• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Fisik Tanah dan Dinamika Kadar Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan (Studi Kasus : Kebun Percobaan Cikabayan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Fisik Tanah dan Dinamika Kadar Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan (Studi Kasus : Kebun Percobaan Cikabayan)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

AIR TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN

(STUDI KASUS : KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN)

ENI WINARTI

A14070076

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

RINGKASAN

Eni Winarti. Karakteristik Fisik Tanah dan Dinamika Kadar Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan (Studi Kasus : Kebun Percobaan Cikabayan). Di bawah bimbingan Enni Dwi Wahjunie dan Dwi Putro Tejo Baskoro.

Ketersediaan air pada pertanian lahan kering hanya mengandalkan air hujan. Hujan yang tidak terjadi setiap hari tersebut sering diperparah oleh tingginya intensitas penyinaran matahari yang menyebabkan tingginya evapotranspirasi. Perubahan kadar air tanah yang terjadi pada tiap-tiap penggunaan lahan dapat berbeda dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dinamika kadar air tanah di lahan kering sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah dan curah hujan, dimana sifat-sifat tanah tersebut juga dipengaruhi oleh penggunaan lahan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat fisik dan dinamika kadar air tanah pada berbagai penggunaan lahan dan curah hujan di Kebun Percobaan Cikabayan, Kampus IPB, Dramaga, Bogor.

Pengamatan kadar air lapang untuk satu hari setelah hujan dilakukan pada tanggal 16, 24, dan 27 Mei, serta 1, 5 dan 9 Juni dengan jumlah hujan pada satu hari sebelumnya adalah 4,2 mm, 0,3 mm, 36,4 mm, 8,2 mm, 31,2 mm, dan 26,2 mm. Beberapa kadar air tanah tidak mengikuti pola curah hujan yang terjadi sehari sebelumnya. Kadar air tanah tertinggi justru terjadi setelah curah hujan terendah (0,3 mm) pada tanggal 24 Mei. Hal tersebut dapat disebabkan karena telah terjadi hujan dengan jumlah yang cukup besar sebelum tanggal 24 Mei (21 dan 22 Mei), yaitu 95,7 mm dan 15 mm. Hujan tersebut dapat menyumbangkan cukup air bagi tanah meskipun hujan yang terjadi pada tanggal 23 Mei sangat kecil.

Kadar air tertinggi dan terendah pada tiga sampai delapan hari setelah hujan (3-8 Oktober) berbeda-beda pada setiap penggunaan lahan. Curah hujan yang terjadi pada tanggal 29 dan 30 September adalah 8,9 mm, dan 0,3 mm. Kadar air tertinggi pada lahan sawit dan lahan jeruk saat hari kedelapan setelah hujan terdapat pada lapisan 30-50 cm. Sementara pada lahan tegalan, kadar air tertinggi saat hari kedelapan terjadi pada lapisan 10-30 cm. Tingginya kadar air tanah pada lapisan bawah dapat terjadi karena air pada lapisan tersebut belum diserap oleh akar atau belum hilang sebagai evapotranspirasi karena jaraknya yang cukup jauh dari zona perakaran.

Lahan sawit memiliki nilai kadar air tanah yang lebih rendah daripada kadar air titik layu permanen meskipun tidak terjadi hujan selama delapan hari, disamping karena baiknya sifat fisik lahan tersebut, juga dapat disebabkan oleh tajuk tanaman sawit yang lebat yang mampu mengurangi laju evaporasi atau kehilangan air melalui penguapan. Lahan jeruk memiliki kadar air yang lebih rendah daripada kadar air titik layu permanen saat hari keenam setelah hujan (lapisan 0-10 cm dan 10-30 cm) dan hari kedelapan setelah hujan (lapisan 30-50 cm), sementara lahan tegalan masih mampu menyediakan air meskipun tidak terjadi hujan selama delapan hari.

(3)

i ABSTRACT

Eni Winarti. Soil Physical Characteristics and Soil Moisture Dynamic on Various Land Use : A Case Study on the Experiment and research Garden of Cikabayan). Under guidance of Enni Dwi Wahjunie and Dwi Putro Tejo Baskoro.

The water supply in dryland agriculture relies on rain water. Erratic rainfall which is often compounded by high intensity of sun light causes a high evapotranspiration, so that soil water is significanly decrease. Changes in soil water levels is variable depending on land use type and is affected by various factors. The dynamic of soil moisture content is then strongly influenced by rainfall pattern and physical characteristic of soil, where the soil characteristic itself is influenced by land use type. This study aims to determine physical characteristic of soil and dynamic of soil water in various land use and rainfall in The Experiment and Research Garden of Cikabayan, IPB, Dramaga, Bogor. Each land use has different permanent wilting point and soil water level due to difference in density of canopy or the depth of soil layer. The field soil moisture content under oilpalm is still higher than the permanent wilting point although no rain for eight days. It may be caused by the dense canopy of palm trees which can reduce the rate of evaporation. The field soil moisture content under citrus fall below the wilting point at the sixth day after rain (on 10-30 cm layer) and the eighth day after rain (30-50 cm layer), while soil under annual crop is still possibly providing water supply even though no rain for eight days .

Key words : land use, rainfall, soil moisture, soil physic charackteristics

(4)

i

KARAKTERISTIK FISIK TANAH DAN DINAMIKA KADAR

AIR TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN

(STUDI KASUS : KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN)

Oleh :

Eni Winarti

A14070076

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(5)

i

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Karakteristik Fisik Tanah dan Dinamika Kadar Air Tanah pada

Berbagai Penggunaan Lahan (Studi Kasus : Kebun Percobaan

Cikabayan)

Nama : Eni Winarti

NRP : A14070076

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si Dr. Ir. D. P. Tejo Baskoro, M.Sc NIP. 19600330 198601 2 001 NIP. 19630126 198703 1 001

Mengetahui,

Kepala Departemen Ilmu Tanah

dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 19621113 198703 1 003

Tanggal Lulus:

(6)

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Desa Bogorejo, Muara Tebo, Provinsi

Jambi pada tanggal 6 November 1989. Penulis merupakan anak

pertama dari dua bersaudara, pasangan bapak Siyarto dan ibu Sri

Karyati.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2001

di SDN 323 Bogorejo yang sekarang telah berganti nama menjadi SDN 147

Bogorejo, kemudian pada tahun 2004 menyelesaikan studi di sekolah Menengah

Pertama Negeri 01 Muara Tebo. Lalu penulis melanjutkan studinya ke Sekolah

Menengah Atas Negeri 03 Tebo, dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Manajemen

Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah)

Provinsi Jambi. Selama masa studinya penulis terlibat dalam organisasi Laskar

Hijau, dan berbagai kepanitiaan seperti SOILIDARITY (2009), SOILIDARITY

(2010), Seminar Nasional (2011), dan pernah menjadi Asisten Praktikum Fisika

(7)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan

skripsi ini. Skripsi yang berjudul Karakteristik Fisik Tanah dan Dinamika

Kadar Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kebun

Percobaan Cikabayan), merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

sarjana di Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,

Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Pemerintah Daerah Provinsi Jambi sebagai pemberi beasiswa sehingga penulis

memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor.

2. Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik

sekaligus pembimbing skripsi yang senantiasa membimbing, mengarahkan,

dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan Penelitian.

3. Dr. Ir. D. P. Tejo Baskoro, M.Sc sebagai dosen pembimbing II yang senantiasa

memberikan saran, dan arahan kepada penulis.

4. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku dosen penguji yang memberikan

banyak masukan dan arahan kepada penulis.

5. Keluarga tercinta Bapak (Siyarto), Ibu (Sri Karyati), dan adik tersayang

(Juniarti Sawindu) yang senantiasa memberikan do’a, semangat, motivasi,

dan dukungan baik moral maupun materil kepada penulis.

6. Para Angels KTA (Rini Dwi Kusumawati, dan Heni Pratiwi), sahabat terbaik (Savitri Agrianti, Etika Agrianita, Evi Mutiara, dan Anindita Anggarani), serta

Luqmanul Abidin yang telah memotivasi dan membantu penulis dalam

menyelesaikan Penelitian.

7. Sri Setia Bella atas do’a dan motivasinya.

8. Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Pak Saifullah

(Laboran Fisika Tanah), dan Ibu Yani (Laboran Sumberdaya Fisik Lahan).

9. Seluruh keluarga besar SOILSCAPER44 atas bantuan, motivasi, kenangan

(8)

iv

iv

10. Kosan Pondok Delima, terutama Yuni yang telah membantu penulis dalam

translete ringkasan, serta Pingkan dan Dini untuk motivasi, do’a dan kenangan indah.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, tetapi

penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkan.

Bogor, Juli 2012

(9)

v DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Vegetasi Penutup Lahan ... 3

2.2 Lahan Kelapa Sawit ... 4

2.3 Lahan Jeruk ... 5

2.4 Lahan Tegalan ... 5

2.5 Pergerakan Air ... 6

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 8

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 8

3.2 Bahan dan Alat ... 8

3.3 Metode Penelitian ... 8

Penetapan Lokasi ... 8

Pengambilan Contoh Tanah ... 8

Analisis Tanah ... 9

Pengamatan Kadar Air Lapang 9 Analisis Data ... 10

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11

4.1 Karakteristik Fisik Tanah ... 11

4.11 Tekstur Tanah, Bobot Isi, dan Porositas Total ... 11

4.12 Kurva pF dan Distribusi Ukuran Pori ... 14

4.1.3 Infiltrasi dan Permeabilitas ... 16

4.2 Kadar Air Tanah Sehari Setelah Hujan ... 18

4.3 Dinamika Kadar Air Tanah ... 21

(10)

vi

vi

V. KESIMPULAN ... 29

5.1 Kesimpulan ... 29

5.2 Saran ... 29

VI. DAFTAR PUSTAKA ... 30

LAMPIRAN ... 32

(11)

vii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jenis, Bahan dan Alat serta Metode yang Digunakan

dalam Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah ... 9

2. Kelas Tekstur Tanah dan Kadar Bahan Organik Berbagai

Penggunaan Lahan ...……… 11

3. Bobot Isi pada Berbagai Penggunaan Lahan dan

Berbagai Kedalaman …... 12 4. Porositas Total Tanah Berbagai Penggunaan Lahan dan

Kedalaman Lapisan ... 13 5. Distribusi Ukuran Pori Tanah Berbagai Penggunaan

Lahan dan Kedalaman ...……… 16

6. Laju Infiltrasi Minimum Berbagai Penggunaan Lahan... 17

7. Permeabilitas Berbagai Penggunaan Lahan dan

Kedalaman Lapisan Tanah ...……..……… 17

8. Kadar Air Kapasitas Lapang Berbagai Penggunaan

Lahan dan Kedalaman ………... 24 9. Kadar Air Titik Layu Permanen Berbagai Penggunaan

(12)

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kurva pF Berbagai Penggunaan Lahan dan Kedalaman

Tanah ………...……... 15

2. Kadar Air Sehari Setelah Hujan Berbagai Lahan ... 19 3. Kadar Air Tanah Berbagai Penggunaan Lahan dan

Kedalaman Lapisan (3-8 Oktober) Setelah 3-8 Hari Tidak

Hujan ..………... 22

4. Kadar Air Tanah dan Titik Layu Permanen Berbagai Penggunaan Lahan dan Kedalaman Tanah (3-8 Oktober)

(13)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Tabel Halaman

1. Sifat-sifat Fisik Tanah pada Berbagai Penggunaan

Lahan ... 33

2. Kadar Air saat pF Berbagai Penggunaan Lahan ………... 34

3. Tekstur Tanah dan %BO Berbagai Penggunaan lahan ... 34

4. Air Tanah Berbagai Penggunaan Lahan dan Kedalaman

pada Satu Hari Setelah Hujan ………... 35

5. Kadar Air Tanah Berbagai Penggunaan Lahan dan

Kedalaman pada 3-8 Hari Setelah Hujan (3-8 Oktober 2011) ... 35

6. Jumlah Hujan pada Bulan Mei-Oktober 2011 ………….... 36

1.

Gambar

(14)

1

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ketersediaan air pada pertanian lahan kering hanya mengandalkan air

hujan. Hujan yang tidak terjadi setiap hari serta intensitas penyinaran matahari

yang tinggi menyebabkan tingginya evapotranspirasi. Hal tersebut selanjutnya

menyebabkan kandungan kadar air tanah di zona perakaran untuk pertumbuhan

tanaman menurun dengan cepat.

Perubahan kadar air tanah yang terjadi akan berbeda pada penggunaan

lahan dapat berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya

adalah sifat-sifat fisik tanah. Sifat-sifat fisik tanah itu sendiri dipengaruhi oleh

penggunaan lahan.

Penggunaan lahan yang berbeda mempunyai sistem perakaran, sistem

penutupan kanopi, dan sisa serasah, yang kesemuanya akan menentukan sifat-sifat

fisik tanah di bawahnya, dan selanjutnya berpengaruh terhadap sifat retensi dan

pergerakan air dalam tanah. Perbedaan kadar air tanah antar kedalaman menjadi

berbeda dapat saja dipengaruhi oleh kemampuan retensi dan kecepatan air

bergerak memasuki profil tanah.

Ketersediaan air dalam tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman

secara langsung. Pada budidaya tanaman lahan kering, sumber air utama bagi

pertumbuhan tanaman adalah hujan. Bervariasinya hujan, baik dalam jumlah,

intensitas, dan waktu datangnya hujan; dapat menjadi penyebab sulitnya prediksi

waktu yang tepat melakukan penanaman/mengatur pola tanam.

Perbedaan penggunaan lahan dapat mempengaruhi sifat-sifat fisik tanah

yang selanjutnya mempengaruhi sifat-sifat retensi dan pergerakan air dalam tanah.

Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan dinamika kadar air tanah. Begitupun

dengan curah hujan yang berbeda dalam jumlah dan intensitas yang juga turut

(15)

2 1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa sifat fisik

tanah serta dinamika kadar air tanah pada berbagai penggunaan lahan dengan

(16)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Mori (2006), air di permukaan bumi kira-kira 97,5% merupakan

air laut, 1,75% berbentuk es, dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air

danau, dan air tanah, dan hanya sekitar 0,001% saja dalam bentuk uap air. Air

kembali menguap dan berubah menjadi awan setelah melewati berbagai proses,

dan akan kembali ke permukaan bumi dalam bentuk hujan, salju, dan embun serta

bentuk-bentuk lainnya. Namun pada prosesnya, ada beberapa bagian dari air

tersebut tidak sampai ke permukaan bumi, karena tertahan oleh tutupan

lahan/intersepsi (seperti bangunan, pepohonan/tajuk tanaman, dll) yang dapat

menguap kembali ke udara, dan sebagian ada yang mengalir melalui batang dan

sampai ke tanah (trough fall dan stem flow).

Menurut Arsyad (2010), sumberdaya alam yang utama (tanah dan air) saat

ini telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Kerusakan tersebut disebabkan

oleh hilangnya unsur hara tanah dan kandungan bahan organik, terjadinya

akumulasi garam-garam di daerah perakaran, dan erosi.

2.1 Vegetasi Penutup Lahan

Ada tiga jenis tanaman penutup tanah/lahan, yaitu : (1) tanaman penutup

tanah rendah yang biasanya dipakai dalam pola pertanaman rapat, dalam pola

pertanaman barisan, dan sebagai penguat teras serta saluran air; (2) tanaman

penutup tanah sedang yang biasanya ditanam teratur pada baris diantara tanaman

pokok, pada pola pertanaman pagar, atau sengaja ditanam diluar areal pertanaman

untuk sumber mulsa dan pupuk hijau; dan (3) tanaman penutup tanah tinggi atau

tanaman pelindung yang ditanam diantara baris tanaman utama, dipakai dalam

barisan, dan atau untuk penghutanan kembali. Pengaruh masing-masing vegetasi

terhadap pengendalian erosi berbeda-beda. Untuk tanaman penutup tanah rendah

yang ditanam rapat dapat melindungi tanah dari efek langsung pukulan butir

hujan, sehingga tanah tidak mudah tererosi ataupun terpadatkan. Sementara untuk

tanaman penutup tanah sedang yang ditanam dengan pola pagar dapat membantu

memperbaiki drainase tanah yang buruk, sedangkan untuk tanaman penutup tanah

tinggi dapat meningkatkan penutupan tanah dan melindungi tanah dari pukulan

(17)

4 2.2 Lahan Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang membutuhkan curah

hujan yang cukup besar yaitu sekitar 1250-2500 mm per tahun, dengan tanpa

bulan kering yang nyata. Curah hujan di bawah 1250 mm dapat menjadi faktor

pembatas dalam pertumbuhan tanaman karena dapat menyebabkan defisit air dan

suplai hara terhambat. Tanaman kelapa sawit tumbuh optimum pada ketinggian

< 500 m dpl, serta tanah-tanah dengan kedalaman efektif yang tebal > 120 cm.

Kedalaman efektif tersebut diharapkan akan optimal untuk perkembangan

akar-akar kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit dapat menyesuaikan diri di berbagai

jenis tekstur tanah, diantaranya adalah lempung liat berpasir, liat berpasir,

lempung liat berdebu, dan lempung berdebu dengan kelas drainase baik hingga

sedang (Mangoensoekarjo, 2007).

Menurut Syahadat (2008), tanah lokasi gawangan (gawangan mati) pada

lahan pertanaman kelapa sawit mempunyai nilai bobot isi yang lebih rendah

dengan porositas yang lebih tinggi dikarenakan kondisi tanah pada lokasi tersebut

tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang dapat menyebabkan pemadatan

tanah. Selain itu juga, adanya rerumputan dapat menyebabkan banyaknya

perakaran yang dapat meningkatkan porositas tanah, mengurangi energi

tumbukan butir hujan sehingga agregat tidak terpadatkan. Sedangkan dari hasil

penelitian Marieta (2011) pada kebun kelapa sawit di Desa Cimulang, bobot isi

pada gawangan lahan sawit menunjukkan kondisi lebih besar dibandingkan

dengan bobot isi pada lahan kebun campuran, hal tersebut dikarenakan lahan

kebun campuran mempunyai lapisan serasah yang cukup tebal. Sementara pada

gawangan (gawangan hidup) lahan kelapa sawit yang dijadikan sebagai jalan

menyebabkan nilai bobot isinya lebih besar daripada pada lahan kebun campuran

karena tingginya aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya pemadatan

tanah.

Menurut Setyamidjaja (1991) dalam Julianto (2012), keadaan air tanah

yang paling membutuhkan perhatian adalah pada daerah sekitar perakaran, yaitu

dari permukaan tanah sampai kedalaman kurang lebih 100 cm. Pada kondisi

(18)

5

tumbuh sampai kedalaman 100 cm dan tidak jarang akar akan ditemui pada

kedalaman 100-140 cm jika ketersediaan air terganggu.

Ketersediaan air yang kurang dalam waktu lama dapat menyebabkan

peningkatan kerusakan vegetatif tanaman, yaitu terhambatnya pembukaan daun

muda sehingga menurunnya produksi daun yang nantinya mengakibatkan

pembentukan bakal bunga akan terganggu. Selain hal itu juga, ketersediaan air

yang buruk dapat menyebabkan produktivitas kelapa sawit menurun. Penurunan

produktivitas tersebut ditandai dengan kematangan tandan yang kurang baik,

dan gugurnya tandan bunga yang telah mekar (Marni, 2009).

2.3 Lahan Jeruk

Jeruk merupakan komoditas buah yang populer setelah anggur. Daerah

tumbuhnya membentang dari 40 derajat lintang utara sampai 40 derajat lintang

selatan. Total area pertanaman jeruk di seluruh dunia kurang lebih 1,5 juta hektar

(Sarwono, 1994). Tanaman jeruk ini dapat tumbuh pada ketinggian kurang lebih

650-2000 m dpl. Temperatur untuk pertumbuhan optimalnya adalah 25-30ºC.

Tanaman jeruk memerlukan sinar matahari yang cukup baik, sehingga jeruk yang

ditanam pada area terlindung pertumbuhannya kurang baik dan mendapat

serangan penyakit. Tanaman jeruk memerlukan air dalam jumlah cukup namun

tidak tergenang, sehingga diperlukan drainase yang baik (Pracaya, 1998).

Tanah yang baik untuk pertumbuhan jeruk adalah tanah yang bertekstur

lempung sampai lempung berpasir dengan kadar hara dan air cukup

(seperti Andosol dan Latosol). Air tanah yang dirasa cukup optimal untuk

pertumbuhan jeruk adalah pada 150-200 cm di bawah permukaan tanah dengan

kandungan garam kurang dari 10%. Kelembaban udara optimum untuk

pertumbuhannya adalah 70-80%, dan tidak menyukai tempat yang terlindung dari

sinar matahari (http://www.dapurusaha.com, 2009).

2.4 Lahan Tegalan

Lahan tegalan merupakan salah satu sistem pertanian yang dilakukan

di lahan kering, atau yang kadang disebut juga sebagai perladangan. Pada musim

hujan lahan-lahan tegalan ini bisa juga dijadikan sawah, dan ditanami

(19)

6

pengusahaan semacam ini banyak dilakukan tidak hanya pada dataran rendah

namun juga di dataran tinggi dimana padi dan palawija masih dapat tumbuh

(Soepomo dan Silvana, 1997).

Sumber air untuk pertanian lahan kering biasanya hanya bersumber

dari air hujan, sehingga sebaran dan pola hujan sangat menentukan pola tanam.

Ketersediaan air pada musim kering biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor

lingkungan seperti jenis tanah, iklim, serta usaha pengelolaan oleh manusia.

Musim tanam biasanya dimulai saat hujan, selama sepuluh hari berturut-turut

jumlah hujan mencapai lebih dari 50 mm. Persiapan lahan sudah dilakukan saat

musim kemarau, sehingga dalam setahun tidak terjadi kekosongan kegiatan

(Sabaruddin, 2003 dalam Febrianti, 2011). 2.5 Pergerakan Air Tanah

Pergerakan air tanah dapat juga didefinisikan sebagai aliran air tanah.

Beberapa pergerakan air tanah yang secara umum telah dikenal diantaranya

adalah infitrasi, dan aliran permukaan. Infiltrasi dapat diartikan sebagai proses

masuknya air ke dalam tanah, yang biasanya (tidak selalu) secara vertikal atau

masuk merata pada seluruh permukaan tanah. Jika ketersediaan air pada suatu

tanah dalam keadaan yang cukup, maka air akan masuk ke bagian tanah yang

lebih dalam (perkolasi). Pada saat tanah dalam keadaan kering, dan baru terjadi

hujan, laju infiltrasi akan besar dan cepat, namun akan segera menurun hingga

konstan. Infiltrasi yang terjadi saat keadaan tanah tidak jenuh dipengaruhi oleh

adanya hisapan matriks. Pada saat terjadi infiltrasi, hisapan matriks ini akan terus

berkurang sampai tanah mencapai keadaan jenuh (Arsyad, 2010).

Aliran permukaan merupakan bagian dari air hujan yang tidak terinfiltrasi

atau masuk ke dalam tanah. Laju aliran permukaan ini akan meningkat dengan

menurunnya laju infiltrasi tanah. Pada awal kejadian hujan laju infiltrasi akan

tinggi, namun pada suatu periode saat tanah sudah tidak dapat menampung air

lagi, maka terjadilah aliran permukaan. Untuk daerah yang kedap air

(impermeable), jumlah aliran permukaan (run-off) dapat dikatakan sama dengan jumlah hujan yang turun (Indarto, 2010).

Air tanah adalah salah satu komponen penting dalam siklus hidrologi,

(20)

7

dipengaruhi oleh proses evaporasi yang terjadi di permukaan tanah. Air yang

tersimpan di dalam pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi dua jenis aquifer,

yaitu terbuka dan tertutup. Yang dimaksud dengan aquifer terbuka adalah aquifer

yang masih mendapat pengaruh dari atmosfer luar melalui pori-pori lapisan tanah,

sementara aquifer tertutup adalah aquifer yang dibatasi oleh lapisan kedap air

(aquiclude) sehingga tidak mendapat pengaruh dari atmosfer luar (Indarto, 2010). Menurut Susanto (2005) dalam Handayani (2011), air yang tersedia bagi tanaman adalah air yang berada antara titik layu permanen dan kapasitas lapang.

Kebutuhan air untuk masing-masing tanaman ditentukan oleh sifat dari tanaman

itu sendiri dan air pada profil tanah yang dapat dijangkau oleh akar tanaman

tersebut.

Dari hasil penelitian Sofyan (2006), laju infiltrasi pada lahan tegalan lebih

rendah jika dibandingkan dengan lahan hutan dan lahan yang diperuntukkan

sebagai lahan agroforesty. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya pori makro pada lahan tegalan tersebut, karena kurangnya bahan organik dan tingginya

pengolahan tanah yang dapat mempercepat dekomposisi bahan organik. Dengan

demikian rendahnya kadar bahan organik dapat menjadi salah satu penyebab

rendahnya kemampuan tanah dalam melalukan air.

Di dalam tanah juga dapat terjadi aliran bawah permukaan. Aliran bawah

permukaan adalah aliran air yang masuk ke dalam tanah namun tidak cukup

dalam karena terhalangi oleh lapisan kedap. Aliran bawah permukaan tersebut

biasanya terdapat pada kedalaman 30-40 cm di bawah permukaan tanah kemudian

keluar ke permukaan tanah melalui bawah lereng atau mengisi sungai-sungai

(21)

8

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2011 sampai Januari 2012.

Pengambilan contoh tanah dilakukan di kebun percobaan Cikabayan, University Farm, sedangkan analisis tanah dilakukan di laboratorium Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.

3.2Bahan dan Alat

Bahan tanah yang digunakan adalah contoh tanah utuh dan tanah

terganggu pada ketiga penggunaan lahan, yaitu lahan sawit, jeruk, dan tegalan.

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian baik di lapang ataupun di

laboratorium disajikan pada Tabel 1.

3.3Metode Penelitian

Penetapan lokasi

Penelitian dilakukan di kebun percobaan Cikabayan pada beberapa

penggunaan lahan yaitu lahan sawit, lahan jeruk, dan lahan tegalan. Dari ketiga

penggunaan lahan tersebut diharapkan dapat memiliki sifat-sifat fisik yang berbeda yang nantinya berpengaruh pada kadar air tanah. Ketiga penggunaan

lahan berada di lokasi yang cukup berdekatan, sehingga diharapkan pengaruh

faktor seperti topografi, curah hujan, dan jenis tanah (Latosol) menjadi sama.

Pengambilan contoh tanah

Pengambilan contoh tanah terdiri dari contoh tanah utuh untuk penetapan

BI, kadar air pada berbagai pF, contoh tanah terganggu untuk analisis bobot jenis

partikel, tekstur, dan kandungan C-organik tanah. Pengambilan contoh tanah

dilakukan pada beberapa kedalaman yaitu 0-10 cm, 10-30 cm, dan 30-50 cm

pada lahan sawit, jeruk, dan bera. Pengambilan contoh tanah utuh menggunakan

ring sample, sementara untuk kadar air lapang dilakukan dengan menggunakan bor tanah berdiameter 2 cm. Pengambilan contoh tanah utuh dilakukan sebanyak

dua titik pengamatan di tiap kedalaman penggunaan lahan yang dijadikan sebagai

ulangan, sementara untuk kadar air tanah lapang ditetapkan tiga titik pengamatan

(22)

9 Analisis tanah

Beberapa jenis, metode, dan alat yang digunakan dalam analisis tanah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis, Bahan, alat, serta metode yang digunakan dalam analisis sifat fisik dan kimia tanah

Jenis Analisis Bahan-bahan Alat Metode Pengambilan

Labu ukur 50 ml, penangas Metode botol Piknometer

Infiltrasi - Double ring infiltrometer, mistar, stopwatch

Double ring infiltrometer

Kurva pF Contoh tanah utuh

Set alat penetapan pF, plate apparatus membran,

Pengambilan contoh tanah untuk penetapan kadar air lapang dilakukan

dengan melihat variasi kejadian hujan, misalnya satu hari setelah hujan, dua hari

setelah hujan, dan seterusnya. Contoh tanah diambil pada tiga titik di

masing-masing penggunaan lahan yang dijadikan sebagai ulangan, dan pada kedalaman

(23)

10

bor tanah berdiameter 2 cm. Contoh tanah segera dibungkus dengan kertas

aluminium foil, kemudian dilakukan penetapan kadar air tanahnya di laboratorium. Pengambilan contoh tanah untuk penetapan kadar air lapang

dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00-09.00 WIB. Pengambilan contoh

tanah dilakukan pada waktu (jam) yang sama agar didapatkan nilai kadar air yang

relatif seragam, sementara untuk data curah hujan harian, diambil dari stasiun

penakar hujan BMKG Darmaga.

Analisis data

Pengaruh berbagai penggunaan lahan terhadap sifat-sifat fisik tanah dan

kadar air tanah pada masing-masing penggunaan lahan dan kedalaman tanah

(lapisan 0-10 cm, 10-30 cm, dan 30-50 cm) dianalisis secara deskriptif. Beberapa

sifat fisik tanah seperti kurva pF dan distribusi pori, bobot isi, porositas total,

tekstur tanah, dan sifat kimia yaitu C-organik dibandingkan antar ketiga

penggunaan lahan. Untuk melihat ketersediaan air pada tiap penggunaan lahan

dilakukan perbandingan antara kadar air lapang terhadap kadar air tanah

(24)

11

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik fisik Tanah

4.1.1 Tekstur tanah, Bobot Isi, dan Porositas Total

Tekstur tanah dapat diartikan sebagai perbandingan relatif antara pasir,

debu, dan liat. Hasil analisis tekstur dan bahan organik tanah pada berbagai

penggunaan lahan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kelas tekstur tanah dan kadar bahan organik berbagai penggunaan lahan

Penggunaan lahan pasir liat debu Tekstur tanah BO

...%... ...%...

Sawit 13,43 70,52 21,83 Liat 4,63

Jeruk 8,64 76,44 15,78 Liat 3,84

Tegalan 9,14 77,84 17,47 Liat 3,07

Ket : BO = Bahan Organik

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa untuk semua penggunaan lahan, tekstur

tanahnya adalah liat, meskipun mengandung kadar pasir, debu, serta liat yang

berbeda-beda. Tanah-tanah yang bertekstur liat memiliki luas permukaan yang

lebih besar, sehingga kemampuan dalam memegang airnya tinggi. Tanah

bertekstur halus (liat, liat berdebu dan liat berpasir) mempunyai luas permukaan

yang lebih besar, sehingga hal tersebut menyebabkan kapasitas total menahan

airnya lebih tinggi (http//www.noble.org, 2011), sementara Hakim et al (1986) menyatakan bahwa, jumlah air tersedia tertinggi justru dimiliki oleh tanah-tanah

bertekstur sedang (lempung, lempung liat berpasir, dan lempung berdebu).

Hal tersebut dapat terjadi karena pada tanah bertekstur halus, molekul air dijerap

kuat oleh tanah, yang menggambarkan bahwa, meskipun kemampuan tanah dalam

memegang air tinggi, belum tentu air tersedia bagi tanaman tinggi, sehingga air

menjadi tidak tersedia bagi tanaman.

Tabel 2 juga menunjukkan bahwa kadar bahan organik berbeda-beda pada

setiap penggunaan lahan. Kadar bahan organik tertinggi pada lahan sawit yaitu

4,63%, kemudian lahan jeruk yaitu 3,84% dan yang terendah adalah lahan tegalan

(25)

12

sifat fisik tanah, diantaranya adalah bobot isi tanah dan porositas total tanah.

Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi cenderung mempunyai bobot isi

yang rendah dan porositas total yang tinggi.

Tingginya kandungan bahan organik pada lahan sawit disebabkan oleh

banyaknya pelepah-pelepah sawit yang tertumpuk di lahan tersebut sehingga

menyumbangkan banyak bahan organik. Rendahnya kandungan bahan organik

pada lahan tegalan disebabkan karena kurangnya tanaman penutup lahan yang

permanen pada lahan tersebut. Disamping itu, lahan tegalan juga lebih sering

diolah sehingga dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat.

Tabel 3. Bobot isi pada berbagai penggunaan lahan dan berbagai kedalaman

Penggunaan lahan Kedalaman tanah

0-10 cm 10-30cm 30-50 cm

...gram/cm³...

Sawit 0,92 0,93 1,00

Jeruk 0,92 0,99 1,00

Tegalan 0,96 0,99 1,03

Tabel 3 menunjukkan bahwa bobot isi meningkat dengan semakin

dalamnya lapisan tanah. Dari hasil analisis, lahan tegalan memiliki bobot isi yang

relatif seragam, dan dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan dengan

penggunaan lahan lainnya. Hal tersebut dikarenakan lahan tegalan merupakan

lahan pertanian intensif yang sering mendapat pengolahan, dan sering terjadi

aktifitas pertanian sehingga menyebabkan pemadatan tanah. Faktor lain yang

dapat menyebabkan pemadatan tanah dan tingginya bobot isi pada lahan tegalan

dibandingkan dengan lahan bervegetasi (lahan sawit dan jeruk) adalah rendahnya

vegetasi penutup di lahan tersebut, sehingga efek pukulan butir hujan tinggi yang

berpengaruh pada bobot isi tanah. Tingginya pengaruh pukulan butir hujan akan

menyebabkan partikel tanah yang terlepas menjadi banyak sehingga pemadatan

menjadi lebih besar. Dari hasil penelitian Raja (2009), bobot isi lahan tegalan

yang tinggi dapat juga dipengaruhi oleh pengolahan tanah yang intensif dan umur

lahan tegalan yang sudah lama. Lamanya umur penggunaan lahan berkaitan

dengan lamanya pengolahan, dan tingkat pemadatan yang telah terjadi pada lahan

(26)

13

memiliki bobot isi yang tinggi karena tanah tegalan tidak memiliki penutup lahan

yang tetap/kanopi tidak rimbun sehingga saat terjadi hujan, butiran-butiran hujan

akan langsung jatuh dan mengenai permukaan tanah sehingga terjadi pemadatan

tanah. Semakin tingginya bobot isi dengan semakin dalamnya lapisan tanah dapat

disebabkan karena pada lapisan bawah tanah kandungan bahan organik cenderung

lebih rendah daripada lapisan-lapisan tanah bagian atasnya.

Lahan sawit dan lahan jeruk memiliki bobot isi yang sedikit lebih rendah

daripada lahan tegalan dikarenakan lahan sawit mendapat suplai serasah-serasah

dari pelepah yang ditumpuk di sekitar lahan. Disamping itu, lahan sawit sudah tua

dan kurang terawat, sehingga aktivitas pertanian sudah berkurang, dan pemadatan

tanahpun kurang. Sementara untuk lahan jeruk, banyak terdapat rumput yang

menutupi hampir seluruh permukaan lahan sehingga memungkinkan tanah

terlindungi dari pukulan butir hujan secara langsung, dan kurangnya aktivitas

manusia pada lahan tersebut dapat menjadi salah satu penyebab bobot isi lahan

jeruk lebih rendah daripada lahan tegalan.

Tabel 4. Porositas total tanah berbagai penggunaan lahan dan kedalaman lapisan

Penggunaan lahan Kedalaman tanah

0-10 cm 10-30cm 30-50 cm

...%volume...

Sawit 65,95 66,05 63,57

Jeruk 65,28 62,37 62,83

Tegalan 63,94 63,14 61,75

Dari hasil analisis porositas total tanah (Tabel 4) didapatkan bahwa lahan

sawit secara umum mempunyai porositas total lebih tinggi daripada penggunaan

lahan lainnya. Porositas tanah berbanding terbalik dengan bobot isi tanah. Jika

suatu tanah memiliki nilai bobot isi yang tinggi, maka akan memiliki porositas

yang rendah, begitu juga sebaliknya. Porositas tanah menggambarkan bagian dari

tanah yang tidak ditempati oleh padatan baik bahan mineral maupun bahan

organik. Misalnya tanah-tanah pada lapisan bawah yang padat, maka ruang pori

sedikit. Begitu sebaliknya dengan tanah-tanah bertekstur sedang, pori tanah

(27)

14

Lahan sawit memiliki nilai porositas tertinggi. Hal tersebut karena

di sekitar lahan sawit terdapat sisa-sisa pelepah kelapa sawit yang menjadi

sumbangan bahan organik yang cukup bagi tanah tersebut. Hal tersebut juga dapat

membantu tanah dalam pembentukkan granul, memperbesar volume serta jumlah

pori-pori tanah, dan cenderung menurunkan bobot isi. Seperti telah disebutkan

di depan, %C-organik lahan sawit tertinggi daripada lahan-lahan lainnya.

Meskipun tidak terlalu berbeda dengan lahan kelapa sawit, lahan jeruk

memiliki porositas diantara lahan sawit dan tegalan. Hal tersebut dikarenakan

lahan jeruk masih mendapat suplai bahan organik dari rumput-rumput yang

tumbuh diatasnya, dan serasah dari tanaman jeruk yang jatuh ke tanah. Sementara

untuk lahan tegalan yang memiliki porositas terendah dapat disebabkan karena

lahan tersebut diolah secara intensif.

Seperti yang telah disebutkan, bahwa tanah tegalan mempunyai penutupan

lahan yang sedikit, sehingga destrukturisasi oleh pukulan butir hujan sangat

berpengaruh, hal tersebut menyebabkan rusaknya agregat-agregat tanah,

dan hancurnya pori-pori tanah, atau dengan kata lain destrukturisasi pada lahan

tegalan lebih cepat terjadi daripada lahan-lahan lainnya

4.1.2 Kurva pF dan Distribusi Ukuran Pori

Kurva pF atau yang biasa disebut sebagai kurva karakteristik kadar air

tanah adalah kurva yang menggambarkan kondisi kadar air tanah pada berbagai

hisapan matriks. Kurva pF berbagai penggunaan lahan dan kedalaman lapisan

tanah disajikan pada Gambar 1.

Dari Gambar 1 terlihat bahwa, secara umum pada pF 2,54 dan 4,2 lahan

jeruk memiliki nilai kadar air lebih tinggi dibandingkan lahan-lahan lainnya. Hal

tersebut menandakan bahwa lahan jeruk memiliki kadar air kapasitas lapang (pF 2,54) dan kadar air titik layu permanen (pF 4,2) yang lebih besar daripada

lahan-lahan lainnya. Sebaliknya kadar air pada pF 1 dan pF 2, lahan jeruk secara

umum lebih rendah daripada penggunaan lahan lainnya. Hal tersebut

menunjukkan bahwa lahan jeruk mempunyai pori mikro yang lebih dominan

daripada pori makro, jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Air

tersedia sering ditandai dengan keadaan air diantara kapasitas lapang (pF 2,54)

dengan kadar air titik layu permanen (pF 4,2). Pada kisaran tersebut tanaman

(28)

15

agar air tersedia dan dapat diserap dan dimanfaatkan tanaman, air harus lebih banyak daripada air saat titik layu permanen. Kadar air pada berbagai pF dapat

juga mengindikasikan distribusi pori tanah.

Gambar 1. Kurva pF berbagai penggunaan lahan dan kedalaman tanah

Distribusi Ukuran Pori

Pori-pori tanah terbagi menjadi pori makro dan pori mikro. Pori makro

biasa disebut sebagai pori drainase, yang terbagi menjadi beberapa kelas yaitu

pori drainase sangat cepat yang diperoleh dari selisih antara porositas total dengan

kadar air pada pF 1, pori drainase cepat selisih antara kadar air pada pF 1 dengan

pF 2, dan pori drainase lambat selisih antara kadar air pada pF 2 dengan pF 2,54.

Sementara untuk pori air tersedia adalah selisih antara pF 2,54 dengan pF 4,2.

Distribusi ukuran pori ditampilkan pada Tabel 5.

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa lahan jeruk secara umum memiliki pori

drainase sangat cepat tertinggi daripada lahan-lahan lainnya. Untuk pori drainase

cepat, lahan tegalan memiliki nilai tertinggi daripada lahan-lahan lainnya. Pori air

tersedia untuk masing-masing penggunaan lahan menunjukkan kondisi yang

berbeda baik antar penggunaan lahan atau antar kedalaman lapisan tanah.

(29)

16

Tabel 5. Distribusi ukuran pori tanah berbagai penggunaan lahan dan kedalaman

Penggunaan

Secara umum pori air tersedia menunjukkan penurunan dengan semakin

dalamnya lapisan tanah. Pori air tersedia lahan sawit lebih tinggi daripada

penggunaan lahan lainnya dengan pori air tersedia pada lapisan 0-10 cm yaitu

19,62%, 12,21% pada lapisan 10-30 cm, dan 6,98% pada lapisan 30-50 cm.

Sementara pori air tersedia untuk lahan jeruk dan tegalan adalah relatif sama.

4.1.3 Infiltrasi dan Permeabilitas

Infiltrasi dapat diartikan sebagai masuknya air ke dalam tanah melalui

permukaan tanah. Jika air dalam keadaan cukup, maka air dapat terus masuk

menuju lapisan tanah yang lebih dalam, dan apabila sampai mencapai permukaan

air tanah (groundwater) dapat mengisi groundwater storage. Laju infiltrasi pada saat awal terjadi hujan akan tinggi, namun sampai saat tanah sudah dalam keadaan

jenuh, maka laju infiltrasi akan menurun hingga mencapai konstan,

dan kemampuan tanah dalam menyerap air infiltrasi disebut sebagai kapasitas

infiltrasi (Arsyad, 2010). Laju infiltrasi untuk masing-masing penggunaan lahan

pada berbagai kedalaman tanah disajikan pada Tabel 6.

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa laju infiltrasi terbesar adalah pada lahan

tegalan, lalu lahan sawit serta lahan jeruk dengan nilai infiltrasi yang sama.

Menurut klasifikasi Kohnke dan Bertrand (1959) lahan tegalan masuk kedalam

kelas infiltrasi cepat, dan agak cepat untuk lahan sawit serta lahan jeruk. Lahan

sawit (lapisan 0-10 cm) dan lahan jeruk (lapisan 10-30 cm dan 30-50 cm)

(30)

17

terhambat. Sementara untuk lahan tegalan yang memiliki nilai pori drainase

sangat cepat yang kontinyu (menurun dengan semakin dalamnya lapisan tanah)

lebih mudah melalukan air untuk bergerak ke lapisan yang lebih bawah.

Menurut Arsyad (2010), besarnya laju infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu ukuran pori, kemantapan pori, kandungan air tanah awal, dan profil tanah.

Tanah-tanah yang didominasi pori makro akan memungkinkan air keluar atau

terinfiltrasi dengan cepat.

Tabel 6. Laju infiltrasi minimum berbagai penggunaan lahan

Penggunaan lahan Infiltrasi Kelas

...cm/jam...

Sawit 12 agak cepat

Jeruk 12 agak cepat

Tegalan 24 Cepat

Sedikit berbeda dengan infiltrasi, permeabilitas dapat diartikan sebagai

pergerakan air di dalam tanah pada kondisi jenuh. Hasil dari pengukuran

permeabilitas di laboratorium disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Permeabilitas berbagai penggunaan lahan dan kedalaman lapisan tanah

Penggunaan

Lahan Kedalaman BI Permeabilitas

Kelas

Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai kelas permeabilitas berbeda untuk

masing-masing lahan. Untuk lahan sawit permeabilitas berurutan dari lapisan

(31)

18

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pori drainase cepat yang rendah pada

lahan sawit menyebabkan air bergerak lambat tidak kontinyu dan terhambat.

Sementara untuk lahan jeruk, nilai permeabilitasnya secara berurutan dari lapisan

0-10 cm sampai 30-50 cm adalah sedang, cepat, dan agak cepat.

Untuk lahan tegalan, nilai permeabilitas menurun dengan semakin

dalamnya lapisan tanah. Secara berurutan nilai permeabilitas untuk lahan tegalan

adalah cepat, agak cepat, dan sedang. Hal tersebut dapat disebabkan karena pori

drainase sangat cepat lahan tegalan yang menurun dengan semakin dalamnya

lapisan tanah menyebabkan pergerakan air menjadi kontinyu.

4.2 Kadar Air Tanah Sehari Setelah Hujan

Kadar air tanah dapat diartikan sebagai jumlah air yang terdapat dalam

suatu massa tanah yang dapat dinyatakan baik dalam % bobot maupun % volume.

Berbagai kadar air tanah sehari setelah hujan di berbagai kedalaman di tiga

penggunaan lahan ditampilkan pada Gambar 2 (Tabel Lampiran 4).

Gambar 2 menyajikan kadar air tanah pada berbagai penggunaan lahan

di beberapa kejadian hujan yang berbeda. Pengamatan kadar air tanah lapang

dilakukan pada tanggal 16, 24, dan 27 Mei, serta 1, 5 dan 9 Juni dengan jumlah

hujan yang terjadi pada satu hari sebelumnya adalah 4,2 mm, 0,3 mm, 36,4 mm,

8,2 mm, 31,2 mm, dan 26,2 mm. Meskipun jumlah hari setelah hujan sama

(satu hari setelah hujan), namun kadar air tanah pada masing-masing penggunaan

lahan akan berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifat fisik tanah

yang berbeda.

Secara umum kadar air tanah berbagai penggunaan lahan untuk lapisan

atas (0-10 cm dan 10-30 cm) lebih rendah daripada kapasitas lapang. Hal tersebut

dapat saja disebabkan karena air tanah di lapisan tersebut telah bergerak

ke lapisan yang lebih dalam (lapisan 30-50 cm) sebagai akibat kadar air di lapisan

atasnya (lapisan 10-30 cm) telah mencapai kapasitas lapang terlebih dahulu.

Hal tersebut terlihat dari kadar air pada lapisan bawah yang lebih tinggi dan

mencapai kapasitas lapang.

Kadar air tanah tertinggi di lahan sawit (Gambar 2a) untuk lapisan

(32)

19

36,93% pada tanggal 27 Mei (CH 36,4 mm). Berbeda dengan lapisan 0-10 cm,

kadar air tanah tertinggi pada lapisan 10-30 cm adalah 50,76% pada tanggal 5 Juni

(CH 8,2 mm), dan terendah adalah 42,83% pada 27 Mei (CH 36,4 mm).

Sedangkan kadar air tanah tertinggi pada lapisan 30-50 cm adalah 54,63%

pada 9 Juni (26,2 mm), dan terendah adalah 47,18% pada 5 Juni (31,2 mm).

Gambar 2. Kadar air sehari setelah hujan berbagai lahan (a. Lahan sawit, b. Lahan jeruk, c. Lahan tegalan)

Berbeda dengan lahan sawit, kadar air tanah tertinggi di lahan jeruk pada

lapisan 0-10 cm adalah 46,75% pada tanggal 24 Mei, dan terendah adalah 35,04%

pada 1 Juni. Untuk kedalaman 10-30 cm, kadar air tanah tertinggi adalah 48,36%

(33)

20

air tanah tertinggi pada lapisan 30-50 cm adalah 53,41% pada 27 Mei,

dan terendah adalah 46,85% pada 1 Juni.

Sementara untuk lahan tegalan (Gambar 2c), kadar air tanah tertinggi pada

lapisan 0-10 cm adalah 53,37% pada 27 Mei, dan terendah adalah 42,61% pada

16 Mei. Pada lapisan 10-30 cm, kadar air tanah tertinggi dan terendahnya adalah

48,95% (5 Juni) dan 40,89% (tanggal 27 Mei). Sementara kadar air tanah tertinggi

untuk lapisan 30-50 cm adalah 52,18% pada tanggal 9 Juni, dan terendah adalah

40,28% pada 1 Juni.

Beberapa kadar air tanah tidak mengikuti pola curah hujan yang terjadi

sehari sebelumnya. Kadar air tanah tertinggi justru terjadi setelah curah hujan

terendah (0,3 mm pada tanggal 24 Mei). Hal tersebut dapat disebabkan karena

telah terjadi hujan dengan jumlah yang cukup besar pada hari-hari sebelum

tanggal 24 Mei (21 dan 22 Mei), yaitu 95,7 mm dan 15 mm. Hujan tersebut dapat

menyumbangkan cukup air bagi tanah meskipun hujan yang terjadi pada tanggal

23 Mei sangat kecil.

Seperti telah disebutkan di depan, kadar air tanah pada ketiga penggunaan

lahan menunjukkan kondisi telah mencapai kapasitas lapang. Untuk lahan sawit,

kadar air tanah sehari setelah hujan di lapisan 0-10 cm berada di bawah kapasitas

lapang, namun untuk lapisan 10-30 cm dan 30-50 cm kadar air tanah berada

di atas kapasitas lapang. Sementara kadar air tanah sehari setelah hujan untuk

lahan jeruk pada seluruh kedalaman tanah secara umum menunjukkan kondisi

di bawah kapasitas lapang, dan lahan tegalan yang memiliki kadar air kapasitas

lapang terendah menunjukkan kadar air tanah yang masih berada di atas kapasitas

lapang. Kadar air tanah di lapisan atas lebih rendah daripada kapasitas lapang

menandakan bahwa air tanah telah bergerak ke lapisan yang lebih dalam.

Permeabilitas lahan sawit pada lapisan 0-10 cm yang tinggi menyebabkan

pergerakan air ke lapisan bawah cepat, sehingga kadar air tanah di lapisan bawah

menjadi lebih tinggi daripada kapasitas lapang. Sementara untuk lahan jeruk,

walaupun ruang pori drainase sangat cepat tertinggi terdapat pada lapisan

0-10 cm, tetapi permeabilitas yang sedang di lapisan 0-10 cm menyebabkan

pergerakan air ke lapisan bawah terhambat atau lambat. Hal tersebut menjadi

(34)

21

tanah. Berbeda dengan lahan sawit dan jeruk, untuk lahan tegalan, kadar air tanah

secara umum berada di atas kapasitas lapang.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum kadar air lapisan atas

pada lahan bervegetasi seperti lahan sawit dan jeruk lebih rendah daripada lahan

tidak bervegetasai (lahan tegalan). Hal tersebut dapat disebabkan karena air pada

lapisan atas digunakan tanaman terlebih dahulu untuk mencukupi kebutuhan

hidupnya dan evapotranspirasi. Lahan tegalan yang tidak bervegetasi cenderung

memiliki kadar air tanah lapisan atas yang lebih tinggi karena air tersebut tidak

dimanfaatkan secara langsung untuk kebutuhan tanaman. Faktor lain yang

menyebabkan kadar air lahan bervegetasi lapisan atas lebih rendah dari lapisan

bawah adalah pada lapisan atas jumlah akar tanaman lebih banyak sehingga air

lebih cepat diserap tanaman. Pori drainase sangat cepat (Tabel 5)

dan permeabilitas (Tabel 7) lahan tegalan menurun dengan semakin dalamnya

lapisan tanah yang dapat mempengaruhi pergerakan air ke bawah. Air lebih

tertahan di lapisan atas, sehingga kadar air tanah pada lapisan atas lebih tinggi

daripada lapisan bawah.

4.3 Dinamika Kadar Air Tanah

Dinamika kadar air tanah ditetapkan dari kadar air selama tiga sampai

delapan hari setelah hujan. Berikut ditampilkan Gambar 3 (tanggal 3-8 Oktober)

yang menunjukkan kadar air tanah pada tiga sampai delapan hari setelah hujan

pada berbagai penggunaan lahan serta kedalaman lapisan tanah. Terjadi variasi

kadar air pada masing-masing kedalaman ataupun penggunaan lahan. Jumlah

hujan yang terukur oleh penakar hujan dua hari sebelum pengamatan

(tanggal 29 September) adalah 8,9 mm, dan satu hari sebelum pengamatan

(tanggal 30 September) adalah 0,3 mm.

Secara umum kadar air tanah pada tiga hari setelah hujan menunjukkan

kondisi berada di bawah kapasitas lapang. Hal tersebut dapat disebabkan karena

hujan yang terjadi sebelumnya relatif kecil sehingga sumbangan untuk air tanah

tidak terlalu besar dan menyebabkan tidak semua pori tanah terisi oleh air.

Meski sempat terjadi fluktuasi, namun secara umum, kadar air tanah dari

(35)

22

kadar air disebabkan karena tanaman terus mengambil air dari tanah untuk

kebutuhan hidupnya sebagai evapotranspirasi. Tingginya kadar air tanah pada

lapisan 30-50 cm disebabkan karena air pada lapisan tersebut masih dapat

disimpan dan belum diuapkan sebagai evapotranspirasi. Tingginya kehilangan air

di lapisan atas dapat juga disebabkan oleh jumlah akar di lapisan atas lebih

banyak daripada lapisan bawah sehingga air yang diserap untuk memenuhi

kebutuhan evapotranspirasi lebih banyak.

Gambar 3. Kadar air tanah berbagai penggunaan lahan dan kedalaman (3-8 Oktober) setelah 3-8 hari tidak hujan (a. Lahan sawit, b. Lahan jeruk,

c. Lahan tegalan)

Kadar air tanah semua penggunaan lahan pada tiga hari setelah hujan

berkisar antara 40-47 %, dan menurun saat hari ke-8, berkisar antara 31-39%.

Pada lapisan 0-10 cm, saat hari kedelapan, kadar air tertinggi terdapat pada

penggunaan lahan sawit, diikuti oleh lahan tegalan, dan kemudian lahan jeruk.

Berdasarkan pada data tersebut (Gambar 3) maka besarnya evapotranspirasi pada

ketiga penggunaan lahan kurang lebih adalah 2 mm/hari. Evaporasi tersebut masih

terbilang kecil jika dibandingkan dengan evaporasi untuk daerah Bogor pada

tahun 1990-1991 yang mencapai 3,7 mm/hari (LPPM IPB, 1991).

(36)

23

Secara umum pada awalnya kadar air tanah lapisan atas lebih besar

daripada lapisan bawah. Kemudian terjadi distribusi air dalam profil tanah

sehingga kadar air pada lapisan bawah lebih besar daripada lapisan atas.

Pada lahan sawit, distribusi air dari lapisan atas ke lapisan bawah terjadi lebih

cepat yaitu hari ketiga setelah hujan, sedangkan lahan jeruk dan tegalan distribusi

terjadi lebih lambat yaitu pada hari kelima setelah hujan (Tabel Lampiran 5).

Pada Gambar 3a (lahan sawit) dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi tiga hari

setelah hujan adalah 44,48% (lapisan 30-50 cm) dan terendah adalah 40,49 %

(lapisan 0-10 cm). Terjadi fluktuasi kadar air tanah dari hari ketiga hingga hari

kedelapan setelah hujan. Kadar air tanah tertinggi saat hari kedelapan setelah

hujan adalah pada lapisan 30-50 cm yaitu 39,27%, kemudian 36,29% pada lapisan

10-30 cm, dan terendah pada lapisan 0-10 cm yaitu 34,62%.

Berbeda dengan lahan sawit, pada lahan jeruk (Gambar 3b) kadar air

tanah tertinggi saat hari ketiga setelah hujan adalah 45,03% pada lapisan 0-10 cm,

dan terendah adalah 42,96% pada lapisan 10-30 cm. Terjadi peningkatan kadar air

pada lapisan 10-30 cm saat hari keempat setelah hujan, namun kondisi tersebut

tidak terlalu signifikan, dan segera menurun pada hari berikutnya hingga hari

kedelapan setelah hujan. Peningkatan kadar air tersebut menunjukkan kondisi

dimana telah terjadi pergerakan air tanah dari lapisan 0-10 cm dan lapisan

30-50 cm sebagai akibat perbedaan potensial. Kadar air tanah tertinggi pada hari

kedelapan setelah hujan adalah 37,66% pada lapisan 30-50 cm, lalu 35,76%

pada lapisan 10-30 cm, dan terendah adalah 31,03% pada lapisan 0-10 cm.

Secara umum, kadar air tanah pada lapisan 30-50 cm lebih tinggi daripada lapisan

atasnya, hal tersebut menunjukkan bahwa kadar air tanah bergerak menuju lapisan

yang lebih dalam dan/atau dapat juga disebabkan karena air di lapisan atas

terlebih dahulu digunakan tanaman untuk proses evapotranspirasi.

Pada lahan tegalan (Gambar 3c), Secara umum kadar air tanahnya

menurun dengan semakin lamanya hari setelah hujan. Kadar air tanah tertinggi

pada tiga hari setelah hujan adalah 47,18% (lapisan 0-10 cm), dan terendah adalah

44,15% (lapisan 30-50 cm). Kadar air tertinggi saat delapan hari tidak hujan

adalah pada lapisan 30-50 cm yaitu 39,09%, kemudian 38,37% pada

(37)

24

Terlihat bahwa kadar air pada lapisan 30-50 cm lebih tinggi daripada di lapisan

lainnya, menunjukkan bahwa air bergerak menuju lapisan yang lebih dalam saat

setelah hujan, namun akan bergerak ke atas sebagai akibat tarikan akar saat tidak

terjadi hujan. Faktor lainnya adalah karena air pada lapisan atas (0-10 cm)

lebih cepat terevapotranspirasi sehingga kadar air tanahnya terendah daripada

lapisan di bawahnya.

Perbedaan kadar air pada berbagai kedalaman di tiap penggunaan lahan

juga dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah yang mempengaruhi retensi dan pergerakan

air dalam tanah seperti tekstur, kadar bahan organik, jumlah dan distribusi ukuran

pori. Dengan demikian walaupun hujan sebelumnya sama dapat mengakibatkan

kadar air tiap kedalaman tanah berbeda.

4.4 Kadar Air Tanah dan Titik Layu Permanen (TLP)

Dalam pertanian penting pula diketahui berapa jumlah kadar air kapasitas

lapang masing-masing lahan, yang nantinya dapat membantu dalam perencanaan

irigasi. Kadar air kapasitas lapang untuk berbagai penggunaan lahan

dan kedalaman disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Kadar air kapasitas lapang berbagai penggunaan lahan dan kedalaman

Penggunaan lahan Kedalaman (cm)

0-10 10-30 30-50

...%v/v...

Sawit 53,54 48,24 44,04

Jeruk 45,81 51,40 50,70

Tegalan 43,19 43,23 43,65

Dari Tabel 8 terlihat bahwa secara umum lahan jeruk memiliki kadar air

kapasitas lapang yang lebih tinggi daripada penggunaan lahan lainnya. Sebaliknya

lahan tegalan adalah lahan dengan kadar air kapasitas lapang yang paling rendah,

dengan nilai yang meningkat dengan semakin dalamnya lapisan tanah. Sementara

untuk lahan sawit, kadar air kapasitas lapang justru menurun dengan semakin

(38)

25

Untuk melengkapi data jumlah ruang pori air tersedia, selain ditampilkan

kadar air kapasitas lapang juga disajikan hasil perhitungan kadar air pada titik

layu permanen untuk masing-masing penggunaan lahan (Tabel 9). Kadar air titik

layu permanen (TLP) untuk masing-masing penggunaan lahan dan kedalaman

lapisan tanah berbeda. Kadar air titik layu permanen tertinggi dimiliki oleh lahan

jeruk, kemudian lahan sawit, dan terendah adalah lahan tegalan.

Kadar air kapasitas lapang dan titik layu permanen dapat membantu

dalam menentukan waktu pemberian air irigasi yang tepat. Soepardi (1983)

menyatakan bahwa, kadar air diantara kapasitas lapang dan titik layu permanen

adalah air tersedia bagi tanaman. Untuk memudahkan penentuan waktu irigasi

disajikan grafik perbandingan antara kadar air tanah suatu hari dengan kadar air

titik layu permanen pada berbagai penggunaan lahan dengan kedalaman lapisan

tanah yang berbeda.

Tabel 9. Kadar air titik layu permanen berbagai penggunaan lahan/kedalaman

Penggunaan lahan Kedalaman

0-10 cm 10-30 cm 30-50 cm

...%v/v...

Sawit 33,92 36,03 37,06

Jeruk 34,51 38,87 40,11

Tegalan 31,40 30,68 34,04

Gambar 4 menunjukkan kondisi 3-8 hari tidak terjadi hujan (3-8 Oktober).

Seperti telah disebutkan di depan, jumlah hujan yang terjadi pada 29 dan

30 September adalah 8,2 mm dan 0,3 mm. Secara umum kadar air tanah setelah

delapan hari tidak terjadi hujan menunjukkan penurunan (Gambar 3 dan 4).

Namun, dalam hal ini lahan sawit memiliki kadar air lebih tinggi daripada kadar

air titik layu permanen dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya (Tabel 9,

Gambar 4), yang menggambarkan bahwa lahan sawit masih mampu

mengkonservasi air meskipun tidak terjadi hujan selama delapan hari. Kondisi

tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh iklim mikro dan tutupan kanopi

(39)

26

udara, radiasi surya, dan angin yang menentukan pembentukan iklim di

permukaan tanah. Sedangkan tutupan kanopi, secara tidak langsung dapat

melindungi tanah dari tingginya evaporasi.

Kadar air TLP lahan sawit pada lapisan 0-10 cm, 10-30 cm, dan 30-50 cm

secara berurutan adalah 33,92%, 36,03%, dan 37,06% (Tabel 9, Gambar 4a).

Lahan sawit memiliki kadar air titik layu permanen di antara lahan jeruk dan

tegalan. Dari Gambar 4a terlihat bahwa pada berbagai kedalaman lapisan tanah,

kadar air lahan sawit belum melewati titik layu permanen meskipun tidak terjadi

Gambar 4. Kadar air tanah dan titik layu permanen berbagai penggunaan lahan dan kedalaman tanah (3-8 Oktober) 3-8 hari tidak hujan (a. Lahan

sawit, b. Lahan jeruk, c. Lahan tegalan)

hujan selama delapan hari. Masih tingginya kadar air tanah pada lahan sawit,

serta kadar air yang belum melewati titik layu permanen mengasumsikan bahwa

lahan sawit masih mampu menyediakan air yang dibutuhkan oleh tanaman,

meskipun tidak terjadi hujan selama delapan hari. Hal ini dapat disebabkan karena

tingginya kandungan bahan organik di lahan sawit yang merupakan sumbangan

dari pelepah-pelepah yang tertumpuk di sekitar lahan. Bahan organik tersebut

dapat membuat tanah lahan sawit memiliki pori lebih banyak dibandingkan

penggunaan lainnya.

a. TLP 0-10cm b.TLP 10-30cm c.TLP 30-50cm a

a. TLP 0-10cm b.TLP 10-30cm c.TLP 30-50cm a

a. TLP 0-10cm b.TLP 10-30cm c.TLP 30-50cm a b c

(40)

27

Berbeda dengan lahan sawit, lahan jeruk memiliki kadar air TLP

masing-masing kedalaman yaitu 34,51% (0-10 cm), 38,51% (10-30 cm), dan 40,11%

(30-50 cm). Pada lahan jeruk kadar air tanah hampir seluruhnya lebih rendah

daripada titik layu permanen dimulai pada hari keenam setelah hujan untuk

lapisan 0-10 cm dan lapisan 10-30 cm, serta hari kedelapan setelah hujan pada

lapisan 30-50 cm, dengan kadar air terendah hari kedelapan setelah hujan adalah

31,03% pada lapisan 0-10 cm (Tabel 9, Gambar 4b). Hal tersebut menunjukkan

bahwa lahan jeruk memerlukan tambahan air sejak/sebelum 5 hari setelah hujan.

Fluktuasi kadar air di berbagai lapisan tanah lebih terlihat, namun secara umum

kadar air menurun dengan semakin lamanya hari setelah hujan. Kadar air lahan

jeruk yang rata-rata berada di bawah titik layu permanen menyebabkan lahan

tersebut membutuhkan irigasi segera menjelang hari kelima setelah hujan.

Sementara TLP untuk lahan tegalan pada masing-masing kedalaman

tanahnya adalah 31,40% (0-10 cm), 30,68% (10-30 cm), dan 34,04% (30-50 cm).

Kadar air lahan tegalan (Gambar 4c) pada hari kedelapan setelah hujan adalah

33,58% pada lapisan 0-10 cm, kemudian 38,37% pada lapisan 10-30 cm,

dan tertinggi adalah pada lapisan 30-50 cm yaitu 39,09%. Kadar air tiap

kedalaman mengalami fluktuasi, namun secara umum lahan tegalan masih dapat

menyediakan air dalam jumlah cukup meskipun tidak terjadi hujan selama

delapan hari. Walaupun demikian, karena kualitas fisik yang rendah, maka perlu

dilakukan pengelolaan berbasis konservasi tanah dan air supaya kualitas fisik

tanah terutama ruang pori air tersedia lahan tegalan meningkat.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa rendahnya ruang pori tanah

di lahan tegalan dapat disebabkan karena rendahnya vegetasi penutup lahan yang

permanen sehingga energi pukulan butir hujan dapat menjadi faktor terjadinya

pemadatan tanah. Hillel (1982) menyatakan bahwa, tanah-tanah dianggap

mengalami pemadatan jika porositas tanahnya menurun dan sangat rapat sehingga

menyulitkan aerasi dan penetrasi oleh akar tanaman. Rendahnya pori air tersedia

pada lahan tegalan dibandingkan lahan yang lain juga dapat disebabkan karena

pada lahan tersebut kandungan bahan organiknya lebih rendah dibandingkan

lahan lainnya. Seperti yang dinyatakan oleh Soepardi (1983) bahwa tanah-tanah

(41)

28

kandungan bahan organik sebanyak 35% jika dibandingkan dengan waktu

sebelum diolah sama sekali. Rendahnya bahan organik tersebut nantinya dapat

menyebabkan rendahnya kadar air tanah.

Kadar air tanah pada lahan sawit menunjukkan kondisi yang cukup baik,

dan berada diatas titik layu permanen hingga hari kedelapan setelah hujan. Hal

tersebut dapat disebabkan karena sifat fisik lahan sawit yang tergolong baik, yaitu

dengan bobot isi yang cukup rendah, porositas tanah yang tinggi, kadar C-organik

yang tinggi, dan distribusi pori yang baik dibanding dua penggunaan lahan

lainnya. Faktor lain yang menyebabkan kadar air tanah di lahan sawit lebih tinggi

dan masih berada di atas TLP hingga hari kedelapan setelah hujan, disebabkan

oleh tutupan kanopi tanaman sawit yang lebih baik dibandingkan dengan

penggunaan lahan lainnya. Hal tersebut dapat membantu lahan sawit mengurangi

laju evaporasi. Sementara untuk lahan jeruk dengan tutupan kanopi yang jarang

atau kurang rimbun menyebabkan lahan tersebut kurang mampu meminimalisir

evaporasi. Lahan tegalan yang secara umum hanya ditutupi oleh rumput masih

memiliki kadar air di atas TLP karena perakaran rumput yang cukup dangkal

tersebut menyebabkan kebutuhan akan air menjadi rendah, sehingga air masih

cukup tersedia meskipun tidak terjadi hujan selama delapan hari.

Pengelolaan yang berbasis konservasi tanah dan air perlu dilakukan untuk

mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas fisik tanah. Arsyad (2010)

menyatakan bahwa, beberapa pengelolaan berbasis konservasi tanah dan air yang

dapat dilakukan diantaranya adalah mempertahankan vegetasi penutup lahan,

menutup tanah dengan sisa-sisa tanaman agar tanah terlindung dari pukulan butir

hujan, dan mengendalikan aliran permukanan.

Selanjutnya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat dinamika

kadar air tanah pada berbagai penggunaan lahan dan kedalaman lapisan tanah

(42)

29

29

V. KESIMPULAN

5.3 Kesimpulan

Kadar air tanah pada berbagai penggunaan lahan memiliki nilai yang

berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, seperti bobot isi,

permeabilitas tanah, dan distribusi pori tanah. Berdasarkan hasil penelitian ini

dapat diambil kesimpulan yaitu :

1. Lahan tegalan memiliki bobot isi tertinggi dan porositas tanah terendah

dibandingkan penggunaan lahan lainnya.

2. Lahan sawit menunjukkan sifat-sifat fisik tanah yang lebih baik. Lahan ini

memiliki nilai bobot isi terendah, dan nilai porositas tertinggi daripada

penggunaan lahan lainnya.

3. Kadar air tanah tertinggi pada satu hari setelah hujan adalah 54,53%

di lahan sawit (24 Mei) pada kedalaman 30-50 cm, 53,41% di lahan jeruk

(27 Mei) pada kedalaman 30-50 cm, dan 53,37% di lahan tegalan (27 Mei)

pada kedalaman 0-10 cm.

4. Lahan sawit memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyimpan air,

ditandai oleh kadar air yang tidak melewati titik layu permanen meskipun

tidak terjadi hujan selama delapan hari.

5.4 Saran

1. Perlu dipertahankannya jumlah vegetasi penutup tanah untuk memperkecil

laju evaporasi.

2. Untuk lahan tegalan perlu dilakukannya pengelolaan yang berbasis

konservasi tanah dan air agar kualitas fisik lahan tetap terjaga.

3. Perlu dilakukannya penelitian dinamika kadar air tanah pada penggunaan

lahan yang berbeda dan dengan kedalaman lapisan tanah dan waktu yang

Gambar

Tabel 1. Jenis, Bahan, alat, serta metode yang digunakan dalam analisis sifat fisik dan kimia tanah
Gambar 1. Kurva pF berbagai penggunaan lahan dan kedalaman tanah
Tabel 5. Distribusi ukuran pori tanah berbagai penggunaan lahan dan kedalaman
Tabel 7. Permeabilitas berbagai penggunaan lahan dan kedalaman lapisan tanah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari data pada tabel 2 tersebut dapat diketahui bahwa lahan pertanian monokultur memiliki kandungan bahan organik terendah yaitu 1.78 %, sedangkan hutan sengon merupakan daerah

Rerata intensitas penyakit tertinggi 38,51% terjadi di lahan sawah Nganjuk berjenis tanah Vertisol yang tidak digilir dengan padi pada musim hujan, dan intensitas penyakit

buah elektroda konfigurasi Wenner untuk menentukan konduktivitas listrik lahan s e m meoghubungkan deogm besamya kadar air tanah yang terkandung pada lahan juga

Oleh karena itu disarankan bahwa budi- daya kedelai di lahan sawah tadah hujan tanah Vertisol dengan kadar lempung tinggi sebaiknya dilakukan pada musim hujan atau di lahan

Rerata intensitas penyakit tertinggi 38,51% terjadi di lahan sawah Nganjuk berjenis tanah Vertisol yang tidak digilir dengan padi pada musim hujan, dan intensitas penyakit

Pada lahan rawa pasang surut, tinggi muka air tanah akan mengalami fluktuasi karena adanya pengaruh pasang surut air laut sehingga komoditas tanaman yang akan dikembangkan

Semua penggunaan lahan nilai pH air sungai berada dibawah nilai baku mutu, dimana nilai tertinggi yaitu pada penggunaan lahan hutan sebesar 5,95 sedangkan yang terendah

Kesimpulan Pemetaan kadar air tanah pada lahan perkebunan kelapa sawit yang memiliki kerapatan vegetasi tinggi serta kondisi tanah yang cukup lembap berbasis NDVI dan NMDI memiliki