DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Asmawie, M. Hanafi. Ganti Rugi dan Rehabilitasi menutur KUHAP. Prima
Karsa Utama. Jakarta. 1990.
Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.
2010.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika. Jakarta. 2010.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan dalam
KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta. 2009.
Kuffal, H.M.A. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. UMM
Press.Malang. 2005.
Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril. Hukum Acara Pidana dalam Teori
dan Praktek. Ghalia Indonesia. Bogor. 2010.
Marpaung, Leden. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum Pidana.
Manajemen PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1997.
Prakoso, Djoko. Masalah Ganti Rugi dalam KUHAP. Bina Aksara. Jakarta.
1998.
Salam, Moch. Fasial. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Mandar
Maju. Bandung. 2001.
Seno, Oemar. Hukum Acara Pidana dalam Propeksi. Erlangga, Jakarta. 1976.
R. Soeparmono. Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
BAB III
Penerapan Permohonan Ganti Kerugian Atas Putusan Bebas (Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG, Putusan PT Semarang No. 49/Pid/2013/PT.SMG& Putusan MA No. 1262K/Pid/2014)
A. Kasus
1. Kasus Posisi50
Pada Tanggal 8 Juli 2011 Sri Mulyati binti Kardjo dengan mudahnya
dijadikan tersangka oleh penyidik Kepolisian padahal dari seluruh saksi yang
diperiksa tidak ada yang meguatkan jika Sri Mulyati binti Kardjo sebagai yang
melakukan tindak pidana, namun jutru seluruh saksi yang diperiksa mengarah
kepada pemilik karaoke yaitu saudara Santoso Wibowo, yang anehnya tidak
pernah diperiksa apalagi dijadikan tersangka;
Sri Mulyati binti Kardjo selaku PEMOHON ganti kerugian dalam
peradilan tingkat pertama adalah karyawan pada karaoke ACC milik Santoso
Wibowo yang beralamat di Komplek Ruko Dargo Blok D nomor 123 Jalan Dargo
Semarang. Pada tanggal 8 Juni 2011 sedang razia tempat hiburan di tempat Sri
Mulyati bekerja, dan pada saat itu Sri Mulyati tidak berada di Karaoke ACC
dikarenakan Sri Mulyati sedang off bekerja. Pak Joni meminta Sri Mulyati untuk
datang. Sesampainya disana, Sri Mulyati langsung ditangkap oleh pihak
Kepolisian karena diduga melakukan tindak pidana “mengeksploitasi ekonomi
anak” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 Undang-undang nomer 23 Tahun
2003 tentang Perlindungan Anak, yaitu diduga telah mengeksploitasi ekonomi
anak dibawah umur bernama Evi Purwanti alias Rara bekerja dikaraoke ACC;
50
Dengan ditetapkannya Sri Mulyati binti Kardjo sebagai tersangka, maka
oleh penyidik dilakukan penahanan, dan sampai dengan proses hukum berjalan,
Sri Mulyati senantiasa diahan dengan perician sebagai berikut:
a. Penahanan ditingkat Kepolisian:
Sejak tanggal 9 Juni 2011 s/d 7 Agustus 2011
b. Penahanan ditingkat Kejaksaan:
Sejak tanggal 4 Agustus 2011 s/d 23 Agustus 2011
c. Penahanan ditingkat Pengadilan Negeri:
Sejak tanggal 18 Agustus 2011 s/d 14 Januari 2012
d. Penahanan ditingkat Pengadilan Tinggi:
Sejak tanggal 9 Januari 2012 s/d 7 April 2012
e. Penahanan ditingkat Mahkamah Agung:
Sejak tanggal 19 April s/d 7 Juni 2012
Pengadilan Negeri Semarang telah memutus perkara Sri Mulyati binti
Kardjo dengan nomor perkara 140/Pid.Sus/2011/PN.smg. Pengadilan Negeri
Semarang menyatakan bahwa Sri Mulyati binti Kardjo telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Mengeksploitasi Ekonomi
Atau Seksual Anak Dengan Maksud Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang
Lain”, serta menjatuhkan pidana pejara selama 8 (delapan) bulan dan denda Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah), dan apabila denda tidak dibayar maka diganti
dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan, dan Pengadilan Negeri Semarang
menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Sri Mulyati binti Kardjo
Sri Mulyati binti Kardjo untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua
ribu lima ratus rupiah).
Atas dasar putusan Pengadilan Negeri Semarang tersebut, Jaksa Penuntut
Umum mengajukan banding. Dalam putusan nomor 64/Pid.Sus/2012/PT.Smg
tersebut, Pengadilan Tinggi Semarang menerima permintaan banding dari Jaksa
Penuntut Umum tersebut serta memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Semarang
yaitu dengan menjatuhkan pidana terhadap Sri Mulyati binti Kardjo dengan
pidana penjara selama 1(satu) Tahun.
Berdasarkan putusan tersebut Terdakwa Sri Mulyati binti Kardjo
mengajukan kasasi, dalam putusannya Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1176/K/Pid.Sus/2012, Mahkamah Agung megabulkan permohonan kasasi
dari terdakwa dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang telah
memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Semarang.
Dengan diputus bebasnya Sri Mulyati binti Kardjo oleh Mahkamah Agung
maka Sri Mulyati binti Kardjo melalui kuasa hukumnya meminta imbalan ganti
rugi dari Negara dengan mengajukan permohonan ganti kerugian kepada
Pengadilan Negeri Semarang dan menyatakan bahwa pihak Kepolisian serta Jaksa
Penuntut Umum telah keliru dalam menerapkan hukum, namun permohonan ganti
kerugian tersebut tidak dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Semarang. Atas tidak
dikabulkannya permohonan ganti kerugian tersebut maka pihak Sri Mulyati binti
Kardjo mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Semarang, dalam putusan
banding tersebut Pengadilan Negeri Semarang mengabulkan permohonan banding
dan juga memerintahkan Negara untuk memberi imbalan ganti rugi kepada
mengembalikan uang denda yang telah dibayar oleh Sri Mulyati binti Kardjo
dalam proses perkara pidannya sebesar Rp. 2.000.000,- dan biaya perkara Rp.
2.500,- ditambah Rp. 2.500,- sama dengan Rp. 5.000,- . Dengan dikabulkannya
permohonan ganti kerugian ditingkat banding tersebut, maka Jaksa Penuntut
Umum mengajukan Kasasi kepada Negara, dalam tingkat kasasi, Mahkamah
Agung tidak mengabulkan kasasi dari pihak Jaksa Penuntut Umum dan
menghukumnya untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar
Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus rupiah).
2. Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG
a. Dasar Permohonan Ganti Kerugian
Dengan diputus bebasnya Sri Mulyati binti Kardjo oleh Mahkamah Agung
maka Sri Mulyati binti Kardjo melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan
ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri Semarang dan menyatakan bahwa pihak
Kepolisian serta Jaksa Penuntut Umum telah keliru dalam menerapkan hukum,
atas dasar:
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
pelaksanaan KUHAP disebut:
“Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan
serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)”.
“ Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian
karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan
lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”
Berdasarkan Pasal 95 ayat 1 KUHAP tersebut, maka Pemohon meminta
imbalan ganti rugi sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dari Negara yang
diwakili oleh Termohon I dan Termohon II.
Pada saat proses peradilan perkara pidana, pihak dari Pemohon terpaksa
membayar denda sebesar Rp, 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan Rp. 2.500,- (dua
ribu lima ratus rupiah) kepada Termohon agar Pemohon dapat keluar dari tahanan,
oleh karena Pemohon telah dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung
maka, uang denda sebesar Rp, 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan Rp. 2.500,- (dua
ribu lima ratus rupiah) yang telah dibayarkan kepada Negara melalui Termohon
haruslah dikembalikan kepada Pemohon.
Sri Mulyati binti Kardjo selaku Pemohon telah kehilangan kebebasaannya
dan penghasilannya sejak ditangkap pada tanggal 8 Juli 2011 sampai dengan 5
Juli 2012, apabila dihitung dengan upah minimum kota Semarang tahun 2011
sebesar Rp. 961.323,- (sembilan ratus enam puluh satu ribu tiga ratus dua puluh
tiga rupiah) per bulannya, dan tahun 2012 sebesar Rp. 991.500,- (sembilan ratus
sembilan puluh satu ribu lima ratus rupiah) per bulannya, sehingga dengan
demikian Pemohon telah kehilangan penghasilannya sebesar:
6 bulan pada tahun 2011: Rp. 961.323,00 X 6 = Rp. 5.767.938,00
7 bulan pada tahun 2012: Rp. 991.500,00 X 7 = Rp. 6.940.500,00
Pasal 1366 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan oleh perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Berdasarkan Pasal 1388 KUHPerdata tersebut kekeliruan Para Termohon
dalam menerapkan hukum yang berakibat Pemohon kehilangan kemerdekaannya
serta kehilangan penghasilannya, karena keliru artinya sama dengan khilaf, dan
khilaf adalah lalai atau kurang hati-hati. Maka Para Termohon secara langsung
harus menanggung/mengganti kehilangan penghasilan Pemohon yakni sebesar
Rp. 12.708.438,00 (dua belas juta tujuh ratus delapan ribu empat ratus tiga pulu
delapan rupiah).
Permohonan ganti kerugian yang dilakukan Pemohon atas dasar Pasal 95
ayat 1 KUHAP Pasal 9 ayat 1 PP No. 27 tahun 1983 berbeda dengan tuntutan
ganti rugi yang berdasarkan kepada Pasal 1366 KUHAPerdata. Dalam ganti rugi
atas dasar Pasal 95 ayat 1 KUHAP jo Pasal 9 ayat 1 PP No. 27 tahun 1983 adalah
karena peraturan perundang-undangan memerintahkan demikian, sedangkan
permohonan ganti kerugian atas dasar Pasal 1366 KUHPerdata adalah kerugian
yang diakibatkan oleh hilangnya penghasilan dan ganti rugi akibat harkat dan
martabat Pemohon telah jatuh secara sosial maupun psikologis. Oleh sebab itu
Pemohon meminta ganti rugi secara immaterial kepada Para Termohon secara
tanggung renteng yang dinilai dengan uang sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh
b. Pertimbangan Hakim
Untuk mendukung dalil-dalil dari sangkalan yang dilakukan, Termohon I
mengajukan bukti-bukti surat, dan dari bukti bukti yang dilampirkan Para
Termohon, Hakim tidak menemukan terjadinya kekeliruan dalam penerapan
hukum yang dilakukan oleh Para Termohon. Oleh karena itu permohonan
Pemohon yang menyebutkan bahwa “akibatkan kekeliruan penerapan hukum
yang dilakukan Para Termohon, maka Pemohon meminta agar Negara memberi
imbalan ganti rugi sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah)” haruslah ditolak;
Berdasarkan bukti yang dilampirkan oleh Termohon II yaitu fotocopy
Tanda Terima Pembayaran Denda/Denda Ganti/Uang Pengganti/Biaya Perkara,
atas nama Sri Mulyati binti Kardjo, dimana Pemohon melalui Kuasa Hukumnya
menyatakan menerima putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor:
64/Pid.Sus/2012/PT.Smg tanggal 19 Maret 2012, oleh karena itu maka petitum no
3 Pemohon yang menyebutkan bahwa “Uang denda sebesar Rp. 2.000.000,- (dua
juta rupiah) dan biaya Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus ribu rupiah) yang telah
dibayarkan Pemohon kepada Termohon II dikembalikan kepada Pemohon”
haruslah ditolak;
Berdasarkan Permohonan Pemohon yang menyebutkan bahwa “Para
Termohon secara tanggung renteng untuk mengganti pengahasilan Pemohon yang
hilang dari tanggal 8 Juni 2011 sampai dengan 5 Juli 2012, dimana Pemohon
kehilangan kemerdekaannya sehingga Pemohon kehilangan penghasilannya”.
Oleh karena Pemohon dipersidangan tidak dapat membuktikan apakah Pemohon
telah kehilangan penghasilan saat proses perkara berlangsung, oleh karena
Pada saat dipersidangan Pemohon juga tidak dapat membuktikan kerugian
immateriil yang ada dalam permohonan Pemohon yang menyebutkan bahwa
“Pemohon meminta pengganti uang immateriil sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah)” maka petitum tersebut haruslah ditolak;
c. Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG
Berdasarkan Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang
dalam permohonan ganti kerugian ini, Hakim menetapkan menolak Permohonan
Pemohon untuk seluruhnya dan membebankan biaya perkara ini pada Negara.
3. Putusan PT Semarang No. 49/Pid/2013/PT.SMG
Permohonan Ganti Kerugian tingkat pertama di Pengadilan Negeri
Semarang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang menolak Permohonan
Pemohon untuk seluruhnya. Atas ditolaknya Permohonan ganti rugi tersebut, Sri
Mulyati binti Kardjo mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Semarang. Sri
Mulyati binti Kardjo selaku Pemohon banding tidak mengubah sedikitpun dasar
Permohonan dalam mengajukan banding.
a.Pertimbangan Hakim
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi telah mempelajari dengan teliti berkas
perkara dan turunan resmi dan putusan Pra Peradilan Pengadilan Negeri Semarang
No. 15/Pid.GR/2012/PN.Smg. Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara Pra
Peradilan tersebut termasuk dalam kriterian yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1)
dan ayat (2) KUHAP, dan permintaan banding dilakukan dalam tenggang waktu,
Mahkamah Agung dalam perkara pidananya menyatakan bahwa Sri
Mulyati binti Kardjo tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana
sebagaimana yang didakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka Mahkamah Agung
membebaskan Terdakwa Sri Mulyati binti Kardjo dari segala hukumannya, serta
memulihkan hak Sri Mulyati binti Kardjo dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabatnya. Berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Semarang berpendapat bahwa tuntutan dari Pembanding haruslah
dikabulkan sebagian danputusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 14 januari
2013 Nomor : 15/Pid.GR/2012.PN.Smg haruslah dibatalkan.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang juga berpendapat bahwa
biaya-biaya yang telah dibayarkan perkara pidananya haruslah dikembalikan
kepada Pembanding, yaitu uang denda sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)
dan biaya perkara pada tingkat pertama sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus
rupiah) serta biaya perkara pada tingkat banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu
lima ratus rupiah).
Proses perkara pidana yang telah dijalani oleh Pembanding atas penahanan
yang dilakukan kepadanya, maka sesuai dengan bunyi pasal 95 ayat (1) KUHAP
jo. Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 kepada
Pembanding haruslah diberikan ganti rugi sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah).
Atas dikabulkannya Permohonan banding yang dilakukan oleh pihak Sri
Mulyati binti Kardjo, maka biaya perkara dalam tingkat peradilan kedua ini
b. Putusan PT Semarang No. 49/Pid/2013/PT.SMG
Pengadilan Tinggi Semarang menerima permintaan banding dari
Pemohon/Pembanding, serta membatalkan putusan Pengadilan Negeri Semarang
tanggal 14 Januari 2013 Nomor: 15/Pid.GR/2012/PN.SMG. yang dimintakan
banding tersebut. Pengadilan Tinggi Semarang juga mengabulkan permohonan
dari Pemohon/Pembanding untuk sebagian, memerintahkan Negara untuk
memberi imbalan ganti rugi kepada Pemohon/Pembanding sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah), memerintahkan Negara mengembalikan uang yang
telah disetorkan Pemohon/Pembanding sebagai uang denda sebesar Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah) dan biaya perkara pada tingkat pertama sebesar Rp.
2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ditambah dengan biaya perkara pada tingkat
banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) sama dengan Rp. 5.000,-
(lima ribu rupiah), dan membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan
kepada Negara, serta menolak permohonan Pemohonan/Pembanding yang lain
dan selebihnya;
4. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No: 1262 K/Pid/2012
a. Alasan Jaksa Penuntut mengajukan Kasasi
Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi setelah dikabulkannya
permohonan banding Pemohon Sri Mulyati binti Kardjo. Jaksa Penuntut Umum
tidak terima atas putusan banding permohonan ganti kerugian tersebut, hal itu
disebabkan bahwa tidak ada dasar hukum untuk melakukan pemeriksaan banding
oleh Hakim Pengadilan Tinggi Semarang, terhadap pra peradilan permohonan
kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga
yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut
alasannya”.
Dan menurut Pasal 83 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”
Jelaslah bahwa tidak ada dasar hukum untuk mengajukan banding
terhadap pra peradilan permohonan ganti kerugian ini, KUHAP secara tegas
menyatakan bahwa hal ini tidak dapat diajukan banding. Peraturan hukum yang
diterapkan tidak sebagaimana mestinya. Maka jelaslah bahwa Hakim Pengadilan
Tinggi Semarang telah melakukan kekeliruan yang nyata karena tidak sesuai
dengan Pasal 83 ayat (1) KUHAP. Berdasarkan alasan diatas, putusan Hakim No:
76/Pid/2010/PT.SMG tanggal 4 April 2012 tersebut tidak dapat dipertahankan dan
harus dibatalkan.
Sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung RI No: 21 Tahun 1983
bahwa salinan putusan dalam acara pemeriksaan biasa, harus disampaikan kepada
jaksa dalam batas waktu paling lama 1 (satu) minggu, dan ternyata salinan
putusan pengadilan dalam perkara ini sampai disusunnya dan diajukan memori
kasasi ini belum mendapatkan putusan yang lengkap dan merugikan Pemohon
Kasasi dalam menyusun memori kasasi, Maka jelaslah bahwa cara mengadili
perkara ini tidak dilaksanakan dengan ketentuan undang-undang.
Pemohon Kasasi juga berpendapat bahwa Pegadilan Tinggi Semarang
kerugian tidak dapat dimintakan banding, namun Hakim Pengadilan Tinggi
memeriksa dan memutus perkara pra peradilan permohonan ganti rugi.
b. Pertimbangan Hakim
Menurut Pasal 45 A ayat (2) a Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang No.3 Tahun 2009, maka terhadap pra peradilan tidak dapat
diajukan kasasi, dengan demikian permohonan kasasi pra peradilan yang diajukan
Pemohon kasasi tidak dapat diterima.
Berdasarkan dasar Permohonan kasasi dari Pemohon maka Permohonan
praperadilan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tidak dapat diterima.
Oleh karena permohonan pra peradilan dinyatakan tidak dapat diterima,
maka biaya perkara dalam tingkat kasasi ini dibebankan kepada Pemohon
Kasasi/Termohon I Praperadilan.
c. Putusan MA No. 1262K/Pid/2014
Mahkamah Agung menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Negara
Republik Indonesia Cq. Kejaksaan Agung Republik Indonesia Cq. Kejaksaan
Tinggi Jawa Tengah Cq. Kejaksaan Negeri Semarang tersebut tidak dapat
diterima dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat Kasasi ini sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus rupiah);
B. Analisa Kasus
pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan
sebaik-baiknya.Sebab dengan putusan Hakim tersebut pihak-pihak yang
bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam
perkara yang mereka hadapi.Grustav Radbruch mengemukakan bahwa ada
tiga nilai dasar yang harus terdapat dalam hukum, yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum.Ketiga hal inilah yang diharapkan terdapat
dalam suatu putusan yang dikeluarkan oleh Hakim.51
51
Sudirman, Antonius, Hati Nirani Hakim dan Putusannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 44
Suatu putusan yang dikelurkan oleh Hakim sejatinya diadakan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan hukum sehingga menghasilkan putusan
yang adil bagi masyarakat.Hal ini dapat terwujud apabila hakim dalam
memutuskan suatu permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat
benar-benar memenuhi rasa keadilan (sense of justice).Namun dalam mewujudkan
putusan Hakim yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat ternyata tidak
mudah.Bahkan dalam beberapa putusan Pengadilan justru bermasalah dan
menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.Hal ini melahirkan putusan
yang sesat dan merugikan masyarakat. Putusan sesat yang dikeluarkan oleh
Hakim disebabkan oleh kesesatan Hakim dalam mengadili dengan memeriksa
perkara atau orang yang diadili untuk mengambil keputusan yang dilakukan
Pengadilan dengan salah jalan, salah prosedurnya, salah menerapkan
aturannya dan menghasilkan putusan yang merugikan terdakwa. Kesesatan
Peradilan sesat berasal dari frasa Rechterlijke Dwaling yang kadang
dalam bahasa Indonesia disebut dengan kesesatan Hakim. Kata “rechterlijke”
dibahasa Indonesiakan dengan kata “Hakim”. Dapat dimengerti sepenuhnya
karena peradilan identik dengan hakim. Hakim sebagai pengendali proses
peradilan. Sehingga jika proses peradilan yang dikendalikan oleh hakim yang
memeriksa perkara dilakukan dengan salah jalan alias sesat dan menghasilkan
putusan yang merugikan orang yang diadili – menghasilkan putusan
sesat, maka dapat pula disebut kesesatan Hakim.52
“Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas Dengan diputus bebasnya perkara pidana Sri Mulyati binti Kardjo oleh
Mahkamah Agung maka Sri Mulyati binti Kardjo melalui kuasa hukumnya
meminta ganti rugi kepada Negara dengan mengajukan permohonan ganti
kerugian kepada Pengadilan Negeri Semarang dan menyatakan bahwa pihak
Kepolisian serta Jaksa Penuntut Umum telah keliru dalam menerapkan hukum
sehingga Sri Mulyati binti Kardjo mengalami kerugian baik secara materil
maupun inmateril. Kerugian yang didapatkan ini dapat diajukan permohonan
ganti kerugian.
Ganti kerugian khususnya dalam kasus pidana di Indonesia
mempunyai peraturan perundang-undangannya. Hal ini tertuang dalam Pasal
1 butir 22 dan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Pasal 1 butir 22 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menyatakan bahwa;
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur didalam Undang-Undang ini”
Sedangkan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa;
“Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan.”
Persoalan ganti kerugian dalam kasus pidana diperjelaskan kembali
dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
pelaksanaan KUHAP yaitu dalam Pasal 9 ayat 1 yang menyatakan bahwa
Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya
berjumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah). Peraturan ini kemudian kembali diperbaharui
dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 dimana salah satu
poin penting perubahan itu adalah kenaikan nilai ganti kerugian yang dapat
diajukan dalam hal terjadi pelanggaran atas prosedur KUHAP yang
sebelumnya paling rendah lima ribu rupiah dan paling tinggi satu juta rupiah
menjadi Rp500.000 hingga Rp100.000.000,- dan Rp25.000.000,- hingga
Rp300.000.000,- jika tindakan aparat penegak hukum dimaksud
Rp600.000.000,- jika perbuatan menangkap, menahan, menuntut, dan
mengadili berakibat pada matinya seseorang. Dalam kasus yang menimpa Sri
Mulyati binti Kardjo Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dijalankan
dikarenakan peristiwa ini terjadi pada tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah
ini baru ada pada tahun 2015.
Penetapan Nomor 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG yang diadili oleh Pengadilan
Negeri Semarang mengikuti acara Praperadilan, Penetapan ini mengenai ganti
kerugian terhadap diri Pemohon Sri Mulyati binti Kardjo yang mana Pemohon
adalah terdakwa atas kasus tindak pidana “Mengekploitasi Ekonomi Atau Seksual
Anak Dengan Maksud Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang Lain” yang
diputus bebas oleh MA dalam perkara Nomor 1176/K/Pid.Sus/2012 tanggal 24
Juli 2012 atas tindakan dari pada Termohon I (Kepolisian Resor Besar Kota
Semarang) dan Termohon II (Kejaksaan Negeri Semarang) yang menetapkan
Pemohon sebagai Tersangka dan Terdakwa.
Terdapat 5 (lima) alasan untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian:
1. Tindakan penangkapan yang tidak sah
Tindakan penangkapan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP Bab I pasal I
butir 20 dan Bab V bagian kesatu pasal 16 s/d 19.
2. Tindakan penahanan yang tidak sah
Tindakan penahanan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dan
atau bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP Bab I
perundang-undangan lain, termasuk penahanan yang lebih lama dari pada pidana
(hukuman) yang dijatuhkan oleh Pengadilan (penjelasan pasal 95 ayat (1)
KUHAP)
3. Tindakan lain tanpa alasan berdasarkan Undang-undang
Dalam pasal 95 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan tindakan lain
yaitu pemasukan rumah yang tidak sah menurut hukum, penggeledahan
yang tidak sah, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.
4. Penghentian penyidikan atau penuntutan yang sah
Dalam pasal 81 KUHAP menyatakan bahwa tersangka atau pihak ketiga
yang berkepentingan berhak mengajukan permintaan ganti kerugian dan
atau rehabilitasi sebagai akibat sahnya penghentian penyidikan dan sahnya
penghentian penuntutan.
5. Dituntut dan diadili tanpa alasan Undang-undang
Tanpa alasan berdasarkan Undang-undang pada prinsipnya mempunyai
makna yang sama dengan penerapan hukum yang tidak tepat atau
kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan.
Korban dalam hal ini Sri Mulyati binti Kardjojelas telah mengalami poin
1, 2, dan 5. Hal-hal tersebut memang merupakan kejadian yang paling sering
menimbulkan tuntutan ganti rugi yang diakibatkan karena aparat Penegak Hukum.
Hal ini menyangkut orang yang pernah ditangkap/ditahan, selain itu terdakwa
yang diadili tetapi kemudian dibebaskan karena kekeliruan penerapan hukumnya
Penetapan Nomor 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG mengenai pengajuan ganti
si Pemohon. Dimana kerugian tersebut sesungguhnya dapat dilihat dari putusan
MA Nomor 1176/K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan bahwa pemohon tidak
terbukti melakukan tindak pidana yang disangkakan dan didakwakan oleh
Termohon I (Kepolisian Resor Besar Kota Semarang) dan Termohon II
(Kejaksaan Negeri Semarang) yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan
Terdakwa.
Putusan bebas yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung atas Sri Mulyati
binti Kardjotersebut telah menguatkan posisi dirinya sebagai korban salah tangkap
yang diambil secara paksa kebebasannya, dengan adanya penahanan selama
berbulan-bulan atas diri mereka, sehingga berbekal putusan bebas tersebut
Pemohon mengajukan permohonan praperadilan ganti kerugian kepada negara
yang dalam hal ini diwakili oleh Kepolisian dan Kejaksaan RI
Kesalahan pada semua tingkat pemeriksaan dalam suatu sistem pidana
bagaimanapun juga dapat terjadi dan korban kesalahan tersebut harus mendapat
ganti rugi. Hal ini sesuai dengan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa;
“Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”
Mekanisme permohonan ganti kerugian dilakukan dengan mengikuti acara
Praperadilan. Hal ini sesuai dengan pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimana salah satu yang merupakan ranah
sudah tepat.
Timbul permasalahan yaitu bahwa dalam Penetapan Nomor
15/Pid.Gr/2012/PN.SMG yang menolak untuk seluruhnya permohonan Pemohon
(Sri Mulyati binti Kardjo).Hal telah mencederai keadilan terhadap pemohon
karena tidak dapat dibantahkan bahwa pemohon adalah korban dari pada
kesalahan prosedural sistem peradilan oleh (Kepolisian Resor Besar Kota
Semarang) dan Termohon II (Kejaksaan Negeri Semarang)hal ini berdasarkan
Putusan MA Nomor 1176/K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan bahwa Pemohon
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana yang didakwakan Jaksa/Penuntut Umum.
Pertimbangannya Hakim dalam Penetapan PN No.
15/Pid.Gr/2012/PN.SMG ini mengatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti yang
telah diajukan oleh Para Termohon, Pemohonlah yang diduga keras melakukan
tindak pidana tersebut, oleh karena itu Hakim berpendapat bahwa tidak terdapat
kekeliruan penerapan hukum, padahal dengan jelas diketahui bahwa Putusan MA
Nomor 1176/K/Pid.Sus/2012 menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan Jaksa/Penuntut Umum.
Dalil-dalil/alasan-alasan pengajuan ganti kerugian yang diberikan oleh
Pemohon antara lain karena :
1. Pemohon meminta imbalan ganti kerugian sebesar Rp. 1.000.000,- (satu
oleh Termohon I dan Termohon II, sebagaimana yang diamanatkan dalam
pasal 95 ayat (1) KUHAP jo Pasal 9 ayat (1) PP 27/1983;
2. Pemohon meminta pengembalian uang denda yang telah dibayar oleh
Pemohon dalam proses perkara pidana yang dialami oleh Pemohon
sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan biaya Rp. 2.500,- (dua ribu
lima ratus rupiah);
3. Pemohon meminta Para Termohon secara tanggung renteng untuk
mengganti penghasilan Pemohon yang hilang akibat adanya kekeliruan
dalam menerapkan hukum sebesar Rp. 12.708.438,- (dua belas juta tujuh
ratus delapan ribu empat ratus tiga puluh delapan rupiah);
4. Meminta Para Termohon untuk membayar uang pengganti immaterril
sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk memulihkan atau
mengganti harkat dan martabat Pemohon yang telah jatuh secara sosialn
maupun psikologis.
Pemohon meminta Para Termohon secara tanggung renteng untuk dapat
mengganti penghasilan Pemohon yang hilang selama Pemohon menjalani proses
perkara pidananya, namun didalam Persidangan Pemohon tidak membuktikan
apakah Pemohon telah kehilangan penghasilannya. Namun walaupun Pemohon
tidak memberikan bukti pada dasar permohonan ini, seharusnya Majelis Hakim
telah mengetahui hal tersebut, karna dengan jelas Pemohon memaparkan jangka
waktu proses perkara pidana yang telah dialaminya yang mengakibatkan
Pemohon juga meminta uang pengganti immateril kepada Para Termohon
untuk memulihkan harkat dan martabat Pemohon, dan pada putusannya Majelis
Hakim menolak petitum tersebut dikarenakan Pemohon tidak dapat membuktikan
kerugian immateril tersebut di persidangan. Pada dasarnya ruang lingkup ganti
kerugian dalam hukum perdata lebih luas dari pada ganti kerugian dalam hukum
pidana, dalam perdata ganti kerugian mengacu kepaa Pasal 1365 KUHAPerdata
yaitu “mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum
kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi”. Ganti kerugian dalam hukum
perdata dapat dimintakan setinggi-tingginya, dikarenakan tidak ada dasar hukum
yang mengatur jumlah minimum dan maksimum ganti kerugian tersebut dan
mencakup kerugian secara materiil maupun immateriil.
Kerugian materiil yaitu kerugian yang bisa dihitung atau dijumlahkan
dengan uang, sedangkan kerugian immateriil yaitu kerugian moril yang tidak bisa
dinilai dengan uang misalnya rasa ketakutan yang dideritanya atau kehilangan
kesenangan hidup serta rasa sakit yang dideritanya. Sedangkan ganti kerugian
dalam hukum pidana hanya diatur terhadap ongkos atau biaya yang telah korban
keluarkan pada proses perkara tersebut, tidak ada dasar untuk memberikan ganti
rugi secara immateriil dalam proses perkara pidana, artinya uang pengganti
immateriil tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana.
Namun jika Pemohon menuntut uang denda yang telah ia bayarkan dalam
proses perkara pidananya, sedangkan dalam putusannya Majelis Hakim
menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
karena sudah jelas diketahui bahwa Pemohon tidak bersalah, hal itu berdasarkan
Putusan MA Nomor 1176/Pid.Sus/2012.
Setelah Praperadilan Pemohon ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Semarang yang tentunya mencederai keadilan dan tidak sesuai dengan
pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Pemohon
mengajukan banding atas Praperadilan tersebut kepada Pengadilan Tinggi
Semarang, dengan Nomor Perkara 49/PID/2013/PT.SMG. Hal tersebut sangat
mencederai hukum di Indonesia, sebab tidak ada dasar hukum untuk melakukan
pemeriksaan banding oleh Hakim Pengadilan Tinggi Semarang, terhadap Pra
peradilan permohonan ganti kerugian ini.
Sementara didalam Putusannya tersebut Hakim Pengadilan Tinggi
Semarang mengabulkan permohonan Pemohon/Pembanding untuk sebagian, yaitu
memerintah Negara untuk memberi imbalan ganti rugi kepada
Pemohon/Pembanding sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), serta
memerintah negara untuk mengembalikan uang denda yang telah disetorkan
kepada pemohon dalam proses perkara pidananya sebesar Rp. 2.000.000,- (dua
juta rupiah) dan biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). Sehingga
jelas dalam Pasal 95 KUHAP yang megatur tentang ganti kerugian, dijelaskan
bahwa pemeriksaan terhadap ganti rugi dilakukan dengan mengikuti acara Pra
peradilan. Sampai saat ini, tidak ada hukum yang mengatur bahwa dalam acara
Pra peradilan dapat dimintakan banding. Penggunaan instrumen Pra peradilan
guna menuntut ganti kerugian bagi korban salah tangkap belum begitu populer.
sebelum adanya peradilan (pokok perkara) memang terkesan agak kurang relevan
konteks gugatan ganti kerugian ini digunakan setelah ada putusan yang inkracht
atas pokok perkara. Dalam hal ini Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang
telah melampaui batas wewenang mengadilinya dikarenakan Majelis Hakim telah
melakukan kekeliruan yang nyata yaitu tidak menerapkan hukum secara
semestinya. Seharusnya permohonan ganti kerugian tidak dapat dimintakan
banding, namun Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memeriksa dan
bahkan memutus perkara pra peradilan permohonan ganti kerugian tersebut.
Saat perkara ini berlangsung jumlah/nominal ganti kerugian dalam hukum
pidana diatur didalam Pasal 9 PP Nomor 27 Tahun 1983, disebutkan bahwa:
(1) Ganti Kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan
serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2) Apabila penangkapan, penahanan, dan tindakan lain sebagaimana
dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit
atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati,
besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,-
(tiga juta rupiah).
Dalam perkara ini Majelis Hakim memerintahkan Negara untuk memberi
imbalan ganti rugi kepada Pemohon sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah),
dengan pertimbangan bahwa Pemohon/Pembanding telah dirugikan dengan
berdasarkan Pasal 95 ayat (1) KUHAP Jo. Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun
1983.
Hal ini jelas merupakan ketimpangan Hukum yang dilakukan oleh Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Semarang, sudah jelas kita ketahui bahwa jumlah ganti
kerugian pada Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1983 ialah
serendah-rendahnya sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya sebesar
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), sementara Majelis Hakim memberi imbalan
ganti kerugian sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Maka jelas bahwa
Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan dengan mengadili tidak berdasarkan
Undang-Undang, dan dalam hal ini dapat dilihat bahwa Majelis Hakim telah
memasukkan pendapat non yuridis dalam putusan yang dijatuhkannya. Sebab,
dalam kasus yang menimpa Sri Mulyati binti Kardjo Peraturan Pemerintah yang
baru yaitu PP No. 92 Tahun 2015 ini tidak dapat dijalankan karena peristiwa ini
terjadi pada Tahun 2012.
Namun sampai pada saat ini, uang ganti rugi sebesar Rp. 5.000.000,- yang
dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang belum diperoleh
oleh Sri Mulyati binti Kardjo. Kuasa Hukum Sri Mulyati sudah mengajukan
permohonan ke Ketua Pengadilan Negeri Semarang agar bersurat ke Kementrian
Hukum dan HAM untuk memberikan dana ganti rugi tersebut. Tapi, sampai saat
ini Ketua Pengadilan Negeri Semarang belum merespon surat yang telah diajukan
pihak Sri Mulyati dengan alasan sedang dipelajari. Mekanisme pencairan ganti
kerugian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Keputusan Menteri Keuangan
proses yang sangat panjang dan berbelit-belit. Dapat dibayangkan kembali betapa
sulit dan terjalnya jalur yang harus dilewati kembali oleh pihak Pemohon ganti
kerugian apabila mengikuti birokrasi yang ada.
Tidak puas dengan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut, Jaksa
Penuntut Umum mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia dengan Nomor Perkara 1262 K/Pid/2014. Dalam Kasasinya Jaksa
Penuntut Umum menilai bahwa Pengadilan Tinggi Semarang telah melampaui
batas kewenangan mengadilinya, dan telah keliru dalam mengadili perkara
tersebut. Mahkamah Agung dalam putusannya menolak permohonan kasasi yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, dengan pertimbangan bahwa perkara pra
peradilan tidak dapat diajukan kasasi. Namun anehnya Mahkamah Agung tidak
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang sudah jelas-jelas telah
keliru dalam mengadili perkara banding permohonan ganti kerugian ini. Seharus
Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut karena sudah jelas Mahkamah
Agung mengetahui bahwa pra peradilan permohonan ganti kerugian ini tidak
dapat diajukan banding apalagi untuk mengajukannya secara kasasi, kerena
memang tidak ada peraturan atau dasar hukum yang mengatur hal tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka telah terjadi pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh penegak hukum yang dimana seharusnya mereka lah yang menjadi
tonggak dalam penegakan hukum. Ada sebuat motto dari B.M.Taverne yang
maka aku akan berantas kejahatan walau tanpa undang-undang secarikpu.53 Motto
ini untuk mengingatkan setiap hakim yang akan memimpin sidang atau
menangani perkara supaya dirinya tidak dikalahkan oleh hukum yang di dalamnya
terdapat kekurangan, pada pasal-pasal yang kabur, atau norma-norma yang
berkategori lemah dan mengundang banyak penafsiran (interpretasi).54
53
Krisna Harahap, Paradigma Baru Konsep Hakim Transformatif :Perspektif Agenda Reformasi Peradilan. Buletin Komisi Yudisial, Jakarta, 2010, hlm.18
54Abdul Wahid dan Moh.Muhibbi, Etika Profesi Hukum, Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2009, hlm. 253
Tetapi
dapat mengikuti hati nurani dan keadilan.
Hakim merupakan kunci pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal
justice system).Atas hal tersebut hakim merupakan bagian terpenting dalam
penegakan hukum dan mencerminkan wajah peradilan secara keseluruhan,
walaupun ada rekayasa di Kepolisian, Kejaksaan ataupun tempat lain hakim dapat
memahami dan mengetahui itu semuanya sehingga kemudian dapat mengeluarkan
produk berupa putusan yang bermartabat dan kemudian dapat merebut kembali
kepercayaan publik terhadap dunia peradilan sehingga peristiwa yang menimpa
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pasal 1 ayat 22 KUHAP menjelaskan bahwa ganti kerugian adalah hak
seseorang untuk mendapat pemenuhan berupa materi karena ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan. Bagi masyarakat yang terlanjur diambil kebebasannya melalui
proses penahanan, tentu saja “surga” yang dinantikan mereka ialah
putusan bebas dari palu Hakim. Namun, seringkali putusan bebas yang
dinantikan tersebut tidak serta merta dapat memulihkan kembali kondisi
para korban salah tangkap ini seperti sedia kala. Dalam praktiknya para
korban salah tangkap ini telah mengalami kerugian yang luar biasa seperti
kehilangan pendapatan maupun pekerjaan, serta siksaan dan tekanan batin
saat didalam penjara, untuk mengembalikan kerugian yang telah diderita
sebagaimana posisi semula itulah yang menjadi persoalan besar selama
ini.Namun dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang
mengatur tentang ganti kerugian dalam hukum pidana cukup membantu
bagi pencari keadilan di Indonesia ini. Namun, aturan tersebut belum
berjalan efektif. Pasalnya masih dibutuhkan penyesuaian dengan peraturan
lainnya yang menjadi pelaksana Peraturan Pemerintah tersebut. Salah satu
contoh ialah Keputusan Menteri Keuangan No. 983/KMK.01/1983 tentang
tersebut menjadi mimpi buruk bagi pencari keadilan. Hal itu disebabkan
mekanismenya cukup berbelit. Bahkan memiliki jangka waktu yang tidak
pasti.
2. Permohonan ganti kerugian mengikuti acara pra peradilan, sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 92 Tahun 2015 jo Pasal 7 ayat (1) PP
Nomor 27 Tahun 1983 yaitu tuntutan ganti kerugian hanya dapat diajukan
dalam tenggang waktu tiga bulan sejak putusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Acara pra peradilan dalam permohonan ganti
kerugian tidak dapat dimintakan banding apalagi untuk dimintakan kasasi
hal itu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 83 ayat (1) KUHAP. Dalam
perkara ini, setelah ditolaknya Permohonan Pra peradilan ganti kerugian
yaitu Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.SMGPemohon
mengajukan banding, Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutus
Permohonan Banding tersebut serta mengabulkan untuk sebagian
permohonan banding dari Pemohon/Pembanding dengan nomor perkara
49/PID/2013/PT.SMG, hal ini sangat mencederai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, karna sudah jelas bahwa Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Semarang telah melampaui batas kewenangannya.
Setelah banding pihak lawan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung
dengan nomor perkara 1262/K/PID/2014. Hakim Mahkamah Agung
menolak permohonan Kasasi tersebut dikarenakan sesuai dengan peraturan
ataupun Kasasi, namun anehnya Mahkamah Agung tidak membatalkan
Putusan Banding ganti kerugian tersebut.
B. Saran
1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang pemenuhan hak-hak
mereka terutama hak mereka untuk menuntut ganti kerugian dan juga
pengenalan tentang Peraturan Pemerintah yang baru saja keluar yaitu PP
Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP yang
berisikan ketentuan-ketentuan mengenai ganti kerugian dalam pidana.
2. Selain itu, diperlukan proses yang tidak lama, sederhana, dan biaya ringan
dalam menuntut ganti kerugian agar mantan tersangka tersebut dapat
menuntut pemenuhan haknya atas kerugian yang telah dialaminya akibat
tindakan aparat penegak hukum yang tidak sah. Hal ini dimaksudkan agar
masyarakat awam dapat menggunakan hak mereka dengan sebaik-baiknya.
3. Perlu adanya pengaturan yang sistematis, rinci, dan jelas dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana khususnya pengaturan mengenai
praperadilan, sehingga terdapat dasar hukum yang kuat dalam pelaksanaan
ketentuan perundang-undangan agar tidak terjadi celah penyalahgunaan
BAB II
PENGATURAN GANTI KERUGIAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
A. Dasar Hukum dan Macam-Macam Ganti Kerugian
1.Dasar Hukum Ganti Kerugian
Dasar hukum dari pemberian ganti kerugian adalah sebagaimana diatur
didalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengatakan bahwa;
“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.”
Dasar hukum yang diatur dalam Undang-Undang No 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut kemudian dijabarkan melalui pasal-pasal
KUHAP yaitu Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP. Sebagaimana ketentuan umumnya
yang ada dalam Pasal 1 butir 22 KUHAP yang berbunyi:
“Ganti Kerugian adalah hak seorang untuk mendapatkan pemenuhan atas
tuntutannya yang berupa imbalan uang karena ditangkap, ditahan, dituntut,
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.”
Pengaturan tentang ganti kerugian dalalam Pasal 95 KUHAP dari apa yang
diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
“Tersangka, Terdakwa atau Terpidana berhak menuntut kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tidakan lain, tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan”
Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat
(1) KUHAP ini ialah tindakan-tindakan paksakan hukum lainnya seperti
pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, bukti surat-surat yang
dilakukan secara melawan hukum dan menimbullkan kerugian materil. Hal ini
dikarenakan adanya pandangan bahwa hak-hak terhadap benda dan hak-hak
privacy tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan – tindakan yang melawan
hukum.21
a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan.
Didalam Pasal 95 ayat (2) KUHAP berbunyi:
“Tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan
atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasrkan undang-undang
atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana yang
dimaksud didalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri
diputus sidang praperadilan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 77”
Pasal 77 KUHAP berbunyi:
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur didalam undang-undang ini tentang:
b) Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Seperti yang disebutkan bahwa di dalam Pasal 95 ayat (2) dan
dihubungkan dengan Pasal 77, maka tuntutan ganti kerugian tidak hanya dapat
diajukan terhadap perkara yang telah diajukan kemuka Pengadilan, tetapi juga
apabila perkara tersebut tidak diajukan ke Pengadilan, dalam arti dihentikan baik
dalam tingkat penyidikan maupun tingkat penuntutan.22
Pasal 101 KUHAP terasebut dapat diambil kesimpulan bahwa bagi gugat
menggugat biasa dapat berlaku ketentuan yang ada didalam HIR.
Sedangkan Pasal 101
KUHAP menyebutkan hahwa;
“Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian
sepanjang dalam Undang-Undang ini tidak diatur lain”
23
a. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Didalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diterima.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur perubahan tentang ganti
kerugian dalam pelaksanaan KUHAP, diantaranya;
1. Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut;
b. Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dildalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka dalam jangka waktu 3 (tiga) bulandihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.
2 Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut;
a. Besaranya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana yang dimaksud didalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan yang paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
b. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit
22
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
c. Besarnya ganti kerugian berdarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
3. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
a. Petikan putusan atau penetapan mengenai ganti kerugian sebagaimana dimaksud didalam Pasal 8 diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan.
b. Petikan putusan atau penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
4. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
a. Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan berdasarkan petikan putusan atau penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
b. Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
5. Diantara Pasal 39A dan Pasal 40 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 39B dan Pasal 39C, sehingga berbunyi sebagai berikut;
a. Pasal 39B
Pada saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku:
1. Pemohon yang telah mengajukan ganti kerugian namun belum mendapatkan petikan putusan atau penetapan pengadilan mengenai besaran ganti kerugian yang diterima, putusan atau penetapan pengadilan mengenai besaran ganti kerugian mengacu pada Peraturan Pemerintah ini; dan
2. Pemohon ganti kerugian yang telah mendapatkan petikan putusan atau penetapan pengadilan namun belum menerima ganti kerugian dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan, besaran gantu keruguian dibayarkan sesuai dengan petikanputusan atau penetapan pengadilan.
b. Pasal 39C
2.Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Sebelum KUHAP diundangkan, ketentuan ganti kerugian dan rehabilitasi
sudah dituangkan sebagai ketentuan hukum pada Pasal 9 Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970. Sejak diundangkannya Udang-Undang
Kekuasaan Kehakiman tersebut, sering pencari keadilan mencoba menuntut ganti
rugi ke pengadilan. Namun tuntutan demikian selalu kandas di pengadilan karena
adanya argumentasi bahwa Pasal 9 Undang-undang No. 14/1970 belum mengatur
tata cara pelaksanaannya.24
Yahya Harahap, di dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP” memberikan suatu contoh ilustrasi tentang
peristiwa yang menimpa diri keluarga temannya yang merupakan seorang jaksa
dikota Medan. Beliau memiliki seorang anak yang masih duduk dibangku kuliah.
Pada suatu malam si anak (kita sebut saja namanya Achmad) sedang asyik
menonton keramaian di Medan Fair 1976, kemudian tiba-tiba polisi datang dan
menangkap achmad dengan tuduhan pembunuhan, penangkapan dilakukan atas
dasar keyakinan bahwa foto buronan yang ditangan polisi tersebut sangat mirip
dengan wajah achmad, padahal namanya jelas berbeda dan tempat tinggalnya juga
berbeda. Achmad dan ayahnya sudah menjelaskan perbedaan tersebut kepada
pihak kepolisian, namum polisi tidak mau ambil peduli dan tetap menahan
achmad. Sialnya untuk mendapat pengakuan achmad, kakinya dihantam dengan
kayu boroti, sehingga patah dan cacat seumur hidup. Penahanan sudah hampir
berlangsung dua tahun dan Achmad sudah cacat seumur hidup, barulah polisi
24
berhasil menangkap pelaku tindak pidana yang sebenarnya. Berarti kepolisian
telah melakukan kekeliruan mengenai orangnya, dan jelas bertentangan dengan
hukum.25
Atas kejadian ini orang tua Achmad mengajukan gugatan ganti rugi secara
perdata ke Pengadilan Negeri yang ditujukan terhadap Negara c.q. Kepolisian
Negara sebagai Tergugat I, dan oknum polisi pelaku sebagai tergugat selebihnya.
Namun Pengadilan tidak dapat menerima gugatan ganti rugi mengenai Tergugat I
Kepolisian Negara, tapi hanya mengabulkan gugatan kepada oknum kopral yang
melakukan penangkapan dan pemukulan atas Achmad. Hal ini disebabkan karena
pada saat itu belum adanya pengaturan tentang tata cara pelaksanaan ganti
kerugian.26
Alasan yang dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi:27
1. Ganti kerugian yang disebabkan penangkapan atau penahanan:
2. Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum
3. Penangkapan atau penahanan dilakukan karena tidak berdarkan
undang-undang
4. Penahanan atau penangkapan yang dilakukan untuk tujuan
kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut
hukum.
5. Penahanan atau penangkapan yang dilakukan tidak mengenai
orangnya/ salah tangkap. Artinya adalah orang yang
ditangkap/ditahan terdapat kekeliruan, dan yang bersangkutan
25Ibid., hlm. 44-45
sudah menjelaskan bahwa orang yang hendak ditangkap/ditahan,
bukan dia. Namun walaupun demikian tetap juga dia ditahan, dan
kemudian benar-benar terjadi kekeliruan penangkapan/penahanan
itu.
6. Ganti rugi akibat penggeledahan/penyitaan
7. Tindakan memasuki rumah secara tidak sah menurut hukum yaitu
tanpa adanya perintah dan surat izin dari ketua pengadilan
3. Macam-Macam Ganti Kerugian
Istilah ganti kerugian tidak ditemui pada hukum pidana materil. Hal ini
muncul pada hukum pidana formil yakni pada Pasal 95 sampai Pasal 101
KUHAP, didalam Hukum Pidana terdapat berbagai macam ganti kerugian yaitu:
1. Ganti Kerugian Karena Seseorang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun
diadili Tanpa Alasan yang Berdasarkan Undang-Undang atau Kekeliruan
Mengenai Orangnya atau Salah dalam Menerapkan Hukum.28
Salah satu landasan pokok dari KUHAP ialah jaminan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia, dengan memperhatikan asas-asas penting seperti asas
praduga tak bersalah. Hak asasi seseorang harus dihormati dan dijunjung tinggi
sesuai harkat dan martabatnya, sehingga dengan demikian penggunaan upaya
paksa harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditetapkan. Misalnya
untuk dapat menangkap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana,
maka diisyaratkan harus ada bukti permulaan yang cukup.29
Hal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan
sewenang-wenangnya oleh aparat penegak hukum. Dalam hal penahanan,
penegak hukum juga harus mempunyai dasar menurut hukum dan dasar menurut
keperluan untuk menahan seseorang. Dasar menurut hukum disini maksudnya
adalah harus terdapatnya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup, bahwa
seseorang telah melakukan tindak pidana. Dasar menurut keperluan untuk
menahan seseorang ialah adanya kekhawatiran bahwa Tersangka/Terdakwa akan
melarikan diri, atau merusak/menghilangkan bukti-bukti, atau akan mengulangi
tindak pidana tersebut.30
Pasal 95 KUHAP dikatakan, bahwa alasan bagi Tersangka/Terdakwa atau
terpidana untuk menuntut ganti kerugian, selain dari pada adanya penangkapan,
penahanan, penuntutan atau diadilinya orang tersebut, juga apabila dikenakan
tindakan-tindakan lain yang secara tanpa alasan yang berdasarkan
Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
“Tindakan-tindakan lain” maksudnya adalah tindakan-tindakan upaya paksa
lainnya, seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan-penyitaan yang
secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian materiil. Dalam pasal inilah
kita melihat adanya alasan bagi suatu permintaan ganti kerugian oleh pihak-pihak
yang merasa dirugikan.31
29Djoko prakoso., Op Cit. hlm. 98
2. Ganti Kerugian kepada Pihak Ketiga atau Korban (Victim of Crime atau
Beledigde Partij).
Bentuk ganti kerugian ini sejajar dengan ketentuan dalam Bab XIII
KUHAP mengenai penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal 98
sampai Pasal 101 KUHAP) yang tidak dimasukkan ke dalam pengertian ganti
kerugian.Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pihak ketiga dalam
perkara pidana maupun perdata juga dikenal di Prancis, yang ternyata pihak ketiga
itu luas artiannya karena meliputi selain gugatan dari korban delik, juga bisa
muncul gugatan dari asuransi kesehatan, pihak pemerintah dalam hal pelanggaran
izin usaha, perpajakan, dan lain-lain.32
Dapatkah diterapkan di Indonesia ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal
101 KUHAP tersebut? Apakah juga ada kemungkinan pihak ketiga yang lain
selain korban delik yang langsung itu juga dapat mengajukan gugatan ganti
kerugian? Menurut Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, hal tersebut dapat dilakukan,
dengan alasan sebagai berikut.33
1. Pasal 98 KUHAP mengatakan “...menimbulkan kerugian bagi orang
lain...” dijelaskan didalam penjelasan pasal tersebut bahwa yang
dimaksud dengan kerugian bagi orang lain (termasuk kerugian pihak
korban). Jadi, korban delik bukan satu-satunya “orang lain” itu. Tidak
limitatif pada korban delik saja.
2. Pasal 101 KUHAP, ketentuan hukum acara perdata diterapkan bagi
gugatan ganti kerugian ini sepanjang KUHAP tidak menentukan lain.
32
Dan kita mengetahui bahwa gugatan perdata itu mempunyai ruang
lingkup yang luas. Jadi, semua pihak yang merasa dirugikan oleh
pelaku delik itu dapat mengajukan gugatan.
Hukum pidana Soviet pun mengenal semacam ganti kerugian kepada
pihak yang dirugikan yang dinamai perbaikan kerusakan (reparation of damage).
Bahkan dicantumkan sebagai hukum pidana menurut Pasal 32 Criminal Code of
RSFSR (Rusia).Pidana perbaikan ini dapat diterapkan sebagai pidana pokok,
misalnya kerusakan sebagai akibat perbuatan yang disengaja, terhadap milik
sosialis, dan pidana tambahan, jika kerusakan yang disengaja terhadap milik
pribadi warga negara. Pidana tersebutr dapat diterapkan dalam tiga cara yatu:34
1. Mewajibkan terpidana memperbaiki kerusakan itu, kalau pengadilan
memandang terpidana dapat melakukannya;
2. Mewajibkan terpidana untuk membayar kerusakan-kerusakan itu, jika
kerusakan-kerusakan itu tidak lebih dari seratus rubel;
3. Mewajibkan terpidana meminta maaf di muka umum kepada korban
atau anggota-anggota kolektif, menurut cara yang ditentukan oleh
pengadilan, apabila delik itu ditujukan kepada martabat atau integritas
seseorang atau kepada aturan kehidupan masyarakat sosialis dan tidaka
ada kerusakan materiil yang ditimbulkan oleh delik tersebut.
Apabila terpidana tidak memperbaiki kerusakan itu menurut cara dan
dalam batas waktu yang ditentukan oleh Pengadilan, Pengadilan dapat mengubah
pidana itu menjadi kerja paksa, denda, pemecatan dari tugas khusus atau ditegur
dimuka umum.Meskipun dalam peraturan lama (HIR) tidak diatur tentang
penggabungan perkara pidana, tetapi melalui suatu putusan menjatuhkan pidana
bersyarat seperti diatur di penggabungan perkara yang diatur dalam KUHAP
tersebut. Pasal-pasal di dalam KUHP dimungkinkannya suatu syarat khusus, yaitu
misalnya terpidana dipidana pula dengan syarat khusus membayar ganti kerugian
kepada korban, maka tercapai juga penyelesainan secara perdata, namun perlu
diingat bahwa putusan itu harus berbentuk pidana bersyarat yang pada umumnya
mengenai perkara-perkara yang tidak berat. Sekarang pun penyelesaian melalui
pidana bersyarat ini masih dapat dilaukan. Dalam hal ini korban delik tidak perlu
mengajukan gugatan khusus.35
3. Ganti Kerugian Kepada Terpidana Setelah Peninjauan Kembali
Pasal 266 ayat (2) butir b yang berbunyi:
“Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung memebatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dengan menjatuhkan putusan yang berupa:
1. Putusan bebas;
2. Putusan lepas dari segala tuntutan;
3. Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.”
Jelaslah bahwa yang disebutkan pada butir 1 sampai dengan 3 membawa
akibat terpidana tidak dijatuhi hukuman pidana dalam peninjauan kembali itu.
yang menjadi masalah ialah bagaimana caranya menuntut ganti kerugian, yang
dalam Bagian Kedua Bab XVIII tentang peninjauan kembali itu tidak
disebut-sebut, hal ini merupakan kelemahan KUHAP. Sedangkan peraturan yang lama
yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu Reglement op de Strafvordering dan juga
Ned.Sv. mengatur tentang hal ganti kerugian di bagian peninjauan kembali
(herziening).36
Oemara Seno Adji mengadakan perbandingan antara kedua peraturan
tersebut, dimana terdapat persamaan dan perbedaan diantara keduanya. Menurut
beliau persamaannya adalah sebagai berikut.37
1. Ganti kerugian kedua pasal itu merupakan bagian ketentuan tentang
peninjauan kembali dan keduanya merupakan pasal terajhir bab
tentang peninjauan kembali.
2. Kedua pasal itu menentukan bahwa ganti kerugian diberikan menurut
pertimbangan hakim berdasarkan keadilan.
3. Kedua pasal itu menentukan bahwa pemberian ganti kerugian bersifat
imperatif. Sedangkan ganti kerugian yang disebabkan oleh penahanan
yang tidak sah bersifat fakultatif.
Perbedaannya adalah didalam Pasal 481 Ned. Sv. Menghubungkan ganti
kerugian yang disebabkan oleh penahanan yang tidak sah yang fakultatif itu,
sedangkan R. Sv. Tidak menyebutkan tentang ganti kerugian yang disebabkan
oleh penahanan yang tidak sah.
Jadi, terdapat kesenjangan dalam KUHAP mengenai ganti kerugian setelah
peninjauan kembali ini. Apakah masalah ganti kerugian setelah peninjauan
kembali dapat dipertautkan dengan ketentuan tentang ganti kerugian yang diatur
didalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP (ganti kerugian yang disebabkan oleh
penangkapan, penahanan, penuntutan, danmengadili yang tidak sah) terhadap
tersangka? Hal ini masih menjadi masalah yang menunggu pemecahannya dan
perlu diuji pula dengan yurisprudensi yang akan datang KUHAP sama sekali tidak
menyebutnya baik dalam perumusan pasal-pasal maupun dalam
penjelasannya.38
B. Prosedur Permohonan Ganti Kerugian Menurut KUHAP
Ketentuan tentang ganti kerugian setelah peninjauan kembali
sangat penting dan telah menjadi ketentuan yang universal pula, didalam Pasal 14
ayat (6) International Convenant of Civil Political Rights setelah diterjemahkan
berbunyi sebagai berikut;
“Apabila seseorang telah dipidana dengan putusan akhir karena suatu
perbuatan kriminal atau delik dan apabila akhirnya pidananya dihapus atau
diberi pengampunan berdasar ditemuinya fakta baru atau diperbarui yang
menunjukkan dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi kekeliruan
dalam peradilan, orang yang telah dijatuhi pidana sebagai akibat
pemidanaan, akan diberi ganti kerugian menurut undang-undang, kecuali
dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu,
seluruhnya atau sebagian atas tanggungan sendiri”
1. Pihak-pihak yang Berhak mengajukan Permohonan Ganti Kerugian
Permohonan ganti kerugiandalam hukum pidana harus diajukan oleh
pihak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, adapun
pihak-pihak tersebut adalah :
a. Menurut Pasal 79 KUHAP, yang dapat mengajukan permintaan
praperadilan tentang sah atau tidaknya sutau penangkapan atau penahanan
adalah tersangka, keluarga atau kuasanya; sedangkan permintaan ganti
rugi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya
penghentian penyidikan atau penuntututan hanya dapat diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga, demikian yang diatur dalam Pasal 81 KUHAP
(pihak ketiga yang berkepentingan). Penjelasan pasal ini tidak terdapat
keterangan lain kecuali kata-kata cukup jelas, hal mana berarti tersangka
dan atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat menunjukkan kuasanya
sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku.
b. Menurut Pasal 95 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa ahli waris
tersangka dapat mengajukan permohonan ganti rugi atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, dan
diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
77.Didalam Pasal 95 ayat (3) menentukan bahwa ahli waris dapat
mengajukan tuntutan ganti rugi yang tersangka, terdakwa atau terpidana
karena ditangkap, ditahan dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan, seperti yang dimaksud ayat (1)
c. Didalam pasal 80 KUHAP memuat, bahwa pihak ketiga yang
berkepentingan, meminta untuk diadakan pemeriksaan tentang sah atau
tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan. Walaupun pasal
ini dimaksudkan untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran
melalui sarana pengawasan secara horisontal, namun kepentingan pihak
ketiga itu dapat demikian luasnya, sehingga dapat pula memenuhi
syarat-syarat untuk mengajukan permintaan ganti rugi. Misalnya ada benda milik
pihak ketiga yang disita dan tidak termasuk alat pembuktian sedangkan
barang tersebut mengalami cacat atau kerusakan.
2. Pengajuan Permohonan Ganti Kerugian
Peraturan Pemerintah No. 92 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur tentang tenggang waktu pengajuan
permohonan ganti kerugian yang diatur didalam Pasal I UU No 92 tahun 2015
yang bunyinya sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 7 PP No 27 tahun 1983 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut;
1 Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Didalam pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diterima.
Penjelasan perubahan Pasal 7 PP No 27 tahun 1983 ini menyatakan bahwa
pembatasan jangka waktu ganti kerugian dimaksudkan agar penyelesaian tidak
terlalu lama sehingga menjamin kepastian hukum.Dan jika lewat 3 (tiga) bulan
sejak tanggal petikan atau salinan putusan Pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap diterima, maka hak mengajukan permohonan ganti kerugian
menjadi daluwarsa, dengan perkataan lain, tidak dapat diajukan lagi.39
Pada Pokoknya permohonan ganti kerugian itu dibedakan sebagai
berikut:
Pasal 1 angka 3 PP No 92 tahun 2015 tentang perubahan Pasal 10 PP No
27 tahun 1983 menjelaskan bahwa petikan putusan atau penetapan mengenai
ganti kerugian yang merupakan dasar pertimbangan hakim, haruslah diberikan
kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan. Setelah itu
putusan atau penetapan tersebut harus diberikan kepada penuntut umum,
penyidik, dan mentri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang
keuangan. Pada saat peraturan pemerintahan ini mulai berlaku, ketentuan
peraturan perundang-udangan yang merupakan pelaksanaan dari peraturan
pemerintah ini yang mengatur tentang ganti kerugian wajib disesuaikan dengan
peraturan pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
terhitung sejak tanggal peraturan pemerintah ini diundangkan.
3. Penyelesaian Permohonan Ganti Kerugian menurut KUHAP
40
Garis besar
Dokumen terkait