• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelayakan ikan tuna untuk tujuan ekspor pada kegiatan penangkapan menggunakan pancing tonda di Sadeng Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelayakan ikan tuna untuk tujuan ekspor pada kegiatan penangkapan menggunakan pancing tonda di Sadeng Yogyakarta"

Copied!
221
0
0

Teks penuh

(1)

KELAYAKAN IKAN TUNA UNTUK TUJUAN EKSPOR

PADA KEGIATAN PENANGKAPAN MENGGUNAKAN

PANCING TONDA DI SADENG YOGYAKARTA

BAYU WIRATAMA

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ”Kelayakan Ikan Tuna Tujuan Ekspor pada Kegiatan Penangkapan Menggunakan Pancing Tonda di Sadeng, Yogyakarta” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 19 April 2011

(3)

ABSTRAK

BAYU WIRATAMA, C44061440. Kelayakan Ikan Tuna Tujuan Ekspor pada Kegiatan Penangkapan Menggunakan Pancing Tonda di Sadeng, Yogyakarta. Dibimbing oleh TRI WIJI NURANI dan MUSTARUDIN.

Usaha perikanan tangkap di Sadeng relatif baru, yaitu mulai berkembang pada tahun 2000 dengan didatangkannya nelayan dari Cilacap dan Jawa Timur. Jenis alat tangkap yang banyak digunakan ialah pancing tonda, dengan hasil tangkapan utamanya ikan tuna seperti tuna mata besar (Thunnus obesus) dan tuna sirip kuning (Thunnus albacores). Lama satu kali trip satu sampai tiga hari tergantung jumlah hasil tangkapan, perbekalan dan cuaca. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan cara penanganan yang baik dalam mengendalikan mutu hasil tangkapan ikan tuna di kapal Pancing Tonda, menentukan mutu ikan tuna layak ekspor atau tidak diekspor di Sadeng, Yogyakarta. Metode yang digunakan yaitu studi kasus, dengan menggunakan uji organoleptik, analisis peta kendali, diagram pareto, dan diagram sebab akibat. Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata uji organoleptik berkisar nilai 8, dimana mutu tuna masih sangat baik. Proses penanganan ikan tuna di kapal pancing tonda masih dalam pengendalian, hal ini terlihat dari jumlah cacat lebih sedikit dibanding jumlah yang tidak cacat berdasarkan hasil analisis bagan kendali p. Cacat yang paling dominan yaitu insang berlendir, mata merah, kornea agak keruh dengan persentase (74,07%). Penyebab cacat diantaranya yaitu terkait es balok yang baru dihancurkan di palka, sehingga sedikit banyak mempengaruhi ikan hasil tangkapan di palka tersebut.

(4)

© Hak cipta IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(5)

KELAYAKAN IKAN TUNA UNTUK TUJUAN EKSPOR

PADA KEGIATAN PENANGKAPAN MENGGUNAKAN

PANCING TONDA DI SADENG, YOGYAKARTA

BAYU WIRATAMA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Kelayakan Ikan Tuna untuk Tujuan Ekspor pada Kegiatan Penangkapan Menggunakan Pancing Tonda di Sadeng, Yogyakarta

Nama Mahasiswa : Bayu Wiratama

NRP : C44061440

Mayor : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Program studi : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Disetujui:

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si Dr.Ir. Mustaruddin, S.TP NIP. 19650624 198903 2 002 NIP : 19750205 200701 1 002

Diketahui:

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP: 19621223 198703 1 001

(7)

KATA PENGANTAR

Skripsi dengan judul “Kelayakan Ikan Tuna Tujuan Ekspor pada Kegiatan Penangkapan Menggunakan Pancing Tonda di Sadeng, Yogyakarta” merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan juli 2010 di PPP Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada:

1) Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si dan Dr. Mustarudin, S.TP atas arahan dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini;

2) Dr.Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si, selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Muhammad Imron, M.Si, selaku Komisi Pendidikan Departemen PSP.

3) Ir. Untung Leksono selaku Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Perikanan dan Kelautan Yogyakarta;

4) Pak Dwiyanto selaku staf PPP Sadeng yang telah membantu dan memberikan informasi selama penelitian;

5) Ibu, Bapak, kakak dan adik saya yang selalu memberikan doa, motivasi, nasehat, dan semangat selama ini;

6) Rachman, Adit, Gini, Kimul, Ike, Ghea, Ocid, Udin, yang telah banyak memberikan bantuan serta dukungan.

7) Teman-teman seperjuangan PSP 43 serta pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak yang memerlukan.

(8)

RIWAYAT HIDUP

(9)

DAFTAR ISI

2.3 Faktor Penyebab Kerusakan Ikan ...6

2.3.1 Mekanisme perubahan fisik ikan setelah kematiannya ... 6

2.3.2 Prinsip mencegah kerusakan ... 7

2.3.4 Tekanan dan benturan fisik ... 9

2.4 Proses Penanganan Ikan Tuna ...10

2.4.1 Penanganan tuna di atas kapal ... 10

2.4.2 Pembongkaran palka pendingin ... 13

2.4.3 Pengangkutan ikan ke darat atau darmaga ... 14

2.5 Sumber Daya Ikan Tuna ...14

2.5.1 Deskripsi umum ikan tuna ... 14

2.5.2 Klasifikasi ikan tuna ... 15

2.6 Ikan Tuna yang Layak Ekspor Berdasarkan SNI ...18

2.6.1 Tuna segar untuk sashimi ... 18

2.6.2 Tuna steak beku ... 22

2.6.3 Tuna loin segar ... 28

2.7 Kegiatan Ekspor Produk Tuna ...35

2.8 Unit Penangkapan Pancing Tonda ...37

2.8.1 Alat tangkap pancing tonda ... 37

2.8.2 Kapal dan nelayan ... 40

2.9 Dampak Kegiatan Penangkapan Ikan Terhadap Mutu Ikan Tuna dan Pencemaran Perairan ...40

2.10 Perangkat Analisis Pengendalian Mutu ...42

2.10.1 Peta kendali untuk pengendalian mutu ... 42

2.10.2 Diagram pareto ... 43

2.10.3 Diagram sebab akibat ... 44

3 METODE PENELITIAN ...46

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...46

(10)

3.3 Pengumpulan Data ...46

3.3.1 Pengumpulan data primer ... 46

3.3.2 Pengumpulan data sekunder ... 46

3.4 Analisis Kendali Mutu ...47

3.4.1 Analisis peta kendali ... 47

3.4.2 Analisis diagram pareto ... 47

3.4.3 Analisis diagram sebab akibat (diagram tulang ikan) ... 49

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ...52

4.1 Kondisi Geografi dan Topografi ...52

4.2 Keadaan Perikanan Tangkap di Sadeng ...52

4.2.1 Unit penangkapan ikan ... 52

4.2.2 Daerah penangkapan ikan ... 52

4.2.3 Fasilitas PPP Sadeng ... 56

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ...60

5.1 Ukuran Ikan Tuna yang Tertangkap ... 61

5.2 Penanganan Ikan Tuna di PPP Sadeng ...62

5.2.1 Penanganan di atas kapal ... 62

5.2.2 Penanganan di pelabuhan ...66

5.3 Analisi Peta Kendali p Mutu Ikan Tuna ...72

5.4 Analisis Diagram Pareto Mutu Ikan Tuna ... 75

5.5 Diagram Sebab Akibat Mutu Ikan Tuna ... 78

5.5.1 Aspek orang atau nelayan ...79

5.5.2 Aspek penanganan ...79

5.5.3 Aspek hasil tangkapan ...80

5.5.4 Aspek teknologi ...80

6 KESIMPULAN DAN SARAN ...81

6.1 Kesimpulan ...81

6.2 Saran ...82

DAFTAR PUSTAKA ...83

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Syarat mutu dan keamanan pangan untuk tuna segar sashimi ...19

2 Syarat mutu dan kemanan pangan untuk tuna steak beku ...23

3 Syarat mutu dan kemanan pangan untuk tuna loin segar ...29

4 Jumlah kapal dan perahu motor tempel di PPP sadeng tahun 2005-2009 ... 54

5 Jumlah nelayan di PPP Sadeng tahun 2005-2009 ... 57

6 Fasilitas pokok, fungsional dan penunjang di PPP Sadeng... 59

7 Kapal motor yang diteliti dan jumlah produksi hasil tangkapan... 61

8 Ikan tuna yang diteliti dengan ukuran berat dan panjang ... 62

9 Tabel perhitungan peta kendali p ... 72

10 Checksheet ketidaksesuain tipe cacat pada ikan tuna ... 75

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pancing tonda dalam operasi penangkapan... 39

2 Penondaan di sekitar rumpon ... 40

3 Peta kendali p ... 43

4 Diagram pareto ... 44

5 Checksheet... 44

6 Diagram sebab-akibat... 45

7 Format diagram sebab-akibat ... 51

8 Bagian pancing tonda dan pengoperasiannya ... 55

9 Penanganan Ikan tuna segar (fresh tuna) mulai hauling sampai penyimpanan di kapal, daerah PPP Sadeng ... 63

10 Pengangkatan ikan tuna dari palka ke atas kapal ... 68

11 Pembungkusan ikan dengan terpal ... 69

12 Penyeleksian baby tuna dari palka ke keranjang...69

13 Baby tuna yang ditimbang ... 70

14 Pelabelan ikan tuna setelah ditimbang ... 70

15 Ruang pendingin di TPI ... 71

16 Proses distribusi ikan tuna di Sadeng ... 72

17 Bagan kendali p pada ikan tuna ... 73

18 Diagram pareto tipe cacat pada ikan tuna ... 76

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta lokasi penelitian...87

2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng ...88

3 Peta informasi lokasi penempatan rumpon laut dalam ...89

4 Spesifikasi dan nilai organoleptik ikan tuna untuk tujuan ekspor …………... 90

5 Pengujian organoleptik pada bigeye dan yellowfin tuna di PPP Sadeng ...92

6 Keadaan fasilitas di PPP Sadeng ...98

7 Macam-macam pancing di PPP Sadeng ...99

8 Unit rumpon ...100

9 Kegiatan pembongkaran ikan sampai ke TPI...101

10 Pengamatan ikan tuna berdasarkan pengujian organoleptik ...102

11 Alat bantu yang digunakan untuk pengukuran...103

(14)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dua pertiga wilayahnya atau sekitar 70 % adalah perairan laut yang memliki kekayaan sumberdaya hayati yang potensial dan beragam, baik ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting dan yang tidak.

Penunjang pemanfaatan perairan laut Indonesia diperlukan suatu pelabuhan, termasuk yang terdapat di Pantai Sadeng, Kabupaten Gunung kidul Yogyakarta. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Sadeng, merupakan penunjang pengembangan perikanan laut di Yogyakarta.Peningkatan status dari PPI menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) ditetapkan dengan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor: KEP.10/MEN/2005 pada tanggal 13 Mei 2005.

Perkembangan unit penangkapan ikan yang ada di Sadeng, salah satunya adalah pancing tonda. Pancing tonda merupakan alat tangkap tradisional yang bertujuan menangkap jenis-jenis pelagis seperti tuna, cakalang dan tongkol yang biasa hidup dekat permukaan dan mempunayi nilai ekonomis tinggi, kualitas daging yang tinggi (Gunarso, 1985, diacu dalam Ayuni, 2002).

Ikan tuna merupakan salah satu ikan yang memiliki nilai ekonomis penting dan bernilai jual tinggi. Ikan tuna juga merupakan salah satu sumber makanan protein hewani yang sehat bagi masyarakat Indonesia dan pendapatan negara dari sektor perikanan. Ikan tuna di Indonesia antara lain terdiri atas madidihang (Thununs albacares), albakor (Thunnus alalunga), mata besar (Thunnus obesus), dan tatihu (Thunnus maccoyii) (Nontji, 1993).

(15)

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis perlu melakukan kajian ilmiah mengenai pengendalian mutu hasil tangkapan ikan tuna untuk tujuan ekspor. Kajian ini penting untuk merencanakan suatu proses ikan tuna yang bermutu tinggi, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan untuk pemerintah dan pengusahaan pengolah atau eksportir ikan tuna.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Mendeskripsikan cara penanganan yang baik dalam mengendalikan mutu hasil tangkapan ikan tuna di kapal pancing tonda.

2) Menentukan mutu ikan tuna layak ekspor atau tidak layak ekspor di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, Yogyakarta.

3) Menentukan faktor penyebab ikan tuna yang tidak layak dari kapal pancing tonda sampai di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, Yogyakarta.

1.3 Manfaat Penelitian

(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Mutu

Ada beberapa definisi mutu yang masing-masing memberikan definisi yang berbeda, ditinjau dari dasar pendefenisiannya. Adapun definisi mutu yang cukup populer ada lima jenis yaitu:

1) Menurut lembaga Amerika untuk pengawasan mutu (American Society for Quality Control) yang biasa disingkat dengan ASQC, mutu adalah karakteristik produk dan keistimewaan (feature) yang memenuhi kepuasan pelanggan. 2) Meurut Webster dalam kamusnya, mutu adalah tingkat atau derajat kehebatan

suatu benda.

3) Berdasarkan penggunaan, mutu adalah apa yang diikatkan konsumen.

4) Berdasarkan manufaktur, mutu adalah derajat kecocokan produk dengan spesifikasi desain.

5) Berdasarkan produk, mutu adalah tingkat karakteristik produk yang dapat diukur.

Feingenbaum (1992), menyatakan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full costumer service satisfaction). Suatu produk bermutu apabila dapat memberi kepuasaan sepenuhnya kepada konsumen. Mutu dapat dijelaskan hanya pada tahap suplier, produsen, pengguna atau pelanggan, keputusan manajemen dan pendapat dari konsumen mempengaruhi dari mutu itu sendiri (Deming, 1986).

(17)

1) Pengendalian rancangan baru, yakni menyertakan pembentukan dan keterandalan yang diperlukan untuk memenuhi kepuasan pelanggan yang di maksudkan, termasuk penghapusan atau pencarian tempat sumber-sumber gangguan mutu yang mungkin sebelum dimulai produksi formal.

2) Pengendalian bahan baku yang baru datang, yakni menyertakan penerimaan penyimpanan pada tingkatan mutu yang paling ekonomis, hanya suku cadang yang mutunya memenuhi persyaratan spesifikasi, dengan penekanan tanggung jawab pada penjual praktis sepenuhnya.

3) Pengendalian produk yakni kendali atas produk-produk pada sumber produksinya hingga ke pelayanan lapangan sehingga penyimpangan-penyimpangan spesifikasi mutu dapat dikoreksi sebelum produk-produk yang cacat atau tidak sesuai dibuat dan pelayanan yang tepat dapat dipertahankan di lapangan untuk menjamin ketersediaan mutu pembeli yang dimaksudkan sepenuhnya.

Assauri (1980), menyatakan mutu dipengaruhi oleh faktor yang menentukan bahwa suatu barang dapat memenuhi tujuannya. Mutu merupakan tingkatan pemuasan suatu barang. Ia juga menjabarkan mutu ditentukan oleh beberapa faktor antara lain:

1) Fungsi suatu barang

Tingkat mutu suatu barang tergantung pada tingkat pemenuhan fungsi kepuasan penggunaan barang yang dapat dicapai. Mutu yang hendak dicapai sesuai untuk apa barang tersebut digunakan atau dibutuhkan, tercermin pada spesifikasi dari barang tersebut.

2) Wujud luar

Untuk menentukan mutu suatu barang dilihat pertama kalinya adalah wujud luar barang itu. Faktor wujud luar yang terdapat pada suatu barang tidak hanya terlihat dari bentuk, tetapi juga warna, susunan (pembungkusan) dan hal lain-lainnya.

3) Biaya barang tersebut

(18)

jika barang tersebut mempunyai biaya atau harga yang murah dapat menunjukan bahwa mutu barang tersebut relatif lebih rendah.

2.2 Proses Kemunduran Mutu Ikan

Ikan dikenal sebagai salah satu bahan makanan yang cepat mengalami kemunduran mutu hingga menjadi busuk. Sejak ikan ditangkap dari perairan, serangkaian perubahan-perubahan yang mengarah kepada pembusukan mulai terjadi. Hal ini karena segera setelah ikan mati, ikan akan mengalami proses enzimatis, bakteriologis, kimiawi dan fisik.

Menurut Seagrant (2007), sewaktu ikan tuna meronta pada saat di tangkap, ikan akan membentuk asam laktat yang menyebabkan ikan kelelahan sehingga dapat merusak jaringan. Rusaknya jaringan pada daging ikan tuna akan menyebabkan warna daging yang semula cemerlang menjadi kusam, tekstur daging yang melunak, dan daging akan menjadi pahit. Bukan hanya pada saat ikan tuna mengalami kelelahan, setelah mati suhu tubuh ikan tuna akan mengalami kenaikan. Hal ini dapat mempercepat kemunduran mutu ikan dan memacu terjadinya pembusukan.

Nitibaskara (1979), mengemukakan tahap-tahap pembusukan ikan secara berurutan, yaitu hyperaemia, rigor mortis, autolisis dan penyerangan oleh bakteri.

Phase rigor mortis akan diawali oleh proses pre-rigor, yaitu keadaan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan tersebut mudah dilenturkan, kemudian akan mengerut dan menjadi kaku (phase rigor atau rigor mortis), lalu melemas lagi (phase post rigor).

(19)

2.3 Faktor Penyebab Kerusakan Ikan

Penyebab utama kerusakan ikan dilihat dari sumbernya meliputi penyebab dari keadaan ikan itu sendiri pada saat ditangkap dan penyebab dari kondisi diluar tubuh ikan. penyebab kerusakan oleh keadaan ikannya sendiri meliputi kondisi fisik dan komposisi kimiawi ikan, berdasarkan Anonymous (1972), faktor penyebab kemunduran mutu yang ditimbulkan karena kondisi dari pada ikan itu sendiri.

2.3.1 Mekanisme perubahan fisik ikan setelah kematiannya

Menurut Kushardiyanto (2010), Perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air atau tercekik adalah:

1) Saat proses kematian akan keluar lendir dipermukaan tubuh ikan dengan jumlah yang berlebihan dan ikan akan mengelepar mengenai benda disekelilingnya. Apabila benda yang terkena benturan ikan cukup keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan menjadi memar dan luka-luka.

2) Selanjutnya setelah ikan mati secara perlahan-lahan akan mengalami kekakuan tubuh (rigormortis) yang diawali dari ujung ekor menjalar kearah bagian kepalanya. Lama kekakuan ini tergantung dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya. Setelah proses rigormortis selesai, kerusakan ikan akan mulai terlihat berupa perubahan-perubahan: berkurangnya kekenyalan perut dan daging ikan, berubahnya warna insang, berubahnya kecembungan dan warna mata ikan, untuk ikan bersisik menjadi lebih mudah lepas sisiknya dan kehilangan kecemerlangan warna ikan, bau berubah dari segar menjadi asam. 3) Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya

tingkat penurunan mutu ikan, sampai yang terakhir ikan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi manusia atau busuk.

(20)

menunjukkan telah terjadinya penurunan atau perubahan mutunya. Ciri-ciri indrawi ikan segar:

1) Rupa dan warna: mata masih jernih, warna merah insang, kecemerlangan kulit/sisik dan warna putih-merah dagingnya spesifik jenis ikan dalam keadaan segar dan bersih;

2) Bau: segar spesifik jenis dan mempunyai bau rumput laut segar; dan

3) Daging elastis (kenyal), padat dan kompak, apabila dicicip berasa netral dan sedikit manis.

2.3.2 Prinsip mencegah kerusakan

Menurut Kushardiyanto (2010), prinsip mencegah atau menghambat kerusakan ikan oleh faktor komposisi fisik dan kimiawi ikan adalah:

1) Memberi perlakuan suhu rendah terhadap ikan segera setelah ditangkap atau dipanen, karena proses enzimatis dan aktifitas mikroba pengurai daging akan sangat dihambat pada suhu mendekati 0°C (3 s/d 5°C). Suhu rendah ikan ini harus dipertahankan selama pencucian, penyiangan, pengemasan, penyimpanan dan distribusinya.

2) Mempercepat dan mempermudah kematian ikan segera setelah diangkat dari air dengan cara mendinginkannya dalam air es dingin atau segera memukul kepalanya tepat dibagian otak khusus untuk ikan berukuran besar seperti tuna. 3) Khusus untuk ikan berukuran besar diikuti dengan pembuangan darah ikan

(bleeding), karena darah merupakan media penyebaran mikroba pembusuk dari insang ke daging ikan melalui pembuluh darah ikan.

4) Menyiangi dengan membuang insang dan isi perut ikan sebagai pusat konsentrasi mikroba alami.

5) Mencuci ikan segera setelah ditangkap, mati dan disiangi, dengan tujuan membersihkan lendir dipermukaan tubuhnya yang merupakan salah satu pusat konsentrasi mikroba pembusuk yang secara alami ada di tubuh ikan, dan sisa-sisa darah selama proses penyiangan.

(21)

2.3.3 Kontaminasi

Menurut kushardiyanto (2010), kontaminasi adalah penularan kotoran, mikroba pembusuk atau pathogen (penyebab penyakit) dan bahan kimia berbahaya ke tubuh ikan yang berasal dari lingkungan disekelilingnya saat masih hidup, saat ditangani di atas kapal dan di darat, sehingga ikan yang tertular menjadi tercemar dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi meskipun kondisinya segar.

Jasad renik (bakteri dan kapang), serangga dan binatang hama merupakan pencemar mikrobiologi yang dapat mempengaruhi mutu ikan (Soekarto, 1978 dalam Pramono,1980). Pencemaran oleh bakteri baru berpengaruh terhadap mutu jika menyebabkan kerusakan atau kebusukan, mempengaruhi potensi penyebab penyakit (pathogen) dan mengandung bakteri yang digunakan sebagai indeks sanitasi atau indeks pencemaran.

Menurut Kushardiyanto (2010), prinsip untuk mencegah terjadinya kontaminasi antara lain:

1) Menangkap/memelihara ikan di perairan yang tidak tercemar oleh kotoran, mikroba pembusuk atau pathogen (penyebab penyakit) dan bahan kimia berbahaya.

2) Menggunakan air bersih dengan standar air bahan baku untuk diminum untuk mencuci dan mengemas ikan, mencuci peralatan dan bangunan di tempat-tempat melakukan penanganan ikan.

3) Menggunakan es yang dibuat dari air bersih, disimpan, diangkut dan dihancurkan dengan peralatan yang bersih.

4) Menggunakan bahan pengemas, peralatan dan bangunan yang bersih, dimana permukaannya yang bersentuhan langsung dengan ikan harus cukup halus dan bersih, serta mudah dibersihkan.

5) Melindungi ikan dengan menempatkannya dalam wadah yang terlindung dari serangga, binatang pengerat.

6) Memisahkan wadah ikan yang berbeda jenis dan mutunya.

(22)

dalam keadaan tertutup agar tidak dihinggapi serangga pencemar (lalat, kecoa dsb.).

8) Mencuci semua peralatan dan bangunan (permukaan lantai, dinding, wastafel) tempat menangani ikan setiap kali pekerjaan penanganan ikan akan dimulai dan setelah diakhiri.

2.3.4 Tekanan dan benturan fisik

Menurut Kushardiyanto (2010), tekanan dan benturan fisik yang dialami ikan selama penangkapan dan penanganannya di atas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan dapat menyebabkan kerusakan fisik pada tubuh ikan seperti dagingnya memar, tubuhnya luka, perutnya pecah dsb. Tekanan dan benturan fisik atas ikan harus dihindari pada tahapan-tahapan kegiatan penanganan ikan di atas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Prinsip cara menghindarinya antara lain:

1) Memahami tahapan kegiatan penanganan ikan di kapal penangkap ikan dan di pangkalan pendaratan ikan (PPI) atau pelabuhan perikanan.

2) Menyiapkan peralatan dan perlengkapan handling yang cocok dengan jenis-ukuran ikan dan kondisi tempat penanganan dengan jumlah cukup antara lain meliputi wadah dan peralatan bongkar muat ikan yang memudahkan pelaksanaan pekerjaan pemindahan, pengangkutan dan penyimpanan ikan. 3) Setiap saat melakukan pemindahan ikan agar selalu berusaha mencegah atau

melindungi ikan dari perlakuan kasar atau tekanan fisik yang dapat melukai ikan atau membuat dagingnya memar. Oleh karena itu harus diusahakan seminimal mungkin melakukan pemindahan ikan.

2.3.5 Pendinginan ikan dengan es

(23)

Perlu disadari bahwa untuk menjaga mutu hasil perikanan produksi nelayan sejak ditangkap sampai dengan konsumen ikan segar/basah diperlukan penanganan dengan prinsip “rantai dingin (cold-chain)”. Lebih lanjut berdasarkan

kondisi sosial ekonomi nelayan, petani ikan dan pedagang ikan segar menunjukkan, bahwa penggunaan es (dalam bentuk bongkahan/balok/pecahan, curai atau dicampur dengan air laut) paling cocok sebagai upaya penanganan. Kondisi ideal perbandingan es minimal yang digunakan dan ikan selama penanganan adalah dijaga agar selalu satu dibanding satu.

2.4 Proses Penanganan Ikan Tuna

Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang mudah membusuk hal ini dapat dilihat pada ikan-ikan yang baru ditangkap dalam beberapa jam saja kalau tidak diberi perlakuan atau penanganan yang tepat maka ikan tersebut mutunya menurun. Terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan ikan tuna mempunyai mutu terbaik atau bagus bila cara penangkapan dan pengangkatan serta penanganan di atas kapal berjalan efektif. Kualitas produk tuna dapat dipertahankan apabila penanganan yang diterapkan sesudah ikan di atas kapal sampai ke penyimpanan maupun pengangkatan ke negara tujuan dilakukan dengan tepat, cepat dan ekstra hati-hati.

2.4.1 Penanganan tuna di atas kapal

Penanganan di kapal penangkapan merupakan tahap awal dari perlakuan tuna segar, yang dimana bertujuan untuk memperlambat proses kemunduran mutu ikan tuna yang ditangkap. Menurut bahar (1991), cara penanganan tuna di atas kapal yaitu sebagai berikut :

1) Persiapkan peralatan penanganan untuk menyiangi ikan, seperti alat pembunuh (killing tool), pisau, gunting sirip semuanya harus dalam kondisi siap pakai, bersih dan tajam.

(24)

tersebut dapat terjadi kontaminasi bakteri dan penampilan keutuhan ikan menjadi jelek.

3) Cara mematikan (melumpuhkan) ikan yang masih hidup, yaitu dengan melumpuhkan pusat susunan syaraf otak (spiral column) yang dapat dilakukan dengan menusukkan jarum pembunuh (killing tool) melalui lekukan diantara kedua mata ikan ke arah pusat saraf sehingga ikan akan mati dengan tenang. Pelumpuhan dilakukan dengan waktu 5-10 detik saja. Cara lain untuk mematikan ikan dapat pula dilakukan dengan memukul kepala ikan dengan martil kayu yang dilapisi karet.

4) Pengeluaran darah ikan dapat dilakukan dengan cara menusukkan ujung pisau sedalam 2 cm untuk memotong pembuluh darah di belakang sirip dada. 5) Penyiangan untuk mengeluarkan isi perut dan insang dengan cara membuka

tutup insang, memotong sekat antara jantung dan rongga perut, memotong pangkal insang sampai putus.

6) Mensortir ikan tuna yang tertangkap menurut jenis, ukuran dan kondisi ikan ke dalam palka-palka yang telah disediakan di kapal.

Menurut Poernomo (2002), cara penanganan tuna di kapal yaitu sebagai berikut:

1) Pada saat proses penangkapan, usahakan ikan tetap dalam keadaan hidup dan tidak terlalu banyak berontak ketika ditarik ke arah kapal maupun diangkat ke atas kapal. Bila hal ini dapat dilaksanakan, maka ikan tidak terlalu banyak mengalami stress, tidak mengeluarkan banyak energi dan tidak segera mengalami rigor mortis.

2) Sesudah ikan berada di sisi kapal, siapkan papan peluncur yang licin untuk sarana mengangkat ikan dari air.

3) Sesampai di atas kapal, bila ikan tetap berontak maka ikan harus ditenangkan dengan menutup atau menekan mata dengan telapak tangan dan diselimuti ikan dengan karung (goni) basah. Selanjutnya ikan dapat di pingsankan dengan memukul kepalanya menggunakan palu berkepala karet.

(25)

5) Selanjutnya, ikan didarahi dengan menusukkan pisau tepat di belakang sirip dada (Pectoral fin) dengan kemiringan kurang lebih - 45° sedalam 5-10 cm, disusul pemotongan urat nadi ditulang belakang bagian ekor. Pemotongan urat nadi tersebut dilakukan dengan menyisipkan pisau ke daging antara sirip kecil ekor (finlet) nomor dua dan tiga.

6) Selanjutnya sisipkan pisau di belakang penutup insang kedua dan dorong ke arah depan sepanjang kurang lebih 5 cm sampai dipenutup insang yang pertama.

7) Untuk memotong sirip perut, tidurkan ikan pada punggungnya dan potong sirip perut sedekat mungkin ke daging (jangan sampai kena dagingnya). 8) Perut kemudian dapat dibelah menggunakan pisau, tarik dari daerah diantara

bekas sirip perut ke arah dubur. Pekerjaan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar isi perut tidak tersayat. Selanjutnya keluarkan isi perut, potong ujung usus pada dubur, dan ikan dibalik dengan posisi perut di bawah agar sisa-sisa darah dari rongga perut keluar. Bila pekerjaan ini sudah selesai, sirip dubur, sirip punggung pertama dan kedua dapat dipotong. Pemotongan harus dilakukan dengan hati-hati dan rapi, jangan sampai ada sisa sirip (during/tulang sirip), karena hal ini dapat melukai ikan yang lain sehingga dapat menurunkan mutu ikan lainnya.

9) Bukalah penutup insang dan putuskan isthimus joint (sambungan antara dua insang dan badan yang terletak di bagian bawah ikan). Lakukan tahap ini dengan sempurna sehingga sambungan tersebut benar-benar terpotong dengan sempurna. Selaput insang bagian bawah kemudian dapat dipotong. Pemotongan ini juga harus dikerjakan dengan hati-hati jangan sampai ada daging yang ikut tersayat.

10)Sirip dada selanjutnya dipotong dengan hati-hati sedekat mungkin dengan daging. Penarikan sirip pada waktu dipotong tidak boleh terlalu kuat karena ini dapat meninggalkan lubang pada daging.

(26)

12)Ikan kemudian sudah dapat dicuci kembali. Gunakan sikat alus dan air dingin untuk membersihkan rongga perut maupun rongga insang atau sikat plastik/ijuk untuk membersihkan permukaan badan ikan.

13)Sesuai dengan permintaan negara pengimpor atau untuk ikan berukuran besar (di atas 90 kg), kepala dan ekor selanjutnya dapat dipotong. Pemotongan kepala menggunakan kampak khusus, sedangkan pemotongan ekor dapat menggunakan pisau gergaji.

14)Setelah bersih, ikan segera dibawa keruang pendingin (0°c selama kurang lebih 3 jam) untuk selanjutnya dibekukan bila kapal memiliki sarana pembekuan.

15)Penyusunan ikan dalam palka pendingin diatur sedemikian rupa sehingga ikan selalu tidak bersentuhan dengan dinding palka sekat, selalu tertutup es curai, dan ekor ikan selalu mengarah ke lubang palka. Hal ini akan memudahkan saat pembongkaran nantinya. Ikan di dalam palka dikelompokkan menurut mutu saat dan atau tangkapan.

16)Isi perut, insang maupun sirip harus segera disingkirkan dari tempat penyiapan dan dikumpulkan di tempat tersendiri, tidak boleh dibuang ke laut.

2.4.2 Pembongkaran palka pendingin

Pembongkaran palka dilakukan pada saat kapal telah sampai di pelabuhan. Sebelum pembongkaran dilakukan, tali-tali bongkar (sling tali) dan derek (crane) harus sudah disiapkan. Sisa es harus dibuang dan air laut dingin dari palka dipompa keluar agar mudah melakukan pembongkaran (Sabar, 1991). Cara pembongkaran palka pendingin ikan tuna menurut Poernomo (2002), yaitu sebagai berikut:

(27)

lubang palka, harus diusahakan sehalus mungkin tanpa tonjolan-tonjolan yang mungkin dapat merusak kulit atau tubuh ikan.

2) Ikan dapat diturunkan dari kapal ke dermaga secara manual, namun sebaiknya menggunakan papan peluncur. Di atas papan peluncur, sebaiknya juga diberi tenda pelindung dari sinar matahari. Permukaan dan sudut-sudut papan peluncur harus halus dan selalu dalam keadaan basah oleh air yang terus mengalir dengan suhu sekitar 0°C. Bila papan ini cukup panjang (lebih dari 2,5 m) maka ikan harus diberi pelindung dengan plastik/kain/karung tebal.

2.4.3 Pengangkutan ikan ke darat atau darmaga

Setelah proses pembongkaran dilakukan, langkah selanjutnya adalah pengangkutan ikan ke darat atau darmaga. Cara pengangkutan ikan tuna di darat atau dermaga menurut Poernomo (2002) yaitu sebagai berikut:

1) Di darmaga (di ujung bawah papan peluncur) harus selalu siap seorang petugas untuk menerima ikan yang diluncurkan dari atas kapal. Letakkan ikan diatas kereta dorong yang dipermukaannya telah dibatasi dengan air. Pelindung ikan (palstik/kain/karung tebal) juga harus selalu dalam keadaan basah.

2) Bila akan mengangkut ikan lebih dari satu, maka ikan tidak boleh saling bertumpuk. Kereta pengangkut ikan dapat dibuat sedemikian rupa sehingga setiap ikan menempati ruang tersendiri dan tidak saling menumpuk atau menindih dengan yang lain.

3) Pengangkutan ke pabrik harus dilakukan secepat mungkin, ikan tidak boleh menunggu lebih dari 8 menit, dan dalam waktu 10 menit sudah mencapai pabrik.

2.5 Sumber Daya Ikan Tuna 2.5.1 Deskripsi umum ikan tuna

(28)

atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hyperal, tubuhnya tertutup oleh sisik berwarna biru dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya. Sebagian memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap.

Ikan tuna juga merupakan komoditas ekspor utama sektor perikanan setelah udang. Daerah usaha penangkapannya terutama terpusat di perairan Indonesia bagian timur dan daerah lain yang berlangsung berhadapan dengan samudera hindia maupun yang termasuk perairan ZEEI (Subani dan Barus, 1989).

Menurut DKP (2005), pergerakan migrasi kelompok ikan tuna di wilayah perairan Indonesia mencakup wilyarah perairan pantai, teritorial, dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) indonesia. Migrasi ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi akibat perairan tersebut berhubungan langsung dengan pengaruh perairan kedua samudera tersebut sehingga beberapa wilayah perairan pantai dan teritorial memiliki sumberdaya perikanan tuna yang besar.

2.5.2 Klasifikasi ikan tuna

Menurut Saanin (1984), ikan tuna diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Animalia

Sub Kingdom: Metazoa Filum: Chordata

Sub filum: Vertebrata Kelas: Pisces

Sub Kelas: Teleostei Ordo: Percomorphi Sub Ordo: Scombridea Famili: Scombridae Genus: Thunnus

Spesies: Thunnus obesus

(29)

Berdasarkan klasifikasi Collette (1983), ikan tuna dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Yellowfin

Yellowfin tuna termasuk jenis ikan berukuran besar, mempunyai dua sirip dorsal dan sirip anal yang panjang. Sirip dada (pectoral fin) melampui awal sirip punggung (dorsal) kedua, tetapi tidak melampui pangkalnya. Ikan tuna jenis ini bersifat pelagic, oceanic, berada di atas dan di bawah termoklin. Termoklin adalah suatu lapisan di perairan di mana dapat terjadi perubahan suhu secara drastis terhadap kedalaman. Ikan jenis yellowfin biasanya membentuk scholling

(gerombolan) di bawah permukaan air pada kedalaman kurang dari 100 meter. Ukuran panjang dari yellowfin dapat mencapai lebih dari 200 cm dengan rata-rata 150 cm.

2) Bigeye (Thunnus obesus)

Bigeye merupakan salah satu jenis ikan dengan ukuran besar, sirip dada cukup panjang pada individu yang besar dan dapat menjadi sangat panjang pada ukuran tuna yang masih kecil. Warna bagian bawah perut putih, garis-garis sisi pada ikan hidup seperti sabuk biru yang membujur disepanjang badan. Ikan tuna jenis bigeye ini memilki dua sirip punggung (D1) berwarna kuning terang sedangkan sirip punggung dua (D2) berwarna Kuning muda, jari-jari sirip tambahan kuning terang dan sedikit hitam pada ujungnya. Penyebaran bigeye dari perairan tropis ke sub tropis yang biasanya berada pada kedalaman hingaa 200 meter.

3) Southern bluefin (Thunnus maccoyii)

Tuna jenis soutern bluefin merupakan salah satu jenis ikan terbesar, sirip dadanya sangat pendek (kurang dari 80% panjang kepala), dan tidak pernah mencapai jarak antara kedua sirip punggung. Warna bagian bawah perut putih keperakan dengan garis melintang yang tidak berwarna berselang-selang dengan deretan bintik yang tidak berwarna, hal ini akan terlihat pada southern bluefin

dalam keadaan segar.

(30)

beruaya ke daerah hangat pada kedalaman hinnga 50 meter di bawah permukaan air. Panjang maksimal ikan ini mencapai 160-200 cm.

4) Albacore

Termasuk ikan tuna jenis besar, ke arah belakang ikan ini membentuk unsur kuat dibanding dengan ikan jenis ikan tuna jenis lain. Sirip dada sangat panjang biasanya mencapai 30% panjang tubuh atau berkisar lebih dari 50 cm. Albacore

tersebar disemua perairan tropik dan di perairan-perairan bersuhu sedang biasanya bersifat epilagik, mesopelagik, dan oceanik. Ke dalam perairan tempat penyebarannya antara 300 m dan maksimal pada kedalaman 600 m. Ukuran panjang badan maksimal tuna ini 120 cm.

5) Pacific bluefin

Panjang cagak maksimal pacific bluefin hingga 300 cm dengan berat maksimal 198 kg, bersifat pelagis dan oceanodramus, namun pada musim-musim tertentu mendekat ke pesisir pada perairan pasifik utara (Teluk Alaska-selatan California, dan dari pulau Saklir hingga selatan laut filiphina). Ikan tuna jenis ini tidak terdapat di perairan Indonesia.

Feeding habit dari ikan pacific bluefin adalah sebagai predator dengan memangsa bermacam scholing kecil ikan atau cumi-cumi, juga kepiting dan organisme kecil.

6) Northern bluefin (Thunnus thynnus sp)

Panjang total noutern bluefin maksimal hingga 458 cm dengan berat badan maksimal 684 kg. Ikan ini bersifat pelagis dan oceanodramus biasanya berada pada lapisan kedalaman antara 0-100 m. Pada perairan sebelah barat Atlantik,

Northern bluefin ditemukan di perairan Kanada, Teluk Meksiko, dan Laut Karibia hingga Venezuala dan Brasil. Ikan ini juga ditemukan menyebar pada perairan Timur Atlantik, termasuk Mediterania dan sebelah laut hitam, namun ikan tuna jenis ini tidak terdapat di perairan Indonesia.

(31)

7) Long tail (Thunnus tonggol)

Panjang cagak long tail tuna maksimal 145 cm dengan berat total 259 kg. Ikan ini bersifat oceanic dan oceanodromus dengan kedalaman 10 m. Diperkirakan menyebar di sekitar perairan tropis hingga Indopacific, selat Jepang, Filiphina, Papua New Guinea, dan Austarlia, Timur India dan pesisir Somalia, tidak terdapat di perairan Indonesia. Sirip dorsal ke dua ikan ini lebih panjang dari dorsal pertamanya. Sisi bawah dan bagian perut berwarna putih keperakkan dengan totol-totol berbentuk oval yang teratur secara horizontal, sirip punggung, dada, dan pelvis kehitaman.

8) Blakcfin tuna (Thunnus atlanticus)

Blacfin tuna bersifat dioceus, fertilisasi eksternal, bentuk tubuh fusiform. Ikan ini termasuk jenis predator (berburu makrofauna). Jenis mangsa ini adalah ikan-ikan kecil dipermukaan perairan dan perairan dalam zooplankton (cumi), dan

decapoda (larva).

Panjang maksimal untuk tuna jenis blackfin tuna ini adalah 108 cm dengan berat maksimal 20,8 kg, hidup sebagai ikan pelagis, oceanodramus pada kedalaman 50 m.

2.6 Ikan Tuna yang Layak Ekspor Berdasarkan SNI 2.6.1 Tuna segar untuk sashimi

Menurut KKP (2010), tuna segar untuk sashimi berdasarkan SNI 01-2693.1-2006 meliputi 3 tahap bagian, yaitu: spesifikasi, persyaratan bahan baku, serta penanganan dan pengolahan.

2.6.1.1 Spesifikasi (SNI 01-2693.1-2006)

Tuna segar untuk sashimi yaitu produk hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, pencucian 1, pemotongan sirip, pencucian 2, sortasi mutu (grading), penimbangan, penyimpangan dingin atau tanpa penyimpanan dingin, pengusapan (swabbing), pengepakan dan pelabelan.

(32)

uji, serta syarat penandaan dan pengemasan untuk tuna segar untuk sashimi. Standar ini berlaku untuk tuna segar sashimi dan tidak berlaku untuk produk yang mengalami pengolahan lebih lanjut.

Tabel 1 Syarat mutu dan keamanan pangan untuk tuna segar sashimi

Jenis uji Satuan Persyaratan

2.6.1.2 Persyaratan bahan baku (SNI 01-2693.2-2006)

Ruang lingkup: standar ini menetapkan jenis bahan baku, bentuk bahan baku, asal bahan baku, mutu bahan baku dan penyimpanan bahan baku untuk tuna segar untuk sashimi.

(1) Bahan baku tuna segar untuk sashimi: tuna segar yang telah disiangin dengan membuang isi perut dan insang.

(2) Jenis bahan baku: bahan baku yang digunakan adalah ikan tuna madidihang (yellowfin tuna/thunnus albacores), tuna mata besar (bigeye tuna/ thunnus obesus), tuna sirip biru (bluefin tuna/ thunnus thynnus dan thunnus maccoyii). (3) Bentuk bahan baku: Tuna segar yang sudah disiangin.

(4) Asal bahan baku: bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar. (5) Mutu bahan baku: bahan baku bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan

(33)

kesegaran sebagai berikut: kenampakan: bersih, warna daging spesifik jenis ikan tuna; tekstur: elastis, padat dan kompak; bau: segar; rasa: netral agak manis.

(6) Penyimpanan bahan baku: bahan baku yang terpaksa menunggu proses lebih lanjut, disimpan dalam wadah yang baik dan tetap dipertahankan suhunya dengan menggunakan es curai sehingga suhu pusat bahan baku mencapai suhu maksimal 4,4 C, saniter dan higienis.

2.6.1.3 Penanganan dan pengolahan (SNI 01-2693.3-2006)

Penanganan dan pengolahan tuna segar untuk sashimi terdiri dari: (1) Penerimaan

- Potensi bahaya: mutu bahan baku kurang baik, ukuran dan jenis tidak sesaui, kontaminasi bakteri pathogen dan terdapatnya mata pancing.

- Tujuan: mendapatkan bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu dan terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen serta bebas dari mata pancing.

- Petunjuk: tuna segar yang diterima pada unit pengolahan ditangani secara cepat, cermat dan bersih serta suhu pusat ikan diperhatikan maksimal 4,4 C. Pemeriksaan terhadap mata pancing dilakukan terhadap setiap ikan dengan membuka insang dan mulut.

(2) Pencucian 1

- Potensi bahaya: kotoran dan kontaminasi bakteri.

- Tujuan: membersihkan kotoran dan mencegah kontaminasi bakteri.

- Petunjuk: pencucian dilakukan searah dengan susunan sisik mulai dari kepala sampai ekor. Proses dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter

serta suhu pusat ikan dipertahankan maksimal 4,4 C. (3) Pemotongan sirip

- Potensi bahaya: kemunduran mutu, kontaminasi bakteri.

- Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih dari sirip serta bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

(34)

(4) Sortasi mutu (grading)

- Potensi bahaya: kemunduran mutu.

- Tujuan: mendapatkan mutu yang sesuai dengan yang telah ditentukan.

- Petunjuk: sortasi dilakukan terhadap mutu (grading). Selama sortasi ikan ditangani secara cepat, cermat dan bersih serta suhu pusat ikan dipertahankan maksimal 4,4 C.

(5) Pencucian 2

- Potensi bahaya: kotoran dan kontaminasi bakteri.

- Tujuan: membersihkan kotoran dan mencegah kontaminasi bakteri.

- Petunjuk: pencucian dilakukan dengan cara mengusap pada bagian tubuh ikan dengan air dingin. Pengusapan dilakukan searah dengan susunan sisik mulai dari kepala sampai ekor. Proses dilakukan dengan cepat, cerrmat dan saniter serta suhu pusat ikan dipertahankan maksimal 4,4 C.

(6) Penimbangan

- Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri pathogen.

- Tujuan: mendapatkan berat tuna yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: ikan ditimbang satu persatu menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan

saniter dengan suhu pusat ikan maksimal 4,4 C. (7) Penyimpanan dingin atau tanpa penyimpanan dingin

- Potensi bahaya: histamin.

- Tujuan: mencegah terjadinya peningkatan histamin.

- Petunjuk: apabila tuna segar menunggu waktu untuk dipasarkan maka dilakukan penampangan dalam ruang pendingin atau dengan es kering dan tetap mempertahankan suhu pusat ikan maksimal 4,4 C.

(8) Pengusapan (swabbing) bila dilakukan penyimpanan dingin

- Potensi bahaya: kotoran dan kontaminasi bakteri.

- Tujuan: membersihkan kotoran dan mencegah kontaminasi bakteri.

(35)

dilakukan searah dengan susunan sisik mulai dari kepala sampai ekor. Proses dilakukan dengan cepat, cermat, dan saniter.

(9) Pengepakan dan pelabelan

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri, kerusakan fisik dan kesalahan label.

- Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi bakteri dan kerusakan fisik selama transportasi dan penyimpanan serta ketidaksesuaian label.

- Petunjuk: ikan ditimbang lalu disusun dalam wadah dengan penambahan es dan pelabelan dilakukan sesuai dengan SNI 01-4858-2006, pengemasan ikan segar melalui sarana angkutan udara.

(10) Pengemasan

- Bahan kemasan untuk tuna segar sashimi sesuai dengan SNI 01-4858-2006, pengemasan ikan segar melalui sarana angkutan udara.

- Teknik pengemasan: produk akhir dikemas sesuai dengan SNI 01-4858-2006, pengemasan ikan segar melalui sarana angkutan udara.

(11) Syarat penandaan

Dalam sistem penandaan dan pemberian kode dilakukan dengan sebaik mungkin. Setiap produk tuna segar untuk sashimi yang akan dipanaskan diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, menggunakan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan sekurang-kurangnya sebagai berikut: jenis produk, berat bersih produk, bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut, nama dan alamat unit pengolahan secara lengkap, tanggal, bulan, tahun produksi, dan tahun kadaluwarsa.

2.6.2 Tuna steak beku

Menurut KKP ( 2010), tuna steak beku berdasarkan SNI 01-4485.1-2006 meliputi 3 tahap bagian, yaitu: spesifikasi, persyaratan bahan baku, serta penanganan dan pengolahan.

2.6.2.1 Spesifikasi (SNI 01-4485.1-2006)

(36)

pembungkusan (wrapping), pembekuan, pembentukan steak, penggelasan atau tanpa penggelasan, penimbangan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan. Tabel 2 Syarat mutu dan kemanan pangan untuk tuna steak beku

Jenis uji Satuan Persyaratan

1) Sensori Angka (1-9) Minimal 7

2) Cemaran mikroba*

2.6.2.2 Persyaratan bahan baku (SNI 01-4485.2-2006)

Ruang lingkup: standar ini menetapkan jenis bahan baku, bentuk bahan baku, asal bahan baku, mutu bahan baku dan penyimpanan bahan baku untuk tuna

steak beku.

(1) Bahan baku tuna steak beku: ikan tuna segar atau beku

(2) Bahan baku yang digunakan adalah ikan tuna madidihang (yellowfin tuna/thunnus albacores), tuna mata besar ( bigeye tuna/thunnus obesus), tuna sirip biru (bluefin tuna/thunnus thynnus dan thunnus maccoyi ), tuna albakora (albacore/thunnus alalunga).

(3) Bentuk bahan baku: bahan baku berupa ikan tuna segar atau beku yang sudah atau belum disiangi.

(4) Asal bahan baku: bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar. (5) Mutu bahan baku

(37)

sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.

- Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran sebagai berikut: kenampakan: mata cerah, cemerlang; bau: segar; tekstur: elastis, padat dan kompak.

(6) Penyimpanan bahan baku

Bahan baku yang terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut, maka bahan baku yang beku harus disimpan dalam ruang penyimpan (cold storage) dengan suhu maksimal -25 C, saniter dan higienis. Untuk bahan baku yang segar harus disimpan dalam wadah yang baik dan tetap dipertahankan suhunya dengan menggunakan es curai sehingga suhu pusat bahan baku mencapai suhu maksimal 4,4 C, saniter dan higienis.

2.6.2.3 Penanganan dan pengolahan (SNI 01-4485.3-2006) Teknik penanganan dan pengolahan terdiri dari: (1) Penerimaan

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, mutu bahan baku kurang baik/segar, ukuran dan jenis tidak sesuai.

- Tujuan: mendapatkan bahan baku yang bebas bakteri pathogen dan memenuhi persyaratan mutu, ukuran dan jenis.

- Petunjuk: bahan baku yang diterima diunit pengolahan diuji secara oragnoleptik, untuk mengetahui mutunya, bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.

(2) Penyiangan atau tanpa penyiangan

- Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen.

- Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri pathogen.

(38)

(3) Pencucian

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kemunduran mutu.

- Tujuan: menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di tubuh ikan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.

(4) Pembuatan loin

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen.

- Tujuan: mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4 C.

(5) Pengulitan dan perapihan

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging hitam, darah dan kulit.

- Tujuan: mendapatkan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging merah dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengulitan dan perapihan harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu produk 4,4 C.

(6) Sortasi mutu

- Potensi bahaya: kemunduran mutu, kontaminasi bakteri pathogen, terdapat daging merah, tulang, duri dan kulit.

- Tujuan: mendapatkan loin dengan mutu yang baik dan serta bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

(39)

(7) Pembentukan steak

- Potensi bahaya: bentuk serta ukuran steak yang tidak sesuai, kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen.

- Tujuan: mendapatkan steak tuna dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: loin yang sudah rapi dipotong menjadi bentuk steak dengan bentuk dan ukuran yang sesuai. Pembentukan steak harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.

(8) Pembungkusan (wrapping)

- Potensi bahaya: pembungkusan kurang sempurna/kurang vakum dan kontaminasi bakteri.

- Tujuan: mendapatkan steak dalam kemasan yang vacum dan terhindar dari kontaminasi bakteri.

- Petunjuk: steak yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual dan dikemas secara vacum. Proses pembungkusan harus dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.

(9) Pembekuan

- Potensi bahaya: pembekuan yang tidak sempurna (partial freezing) dan kehilangan cairan (driploss).

- Tujuan: membekukan produk hingga mencapai suhu pusat -18 C secara cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk.

(10) Pengulitan dan perapihan

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging daging merah dan kulit.

- Tujuan: mendapatkan steak yang rapi dan bebas dari tulang, daging merah dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen.

(40)

(11) Pembentukan steak

- Potensi bahaya: bentuk serta ukuran steak yang tidak sesuai, kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen.

- Tujuan: mendapatkan steak dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: loin yang sudah rapi dipotong menjadi steak dengan bentuk dan ukuran yang sesuai. Pembentukan steak harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 C.

(12) Penggelasan atau tanpa penggelasan

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen atau kemunduran mutu.

- Tujuan: melapisi ikan dengan air es agar tidak mudah terjadi pengeringan pada saat penyimpanan.

- Petunjuk: steak yang telah dibekukan kemudian disemprot dengan air dingin. Proses penggelasan harus dilakukan secara cepat, cermat dan

saniter untuk mempertahankan suhu pusat ikan maksimal -18 C. (13) Penimbangan

- Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri pathogen.

- Tujuan: mendapatkan berat loin steak yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: steak ditimbang sesuai berat yang telah ditentukan, dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 C.

(14) Pengepakan

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri dan kesalahan label.

- Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.

(41)

(15) Pengemasan

- Bahan kemasan untuk tuna steak beku harus bersih, tidak mencemari produk yang dikemas, terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi produk ikan beku.

- Teknik pengemasan: produk akhir harus dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis, pengemasan harus dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk. Untuk produk yang menggunakan transportasi udara, teknik pengemasan sesuai SNI 01-4872.1-2006.

(16) Syarat penandaan

Dalam sistem pelabelan dan pemberian kode dilakukan dengan sebaik mungkin. Setiap kemasan produk tuna steak beku yang akan diperdagangkan diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, menggunakan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan sekurang-kurangnya sebagai berikut: jenis produk, berat bersih produk, nama dan alamat unit pengolahan secara lengkap, bila ada bahan tambah lain diberi keterangan bahan tersebut, tanggal, bulan, tahun produksi, tahun kadaluwarsa.

(17) Penyimpanan

Penyimpanan tuna steak beku harus dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimum -25 C dengan fluktuasi suhu kurang lebih 2 C. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.

2.6.3 Tuna loin segar

(42)

2.6.3.1 Spesifikasi (SNI 7530.1-2009)

Tuna loin segar yaitu produk hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan proses dan pendinginan hingga mencapai suhu pusat 0 C-4,4 C

Tabel 3 Syarat mutu dan kemanan pangan untuk tuna loin segar

Jenis uji Satuan Persyaratan

1) Sensori Angka (1-9) Minimal 7

2) Cemaran mikroba*

2.6.3.2 Persyaratan bahan baku (SNI 7530.2:2009)

Ruang lingkup: standar ini menetapkan persyaratan bahan baku tuna loin segar.

(1) Bahan baku tuna loin segar: ikan tuna segar dan beku. (2) Jenis bahan baku yang digunakan:

- tuna madidihang (yellowfin tuna/ thunnus albacares).

- tuna mata besar (bigeye tuna/ thunnus obesus).

- tuna sirip biru (bluefin tuna/thunnus tynnus dan thunnus maccoyi).

- tuna albakora (albacore/ thunnus alalunga).

(3) Bentuk bahan baku berupa ikan tuna segar atau beku yang sudah atau belum disiangi.

(43)

- Bahan baku bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.

- Secara sensori bahan baku mempunyai karakteristik kesegaran seperti berikut: kenampakan: mata cerah, cemerlang; bau: segar; tekstur: elastis, padat dan kompak.

(6) Penyimpanan

Bahan baku disimpan dalam wadah yang baik dengan menggunakan es dengan suhu pusat bahan baku 4,4 C atau lebih rendah untuk bahan baku segar dan -18 C untuk bahan baku beku, secara saniter dan higienis.

2.6.3.3 Penanganan dan pengolahan (SNI 7530.3:2009)

Teknik penanganan dan pengolahan untuk bahan baku tuna segar terdiri dari:

(1) Penerimaan

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, kemunduran mutu dan histamin.

- Tujuan: mendapatkan bahan baku yang bebas dari kontaminasi bakteri

pathogen.

- Petunjuk: bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik dan uji histamin, untuk mengetahui mutunya. Penanganan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dengan suhu produk 0 C -4,4 C untuk bahan baku segar dan -18 C atau lebih rendah untuk bahan baku beku. Bahan baku diindetifikasi dan diberi kode untu kemudahan dalam penelusuran (traceability) dan dipertahankan sampai tahapan produk akhir. (2) Penyiangan

- Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta

mereduksi kontaminasi bakteri pathogen.

(44)

(3) Pencucian

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kemuduran mutu

- Tujuan: menghilangkan sisa kotoran darah yang menempel ditubuh ikan dan bebas dari kontaminsi bakteri pathogen.

- Petunjuk: ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk 0 C-4,4 C.

(4) Pembuatan loin

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen.

- Tujuan: mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembutan loin dilakukan secara tepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 0 C-4,4 C.

(5) Pembuangan kulit dan perapihan

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging hitam dan kulit.

- Tujuan: mendaptakan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging hitam dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: tulang, daging hitam dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pembuangan kulit dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk.

(6) Sortasi mutu

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen.

- Tujuan: mendaptakan loin dengan mutu sesuai spesifikasi.

- Petunjuk: sortasi mutu dilakukan dengan mengelompokkan produk sesuai spesifikasi, secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk.

(7) Pembungkusan (wrapping)

- Potensi bahaya: pembungkusan kurang sempurna dan kontaminasi bakteri

(45)

- Tujuan: mendapatkan loin dalam kemasan yang sempurna dan terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: loin yang sudah rapi selanjutnya dikemas dalam plastik vacum

dan tidak vacum secara individual dengan cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk.

(8) Penimbangan

- Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri pathogen.

- Tujuan: mendapatkan berat loin yang sesauai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahnkan suhu pusat produk.

(9) Pengepakan

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kesalahan label.

- Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.

- Petunjuk: loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter.

Penanganan dan pengolahan untuk bahan baku tuna beku terdiri dari: (1) Penerimaan

- Potensi bahaya: kemunduran mutu, bakteri pathogen, parasit.

- Tujuan: memperoleh bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: bahan baku diuji secara oraganoleptik kemudian ditangani sacara cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk -18 C atau lebih rendah. Bahan baku diidentifikasi dan diberi kode untuk kemudahan dalam penelurusan traceability dan diperlukan sampai produk akhir. (2) Pelelehan

- Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri.

(46)

- Petunjuk: tuna beku direndam dengan air pada suhu 10 C- 15 C hingga suhu pusat ikan 0 C-4,4 C.

(3) Penyiangan

- Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta

mereduksi kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangin dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk.

(4) Pembuatan loin

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen.

- Tujuan: mendapatkan bentuk loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter serta dengan suhu pusat produk.

(5) Pengulitan dan perapihan

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit.

- Tujuan: mendapatkan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk.

(6) Sortasi mutu

- Potensi bahaya: kemunduran mutu, kontaminasi bakteri pathogen, terdapat daging merah, tulang, duri dan kulit.

- Tujuan: mendapatkan loin dengan mutu yang baik dan serta bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

(47)

(7) Pembungkusan (wrapping)

- Potensi bahaya: pembungkusan kurang sempurna dan kontaminasi bakteri

pathogen.

- Tujuan: mendapatkan loin dalam kemasan yang sempurna dan terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: loin yang sudah rapi selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual vacum dan tidak vacum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk.

(8) Penimbangan

- Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri pathogen.

- Tujuan: mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

- Petunjuk: loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan

saniter serta tetap mempertahnkan suhu pusat produk. (9) Pengepakan

- Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kesalahan label.

- Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.

- Petunjuk: loin segar, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter.

(10) Pengemasan

- Bahan kemasan untuk tuna loin segar bersih, tidak mencemari produk yang dikemas, terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi produk ikan segar.

- Teknik pengemasan: produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara

saniter dan higienis. Pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk akhir.

(48)

mencatumkan bahasa yang dipersayaratkan disertai keterangan sekurang-kurangnya sebagai berikut: nama produk, berat bersih atau isi bersih, daftar bahan yang digunakan, nama dan alamat produsen pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, tanggal, bulan, tahun produksi, tahun kadaluwarsa.

(11) Penyimpanan

Penyimpanan tuna loin segar dalam gudang segar (cool room) dengan suhu maksimal 4,4 C. Penataan produk dalam gudang segar diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.

2.7 Kegiatan Ekspor Produk Tuna

Produksi tuna Indonesia sebagian besar ditujukan untuk pasar ekspor. Tujuan utama ekspor produk tuna adalah ke pasar Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pasar jepang khusus untuk produk tuna segar dan tuna beku sashimi. Pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk produk-produk olahan tuna.

Bagi perusahaan tuna pemula yang akan melakukan ekspor, dapat mengakses pasar melalui berbagai media, diantaranya dapat melalui internet, berhubungan langsung dengan eksportir atau media promosi ekspor lainnya. Perusahaan dapat juga mengikuti pameran dagang khusus produk perikanan, yang secara berkala diadakan setiap satu tahun sekali. Pameran dagang untuk pasar Uni Eropa diadakan di Brussels, sementara itu untuk pasar Amerika Serikat diadakan di Boston. Dalam pameran dagang poduk perikanan akan dilakukan promosi dagang, dan disini dapat terjadi transaksi ekspor.

Ekspor merupakan kegiatan perdagangan baik itu barang maupun jasa yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain, melalui prosedur yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Kegiatan ekspor semakin terasa penting dengan adanya tantangan golabalisasi, dimana barang dan jasa dapat dengan mudah keluar dan masuk dari dan ke suatu negara.

Gambar

Tabel 1  Syarat mutu dan keamanan pangan untuk tuna segar sashimi
Gambar 2  Penondaan disekitar rumpon.
Gambar 4  Contoh diagram pareto.
Gambar 8  Bagian pancing tonda dan pengoperasiannya.
+7

Referensi

Dokumen terkait

BELANJA SARANA PERIKANAN TANGKAP KAPAL IKAN UKURAN 1,5 GT ( FIBER GLASS) DENGAN ALAT TANGKAP PANCING TONDA PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN ARU. UNIT LAYANAN PENGADAAN KELOMPOK

Sehubungan dengan pekerjaan BELANJA SARANA PERIKANAN TANGKAP KAPAL IKAN UKURAN 1,5 GT ( FIBER GLASS) DENGAN ALAT TANGKAP PANCING TONDA pada DINAS PERIKANAN dan Berdasarkan Berita

Dari beberapa hasil penelitian diinformasikan bahwa jenis ikan hasil tangkapan pancing tonda adalah tuna yang berukuran kecil dengan mutu yang tidak memenuhi

Penelitian ini hanya dilakukan pada ikan tuna sirip kuning ( Thunnus albacares ) yang tertangkap di Samudera Hindia dengan alat tangkap rawai tuna ( longline ) dan didaratkan

Dalam rangka memperoleh data dan informasi mengenai ukuran ikan tuna matabesar ( Thunnus obesus ) yang tertangkap de-ngan pancing ulur di perairan Laut Maluku, maka telah

Dari beberapa hasil penelitian diinformasikan bahwa jenis ikan hasil tangkapan pancing tonda adalah tuna yang berukuran kecil dengan mutu yang tidak memenuhi

Penelitian ini hanya dilakukan pada ikan tuna sirip kuning ( Thunnus albacares ) yang tertangkap di Samudera Hindia dengan alat tangkap rawai tuna ( longline ) dan didaratkan

Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung produktivitas penangkapan (LPUE) 3 jenis tuna yakni ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacores), tuna mata besar (Thunnus obesus),