AIR TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN
(STUDI KASUS : KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN)
ENI WINARTI
A14070076
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i
RINGKASAN
Eni Winarti. Karakteristik Fisik Tanah dan Dinamika Kadar Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan (Studi Kasus : Kebun Percobaan Cikabayan). Di bawah bimbingan Enni Dwi Wahjunie dan Dwi Putro Tejo Baskoro.
Ketersediaan air pada pertanian lahan kering hanya mengandalkan air hujan. Hujan yang tidak terjadi setiap hari tersebut sering diperparah oleh tingginya intensitas penyinaran matahari yang menyebabkan tingginya evapotranspirasi. Perubahan kadar air tanah yang terjadi pada tiap-tiap penggunaan lahan dapat berbeda dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dinamika kadar air tanah di lahan kering sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah dan curah hujan, dimana sifat-sifat tanah tersebut juga dipengaruhi oleh penggunaan lahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat fisik dan dinamika kadar air tanah pada berbagai penggunaan lahan dan curah hujan di Kebun Percobaan Cikabayan, Kampus IPB, Dramaga, Bogor.
Pengamatan kadar air lapang untuk satu hari setelah hujan dilakukan pada tanggal 16, 24, dan 27 Mei, serta 1, 5 dan 9 Juni dengan jumlah hujan pada satu hari sebelumnya adalah 4,2 mm, 0,3 mm, 36,4 mm, 8,2 mm, 31,2 mm, dan 26,2 mm. Beberapa kadar air tanah tidak mengikuti pola curah hujan yang terjadi sehari sebelumnya. Kadar air tanah tertinggi justru terjadi setelah curah hujan terendah (0,3 mm) pada tanggal 24 Mei. Hal tersebut dapat disebabkan karena telah terjadi hujan dengan jumlah yang cukup besar sebelum tanggal 24 Mei (21 dan 22 Mei), yaitu 95,7 mm dan 15 mm. Hujan tersebut dapat menyumbangkan cukup air bagi tanah meskipun hujan yang terjadi pada tanggal 23 Mei sangat kecil.
Kadar air tertinggi dan terendah pada tiga sampai delapan hari setelah hujan (3-8 Oktober) berbeda-beda pada setiap penggunaan lahan. Curah hujan yang terjadi pada tanggal 29 dan 30 September adalah 8,9 mm, dan 0,3 mm. Kadar air tertinggi pada lahan sawit dan lahan jeruk saat hari kedelapan setelah hujan terdapat pada lapisan 30-50 cm. Sementara pada lahan tegalan, kadar air tertinggi saat hari kedelapan terjadi pada lapisan 10-30 cm. Tingginya kadar air tanah pada lapisan bawah dapat terjadi karena air pada lapisan tersebut belum diserap oleh akar atau belum hilang sebagai evapotranspirasi karena jaraknya yang cukup jauh dari zona perakaran.
Lahan sawit memiliki nilai kadar air tanah yang lebih rendah daripada kadar air titik layu permanen meskipun tidak terjadi hujan selama delapan hari, disamping karena baiknya sifat fisik lahan tersebut, juga dapat disebabkan oleh tajuk tanaman sawit yang lebat yang mampu mengurangi laju evaporasi atau kehilangan air melalui penguapan. Lahan jeruk memiliki kadar air yang lebih rendah daripada kadar air titik layu permanen saat hari keenam setelah hujan (lapisan 0-10 cm dan 10-30 cm) dan hari kedelapan setelah hujan (lapisan 30-50 cm), sementara lahan tegalan masih mampu menyediakan air meskipun tidak terjadi hujan selama delapan hari.
i ABSTRACT
Eni Winarti. Soil Physical Characteristics and Soil Moisture Dynamic on Various Land Use : A Case Study on the Experiment and research Garden of Cikabayan). Under guidance of Enni Dwi Wahjunie and Dwi Putro Tejo Baskoro.
The water supply in dryland agriculture relies on rain water. Erratic rainfall which is often compounded by high intensity of sun light causes a high evapotranspiration, so that soil water is significanly decrease. Changes in soil water levels is variable depending on land use type and is affected by various factors. The dynamic of soil moisture content is then strongly influenced by rainfall pattern and physical characteristic of soil, where the soil characteristic itself is influenced by land use type. This study aims to determine physical characteristic of soil and dynamic of soil water in various land use and rainfall in The Experiment and Research Garden of Cikabayan, IPB, Dramaga, Bogor. Each land use has different permanent wilting point and soil water level due to difference in density of canopy or the depth of soil layer. The field soil moisture content under oilpalm is still higher than the permanent wilting point although no rain for eight days. It may be caused by the dense canopy of palm trees which can reduce the rate of evaporation. The field soil moisture content under citrus fall below the wilting point at the sixth day after rain (on 10-30 cm layer) and the eighth day after rain (30-50 cm layer), while soil under annual crop is still possibly providing water supply even though no rain for eight days .
Key words : land use, rainfall, soil moisture, soil physic charackteristics
i
KARAKTERISTIK FISIK TANAH DAN DINAMIKA KADAR
AIR TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN
(STUDI KASUS : KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN)
Oleh :
Eni Winarti
A14070076
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Karakteristik Fisik Tanah dan Dinamika Kadar Air Tanah pada
Berbagai Penggunaan Lahan (Studi Kasus : Kebun Percobaan
Cikabayan)
Nama : Eni Winarti
NRP : A14070076
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si Dr. Ir. D. P. Tejo Baskoro, M.Sc NIP. 19600330 198601 2 001 NIP. 19630126 198703 1 001
Mengetahui,
Kepala Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 19621113 198703 1 003
Tanggal Lulus:
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Desa Bogorejo, Muara Tebo, Provinsi
Jambi pada tanggal 6 November 1989. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara, pasangan bapak Siyarto dan ibu Sri
Karyati.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2001
di SDN 323 Bogorejo yang sekarang telah berganti nama menjadi SDN 147
Bogorejo, kemudian pada tahun 2004 menyelesaikan studi di sekolah Menengah
Pertama Negeri 01 Muara Tebo. Lalu penulis melanjutkan studinya ke Sekolah
Menengah Atas Negeri 03 Tebo, dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Manajemen
Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah)
Provinsi Jambi. Selama masa studinya penulis terlibat dalam organisasi Laskar
Hijau, dan berbagai kepanitiaan seperti SOILIDARITY (2009), SOILIDARITY
(2010), Seminar Nasional (2011), dan pernah menjadi Asisten Praktikum Fisika
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
skripsi ini. Skripsi yang berjudul Karakteristik Fisik Tanah dan Dinamika
Kadar Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kebun
Percobaan Cikabayan), merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana di Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Pemerintah Daerah Provinsi Jambi sebagai pemberi beasiswa sehingga penulis
memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor.
2. Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik
sekaligus pembimbing skripsi yang senantiasa membimbing, mengarahkan,
dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan Penelitian.
3. Dr. Ir. D. P. Tejo Baskoro, M.Sc sebagai dosen pembimbing II yang senantiasa
memberikan saran, dan arahan kepada penulis.
4. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku dosen penguji yang memberikan
banyak masukan dan arahan kepada penulis.
5. Keluarga tercinta Bapak (Siyarto), Ibu (Sri Karyati), dan adik tersayang
(Juniarti Sawindu) yang senantiasa memberikan do’a, semangat, motivasi,
dan dukungan baik moral maupun materil kepada penulis.
6. Para Angels KTA (Rini Dwi Kusumawati, dan Heni Pratiwi), sahabat terbaik (Savitri Agrianti, Etika Agrianita, Evi Mutiara, dan Anindita Anggarani), serta
Luqmanul Abidin yang telah memotivasi dan membantu penulis dalam
menyelesaikan Penelitian.
7. Sri Setia Bella atas do’a dan motivasinya.
8. Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Pak Saifullah
(Laboran Fisika Tanah), dan Ibu Yani (Laboran Sumberdaya Fisik Lahan).
9. Seluruh keluarga besar SOILSCAPER44 atas bantuan, motivasi, kenangan
iv
iv
10. Kosan Pondok Delima, terutama Yuni yang telah membantu penulis dalam
translete ringkasan, serta Pingkan dan Dini untuk motivasi, do’a dan kenangan indah.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, tetapi
penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Bogor, Juli 2012
v DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Vegetasi Penutup Lahan ... 3
2.2 Lahan Kelapa Sawit ... 4
2.3 Lahan Jeruk ... 5
2.4 Lahan Tegalan ... 5
2.5 Pergerakan Air ... 6
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 8
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 8
3.2 Bahan dan Alat ... 8
3.3 Metode Penelitian ... 8
Penetapan Lokasi ... 8
Pengambilan Contoh Tanah ... 8
Analisis Tanah ... 9
Pengamatan Kadar Air Lapang 9 Analisis Data ... 10
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11
4.1 Karakteristik Fisik Tanah ... 11
4.11 Tekstur Tanah, Bobot Isi, dan Porositas Total ... 11
4.12 Kurva pF dan Distribusi Ukuran Pori ... 14
4.1.3 Infiltrasi dan Permeabilitas ... 16
4.2 Kadar Air Tanah Sehari Setelah Hujan ... 18
4.3 Dinamika Kadar Air Tanah ... 21
vi
vi
V. KESIMPULAN ... 29
5.1 Kesimpulan ... 29
5.2 Saran ... 29
VI. DAFTAR PUSTAKA ... 30
LAMPIRAN ... 32
vii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Jenis, Bahan dan Alat serta Metode yang Digunakan
dalam Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah ... 9
2. Kelas Tekstur Tanah dan Kadar Bahan Organik Berbagai
Penggunaan Lahan ...……… 11
3. Bobot Isi pada Berbagai Penggunaan Lahan dan
Berbagai Kedalaman …... 12 4. Porositas Total Tanah Berbagai Penggunaan Lahan dan
Kedalaman Lapisan ... 13 5. Distribusi Ukuran Pori Tanah Berbagai Penggunaan
Lahan dan Kedalaman ...……… 16
6. Laju Infiltrasi Minimum Berbagai Penggunaan Lahan... 17
7. Permeabilitas Berbagai Penggunaan Lahan dan
Kedalaman Lapisan Tanah ...……..……… 17
8. Kadar Air Kapasitas Lapang Berbagai Penggunaan
Lahan dan Kedalaman ………... 24 9. Kadar Air Titik Layu Permanen Berbagai Penggunaan
viii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kurva pF Berbagai Penggunaan Lahan dan Kedalaman
Tanah ………...……... 15
2. Kadar Air Sehari Setelah Hujan Berbagai Lahan ... 19 3. Kadar Air Tanah Berbagai Penggunaan Lahan dan
Kedalaman Lapisan (3-8 Oktober) Setelah 3-8 Hari Tidak
Hujan ..………... 22
4. Kadar Air Tanah dan Titik Layu Permanen Berbagai Penggunaan Lahan dan Kedalaman Tanah (3-8 Oktober)
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Tabel Halaman
1. Sifat-sifat Fisik Tanah pada Berbagai Penggunaan
Lahan ... 33
2. Kadar Air saat pF Berbagai Penggunaan Lahan ………... 34
3. Tekstur Tanah dan %BO Berbagai Penggunaan lahan ... 34
4. Air Tanah Berbagai Penggunaan Lahan dan Kedalaman
pada Satu Hari Setelah Hujan ………... 35
5. Kadar Air Tanah Berbagai Penggunaan Lahan dan
Kedalaman pada 3-8 Hari Setelah Hujan (3-8 Oktober 2011) ... 35
6. Jumlah Hujan pada Bulan Mei-Oktober 2011 ………….... 36
1.
Gambar
1
I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Ketersediaan air pada pertanian lahan kering hanya mengandalkan air
hujan. Hujan yang tidak terjadi setiap hari serta intensitas penyinaran matahari
yang tinggi menyebabkan tingginya evapotranspirasi. Hal tersebut selanjutnya
menyebabkan kandungan kadar air tanah di zona perakaran untuk pertumbuhan
tanaman menurun dengan cepat.
Perubahan kadar air tanah yang terjadi akan berbeda pada penggunaan
lahan dapat berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya
adalah sifat-sifat fisik tanah. Sifat-sifat fisik tanah itu sendiri dipengaruhi oleh
penggunaan lahan.
Penggunaan lahan yang berbeda mempunyai sistem perakaran, sistem
penutupan kanopi, dan sisa serasah, yang kesemuanya akan menentukan sifat-sifat
fisik tanah di bawahnya, dan selanjutnya berpengaruh terhadap sifat retensi dan
pergerakan air dalam tanah. Perbedaan kadar air tanah antar kedalaman menjadi
berbeda dapat saja dipengaruhi oleh kemampuan retensi dan kecepatan air
bergerak memasuki profil tanah.
Ketersediaan air dalam tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman
secara langsung. Pada budidaya tanaman lahan kering, sumber air utama bagi
pertumbuhan tanaman adalah hujan. Bervariasinya hujan, baik dalam jumlah,
intensitas, dan waktu datangnya hujan; dapat menjadi penyebab sulitnya prediksi
waktu yang tepat melakukan penanaman/mengatur pola tanam.
Perbedaan penggunaan lahan dapat mempengaruhi sifat-sifat fisik tanah
yang selanjutnya mempengaruhi sifat-sifat retensi dan pergerakan air dalam tanah.
Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan dinamika kadar air tanah. Begitupun
dengan curah hujan yang berbeda dalam jumlah dan intensitas yang juga turut
2 1.2Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa sifat fisik
tanah serta dinamika kadar air tanah pada berbagai penggunaan lahan dengan
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Mori (2006), air di permukaan bumi kira-kira 97,5% merupakan
air laut, 1,75% berbentuk es, dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air
danau, dan air tanah, dan hanya sekitar 0,001% saja dalam bentuk uap air. Air
kembali menguap dan berubah menjadi awan setelah melewati berbagai proses,
dan akan kembali ke permukaan bumi dalam bentuk hujan, salju, dan embun serta
bentuk-bentuk lainnya. Namun pada prosesnya, ada beberapa bagian dari air
tersebut tidak sampai ke permukaan bumi, karena tertahan oleh tutupan
lahan/intersepsi (seperti bangunan, pepohonan/tajuk tanaman, dll) yang dapat
menguap kembali ke udara, dan sebagian ada yang mengalir melalui batang dan
sampai ke tanah (trough fall dan stem flow).
Menurut Arsyad (2010), sumberdaya alam yang utama (tanah dan air) saat
ini telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Kerusakan tersebut disebabkan
oleh hilangnya unsur hara tanah dan kandungan bahan organik, terjadinya
akumulasi garam-garam di daerah perakaran, dan erosi.
2.1 Vegetasi Penutup Lahan
Ada tiga jenis tanaman penutup tanah/lahan, yaitu : (1) tanaman penutup
tanah rendah yang biasanya dipakai dalam pola pertanaman rapat, dalam pola
pertanaman barisan, dan sebagai penguat teras serta saluran air; (2) tanaman
penutup tanah sedang yang biasanya ditanam teratur pada baris diantara tanaman
pokok, pada pola pertanaman pagar, atau sengaja ditanam diluar areal pertanaman
untuk sumber mulsa dan pupuk hijau; dan (3) tanaman penutup tanah tinggi atau
tanaman pelindung yang ditanam diantara baris tanaman utama, dipakai dalam
barisan, dan atau untuk penghutanan kembali. Pengaruh masing-masing vegetasi
terhadap pengendalian erosi berbeda-beda. Untuk tanaman penutup tanah rendah
yang ditanam rapat dapat melindungi tanah dari efek langsung pukulan butir
hujan, sehingga tanah tidak mudah tererosi ataupun terpadatkan. Sementara untuk
tanaman penutup tanah sedang yang ditanam dengan pola pagar dapat membantu
memperbaiki drainase tanah yang buruk, sedangkan untuk tanaman penutup tanah
tinggi dapat meningkatkan penutupan tanah dan melindungi tanah dari pukulan
4 2.2 Lahan Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang membutuhkan curah
hujan yang cukup besar yaitu sekitar 1250-2500 mm per tahun, dengan tanpa
bulan kering yang nyata. Curah hujan di bawah 1250 mm dapat menjadi faktor
pembatas dalam pertumbuhan tanaman karena dapat menyebabkan defisit air dan
suplai hara terhambat. Tanaman kelapa sawit tumbuh optimum pada ketinggian
< 500 m dpl, serta tanah-tanah dengan kedalaman efektif yang tebal > 120 cm.
Kedalaman efektif tersebut diharapkan akan optimal untuk perkembangan
akar-akar kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit dapat menyesuaikan diri di berbagai
jenis tekstur tanah, diantaranya adalah lempung liat berpasir, liat berpasir,
lempung liat berdebu, dan lempung berdebu dengan kelas drainase baik hingga
sedang (Mangoensoekarjo, 2007).
Menurut Syahadat (2008), tanah lokasi gawangan (gawangan mati) pada
lahan pertanaman kelapa sawit mempunyai nilai bobot isi yang lebih rendah
dengan porositas yang lebih tinggi dikarenakan kondisi tanah pada lokasi tersebut
tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang dapat menyebabkan pemadatan
tanah. Selain itu juga, adanya rerumputan dapat menyebabkan banyaknya
perakaran yang dapat meningkatkan porositas tanah, mengurangi energi
tumbukan butir hujan sehingga agregat tidak terpadatkan. Sedangkan dari hasil
penelitian Marieta (2011) pada kebun kelapa sawit di Desa Cimulang, bobot isi
pada gawangan lahan sawit menunjukkan kondisi lebih besar dibandingkan
dengan bobot isi pada lahan kebun campuran, hal tersebut dikarenakan lahan
kebun campuran mempunyai lapisan serasah yang cukup tebal. Sementara pada
gawangan (gawangan hidup) lahan kelapa sawit yang dijadikan sebagai jalan
menyebabkan nilai bobot isinya lebih besar daripada pada lahan kebun campuran
karena tingginya aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya pemadatan
tanah.
Menurut Setyamidjaja (1991) dalam Julianto (2012), keadaan air tanah
yang paling membutuhkan perhatian adalah pada daerah sekitar perakaran, yaitu
dari permukaan tanah sampai kedalaman kurang lebih 100 cm. Pada kondisi
5
tumbuh sampai kedalaman 100 cm dan tidak jarang akar akan ditemui pada
kedalaman 100-140 cm jika ketersediaan air terganggu.
Ketersediaan air yang kurang dalam waktu lama dapat menyebabkan
peningkatan kerusakan vegetatif tanaman, yaitu terhambatnya pembukaan daun
muda sehingga menurunnya produksi daun yang nantinya mengakibatkan
pembentukan bakal bunga akan terganggu. Selain hal itu juga, ketersediaan air
yang buruk dapat menyebabkan produktivitas kelapa sawit menurun. Penurunan
produktivitas tersebut ditandai dengan kematangan tandan yang kurang baik,
dan gugurnya tandan bunga yang telah mekar (Marni, 2009).
2.3 Lahan Jeruk
Jeruk merupakan komoditas buah yang populer setelah anggur. Daerah
tumbuhnya membentang dari 40 derajat lintang utara sampai 40 derajat lintang
selatan. Total area pertanaman jeruk di seluruh dunia kurang lebih 1,5 juta hektar
(Sarwono, 1994). Tanaman jeruk ini dapat tumbuh pada ketinggian kurang lebih
650-2000 m dpl. Temperatur untuk pertumbuhan optimalnya adalah 25-30ºC.
Tanaman jeruk memerlukan sinar matahari yang cukup baik, sehingga jeruk yang
ditanam pada area terlindung pertumbuhannya kurang baik dan mendapat
serangan penyakit. Tanaman jeruk memerlukan air dalam jumlah cukup namun
tidak tergenang, sehingga diperlukan drainase yang baik (Pracaya, 1998).
Tanah yang baik untuk pertumbuhan jeruk adalah tanah yang bertekstur
lempung sampai lempung berpasir dengan kadar hara dan air cukup
(seperti Andosol dan Latosol). Air tanah yang dirasa cukup optimal untuk
pertumbuhan jeruk adalah pada 150-200 cm di bawah permukaan tanah dengan
kandungan garam kurang dari 10%. Kelembaban udara optimum untuk
pertumbuhannya adalah 70-80%, dan tidak menyukai tempat yang terlindung dari
sinar matahari (http://www.dapurusaha.com, 2009).
2.4 Lahan Tegalan
Lahan tegalan merupakan salah satu sistem pertanian yang dilakukan
di lahan kering, atau yang kadang disebut juga sebagai perladangan. Pada musim
hujan lahan-lahan tegalan ini bisa juga dijadikan sawah, dan ditanami
6
pengusahaan semacam ini banyak dilakukan tidak hanya pada dataran rendah
namun juga di dataran tinggi dimana padi dan palawija masih dapat tumbuh
(Soepomo dan Silvana, 1997).
Sumber air untuk pertanian lahan kering biasanya hanya bersumber
dari air hujan, sehingga sebaran dan pola hujan sangat menentukan pola tanam.
Ketersediaan air pada musim kering biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan seperti jenis tanah, iklim, serta usaha pengelolaan oleh manusia.
Musim tanam biasanya dimulai saat hujan, selama sepuluh hari berturut-turut
jumlah hujan mencapai lebih dari 50 mm. Persiapan lahan sudah dilakukan saat
musim kemarau, sehingga dalam setahun tidak terjadi kekosongan kegiatan
(Sabaruddin, 2003 dalam Febrianti, 2011). 2.5 Pergerakan Air Tanah
Pergerakan air tanah dapat juga didefinisikan sebagai aliran air tanah.
Beberapa pergerakan air tanah yang secara umum telah dikenal diantaranya
adalah infitrasi, dan aliran permukaan. Infiltrasi dapat diartikan sebagai proses
masuknya air ke dalam tanah, yang biasanya (tidak selalu) secara vertikal atau
masuk merata pada seluruh permukaan tanah. Jika ketersediaan air pada suatu
tanah dalam keadaan yang cukup, maka air akan masuk ke bagian tanah yang
lebih dalam (perkolasi). Pada saat tanah dalam keadaan kering, dan baru terjadi
hujan, laju infiltrasi akan besar dan cepat, namun akan segera menurun hingga
konstan. Infiltrasi yang terjadi saat keadaan tanah tidak jenuh dipengaruhi oleh
adanya hisapan matriks. Pada saat terjadi infiltrasi, hisapan matriks ini akan terus
berkurang sampai tanah mencapai keadaan jenuh (Arsyad, 2010).
Aliran permukaan merupakan bagian dari air hujan yang tidak terinfiltrasi
atau masuk ke dalam tanah. Laju aliran permukaan ini akan meningkat dengan
menurunnya laju infiltrasi tanah. Pada awal kejadian hujan laju infiltrasi akan
tinggi, namun pada suatu periode saat tanah sudah tidak dapat menampung air
lagi, maka terjadilah aliran permukaan. Untuk daerah yang kedap air
(impermeable), jumlah aliran permukaan (run-off) dapat dikatakan sama dengan jumlah hujan yang turun (Indarto, 2010).
Air tanah adalah salah satu komponen penting dalam siklus hidrologi,
7
dipengaruhi oleh proses evaporasi yang terjadi di permukaan tanah. Air yang
tersimpan di dalam pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi dua jenis aquifer,
yaitu terbuka dan tertutup. Yang dimaksud dengan aquifer terbuka adalah aquifer
yang masih mendapat pengaruh dari atmosfer luar melalui pori-pori lapisan tanah,
sementara aquifer tertutup adalah aquifer yang dibatasi oleh lapisan kedap air
(aquiclude) sehingga tidak mendapat pengaruh dari atmosfer luar (Indarto, 2010). Menurut Susanto (2005) dalam Handayani (2011), air yang tersedia bagi tanaman adalah air yang berada antara titik layu permanen dan kapasitas lapang.
Kebutuhan air untuk masing-masing tanaman ditentukan oleh sifat dari tanaman
itu sendiri dan air pada profil tanah yang dapat dijangkau oleh akar tanaman
tersebut.
Dari hasil penelitian Sofyan (2006), laju infiltrasi pada lahan tegalan lebih
rendah jika dibandingkan dengan lahan hutan dan lahan yang diperuntukkan
sebagai lahan agroforesty. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya pori makro pada lahan tegalan tersebut, karena kurangnya bahan organik dan tingginya
pengolahan tanah yang dapat mempercepat dekomposisi bahan organik. Dengan
demikian rendahnya kadar bahan organik dapat menjadi salah satu penyebab
rendahnya kemampuan tanah dalam melalukan air.
Di dalam tanah juga dapat terjadi aliran bawah permukaan. Aliran bawah
permukaan adalah aliran air yang masuk ke dalam tanah namun tidak cukup
dalam karena terhalangi oleh lapisan kedap. Aliran bawah permukaan tersebut
biasanya terdapat pada kedalaman 30-40 cm di bawah permukaan tanah kemudian
keluar ke permukaan tanah melalui bawah lereng atau mengisi sungai-sungai
8
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2011 sampai Januari 2012.
Pengambilan contoh tanah dilakukan di kebun percobaan Cikabayan, University Farm, sedangkan analisis tanah dilakukan di laboratorium Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.
3.2Bahan dan Alat
Bahan tanah yang digunakan adalah contoh tanah utuh dan tanah
terganggu pada ketiga penggunaan lahan, yaitu lahan sawit, jeruk, dan tegalan.
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian baik di lapang ataupun di
laboratorium disajikan pada Tabel 1.
3.3Metode Penelitian
Penetapan lokasi
Penelitian dilakukan di kebun percobaan Cikabayan pada beberapa
penggunaan lahan yaitu lahan sawit, lahan jeruk, dan lahan tegalan. Dari ketiga
penggunaan lahan tersebut diharapkan dapat memiliki sifat-sifat fisik yang berbeda yang nantinya berpengaruh pada kadar air tanah. Ketiga penggunaan
lahan berada di lokasi yang cukup berdekatan, sehingga diharapkan pengaruh
faktor seperti topografi, curah hujan, dan jenis tanah (Latosol) menjadi sama.
Pengambilan contoh tanah
Pengambilan contoh tanah terdiri dari contoh tanah utuh untuk penetapan
BI, kadar air pada berbagai pF, contoh tanah terganggu untuk analisis bobot jenis
partikel, tekstur, dan kandungan C-organik tanah. Pengambilan contoh tanah
dilakukan pada beberapa kedalaman yaitu 0-10 cm, 10-30 cm, dan 30-50 cm
pada lahan sawit, jeruk, dan bera. Pengambilan contoh tanah utuh menggunakan
ring sample, sementara untuk kadar air lapang dilakukan dengan menggunakan bor tanah berdiameter 2 cm. Pengambilan contoh tanah utuh dilakukan sebanyak
dua titik pengamatan di tiap kedalaman penggunaan lahan yang dijadikan sebagai
ulangan, sementara untuk kadar air tanah lapang ditetapkan tiga titik pengamatan
9 Analisis tanah
Beberapa jenis, metode, dan alat yang digunakan dalam analisis tanah disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis, Bahan, alat, serta metode yang digunakan dalam analisis sifat fisik dan kimia tanah
Jenis Analisis Bahan-bahan Alat Metode Pengambilan
Labu ukur 50 ml, penangas Metode botol Piknometer
Infiltrasi - Double ring infiltrometer, mistar, stopwatch
Double ring infiltrometer
Kurva pF Contoh tanah utuh
Set alat penetapan pF, plate apparatus membran,
Pengambilan contoh tanah untuk penetapan kadar air lapang dilakukan
dengan melihat variasi kejadian hujan, misalnya satu hari setelah hujan, dua hari
setelah hujan, dan seterusnya. Contoh tanah diambil pada tiga titik di
masing-masing penggunaan lahan yang dijadikan sebagai ulangan, dan pada kedalaman
10
bor tanah berdiameter 2 cm. Contoh tanah segera dibungkus dengan kertas
aluminium foil, kemudian dilakukan penetapan kadar air tanahnya di laboratorium. Pengambilan contoh tanah untuk penetapan kadar air lapang
dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00-09.00 WIB. Pengambilan contoh
tanah dilakukan pada waktu (jam) yang sama agar didapatkan nilai kadar air yang
relatif seragam, sementara untuk data curah hujan harian, diambil dari stasiun
penakar hujan BMKG Darmaga.
Analisis data
Pengaruh berbagai penggunaan lahan terhadap sifat-sifat fisik tanah dan
kadar air tanah pada masing-masing penggunaan lahan dan kedalaman tanah
(lapisan 0-10 cm, 10-30 cm, dan 30-50 cm) dianalisis secara deskriptif. Beberapa
sifat fisik tanah seperti kurva pF dan distribusi pori, bobot isi, porositas total,
tekstur tanah, dan sifat kimia yaitu C-organik dibandingkan antar ketiga
penggunaan lahan. Untuk melihat ketersediaan air pada tiap penggunaan lahan
dilakukan perbandingan antara kadar air lapang terhadap kadar air tanah
11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik fisik Tanah
4.1.1 Tekstur tanah, Bobot Isi, dan Porositas Total
Tekstur tanah dapat diartikan sebagai perbandingan relatif antara pasir,
debu, dan liat. Hasil analisis tekstur dan bahan organik tanah pada berbagai
penggunaan lahan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kelas tekstur tanah dan kadar bahan organik berbagai penggunaan lahan
Penggunaan lahan pasir liat debu Tekstur tanah BO
...%... ...%...
Sawit 13,43 70,52 21,83 Liat 4,63
Jeruk 8,64 76,44 15,78 Liat 3,84
Tegalan 9,14 77,84 17,47 Liat 3,07
Ket : BO = Bahan Organik
Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa untuk semua penggunaan lahan, tekstur
tanahnya adalah liat, meskipun mengandung kadar pasir, debu, serta liat yang
berbeda-beda. Tanah-tanah yang bertekstur liat memiliki luas permukaan yang
lebih besar, sehingga kemampuan dalam memegang airnya tinggi. Tanah
bertekstur halus (liat, liat berdebu dan liat berpasir) mempunyai luas permukaan
yang lebih besar, sehingga hal tersebut menyebabkan kapasitas total menahan
airnya lebih tinggi (http//www.noble.org, 2011), sementara Hakim et al (1986) menyatakan bahwa, jumlah air tersedia tertinggi justru dimiliki oleh tanah-tanah
bertekstur sedang (lempung, lempung liat berpasir, dan lempung berdebu).
Hal tersebut dapat terjadi karena pada tanah bertekstur halus, molekul air dijerap
kuat oleh tanah, yang menggambarkan bahwa, meskipun kemampuan tanah dalam
memegang air tinggi, belum tentu air tersedia bagi tanaman tinggi, sehingga air
menjadi tidak tersedia bagi tanaman.
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa kadar bahan organik berbeda-beda pada
setiap penggunaan lahan. Kadar bahan organik tertinggi pada lahan sawit yaitu
4,63%, kemudian lahan jeruk yaitu 3,84% dan yang terendah adalah lahan tegalan
12
sifat fisik tanah, diantaranya adalah bobot isi tanah dan porositas total tanah.
Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi cenderung mempunyai bobot isi
yang rendah dan porositas total yang tinggi.
Tingginya kandungan bahan organik pada lahan sawit disebabkan oleh
banyaknya pelepah-pelepah sawit yang tertumpuk di lahan tersebut sehingga
menyumbangkan banyak bahan organik. Rendahnya kandungan bahan organik
pada lahan tegalan disebabkan karena kurangnya tanaman penutup lahan yang
permanen pada lahan tersebut. Disamping itu, lahan tegalan juga lebih sering
diolah sehingga dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat.
Tabel 3. Bobot isi pada berbagai penggunaan lahan dan berbagai kedalaman
Penggunaan lahan Kedalaman tanah
0-10 cm 10-30cm 30-50 cm
...gram/cm³...
Sawit 0,92 0,93 1,00
Jeruk 0,92 0,99 1,00
Tegalan 0,96 0,99 1,03
Tabel 3 menunjukkan bahwa bobot isi meningkat dengan semakin
dalamnya lapisan tanah. Dari hasil analisis, lahan tegalan memiliki bobot isi yang
relatif seragam, dan dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan lahan lainnya. Hal tersebut dikarenakan lahan tegalan merupakan
lahan pertanian intensif yang sering mendapat pengolahan, dan sering terjadi
aktifitas pertanian sehingga menyebabkan pemadatan tanah. Faktor lain yang
dapat menyebabkan pemadatan tanah dan tingginya bobot isi pada lahan tegalan
dibandingkan dengan lahan bervegetasi (lahan sawit dan jeruk) adalah rendahnya
vegetasi penutup di lahan tersebut, sehingga efek pukulan butir hujan tinggi yang
berpengaruh pada bobot isi tanah. Tingginya pengaruh pukulan butir hujan akan
menyebabkan partikel tanah yang terlepas menjadi banyak sehingga pemadatan
menjadi lebih besar. Dari hasil penelitian Raja (2009), bobot isi lahan tegalan
yang tinggi dapat juga dipengaruhi oleh pengolahan tanah yang intensif dan umur
lahan tegalan yang sudah lama. Lamanya umur penggunaan lahan berkaitan
dengan lamanya pengolahan, dan tingkat pemadatan yang telah terjadi pada lahan
13
memiliki bobot isi yang tinggi karena tanah tegalan tidak memiliki penutup lahan
yang tetap/kanopi tidak rimbun sehingga saat terjadi hujan, butiran-butiran hujan
akan langsung jatuh dan mengenai permukaan tanah sehingga terjadi pemadatan
tanah. Semakin tingginya bobot isi dengan semakin dalamnya lapisan tanah dapat
disebabkan karena pada lapisan bawah tanah kandungan bahan organik cenderung
lebih rendah daripada lapisan-lapisan tanah bagian atasnya.
Lahan sawit dan lahan jeruk memiliki bobot isi yang sedikit lebih rendah
daripada lahan tegalan dikarenakan lahan sawit mendapat suplai serasah-serasah
dari pelepah yang ditumpuk di sekitar lahan. Disamping itu, lahan sawit sudah tua
dan kurang terawat, sehingga aktivitas pertanian sudah berkurang, dan pemadatan
tanahpun kurang. Sementara untuk lahan jeruk, banyak terdapat rumput yang
menutupi hampir seluruh permukaan lahan sehingga memungkinkan tanah
terlindungi dari pukulan butir hujan secara langsung, dan kurangnya aktivitas
manusia pada lahan tersebut dapat menjadi salah satu penyebab bobot isi lahan
jeruk lebih rendah daripada lahan tegalan.
Tabel 4. Porositas total tanah berbagai penggunaan lahan dan kedalaman lapisan
Penggunaan lahan Kedalaman tanah
0-10 cm 10-30cm 30-50 cm
...%volume...
Sawit 65,95 66,05 63,57
Jeruk 65,28 62,37 62,83
Tegalan 63,94 63,14 61,75
Dari hasil analisis porositas total tanah (Tabel 4) didapatkan bahwa lahan
sawit secara umum mempunyai porositas total lebih tinggi daripada penggunaan
lahan lainnya. Porositas tanah berbanding terbalik dengan bobot isi tanah. Jika
suatu tanah memiliki nilai bobot isi yang tinggi, maka akan memiliki porositas
yang rendah, begitu juga sebaliknya. Porositas tanah menggambarkan bagian dari
tanah yang tidak ditempati oleh padatan baik bahan mineral maupun bahan
organik. Misalnya tanah-tanah pada lapisan bawah yang padat, maka ruang pori
sedikit. Begitu sebaliknya dengan tanah-tanah bertekstur sedang, pori tanah
14
Lahan sawit memiliki nilai porositas tertinggi. Hal tersebut karena
di sekitar lahan sawit terdapat sisa-sisa pelepah kelapa sawit yang menjadi
sumbangan bahan organik yang cukup bagi tanah tersebut. Hal tersebut juga dapat
membantu tanah dalam pembentukkan granul, memperbesar volume serta jumlah
pori-pori tanah, dan cenderung menurunkan bobot isi. Seperti telah disebutkan
di depan, %C-organik lahan sawit tertinggi daripada lahan-lahan lainnya.
Meskipun tidak terlalu berbeda dengan lahan kelapa sawit, lahan jeruk
memiliki porositas diantara lahan sawit dan tegalan. Hal tersebut dikarenakan
lahan jeruk masih mendapat suplai bahan organik dari rumput-rumput yang
tumbuh diatasnya, dan serasah dari tanaman jeruk yang jatuh ke tanah. Sementara
untuk lahan tegalan yang memiliki porositas terendah dapat disebabkan karena
lahan tersebut diolah secara intensif.
Seperti yang telah disebutkan, bahwa tanah tegalan mempunyai penutupan
lahan yang sedikit, sehingga destrukturisasi oleh pukulan butir hujan sangat
berpengaruh, hal tersebut menyebabkan rusaknya agregat-agregat tanah,
dan hancurnya pori-pori tanah, atau dengan kata lain destrukturisasi pada lahan
tegalan lebih cepat terjadi daripada lahan-lahan lainnya
4.1.2 Kurva pF dan Distribusi Ukuran Pori
Kurva pF atau yang biasa disebut sebagai kurva karakteristik kadar air
tanah adalah kurva yang menggambarkan kondisi kadar air tanah pada berbagai
hisapan matriks. Kurva pF berbagai penggunaan lahan dan kedalaman lapisan
tanah disajikan pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa, secara umum pada pF 2,54 dan 4,2 lahan
jeruk memiliki nilai kadar air lebih tinggi dibandingkan lahan-lahan lainnya. Hal
tersebut menandakan bahwa lahan jeruk memiliki kadar air kapasitas lapang (pF 2,54) dan kadar air titik layu permanen (pF 4,2) yang lebih besar daripada
lahan-lahan lainnya. Sebaliknya kadar air pada pF 1 dan pF 2, lahan jeruk secara
umum lebih rendah daripada penggunaan lahan lainnya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa lahan jeruk mempunyai pori mikro yang lebih dominan
daripada pori makro, jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Air
tersedia sering ditandai dengan keadaan air diantara kapasitas lapang (pF 2,54)
dengan kadar air titik layu permanen (pF 4,2). Pada kisaran tersebut tanaman
15
agar air tersedia dan dapat diserap dan dimanfaatkan tanaman, air harus lebih banyak daripada air saat titik layu permanen. Kadar air pada berbagai pF dapat
juga mengindikasikan distribusi pori tanah.
Gambar 1. Kurva pF berbagai penggunaan lahan dan kedalaman tanah
Distribusi Ukuran Pori
Pori-pori tanah terbagi menjadi pori makro dan pori mikro. Pori makro
biasa disebut sebagai pori drainase, yang terbagi menjadi beberapa kelas yaitu
pori drainase sangat cepat yang diperoleh dari selisih antara porositas total dengan
kadar air pada pF 1, pori drainase cepat selisih antara kadar air pada pF 1 dengan
pF 2, dan pori drainase lambat selisih antara kadar air pada pF 2 dengan pF 2,54.
Sementara untuk pori air tersedia adalah selisih antara pF 2,54 dengan pF 4,2.
Distribusi ukuran pori ditampilkan pada Tabel 5.
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa lahan jeruk secara umum memiliki pori
drainase sangat cepat tertinggi daripada lahan-lahan lainnya. Untuk pori drainase
cepat, lahan tegalan memiliki nilai tertinggi daripada lahan-lahan lainnya. Pori air
tersedia untuk masing-masing penggunaan lahan menunjukkan kondisi yang
berbeda baik antar penggunaan lahan atau antar kedalaman lapisan tanah.
16
Tabel 5. Distribusi ukuran pori tanah berbagai penggunaan lahan dan kedalaman
Penggunaan
Secara umum pori air tersedia menunjukkan penurunan dengan semakin
dalamnya lapisan tanah. Pori air tersedia lahan sawit lebih tinggi daripada
penggunaan lahan lainnya dengan pori air tersedia pada lapisan 0-10 cm yaitu
19,62%, 12,21% pada lapisan 10-30 cm, dan 6,98% pada lapisan 30-50 cm.
Sementara pori air tersedia untuk lahan jeruk dan tegalan adalah relatif sama.
4.1.3 Infiltrasi dan Permeabilitas
Infiltrasi dapat diartikan sebagai masuknya air ke dalam tanah melalui
permukaan tanah. Jika air dalam keadaan cukup, maka air dapat terus masuk
menuju lapisan tanah yang lebih dalam, dan apabila sampai mencapai permukaan
air tanah (groundwater) dapat mengisi groundwater storage. Laju infiltrasi pada saat awal terjadi hujan akan tinggi, namun sampai saat tanah sudah dalam keadaan
jenuh, maka laju infiltrasi akan menurun hingga mencapai konstan,
dan kemampuan tanah dalam menyerap air infiltrasi disebut sebagai kapasitas
infiltrasi (Arsyad, 2010). Laju infiltrasi untuk masing-masing penggunaan lahan
pada berbagai kedalaman tanah disajikan pada Tabel 6.
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa laju infiltrasi terbesar adalah pada lahan
tegalan, lalu lahan sawit serta lahan jeruk dengan nilai infiltrasi yang sama.
Menurut klasifikasi Kohnke dan Bertrand (1959) lahan tegalan masuk kedalam
kelas infiltrasi cepat, dan agak cepat untuk lahan sawit serta lahan jeruk. Lahan
sawit (lapisan 0-10 cm) dan lahan jeruk (lapisan 10-30 cm dan 30-50 cm)
17
terhambat. Sementara untuk lahan tegalan yang memiliki nilai pori drainase
sangat cepat yang kontinyu (menurun dengan semakin dalamnya lapisan tanah)
lebih mudah melalukan air untuk bergerak ke lapisan yang lebih bawah.
Menurut Arsyad (2010), besarnya laju infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu ukuran pori, kemantapan pori, kandungan air tanah awal, dan profil tanah.
Tanah-tanah yang didominasi pori makro akan memungkinkan air keluar atau
terinfiltrasi dengan cepat.
Tabel 6. Laju infiltrasi minimum berbagai penggunaan lahan
Penggunaan lahan Infiltrasi Kelas
...cm/jam...
Sawit 12 agak cepat
Jeruk 12 agak cepat
Tegalan 24 Cepat
Sedikit berbeda dengan infiltrasi, permeabilitas dapat diartikan sebagai
pergerakan air di dalam tanah pada kondisi jenuh. Hasil dari pengukuran
permeabilitas di laboratorium disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Permeabilitas berbagai penggunaan lahan dan kedalaman lapisan tanah
Penggunaan
Lahan Kedalaman BI Permeabilitas
Kelas
Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai kelas permeabilitas berbeda untuk
masing-masing lahan. Untuk lahan sawit permeabilitas berurutan dari lapisan
18
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pori drainase cepat yang rendah pada
lahan sawit menyebabkan air bergerak lambat tidak kontinyu dan terhambat.
Sementara untuk lahan jeruk, nilai permeabilitasnya secara berurutan dari lapisan
0-10 cm sampai 30-50 cm adalah sedang, cepat, dan agak cepat.
Untuk lahan tegalan, nilai permeabilitas menurun dengan semakin
dalamnya lapisan tanah. Secara berurutan nilai permeabilitas untuk lahan tegalan
adalah cepat, agak cepat, dan sedang. Hal tersebut dapat disebabkan karena pori
drainase sangat cepat lahan tegalan yang menurun dengan semakin dalamnya
lapisan tanah menyebabkan pergerakan air menjadi kontinyu.
4.2 Kadar Air Tanah Sehari Setelah Hujan
Kadar air tanah dapat diartikan sebagai jumlah air yang terdapat dalam
suatu massa tanah yang dapat dinyatakan baik dalam % bobot maupun % volume.
Berbagai kadar air tanah sehari setelah hujan di berbagai kedalaman di tiga
penggunaan lahan ditampilkan pada Gambar 2 (Tabel Lampiran 4).
Gambar 2 menyajikan kadar air tanah pada berbagai penggunaan lahan
di beberapa kejadian hujan yang berbeda. Pengamatan kadar air tanah lapang
dilakukan pada tanggal 16, 24, dan 27 Mei, serta 1, 5 dan 9 Juni dengan jumlah
hujan yang terjadi pada satu hari sebelumnya adalah 4,2 mm, 0,3 mm, 36,4 mm,
8,2 mm, 31,2 mm, dan 26,2 mm. Meskipun jumlah hari setelah hujan sama
(satu hari setelah hujan), namun kadar air tanah pada masing-masing penggunaan
lahan akan berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifat fisik tanah
yang berbeda.
Secara umum kadar air tanah berbagai penggunaan lahan untuk lapisan
atas (0-10 cm dan 10-30 cm) lebih rendah daripada kapasitas lapang. Hal tersebut
dapat saja disebabkan karena air tanah di lapisan tersebut telah bergerak
ke lapisan yang lebih dalam (lapisan 30-50 cm) sebagai akibat kadar air di lapisan
atasnya (lapisan 10-30 cm) telah mencapai kapasitas lapang terlebih dahulu.
Hal tersebut terlihat dari kadar air pada lapisan bawah yang lebih tinggi dan
mencapai kapasitas lapang.
Kadar air tanah tertinggi di lahan sawit (Gambar 2a) untuk lapisan
19
36,93% pada tanggal 27 Mei (CH 36,4 mm). Berbeda dengan lapisan 0-10 cm,
kadar air tanah tertinggi pada lapisan 10-30 cm adalah 50,76% pada tanggal 5 Juni
(CH 8,2 mm), dan terendah adalah 42,83% pada 27 Mei (CH 36,4 mm).
Sedangkan kadar air tanah tertinggi pada lapisan 30-50 cm adalah 54,63%
pada 9 Juni (26,2 mm), dan terendah adalah 47,18% pada 5 Juni (31,2 mm).
Gambar 2. Kadar air sehari setelah hujan berbagai lahan (a. Lahan sawit, b. Lahan jeruk, c. Lahan tegalan)
Berbeda dengan lahan sawit, kadar air tanah tertinggi di lahan jeruk pada
lapisan 0-10 cm adalah 46,75% pada tanggal 24 Mei, dan terendah adalah 35,04%
pada 1 Juni. Untuk kedalaman 10-30 cm, kadar air tanah tertinggi adalah 48,36%
20
air tanah tertinggi pada lapisan 30-50 cm adalah 53,41% pada 27 Mei,
dan terendah adalah 46,85% pada 1 Juni.
Sementara untuk lahan tegalan (Gambar 2c), kadar air tanah tertinggi pada
lapisan 0-10 cm adalah 53,37% pada 27 Mei, dan terendah adalah 42,61% pada
16 Mei. Pada lapisan 10-30 cm, kadar air tanah tertinggi dan terendahnya adalah
48,95% (5 Juni) dan 40,89% (tanggal 27 Mei). Sementara kadar air tanah tertinggi
untuk lapisan 30-50 cm adalah 52,18% pada tanggal 9 Juni, dan terendah adalah
40,28% pada 1 Juni.
Beberapa kadar air tanah tidak mengikuti pola curah hujan yang terjadi
sehari sebelumnya. Kadar air tanah tertinggi justru terjadi setelah curah hujan
terendah (0,3 mm pada tanggal 24 Mei). Hal tersebut dapat disebabkan karena
telah terjadi hujan dengan jumlah yang cukup besar pada hari-hari sebelum
tanggal 24 Mei (21 dan 22 Mei), yaitu 95,7 mm dan 15 mm. Hujan tersebut dapat
menyumbangkan cukup air bagi tanah meskipun hujan yang terjadi pada tanggal
23 Mei sangat kecil.
Seperti telah disebutkan di depan, kadar air tanah pada ketiga penggunaan
lahan menunjukkan kondisi telah mencapai kapasitas lapang. Untuk lahan sawit,
kadar air tanah sehari setelah hujan di lapisan 0-10 cm berada di bawah kapasitas
lapang, namun untuk lapisan 10-30 cm dan 30-50 cm kadar air tanah berada
di atas kapasitas lapang. Sementara kadar air tanah sehari setelah hujan untuk
lahan jeruk pada seluruh kedalaman tanah secara umum menunjukkan kondisi
di bawah kapasitas lapang, dan lahan tegalan yang memiliki kadar air kapasitas
lapang terendah menunjukkan kadar air tanah yang masih berada di atas kapasitas
lapang. Kadar air tanah di lapisan atas lebih rendah daripada kapasitas lapang
menandakan bahwa air tanah telah bergerak ke lapisan yang lebih dalam.
Permeabilitas lahan sawit pada lapisan 0-10 cm yang tinggi menyebabkan
pergerakan air ke lapisan bawah cepat, sehingga kadar air tanah di lapisan bawah
menjadi lebih tinggi daripada kapasitas lapang. Sementara untuk lahan jeruk,
walaupun ruang pori drainase sangat cepat tertinggi terdapat pada lapisan
0-10 cm, tetapi permeabilitas yang sedang di lapisan 0-10 cm menyebabkan
pergerakan air ke lapisan bawah terhambat atau lambat. Hal tersebut menjadi
21
tanah. Berbeda dengan lahan sawit dan jeruk, untuk lahan tegalan, kadar air tanah
secara umum berada di atas kapasitas lapang.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum kadar air lapisan atas
pada lahan bervegetasi seperti lahan sawit dan jeruk lebih rendah daripada lahan
tidak bervegetasai (lahan tegalan). Hal tersebut dapat disebabkan karena air pada
lapisan atas digunakan tanaman terlebih dahulu untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya dan evapotranspirasi. Lahan tegalan yang tidak bervegetasi cenderung
memiliki kadar air tanah lapisan atas yang lebih tinggi karena air tersebut tidak
dimanfaatkan secara langsung untuk kebutuhan tanaman. Faktor lain yang
menyebabkan kadar air lahan bervegetasi lapisan atas lebih rendah dari lapisan
bawah adalah pada lapisan atas jumlah akar tanaman lebih banyak sehingga air
lebih cepat diserap tanaman. Pori drainase sangat cepat (Tabel 5)
dan permeabilitas (Tabel 7) lahan tegalan menurun dengan semakin dalamnya
lapisan tanah yang dapat mempengaruhi pergerakan air ke bawah. Air lebih
tertahan di lapisan atas, sehingga kadar air tanah pada lapisan atas lebih tinggi
daripada lapisan bawah.
4.3 Dinamika Kadar Air Tanah
Dinamika kadar air tanah ditetapkan dari kadar air selama tiga sampai
delapan hari setelah hujan. Berikut ditampilkan Gambar 3 (tanggal 3-8 Oktober)
yang menunjukkan kadar air tanah pada tiga sampai delapan hari setelah hujan
pada berbagai penggunaan lahan serta kedalaman lapisan tanah. Terjadi variasi
kadar air pada masing-masing kedalaman ataupun penggunaan lahan. Jumlah
hujan yang terukur oleh penakar hujan dua hari sebelum pengamatan
(tanggal 29 September) adalah 8,9 mm, dan satu hari sebelum pengamatan
(tanggal 30 September) adalah 0,3 mm.
Secara umum kadar air tanah pada tiga hari setelah hujan menunjukkan
kondisi berada di bawah kapasitas lapang. Hal tersebut dapat disebabkan karena
hujan yang terjadi sebelumnya relatif kecil sehingga sumbangan untuk air tanah
tidak terlalu besar dan menyebabkan tidak semua pori tanah terisi oleh air.
Meski sempat terjadi fluktuasi, namun secara umum, kadar air tanah dari
22
kadar air disebabkan karena tanaman terus mengambil air dari tanah untuk
kebutuhan hidupnya sebagai evapotranspirasi. Tingginya kadar air tanah pada
lapisan 30-50 cm disebabkan karena air pada lapisan tersebut masih dapat
disimpan dan belum diuapkan sebagai evapotranspirasi. Tingginya kehilangan air
di lapisan atas dapat juga disebabkan oleh jumlah akar di lapisan atas lebih
banyak daripada lapisan bawah sehingga air yang diserap untuk memenuhi
kebutuhan evapotranspirasi lebih banyak.
Gambar 3. Kadar air tanah berbagai penggunaan lahan dan kedalaman (3-8 Oktober) setelah 3-8 hari tidak hujan (a. Lahan sawit, b. Lahan jeruk,
c. Lahan tegalan)
Kadar air tanah semua penggunaan lahan pada tiga hari setelah hujan
berkisar antara 40-47 %, dan menurun saat hari ke-8, berkisar antara 31-39%.
Pada lapisan 0-10 cm, saat hari kedelapan, kadar air tertinggi terdapat pada
penggunaan lahan sawit, diikuti oleh lahan tegalan, dan kemudian lahan jeruk.
Berdasarkan pada data tersebut (Gambar 3) maka besarnya evapotranspirasi pada
ketiga penggunaan lahan kurang lebih adalah 2 mm/hari. Evaporasi tersebut masih
terbilang kecil jika dibandingkan dengan evaporasi untuk daerah Bogor pada
tahun 1990-1991 yang mencapai 3,7 mm/hari (LPPM IPB, 1991).
23
Secara umum pada awalnya kadar air tanah lapisan atas lebih besar
daripada lapisan bawah. Kemudian terjadi distribusi air dalam profil tanah
sehingga kadar air pada lapisan bawah lebih besar daripada lapisan atas.
Pada lahan sawit, distribusi air dari lapisan atas ke lapisan bawah terjadi lebih
cepat yaitu hari ketiga setelah hujan, sedangkan lahan jeruk dan tegalan distribusi
terjadi lebih lambat yaitu pada hari kelima setelah hujan (Tabel Lampiran 5).
Pada Gambar 3a (lahan sawit) dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi tiga hari
setelah hujan adalah 44,48% (lapisan 30-50 cm) dan terendah adalah 40,49 %
(lapisan 0-10 cm). Terjadi fluktuasi kadar air tanah dari hari ketiga hingga hari
kedelapan setelah hujan. Kadar air tanah tertinggi saat hari kedelapan setelah
hujan adalah pada lapisan 30-50 cm yaitu 39,27%, kemudian 36,29% pada lapisan
10-30 cm, dan terendah pada lapisan 0-10 cm yaitu 34,62%.
Berbeda dengan lahan sawit, pada lahan jeruk (Gambar 3b) kadar air
tanah tertinggi saat hari ketiga setelah hujan adalah 45,03% pada lapisan 0-10 cm,
dan terendah adalah 42,96% pada lapisan 10-30 cm. Terjadi peningkatan kadar air
pada lapisan 10-30 cm saat hari keempat setelah hujan, namun kondisi tersebut
tidak terlalu signifikan, dan segera menurun pada hari berikutnya hingga hari
kedelapan setelah hujan. Peningkatan kadar air tersebut menunjukkan kondisi
dimana telah terjadi pergerakan air tanah dari lapisan 0-10 cm dan lapisan
30-50 cm sebagai akibat perbedaan potensial. Kadar air tanah tertinggi pada hari
kedelapan setelah hujan adalah 37,66% pada lapisan 30-50 cm, lalu 35,76%
pada lapisan 10-30 cm, dan terendah adalah 31,03% pada lapisan 0-10 cm.
Secara umum, kadar air tanah pada lapisan 30-50 cm lebih tinggi daripada lapisan
atasnya, hal tersebut menunjukkan bahwa kadar air tanah bergerak menuju lapisan
yang lebih dalam dan/atau dapat juga disebabkan karena air di lapisan atas
terlebih dahulu digunakan tanaman untuk proses evapotranspirasi.
Pada lahan tegalan (Gambar 3c), Secara umum kadar air tanahnya
menurun dengan semakin lamanya hari setelah hujan. Kadar air tanah tertinggi
pada tiga hari setelah hujan adalah 47,18% (lapisan 0-10 cm), dan terendah adalah
44,15% (lapisan 30-50 cm). Kadar air tertinggi saat delapan hari tidak hujan
adalah pada lapisan 30-50 cm yaitu 39,09%, kemudian 38,37% pada
24
Terlihat bahwa kadar air pada lapisan 30-50 cm lebih tinggi daripada di lapisan
lainnya, menunjukkan bahwa air bergerak menuju lapisan yang lebih dalam saat
setelah hujan, namun akan bergerak ke atas sebagai akibat tarikan akar saat tidak
terjadi hujan. Faktor lainnya adalah karena air pada lapisan atas (0-10 cm)
lebih cepat terevapotranspirasi sehingga kadar air tanahnya terendah daripada
lapisan di bawahnya.
Perbedaan kadar air pada berbagai kedalaman di tiap penggunaan lahan
juga dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah yang mempengaruhi retensi dan pergerakan
air dalam tanah seperti tekstur, kadar bahan organik, jumlah dan distribusi ukuran
pori. Dengan demikian walaupun hujan sebelumnya sama dapat mengakibatkan
kadar air tiap kedalaman tanah berbeda.
4.4 Kadar Air Tanah dan Titik Layu Permanen (TLP)
Dalam pertanian penting pula diketahui berapa jumlah kadar air kapasitas
lapang masing-masing lahan, yang nantinya dapat membantu dalam perencanaan
irigasi. Kadar air kapasitas lapang untuk berbagai penggunaan lahan
dan kedalaman disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Kadar air kapasitas lapang berbagai penggunaan lahan dan kedalaman
Penggunaan lahan Kedalaman (cm)
0-10 10-30 30-50
...%v/v...
Sawit 53,54 48,24 44,04
Jeruk 45,81 51,40 50,70
Tegalan 43,19 43,23 43,65
Dari Tabel 8 terlihat bahwa secara umum lahan jeruk memiliki kadar air
kapasitas lapang yang lebih tinggi daripada penggunaan lahan lainnya. Sebaliknya
lahan tegalan adalah lahan dengan kadar air kapasitas lapang yang paling rendah,
dengan nilai yang meningkat dengan semakin dalamnya lapisan tanah. Sementara
untuk lahan sawit, kadar air kapasitas lapang justru menurun dengan semakin
25
Untuk melengkapi data jumlah ruang pori air tersedia, selain ditampilkan
kadar air kapasitas lapang juga disajikan hasil perhitungan kadar air pada titik
layu permanen untuk masing-masing penggunaan lahan (Tabel 9). Kadar air titik
layu permanen (TLP) untuk masing-masing penggunaan lahan dan kedalaman
lapisan tanah berbeda. Kadar air titik layu permanen tertinggi dimiliki oleh lahan
jeruk, kemudian lahan sawit, dan terendah adalah lahan tegalan.
Kadar air kapasitas lapang dan titik layu permanen dapat membantu
dalam menentukan waktu pemberian air irigasi yang tepat. Soepardi (1983)
menyatakan bahwa, kadar air diantara kapasitas lapang dan titik layu permanen
adalah air tersedia bagi tanaman. Untuk memudahkan penentuan waktu irigasi
disajikan grafik perbandingan antara kadar air tanah suatu hari dengan kadar air
titik layu permanen pada berbagai penggunaan lahan dengan kedalaman lapisan
tanah yang berbeda.
Tabel 9. Kadar air titik layu permanen berbagai penggunaan lahan/kedalaman
Penggunaan lahan Kedalaman
0-10 cm 10-30 cm 30-50 cm
...%v/v...
Sawit 33,92 36,03 37,06
Jeruk 34,51 38,87 40,11
Tegalan 31,40 30,68 34,04
Gambar 4 menunjukkan kondisi 3-8 hari tidak terjadi hujan (3-8 Oktober).
Seperti telah disebutkan di depan, jumlah hujan yang terjadi pada 29 dan
30 September adalah 8,2 mm dan 0,3 mm. Secara umum kadar air tanah setelah
delapan hari tidak terjadi hujan menunjukkan penurunan (Gambar 3 dan 4).
Namun, dalam hal ini lahan sawit memiliki kadar air lebih tinggi daripada kadar
air titik layu permanen dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya (Tabel 9,
Gambar 4), yang menggambarkan bahwa lahan sawit masih mampu
mengkonservasi air meskipun tidak terjadi hujan selama delapan hari. Kondisi
tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh iklim mikro dan tutupan kanopi
26
udara, radiasi surya, dan angin yang menentukan pembentukan iklim di
permukaan tanah. Sedangkan tutupan kanopi, secara tidak langsung dapat
melindungi tanah dari tingginya evaporasi.
Kadar air TLP lahan sawit pada lapisan 0-10 cm, 10-30 cm, dan 30-50 cm
secara berurutan adalah 33,92%, 36,03%, dan 37,06% (Tabel 9, Gambar 4a).
Lahan sawit memiliki kadar air titik layu permanen di antara lahan jeruk dan
tegalan. Dari Gambar 4a terlihat bahwa pada berbagai kedalaman lapisan tanah,
kadar air lahan sawit belum melewati titik layu permanen meskipun tidak terjadi
Gambar 4. Kadar air tanah dan titik layu permanen berbagai penggunaan lahan dan kedalaman tanah (3-8 Oktober) 3-8 hari tidak hujan (a. Lahan
sawit, b. Lahan jeruk, c. Lahan tegalan)
hujan selama delapan hari. Masih tingginya kadar air tanah pada lahan sawit,
serta kadar air yang belum melewati titik layu permanen mengasumsikan bahwa
lahan sawit masih mampu menyediakan air yang dibutuhkan oleh tanaman,
meskipun tidak terjadi hujan selama delapan hari. Hal ini dapat disebabkan karena
tingginya kandungan bahan organik di lahan sawit yang merupakan sumbangan
dari pelepah-pelepah yang tertumpuk di sekitar lahan. Bahan organik tersebut
dapat membuat tanah lahan sawit memiliki pori lebih banyak dibandingkan
penggunaan lainnya.
a. TLP 0-10cm b.TLP 10-30cm c.TLP 30-50cm a
a. TLP 0-10cm b.TLP 10-30cm c.TLP 30-50cm a
a. TLP 0-10cm b.TLP 10-30cm c.TLP 30-50cm a b c
27
Berbeda dengan lahan sawit, lahan jeruk memiliki kadar air TLP
masing-masing kedalaman yaitu 34,51% (0-10 cm), 38,51% (10-30 cm), dan 40,11%
(30-50 cm). Pada lahan jeruk kadar air tanah hampir seluruhnya lebih rendah
daripada titik layu permanen dimulai pada hari keenam setelah hujan untuk
lapisan 0-10 cm dan lapisan 10-30 cm, serta hari kedelapan setelah hujan pada
lapisan 30-50 cm, dengan kadar air terendah hari kedelapan setelah hujan adalah
31,03% pada lapisan 0-10 cm (Tabel 9, Gambar 4b). Hal tersebut menunjukkan
bahwa lahan jeruk memerlukan tambahan air sejak/sebelum 5 hari setelah hujan.
Fluktuasi kadar air di berbagai lapisan tanah lebih terlihat, namun secara umum
kadar air menurun dengan semakin lamanya hari setelah hujan. Kadar air lahan
jeruk yang rata-rata berada di bawah titik layu permanen menyebabkan lahan
tersebut membutuhkan irigasi segera menjelang hari kelima setelah hujan.
Sementara TLP untuk lahan tegalan pada masing-masing kedalaman
tanahnya adalah 31,40% (0-10 cm), 30,68% (10-30 cm), dan 34,04% (30-50 cm).
Kadar air lahan tegalan (Gambar 4c) pada hari kedelapan setelah hujan adalah
33,58% pada lapisan 0-10 cm, kemudian 38,37% pada lapisan 10-30 cm,
dan tertinggi adalah pada lapisan 30-50 cm yaitu 39,09%. Kadar air tiap
kedalaman mengalami fluktuasi, namun secara umum lahan tegalan masih dapat
menyediakan air dalam jumlah cukup meskipun tidak terjadi hujan selama
delapan hari. Walaupun demikian, karena kualitas fisik yang rendah, maka perlu
dilakukan pengelolaan berbasis konservasi tanah dan air supaya kualitas fisik
tanah terutama ruang pori air tersedia lahan tegalan meningkat.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa rendahnya ruang pori tanah
di lahan tegalan dapat disebabkan karena rendahnya vegetasi penutup lahan yang
permanen sehingga energi pukulan butir hujan dapat menjadi faktor terjadinya
pemadatan tanah. Hillel (1982) menyatakan bahwa, tanah-tanah dianggap
mengalami pemadatan jika porositas tanahnya menurun dan sangat rapat sehingga
menyulitkan aerasi dan penetrasi oleh akar tanaman. Rendahnya pori air tersedia
pada lahan tegalan dibandingkan lahan yang lain juga dapat disebabkan karena
pada lahan tersebut kandungan bahan organiknya lebih rendah dibandingkan
lahan lainnya. Seperti yang dinyatakan oleh Soepardi (1983) bahwa tanah-tanah
28
kandungan bahan organik sebanyak 35% jika dibandingkan dengan waktu
sebelum diolah sama sekali. Rendahnya bahan organik tersebut nantinya dapat
menyebabkan rendahnya kadar air tanah.
Kadar air tanah pada lahan sawit menunjukkan kondisi yang cukup baik,
dan berada diatas titik layu permanen hingga hari kedelapan setelah hujan. Hal
tersebut dapat disebabkan karena sifat fisik lahan sawit yang tergolong baik, yaitu
dengan bobot isi yang cukup rendah, porositas tanah yang tinggi, kadar C-organik
yang tinggi, dan distribusi pori yang baik dibanding dua penggunaan lahan
lainnya. Faktor lain yang menyebabkan kadar air tanah di lahan sawit lebih tinggi
dan masih berada di atas TLP hingga hari kedelapan setelah hujan, disebabkan
oleh tutupan kanopi tanaman sawit yang lebih baik dibandingkan dengan
penggunaan lahan lainnya. Hal tersebut dapat membantu lahan sawit mengurangi
laju evaporasi. Sementara untuk lahan jeruk dengan tutupan kanopi yang jarang
atau kurang rimbun menyebabkan lahan tersebut kurang mampu meminimalisir
evaporasi. Lahan tegalan yang secara umum hanya ditutupi oleh rumput masih
memiliki kadar air di atas TLP karena perakaran rumput yang cukup dangkal
tersebut menyebabkan kebutuhan akan air menjadi rendah, sehingga air masih
cukup tersedia meskipun tidak terjadi hujan selama delapan hari.
Pengelolaan yang berbasis konservasi tanah dan air perlu dilakukan untuk
mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas fisik tanah. Arsyad (2010)
menyatakan bahwa, beberapa pengelolaan berbasis konservasi tanah dan air yang
dapat dilakukan diantaranya adalah mempertahankan vegetasi penutup lahan,
menutup tanah dengan sisa-sisa tanaman agar tanah terlindung dari pukulan butir
hujan, dan mengendalikan aliran permukanan.
Selanjutnya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat dinamika
kadar air tanah pada berbagai penggunaan lahan dan kedalaman lapisan tanah
29
29
V. KESIMPULAN
5.3 Kesimpulan
Kadar air tanah pada berbagai penggunaan lahan memiliki nilai yang
berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, seperti bobot isi,
permeabilitas tanah, dan distribusi pori tanah. Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat diambil kesimpulan yaitu :
1. Lahan tegalan memiliki bobot isi tertinggi dan porositas tanah terendah
dibandingkan penggunaan lahan lainnya.
2. Lahan sawit menunjukkan sifat-sifat fisik tanah yang lebih baik. Lahan ini
memiliki nilai bobot isi terendah, dan nilai porositas tertinggi daripada
penggunaan lahan lainnya.
3. Kadar air tanah tertinggi pada satu hari setelah hujan adalah 54,53%
di lahan sawit (24 Mei) pada kedalaman 30-50 cm, 53,41% di lahan jeruk
(27 Mei) pada kedalaman 30-50 cm, dan 53,37% di lahan tegalan (27 Mei)
pada kedalaman 0-10 cm.
4. Lahan sawit memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyimpan air,
ditandai oleh kadar air yang tidak melewati titik layu permanen meskipun
tidak terjadi hujan selama delapan hari.
5.4 Saran
1. Perlu dipertahankannya jumlah vegetasi penutup tanah untuk memperkecil
laju evaporasi.
2. Untuk lahan tegalan perlu dilakukannya pengelolaan yang berbasis
konservasi tanah dan air agar kualitas fisik lahan tetap terjaga.
3. Perlu dilakukannya penelitian dinamika kadar air tanah pada penggunaan
lahan yang berbeda dan dengan kedalaman lapisan tanah dan waktu yang