• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur diKesultananLangkat dalam Surat Kabar(Analisis Framing tentang KonstruksiMelayu saat Revolusi SosialSumateraTimur di Kesultanan Langkat dalam SuratKabar PandjiRa’jat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Konstruksi Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur diKesultananLangkat dalam Surat Kabar(Analisis Framing tentang KonstruksiMelayu saat Revolusi SosialSumateraTimur di Kesultanan Langkat dalam SuratKabar PandjiRa’jat)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTRUKSI MELAYU SAAT REVOLUSI SOSIAL SUMATERA TIMUR DI KESULTANAN LANGKAT DALAM SURAT KABAR (Analisis Framing tentang Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera

Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar Pandji Ra’jat)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (SI) di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Oleh: Andika Bakti

090904006

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur diKesultanan Langkat dalam Surat Kabar(Analisis Framing tentang Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar Pandji Ra’jat). Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Melayu dikontruksi dalam teks berita di Pandji Ra’jatterkait Revolusi Sosial Sumatera Timur di Langkat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan pisau analisis framing model Gamson dan Modigliani.Gamson dan Modigliani memahami media sebagai satu gagasan interpretasi saat mengkonstruksi dan memberi makna pada suatu isu. Dengan demikian peneliti akan menganalisis struktur-struktur yang dimilikinya untuk mendapat jalinan konstruksi dari naskah ini.

Revolusi Sosial Sumatera Timur merupakan sebuah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat terhadap penguasa kesultanan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946.Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme.Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota keluarga kesultanan Melayu yang dikenal pro-Belanda namun juga golongan menengah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia.Banyak bangsawan meregang nyawa dengan cara brutal, salah satu yang paling berdarah adalah Kerajaan Langkat.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pemberitaan terkait Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Langkat, Pandji Ra’jatmengkonstruksi Pemerintah Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Soekarno sengaja mengadakan revolusi sosial untuk menghilangkan sistem kerajaan di Indonesia, khususnya di Langkat. Akibatnya, banyak bangsa Melayu terlibat maupun tidak terlibat dalam kerajaan menjadi korban penculikan, perampokan, hingga pembunuhan.

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan kelegaan hati, Hamdallah saat akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang selama ini menjadi buah pikir peneliti. Semuanya tak lain berkat rahmat dan karunia tak terhingga dari Allah SWT yang semakin terasa di jiwa. Shalawat beriring salam juga senantiasa dilantuntan kepada baginda Rasulullah SAW yang telah mengajarkan banyak hal pada umatnya.

Skripsi yang berjudul “Konstruksi Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur diKesultananLangkat dalam Surat Kabar(Analisis Framing tentang KonstruksiMelayu saat Revolusi SosialSumateraTimur di Kesultanan

Langkat dalam SuratKabar PandjiRa’jat)” ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi peneliti di program sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.Peneliti berhutang budi pada banyak pihak yang mendukung peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini, dan dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih pada mereka.

Dengan sukacita yang besar, saya mempersembahkan skripsi ini pada kedua orangtua terkasih.Ayahanda Adi Darma yang mengisi setiap kehidupannya dengan keseriusan, hingga melahirkan prinsip hidup adalah perjuangan.Dan Ibunda Marliah yang terus menjalankan perannya sebagai pengasih di rumah, hingga membuat penulis tak dapat melupakan rumah besrta isinya. Tak ada hal yang lebih menyenangkan daripada merasakan doa serta kasih sayang dari mereka

tanpa henti penulis rasakan. Kepada adinda Bagus Setiawan dan Rahmat Fajar yang menambah warna kehidupan, juga kepada keluarga kakanda Indah Pertiwi. Hidup hanya untuk bersenda gurau, selebihnya akan kembali kepadanya.

(4)

terima kasih untuk ilmu, pengalaman, pelajaran, dan penganyoman yang telah diberikan selama empat tahun peneliti menjalani perkuliahan.

Peneliti juga patut bersyukur dikelilingi orang-orang baik serta mendukung selama peneliti menjalankan masa perkuliahan hingga skripsi ini selesai. Mereka adalah:

1. Harry Yassir Elhadidy Siregar, Amir Fadli Nasution, dan Febrian Fachri yang sejak awal hingga akhir perkuliahan terus mengisi ruang dan waktu peneliti. Semoga sensitifitas yang kalian punya, juga peneliti, menjadikan kita selalu ‘ada’.

2. Bania Cahya Dewi, Gandewa Lintang Utara, Jingga Cahya Timur, dan Aurora Borealis yang bersedia menjadi sahabat. Dengan adanya kalian, penulis tau kemana akan berteduh saat menemui kebuntuan.

3. Moyang Kasih Dewimerdeka, Viki Aprilita, dan Wan Ulfa Nur Zuhra yang kerap menjadi sasaran peneliti saat membutuhkan jeda dalam proses pengerjaan skripsi ini.

4. Alzikri Fachrurrozi, S. Sos dan Rio Suprayogi, A. Md yang menjadi teman seperjuangan saat beranjak dari bangku SMA menuju Kampus Hijau USU. Walau kalian menyandang gelar sarjana lebih dulu, banyak kontribusi yang penulis rasakan saat masa perkuliahan.

5. Terakhir, kepada ‘Rumah Tanpa Jeda’ Pers Mahasiswa SUARA USU. Di sana ‘rumah’ penulis saat aktif sebagai Mahasiswa Departemen

Ilmu Komunikasi FISIP USU. Di sana penulis tumbuh dan dibesarkan. Tanpa itu, peneliti tak tau arah, tak bisa berpikir, tak ada keluarga.

(5)

Medan, Oktober 2013 Peneliti

(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR ORISINALITAS

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN I.1 Konteks Masalah ... 1

I.2 Fokus Masalah ... 5

I.3 Tujuan Penelitian ... 5

I.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Berita ... 7

II.2 Paradigma ... 8

II.3 Fenomenologi ... 10

II.4 Interaksional Simbolik ... 11

II.5 Media Massa dan Konstruksi Realitas Sosial ... 13

II.6 Faktor-faktor yang Membentuk Isi Media ... 15

II.7 Analisis Framing ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ... 28

III.2 Objek Penelitian ... 29

III.3 Subjek Penelitian ... 30

III.4 Kerangka Analisis ... 30

III.5 Teknik Pengumpulan Data ... 33

III.5 Teknik Analisis Data ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisis ... 36

IV.2 Pembahasan ... 51

BAB V PENUTUP V.1Kesimpulan ... 56

(7)
(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

1.Proses Konstruksi Sosial Media Massa ... 14 2. Model Hierarki Teori Pengaruh Isi Media ... 15 3. Cara Kerja Faktor Instrinstik Pekerja Media

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur diKesultanan Langkat dalam Surat Kabar(Analisis Framing tentang Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar Pandji Ra’jat). Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Melayu dikontruksi dalam teks berita di Pandji Ra’jatterkait Revolusi Sosial Sumatera Timur di Langkat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan pisau analisis framing model Gamson dan Modigliani.Gamson dan Modigliani memahami media sebagai satu gagasan interpretasi saat mengkonstruksi dan memberi makna pada suatu isu. Dengan demikian peneliti akan menganalisis struktur-struktur yang dimilikinya untuk mendapat jalinan konstruksi dari naskah ini.

Revolusi Sosial Sumatera Timur merupakan sebuah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat terhadap penguasa kesultanan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946.Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme.Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota keluarga kesultanan Melayu yang dikenal pro-Belanda namun juga golongan menengah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia.Banyak bangsawan meregang nyawa dengan cara brutal, salah satu yang paling berdarah adalah Kerajaan Langkat.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pemberitaan terkait Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Langkat, Pandji Ra’jatmengkonstruksi Pemerintah Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Soekarno sengaja mengadakan revolusi sosial untuk menghilangkan sistem kerajaan di Indonesia, khususnya di Langkat. Akibatnya, banyak bangsa Melayu terlibat maupun tidak terlibat dalam kerajaan menjadi korban penculikan, perampokan, hingga pembunuhan.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kesatuan di Asia Tenggara yang terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara Benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua dan dua samudra, iajuga disebut sebagai Nusantara atau Kepulauan Antara.Indonesia terdiri dari 17.508 pulau dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia serta negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pun secara resmi bukan merupakan negara Islam (www.indonesia.go.id).

Sejarah Indonesia memang banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya.Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya di Palembang menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Setelah berada di bawah penjajahan Belanda, Indonesia yang saat itu

bernama Hindia-Belanda menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II. (www.id.wikipedia.org)

Sebelum menjadi negara kesatuan, Indonesia sempat menyandang status sebagai negara federalis, Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Saat itulah terdapat banyak negara bagian di Indonesia, salah satunya adalah Negara Sumatera Timur (Sinar: 565).

(12)

gubernur Dr Tengku Mansur, seorang bangsawan Kesultanan Asahan yang juga ketua organisasi Persatuan Sumatera Timur (Blackwell, 2008: 172).

Sebelum resmi menjadi negara bagian, Sumatera Timur dikenal dengan daerah yang memiliki beberapa wilayah kerajaan seperti Kerajaan Langkat, Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang, (kini Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai), Kerajaan Asahan, Kedatukan di Batubara, Kerajaan Panai, Kerajaan Bilah, Kerajaan Kota Pinang dan Kerajaan Kualuh-Leidong di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Labuhan Batu, Kerajaan Simalungun dan Kerajaan-Kerajaan di Tanah Tinggi Karo (Sinar: i).

Banyak sejarah penting mengiringi perjalanan Sumatera Timur.Dan yang paling meninggalkan jejak karena dianggap sebagai peristiwa paling kejam hingga saat ini adalah Revolusi Sosial Sumatera Timur(Aziddin, 1948: 6).Revolusi sosial merupakan sebuah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat terhadap penguasa kesultanan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946.

Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme.Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota keluarga kesultanan Melayu yang dikenal pro-Belanda namun juga golongan menengah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia (Kahin, 2003: 412). Banyak bangsawan meregang nyawa dengan cara brutal. Dan yang paling berdarah adalah Kerajaan Langkat, juga Asahan (www.lenteratimur.com).

Perihal Langkat, terjadinya Revolusi Sosial bermula saat Soekarno-Hatta menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.Kabar tersebutsampai di Langkat setelah utusan dari Sumatera M Amir dan Tengku Hassan kembali dari Jawa, dan pada 4 Oktober 1945 barulah bendera Merah Putih dikibarkan di Sumatera (PandjiRa’jat, 1947). Selanjutnya pada 5 Oktober 1945, Sultan Mahmud yang saat itu menjabat sebagai pimpinan Istana Kerajaan Langkat kemudian menyatakan penggabungan negaranya dengan Negara Republik Indonesia.

(13)

lainnya. Dan pada akhir tahun saat tentara Sekutu melakukan razia di Tebingtinggi, mereka juga sempat mengadakan kunjungan kehormatan kepada Sultan Langkat sebagai penguasa daerah. Kaum Komunis dan kaum Kiri lainnya menggunakan peristiwa ini sebagai fitnah adanya konspirasi bahwa Sultan Langkat adalah orang yang anti Republik (Sinar: 492-493).

Gesekan dan perang dingin antara Kerajaan Langkat dengan laskar-laskar terus terjadi.Ketegangan memuncak pada 3 Maret 1946.Malam itu, Bupati Tengku Amir Hamzah beserta seluruh pembesar kerajaan diculik dan dibawa ke Kebon Lada (daerah Pungai).Amir Hamzah adalah Pangeran Langkat Hilir sekaligus seorang penyair besar yang turut menggelorakan gerakan anti kolonialisme melalui gagasan Indonesia.Mereka kemudian disiksa dan dipancung oleh algojo Mandor Iyang, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana Kerajaan Langkat (Sinar: 494).

Akan tetapi, Sultan Mahmud tak turut dibunuh.Ia ditangkap dan diasingkan hingga kemudian wafat karena sakit. Dari artikel Maret Berdarah di Sumatera Timur, 67 Tahun Silamyang dipublikasikan oleh media online lenteratimur.com pada 19 Maret 2013, dijelaskan bahwa kedua putri Sultan Mahmudjuga diperkosa di depan Sultan Mahmud sendiri, dan kisah pemerkosaan itu jadi cerita turun temurun di keluarga mereka hingga saat ini.

Pada memoar itu juga tercantum kutipan dari Tengku Amaliah, istri Tengku Amir Hamzah, yang menceritakan kisah ketika suaminya yang diculik. Kutipan itu diambil dari buku hariannya (www.lenteratimur.com)

Suatu pagi di Bulan Maret 1946. Serombongan Barisan Pemuda berbaris sambil bernyanyi-nyanyi lewat di depan Istana Binjai. Sore, beberapa orang datang ke istana mengambil Amir dengan alasan ‘dipinjam’ sebentar. Nanti akan dibawa kembali….

Kini, jika berkunjung ke Mesjid Azizi di Tanjung Pura, kita akan menemukan makam Tengku Amir Hamzah dan petinggi Kerajaan Melayu lainnya yang telah dipindahkan dari kuburan korban pembantaian di Kebon Lada pada tahun 1948 lalu.

(14)

kejam yang dilakukan oleh Volksfront. Volksfront adalah front rakyat yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia.Mereka juga kerap disebut-sebut berasal dari Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar), Hizbullah, dan buruh-buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani (www.lenteratimur.com).

Dari rentetan peristiwa yang terjadi di Sumatera Timur saat terjadi revolusi sosial, khususnya di Langkat, sudah barang tentu media juga ikut ambil peran, baik itu sebagai pelapor, interpreter, wakil publik, watchdog, ataupun advokasi.Yang (idealnya) melaporkan peristiwa-peristiwa yang diluar pengetahuan masyarakat dengan netral tanpa prasangka (Ishwara, 2005: 7-8).

Para wartawan pun terjun langsung ke tempat kejadian sebagai pengamat pertama,dengan persepsi dan interpretasi berbeda-beda untuk kemudian disebarluaskan melalui media massa tempat ia bekerja. Media massa adalah agen sosialisasi sekunder yang dampak penyebarannya paling luas dibanding agen sosialisasi lain. Meskipun dampak yang diberikan media massa tidak secara langsung terjadi, namun cukup signifikan dalam memengaruhi seseorang, baik dari segi kognisi, afeksi maupun konatifnya (Gabner, 2007: 8).

Media massa memiliki peran besar dalam membentuk opini masyarakat tentang tokoh atau sekelompok orang tertentu. Pesan yang terus disampaikan melalui simbol-simbol atau istilah tertentu secara berulang-ulang dapat membentuk pandangan tersendiri bagi masyarakat.Pandangan ini bisa positif atau

negatif. Pencitraan yang sudah begitu melekat dalam masyarakat ini kemudian berkembang menjadi stereotip yang kemudian diteruskan intra dan inter generasi (Gabner, 2007: 9).

Begitu halnya dengan Revolusi Sosial Sumatera Timur, khususnya di Langkat.Pandangan yang berkembang dari peristiwa tersebut adalah terhapusnya sistem kerajaan yang ada merupakan keinginan kelompok tertentu yang menganut paham antifeodal, dengan membunuh para petinggi Kesultanan Melayu.Lantas informasi itulah yang berkembang di masyarakat, dengan latar belakang peristiwa yang bermacam-macam.

(15)

setiap kejadian lewat keahlian wartawan menginterpretasikan pesan dan fakta dari lapangan. Media massa juga harus melakukan interpretatis (Nurdin, 2003: 93).

Bagimana media menyajikan suatu isu menentukan bagaimana khalayak memahami dan mengerti suatu isu (Eriyanto, 2002: 217). Jika masyarakat mengamini stereotip yang ditanamkan oleh media massa, maka hal tersebut akan diteruskan ke generasi selanjutnya.

PandjiRa’jat adalah suratkabar yang terbit pertama kali pada 15 November 1945. Awalnyasuratkabar yang beralamat di Jalan Gambir No. 9, Jakarta, ini terbit sekali dalam sepekan, yaitu hari Kamis. Namun sejak 18 Juni 1946, suratkabar ini terbit dua kali dalam seminggu yaitu hari Selasa dan Jumat.Surat kabar ini berisi empat halaman disetiap terbitnya.

Awalnya Pandji Ra’jat terbit dengan 1000 eksemplar dan hanya dapat disirkulasikan di lingkungan masyarakat yang kecil, tapi seiring berjalannya waktu jumlahnya bertambah menjadi 20.000 eksemplar dan tersebar di tempat yang dapat dikunjungi di seluruh Indonesia, Malaya, Siam, Indo Cina, Australia, Arabia, serta ke Negeri Belanda (Pandji Ra’jat, 1946). Kini koran ini, sebagaimana koran-koran terbitan lama, dikumpulkan oleh lembaga bernama Institute for War, Holocaust and Genocide Studies di Belanda, dan dapat diakses melalui situs resminya http://noid.x-cago.com.

Untuk melihat konstruksi media tentang Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat, media ini dinilai cukup mewakili.Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat konstruksi Melayu di PandjiRa’jat

khususnya saat Revolusi Sosial Sumatera Timur yang terjadi di Kesultanan Langkat sejak Maret 1946 sampai Desember 1948.

I.2 Fokus Masalah

(16)

Agar tidak terjadi ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan akan mengaburkan penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah. Pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :

1. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, bertujuan untuk melihat bagaimana wartawan PandjiRa’jat menulis peristiwa Revolusi Sosial Simatera Timur di Kerajaan Langkat yang melibatkan rakyat Melayu. 2. Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan memakai pisau

analisis model Gamson dan Modigliani.

3. Penelitian dilakukan pada surat kabarPandjiRa’jat yang dipublikasikan sejak terjadinya Revolusi Sosial Sumatera Timur yaitu pada Maret 1946 hingga Desember 1948.

I.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis naskah tentang rakyat Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat dalam surat kabar PandjiRa’jat.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Melayu dikemas melalui pemberitaan surat kabar PandjiRa’jat.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna isi pesan yang terkandung dalam naskah surat kabar PandjiRa’jat.

I.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya khazanah penelitian tentang media dan bidang jurnalistik.

2. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangsihkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.

(17)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Berita

Sumadiria dalam buku Jurnalistik Indonesia, menjelaskan berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ideterbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagianbesar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar,radio, televisi, atau media online internet (2006: 65 ).

Berita dalam pandangan Fishman, bukanlah refleksi atau distorsi dari realitas yang seakan berada diluar sana. Berita adalah apa yang pemberita buat, penyajian berita merefleksikan sesuatu maka refleksi itu adalah praktek pekerja dalam organisasi yang memproduksi berita. Berita adalah hasil akhir dari proses kompleks dengan menyortir (memilah-milah) dan menentukan peristiwa dan tema-tema tertentu dalam satu kategori tertentu. Berita adalah produksi dari institusi sosial dan melekat dalam hubungannya dengan institusi lainnya.Berita adalah produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiaphari dibentuk dan dikonstruksi (Eriyanto, 2005: 102).

Berita bukanlah representasi dari realitas melainkan konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas sebuah realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya akan menghasilkan realitas yang

berbeda pula. (Eriyanto, 2002: 21).

Naskah berita ditulis dengan menggunakan pola penulisan piramidaterbalik dan mengacu kepada 5W+1H.agar berita lengkap, akurat dan memenuhistandar teknis jurnalistik.Artinya berita mudah disusun dalam pola yang sudahbaku, dan mudah dipahami isinya oleh pembaca.Naskah berita ditulis dengan menggunkan rumus 5W+1H, yaitu what (apa), where(dimana), who (siapa), why (mengapa), when (kapan), dan how (bagaimana).

(18)

menentukan nilai berita suatu kejadian atau fakta. Sumadiria dalam buku Jurnalistik Indonesia(2006:80) menjelaskan kriteria umum nilai berita yaitu:

1. Keluarbiasaan (unusualness) 2. Kebaruan (newness)

3. Akibat (impact) 4. Aktual (timeliness) 5. Kedekatan (proximity) 6. Informasi (information) 7. Konflik (conflict)

8. Orang Penting (public figure, news maker) 9. Kejutan (surprising)

10.Ketertarikan Manusiawi (human interest) 11.Seks (sex)

II.2 Paradigma

Paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan, kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epitemologis yang panjang (Mulyana, 2003: 9).

Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) terbagi atas tiga paradigma: Paradigma klasik (classical paradigm); Paradigma kritis (critical paradigm); dan Paradigma konstruktivisme (constructivism paradigm) (Bungin, 2008: 237).

(19)

participative dalam arti mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan multilevel analisis, dan peneliti berperan sebagai aktivis atau partisipan.

Sedangkan paradigma konstruktivis bersifat reflektif dan dialektikal. Menurut paradigma ini, antara peneliti dan subjek yang diteliti, perlu tercipta empati dan interaksi dialektis agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif seperti observasi partisivasi.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objekstivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.

Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap sociallymeaningfulaction melalui pengamatan secara langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memlihara atau mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3).

Menurut Patton, para peneliti konstrkutivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96-97).

Paradigma konstruktivis memiliki beberapa kriteria yang membedakannya dengan paradigma lainnya, yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Level ontologi , paradigma konstruktivis melihat kenyataan sebagai hal yang ada tetapi bersifat majemuk, dan maknanya berbeda bagi tiap orang. Dalam epistemologi, peneliti menggunakan pendekatan subjektif karena dengan cara itu bisa menjabarkan pengkonstruksian makna oleh individu. Dalam metodologi, paradigma ini menggunakan berbagai macam jenis pengkonstruksian dan menggabungkannya dalam sebuah konsensus.

(20)

1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002: 19)

2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihaknya. Lewat bahasa yang dipakainya, media dapat membentuk pandangan umum terhadap suatu kelompok.

3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kit abaca pada dasarnya adalah hasil konstruksi dari kerja seorang jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik.

4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas, opini tidak dapat dihilangkan karena wartawan saat meliput melihat dengan perspektif dan pertimbangannya sendiri.

5. Wartawan bukan pelapor, melainkan agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial

6. Etika, moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Wartawan bukan layaknya robot yang merekam segala sesuatu yang dilihat dan didengar. Etika dan moral ketika memilih

satu kelompok pada dasarnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, inilah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.

7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, ia mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita.

II.3 Teori Fenomenologi

(21)

hadapan kita. Kata itu juga memiliki akar yang sama dengan kata fancy dan fantacy yang berarti imajinasi. Jadi fenomenon dapat saja tampil di dalam pikiran kita sejauh dia itu jelas. Fenomenologi adalah teori tentang fenomenon (Praja, 2003:179).

Pertama kali dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl (1859-1938). Perhatiannya pada cara mengatur gejala yang dialami sedemikian rupa sehingga dapat memahami dunia sekitarnya, dan sambil mengembangkan suatu pandangan dunia. Tak ada realitas yang terpisah (atau objektif) bagi orang. Yang ada hanyalah apa yang diketahui tentang pengalaman dan maknanya. Pengalaman subjektif sekaligus mengandung benda atau hal objektif dan realitas seseorang (Suyanto, 2005: 178 - 179).

Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak dipermukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari adalah gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” si pelaku. Sebab, realitas itu bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang. Itu terbenam sebagai suatu kompleks gramatika kesadaran di dalam diri manusia. Di situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di tingkat perilaku (Bungin, 2003).

Fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Maka fenomenologi sosial mempunyai sebuah pendekatan dan pembendaharaan kata untuk menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi

sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan (Ardianto, 2007: 129).

Dalam proses memproduksi berita, Eriyanto (2002: 106) menuliskan bahwa pemahaman wartawan erat kaitannya dengan pengertian dan anggapan persepktif wartawan dalam melihat beragam fenomena yang terjadi pada masyarakat. Ada semacam standar yang harus ditaati wartawan agar laporan yang ia berikan mempunyai nilai yang akan diinformasikan kepada masyarakat. Nilai tersebut tidaklah bersifat personal melainkan dihayati bersama dengan lembaga-lembaga yang dipercaya dalam mengontrol kerja wartawan.

(22)

Pendekatan interaksionisme simbolik berawal dari pemikiran George Herbert Mead. Ia mengajarkan bahwa makna muncul sebagai interaksi di antara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respon yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu. Ide dasar interaksionisme simbolik menyatakan bahwa lambing atau simbol kebudayaan dipelajari melalui interaksi, orang memberi makna terhadap segala hal yang akan mengontrol sikap tindak mereka (Morisan dkk, 2010: 126).

Pada awalnya Mead tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku, namun pada perkembangannya, para mahasiswanya yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku berjudul Mind, Self, and Society, yang kemudian Herbert Blummer, sejawat Mead, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik (Santoso, 2010: 21).

Mead mendefinisikan “mind” (pikiran) sebagai fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi. Mind dalam hal ini mirip dengan symbol, yakni sebagai hasil dari interaksi sosial. Hanya, mind terbentuk setelah terjadinya percakapan diri (self-conversation), yakni ketika seseorang melakukan percakapan diri yang juga disebut sebagai berpikir. Karenanya bagi Mead, berpikir tidak mungkin terjadi jika tidak menggunakan bahasa. Konsepsi “mind”lebih merupakan proses daripada sebuah

produk. Hal ini berarti bahwa kesadaran bukanlah hasil tangkapan dari luar, melainkan secara aktif selalu berubah dan berkembang. Mead mengatakan bahwa, “consciousness (mind) is not given, it is emergent”. Kesadaran (mind) tidak diberi, tapi dicari.

(23)

“Society” menurut Mead adalah kumpulan self yang melakukan interaksi dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa hubungan personal, kelompok intim, dan komunitas. Institusi society karenanya terdiri dari respon yang sama. “Society” dipelihara oleh kemampuan individu untuk melakukan role taking dan generalized others.

Dalam bukunya tersebut, Mead (1934) berpendapat bahwa kita menggunakan simbol untuk menciptakan pengalaman kita akan pikiran sadar, pemahaman kita akan diri kita sendiri, dan pengetahuan kita akan tatanan dunia sosial yang lebih besar. Ia menyebutnya masyarakat. Dengan perkataan lain, simbol menjembatani dan membentuk seluruh pengalaman kita karena simbol membentuk kemampuan kita untuk merasakan dan menafsirkan apa yang terjadi di sekeliling kita.

Ada pula George Herbert Blumer (1967), yang merupakan professor di Universitas California. Pemikiran Blumer tentang interaksionisme simbolik lebih banyak merupakan penuangan ide Mead. Sebagai seorang penganut pemikiran Mead, ia berusaha menjabarkan pemikiran idolanya Mead mengenai konsep interaksionisme simbolik. Menurut Blumer (dalam Santoso, 2010: 23) ada tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik; meaning (makna), language (bahasa), dan thought (pemikiran).

Blumer menyatakan bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah objek atau orang lain ditentukan oleh makna yang ia pahami tentang objek atau orang

tersebut. Dijelaskan bahwa makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.Bahasa adalah bentuk dari simbol. Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama terhadap suatu objek, tindakan atau sifat. Thought secara sederhana menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut.Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik.

(24)

Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203).

Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bugin, 2008: 192). Bagi kaum konstruktivisme, realitas (berita) itu hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang dan ideology wartawan. Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Sebuah teks dalam sebuah berita tidak dapat disamakan sebagai cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas.

Gambar 1

Proses Konstruksi Sosial Media Massa

(25)

Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstrusinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya. Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas.

Konstruksi realitas terjadi ketika wartawan atau media melakukan proses pembingkaian (framing) berita setelah nilai berita (newsvalues) dan unsur kelayakan berita (newsworthy) dipenuhi. Wartawan tidak melakukan pembingkaian dalam keseluruhan teks berita. Hanya di beberapa bagian saja dalam struktur berita yang dibingkai dan selanjutnya menentukan wacana yang dikonstruksi oleh wartawan.

II.6 Faktor Faktor yang Membentuk Isi Media

Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996), dalam Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content, menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasikan ada lima faktor yang

(26)

Gambar 2

Model Hierarki Teori Pengaruh Isi Media

(Sumber: Soemaker& Reese, 1996: 64)

II.5.1 Individual

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level indivual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, dan sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam pemberitaan media.

Terdapat tiga faktor intrinsik pada pekerja media yang dapat mempengaruhi isi media. Pertama ialah karakteristik pekerja, personaliti, dan latar belakang pekerja. Kedua ialah sikap, nilai, dan keyakinan pekerja. Contohnya ialah keberpihakan politik jurnalis atau keyakinan agama jurnalis. Ketiga ialah orientasi dan peran konsep profesi yang disosialisasikan kepada mereka. Sebagai contoh, apakah seorang jurnalis mempersepsikan diri mereka sebagai penyampai

(27)

Gambar 3

Cara Kerja Faktor Intrinsik Pekerja Media Mempengaruhi Isi Media

(Sumber: Soemaker& Reese, 1996: 65)

Gambar di atas menunjukkan hubungan di antara faktor-faktor intrinsik jurnalis yang melatabelakangi isi media.Karakteristik, latar belakang dan pengalaman individu mempengaruhi sikap, nilai dan keyakinan yang dimiliki jurnalis dan juga mempengaruhi pengalaman dan latar belakang dalam profesinya. Sebagai contoh, pendidikan terakhir, lingkungan tempat jurnalis dibesarkan, dan karakteristik pribadi jurnalis akan mempengaruhi sikap, nilai, dan keyakinan yang dipegangnya selama menjadi seorang jurnalis dan juga akan mempengaruhi pengalaman dan dedikasinya sebagai seorang jurnalis. Pengalaman dan dedikasi selama menjadi jurnalis kemudian membentuk bagaimana peranan dan etika jurnalis yang secara langsung mempengaruhi media.Sedangkan sikap, nilai dan keyakinan jurnalis secara tidak langsung mempengaruhi isi media sebatas wewenang jurnalis tersebut dalam organisasi media (Shoemaker, 1996: 65).

(28)

Berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya.

Karl Manheim, seorang sosiolog Jerman mengatakan bahwa tiap individu tidak berpikir dengan sendirinya. Seorang hanya berpartisipasi dalam memikirkan lebih jauh apa yang telah dipikirkan oleh orang lain sebelumnya. Mereka berbicara dalam bahasa kelompoknya, dan berpikir dengan cara pikir kelompoknya. Hal tersebut serupa dengan rutinitas yang terdapat pada organisasi media massa.

Rutinitas telah menciptakan pola sedemikian rupa yang terus diulang oleh para pekerjanya. Rutinitas juga menciptakan sistem dalam media sehingga media tersebut bekerja dengan cara yang dapat diprediksi dan tidak mudah untuk dikacaukan. Hal-hal yang memengaruhi media adalah organisasi media itu sendiri (processor), sumber (supplier), dan target khalayak (consumer) (Shoemaker, 1996: 105-108).

Gambar 4

(29)

(Sumber: Soemaker& Reese, 1996: 109)

II.5.3 Organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya

menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.

(30)

mana yang bukan. Terdapat tujuan yang jelas yang menciptakan kesalingtergantungan antara bagian-bagiannya dan struktur yang birokratis. Anggota-anggotanya memiliki spesialisasi fungsi yang jelas dan peran yang standardisasi. Bagan struktur organisasi yang dimiliki sebuah organisasi media massa membantu menjelaskan empat pertanyaan penting, yaitu: Apa peran organisasi; Bagaimana organisasi terstruktur; Apa saja kebijakan yang ada dan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan; dan Bagaimana kebijakan tersebut dijalankan (Shoemaker, 1996: 142-144).

Dalam organisasi media terdapat tiga tingkatan posisi. Pertama ialah pekerja garda depan seperti penulis, reporter, staf kreatif yang bertugas mengumpulkan dan mengemas bahan mentah. Kedua ialah tingkatan menengah, yaitu manajer, editor, produser dan lainnya yang bertugas mengkoordinasikan proses dan menjembatani komunikasi antara posisi atas dan bawah dalam organisasi. Ketiga ialah posisi tingkat atas dalam perusahaan yang bertugas membuat kebijakan organisasi, membuat anggaran, mengambil keputusan-keputusan penting, melindungi perusahaan dari kepentingan politik dan komersial, dan saat dibutuhkan melindungi pekerjaannya dari tekanan luar (Soemaker, 1996: 151).

II.5.4 Ekstra media

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun

berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media:

1. Sumber berita

(31)

mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media.

2. Sumber penghasilan media

Sumber penghasilan media berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.

3. Pihak eksternal

Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja

berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.

II.5.5 Ideologi

(32)

Ideologi diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas.

Raymond William (Eriyanto, 2001) mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah.

1. Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu.

Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Sebagai misal, seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demontrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh yang berdemontrasi mengganggu kelangsungan produksi. Oleh karenanya, demontrasi tidak boleh ada, karena hanya akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan, menggangu kemacetan lalulintas, dan membuat persahaan mengalami kerugian besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.

2. Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat biasa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah.

Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Karena kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat, akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa.

(33)

Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.

II.6 Analisis Framing

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplinilmu dan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat ‘bagaimana’ (how). Lewat analisis wacana, kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).

Salah satu pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana adalah analisis framing yang tergolong dalam pandangan konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivis–empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebaga faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson pada tahun 1955 (Sobur, 2004 : 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisasi pandangan politik,

kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini konsep framing telah digunakan

secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media massa.

(34)

Analisis framing memilikibeberapa karakteristik, diantaranya: 1. Pusat perhatiannya adalah pembentukan pesan teks.

2. Melihat bagaimana pesan atau peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksi peristiwa dan menyampaikannya kepada khalayak pembaca.

3. Konstruksi makna cenderung bersifat simbolis, laten dan pervasif.

4. Teks berita mengandung sejumlah perangkat retoris yang akan berinteraksi dengan memori khalayak dalam proses konstruksi makna.

5. Tujuannya menangkap bentuk konstruksi media terhadap realitas yang disajikan sebagai berita.

6. Kajiannya mengkaji masalah sintaksis, semantik, skrip, tematik, retoris, skema, detail, nominalisasi antarkalimat, kata ganti leksikon, grafis, metafor, pengandaian, dsb.

Menurut Imawan (dalam Sobur, 2004 : 162) pada dasarnya framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi

keberadaan subek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.

Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis.Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya (Eriyanto, 2002: 13).

(35)

Framing secara esensial, menurut Robert M Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi frame

adalah mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral dan menawarkan penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa yang diwacanakan.

Definisi lain tentang framing dikemukakan oleh Gamson dan Modgliani. Mereka berpendapat bahwa frame adalah cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana (Gamson dan Modgliani, 1989: 3). Gamson mengandaikan wacana media terdiri dari sejumlah package interpretif yang mengandung konstruksi makna tentang objek wacana.

Package adalah gugusan ide-ide yang memberi petunjuk mengenai isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan dengan wacana yang terbentuk. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk memaknai pesan yang disampaikan serta untuk menafsirkan pesan yang ia terima (Eriyanto, 2002: 224)

Package tersebut dibayangkan sebagai struktur data yang mengorganisir sejumlah informasi sehingga dapat mengindikasikan posisi atau kecenderungan politik dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan makna-makna di balik isu atau peristiwa yang sedang dibicarakan. Keberadaan package dalam suatu wacana berita ditunjukkan oleh keberadaan ide yang didukung oleh perangkat wacana seperti metaphor, deciption, catchphrase, exemplars, danvisual image. Semuanya mengarah pada ide atau pandangan tertentu, masing-masing kelompok berusaha menarik dukungan publik.Dengan mempertajam kemasan, (package) tertentu dari sebuah isu politik, mereka dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang mendukung kepentingan mereka, atau sesuai dengan kebenaran versi mereka.

(36)

lain, proses framing merupakan bagian integral dari proses redaksional media massa. Dominasi sebuah frame dalam wacana berita bagaimanapun berkaitan

dengan proses produksi berita yang melibatkan unsure-unsur seperti reporter, redaktur dan lain-lain.

Seperti yang dijelaskan pula oleh Gamson, pekerja media menuangkan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri serta memfrase dan mengutip sember berita tertentu. Disaat yang sama, mereka membuat retorika-retorika yang menyiratkan keberpihakan dan kecenderungan tertentu (Gamson dan Modigliani, 1989: 3). Berdasarkan hal tersebut, framing yang berbeda akan menghasilkan berita yang berbeda pula apabila wartawan memiliki frame yang berbeda dalam memandang suatu peristiwa dan menuliskannya dalam sebuah berita atau artikel.

Berdasarkan konsepnya, Gamson mendefinisikan framing dalam dua pendekatan yaitu,

1. Pendekatan kultural dalam level kultural, frame pertama-tama dapat dimaknai sebagai batasan-batasan wacana serta elemen-elemen konstitutif yang tersebar dalam konstruksi wacana.

2. Pendekatan psikologis dalam level individual, individu selalu bertindak atau mengambil keputusan secara sadar, rasional, dan intensional. Individu selalu menyertakan pengalaman hidup, wawasan sosial, dan kecenderungan psikologisnya dalam menginterpretasi pesan yang ia terima.

Pan dan Kosicki mengklasifikasikan perangkat framing ke dalam empat

kategori yaitu struktur, sintaksis, struktur skrip, struktur tematik dan struktur retoris.

Struktur sintaksis mengacu pada pola penyusunan kata atau frase menjadi kalimat.Ini ditandai dengan struktur piramida terbalik dan pemilihan narasumber.Keberadaan struktur sintaksis dalam sebuah berita mengiring khalayak kepada sebuah perspektif tertentu dalam memandang sebuah peristiwa.

(37)

menyajikan informasi yang lengkap dari sebuah peristiwa, mulai dari awal, klimaks, karakter dan emosi manusia.

Struktur tematik adalah susunan hierarki dengan sebuah tema sebagai inti yang menghubungkan sejumlah subtema, yang pada gilirannya dihubungkan dengan elemen-elemen pendukung.Struktur tematik ini terdiri dari ringksan dan bagian utama.Ringkasan biasanya dipresentasikan melalui headline, lead, atau kesimpulan.Sedangkan bagian utama merupakan tempat di mana bukti-bukti pendukung disajikan, baik berupa peristiwa itu sendiri, latar belakang informasi atau kutipan-kutipan.

Struktur retoris menggambarkan pilihan gaya yang dibuat oleh jurnalis sehubungan dengan efek yang mereka harapkan dari sebuah peristiwa terhadap khalayak. Mereka menggunakan perangkat framing untuk menggambarkan observasi dan interpretasi mereka sebagai seuah fakta atau untuk meningkatkan efektivitas sebuah berita.

Framing media sedikit banyak akan memengaruhi penilaian khalayak terhadap sebuah realitas. Di samping itu, proses framing dapat menghasilkan gambaran tentang suatu realitas yang berbeda dengan kondisi objektifnya. Hal ini dikarenakan pihak-pihak yang berkompetensi di media dengan frame masing-masing selalu berusaha memenangkan wacana yang dianggap benar menurut versinya masing-masing.

(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan paradigma konstruktivis sebagai cara pandang dalam media meneliti. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis framing, yaitu metode analisis yang melihat wacana sebagai konstruksi realitas sosial. Penelitian ini dikelompokkan dalam kategori penelitian konstruktivisme karena sesuai dengan dimensi ontologis, epistemologis, dan metodologis dari paradigma konstruktivis itu sendiri.

Secara ontologis, paradigma konstruktivis bersifat relativis.Realitas dapat dipahami sebagai bentuk konstruksi mental yang diperoleh secara alami melalui kehidupan sosial atau pengalaman dan sering kali dipertukarkan di antara sejumlah individu.

Secara epistemologis, paradigma konstruktivis bersifat transaksional dan subjektivis.Peneliti dan objek penelitian diasumsikan terhubung secara interaktif sehingga temuan dari penelitian tersebut tercipta seiring berlangsungnya penelitian.

Sedangkan secara metodologis, paradigma konstruktivis bersifat hermeneutical dan dialectical.Variabel dan sifat personal dari konstruksi sosial menyebabkan konstruksi individual hanya diperoleh melalui interaksi antara

peneliti dan responden.

Analisis framing dapat menggunakan pendekatan paradigma konstruktivisme yang melihat representasi media baik berita maupun artikel yang terdiri atas package-packageinterpretif yang mengandung konstruksi makna tertentu.Dalam pandangan konstruktivis, media dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, media bukan sarana yang netral yang menampilkan kekuatan dari kelompok dalam masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideology yang dominan itulah yang akan tampil dalam pemberitaan.

(39)

atau lisan dari pelaku yang dapat diamati.Sedangkan Kirk dan Miller (1986) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya (Moleong, 2000: 3).

Penelitian kualitatif memiliki beberapa karakteristik, antara lain:

1. Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity)

2. Menggunakan metode kualitatif

3. Menggunakan analisis data secara induktif

4. Menggunakan teori dari dasar (grounded theory), penyusunan teori berasal dari data yang ada karena tidak ada teori apriori yang dapat mencakup kenyataan ganda yang mungkin akan dihadapi.

5. Lebih banyak mementingkan segi proses daripada hasil karena hubungan bagian-bagian yang diteliti akan jauh lebih jelas bila diamati dalam proses 6. Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, rebilitas dan objektivitas

dalam versi lain dibanding yang lazim digunakan pada penelitian klasik 7. Penyusunan desain yang secara terus menerus disesuaikan dengan

kenyataan lapangan.

III.2 Objek Penelitian

Menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, objek adalah hal, perkara, atau orang yang menjadi pokok pembicaraan serta dijadikan sasaran untuk diteliti, diperhatikan.Sasaran penelitian tak tergantung pada judul dan topik penelitian, tetapi secara kongkret tergambarkan dalam fokus permasalahan dalam penelitian (Bugin, 2008: 76).

(40)

III.3 Subjek Penelitian

Riset kualitatif tidak bertujuan untuk membuat generalisasi hasil riset.Hasil riset lebih bersifat kontekstual dan kasuistik yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu sewaktu penelitian dilakukan.Karena itu, pada riset kualitatif tidak mengenal istilah sampel.

Sampel pada riset kualitatif disebut subjek penelitian atau informan, yaitu orang-orang yang dipilih untuk diwawancarai atau diobservasi sesuai tujuan riset.Disebut subjek riset bukan objek karena informan dianggap aktif mengkonstruksi realitas, bukan sekadar objek yang hanya mengisi kuesioner (Kriyantono, 2006: 161).

Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah surat kabar PandjiRa’jat.

III.3.1 Pandji Ra’jat

PandjiRa’jat adalah suratkabar yang terbit pertama kali pada 15 November 1945. Awalnya,suratkabar yang terletak di Jalan Gambir No. 9, Jakarta, ini terbit sekali dalam sepekan, yakni hari Kamis. Namun sejak 18 Juni 1946, suratkabar ini terbit dua kali dalam seminggu yaitu hari Selasa dan Jumat.Pandji Ra’jat terbit dengan empat halaman dan beberapa rubrik dalam dan luar negeri.

Pada edisi 15 November 1946, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang pertama, Pandji Ra’jat menyisihkan satu halaman untuk menceritakan

perjuangannya untuk tetap bertahan sebagai media yang menjalankan fungsi jurnalistik dengan baik: Pada awalnya, Pandji Ra’jat terbit dengan 1000

eksemplar dan hanya dapat mensirklasikannya di lingkungan masyarakat yang kecil. Tapi seiring berjalannya waktu jumlahnya bertambah karena ketetapan hati semua karyawan serta perhatian dan minat para pembaca sehingga Pandji Ra’jat dapat menerbitkan sebanyak 20.000 eksemplar dan tersebar di seluruh Indonesia (di tempat yang dapat dikunjungi), serta di Malaya, Siam, Indo Cina, Australia, Arabia, serta ke Negeri Belanda.

(41)

Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan model analisis milik Gamson dan Modigliani. Analisis framing yang dikembangkan Gamson dan

[image:41.595.145.516.348.616.2]

Modigliani memahami media sebagai satu gagasan interpretasi (interpretative package) saat mengkonstruksi dan memberi makna pada suatu isu.Model ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media seperti berita dan artikel terdiri atas interpretative package yang mengandung konstruksi makna tertentu. Di dalam package ini terdapat dua struktur yaitu Core Frame dan Condensing Symbols. Berikut adalah model analisis framing Gamson dan Modigliani:

Gambar 5

Analisis Framing Model Gamson dan Modigliani

(Sumber: Sobur, 2001: 177)

Dalam buku Alex Sobur berjudul Analisis Teks Media Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing (2001) dijelaskan bahwa core frame (gagasan sentral) pada dasarnya berisi elemen-elemen inti untuk

CONDENSINGSYMBOL

FRAMING DEVICES REASONING DEVICES

1. Metaphors 2. Exemplars 3. Catchphrases 4. Depiction 5. Visual Image

1. Roots

2. Appeal to Principle 3. Consequence MEDIA PACKAGE

(42)

memberikan pengertian yang relevan terhadap peristiwa dan mengarahkan makna isu yang dibangun condensing symbol (simbol yang dimampatkan).

Condensingsymboladalah hasil pencermatan terhadap interaksi perangkat simbolik (framing device dan reasoning devices) sebagai dasar digunakannya perspektif simbol dalam wacana terlihat transparan apabila dalam dirinya terdapat perangkat bermakna yang mampu berperan sebagai panduan untuk menggantikannya sebagai panduan untuk menggantikannya sesuatu yang lain.

Struktur framing mencakup metaphors, exemplars, catchphrases, depiction dan visual images.Struktur ini menekankan aspek bagaimana melihat suatu isu.Metaphors diartikan sebagai cara memindahkan makna dengan menghubungkan dua fakta melalui analog atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana.

Exemplars mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu sisi memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan acuan.Posisinya menjadi pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif.

Chachphrases Bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang merujuk pemikiran atau semangat tertentu. Dalam teks berita, catchphrases mewujud dalam bentuk jargon, slogan, atau semboyan.

Depiction Penggambaran fakta dengan memakai istilah, kata, kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu. Asumsinya, pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik. Depictions dapat berbentuk

stigmatisasi, eufemisme, serta akronimisasi.

VisualImages adalah pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun, dan sejenisnya untuk menekspresikan kesan, misalnya perhatian atau penolakan, dibesarkan-dikecilkan, ditebalkan atau dimiringkan, serta pemakaian warna.Visual images bersifat sangat natural, sangat mewakili realitas yang membuat erat muatan ideologi pesan dengan khalayak.

(43)

Tujuannya adalah membenarkan penyimpulan fakta berdasarkan hubungan sebab-akibat yang digambarkan.

Appeal to principle adalah pemikiran prinsip yang digunakan sebagai argumentasi pembenaran membangun berita berupa pepatah, cerita rakyat atau mitos. Tujuannya adalah membuat khalayak tak berdaya menyanggah argumentasi.Fokusnya, memanipulasi emosi agar mengarah ke sifat, waktu, tempat, cara tertentu, serta membuatnya tertutup/keras dari bentuk penalaran lain.Sementara consequences adalah efek atau konsekuensi yang didapat dari bingkai.

III.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Studi Kepustakaan (Library Research)

Yaitu dengan cara mengumpulkan semua data yang berasal dari literatur serta bahan bacaan yang relevan dengan penelitian ini. Dalam hal ini penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara membaca buku-buku, literatur serta tulisan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Taman Baca Masyarakat Luckman Sinar yang terletak di Jalan Abdullah Lubis adalah salah satu tempat yang menyediakan banyak bahan bacaan mengenai sejarah Sumatera Utara, khususnya Melayu.

2. Studi Dokumen (Document Research)

Yaitu mengumpulkan data berupa berita-berita mengenai rakyat Melayu saat Revolusi Sosial di Sumatera Timur. Studi dokumen akan menghasilkan beberapa teks tentang rakyat Melayu saat Revolusi Sosial di Sumatera Timur sejak Maret 1946 sampai Desember 1948.

3. Keabsahan Data

Untuk Keabsahan data, maka semua berita yang menjadi objek penelitian ini akan dilampirkan.

(44)

Penelitian ini akan memusatkan pada penelitian kualitatif dengan perangkat metode analisis isi kualitatif menggunakan analisis framing dengan

memilih Gamson dan Modigliani sebagai pisau analisis.

Analisis framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami media sebagai satu gagasan interpretasi (interpretative package) saat mengkonstruksi dan memberi makna pada isu.Model ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media seperti berita dan artikel terdiri atas interpretative package yang mengandung konstruksi makna tertentu. Di dalam package ini terdapat dua struktur yaitu Core Frame dan Condensing Symbols.

Core frame(gagasan sentral) pada dasarnya berisi elemen-elemen inti untuk memberikan pengertian yang relevan terhadap peristiwa dan mengarahkan makna isu yang dibangun condensing symbol. Condensing symbol (simbol yang dimampatkan) adalah hasil pencermatan terhadap interaksi perangkat simbolik (framing device dan reasoning devices) sebagai dasar digunakan perspektif simbol dalam wacana terlihat wacana transparan apabila dalam dirinya terdapat perangkat bermakna yang mampu berperan sebagai panduan untuk menggantikannya sesuatu yang lain.

Untuk itu, penulis nantinya akan melampirkan seluruh berita yang berkaitan dengan Melayu saat terjadinya Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang kemudian dianalisis satu persatu dengan menggunakan perangkat framing

(45)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teks terkait rakyat Melayu di Langkat saat Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang dimuat oleh surat kabar Panyi Ra’jat akan dianalisis menggunakan analisis framing dengan merujuk pada konsep Gamson dan Modigliani. Dalam konsep ini, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana.

Dalam rentang waktu dari tahun 1945 sampai 1948, penulis menemukan tiga teks yang berkaitan dengan Revolusi Sosial Sumatera Timur, masing-masing terbit pada 25 Juni 1946, 2 September 1947, dan 22 agustus 1947. Ketiga teks merupakan laporan panyang.

(46)

IV.1 Analisis

Teks 1

Judul : Evolusi dan Revolusi dalam Praktijk

Terbit : Selasa, 25 Juni 1946, halaman 2

Media : Pandji Ra’jat

Analisis :

Framing Devices: Metaphors

Dalam berita ini, tulisan dibuka dengan definisi evolusi dan revolusi sebagai perbandingan dari suatu perubahan sosial, metaphors-nya sendiri terletak pada kalimat ke dua.Metaphors diartikan sebagai cara memindahkan makna dengan menghubungkan dua fakta melalui analog atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana.

Kalau aliran evolutie, selamanja menoentoet perobahan dengan djalan damai dan perlahan, tetapi adalah aliran revolutie meminta perobahan dengan tepat dan segera, bahkan djika peerloe dengan darah dan djiwa.

Penulis menjadikan kata ‘kalau’ sebagai penjelas dari dampak evolusi sebelum kemudian menjelaskan dampak dari revolusi.Di sini penulis mengatakan bahwa revolusi menginginkan perubahan suatu daerah secara cepat, bahkan bila perlu dengan melakukan kekerasan.

Catchphrases

Catsphrasesmerupakan bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang merujuk pemikiran atau semangat tertentu.Jika dalam teks berita, catchphrases mewujud dalam bentuk jargon, slogan, atau semboyan.Penulis memaparkan pada paragraf ke empat.

(47)

Pada paragraf tersebut penulis ingin mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa Timur yang tidak cocok menerapkan sistem revolusi.Rakyat Indonesia dianggap lebih humanis, tidak mementingkan akal saja, melainkan juga hati.Seperti itulah Indonesia yang ingin disampaikan penulis.

Exemplar

Karena berita ini lebih banyak berisi mengenai pandangan penulis terhadap fakta, maka hanya ditemukan satu exemplar.Exemplar diartikan sebagai

mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu sisi memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan acuan.Posisinya menjadi pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif.

Apa jang kedjadian-kedjadian pada keradjaan-keradjaan Solo, Medan, Serdang, Langkat dan lain-lain: banjak diantara radja-radjanja jang didjatoehkan dan diboenoeh, banjak orang mengira bahwa hal itoe adalah hasil-hasil revolutie ra’jat.

Kalimat tersebut menjadi sebuah pembenaran oleh penulis terhadap peristiwa revolusi sosial yang terjadi di Indonesia. Penulis mengatakan bahwa banyak orang yang mengira bahwa pembunuhan terhadap raja-raja terjadi karena revolusi rakyat.Jika disimak lebih dalam, penulis ingin menyampaikan bahwa yang terjadi adalah revolusi atas keinginan pemerintah Republik, bukan rakyat.Hal tersebut dijelaskan pada kalimat selanjutnya.

Dengan tidak mengetjilkan arti propaganda itoe, kita jakin bahwa kedjadian-kedjadian atas paksaan kepada radja-radja dan dilepasnja mereka itoe dari djabatannja, ra’jat banjak tentoe tidak mengetahoei sebab jang sebenarnja dan sama sekali mereka tentoe tidak akan mengira bahwa itoe hasil dari revolutie sosial jang tidak tidak dikenalnja itoe.

Depiction

(48)

Bangsa Timur, ialah bangsa yang melahirkan Nabi-nabi dan Achli-achli filsafat kebatinan yang selamanya menuntut ketenteraman alam maja yang lahir, sehingga cocok dengan tuntutan jiwa batinnya yang tenang dan aman itu.

Kiasan ‘nabi-nabi dan ahli-ahli filsafat kebatinan’ dalam kalimat ini digunakan penulis untuk menunjukkan bahwa bukan cara rakyat Indonesia melakukan perubahan dengan cara kekerasan seperti revolusi sosial. Nabi dan ahli filsafat kebatinan yang dimaksud bisa berupa ‘orang suci’.

Visual Image

Visual Image adalah pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun, dan sejenisnya untuk menekspresikan kesan, misalnya perhatian atau penolakan, dibesarkan-dikecilkan, ditebalkan atau dimiringkan, serta pemakaian warna.Visual images bersifat sangat natural, sangat mewakili realitas yang membuat erat muatan ideologi pesan dengan khalayak. Pada berita ini visual imagetidak ditemukan.

Reasoning Devices:

Roots

Roots adalah pembenaran isu dengan menghubungkan suatu objek atau lebih yang dianggap menjadi sebab timbulnya atau terjadinya hal yang lain. Tujuannya adalah membenarkan penyimpulan fakta berdasarkan hubungan sebab-akibat yang digambarkan. Pada berita ini terdapat beberapa roots yang menjadi

aspek pembenaran terhadap isu.

Gandhi tetap berpegang kepada djiwa dan semangat Timoernja, ja’ni dengan tidak membenarkan tjara perdjoeangannja dimasoeki oleh aliran kekerasan, tegasnja aliran revolutie jang bersifat kedjam, bersifat meroesak, jang njata-njata boekan watak dan djiwa Timoer asli.

(49)

Kalau memperhatikan tjintanja mereka kepada radja-radjanja diwaktoe dahoeloe, soenggoeh tidak dapat dibenarkan akan semoeanja itoe kehendak-kehendak hati ra’jat banjak sendiri.

Kalimat tersebut ingin menyalahkan pendapat mengenai revolusi sosial yang dianggap terjadi atas keinginan rakyat sendiri, itulah sebabnya penulis menggunakan kata ‘sungguh tidak dapat dibenarkan’ sebagai pendapat lain tentang penyebab revolusi sosial yang terjadi.

Radja-radja dan tanah keradjaan tidak perloe dihapoeskan, djika sosoenan democratie jang toelen dapat didjalankan.Penoempahan darah jang tidak bergoena dapat disingkirkan, begitupoen ketetapan radja-radja dalam djabatannja dapatlah diteroeskan, djika tjara menoentoet peroebahan dapat didjalankan dengan evolutie, menoeroet kodtratnja alam.

Pada kalimat tersebut penulis berusaha memberi pemahaman bahwa sistem kerajaan tidak perlu dihapuskan jika sistem demokrasi dijalankan dengan benar, artinya para raja tetap menjalin hubungan kerja sama dengan pemerintah Republik`dalam menjalankan sistem pemerintahan. Jika akan melakukan perubahan pun, evolusi adalah caranya, seperti itulah yang diterangkan penulis. Hal tersebut juga dijelaskan di kalimat selanjutnya:

Hanya aliran evolusi yang bersifat aman dan damai, itulah yang menyadi jiwa asli ra’jat Indonesia.

Kalimat tersebut disampaikan penulis untuk meyakinkan pembaca bahwa evolusi merupakan proses perubahan yang damai, tidak sepert revolisi yang dapat

menimbulkan konflik, dan dianggap bukan tradisi masyarakat Indonesia.

Appeals to Principle

Appeals to Principle adalah pemikiran prinsip yang digunakan sebagai argumentasi pembenaran membangun berita berupa pepatah, cerita rakyat atau mitos.Tujuannya adalah membuat khalayak tak berdaya menyanggah argumentasi.Fokusnya, memanipulasi emosi agar mengarah ke sifat, waktu, tempat, cara tertentu, serta membuatnya tertutup/keras dari bentuk penalaran lain. Ada beberapa kalimat yang dianggap sebagai Appeals to Principleoleh penulis, diantaranya;

(50)

noesa dan bangsanja: tetapi dalam toentoetannja itoe, Gandhi tetap berpegang kepada djiwa dan semangat Timoernja

Dalam konteks ini, penulis menjadikan cerita Gandhi sebagai contoh perjuangan yang dianggap ‘murni’ tanpa menggunakan kekerasan, penulis mencoba membaw

Gambar

Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 5
+4

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yaitu yang berupa kliping teks berita pada pemberitaan kasus konflik sosial

Analisis framing membantu kita untuk mengetahui bagaimana realitas peristiwa yang sama itu dikemas secara berbeda oleh wartawan sehingga menghasilkan berita yang secara

Level yang pertama adalah analisis pada teks media. Analisis teks ini dilakukan untuk mencermati posisi berita juga sikap redaksional yang tercermin dalam

Berangkat dari sebuah polemik dan pro dan kontra terkait penerbitan buku serial yang berjudul Lebih Dekat dengan SBY, muncul sebuah keingintahuan dari peneliti untuk menganalisa

Menurut Matthew Kiern sebagaimana yang dikutip oleh Eriyanto (2001, 130), berita dalam media massa tidaklah dibentuk dalam ruang hampa tetapi di produksi dari ideologi

Hal ini terjadi karena basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, di mana media massa belum menjadi sebuah

Super Ball sama seperti Soccer Hot News yang berisi tentang berita khusus dunia sepak bola, tetapi perbedaannya adalah Super Ball lebih fokus pada informasi