• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Karbondioksida (CO2) Untuk Optimalisasi Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Karbondioksida (CO2) Untuk Optimalisasi Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

Utilization Of Carbon Dioxide (CO

2

) For The Optimization Of The Growth

Of Seaweed

Kappaphycus alvarezii

Research on seaweed needs to be developed in an effort to increase the quantity

of seaweed production effectively. One that researched is the use of carbon dioxide (CO2) as

an indicator of an increase in the rate of growth of seaweed Kappaphycus alvarezii in a

controlled laboratory scale.

The research was conducted at the Laboratory of Microalgae Surfactant and Bioenergy

Research Center (SBRC) Bogor Agricultural Institute at Baranang Siang, Bogor.

Kappaphycus alvarezii seaweed used in the study obtained from Pulau Panjang, Banten in

August 2010.

Experimental design used was Randomized Complete Design (RCD) with treatments.

P1 is the provision of CO

2

once / 3 days (5x100 ml / min for 25 minutes), P2 is the provision of

CO

2

once / 2 days (5x100 ml / min for 25 minutes), P3 is the provision of CO

2

1 once /

day (5x100 ml / min for 25 minutes), and without the provision of carbon dioxide.

The results showed that the average wet weight - average, influenced by the daily growth

rate of carbon dioxide, and alkalinity. Wet weights of the largest found in the media P3 the

thirtieth day is 36.67 grams, whereas the wet weight of the smallest found in the media P1 the

sixth day is 27.60 grams. The highest growth rate of all treatments is at P3 the sixth day is

1.310%, while the lowest growth rate of all treatments are on the media P1 the sixth day is

-1.772%. Provision of carbon dioxide significantly affect the growth rate

of seaweed Kappaphycus alvarezii, so that made up the Tukey test to determine significantly

different treatment on the rate of growth of seaweed Kappaphycus alvarezii. Based on the results

of the Tukey test resulted that further treatment was significantly different is at P3 the growth rate

of seaweed Kappaphycus alvarezii with a value of P3> L:0747> 0.65, whereas the

treatment in the media P1 and P2 with a value of respectively

P1 <L: 0093 <0.65 and P2 <L: 0068<0.65 were not significantly different to the rate of growth

of seaweed Kappaphycus alvarezii. Based on the measurement of alkalinity by

(2)

1.1 Latar Belakang

Rumput laut merupakan salah satu tumbuhan laut yang memiliki potensi

sangat besar dalam mengurangi karbondioksida (CO2) di laut, karena rumput laut

memanfaatkan CO2 untuk proses fotosintesis. Sebagai tumbuhan tingkat rendah

rumput laut tidak memiliki batang sejati, daun sejati, dan akar sejati, sehingga

rumput laut dapat melakukan fotosintesis melalui seluruh permukaan tubuhnya

yang disebut thallus.

Rumput laut merupakan penyumbang utama produksi sektor perikanan

budidaya. Setiap tahun produksi rumput laut terus mengalami peningkatan, dari

sebesar 2,574 juta ton pada tahun 2009 menjadi 3,082 juta ton pada tahun 2010.

Indonesia dan Filipina merupakan negara produsen rumput laut berkaraginan

terbesar dunia, dan sekitar 90% pasar dunia telah dikuasai oleh Indonesia (KKP,

2010).

Salah satu jenis rumput laut yang mempunyai potensi untuk

dibudidayakan di Indonesia adalah Kappaphycus alvarezii yang juga dikenal

sebagai Eucheuma cottonii. Jenis ini menjadi komoditas ekspor karena

permintaan pasar sekitar 8 kali lebih banyak dari jenis lainnya (Sulistijo, 2002).

Menurut Doty (1981) kebutuhan rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii sangat

tinggi bagi pemanfaatan industri karena mengandung kappa karaginan yang

penting untuk stabilisator, bahan pengental, pembentuk gel dan pengemulsi.

Kebutuhan rumput laut setiap tahun mengalami peningkatan, karena

besarnya permintaan dalam negeri dan luar, sehingga berimplikasi pada

(3)

2

rumput laut di dunia yang begitu besar dan baru sebagian dapat dipenuhi, maka

perlu dikembangkan teknik budidaya yang efektif dan efisien.

Penelitian tentang metode budidaya rumput laut perlu terus dikembangkan

dalam upaya meningkatkan produksi rumput laut secara efektif. Salah satu

penelitian yang potensial untuk meningkatkan produksi rumput laut adalah

dengan menggunakan CO2 sebagai indikator peningkatan laju pertumbuhan

rumput laut dalam skala laboratorium terkontrol. Hasil penelitian diharapkan

dapat memberikan informasi dasar tentang pengaruh CO2 terhadap laju

pertumbuhan rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii, sealin itu pemanfaatan

CO2 untuk kegiatan budidaya rumput laut diharapkan dapat mengurangai

konsentrasi CO2 di laut (carbon sink).

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh karbondioksida (CO2)

(4)

2.1 Morfologi dan taksonomi rumput laut

Rumput lautadalah tumbuhan tingkat rendah yang tidak memiliki akar,

batang, dan daun sejati. Tanaman ini biasanya melekat pada substrat dan

berbentuk thallus. Menurut Anggadiredja et al.(2007), secara taksonomi alga

dikelompokkan ke dalam divisio Rhodophyta. Alga berdasarkan kandungan

pigmennya dibagi kedalam empat kelas, yaitu sebagai berikut:

1. Chlorophyceae (ganggang hijau)yakni makro alga yang didominasi oleh zat

warna hijau daun (klorofil)

2. Cyanophyceae (ganggang biru-hijau)yakni makro alga yang didominasi zat

warna biru sampai kehijauan (fikosianin)

3. Phaeophyceae (ganggang cokelat)yakni makro alga yang didominasi zat

warna coklat atau pirang. Alga kelas ini dapat menghasilkan alginat.

4. Rhodophyceae (ganggang merah)yakni makro alga yang didominasi zat

warna merah, ungu, lembayung (fikoeritrin). Rhodophyceae lebih banyak

dibudidayakan karena dapat menghasilkan karaginan dan agar.

Rumput laut dapat digunakan sebagai sumber karagin, agar-agar dan alginat.

Karaginofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida

karagin, agarofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida

agar-agar keduanya merupakan rumput laut merah (Rhodophyceae). Alginofit

adalah rumput laut coklat (Phaeophyceae) yang mengandung bahan utama

polisakarid alginat. Rumput laut yang mengandung karaginan adalah dari marga

Eucheuma. Karaginan ada tiga macam, yaitu iota karaginan dikenal dengan tipe

(5)

4

Klasifikasi rumput laut Kappaphycus alvarezii menurut Anggadiredja et

al.(2007) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Ordo: Gigartinales

Famili: Solieraceae

Genus : Eucheuma

Spesies : Eucheuma cottonii

Kappaphycus alvarezii

Rumput laut Kappaphycus alvarezii yang digunakan pada kegiatan

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar. 1.

(6)

Menurut Anggadiredja et al.(2007), ciri-ciri Kappaphycus alvarezii yaitu

sebagai berikut:

 Memiliki warna hijau terang, hijau olive, dan coklat kemerahan.

 Berbentuk silindris, permukaan licin, menyerupai tulang rawan

(cartilageneus)

 Percabangan berujung runcing atau tumpul

 Memiliki nodulus atau tonjolan-tonjolan

 Memiliki tulang lunak untuk melindungi gametangia

 Percabangan bersifat alternatus,tidak teratur, serta dapat bersifat

dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (sistem percabangan

tiga-tiga)

2.2 Pertumbuhan rumput laut

Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran suatu organisme

yang dapat berupa berat ataupun panjang dalam waktu tertentu. Salah satu

penentu utama laju pertumbuhan adalah fotosintesis. Proses fotosintesis akan

berlangsung optimal apabila intensitas cahaya masuk lebih tinggi namun

kelebihan penerimaan cahaya akan mengakibatkan thallus menjadi putih (aging

effect) atau kehilangan pigmen (Doty, 1981).

Ukuran bibit rumput laut yang ditanam juga berpengaruh terhadap laju

pertumbuhan ( Mamang, 2008). Menurut hasil penelitian Bachtiar (2004) laju

pertumbuhan yang tinggi dan cepat cenderung diperoleh dari bibit dengan ukuran

paling kecil. Pada penelitian tersebut thallusKappaphycus alvarezii yang

berbobot awal 30 gr memiliki bobot basah terbesar, sedangkan bobot basah

(7)

6

(1981) laju pertumbuhan jenis K. Alvarezii sebesar 2- 3 % perhari dalam waktu 35

hari setelah penanaman sudah termasuk baik untuk usaha budidaya, karena bobot

tanaman telah menjadi dua kali lipat dari bobot awal.

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut

Keberhasilan pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat bergantung

pada faktor-faktor biotik dan abiotik yang berada di sekitar ekosistem rumput laut.

Secara umum, rumput laut dapat tumbuh di daerah perairan yang dangkal

(intertidal dan sublitorral) dengan kondisi dasar perairan berpasir, berlumpur, atau

campuran keduanya. Rumput laut juga memiliki sifat benthic algae yang

melekatkan thallusnya pada substrat. Faktor-faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan rumput laut adalah sebagai berikut:

2.3.1. Suhu Perairan

Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

pertumbuhan rumput laut karena berkaitan dengan laju fotosintesis. Menurut

Sulistijo dan Atmadja (1996) kisaran suhu perairan yang baik untuk rumput

laut Eucheuma sp (Kappaphycus alvarezii) adalah 27-30°C. Hal tersebut

tidak jauh berbeda sebagaimana diungkapkan Anggadiredja (2007) bahwa

kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan Kappaphycus alvarezii adalah

27-28°C.

2.3.2. Salinitas

Salinitas adalah jumlah (gram) zat-zat yang larut dalam kilogram air

laut dimana dianggap semua karbonat telah diubah menjadi oksida, brom, dan

(8)

sempurna. Rumput laut Kappaphycus alvarezii berkembang dengan baik

pada salinitas yang tinggi. Menurut Atmadja et al. (1996), kisaran salinitas

yang baik pada pertumbuhan Kappaphycus alvarezii adalah 28-34 ppt.

2.3.3. Intensitas cahaya matahari

Kualitas dan periode penyinaran merupakan faktor abiotik utama

yang sangat menentukan laju produktivitas primer di dalam perairan. Mutu

dan kuantitas cahaya berpengaruh terhadap produksi spora dan

pertumbuhannya. Fotosintesis juga bertambah sejalan dengan meningkatnya

intensitas cahaya sampai pada satu nilai optimum tertentu.

Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii akan semakin meningkat jika

intensitas cahaya masuk lebih tinggi, tetapi jika cahaya yang diterima

berlebih serta terkena udara secara langsung dapat merusak thallus menjadi

putih atau kehilangan pigmen (Doty, 1981).

2.3.4. Pergerakan air

Arus dan gelombang memiliki pengaruh besar terhadap aerasi,

transportasi nutrien, dan pengadukan air. Pengadukan air berperan untuk

menghindari fluktuasi suhu yang besar (Trono et al., 1988). Peranan lain dari

arus adalah menghindari akumulasi lumpur (silt)dan epifit yang melekat pada

thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan alga. Menurut Atmadja et al

(1996), kecepatan arus yang dapat mendukung pertumbuhan optimal rumput

laut Kappaphycus alvarezii adalah 20-40 cm/detik, sedangkan tinggi

gelombang yang baik untuk pertumbuhan alga laut tidak lebih dari 30 cm

(9)

8

2.3.5. Pasang surut

Menuru Bhatt (1978), pasang surut adalah periode naik dan turunnya

permukaan air laut yang merupakan hasil gaya tarik menarik antara bumi

dengan bulan, dan gaya tarik menarik antara bumi dengan matahari. Pasang

surut dipengaruhi juga oleh posisi kedudukan relatif bulan dan matahari

terhadap bumi dan pantai (Nontji, 1993).

Pasang surut berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap

fenomena biologi laut, seperti distribusi dan suksesi organisme. Frekuensi

pasang surut juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kehidupan alga laut di wilayah interdal. Pada wilayah semidiurnal yang

memiliki frekuensi lebih besar dari pasang diurnal, lebih menyokong

bermacam-macam populasi alga laut.

2.3.6. Substrat

Substrat perairan merupakan dasar perairan dimana alga dapat

tumbuh dan berkembang dengan baik. Penyebaran alga di suatu perairan

tergantung pada tipe substrat , musim, dan komposisi jenis. Menurut

Atmadja et al. (1996), dasar perairan yang dapat ditumbuhi rumput laut jenis

Kappaphycus alvarezii adalah karang mati dan tidak belumpur. Selain itu,

rumput laut Kappaphycus alvarezii juga cocok ditanam di perairan berpasir

sedikit berlumpur.

2.3.7. Kedalaman

Kedalaman rata-rata yang diperlukan bagi pertumbuhan rumput laut

(10)

perairan. Semakin dalam perairan, sinar matahari tidak dapat menjangkau

permukaan thallus. Hal ini dapat mengganggu proses fotosintesis rumput

laut. Menurut Atmadja et al. (1996), kedalaman yang ideal bagi

pertumbuahan rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii berkisar antara

0.3-0.6 m dan pada kedalaman antara 0.0 – 0.3 m masih cukup baik untuk

mencegah kekeringan bagi tanaman.

2.3.8. Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut (DO) umumnya banyak dijumpai di lapisan

permukaan karena proses difusi dan fotosintesis yang dilakukan oleh

fitoplankton. DO sangat penting artinya dalam mempengaruhi

kesetimbangan kimia air laut dan mempengaruhi kehidupan organisme laut.

Baku mutu DO untuk rumput laut adalah lebih dari 5 mg/L (Sulistijo dan

Atmadja, 1996). Iksan (2005) menyatakan bahwa perubahan oksigen harian

dapat terjadi di laut dan bisa berakibat nyata terhadap produksi alga bentik.

2.3.9. Derajat keasaman (pH)

Salah satu faktor yang penting dalam kehidupan alga adalah kondisi

pH, sama halnya dengan faktor-faktor lainnya. Nilai pH sangat berpengaruh

terhadap jumlah karbon yang terkandung dalam medium pemeliharaan. Alga

dapat tumbuh optimal pada pH yang sesuai. Supit (1989) menyatakan bahwa

hampir seluruh alga menyukai kisaran pH 6.8-9.6.

2.3.10. Unsur hara

Rumput laut dan sebagian tanaman berklorofil memerlukan unsur hara

(11)

10

Masuknya unsur hara ke rumput laut dilakukan dengan cara difusi melalui

seluruh permukaan tubuh. Proses difusi dipengaruhi oleh faktor lingkungan

terutama oleh adanya gerakan air (Doty dan Glenn, 1981).

Unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan dapat dikelompokkan ke

dalam dua bagian yaitu makro nutrien dan mikro nutrien. Makro nutrien

yang dibutuhkan alga laut adalah sulfat, potassium, kalsium, magnesium,

karbon, nitrogen, dan fosfor, sedangkan mikro nutrien meliputi Fe, Mn, Cu,

Si, Zn, Na, Mg, dan Cl. (Baracca, 1999 in Iksan, 2005).

2.3.11.Penyakit

Penyakit merupakan suatu gangguan yang terjadi terhadap suatu

organisme yang dapat menyebabkan penurunan kualitas organisme tersebut,

dalam hal ini rumput laut. Penyakit yang menyerang rumput laut dapat

menyebabkan penurunan kualitas baik secara anatomi maupun struktur

bagian dalam thallus rumput laut, gejala ini dapat dilihat dengan adanya

perubahan warna dan bentuk sehingga laju pertumbuhan rumput laut

menurun. Timbulnya penyakit umumnya disebabkan oleh adanya perubahan

faktor – faktor lingkungan (suhu, salinitas, DO, pH, dll).

2.3.11.1.Penyakit “Ice – ice”

Ciri – ciri rumput laut yang terkena penyakit ice – ice ditandai dengan

timbulnya bintik – bintik pada bagian thallus yang dapat mengakibatkan

thallus menjadi patah apabila dibiarkan dalam waktu relatif lama. Penyebab

timbulnya penyakit ini adalah karena adanya mikroba yang menyerang

(12)

rumput laut jenis Eucheuma spp. Gejala yang dapat dilihat adalah perubahan

warna menjadi pucat dan pada beberapa thallus menjadi putih thallus dan

akhirnya membusuk (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2004).

Menurut Trono (1974), adanya perubahan lingkungan seperti: arus, suhu,

salinitas, kecerahan pada wadah pemeliharaan dapat memicu terjadinya

penyakit ice – ice. Tingkat penyerangannya terjadi dalam jangka waktu yang

cukup lama.

2.3.11.2.Penyakit White Spot

Penyakit white spot merupakan penyakit yang menyerang rumput laut

jenis Laminaria japonica di Cina. Penyakit ini menimbulkan gejala

terjadinya perubahan warna thallus dari coklat kekuningan menjadi putih

kemudian menyebar keseluruh thallus dan bagian tanaman membusuk dan

rontok (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2004).

2.4 Karbondioksida (CO2)

Karbondioksida merupakan senyawa kimia yang terdiri dari dua atom

oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom karbon, berbentuk gas

pada keadaan suhu dan tekanan standar dan berada di atmosfer bumi. Atmosfer

bumi mengandung karbondioksida yang relatif kecil, yakni sekitar 0.033%.

Menurut Effendi (2003), bahwa setengah dari karbondioksida yang merupakan

hasil pembakaran ini berada di atmosfer dan setengahnya lagi tersimpan di laut

dan digunakan dalam proses fotosintesis oleh diatom dan algae laut lain seperti

rumput laut. Menurut Small (1972) dalam Cole (1988) mengemukakan bahwa

(13)

12

mengandung karbon lima puluh kali lebih banyak daripada karbon di atmosfer,

perpindahan karbon ini terjadi melalui proses difusi.

Karbondioksida yang terlarut di dalam air membentuk beberapa

kesetimbangan, secara terperinci ditunjukkan dalam persamaan kesetimbangan

karbondioksida (Mackereth et al., 1989):

CO2(gas) CO2(aq) ………(1)

CO2 + H2O H2CO3 ………(2)

H2CO3 H+ + HCO3- ………(3)

HCO3- CO32- + H+ ………(4)

CO2 + OH- HCO3- ………(5)

H2O H+ + OH- ………(6)

Jadi, pada dasarnya keberadaan karbondioksida di perairan terdapat dalam

bentuk gas karbondioksida bebas (CO2), ion bikarbonat (HCO3-), ion karbonat

(CO32-), dan asam karbonat (H2CO3) (Boney, 1989 dan Cole, 1988).

Perairan tawar alami yang memiliki pH 7 – 8 biasanya mengandung ion

bikarbonat <500mg/liter dan hampir tidak pernah kurang dari 25mg/liter. Ion ini

mendominasi sekitar 60 – 90% bentuk karbon anorganik total di perairan

(McNeely et al., 1979).

2.5 Alkalinitas

Alkalitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam, atau dikenal

dengan sebutan acid – neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di dalam

air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas juga diartikan sebagai

kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan. Penyusun

alkalinitas peraiiran adalah anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-), dan

(14)

dan ion bikarbonat yang memberikan kontribusi paling banyak pada perairan

alami (Effendi, 2003).

Alkalinitas dihasilkan dari karbondioksida dan air yang dapat melarutkan

sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat. Kelarutan kalsium karbonat

menurun dengan meningkatnya suhu dan meningkat dengan keberadaan

karbondioksida. Kalsium karbonat bereaksi dengan karbondioksida membentuk

kalsium bikarbonat [Ca(HCO3)2] yang memiliki daya larut lebih tinggi

dibandingkan dengan kalsium karbonat (CaCO3) (Cole, 1988).

Kation utama yang mendominasi perairan tawar adalah kalsium dan

magnesium, sedangkan pada perairan laut adalah sodium dan magnesium. Anion

utama pada perairan tawar adalah bikarbonat dan karbonat, sedangkan pada

perairan laut adalah klorida (Barnes, 1989).

Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30 – 500 mg/liter CaCO3. Nilai

alkalinitas di perairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/liter CaCO3. Nilai

alkalinitas pada perairan alami adalah > 40 mg/liter CaCO3 disebut perairan sadah

(hard water), sedangkan perairan dengan nilai alkalitas < 40 disebut perairan

lunak (soft water) (Effendi, 2003). Hubungan antara derajat keasaman, alkalinitas

(15)

14

Tabel 1. Hubungan antara derajat keasaman, alkalinitas total, dan karbondioksida bebas

Derajat keasaman

Alkalinitas total [(mg/l)CaCO3]

Karbondioksida [(mg/l)CO2]

7

50 9.7

100 19.4

200 38.7

7.2

50 6.1

100 12.3

200 24.5

7.4

50 3.9

100 7.8

200 15.6

7.6

50 2.4

100 4.8

200 9.7

7.8

50 1.5

100 3.1

200 6.1

8

100 1.9

200 3.8

300 5.7

8.2

100 1.2

200 2.4

300 3.6

Sumber : Cole (1988)

2.6 Bahan organik di perairan

Bahan organik yang masuk ke dalam perairan sebagian besar berasal dari

kegiatan antropogenik, seperti kegiatan domestik, pertanian, industri, peternakan,

dan kegiatan lainnya. Semua bahan organik mengandung karbon (C) dan

terkombinasi dengan elemen lainnya. Menurut Dugan (1972) in Hadinafta

(2009) bahan organik umumnya tersusun atas polisakarida (karbohidrat),

(16)

Bahan organik yang masuk ke dalam perairan belum terolah dan akan

mengalami oksidasi oleh bakteri. Berdasarkan sifatnya, bahan organik dapat

dibedakan menjadi dua macam, yaitu (Hadinafta, 2009) :

1. Bahan organik yang tidak mudah terurai, diantaranya senyawa aromatik,

seperti minyak, deterjen, dan pestisida yang merupakan limbah organik

beracun.

2. Bahan organik mudah terurai, di antaranya sampah rumah tangga, kotoran

hewan dan manusia, limbah pertanian, dan limbah berbagai jenis industri

seperti makanan, tekstil, dan sebagainya.

2.7 Sistem akuarium air laut

2.7.1. Sistem filtrasi

Filter merupakan seperangkat alat yang berfungsi untuk menyaring atau

memilah benda-benda tertentu dan melewatkan benda-benda lainnya (Afief,

2006). Proses filtrasi pada akuarium berbeda dengan proses filtrasi pada kolam

budidaya karena dilakukan terus menerus dan bersirkulasi. Menurut Kuncoro

(2004) filter berfungsi untuk menyaring kotoran, baik secara biologi, kimia

maupun fisika. Sistem filtrasi yang biasa digunakkan terdiri dari filter mekanik,

kimia, biologi dan pecahan karang (gravel).

Filter mekanik secara harfiah dapat diartikan sebagai sebuah alat untuk

memisahkan material padatan dari air secara fisika (berdasarkan ukurannya)

dengan cara menangkap / menyaring material-material tersebut sehingga tidak lagi

dijumpai terapung / melayang di dalam air akuarium. Bahan yang diperlukan

untuk sebuah filter mekanik adalah berupa bahan yang tahan lapuk, memiliki

(17)

16

menangkap partikel-partikel yang berukuran lebih besar dari diameter media filter

tersebut.

Filter kimia memiliki fungsi yang sama dengan filter mekanik namun

bekerja pada skala molekuler. Filter ini digunakan untuk menghilangkan bahan

terlarut terutama bahan organik terlarut, nitrogen, dan fosfor. Bahan yang sering

digunakan adalah karbon aktif karena memiliki ruang pori sangat banyak

dengan ukuran tertentu. Selain karbon aktif, alat yang sering digunakan sebagai

filter kimia ialah protein skimmer yang berfungsi memisahkan bahan padat

terlarut dalam air dengan cara pengapungan melalui jasa gelembung-gelembung

udara yang ditiupkan ke dalam kolom air (Afief, 2006).

Filter biologi merupakan filter yang bekerja dengan bantuan jasad-jasad

renik khususnya bakteri dari golongan pengurai amonia. Maka dari itu agar

jasad-jasad renik tersebut dapat hidup dengan baik di dalam filter dan melakukan

fungsinya dengan optimal diperlukan media dan lingkungan yang sesuai bagi

pertumbuhan dan perkembangan jasad-jasad renik tersebut. Fungsi utama dari

filter biologi adalah mengurangi atau menghilangkan amonia dari air. Filter

biologi yang biasa digunakan adalah bioball, karena pada dasarnya bakteri

menyukai hidup di media yang gelap (Kuncoro, 2004).

Sesuai dengan namanya filter under gravel adalah sebuah filter yang

terletak dibawah lapisan gravel (kerikil dan pasir) di dasar akuarium.

Konstruksinya terdiri dari lapisan bahan anti karat (plastik) berlubang dengan kaki

penopang sehingga tercipta ruangan bebas dibawahnya untuk memungkinkan air

bersih mengalir. Pada salah satu sudutnya (atau lebih) terdapat pipa keluaran

(18)

Mekanisme kerja sebuah filter under gravel , air "dipaksa" untuk

menembus lapisan gravel pada dasar akuarium dengan bantuan head pump atau

aerator, kemudian air tersebut dikembalikan ke dalam akuarium. Pada saat air

melalui gravel air mengalami setidaknya dua proses filtrasi, yaitu mekanik yang

melalui pori-pori efektif lapisan gravel, dan biologi yang melalui kontak air

dengan bakteri pengurai amonia dan nitrit yang hidup pada permukaan gravel.

2.7.2.Kontrol aliran air laut

Kontrol aliran air laut bertujuan untuk mengetahui distribusi aliran air laut

dari berbagai bagian sistem dan mengendalikan aliran yang digunakan. Hal ini

dimaksudkan agar aliran air akan selalu stabil pada setiap waktu serta distribusi

air yang menuju ke berbagai tempat dari sistem akurium air laut cukup terkendali.

Menurut Kuncoro (2004) perlu dilakukan perawatan dan pengecekan akuarium

laut agar lingkungan tetap terjaga bagi organisme dalam akuarium. Tabel 2

(19)

18

Tabel 2. Perawatan dan pengecekan akuarium laut

Waktu Parameter Batas normal

Harian

1. Suhu

Suhu dipertahankan 25-28 °C. suhu dibawah 22°C untuk sesaar tidak menjadi masalah. Suhu diatas 30°C merupakan batas kematian bagi binatang karang dan berbahaya bagi ikan

2. Sinar Lampu

Maksimal dihidupkan 12 jam sehari dan minimal 8 jam perhari, lampu Actinic Blue bisa

dihidupkan 24 jam non-stop.

3. Protein skimmer Cek dan bersihkan, bila perlu diganti batu

gelembung tiap 3 bulan sekali.

Mingguan

1. Salinitas

Salinitas yang baik 35‰, sedangkan gravitasi khusus yang baik berkisar antara 1,022-1,027 pada suhu 24°C

2. Derajat keasaman (pH) pH optimal berkisar antara 8,2-8,4. Dengan

penambahan CO2 pH bisa turun.

3. Nitrit (NO2) 0,05 mg/l diatas 0,1 mg/l adalah titik kritis bagi

ikan

4. Nitrat (NO3)

Untuk invertebrata, maksimal 50 mg/l, dan konsentrasi dibawah 30 mg/l adalah lebih baik. Untuk ikan maksimal 200 mg/l dan konsentrasi dibawah 50 mg/l adalah lebih baik

5. Karbonat hardness 8-15 derajat KH

6. Alkalinitas 140-270 mg/l CaCO3

7. Penambahan air Penambahan dengan air laut sebaiknya dilakukan

tiap hari sebanyak volume air yang menguap

Bila perlu

1. Kandungan oksigen 6-8 mg/l oksigen terlarut pada suhu 24°C

2. Tingkat ozone

5 mg-10 mg/100 liter air/jam, merupakan nilai maksimal. Pemakaian ozonizer secara tetap harap dihindarkan.

3. Amonium (NH3) Konsentrasi maksimal 0,005 mg/l.

4. Silikon Maksimal 0,2 mg-0,5 mg/l. Diatas konsentrasi

tersebut, memberikan booming diatom.

5. Fosfat (PO4) Untuk ikan 2-3 mg/l dan invertebrata 0,1-0,3

mg/l.

(20)

3.1. Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2010 sampai Mei 2011.

Kegiatan penelitian meliputi tahap persiapan, pengamatan laju pertumbuhan

Kappaphycus alvarezii, dan pengukuran kualitas air. Pengamatan laju

pertumbuhan Kappaphycus alvarezii, dilakukan di Laboratorium Mikroalga di

Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) Baranang Siang, Bogor.

Rumput laut Kappaphycus alvarezii yang digunakan penelitian ini diperoleh dari

Pulau Panjang, Banten. Pemilihan dan pengemasan rumput laut Kappaphycus

alvarezii di pulau Panjang, Banten dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Pemilihan bibit rumput laut Kappaphycus alvarezii (A), pengemasan bibit rumput laut Kappaphycus alvarezii (B)

di pulau Panjang, Banten

3.2. Alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan selama kegiatan penelitian dapat dilihat

(21)

20

Tabel 3. Alat dan bahan

No Alat Spesifikasi Unit

1 Akuarium kaca ukuran kaca ukuran (50x50x100cm) 2

2

Pompa air Liquid Filter

220/240V,50Hz,55/60W,Hmax 2.5m Flmax2500L/H

2

3 Aerator 1

4 Pipa aerasi 6

5 Tabung karbondioksida (CO2)

1

6

Timbangan digital

ACIS (Compact Multi-purpose balance- BC 500)

1

7 Refraktometer Atago – Japan (Hand-held refractometer) 1

8 DO meter Horiba (DO meter QM-51) 1

9 Termometer Termometer tempel 1

10 pH meter Multi 340i 1

11 Erlenmeyer Pyrex (500ml) 1

12 Gelas ukur Pyrex (100ml) 1

13 Alat pemotong (Cutter) 1

14 Alat ukur (penggaris) 1

15 pemanas (heater) 2

16 Syiring 1

Bahan

1 Rumput laut Kappaphycus

alvarezii 10 kg

2 Karbondioksida (CO2)

3 Indikator PP 80 ml

4 HCl 80 ml

5 Air laut murni

Sebagian alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada

(22)

Gambar 3. Akuarium pemeliharaan (A), tabung gas karbondioksida (CO2)(B), aerator (C), timbangan digital (D), alat dan bahan

titrasi alkalinitas (E), dan bibit rumput laut Kappaphycus alvarezii (F)

3.3. Prosedur penelitian

Prosedur penelitian meliputi tahap persiapan media dan bibit, pengamatan

laju pertumbuhan rumput laut, pengukuran kualitas air, dan pengukuran CO2.

3.3.1. Persiapan media

Kegiatan penelitian ini dilakukan pada skala laboratorium dengan

menggunakan akuarium sebagai wadah pemeliharaan rumput laut. Persiapan

media pemeliharaan ini mengacu pada sistem tertutup running water system.

Akuarium yang digunakan berukuran 50x50x100cm3 sebanyak dua unit.

(23)

22

digunakan dalam pemeliharaan rumput laut berkisar antara 130-150 liter pada

setiap unit.

Akuarium pemeliharaan dibentuk satu rangkaian dengan filter yang

bertujuan untuk efisiensi ruang dalam melakukan penelitian. Bahan yang

digunakan pada akuarium filter yaitu gravel, karbon aktif (arang), sponge,

dan bioball. Sebelum komponen- komponen filter digunakan, terlebih dahulu

dicuci dengan menggunakan air tawar lalu dijemur hingga kering. Gravel

diletakkan pada kolom pertama, karbon aktif pada kolom kedua, dan bioball

pada kolom. Sponge diletakkan pada setiap dinding pemisah antar kolom

agar air yang telah di filter bersih. Sistem akuarium di bagi menjadi dua yaitu

sistem filter dan wadah pemeliharaan, seperti yang disajikan pada Gambar 4.

(24)

Ruangan penelitian memiliki desain kaca transparan sehingga cahaya

matahari dapat masuk pada siang hari, dan pada malam hari cahaya berasal

dari lampu ruangan. Ruangan penelitian menggunakan air conditioner (AC),

sehingga untuk mengontrol suhu air pada akuarium digunakan pemanas

(heater). Setiap akuarium dilengkapi 3 pipa aerasi agar oksigen masuk secara

konstan ke dalam akuarium. Pada akuarium perlakuan diberi 1 pipa plastik

sebagai saluran masukan CO2. Karbondioksida dimasukkan sebesar 5x100

ml /menit selama 25 menit setiap perlakuan.

3.3.2. Persiapan bibit

Pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii dilakukan selama 30

hari. Rumput laut yang dipilih adalah rumput laut yang muda, bersih, dan

segar, untuk memberikan pertumbuhan yang optimum (Atmadja et al., 1996)

(Gambar 5). Bibit rumput laut yang akan digunakan sebagai objek penelitian

terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi selama 2 minggu, hal ini dilakukan

agar rumput laut beradaptasi dengan lingkungan dan mencegah kematian

pada saat dilakukan pengamatan.

Tumbuh- tumbuhan sangat memerlukan karbondioksidauntuk

melakukan kegiatan fotosintesis. Rumput laut Kappaphycus alvarezii juga

melakukan kegiatan fotosintesis untuk kelangsungan hidup dan

pertumbuhannya, sehingga rumput laut Kappaphycus alvarezii sangat

membutuhkan karbondioksidauntuk kegiatan fotosintesis. Karbondioksida

digunakan sebagai bahan pokok dalam penelitian ini, dengan melihat

seberapa besar pengaruh karbondioksidaterhadap laju pertumbuhan rumput

(25)

24

Gambar 5.Bibit rumput laut Kappaphycus alvarezii sebelum dipilih (A), bibit rumput laut sebelum Kappaphycus alvarezii setelah dipilih (B)

Penelitian ini dilakukan dengan 3 perlakuan dan 6 kali ulangan.

Perlakuan 1 adalah pemberian karbondioksidasebanyak 1 kali dalam 3 hari,

perlakuan 2 adalah pemberian karbondioksidasebanyak 1 kali dalam 2 hari,

dan perlakuan 3 adalah pemberian karbondioksida sebanyak 1 kali dalam 1

hari. karbondioksidadimasukkan ke dalam akuarium dengan jumlah yang

sama pada setiap perlakuan yaitu 5x100 ml/menit selama 25 menit.

3.3.3. Pengamatan laju pertumbuhan harian rumput laut

Kegiatan fotosintesis akan membentuk protoplasma atau biomassa, hal

ini dapat dijelaskan melalui persamaan sebagai berikut (Dawes, 1971 dalam

Patadjai, 1993):

106 CO2 + 90 H2O + 16 NO3 + 1 PO4 + Energi matahari 138 O2 + Protoplasma

Pengamatan laju pertumbuhan rumput laut dilakukan 1 kali dalam 3

hari, dengan menimbang bobot rumput laut menggunakan timbangan digital.

(26)

rumput laut, sehingga dalam pengamatan laju pertumbuhan rumput laut juga

harus dilakukan penghitungan jumlah tunas dan pengukuran diameter batang

rumput laut. Seluruh kegiatan penelitian yang dilakukan selama 30 hari

disajikan dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram alir kegiatan penelitian

(27)

26

Karbondioksida yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini berasal

dari tabung gas berukuran 50 kg. Karbondioksida dimasukkan ke dalam

media pemeliharaan menggunakan selang. Tabung gas yang berisi

karbondioksida dilengkapi alat ukur (flow meter) yang dapat menunjukkan

jumlah volume yang dikeluarkan dari tabung, sehingga memudahkan dalam

proses pengukuran jumlah karbondioksida yang dimasukkan ke dalam media

pemeliharaan.

3.3.5. Pengukuran kualitas air

Parameter fisika dan parameter kimia yang diukur adalah suhu, derajat

keasaman, oksigen terlarut, salinitas, dan Alkalinitas. Pengukuran suhu

dilakukan dengan menggunakan termometer yang ditempel pada akuarium.

Untuk mengontrol suhu pada akuarium digunakan pemanas (heater) agar

suhu pada akuarium sesuai yang diinginkan untuk pertumbuhan optimal

rumput laut yaitu berkisar antara 27- 30oC.

Pengukuran pH, DO, dan salinitas dilakukan secara in situ, pH diukur

dengan menggukan pH meter, sementara DO diukur dengan menggunakan

DO meter. Pengukuran dengan menggunakan alat DO meter harus dilakukan

dengan hati- hati dan teliti karena oksigen terlarut pada akuarium sangat

fluktuatif, hal ini disebabkan oleh pemberian aerasi, dan salinitas diukur

dengan menggunakan refraktometer. Karbondioksida diukur dengan metode

titrasi. Parameter fisika dan parameter kimia yang diukur selama penelitian

(28)

Tabel 4. Parameter fisika dan parameter kimia yang diamati

Parameter Satuan Alat

Suhu oC Termometer

Salinitas 0/00 Refraktometer

Oksigen Terlarut (DO) mg/l DO meter Derajat keasaman (pH) - pH meter

Alkalinitas mg/liter Titrasi

3.3.6. Pengukuran Alkalanitas

Pengukuran alkalinitas dilakukan dengan metode titrasi. Pengukuran

alkalinitas dilakukan dengan menggunakan larutan indikator phenolphthalein

(indikator pp) dan asam kuat HCL. Air sampel di ambil menggunakan gelas

ukur sebanyak 50 ml, dimasukkan ke dalam gelas Erlenmeyer, lalu

ditambahkan dengan indikator pp sekitar 2 – 4 tetes pp. Jika air sampel

berubah warna menjadi merah jambu maka dilakukan titrasi dengan HCL

hingga terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi tidak berwarna,

lalu catat banyak titran yang digunakan.

Nilai alkalinitas dihitung melalui konsentrasi CaCO3 dengan rumus

(Boyd, 1988): VS 1000 x 50 titran x N titran x volume  3 CaCO i Konsentras Keterangan:

CaCO3 = volume CaCO3 dalam air pemeliharaan (mg/l)

Volume titran = volume titran HCL (ml)

N titran = nilai konstanta (0.02) N

VS = 50 ml

50ml = nilai standarisasi larutan

(29)

28

3.4. Analisis data

Kegiatan penelitian ini menggunakan rancangan acak sederhana

dengan 3 perlakuan dan 6 kali ulangan (Lampiran 4). Adapun perlakuan

tersebut adalah sebagai berikut:

Perlakuan1= pemberian CO2 1 kali/3 hari (5x100 ml/menit selama 25 menit)

Perlakuan2= pemberian CO2 1 kali/2 hari (5x100 ml/menit selama 25 menit)

Perlakuan3= pemberian CO2 1 kali/1 hari (5x100 ml /menit selama 25 menit)

Kontrol = tidak dilakukan pemberian karbondioksida

Laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada semua perlakuan

dibandingkan terhadap kontrol. Laju pertumbuhan harian dihitung dengan rumus

(Nelson et al.,1980 in Yulianto dan Arfah, 2003):

% 100 ln

0 

t N Nt

dimana µ = Laju pertumbuhan harian rumput laut (%)

Nt = Berat rumput laut pada umur t hari (g)

No = Berat awal rumput laut (g)

t = Umur hari (hari)

Data dianalisis secara statistik menggunakan Analisis Ragam (ANOVA)

dengan selang kepercayaan 95% (Steel dan Torrie, 1989). Persamaannya adalah

sebagai berikut:

Yij= µ + τi+ έij………(1)

dimana Yij = Perlakuan jenis bahan organik (ke-i) pada ulangan ke-j

(30)

τi = Nilai tambah akibat perlakuan jenis bahan organik (ke-i)

έij = Kesalahan perlakuan percobaan pada perlakuan jenis bahan

organik (ke-i) dan ulangan ke-j

Untuk melihat pengaruh pemberian CO2 terhadap laju pertumbuhan rumput laut

Kappaphycus alvarezii dan untuk melihat dosis yang paling baik untuk memberikan

pertumbuhan yang optimal, maka dilakukan uji lanjut Tukey (Mattjik dan

Sumertajaya, 2002) dengan persamaan sebagai berikut:

S

q

BNJ  ;p;dbg; ………..(2)

dimana : BNJ = Beda Nyata Jujur

= Nilai tabel Tukey pada taraf nyata α

P = Perlakuan

dbg = Derajat bebas galat

(31)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Bobot basah Kappaphycus alvareziipada perlakuan berbeda

Pertumbuhan bobot basah rumput laut Kappaphycus alvarezii yang

dilakukan selama 30 hari pemeliharaan memiliki variasi pada setiap perlakuan.

Bobot basah rumput laut rata- rata terkecil terdapat pada hari 0 sampai hari

ke-6 di setiap perlakuan, dan bobot basah rata- rata terbesar terdapat pada akhir

pemeliharaan di setiap perlakuan. Pada minggu pertama pemeliharaan yaitu hari

pertama sampai hari ke-6 pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii tidak

signifikan pada setiap perlakuan.

Bobot basah terbesar pada awal pemeliharaan terjadi pada media P2 yang

diberi CO2 sebanyak 1 kali setiap 2 hari (5x100 ml /menit selama 25 menit) yaitu

28.60 gr, sedangkan bobot basah terkecil terdapat pada media P1 yang diberi CO2

sebanyak 1 kali setiap 3 hari (5x100 ml /menit selama 25 menit) yaitu 27.70 gr

dan kontrol (K) sebesar 27.90 gr tanpa perlakuan (Lampiran 2). Sementara di

akhir pemeliharaan, bobot basah terbesar terdapat pada media P3 dengan

pemberian CO2 sebanyak 1 kali setiap 1 hari (5x100 ml /menit selama 25 menit)

yaitu 36.67 gr, sedangkan bobot basah terkecil terdapat pada media P1 yaitu 27.60

gr (Lampiran 2).

Bobot basah pada P3 memiliki tingkat pertumbuhan paling tinggi, hal ini

dapat dilihat dari mulai awal pemeliharaan hingga akhir pemeliharaan

pertumbuhan biomassa P3 terus meningkat. Bobot basah P3 di awal pemeliharaan

adalah 27.98 gr, pertumbuhan bobot basah pada P3 meningkat secara signifikan

mulai dari 9hsa yaitu 30.12 gr. Akhir pemeliharaan bobot basah P3 sebesar 36.67

(32)

dengan P3, dengan bobot basah di awal pemeliharaan sebesar 28.60 gr dan terus

bertambah hingga bobot basah di akhir pemeliharaan sebesar 30.57 gr, dan

pertambahan bobot basah rata– rata sebesar 0.19gr/ 3 hari.

Pertumbuhan bobot basah P1 mengalami penurunan drastis pada hari ke-6,

hal ini diakibatkan di awal pemeliharaan timbul bintik- bintik putih pada thallus

(bleaching) sehingga thallus patah. Bobot basah rata- rata P1 pada awal

pemeliharaan sebesar 27.70 gr, hari ke-3 sebesar 28.90 gr, dan mengalami

penurunan drastis pada hari ke-6 sebesar 27.60 gr. Peningkatan pertumbuhan

rumput laut P1 yang sangat signifikan terjadi berturut- turut pada hari ke-24, 27,

dan hari ke-30 yaitu 28.87 gr, 29.67 gr, dan 29.83 gr.

Rumput laut yang dijadikan sebagai media kontrol (K) tanpa perlakuan

mengalami pertumbuhan bobot basah relatif lebih lambat dari media rumput laut

yang diberi perlakuan. Bobot basah K di awal pemeliharaan sebesar 27.90 gr,

pertumbuhan bobot ini terus meningkat hingga akhir pemeliharaan, namun

peningkatan pertumbuhan pada media K lebih rendah dibandingkan pada media

perlakuan. Pertambahan bobot basah rata- rata rumput laut pada media kontrol

(K) sebesar 0.13 gr/3 hari. Bobot rata – rata rumput laut Kappaphycus alvarezii

(33)
[image:33.612.94.501.47.792.2]

32

Gambar 7 . Pertumbuhan bobot basah (gr) Kappaphycus alvarezii pada perlakuan yang berbeda, pemberian CO2 1 kali/3 hari (5x100 ml /menit selama

25 menit) (P1), pemberian CO2 1 kali/2 hari (5x100 ml /menit selama

25 menit) (P2), dan pemberian CO2 1 kali/1 hari (5x100 ml /menit

selama 25 menit) (P3), serta control (K).

Variasi nilai bobot basah yang didapat dari kegiatan penelitian dapat

dijelaskan dari kegiatan fotosintesis yang dilakukan oleh Kappaphycus alvarezii.

Ketersediaan komponen penting yang cukup dalam kegiatan fotosintesis akan

menghasilkan biomassa yang semakin baik. Karbondioksida (CO2), air, dan

energi matahari merupakan komponen pokok yang dibutuhkan alga untuk

melakukan fotosintesis. Fotosintesis akan menghasilkan biomassa dan oksigen.

Biomassa dibangun oleh produsen dan digunakan oleh konsumen sebagai bahan

makanan. Sebaliknya, dalam kegiatan respirasi, oksigen dibutuhkan alga untuk

bernafas pada malam hari dan menghasilkan karbon dioksida. Selain ketersediaan

karbondioksida, air, dan energi matahari, alga juga membutuhkan beberapa

elemen penting untuk mendukung pertumbuhannya, seperti unsur S, Ca, Na, K,

(34)

4.2. Laju pertumbuhan harian Kappaphycus alvarezii

Laju pertumbuhan pada setiap perlakuan sangat bervariasi dengan kisaran

antara -1.772% - 1.310%. Variasi laju pertumbuhan ini disebabkan oleh

perbedaan respon setiap individu rumput laut terhadap lingkungan. Laju

pertumbuhan pada P1 sangat fluktuatif , dapat dilihat pada hari ke-6 terjadi

penurunan laju pertumbuhan hingga negatif yaitu -1.772%. Hal ini terjadi karena

di awal pemeliharan timbul bintik- bintik putih pada thallus rumput laut, sehingga

sebagian thallus rumput laut patah. Namun laju pertumbuhan pada P1 meningkat

hingga 0.364% pada hari ke-9. Penurunan laju pertumbuhan juga terjadi pada hari

ke-12 yaitu -0.034%, dan pada hari ke-24 yaitu 0.046%, serta di akhir

pemeliharaan yaitu -0.153% (Lampiran 3).

Laju pertumbuhan tertinggi dari semua perlakuan berada pada P3 yaitu

1.310% pada hari ke-6 , namun laju pertumbuhan terendah dari semua perlakuan

berada pada P1 yaitu -1.772% pada hari ke-6. Kondisi laju pertumbuhan pada P2

juga mengalami fluktuasi, penurunan laju pertumbuhan juga mencapai angka

negatif. Hal ini dapat dilihat pada hari ke-6 dan hari ke-30 dimana laju

pertumbuhan sebesar -0.007% dan -0.070%. Laju pertumbuhan tertinggi media

P2 berada pada hari ke-24 yaitu 0.185% dan laju pertumbuhan terendah berada di

akhir pemeliharaan yaitu -0.070%. Peningkatan laju pertumbuhan pada P3 lebih

signifikan dibanding dengan P1 dan P2 (Tabel 5). Nilai tertinggi berada pada hari

ke-6 yaitu 1.310%, dan nilai laju pertumbuhan terendah terjadi pada hari ke-30

yaitu 0.465%.

Hasil analisis secara statistik dengan selang kepercayaan 95%, menghasilkan

(35)

34

25 menit) dan perlakuan P2 dengan pemberian CO2 1 kali/2 hari (5x100 ml /menit

selama 25 menit) tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan rumput laut,

dimana nilai yang dihasilkan adalah P1<L= 0.093%<0.65%, dan P2<L=

0.068%<0.65% (Lampiran 5). Namun hasil uji pada perlakuan P3 dengan

pemberian CO2 1 kali/ hari (5x100 ml /menit selama 25 menit) berpengaruh nyata

terhadap laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii yaitu dengan nilai

[image:35.612.111.507.102.785.2]

P3>L= 0.747%>0.65% (Lampiran 5).

Gambar 8. Laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii (%), adalah pemberian CO2 1 kali/3 hari (5x100 ml /menit selama 25 menit) (P1),

pemberian CO2 1 kali/2 hari (5x100 ml /menit selama 25 menit) (P2),

dan pemberian CO2 1 kali/1 hari (5x100 ml /menit selama 25 menit)

(P3).

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa peningkatan laju pertumbuhan terjadi

pada minggu awal pemeliharaan yaitu berada pada hari ke-3 dan hari ke-6 untuk

semua perlakuan, kecuali P1 karena terserang penyakit ice – ice (Gambar 9).

Namun laju pertumbuhan relatif menurun pada minggu kedua dan ketiga

(36)
[image:36.612.169.483.78.313.2]

Gambar 9. Thallus rumput laut yang terkena penyakit ice –ice

Laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii selama penelitian

relatif lambat. Menurut Amiluddin (2007), laju pertumbuhan rumput laut yang

baik adalah sebesar 3-5% perhari selama waktu penanaman. Hal ini terjadi

kemungkinan disebabkan oleh faktor daya dukung lingkungan. Pergerakan air

pada media pemeliharaan sangat mempengaruhi laju pertumbuhan. Menurut

Anggadiredja et al.(2007), bahwa kecepatan pergerakan yang optimal terhadap

pertumbuhan rumput laut berkisar 0.2 – 0.4 m/detik, dengan kondisi tersebut

maka perairan menjadi homogen dan penyerapan nutrien oleh rumput laut

menjadi optimal. Disamping itu juga pemindahan bibit dari pulau Panjang,

Banten menuju laboratorium pemeliharaan SBRC IPB Bogor akan mempengaruhi

adaptasi rumput laut terhadap lingkungan yang mengakibatkan laju pertumbuhan

semakin lambat bahkan perubahan lingkungan ini dapat menimbulkan munculnya

(37)

36

4.3. Pertumbuhan tunas rata-rata Kappaphycus alvarezii pada setiap perlakuan

Pertumbuhan tunas rata - rata rumput laut Kappaphycus alvarezii untuk

semua perlakuan sangat bervariasi. Jumlah tunas tertinggi pada awal pemeliharan

terdapat pada media P1 yaitu sekitar 55 – 56 tunas, dan nilai tunas terendah

terdapat pada media P2 yaitu sekitar 42 – 43 tunas. Pertumbuhan tunas pada

media P1 mengalami penurunan, hal terjadi karena rumput laut pada media P1

mengalami penyakit ice – ice. Penurunan jumlah tunas rata – rata rumput laut

Kappaphycus alvarezii pada media P1 yaitu sekitar 42 – 43 tunas di akhir

pemeliharaan. Hal yang serupa juga terjadi pada media kontrol, jumlah tunas

pada awal pemeliharaan yaitu sekitar 42 – 43 tunas, namun pada akhir

[image:37.612.120.484.108.751.2]

pemeliharaan menjadi sekitar 35 – 36 tunas (Gambar 10).

Gambar 10. Pertumbuhan tunas rata-rata Kappaphycus alvarezii

Pertumbuhan tunas rata – rata rumput laut Kappaphycus alvarezii pada media

P2 dan P3 mengalami peningkatan dari awal pemeliharan hingga akhir

(38)

42 – 43 tunas di awal pemeliharaan, dan mengalami peningkatan menjadi sekitar

59 – 60 tunas di akhir pemeliharaan. Hal serupa juga terjadi pada media P3 yaitu

sekitar 45 – 46 tunas di awal pemeliharaan, menjadi sekitar 64 – 65 tunas di akhir

pemeliharaan. Berdasarkan nilai tersebut, maka pertumbuhan tunas yang paling

baik pada semua perlakuan terdapat pada media P3.

4.4. Pertumbuhan diameter thallus

Pertumbuhan diameter thallus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada

semua perlakuan sangat bervariasi selama pemeliharaan (Gambar 11). Diameter

terbesar terdapat pada media P1 yaitu 0.77 cm di awal pemeliharaan, dan

mengalami pertumbuhan selama pemeliharaan dengan baik hingga akhir

[image:38.612.106.496.2.791.2]

pemeliharaan mencapai 0.95 cm.

Gambar 11. Pertumbuhan diameter thallus rumput laut Kappaphycus alvarezii

Pertumbuhan diameter thallus pada media P1 sangat berbeda dengan P2, P3,

dan kontrol yang mengalami pertumbuhan diameter yang tidak signifikan dari

(39)

38

awal pemeliharaan secara berturut – turut adalah 0.60 cm, 0.55 cm, dan 0.67 cm,

dan di akhir pemeliharaan yaitu 0.75 cm, 0.78 cm, dan 0.78 cm.

4.5. Alkalinitas

Alkalinitas merupakan jumlah basa yang terkandung dalam sebuah perairan

yang ditentukan oleh CO32- dan HCO3 dengan satuan CaCO3 (Dongoran, 2003).

Alkalinitas dihasilkan dari karbondioksida dan air yang dapat melarutkan sedimen

batuan karbonat menjadi bikarbonat. Kelarutan kalsium karbonat menurun

dengan meningkatnya suhu dan meningkat dengan keberadaan karbondioksida.

Kalsium karbonat bereaksi dengan karbondioksida membentuk kalsium

bikarbonat [Ca(HCO3)2] yang memiliki daya larut lebih tinggi dibandingkan

dengan kalsium karbonat (CaCO3) (Cole, 1983).

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan selama penelitian, dihasilkan

nilai alkalinitas pada P1 sebesar 40 mg/l CaCO3. Hal ini diduga karena air yang

menjadi wadah pemeliharaan memiliki kadar mineral yang relatif sama dan

pemberian karbondioksida tidak mempengaruhi perubahan pH secara signifikan

(Tabel 5).

Nilai alkalinitas pada P2 berkisar antara 40 – 60 mg/l CaCO3 dengan pH

cukup bervariasi antara 7 – 8.6. Variasi pH tidak diikuti dengan perbedaan nilai

alkalinitas, karena sifat keasaman CO2 lebih rendah daripada sifat kebasaan CO32-.

Menurut effendi. (2003), sifat kebasaan CO32- lebih kuat daripada sifat keasaman

CO2 pada kondisi kesetimbangan, ion OH- dalam larutan bikarbonat selalu

melebihi ion H+. Nilai alkalinitas pada P3 sangat bervariasi yaitu berkisar antara

50 – 80 mg/l CaCO3, tetapi pH relatif seragam pada kondisi normal yaitu antara

(40)

dilakukan yaitu dengan pemberian CO2 1 kali/hari selama (5x100 ml liter /menit

selama 25 menit), hal ini terjadi diduga karena mineral yang terdapat pada air

pemeliharaan menurun akibat telah dimanfaatkan oleh rumput laut untuk proses

fotosintesis. Sementara nilai alkalinitas tertinggi pada P3 yaitu terdapat pada hari

ke-12 dan hari ke-24 dengan nilai 80 mg/l CaCO3. Tingginya nilai alkalinitas ini

diduga karena karbondioksida yang diberikan setiap hari pada perlakuan tiga (P3)

mempengaruhi penurunan pH hingga angka 7, sehingga nilai alkalinitas juga ikut

berubah.

Tabel 5. Nilai derajat keasaman (pH) dan alkalinitas (mg/liter) selama penelitian

Keterangan:

Perlakuan1= pemberian CO2 1 kali/3 hari (5x100 ml /menit selama 25 menit)

Perlakuan2= pemberian CO2 1 kali/2 hari (5x100 ml /menit selama 25 menit)

Perlakuan3= pemberian CO2 1 kali/1 hari (5x100 ml /menit selama 25 menit)

Berdasarkan nilai alkalinitas yang terdapat pada tabel 5, dapat dikatakan

bahwa nilai alkalinitas masih baik untuk pertumbuhan rumput laut, karena nilai

alkalinitas masih terdapat pada kisaran standar bakumutu nilai alkalinitas. Nilai

alkalinitas yang baik berkisar antara 30 – 500 mg/liter CaCO3. Nilai alkalinitas di

(41)

40

perairan alami adalah > 40 mg/liter CaCO3 disebut perairan sadah (hard water),

sedangkan perairan dengan nilai alkalitas < 40 disebut perairan lunak (soft water)

(Effendi, 2003).

4.6. Kualitas air

Kualitas air merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kelangsungan

hidup organisme air, terutama tumbuhan. Menurut Anggadiredja et al.(2007),

standar bakumutu air dalam budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii yaitu

salinitas optimal sekitar 28 – 330/00, suhu berkisar antara 26 – 300C. Hal ini tidak

jauh berbeda dengan Mubarak et al. (1990), bahwa standar bakumutu air di dalam

budidaya rumput laut Eucheuma spp meliputi beberapa parameter lingkungan,

yaitu gerakan air sekitar 20-40 cm/detik, kejernihan air tidak kurang dari 5 m,

suhu sekitar 20-28 °C, salinitas sekitar 28-340/00 dengan nilai optimum sebesar

250/00, pH sebesar 7.3-8.2, dan mengandung makro nutrien seperti N, P, K, Ca, S,

dan Mg yang sangat dibutuhkan untuk klorofil tumbuhan. Nilai oksigen terlarut

(DO) yang optimal untuk pertumbuhan alga adalah lebih dari 5mg/l (Sulistijo dan

Atmajda, 1996).

Tabel 6.Kualitas air sebelum aplikasi

Perlakuan

Parameter

Salinitas (0/00)

Suhu (⁰C)

Derajat keasaman (pH)

Oksigen terlarut [(DO)(mg/l)]

P1 30 29 7.9 5.95

P2 31 27 7.7 5.6

P3 31 27 7.2 5.7

K 30 30 7.8 5.82

Pengukuran kualitas air yang dilakukan sebelum aplikasi pada K, P1, P2, dan

(42)

sebesar 30, 30, 27, dan 270C, nilai pH sebesar 7.80, 7.90, 7.70, dan 7.20, serta

nilai DO sebesar 5.82, 5.95, 5.60, dan 5.70 mg/l )(Tabel 6; Lampiran 6).

Berdasarkan kualitas air tersebut dapat dilihat bahwa semua nilai masih berada

pada selang bakumutu kualitas air untuk budidaya rumput laut, sehingga kegiatan

penelitian diharapkan dapat berjalan dengan lancar dan rumput laut dapat

bertumbuh dengan baik.

Setelah diberikan perlakuan terhadap rumput laut yaitu dengan memasukkan

CO2 ke dalam air pemeliharaan, maka dilakukan pengukuran kualitas air selama

pemeliharaan dengan rentang waktu 1 kali/3 hari. Nilai suhu pada semua

perlakuan relatif seragam yaitu antara 27 – 280C, hal ini terjadi karena ruangan

pemeliharaan dilengkapi alat pendingin ruangan (air conditioner) namun untuk

menjaga suhu air pemeliharaan berada pada selang nilai yang dapat ditoleransi

oleh rumput laut, maka akuarium pemeliharaan diberikan alat pemanas (heater)

agar suhu dapat diatur sesuai yang diinginkan.

Salinitas air selama penelitian pada semua perlakuan berkisar antara antara 30

– 310/00 untuk semua perlakuan selama pemeliharaan. Salinitas tersebut berada

pada kisaran nilai optimum pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii

antara 28 – 330/00 (Anggadireja et at, 2007). Nilai salinitas tersebut relatif

seragam disebabkan oleh tingkat penguapan air dalam akuarium yang cukup

tinggi, sehingga dilakukan penambahan air laut dan air tawar hingga mencapai

salinitas yang relatif seragam. Penambahan air biasanya dilakukan 1 kali/3 hari.

Tingginya tingkat penguapan yang terjadi disebabkan oleh suhu ruangan yang

(43)

42

Setelah dilakukan pengukuran oksigen terlarut (DO) dalam setiap akuarium

pemeliharaan, maka didapatkan nilai dengan kisaran antara 5.05 – 6.60 mg/l. DO

terendah ditemukan pada minggu terakhir yaitu pada hari ke-24 dengan nilai 5.05

mg/l, hal ini terjadi pada perlakuan P1, sementara DO tertinggi ditemukan pada

hari ke-15 dengan nilai 6.60 mg/l pada media P2. Variasi nilai oksigen terlarut

yang terjadi pada penelitian ini disebabkan oleh difusi pada setiap akuarium

berbeda. Laju difusi sangat dipengaruhi oleh pergerakan air. Namun, variasi DO

pada setiap perlakuan masih berada dalam selang bakumutu kadar DO untuk

pemeliharaan rumput laut. Nilai oksigen terlarut (DO) yang optimal untuk

pertumbuhan alga adalah lebih dari 5mg/l (Sulistijo dan Atmadja, 1996).

Parameter kimia yang paling berkaitan erat dengan CO2 adalah tingkat

keasaman (pH). Pengukuran pH yang telah dilakukan menghasilkan rentang nilai

antara 7.00 – 8.10. Berdasarkan nilai pH tersebut, dapat dilihat bahwa pH

terendah memiliki nilai CO2 yang tinggi. Hal ini terjadi pada P3 yaitu pada hari

ke-12 dan hari ke-24 dengan nilai pH 7.00 memiliki kadar CO2 119.86 mg/l.

Sementara pada pH>8 tidak ditemukan lagi CO2. Hal ini sesuai dengan

Mackereth et al. (1989), bahwab pH sangat berkaitan erat dengan CO2, semakin

tinggi kadar CO2 maka semakin rendah pH dan hal ini juga berlaku sebaliknya

(44)

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan yang paling

baik terhadap laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii yaitu

perlakuan P3 dengan pemberian CO2 sebanyak 1 kali / hari (5x100 ml /menit

selama 25 menit). Hasil ini secara statistika berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.

Hasil uji Beda Nyata Jujur (BNJ) memperlihatkan bahwa perlakuan P1 dan P2

terhadap kontrol tidak berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan Kappaphycus

alvarezii dengan nilai P1<L= 0.093%<0.65%, dan P2<L= 0.068%<0.65%.

Sementara perlakuan P3 terhadap kontrol berbeda nyata terhadap laju

pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan menggunakan jenis rumput laut yang

berbeda, dan kadar karbondioksida optimal untuk mendapatkan laju pertumbuhan

(45)

PEMANFAATAN KARBONDIOKSIDA (CO

2

) UNTUK

OPTIMALISASI PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT

Kappaphycus alvarezii

WELMAR OLFAN BASTEN BARAT

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(46)

Research on seaweed needs to be developed in an effort to increase the quantity

of seaweed production effectively. One that researched is the use of carbon dioxide (CO2) as

an indicator of an increase in the rate of growth of seaweed Kappaphycus alvarezii in a

controlled laboratory scale.

The research was conducted at the Laboratory of Microalgae Surfactant and Bioenergy

Research Center (SBRC) Bogor Agricultural Institute at Baranang Siang, Bogor.

Kappaphycus alvarezii seaweed used in the study obtained from Pulau Panjang, Banten in

August 2010.

Experimental design used was Randomized Complete Design (RCD) with treatments.

P1 is the provision of CO

2

once / 3 days (5x100 ml / min for 25 minutes), P2 is the provision of

CO

2

once / 2 days (5x100 ml / min for 25 minutes), P3 is the provision of CO

2

1 once /

day (5x100 ml / min for 25 minutes), and without the provision of carbon dioxide.

The results showed that the average wet weight - average, influenced by the daily growth

rate of carbon dioxide, and alkalinity. Wet weights of the largest found in the media P3 the

thirtieth day is 36.67 grams, whereas the wet weight of the smallest found in the media P1 the

sixth day is 27.60 grams. The highest growth rate of all treatments is at P3 the sixth day is

1.310%, while the lowest growth rate of all treatments are on the media P1 the sixth day is

-1.772%. Provision of carbon dioxide significantly affect the growth rate

of seaweed Kappaphycus alvarezii, so that made up the Tukey test to determine significantly

different treatment on the rate of growth of seaweed Kappaphycus alvarezii. Based on the results

of the Tukey test resulted that further treatment was significantly different is at P3 the growth rate

of seaweed Kappaphycus alvarezii with a value of P3> L:0747> 0.65, whereas the

treatment in the media P1 and P2 with a value of respectively

P1 <L: 0093 <0.65 and P2 <L: 0068<0.65 were not significantly different to the rate of growth

of seaweed Kappaphycus alvarezii. Based on the measurement of alkalinity by

(47)

RINGKASAN

WELMAR OLFAN BASTEN BARAT. Pemanfaatn Karbondioksida (CO2)

untuk Optimalisasi Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii. Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN dan MUJIZAT KAWAROE.

Penelitian tentang rumput laut perlu terus dikembangkan dalam upaya meningkatkan kuantitas produksi rumput laut secara efektif. Salah satu yang perlu diteliti adalah menggunakan karbondioksida (CO2) sebagai indikator

peningkatan laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii dalam skala laboratorium terkontrol.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikroalga Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) kampus IPB Baranang Siang, Bogor. Rumput laut Kappaphycus alvarezii yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Pulau Panjang, Banten pada bulan Agustus 2010.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan: P1 yaitu pemberian CO2 1 kali/3 hari (5x100 ml/menit

selama 25 menit), P2 yaitu pemberian CO2 1 kali/2 hari (5x100 ml/menit selama

25 menit), P3 yaitu pemberian CO2 1 kali/1 hari (5x100 ml/menit selama 25

menit), dan kontrol tidak dilakukan pemberian karbondioksida.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot basah rata – rata, laju

pertumbuhan harian dipengaruhi oleh pemberian karbondioksida, dan alkalinitas. Bobot basah terbesar terdapat pada media P3 pada hari ke- 30 yaitu 36.67 gr, sedangkan bobot basah terkecil terdapat pada media P1 pada hari ke- 6 yaitu 27.60 gr. Laju pertumbuhan tertinggi dari semua perlakuan berada pada media P3 pada hari ke- 6 yaitu 1.310%, sedangkan laju pertumbuhan terendah dari semua perlakuan berada pada media P1 pada hari ke- 6 yaitu -1.772%. Pemberian karbondioksida berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii, sehingga dilakukan uji lanjut Tukey untuk menentukan perlakuan berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii. Berdasarkan hasil uji lanjut Tukey dihasilkan bahwa perlakuan pada media P3 berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan nilai P3>L: 0.747>0.65, sedangkan perlakuan pada media P1 dan P2 dengan nilai berturut – turut P1<L: 0.093<0.65 dan P2<L: 0.068<0.65 tidak berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii. Berdasarkan pengukuran alkalinitas dengan metode titrasi maka diperoleh nilai alkalinitas tertinggi terdapat pada perlakuan media P3 yaitu 80 mg/l, sedangkan nilai alkalinitas terendah terdapat pada media P1 yaitu 40 mg/l.

(48)

Kappaphycus alvarezii

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

WELMAR OLFAN BASTEN BARAT C54060461

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(49)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PEMANFAATAN KARBONDIOKSIDA (CO2) UNTUK OPTIMALISASI

PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, 29 Oktober 2011

(50)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(51)

SKRIPSI

Judul Penelitian : PEMANFAATAN KARBONDIOKSIDA (CO2) UNTUK

OPTIMALISASI PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii

Nama Mahasiswa : Welmar Olfan Basten Barat

NIM : C54060461

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si. NIP. 19590105 198312 1 001 NIP. 19651213 199403 2 002

Mengetahui, Kepala Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc.

(52)

Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Karunia

dan Penyertaan-Nya bagi Penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Pemanfaatan Karbondioksida (CO2) untuk Optimalisasi

Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvareziií”. Penelitian ini merupakan

tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dari

berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si

selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bantuan berupa

arahan dan masukan kepada Penulis.

2. Bapak Beginer Subhan, S.Pi., M.Si selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran dan masukan kepada penulis.

3. Orang terkasih alm. Bapak Harcijen Hutabarat yang selalu memberikan nasehat

dan motivasi kepada Penulis selama masih hidup agar menjadi orang yang

berguna.

4. Ibu tercinta Tiarma br. Simajuntak dan Kakak Frivan Donna br. Hutabarat

yang menjadi tulang punggung dan selalu memberikan doa, nasehat, semangat

bagi Penulis selama kuliah.

5. Keluarga tercinta (abang - abang, kakak - kakak, lae – lae, anak – anak, bere –

(53)

6. Hilda Isniawati Nelabada yang selalu memberikan dukungan doa dan bantuan

selama kuliah hingga penelitian serta menjadi sahabat sejati.

7. Keluarga besar GMKI Cabang Bogor (senior, anggota biasa, penghuni PKM,

Guntur 38) atas kebersamaanya dan bantuan yang diberikan kepada penulis

selama ini.

8. Teman – teman ITK’43 untuk kebersamaanya selama kuliah, praktek, dan

Fieldtrip.

9. Para Dosen, Staf pengajar serta Tata Usaha departemen Ilmu dan Teknologi

Kelautan.

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun sebagai

masukan. Semoga Skripsi ini dapat berguna baik untuk penulis sendiri maupun

pihak lain.

Bogor, Oktober 2011

(54)

Halaman

DAFTAR TABEL

...

x

DAFTAR GAMBAR

... xi

DAFTAR LAMPIRAN

... xii

1. PENDAHULUAN

... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan …………... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA

... 3

2.1. Morfologi dan taksonomi rumput laut ... 3

2.2. Pertumbuhan rumput laut………

5

2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut .. 6

2.3.1. Suhu Perairan ...

6

2.3.2. Salinitas ...

6

2.3.3. Intensitas cahaya matahari ...

7

2.3.4. Pergerakan air ...

7

2.3.5. Pasang surut ...

8

2.3.6. Substrat ...

8

2.3.7. Kedalaman ...

8

2.3.8. Oksigen terlarut (DO) ...

9

2.3.9. Derajat keasaman(pH) ...

9

2.3.10.Unsur hara ...

9

2.3.11.Penyakit... 10

2.3.11.1. Penyakit ice – ice... 10

2.3.11.2. Penyakit

White spot

... 11

2.4. Karbondioksida (CO

2

) ... 11

2.5. Alkalinitas ... 12

2.5. Bahan organik di perairan ...

14

2.6. Sistem akuariaum air laut ...

15

2.6.1. Sistem filtrasi...

15

2.6.2. Kontrol aliran air laut ...

17

3. METODOLOGI PENELITIAN

………

19

3.1. Waktu dan lokasi penelitian ... ...

19

3.2. Alat dan bahan ...

19

3.3. Prosedur penelitian ...

21

(55)

3.3.3. Pengamatan laju pertumbuhan harian rumput laut ...

24

3.3.4. Sistem sirkulasi karbondioksida (CO

2

) ...

25

3.3.5. Pengukuran kualitas air ...

26

3.3.6. Pengukuran Alkalinitas ...

Gambar

Gambar 1. Rumput laut Kappaphycus alvarezii
Tabel 2. Perawatan dan pengecekan akuarium laut
Gambar 2. Pemilihan bibit rumput laut Kappaphycus alvarezii (A),
 Gambar 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik untuk jarak tanam rata-rata rumput laut pada masing-masing perlakuan memberikan perbedaan yang nyata,

Beberapa keunggulan lainnya menggunakan bibit rumput laut hasil kultur jaringan memiliki, antara lain melalui induksi kalus dan embrio dengan penambahan hormon

Sebagai parameter uji pertumbuhan adalah Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS), kadar karagenan (Kr) dan gangguan hama dan penyakit rumput laut dan dianalisis

Perlakuan bobot bibit yang berbeda terlihat bahwa rumput laut asal ujung thallus pertumbuhannya cenderung lebih baik dari pada asal tengah dan pangkal thallus, sedangkan

Jawa Timur, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Barat. Eucheuma  Eucheuma cottonii cottonii merupakan rumput laut penghasil karaginan yang sebagian besar hasilnya

Uji coba penggunaan tali ris nilon mono filament (senar) dengan metode vertikultur rumput laut di Perairan Pulau untuk mengetahui pertumbuhan rumput laut Kappaphycus

Pengaruh Bobot Awal yang Berbeda Terhadap Laju Pertumbuhan, Nitrogen dan Fosfor Rumput Laut Kapppahycus alvarezii Pada Sistem Budidaya Akuaponik.. Rumput

Dari Gambar 3 terlihat bahwa pertumbuhan harian rumput laut tertinggi masing-masing bibit rumput laut pada siklus ke-2 diduga karena faktor kualitas perairan, baik fisika, kimia,