini menunjukkan pengaruh penutupan lahan yang sangat menentukan seperti hutan, perkebunan, semak belukar, lahan terbuka tingginya nilai suhu udara pada daerah tersebut, dimana untuk lahan terbuka yang sifatnya cepat menyerap panas dan cepat melepaskan panas kelapisan udara atasnya menyebabkan suhu udara lahan tebuka lebih tinggi dibandingkan dengan lahan bervegetasi. Berbeda dengan penutupan lahan vegetasi suhu udaranya rendah dikarenakan sifat vegetasi yang menyerap sebagian besar radiasi matahari dan pemantulan yang lebih tinggi sehingga mempengaruhi nilai emisivitas dan kapasitas panas jenis menjadi lebih tinggi sedangkan konduktivitas thermal yang rendah.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kisaran nilai rata-rata suhu permukaan secara keseluruhan pada tahun 1989 untuk tanah mineral dan gambut (27-41) oC dan tahun 2004 di tanah mineral (32-40) oC, dan tanah gambut (29-35) oC. Untuk nilai suhu udara tahun 1989 di lahan gambut dan mineral yaitu (25-36) oC, dan tahun 2004 ( 29-34) oC. Pada daerah kajian terlihat adanya perubahan penggunaan lahan , dan penyusutan luas vegetasi sangat mempengaruhi kapasitas panas. Pada tiap penutupan lahan yang mengalami peningkatan daerah kajian suhu permukaan akan lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan yang terjadi penyusutan.

5.2 Saran

Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak adanya data pengukuran langsung dilapangan yang berfungsi sebagai nilai validasi dan dalam melakukan perhitungan suhu permukaan, komponen neraca energi dan suhu udara, dari data citra

satelit Landsat TM/ETM+ dan perlu dilakukan normalisasi untuk memberikan nilai yang sama pada spektral radiance di kedua tahun tersebut. Pada penelitian ini tidak dilakukan normalisasi radiometrik masih banyak menggunakan asumsi-asumsi sehingga berpotensi sebagai faktor penyebab kesalahan dalam melakukan perhitungan. Saran sebaiknya dilakukan pengukuran langsung di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

[Pemerintah Kabupaten Kotawaringin]. 2006. Arah Pemanfaatan Ruang. http://kotimkab.go.id/ [4 Mei 2010].

[UNEP/GRID-Arendal]. 2010. http://www.grida.no/publications/other

/ipcc_tar/?src=/climate/ipcc_tar/wg1/fi g1-2.htm. [ 12 Mei 2010].

Adiningsih E S, Soenarno S H , Mujasih S. 2001. Kajian Perubahan Distribusi Spasial Suhu Udara Akibat Perubahan Penutup Lahan. Warta LAPAN Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2001. 29-44. Andriesse J P. 1988. Nature and

Management of Tropical Peat Soils. Soil Researches manegement and Conservation Service. FAO Land and Water Development Division. Rome, Italy.

http://books.google.co.id/books?id=ba 6bmQqV4C0C&pg=PA24&lpg=PA2 4&dq=andriesse+1988&source=bl&ot s=40RB7JvVG0 [ 5 Mei 2010] . Brandyk T, Oleszczuk R, Szatylowicz J.

2001. Investigation of Soil Water Dynamics in A Fen Peat-Moorsh Soil Profile. International Peat Journal 11: 15–24.

Coll C, Casselles V, Sobrino J A, Valor E. 1994. On the atmospheric dependence of the split-window equation for land surface temperature. International Journal or Remote Sensing, Vol.15, pp.105-122.

Food and Agriculture Organization (FAO), 1998. Crop Evapotranspiration-Guidelines for Computing Crop Water Requirements–FAO Irrigation and Drainage paper 56. http://www.fao.org/docrep/X0490E/x0 490e07.htm# radiation. [8 Maret 2010].

(22)

terhadap perubahan suhu dapat diformulasikan sebagai berikut (Saryono 1989, diacu dalam Adiningsih et. al., 2001)

C = ρc ... (16) Dimana C merupakan kapasitas panas yaitu jumlah energi yang diperlukan untuk memanaskan atau mendinginkan suatu volume benda sekian derajat (J m3), c merupakan kapasitas panas jenis (J/Kg) dan ρ adalah massa jenis (Kg/m3) .

Pada penelitian ini nilai suhu udara di lahan gambut dan mineral tidak jauh berbeda, hal ini menunjukkan pengaruh penutupan lahan yang sangat menentukan seperti hutan, perkebunan, semak belukar, lahan terbuka tingginya nilai suhu udara pada daerah tersebut, dimana untuk lahan terbuka yang sifatnya cepat menyerap panas dan cepat melepaskan panas kelapisan udara atasnya menyebabkan suhu udara lahan tebuka lebih tinggi dibandingkan dengan lahan bervegetasi. Berbeda dengan penutupan lahan vegetasi suhu udaranya rendah dikarenakan sifat vegetasi yang menyerap sebagian besar radiasi matahari dan pemantulan yang lebih tinggi sehingga mempengaruhi nilai emisivitas dan kapasitas panas jenis menjadi lebih tinggi sedangkan konduktivitas thermal yang rendah.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kisaran nilai rata-rata suhu permukaan secara keseluruhan pada tahun 1989 untuk tanah mineral dan gambut (27-41) oC dan tahun 2004 di tanah mineral (32-40) oC, dan tanah gambut (29-35) oC. Untuk nilai suhu udara tahun 1989 di lahan gambut dan mineral yaitu (25-36) oC, dan tahun 2004 ( 29-34) oC. Pada daerah kajian terlihat adanya perubahan penggunaan lahan , dan penyusutan luas vegetasi sangat mempengaruhi kapasitas panas. Pada tiap penutupan lahan yang mengalami peningkatan daerah kajian suhu permukaan akan lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan yang terjadi penyusutan.

5.2 Saran

Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak adanya data pengukuran langsung dilapangan yang berfungsi sebagai nilai validasi dan dalam melakukan perhitungan suhu permukaan, komponen neraca energi dan suhu udara, dari data citra

satelit Landsat TM/ETM+ dan perlu dilakukan normalisasi untuk memberikan nilai yang sama pada spektral radiance di kedua tahun tersebut. Pada penelitian ini tidak dilakukan normalisasi radiometrik masih banyak menggunakan asumsi-asumsi sehingga berpotensi sebagai faktor penyebab kesalahan dalam melakukan perhitungan. Saran sebaiknya dilakukan pengukuran langsung di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

[Pemerintah Kabupaten Kotawaringin]. 2006. Arah Pemanfaatan Ruang. http://kotimkab.go.id/ [4 Mei 2010].

[UNEP/GRID-Arendal]. 2010. http://www.grida.no/publications/other

/ipcc_tar/?src=/climate/ipcc_tar/wg1/fi g1-2.htm. [ 12 Mei 2010].

Adiningsih E S, Soenarno S H , Mujasih S. 2001. Kajian Perubahan Distribusi Spasial Suhu Udara Akibat Perubahan Penutup Lahan. Warta LAPAN Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2001. 29-44. Andriesse J P. 1988. Nature and

Management of Tropical Peat Soils. Soil Researches manegement and Conservation Service. FAO Land and Water Development Division. Rome, Italy.

http://books.google.co.id/books?id=ba 6bmQqV4C0C&pg=PA24&lpg=PA2 4&dq=andriesse+1988&source=bl&ot s=40RB7JvVG0 [ 5 Mei 2010] . Brandyk T, Oleszczuk R, Szatylowicz J.

2001. Investigation of Soil Water Dynamics in A Fen Peat-Moorsh Soil Profile. International Peat Journal 11: 15–24.

Coll C, Casselles V, Sobrino J A, Valor E. 1994. On the atmospheric dependence of the split-window equation for land surface temperature. International Journal or Remote Sensing, Vol.15, pp.105-122.

Food and Agriculture Organization (FAO), 1998. Crop Evapotranspiration-Guidelines for Computing Crop Water Requirements–FAO Irrigation and Drainage paper 56. http://www.fao.org/docrep/X0490E/x0 490e07.htm# radiation. [8 Maret 2010].

(23)

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUGA SUHU

PERMUKAAN DAN UDARA DI LAHAN GAMBUT DAN MINERAL

DENGAN MENGGUNAKAN METODE NERACA ENERGI

(Area Studi : Sampit, Kalimantan Tengah)

DESI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(24)

terhadap perubahan suhu dapat diformulasikan sebagai berikut (Saryono 1989, diacu dalam Adiningsih et. al., 2001)

C = ρc ... (16) Dimana C merupakan kapasitas panas yaitu jumlah energi yang diperlukan untuk memanaskan atau mendinginkan suatu volume benda sekian derajat (J m3), c merupakan kapasitas panas jenis (J/Kg) dan ρ adalah massa jenis (Kg/m3) .

Pada penelitian ini nilai suhu udara di lahan gambut dan mineral tidak jauh berbeda, hal ini menunjukkan pengaruh penutupan lahan yang sangat menentukan seperti hutan, perkebunan, semak belukar, lahan terbuka tingginya nilai suhu udara pada daerah tersebut, dimana untuk lahan terbuka yang sifatnya cepat menyerap panas dan cepat melepaskan panas kelapisan udara atasnya menyebabkan suhu udara lahan tebuka lebih tinggi dibandingkan dengan lahan bervegetasi. Berbeda dengan penutupan lahan vegetasi suhu udaranya rendah dikarenakan sifat vegetasi yang menyerap sebagian besar radiasi matahari dan pemantulan yang lebih tinggi sehingga mempengaruhi nilai emisivitas dan kapasitas panas jenis menjadi lebih tinggi sedangkan konduktivitas thermal yang rendah.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kisaran nilai rata-rata suhu permukaan secara keseluruhan pada tahun 1989 untuk tanah mineral dan gambut (27-41) oC dan tahun 2004 di tanah mineral (32-40) oC, dan tanah gambut (29-35) oC. Untuk nilai suhu udara tahun 1989 di lahan gambut dan mineral yaitu (25-36) oC, dan tahun 2004 ( 29-34) oC. Pada daerah kajian terlihat adanya perubahan penggunaan lahan , dan penyusutan luas vegetasi sangat mempengaruhi kapasitas panas. Pada tiap penutupan lahan yang mengalami peningkatan daerah kajian suhu permukaan akan lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan yang terjadi penyusutan.

5.2 Saran

Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak adanya data pengukuran langsung dilapangan yang berfungsi sebagai nilai validasi dan dalam melakukan perhitungan suhu permukaan, komponen neraca energi dan suhu udara, dari data citra

satelit Landsat TM/ETM+ dan perlu dilakukan normalisasi untuk memberikan nilai yang sama pada spektral radiance di kedua tahun tersebut. Pada penelitian ini tidak dilakukan normalisasi radiometrik masih banyak menggunakan asumsi-asumsi sehingga berpotensi sebagai faktor penyebab kesalahan dalam melakukan perhitungan. Saran sebaiknya dilakukan pengukuran langsung di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

[Pemerintah Kabupaten Kotawaringin]. 2006. Arah Pemanfaatan Ruang. http://kotimkab.go.id/ [4 Mei 2010].

[UNEP/GRID-Arendal]. 2010. http://www.grida.no/publications/other

/ipcc_tar/?src=/climate/ipcc_tar/wg1/fi g1-2.htm. [ 12 Mei 2010].

Adiningsih E S, Soenarno S H , Mujasih S. 2001. Kajian Perubahan Distribusi Spasial Suhu Udara Akibat Perubahan Penutup Lahan. Warta LAPAN Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2001. 29-44. Andriesse J P. 1988. Nature and

Management of Tropical Peat Soils. Soil Researches manegement and Conservation Service. FAO Land and Water Development Division. Rome, Italy.

http://books.google.co.id/books?id=ba 6bmQqV4C0C&pg=PA24&lpg=PA2 4&dq=andriesse+1988&source=bl&ot s=40RB7JvVG0 [ 5 Mei 2010] . Brandyk T, Oleszczuk R, Szatylowicz J.

2001. Investigation of Soil Water Dynamics in A Fen Peat-Moorsh Soil Profile. International Peat Journal 11: 15–24.

Coll C, Casselles V, Sobrino J A, Valor E. 1994. On the atmospheric dependence of the split-window equation for land surface temperature. International Journal or Remote Sensing, Vol.15, pp.105-122.

Food and Agriculture Organization (FAO), 1998. Crop Evapotranspiration-Guidelines for Computing Crop Water Requirements–FAO Irrigation and Drainage paper 56. http://www.fao.org/docrep/X0490E/x0 490e07.htm# radiation. [8 Maret 2010].

(25)

18 

 

Handayani N. 2007. Identifikasi Perubahan Kapasitas Panas Kawasan Perkotaan dengan Menggunakan Citra Landsat TM/ETM+ (Studi Kasus : Kodya Bogor) [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Hermawan E. 2005. Analisis Perubahan Komponen Neraca Energi Permukaan, Distribusi Urban Heat Island dan Temperature Humidity Index Akibat Perubahan Penutup Lahan Dengan Menggunakan Citra Landsat TM/ETM+ (Studi Kasus Bandung Tahun 1991 dan 2001) [Skripsi]. Laporan Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Jensen J. 2000. Remote Sensing of The Environment : An Earth Resource Perspective. Prentice Hall. New Jersey [ 5 Juni 2010].

Khomarudin M R. 2005. Pendugaan Evapotranspirasi Skala Regional Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh. [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Lessard R. 1994. Methane and carbon dioxide fluxes from poorly drained adjacent cultivated and forest sites. Canadian Journal of Soil Science [CAN. J. SOIL SCI./REV. CAN. SCI. SOL]. Vol. 74, no. 2, pp. 139-146. http://md1.csa.com/partners/viewrecor d.php?requester=gs&collection=ENV &recid=3630508&q=lessard+R.+199 4.+canadian+journal+of+soil+science +74%3A+139146&uid=1016796&set cookie=yes [ 7 Juli 2010].

Lillesand & Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta. UGM Press.

Mavi H S, GJ Tupper. 2004. Agrometeorology Principles and Aplications of Climate Studies in Agriculture. Binghamton, NY, USA. Monteith J L. 1972. Solar radiation and

productivity in tropical ecosystems. Journal of Applied Ecology. Vol. 9. page 747-766 [ 5 Juni 2010].

Monteith J L dan Unsowrth M H. 1990. Principles of Environmental Physic 2nd. Chapman and Hall, New York.

Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit

Kanisius. Jakarta. http://tropicalsoiljournal.net/index.php

?option=com_docman&task=search_r esult&Itemid=26 [ 5 Juni 2010]. Notodadiprawiro T. 2006. Tanah dan

Lingkungan. Repro : Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada.

Parlow E. 1997. Determination and Intercomparison of Radiation Fluxes and Net Radiation Using Landsat-TM-Data of Liefdefjorden/NW-Spitsbergen. Meteorology, Univ of Basel, Spalenring.

Purwadhi, FSH. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta : Grasindo.

Ratnasari E. 2000. Pemantauan Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Data Citra NOAA-AVHRR dan Citra Landsat-TM. Skripsi Mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Setiawan R. 2006. Metode Neraca Energi Untuk Perhitungan Leaf Area Index (LAI) di Lahan Bervegetasi Menggunakan Data Citra Satelit. [skripsi] Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.

Snyder, R L dan K T Paw U. 2000. Soil Heat Flow and Temperature. California : University of California. http://biomet.ucdavis.edu/biomet/Soil HeatFlow/SoilHF.htm.[ 3 Mei 2010] . Swinbank W C. 1963, Long-wave radiation

from clear skies, Q. J.R. Meteorologycal. Society., 89, 339– 348.

www.iopan.gda.pl/oceanologia/423W ozni.pdf [5 Juni 2010]

Syukri M N. 2004. Neraca Energi dan Air di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah. [Disertasi]. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. Tidak Dipublikasikan. Ulumuddin Y, Sulistyawati E, Hakim, D,

dan Harto, A. 2005. Korelasi Stok Karbon dengan Karakteristik Spektral Citra Landsat: Studi Kasus Gunung Papandayan. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Surabaya. U.S. Geological Survey (USGS), 2002.

(26)

Weng Q. 2001. A remote sensing – GIS evaluation of urban expansion and its impact on surface temperature in the Zhujiang Delta, China. Int. J. Remote Sensing. Vol. 22. No. 10 : 1999-2014. Yaoming M A. 2003, Remote Sensing

(27)

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUGA SUHU

PERMUKAAN DAN UDARA DI LAHAN GAMBUT DAN MINERAL

DENGAN MENGGUNAKAN METODE NERACA ENERGI

(Area Studi : Sampit, Kalimantan Tengah)

DESI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(28)

ABSTRACT

DESI. Application of Remote Sensing to Estimate Surface and Air Temperature in Peat and Mineral Soil by Using the Energy Balence Method (Case Study : Sampit, Central Kalimantan ). Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO.

Prediction using satellite imagery can be very useful if used to estimate the temperature in different regions with different land cover types. This study aims to analyze the surface and rising air temperatures in peat lands and minerals, with the energy balance approach using satellite image data TM / ETM +. The methodology undertaken is the determination of the study area, initial processing of satellite images that include: data import images, geometric correction, radiometric, land cover classification, extraction of surface temperature values and calculate the components of energy balance to determine the value of air temperature. The results showed that land use change on mineral and peat soil for 15 years resulted in increased surface temperatures and air temperatures. The range of average surface temperature as a whole in 1989 for mineral soil and peat (27-41) oC, In 2004 the surface temperature of the mineral soil (32-40) oC, and peat (29-35)

o

C, and the average value range of temperatures (25-36) oC. On the other hand detection of surface temperature using thermal bands of satellite imagery, should pay attention to aspects of the use of their land to avoid misinterpretation, because the condition of land cover types were very influential in the increase or decrease the temperature of the sector in a region.

Keywords : Land use change, surface temperature, air temperature, Mineral soil, Peat soil, Satellite Imagery

(29)

ABSTRAK

DESI. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Menduga Suhu Permukaan dan Udara di Lahan Gambut dan Mineral Dengan Menggunakan Metode Neraca Energi (Area Studi : Sampit, Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO.

Pendugaan menggunakan citra satelit dapat sangat bermanfaat jika digunakan untuk menduga suhu pada cakupan areal yang luas dengan berbagai tipe penutupan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk menduga dan menganalisis perubahan suhu permukaan dan udara pada lahan gambut dan mineral pada periode waktu tertentu, dengan meto

Gambar

Gambar 1  Proses pembentukan gambut di daerah cekungan  lahan basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, b
Gambar  2 Ilustrasi neraca energi.
Tabel 2  Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan
Tabel 2  Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut : 1) Apakah ada perbedaan penerapan pembelajaran berbasis masalah

Furthermore, PCA neither makes any warranty expressed nor implied with respect to the correctness of the output prepared by the pcaColumn(tm) program.Although PCA

• Daging ikan mempunyai sedikit tenunan pengikat (tendon), sehingga proses pembusukan pada daging ikan lebih cepat dibandingkan dengan produk ternak atau

Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah karakteristik internal dan eksternal wanita tani. Karakteristik internal wanita tani terdiri atas beberapa indikator, yaitu:

(Ayrılık), doğruluk ve mutlulukla hoş geçer. Görüldüğü gibi beyitin öznesi belli değildir. Şaire tas tas zehir içiren sevgili de olabilir, ayrılık da olabilir.

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia ( Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) yang mewajibkan sertifikasi ISPO

Dari hasil analisis data, terlihat dengan jelas bahwa tekanan yang dialami oleh benda yang berada dalam zat cair ( tekanan hidrostatik ) dipengaruhi oleh massa jenis fluida dan

This study concentrated on the translation errors of bilingual monument. inscriptions in