DISTRIBUSI DAN HABITAT SURILI
Presbytis comata
DI
HUTAN CAMPURAN DI LUAR KAWASAN KONSERVASI
TOTO SUPARTONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Distribusi dan Habitat Surili Presbytis comata di Hutan Campuran di Luar Kawasan Konservasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Toto Supartono
TOTO SUPARTONO. Distribusi dan Habitat Surili Presbytis comata di Hutan Campuran di Luar Kawasan Konservasi. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO, AGUS HIKMAT, dan AGUS PRIYONO KARTONO
Surili merupakan salah satu spesies yang terancam punah dan diprioritaskan untuk dikonservasi. Keberadaan surili di luar kawasan konservasi yang pada umumnya didominasi hutan produksi belum banyak mendapatkan perhatian. Informasi populasi surili di luar kawasan konservasi sangat penting bagi pelestarian populasi. Penelitian telah dilakukan di dua blok hutan yang memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu blok hutan Bukit Pembarisan dan blok hutan Gunung Subang. Blok hutan Gunung Subang memiliki kualitas habitat yang lebih baik dibandingkan dengan blok hutan Bukit Pembarisan. Penelitian ini bertujuan menguraikan distribusi dan penggunaan tipe habitat, ukuran kelompok dan kepadatan populasi di dua blok hutan, kesamaan komunitas tumbuhan, efek tepi terhadap ukuran kelompok, faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi, dan adaptasi populasi. Pengumpulan data populasi menggunakan metode line transect
dan pengumpulan data tumbuhan menggunakan metode jalur. Analisis yang digunakan adalah deskriptif, uji beda nilai tengah untuk membandingkan parameter di dua habitat, dan regresi linier untuk mengidentifikasi pengaruh karakteristik habitat terhadap populasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi surili di Kabupaten Kuningan terdistribusi di 34 areal hutan. Populasi surili tidak hanya menempati areal yang berupa hutan alam, tetapi juga menempati areal yang berupa kebun campuran dan hutan tanaman termasuk daerah-daerah peralihan, seperti peralihan antara hutan alam dan kebun campuran. Selain di hutan yang jauh dari pemukiman, populasi surili juga dijumpai di hutan-hutan yang dekat dengan pemukiman. Meskipun dijumpai di beberapa tipe tutupan lahan, populasi surili lebih memilih daerah peralihan antara hutan alam dan kebun campuran.
komunitas yang relatif rendah yaitu 48.68% karena blok hutan Bukit Pembarisan sudah banyak mengalami konversi lahan menjadi hutan tanaman dan kebun campuran. Nilai masing-masing atribut vegetasi di blok hutan Gunung Subang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan di blok hutan Bukit Pembarisan, kecuali kepadatan pohon. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas habitat di Gunung Subang lebih tinggi dibandingkan di blok hutan Bukit Pembarisan. Penelitian juga mendapatkan hasil bahwa efek tepi tidak berpengaruh terhadap ukuran kelompok (R2 = 0.012; P = 0.491). Hal tersebut menunjukkan bahwa ukuran kelompok memberikan respon netral terhadap dampak yang ditimbulkan oleh efek tepi atau kelompok surili sudah beradaptasi terhadap efek tepi.
Faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi surili bervariasi di setiap blok hutan. Kepadatan populasi di blok hutan Bukit Pembarisan dipengaruhi oleh jumlah jenis pohon pakan (b1 = 3.41; P = 0.012) dan gangguan penebangan (b2 = -3.73; P = 0.035), sedangkan di blok hutan Gunung Subang dipengaruhi oleh kepadatan pohon berdiameter besar (b1 = 0.39; P = 0.044). Faktor yang mempengaruhi kepadatan kelompok di blok hutan gabungan hanya jumlah jenis pohon pakan (b1 = 2.32; P = 0.038).
Populasi surili di luar kawasan konservasi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya telah melakukan adaptasi yaitu menggunakan berbagai tipe tutupan lahan (sisa hutan alam, kebun campuran, dan hutan tanaman campuran yang didominasi pinus) sebagai bagian dari habitatnya. Kelompok surili menggunakan tipe tutupan tersebut untuk melakukan berbagai aktivitas terutama mencari sumber pakan. Bentuk adaptasi lainnya yang dilakukan oleh kelompok surili adalah memanfaatkan jenis tanaman budidaya sebagai sumber pakan. Kelompok surili juga memanfaatkan pohon yang berada di dekat pemukiman sebagai tempat tidur.
Hasil penelitian ini memiliki beberapa implikasi bagi konservasi populasi. Sisa hutan alam, kebun campuran, dan hutan tanaman campuran dapat berperan penting bagi konservasi populasi. Konservasi populasi surili di kebun campuran dan hutan tanaman di blok hutan Bukit Pembarisan dapat berupa pengkayaan jenis pohon pakan dan pengendalian gangguan terutama penebangan. Konservasi populasi di blok hutan Gunung Subang lebih menekankan pada kegiatan mempertahankan kondisi tutupan hutan. Jenis yang ditanam untuk kegiatan pengkayaan dapat berupa penanaman jenis-jenis pohon penghasil pakan dan buah yang bernilai ekonomi.
TOTO SUPARTONO. Distribution and Habitat of Grizzled Leaf Monkey
Presbytis comata at Mixed Forest Outside of Conservation Areas. Supervised by LILIK BUDI PRASETYO, AGUS HIKMAT, and AGUS PRIYONO KARTONO
Grizzled leaf monkey is an endangered species and become one of the priority species for conservation. The existence of grizzled outside of conservation areas that are generally dominated by forest production has not received much attention. The information for grizzled populations outside conservation areas are very important for the conservation of the population. Research has been conducted on two forest blocks with different characteristics, namely Bukit Pembarisan and Gunung Subang. This study was aimed to describe the distribution and use of habitat types, the group size and density of the population in two blocks of forest, plant community similarity, edge effects on the group size, factors affecting population density, and the adaptation of the population. The data was collected by using line transect method for population and quadrat method for vegetation. The analysis of the data were descriptive, different test to compare the mean of habitat atribute, and linear regression to identify the factors affecting population.
The results showed that the population of grizzled in Kuningan district was distributed in 34 forest areas. Grizzled leaf monkey population not only occupy an area that is a natural forest, but also mixed farms and plantations including the transition areas, such as between natural forest and mixed farms. Based on the distance from the settlements, the population of grizzled also was found in the forest areas adjacent to settlements. Though it was found in several types of land cover, population grizzled preferred the transition areas between the natural forest and mixed farms.
The group size obtained in this study varied. However, the average group size between Bukit Pembarisan (7.5 animals/group) and Gunung Subang (8.5 animals/group) forest block were not different (P = 0.296). The average size of the combined group of the two blocks was 7.9 animals/group. Density of groups and population between the Gunung Subang forest block and Bukit Pembarisan was not different significantly, respectively. Group density was 2.9 groups/km2 in Bukit Pembarisan and was 4.2 groups/km2 in Gunung Subang. The density of the combined group was 3.2 groups/km2. The population density was 22.6 animals/km2 in Bukit Pembarisan and was 33.9 animals/km2 in Gunung Subang. The combined population density was 26.3 animals/km2. Estimation of population size in the study areas was 4163 animals (approximately 2000 animals in Bukit Pembarisan and 2366 animals in Gunug Subang).
have adapted to the edge.
Factors affecting the density of grizzled population were vary at each location. The factors were the number of food tree species (b1 = 3.41; P = 0.012) and disturbance level (b2 = -3.73; P = 0.035) in Bukit Pembarisan forest block and density of large size trees (b1 = 0.39; P = 0.044) in the Gunung Subang forest block. Factors affecting the size of the group was limited to the number of food tree species (b1 = 2.323; P = 0.038) in a combined forest block.
Grizzled populations outside the conservation areas have adapted by using different types of land cover (the remaining natural forest, mixed farms and plantations dominated mixed pine) in order to survive as part of its habitat. Grizzled group used the cover types to perform various activities mainly looking for a source of feed. Other forms of adaptation performed by grizzled group was utilizing the plant species cultivated as a food source. Grizzled groups also utilize trees near settlements as sleeping tree.
The results of this study have several implications for the conservation of the population. Remaining natural forest, mixed farms and plantations can play an important role for the conservation of the population. Conservation of grizzled population on mixed farms and plantations in Bukit Pembarisan forest block may be enrichment of tree species and control logging disturbance. In the Gunung Subang forest block, conservation populations emphasis on maintaining forest cover from land conversion. The preferred species for enrichment may be planting of tree species producing food or fruit.
Keywords: conservation, forest production, grizzled leaf monkey, mixed farms,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutif sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
DISTRIBUSI DAN HABITAT SURILI
Presbytis comata
DI
HUTAN CAMPURAN DI LUAR KAWASAN KONSERVASI
TOTO SUPARTONO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Entang Iskandar MSc
(Pusat Studi Satwa Primata LPPM & PRM Institut Pertanian Bogor) 2. Prof Dr Ir M. Bismark
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi: 1. Dr Ir Entang Iskandar MSc
(Pusat Studi Satwa Primata LPPM & PRM Institut Pertanian Bogor) 2. Dr Ir Hendra Gunawan MSi
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Maret 2014 sampai April 2015 ini ialah habitat
dan populasi surili, dengan judul “Distribusi dan Habitat Surili Presbytis comata
di Hutan Campuran di Luar Kawasan Konservasi”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Praseyto MSc, Dr Ir Agus Hikmat MScFTrop, dan Dr Ir Agus Priyono Kartono MSi selaku komisi pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bimbingan; Dr Ir Burhanuddin Masy’ud MS atas masukannya pada saat prelim lisan, kolokium, ujian tertutup dan sidang promosi; dan Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud MS atas masukan pada saat prelim lisan. Selain itu, ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr Ir Entang Iskandar MS atas masukan dan kesediaannya menjadi dosen penguji luar komisi pembimbing pada prelim lisan dan ujian tertutup serta sidang promosi; Prof Dr Ir M. Bismark atas masukan dan kesediaannya menjadi dosen penguji luar komisi pembimbing pada ujian tertutup; dan Dr Ir Hendra Gunawan MSi atas masukan dan kesediaannya menjadi anggota komisi luar pada sidang promosi. Penulis tidak lupa berterima kasih kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten serta KPH Kuningan yang telah memberikan ijin penelitian di areal kerjanya; Dinas Kehutanan Kabupaten Kuningan yang telah memberikan ijin penelitian di hutan rakyat; Dirjen Dikti, Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang sudah memberikan bantuan dana dalam bentuk hibah doktor tahun anggaran 2015; Rektor dan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan serta rekan-rekan sejawat yang selalu mendukung dan mendorong untuk menyelesaikan studi; Bapak Dede Kosasih SHut MSi yang telah membantu pembuatan peta; rekan-rekan seperjuangan mahasiswa S3 Konservasi Biodiversitas Tropika 2011 dan angkatan lainnya atas masukan baik pada saat kolokium maupun seminar hasil; saudaraku Rohman, Sahman, Didi, dan Amir atas bantuannya dalam pengumpulan data lapangan; dan Pak Sofwan atas bantuan dan pelayanan administrasinya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang-orang yang sangat dicintai ayah, ibu dan ibu mertua, istri dan kedua putra/putriku serta seluruh keluarga, atas doa, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2016
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
Kerangka Pemikiran 4
Kebaruan 5
2 DISTRIBUSI SURILI DAN PENGGUNAAN HABITAT DI KABUPATEN KUNINGAN
Pendahuluan 6
Metode 7
Hasil 12
Pembahasan 14
Simpulan 19
3 UKURAN KELOMPOK DAN KEPADATAN POPULASI SURILI
Pendahuluan 20
Metode 20
Hasil 23
Pembahasan 25
Simpulan 30
4 KESAMAAN KOMUNITAS HABITAT SURILI
Pendahuluan 31
Metode 31
Hasil 33
Pembahasan 35
Simpulan 37
5 PENGARUH TEPI HUTAN TERHADAP UKURAN KELOMPOK SURILI
Pendahuluan 38
Metode 39
Hasil 40
Pembahasan 41
Pendahuluan 43
Metode 44
Hasil 47
Pembahasan 50
Simpulan 56
7 ADAPTASI SURILI DAN KETERSEDIAAN SUMBER DAYA DI HUTAN TERDEGRADASI
Pendahuluan 57
Metode 58
Hasil 59
Pembahasan 65
Simpulan 70
8 PEMBAHASAN UMUM ...
Populasi dan Habitat 71
Adaptasi Populasi 74
Konservasi Populasi 77
9 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 85
Saran 86
DAFTAR PUSTAKA 87
2.1 Kriteria yang diukur pada Metode Neu 10 2.2 Panjang jalur pengamatan, jumlah kelompok, dan indeks Neu
di setiap tipe vegetasi 14
3.1 Statistik deskriptif surili yang dijumpai di dalam dan luar jalur
di hutan produksi di Kabupaten Kuningan 24 3.2 Kepadatan kelompok, kepadatan populasi, total kelompok, dan total
populasi surili di blok hutan Bukit Pembarisan, Gunung Subang,
dan gabungan 24
4.1 Sepuluh jenis pohon yang memiliki kepadatan tertinggi di Bukit
Pembarisan dan Gunung Subang 34
4.2 Hasil uji Mann-Whitney untuk karakteristik-karakteristik vegetasi
antara Bukit Pembarisan dan Gunung Subang 35 6.1 Statistik deskriptif dan uji Kolmogorov-Smirnov untuk atribut habitat
dan lainnya di blok hutan Bukit Pembarisan, Gunung Subang, dan
gabungan dua blok di Kabupaten Kuningan 48 6.2 Faktor yang berpengaruh nyata terhadap kepadatan populasi surili
di blok hutan Bukit Pembarisan dan blok hutan gabungan 49 6.3 Hasil analisis faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi surili
menggunakan generalized linier model pada blok hutan Gunung Subang 49 6.4 Peubah yang dikeluarkan dari model untuk blok hutan Bukit Pembarisan,
dan gabungan blok hutan Bukit Pembarisan dan Gunung Subang 50 7.1 Frekuensi aktivitas makan, istirahat, berpindah di tiga tipe tutupan
lahan 60
7.2 Jenis pohon yang dimakan kelompok surili 61 7.3 Kepadatan pohon pakan, frekuensi perjumpaan, nilai Chi-square
dan indeks Neu jenis-jenis pohon yang dimakan kelompok surili 62 7.4 Daftar sepuluh jenis tumbuhan/pohon terbanyak yang digunakan
untuk istirahat oleh surili di hutan alam dan kebun campuran 63 7.5 Karakteristik vegetasi di sisa hutan alam, kebun campuran,
dan hutan pinus di Blok Hutan Tundagan, Kecamatan Hantara
Kabupaten Kuningan 63
7.6 Sepuluh jenis pohon termasuk aren yang memiliki kepadatan paling
Tinggi di masing-masing tipe tutupan hutan 64
DAFTAR GAMBAR
1.1 Kerangka pemikiran penelitian 5
2.1 Distribusi populasi surili di luar kawasan konservasi di
Kabupaten Kuningan 11
4.1 Desain petak contoh pengamatan vegetasi dengan menggunakan
metode jalur 32
5.1 Distribusi ukuran kelompok di masing-masing jarak lokasi
perjumpaan dari tepi hutan 41
7.1 Pendugaan wilayah jelajah kelompok surili di areal hutan Desa Tundagan, Kecamatan Hantara, Kabupaten Kuningan 60
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis pohon yang dijumpai di blok hutan Bukit Pembarisan
dan Gunung Subang 100
Latar Belakang
Surili Presbytis comata Desmarest, 1822 merupakan satu dari 59 spesies primata Indonesia (Roos et al. 2014) dan digolongkan ke dalam primata paling terancam punah (Nijman 1997). Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1979 dan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 247/Kpts/Um/1979 telah menetapkan surili sebagai spesies dilindungi. Status perlindungan spesies tersebut ditegaskan kembali dalam Surat Keputuan Menteri Kehutanan Nomor 301/Kpts-II/1991 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. IUCN mengkategorikan surili sebagai endangered species sejak tahun 1988 (IUCN 2012) dan CITES memasukkannya ke dalam Appendiks II (CITES 2012). Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 2008 telah menetapkan surili sebagai salah satu spesies yang diprioritaskan untuk dikonservasi (Permenhut Nomor P.57/Menhut-II/2008) sebagaimana telah direkomendasikan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Eudey 1987, Harcourt & Park 2003).
Informasi yang lengkap mengenai distribusi populasi surili sangat diperlukan untuk memberikan gambaran keberadaan populasi yang lebih menyeluruh (Nijman 1997) dan untuk menentukan strategi konservasinya. Surili yang merupakan monyet pemakan daun (Ruhiyat 1983) memiliki penyebaran alami terbatas (Supriatna 2008). Spesies ini hanya berada di Pulau Jawa bagian barat (Kool 1992a) sehingga disebut juga sebagai spesies endemik Jawa Barat termasuk Banten. Penyebaran surili sebelumnya disebutkan hingga areal hutan yang berbatasan dengan Jawa Timur, tepatnya di Gunung Lawu (Nijman 1997). Namun, spesies yang tersebar di Jawa Tengah sudah dianggap sebagai spesies tersendiri, dengan nama Presbytis fredericae (Supriatna & Wahyono 2000) sehingga penyebaran alami surili menjadi terbatas di Pulau Jawa bagian barat.
Habitat utama surili adalah ekosistem hutan alam dataran rendah (Hoogerwerf 1970). Konversi hutan alam (Nijman 1997) mengakibatkan habitat surili menyempit dan tersisa sekitar 4% atau sekitar 1608 km2 (MacKinnon 1987). Ekosistem hutan alam yang tersisa pada umumnya berupa hutan pegunungan sehingga populasi surili menjadi lebih banyak dijumpai di ekosistem hutan perbukitan sampai pengunungan dengan ketinggian hingga 2500 mdpl (Nijman 1997). Hutan pegunungan yang menjadi habitat penyebaran surili di antaranya Taman Nasional (TN) Gunung Halimun (Kool 1992a, Tobing 1999, Farida & Harun 2000, Meyer et al. 2011) dan Gunung Salak (Siahaan 2002), TN Gunung Gede-Pangrango (Nijman 1997), TN Gunung Ciremai (Gunawan & Bismark 2007, Kartono et al. 2009, Supartono 2010), dan Cgar Alam Gunung Tukung Gede (Melish & Dirgayusa 1996). TN Ujung Kulon merupakan salah satu ekosistem hutan alam dataran rendah yang tersisa dan menjadi tempat penyebaran populasi surili (Heriyanto & Iskandar 2004).
individu (MacKinnon 1987) dan di hutan-hutan konservasi dengan luas 730 km2 diperkirakan 4000-6000 individu (Supriatna & Wahyono 2000). Populasi surili yang menempati hutan terganggu memiliki kepadatan lebih rendah dibandingkan dengan populasi yang menempati hutan tidak terganggu (Tobing 1999). Gangguan hutan seperti konversi mengakibatkan hutan alam menjadi fragment-fragment kecil dan terisolasi. Hutan-hutan yang terfragment-fragmentasi mengalami pengaruh efek tepi hingga beberapa meter ke arah dalam hutan dan pada akhirnya berdampak terhadap populasi primata (Fuller et al. 2009, Grow et al. 2013, Lenz
et al. 2014). Gangguan habitat juga sudah mendorong populasi primata untuk beradaptasi agar dapat bertahan hidup (Tutin 1999, Chapman et al. 2007). Adaptasi satwaliar dapat berupa adaptasi morfologi, fisiologi, dan perilaku (Mackenzie et al. 2001). Pengetahuan tentang populasi dan adaptasi juga sangat diperlukan dalam konservasi populasi.
Perumusan Masalah
Populasi surili tersebar di hutan-hutan yang saat ini pada umumnya berupa kawasan konservasi (Nijman 1997), tetapi di Kabupaten Kuningan tersebar juga di dua blok hutan di luar kawasan konservasi. Habitat utama surili adalah ekosistem hutan alam dataran rendah (Hoogerwerf 1970), tetapi blok hutan yang menjadi habitat surili di luar kawasan konservasi di Kabupaten Kuningan terdiri dari hutan alam, hutan tanaman, dan kebun campuran dengan proporsi yang berbeda. Blok pertama didominasi oleh hutan tanaman dan kebun campuran serta disebut blok Bukit Pembarisan. Blok kedua didominasi oleh hutan alam yang kondisinya lebih baik dibandingkan dengan Bukit Pembarisan dan disebut blok Gunung Subang. Selanjutnya, surili merupakan salah satu primata yang penakut terhadap kehadiran manusia (Ruhiyat 1983), tetapi surili di Kabupaten Kuningan menempati hutan-hutan di luar kawasan konservasi yang aktivitas manusianya lebih tinggi dibandingkan dengan di dalam kawasan konservasi. Fenomena-fenomena tersebut belum pernah diteliti, baik dari aspek habitat, populasi, maupun adaptasi perilaku. Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti terdahulu pada umumnya masih terbatas penelitian populasi dan habitat di hutan alam yang berupa kawasan konservasi (seperti Ruhiyat 1983, Tobing 1999, Melish & Dirgayusa 1996, Heriyanto & Iskandar 2004). Keterbatasan penelitian terhadap fenomena-fenomena tersebut telah memunculkan beberapa pertanyaan yang mendorong dilakukannya observasi lapangan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
1. Dimanakah dan tipe tutupan lahan apa saja yang menjadi tempat penyebaran surili di luar kawasan konservasi?
2. Adakah perbedaan ukuran kelompok dan kepadatan populasi surili antara blok hutan yang didominasi hutan tanaman dan kebun campuran dengan blok hutan yang didominasi hutan alam?
3. Seberapa besar tingkat kesamaan komunitas pohon antara blok hutan yang didominasi hutan tanaman dan kebun campuran dengan blok hutan yang didominasi hutan alam?
5. Peubah habitat apa yang berpengaruh terhadap kepadatan populasi surili di setiap blok hutan?
6. Bagaimana adaptasi kelompok surili yang menempati areal hutan yang didominasi oleh hutan tanaman dan kebun campuran?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengkaji distribusi dan habitat surili di hutan campuran di luar kawasan konservasi. Sesuai dengan pertanyaan penelitian pada perumusan masalah, tujuan penelitian dirinci menjadi beberapa tujuan khusus, yaitu mengkaji:
1. Distribusi surili berdasarkan tipe tutupan lahan di luar kawasan konservasi. 2. Ukuran kelompok dan populasi surili di luar kawasan konservasi.
3. Kesamaan komunitas habitat surili.
4. Pengaruh tepi hutan terhadap ukuran kelompok surili. 5. Faktor habitat penentu kepadatan populasi surili. 6. Adaptasi surili di hutan terdegradasi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memperkaya ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ekologi primata, khususnya ekologi surili di habitat terdegradasi atau sudah banyak mengalami modifikasi.
2. Bahan masukan dan pertimbangan bagi konservasi populasi surili di luar kawasan konservasi terutama areal hutan yang berfungsi produksi.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian didasarkan pada lokasi dan objek yang ditelitinya. Lokasi penelitian adalah hutan campuran yang terdiri dari hutan alam, hutan tanaman, dan kebun campuran di Kabupaten Kuningan. Hutan campuran tersebut dikelompokkan ke dalam dua blok hutan, yaitu blok hutan Bukit Pembarisan dan blok hutan Gunung Subang. Blok hutan Gunung Subang didominasi oleh hutan alam, sedangkan blok hutan Bukit Pembarisan didominasi oleh hutan tanaman dan kebun campuran. Penelitian ini dibatasi pada aspek ekologi dan tidak memasukan aspek sosial. Oleh karena itu, berdasarkan objek yang ditelitinya, penelitian mencakup populasi dan habitat surili. Peubah populasi dan peubah habitat yang akan diteliti dirinci di bagian metode dari setiap sub judul penelitian.
Kerangka Pemikiran
Kegiatan konversi dari sebagian besar hutan alam menjadi hutan tanaman dan hutan rakyat campuran dan peruntukan lainnya menyebabkan menurunnya kualitas hutan dan menyempitnya habitat alami. Perubahan tutupan hutan pada ekosistem hutan dataran rendah dan perbukitan mengakibatkan pergeseran distribusi populasi surili dan banyak dijumpai di ekosistem hutan sub pegunungan dan pegunungan (Nijman 1997) yang kondisinya masih relatif aman. Namun demikian, populasi surili di beberapa tempat di Kabupaten Kuningan masih bisa dijumpai di hutan tanaman, hutan rakyat campuran, dan sisa hutan alam yang relatif luas dan kontinyu.
Gangguan hutan juga akan berdampak terhadap ukuran kelompok. Populasi yang menempati hutan-hutan terganggu cenderung memiliki ukuran kelompok yang lebih kecil dan kepadatan yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan tidak terganggu (Tobing 1999). Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan kualitas habitat (Tobing 1999). Ketersediaan sumber pakan dapat menjadi salah satu indikator kualitas habitat (Arroyo-Rodriguez & Mandujano 2006, Wong et al. 2006). Habitat berkualitas tinggi memiliki ketersediaan pakan lebih banyak dibandingkan dengan habitat berkualitas rendah. Ketersediaan pakan juga berpengaruh terhadap ukuran kelompok (Matsumoto-Oda et al. 1988).
Selain terhadap populasi, kerusakan hutan juga berdampak terhadap kondisi komunitas tumbuhan. Hutan yang terdegradasi akan mengalami perubahan struktur dan komposisi vegetasi (Arroyo-Rodriguez & Mandujano 2006). Meskipun masih terdapat hutan alam yang tersisa, kegiatan konversi pada sebagian besar areal hutan alam akan menurunkan keanekaragaman tumbuhan di eksositem tersebut. Dengan demikian, kesamaan komunitas tumbuhan antara hutan terdegradasi dengan hutan alam akan rendah.
Kegiatan konversi dan gangguan lainnya yang mengakibatkan hutan terfragmentasi telah menciptakan ekoton dan terjadinya efek tepi. Efek tepi dapat terjadi hingga beberapa meter ke dalam hutan. Meskipun terdapat beberapa satwa yang diuntungkan dengan adanya efek tepi (Whittaker & Fernandez-Palacios 2007), tetapi efek tepi pada umumnya memberikan dampak negatif terhadap mahluk hidup (Benitez-Malvido & Arroyo-Rodriguez 2008). Tingkat gangguan di bagian tepi hutan menjadi lebih besar dibandingkan dengan di dalam hutan. Oleh karena itu, surili yang berada pada bagian eksterior hutan diduga akan memiliki ukuran kelompok yang lebih kecil dibandingkan dengan di bagian interior.
perilaku (Mackenzie et al. 2001). Oleh karena itu, kehadiran populasi surili di habitat yang sudah dimodifikasi juga diduga karena spesies tersebut sudah melakukan adaptasi. Kerangka pemikiran ini diringkas pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian
Kebaruan
Hasil penelitian terdahulu masih menyebutkan bahwa populasi surili terdistribusi di ekosistem hutan alam, terutama hutan pegunungan. Kebaruan yang diperoleh dari penelitian ini adalah adaptasi surili dan pengaruh efek tepi terhadap ukuran kelompok.
Konservasi Populasi Hutan
Tanaman Hutan Rakyat
Campuran Pemukiman
Ukuran Kelompok
Kepadatan Populasi Distribusi
Populasi Kualitas
Habitat
Penggunaan Ruang
Penebangan Pembangunan Jalan Efek
Tepi
Frgamentasi Hutan Alam
2 DISTRIBUSI SURILI DAN PENGGUNAAN HABITAT DI
KABUPATEN KUNINGAN
Pendahuluan
Surili dikategorikan ke dalam spesies very high conservationrating (Eudey 1987) karena kondisinya terancam punah akibat pengurangan sebagian besar (96%) habitat alaminya (MacKinnon 1987). Habitat utama surili adalah ekosistem hutan alam dataran rendah (Hoogerwerf 1970). Penyempitan hutan dataran rendah mengakibatkan populasi surili lebih banyak terdistribusi di hutan perbukitan dan pegunungan dengan ketinggian hingga 2500 mdpl (Nijman 1997) sehingga konservasi populasi juga banyak diprioritaskan di hutan pegunungan. Akan tetapi, upaya konservasi surili menghadapi beberapa kendala seperti masih terbatasnya informasi tentang distribusi populasi dari spesies tersebut (Supriatna
et al. 1994).
Peneliti terdahulu untuk mengetahui distribusi populasi surili telah melakukan beberapa penelitian. Nijman (1997) telah mengidentifikasi lokasi-lokasi yang menjadi habitat populasi surili di Pulau Jawa dan membuat peta distribusinya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa populasi surili terdistribusi di 34 areal hutan yang sebagian besar berada di Pulau Jawa bagian barat (mencakup Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten) dan beberapa lokasi berada di Provinsi Jawa Tengah (Nijman 1997). Mengingat spesies yang terdistribusi di Pulau Jawa bagian tengah sudah dianggap sebagai spesies tersendiri, yaitu Presbytis fredericae (Brandon-Jones 2004), lokasi penyebaran P. comata menjadi terbatas di Pulau Jawa bagian barat. Beberapa hasil penelitian terdahulu lainnya juga dapat menambah informasi tentang distribusi populasi surili di Jawa Barat (Farida & Harun 2000, Heriyanto & Iskandar 2004, Hidayat 2013, Ruhiyat 1983). Akan tetapi, penelitian-penelitian yang sudah dilakukan hanya menyediakan informasi distribusi surili di kawasan-kawasan konservasi yang tingkat keamanan dan kepastian kawasannya lebih terjamin. Pada kenyataannya, selain di dalam kawasan konservasi, populasi surili juga tersebar di luar kawasan konservasi.
Ketersediaan informasi mengenai distribusi populasi surili yang lebih rinci yang mencakup di dalam dan di luar kawasan konservasi di setiap wilayah sangat penting bagi konservasi populasi (Permenhut Nomor P.57/Menhut-II/2008). Informasi distribusi populasi yang lebih rinci sangat membantu untuk menentukan lokasi-lokasi yang perlu dikonservasi atau dipertahankan. Selain itu, konservasi populasi juga memerlukan informasi mengenai habitat yang dipilih oleh surili (Nijman 1997), tetapi informasi tersebut belum banyak diketahui (Supriatna et al. 1994).
Lokasi-lokasi tersebut berada di luar kawasan konservasi dan belum banyak diteliti, termasuk distribusi dan tipe tutupan lahan yang digunakan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian telah mengidentifikasi lokasi-lokasi di luar kawasan konservasi yang menjadi habitat surili di Kabupaten Kuningan. Secara spesifik, tujuan penelitian ini adalah mengkaji distribusi surili berdasarkan wilayah administrasi desa, jarak lokasi perjumpaan dengan kelompok terhadap pemukiman dan jalan raya terdekat, ketinggian tempat dari permukaan laut, dan mengkaji tipe habitat yang digunakan termasuk habitat yang dipilihnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam konservasi satwa liar, terutama surili, yang telah berkomitmen menjadi kabupaten konservasi.
Metode Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di areal hutan di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat, mulai Maret 2014 sampai April 2015. Kabupaten Kuningan memiliki curah hujan 1000-4000 mm/tahun (Bappeda Kab. Kuningan 2015), berada pada koordinat E 108o23’-108o47’ dan S 6o47’-7o12’, dan mendekati 50% dari luas wilayahnya berupa areal hutan. Total luas hutan di Kabupaten Kuningan sekitar 583.32 km2 yang terdiri dari: hutan produksi sekitar 256.44 km2, hutan konservasi sekitar 86.99 km2, dan hutan rakyat campuran sekitar 239.79 km2 (www.kuningankab.go.id). Lokasi penelitian berada di luar kawasan konservasi, meskipun Kabupaten Kuningan juga memiliki kawasan konservasi yang berupa TN Gunung Ciremai yang menjadi tempat penyebaran surili (Nijman 1997, Kartono et al. 2009). Lokasi penelitian merupakan dua blok hutan dengan karakteristik yang berbeda. Blok tersebut adalah blok hutan Gunung Subang dan blok hutan Bukit Pembarisan.
menurut peta tutupan lahan tahun 2011 memiliki luas hutan sekitar 266.47 km2 (www.menlhk.go.id).
Sebagaimana blok hutan Gunung Subang, blok hutan Bukit Pembarisan juga terdiri dari hutan alam, hutan tanaman, dan hutan rakyat campuran, tetapi tutupan yang mendominasinya adalah gabungan hutan tanaman dan hutan rakyat campuran. Hutan alam di blok ini tersebar secara acak, pada umumnya sempit dan berada di bagian punggung perbukitan, dan memiliki topografi yang curam dan sangat curam. Hutan tanaman didominasi tegakan pinus yang sudah tua (meskipun di beberapa tempat terdapat tegakan mahoni, jati, dan sonokeling) dan memiliki areal yang cukup luas. Hutan rakyat campuran pada umumnya memanjang dan tipis dengan lebar yang bervariasi, berada di tanah milik, di bagian dalam berbatasan dengan hutan tanaman atau hutan alam dan di bagian luar umumnya berbatasan dengan areal pertanian (sawah) atau pemukiman. Hutan tanaman dan hutan alam juga berada di tanah negara, dikelola oleh Perum Perhutani, dan berfungsi sebagai areal hutan produksi. Khusus untuk sisa-sisa hutan alam, Perhutani menjadikannya sebagai kawasan perlindungan setempat. Hutan tanaman yang didominasi pinus di beberapa tempat (seperti daerah Cikondang dan Tundagan) juga masih disadap getahnya. Bagian bawah hutan pinus di beberapa tempat ditanami kopi yang sudah memproduksi buah. Blok hutan Bukit Pembarisan berada di bagian selatan yang memanjang barat ke timur dan menurut peta tutupan lahan tahun 2011 memiliki luas hutan sekitar 452.57 km2 (www.menlhk.go.id).
Blok hutan Gunung Subang memiliki kondisi tutupan yang lebih baik dibandingkan dengan blok hutan Bukit Pembarisan. Hal tersebut karena blok hutan Gunung Subang didominasi oleh hutan alam sedangkan blok hutan Bukit Pembarisan didominasi oleh hutan tanaman dan hutan rakyat campuran. Selain itu, aktifitas manusia di blok hutan Gunung Subang lebih rendah dibandingkan dengan di blok hutan Bukit Pembarisan karena blok hutan Bukit Pembarisan pada umumnya berdekatan (di beberapa tempat berbatasan) dengan pemukiman. Hutan rakyat campuran, baik yang berada di blok hutan Gunung Subang maupun Bukit Pembarisan, disebut juga sebagai kebun campuran karena di dalamnya ditanami berbagai jenis kayu komersial dan tanaman penghasil buah (Prasetyo et al. 2012). Jenis-jenis yang umum dijumpai di kebun campuran adalah sengon
Paraserianthes falcataria, mahoni Swietenia mahagoni, jabon Anthocepalus cadamba, jati Tectona grandis, mangga Mangifera indica, petai Parkia speciosa, kelapa Cocos nucifera, nangka Artocarpus heterophyllus, dan melinjo Gnetum gnemon (Prasetyo et al. 2012). Oleh karena itu, hutan rakyat campuran yang menjadi lokasi penelitian ini selanjutnya akan disebut sebagai kebun campuran.
Pengumpulan data
informasi yang diberikan oleh penduduk akurat atau tidak tertukar dengan jenis primata lain yang ada di Kabupaten Kuningan (monyet ekor panjang Macaca fascicularis dan lutung Trachypithecus mauritius) ketika diwawancara.
Tahap kedua adalah mendatangi kembali desa-desa yang berdasarkan hasil tahap pertama terdapat populasi surili, kemudian memasuki areal hutan dan membuat jalur pengamatan populasi. Peneliti pada tahap ini menelusuri transek baik yang berupa jalan setapak atau jalan yang dibuat secara sengaja untuk pengamatan populasi. Total panjang jalur pengamatan di setiap areal hutan adalah 5-6 km dan panjang setiap jalurnya adalah 0.5-3 km. Panjang masing-masing jalur pengamatan tergantung pada lebar dan luas blok hutan. Panjang jalur pengamatan diukur menggunakan hipchain. Penempatan jalur di setiap areal hutan tidak dilakukan secara acak, melainkan mengikuti penyebaran hutan dan tipe tutupannya serta mempertimbangkan aksesibilitas. Areal hutan yang menjadi lokasi penelitian banyak terdapat jurang dan memiliki topografi yang sangat curam sehingga penempatan jalur sulit dilakukan secara acak dan sistematis pada setiap areal hutan. Penelitian ini mencatat tipe tutupan lahan setiap 100 meter di sepanjang jalur pengamatan untuk mendapatkan proporsi tipe tutupan lahan sepanjang jalur yang dilalui (Morgan et al. 2006). Pengelompokkan tipe tutupan hutan didasarkan pada jenis-jenis tumbuhan terutama pohon yang ada. Tipe tutupan juga dikoreksi kembali ketika data tumbuhan hasil survey vegetasi pada penelitian untuk tujuan berikutnya sudah terkumpul.
Tipe tutupan lahan telah dikelompokkan ke dalam hutan alam, kebun campuran, hutan tanaman (hutan pinus, hutan jati, hutan mahoni, hutan sonokeling), daerah peralihan antara hutan alam dengan kebun campuran, dan daerah peralihan antara hutan pinus (1) dengan hutan alam dan (2) dengan kebun campuran. Tipe tutupan dikategorikan sebagai hutan alam jika semua jenis tumbuhan yang berada di sekitar titik pengamatan adalah jenis pohon alami. Tipe tutupan dikategorikan sebagai kebun campuran jika jenis-jenisnya terdiri dari pohon-pohon penghasil kayu dan buah (Prasetyo et al. 2012). Tipe tutupan dikategorikan sebagai hutan pinus, hutan jati, hutan mahoni, dan hutan sonokeling jika jenis pohon di sekitar titik pengamatan ditumbuhi oleh masing-masing jenis tersebut. Tipe tutupan dikategorikan sebagai peralihan antara hutan alam dengan kebun campuran jika pohon-pohon di sekitar titik pengamatan terdiri dari jenis alami dan jenis-jenis budidaya, tetapi di luar jenis-jenis hutan tanaman. Tipe tutupan dikategorikan sebagai daerah peralihan antara hutan pinus dengan hutan alam atau kebun campuran jika pohon-pohon di sekitar titik pengamatan terdiri dari jenis pinus dan jenis-jenis alami atau jenis-jenis budidaya. Penelitian ini juga mengkategorikan tutupan lainnya yang berupa (1) kebun kopi jika tumbuhan di sekitar titik pengamatan terdiri dari tanaman kopi dan (2) semak belukar jika terdiri dari belukar dan tumbuhan bawah.
Data yang dicatat ketika peneliti menjumpai kelompok surili dalam jalur pengamatan adalah koordinat lokasi perjumpaan (menggunakan GPSmap 62sc), tipe tutupan lahan, dan aktivitas. Pengamatan pada umumnya dimulai pukul 06.00 sampai 11.00. Akan tetapi, pengamatan populasi ditunda untuk sementara pada saat hujan dan dimulai/dilanjutkan ketika hujan sudah reda.
perangkat Google Earth, kemudian mengukur jaraknya terhadap pemukiman dan jalan raya terdekat yang terlihat di dalam peta. Data distribusi berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut juga diperoleh dengan cara mengamati koordinat setiap titik perjumpaan dengan surili yang sudah dimasukan dalam peta
Google Earth sehingga diperoleh data ketinggian.
Analisis data
Gambaran distribusi kelompok surili berdasarkan wilayah administrasi desa diperoleh dengan cara memetakan koordinat lokasi perjumpaan dengan surili pada peta administrasi desa yang digabungkan dengan peta tipe tutupan lahan. Distribusi kelompok pada berbagai jarak dari pemukiman dan jalan raya terdekat, dan pada berbagai ketinggian tempat dari permukaan laut dianalisis secara deskriptif (rata-rata dan simpangan baku). Uji koefisien korelasi Pearson telah digunakan untuk menduga adanya hubungan antara jarak dari titik kelompok yang dijumpai ke pemukiman terdekat dengan jarak dari titik kelompok yang dijumpai ke jalan raya terdekat. Tingkat signifikansi yang digunakan adalah 0.05.
Uji Chi-square telah digunakan untuk mengidentifikasi apakah nilai hasil observasi proporsional terhadap sumberdaya yang tersedia di masing-masing tipe (Neu et al. 1974). Peubah yang dijadikan sebagai sumberdaya yang tersedia adalah total panjang jalur di setiap tipe tutupan lahan, sedangkan peubah yang dijadikan sebagai nilai hasil observasi adalah total kelompok yang dijumpai (Tabel 2.1). Hipotesis yang digunakan adalah:
Ho = semua tipe tutupan hutan yang digunakan proporsional terhadap sumberdaya yang tersedia (tidak ada pemilihan terhadap suatu tipe tutupan);
H1 = tidak semua tipe tutupan yang digunakan proporsional terhadap sumberdaya yang tersedia (ada pemilihan terhadap suatu tipe tutupan). Keputusan yang diambil adalah sebagai berikut:
Jika λ2hit > λ2(0.05; k-1), maka tolak Ho artinya terdapat pemilihan terhadap tipe tutupan
Jika λ2hit ≤ λ2(0.05; k-1), maka terima Ho artinya tidak terdapat pemilihan terhadap tipe tutupan
Tabel 2.1 Kriteria yang diukur pada metode Neu
Tipe
Tutupan a p n u E (O-E)
2/E w
1 a1 p1 n1 u1 e1 (O1-E1)2/E1 w1 2 a2 p2 n2 u2 e2 (O2-E2)2/E2 w2 ...
K ak pk nk uk ek (Ok-Ek)2/Ek wk
Total Σai 1.00 Σni 1.00 λ2 Σwi
Keterangan: a = panjang jalur pengamatan (km); p = proporsi panjang jalur; n = jumlah kelompok surili yang dijumpai (kelompok); u = proporsi kelompok surili yang dijumpai; dan w = indeks pemilihan habitat (ui/pi)
yang tersedia (availability), sebaliknya indeks seleksi < 1 menandakan tipe tutupan yang bersangkutan tidak dipilih (Bibby et al. 1998).
Hasil Distribusi Spasial
Penelitian telah mengumpulkan informasi dari para penduduk di desa-desa yang berdasarkan tutupan lahannya diindikasikan terdapat populasi surili untuk mendapatkan gambaran distribusi populasi di Kabupaten Kuningan. Penelitian dengan menggunakan metode tersebut telah mendapatkan 34 desa yang areal hutannya menjadi tempat penyebaran populasi surili (Gambar 2.1). Selanjutnya, survey lapangan sudah dilakukan dengan cara menelusuri jalur baik yang berupa jalan setapak maupun jalur yang sengaja dibuat. Hal tersebut dilakukan untuk melihat secara langsung keberadaan populasi surili. Kelompok surili dengan menggunakan metode tersebut telah dijumpai secara langsung di 31 lokasi (Gambar 2.1). Penggalian informasi ulang juga dilakukan kepada para penduduk setempat karena terdapat 3 dari 34 desa yang tidak dijumpai adanya kelompok surili. Para penduduk berdasarkan hasil wawancara ulang tetap memberikan informasi bahwa surili di ketiga lokasi tersebut benar-benar ada.
Gambar 2.2 Distribusi populasi surili berdasarkan jarak dari titik perjumpaan kelompok ke pemukiman dan jalan raya terdekat
Jarak Perjumpaan dari Pemukiman dan Jalan Raya Terdekat
Pengukuran sudah dilakukan untuk mengetahui jarak dari titik lokasi perjumpaan kelompok surili ke: a) lokasi pemukiman terdekat dan b) jalan raya terdekat. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kelompok surili dijumpai mulai jarak 9.32 sampai 3022.23 meter (�̅ = 1002.08; n = 92; SD = 604.56) untuk jarak ke pemukiman terdekat dan mulai 3.24 sampai 3104.26 meter (�̅ = 984.09; n = 92; SD = 667.02) untuk jarak ke jalan raya terdekat. Jarak dari titik perjumpaan kelompok surili ke pemukiman terdekat dan ke jalan raya terdekat berkorelasi nyata (r = 0.963 ; n = 92; p = 0.000). Jarak dibagi ke dalam enam kelas (Gambar 2.2) untuk mengetahui distribusi kelompok berdasarkan jarak dari titik perjumpaan ke pemukiman terdekat dan jalan raya terdekat. Jumlah kelompok yang dijumpai proporsional dengan jumlah jalur (λ2 = 6.251; df = 4; p > 0.05
0 5 10 15 20 25 30 35
0-499 500-999 1000-1499 1500-1999 2000-2499 >2500
Juml
ah
P
er
jumpaan
(group)
Jarak (meter)
untuk jarak jalur ke pemukiman terdekat dan λ2 = 4.663; df = 4; p > 0.05 untuk jarak jalur ke jalan raya terdekat). Hasil ini menandakan bahwa jumlah kelompok yang dijumpai tergantung pada jumlah jalur pengamatan. Selanjutnya, melalui uji Kruskalls Wallis, rata-rata panjang jalur antar setiap kelas jarak tidak berbeda nyata (jalur ke pemukiman terdekat: λ2 = 2.584; df = 4; p = 0.630, dan jalur ke jalan raya terdekat: λ2 = 2.217; df = 4; p = 0.696).
Ketinggian Tempat
Penelitian telah mengidentifikasi ketinggian lokasi di setiap titik perjumpaan dengan kelompok surili untuk mengetahui distribusi kelompok berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok surili dijumpai mulai ketinggian 255 sampai 1254 mdpl (�̅ = 671.78; n = 92; SD = 187.92), atau mulai ekosistem hutan dataran rendah sampai perbukitan. Kelompok surili banyak dijumpai pada ketinggian 400-1000 mdpl, dan sedikit dijumpai pada ketinggian di bawah 400 mdpl atau di atas 1000 mdpl (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Distribusi surili berdasarkan ketinggian lokasi titik perjumpaan kelompok
Tipe Tutupan Lahan
Penelitian in juga mencatat tipe tutupan lahan di setiap titik perjumpaan dengan kelompok surili. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa tipe tutupan lahan yang menjadi lokasi perjumpaan surili adalah hutan alam, kebun campuran, hutan tanaman, daerah peralihan antara hutan alam dengan kebun campuran, dan daerah peralihan antara hutan pinus dengan hutan alam dan kebun campuran (Tabel 2.2). Penelitian ini tidak menjumpai kelompok surili berada di kebun kopi dan semak belukar (Tabel 2.2).
0 5 10 15 20 25 30 35
200-399 400-600 600-799 800-999 1000-1199 >1200
Juml
ah
P
er
jumpaan
(group)
Tabel 2.2 Panjang jalur pengamatan, jumlah kelompok, dan indeks Neu di setiap tipe vegetasi
Tipe Vegetasi (1) (2) (3) (4) (5) (O-E)
2/ (E) Neu Hutan alam (HA) 60.30 33.30 47 51.10 30.616 8.768 1.535 Kebun campuran
(KC) 71.90 39.70 22 23.90 36.506 5.764 0.603
Hutan tanaman
- Hutan pinus 11.30 6.20 1 1.10 5.737 3.912 0.174
- Hutan jati, mahoni, dan sonokeling
7.60 4.20 2 2.20 3.859 0.895 0.518
Daerah peralihan
- HA ke KC 14.70 8.10 15 16.30 7.464 7.610 2.010
- Hutan pinus ke
HA&KC 11.80 6.50 5 5.40 5.991 0.164 0.835
Kebun kopi dan
semak belukar 3.60 2.00 0 0 1.828 1.828 0
Total 181.20 100.00 92 100.00 92 28.940 5.675
(1) total jalur pengamatan (km); (2) proporsi jalur pengamatan dalam persen; (3) jumlah kelompok yang teramati; (4) proporsi kelompok yang teramati dalam persen; (5) harapan kelompok teramati
Total kelompok surili yang dijumpai di seluruh jalur pengamatan adalah 92 kelompok. Kelompok banyak dijumpai di hutan alam, kemudian kebun campuran, daerah peralihan antara hutan alam dengan kebun campuran, daerah peralihan antara hutan pinus dengan (1) hutan alam dan (2) kebun campuran, dan hutan tanaman sejenis (Tabel 2.2). Distribusi kelompok surili di berbagai tipe vegetasi adalah berbeda atau tidak proporsional terhadap total panjang jalur di setiap tipe tutupan lahan (λ2 = 28.94; p < 0.01). Berdasarkan Indeks Neu (Tabel 2.2), kelompok surili lebih memilih hutan alam dan daerah peralihan antara hutan alam dengan kebun campuran. Meski demikian, daerah peralihan antara hutan alam dengan kebun campuran lebih dipilih dibandingkan dengan hutan alam itu sendiri (Tabel 2.2).
Hasil wawancara dengan masyarakat setempat menunjukkan bahwa surili sering mendatangi kebun-kebun yang berbatasan dengan pemukiman untuk “mencuri” buah tanaman budidaya seperti pisang dan pepaya. Masyarakat tidak memburu atau membunuh kelompok surili meskipun kelompok tersebut mengganggu tanaman. Masyarakat hanya mengusir surili atau membungkus buah pisang yang masih berada di pohon dengan karung plastik.
Pembahasan Distribusi Spasial
dari masyarakat terdistribusi di 34 desa (areal) hutan, sedangkan berdasarkan hasil survey langsung di lapangan terdistribusi di 31 desa (areal) hutan. Meskipun terdapat 3 lokasi yang tidak dijumpai kelompok surili secara langsung dalam jalur pengamatan, hasil penelitian ini meyakini bahwa kelompok surili tetap ada di ketiga lokasi tersebut. Hal tersebut karena berdasarkan hasil wawancara ulang dengan beberapa anggota masyarakat sekitar hutan, mereka pernah menjumpai surili di ketiga lokasi tersebut. Kelompok surili tidak dijumpai di ketiga lokasi tersebut pada saat survey diduga karena kepadatan populasinya sangat rendah, sehingga peluang perjumpaannya juga rendah.
Lokasi-lokasi yang menjadi tempat penyebaran surili terkoneksi antara satu dengan yang lainnya oleh tutupan hutan. Lokasi-lokasi tersebut berada dalam dua blok hutan, yakni blok hutan Bukit Pembarisan dan blok hutan Gunung Subang (Gambar 2.1). Sebaliknya, lokasi-lokasi yang tidak ditempati oleh surili terpisah dari kedua blok hutan tersebut oleh pemukiman dan areal pertanian termasuk sawah. Surili merupakan spesies arboreal (Nijman 1997) yang memerlukan tegakan pohon yang rapat untuk pergerakannya. Oleh karena itu, penyebaran dan habitat surili dapat diperluas dengan membangun koridor atau meningkatkan konektivitas antar areal hutan. Keberadaan koridor dapat memudahkan perpindahan surili dari satu areal hutan ke areal hutan yang lainnya sehingga distribusi surili menadi lebih luas.
Blok hutan Bukit Pembarisan berada di bagian selatan Kabupaten Kuningan, memanjang dari barat ke arah timur. Selanjutnya, blok hutan Gunung Subang berada di bagian timur Kabupaten Kuningan (memanjang dari arah timur laut ke arah barat daya) dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah (Gambar 2.1). Areal yang masuk ke wilayah Provinsi Jawa Tengah juga masih berupa hutan sehingga distribusi surili juga mencakup bagian timur dari Provinsi Jawa Tengah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa blok hutan Bukit Pembarisan dan Gunung Subang merupakan areal penting bagi populasi surili di luar kawasan konservasi.
Peta distribusi populasi surili di Kabupaten Kuningan yang dibuat Nijman (1997) hanya mencakup TN Gunung Ciremai. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat melengkapi hasil penelitian Nijman (1997). Antara lokasi penelitian dan TN Gunung Ciremai terpisah oleh pemukiman, sawah, dan ladang (Gambar 2.1). Populasi surili di Kabupaten Kuningan tidak hanya tersebar di kawasan konservasi. Gabungan hasil penelitian ini dan Nijman (1997) telah memberikan gambaran distribusi populasi surili di Kabupten Kuningan yang lebih lengkap. Populasi surili di Kabupaten Kuningan dengan jelas tersebar di tiga blok hutan, yaitu TN Gunung Ciremai, Bukit Pembarisan, dan Gunung Subang.
Jarak Perjumpaan dari Pemukiman dan Jalan Raya Terdekat
yang letaknya dekat dari pemukiman dan jalan raya. Hasil penelitian ini juga memberikan informasi bahwa kelompok surili sering datang ke kebun-kebun yang dekat dengan rumah penduduk untuk “mencuri” makanan, terutama pisang. Akan tetapi, para penduduk atau pemilik lahan tidak mengganggu kelompok-kelompok surili tersebut. Pencurian terhadap tanaman budidaya sering terjadi pada populasi
M. fascicularis seperti yang dilaporkan oleh Munsha & Hanya (2013) di Cagar Alam Central Catchment Singapore dan juga oleh Marchal & Hill (2009) di Sumatera Utara, Indonesia. Marchal & Hill (2009) juga melaporkan adanya pencurian tanaman budidaya oleh monyet dari subfamili colobine (misalnya
Presbytis thomasi dan Trachypithecus villosus villosus). Pencurian oleh primata lain juga telah dilaporkan oleh para peneliti terdahulu (seperti Boulton et al. 1996, Hockings et al. 2009, Yamada & Muroyama 2010). Pencurian terhadap buah dari tanaman budidya oleh surili masih sedikit diteliti dan dipublikasikan kecuali penelitian Melisch & Dirgayusa (1996).
Beberapa primata mendatangi areal dekat dengan pemukiman karena mengalami kelangkaan makanan di habitat alaminya, seperti yang dilakukan oleh
M. fuscata (Yamada & Muroyama 2010). Akan tetapi, terjadinya kelangkaan sumber pakan pada surili di habitat alami memiliki kemungkinan yang kecil karena surili merupakan monyet pemakan daun (Ruhiyat 1983) dan daun merupakan sumber daya yang melimpah. Oleh karena itu, penelitian ini menduga bahwa kelompok surili yang menempati lokasi-lokasi yang dekat dengan pemukiman dan jalan raya tidak terkait dengan kelangkaan sumber pakan di habitat alaminya. Menurut Saj et al. (1999), sumber daya pakan yang berupa tanaman budidaya memiliki kualitas dan energi per unit yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber pakan yang berupa tumbuhan alami. Oleh karena itu, kelompok surili sering memasuki kebun campuran yang dekat dengan pemukiman karena faktor lain seperti ketersediaan sumber pakan yang disukai (Altmann & Muruthi 1988) dan areal tersebut juga aman dari gangguan. Meskipun terdapat gangguan, gangguan tersebut masih berada di bawah batas toleransi kelompok surili.
Tipe Tutupan Lahan
Penelitian ini telah memberikan gambaran bahwa populasi surili di luar kawasan konservasi tidak hanya memanfaatkan hutan alam, tetapi juga memanfaatkan kebun campuran dan beberapa tempat yang berupa hutan tanaman yang didominasi pinus. Hutan alam yang menjadi lokasi penyebaran surili pada penelitian ini berupa hutan alam sekunder (Gambar 2.1). Hasil yang menunjukkan bahwa surili menempati hutan alam sekunder juga sudah banyak dilaporkan oleh para peneliti sebelumnya (seperti MacKinnon 1987, Nijman 1997, Nijman & van Balen 1998, Hidayat 2013).
primer merupakan habitat berkualitas tinggi dan lebih aman (Li 2004). Hutan primer memiliki pohon-pohon berukuran lebih besar dibandingkan dengan di tipe habitat lainnya sehingga primata yang memanfaatkan pohon-pohon di hutan primer akan memiliki resiko pemangsaan yang lebih rendah (Li 2004). Meskipun habitat yang dipilih oleh surili pada penelitian ini bukan hutan primer melainkan hutan sekunder (Gambar 2.1), kualitas habitat dan kondisi keamanan diduga bagian faktor yang menyebabkan surili lebih memilih hutan alam.
Kelompok surili yang menempati daerah-daerah peralihan antara hutan alam dan kebun campuran mendukung hipotesis yang disusun Supriatna et al. (1994) dan hasil penelitian Melisch & Dirgayusa (1996) di sekitar CA Gunung Tukung Gede pada spesies yang sama. Presbytis fredericae (sebelumnya tergolong sub spesies P. comata) juga dilaporkan menempati daerah-daerah tepi hutan dan daerah-daerah yang sangat curam (Nijman & van Balen 1998). Daerah ekoton dapat mengalami penggabungan jenis dari dua tipe habitat yang berbatasan sehingga memliki keanekaragaman spesies yang lebih tinggi (Whittaker & Fernandez-Palacios 2007, Senft 2009). Lokasi dengan keanekaragaman tumbuhan yang tinggi diduga akan memiliki keanekaragaman pakan yang tinggi pula. Kondisi tersebut diduga menjadi salah satu faktor kenapa surili memilih daerah peralihan antara hutan alam dengan kebun campuran, sebagaimana hipotesis Supriatna et al. (1994).
Hasil penelitian yang menginformasikan bahwa populasi surili juga dapat dijumpai di ekosistem kebun campuran sesuai dengan hasil penelitian Melish & Dirgayusa (1996) di Cagar Alam Gunung Tukung Gede. Menurut kedua peneliti tersebut, surili pernah terlihat memasuki kebun dan hutan terdegradasi yang berbatasan dengan Cagar Alam. Para peneliti terdahulu juga menemukan bukti bahwa beberapa primata lain juga telah pemanfaatan kebun campuran sebagai bagian habitatnya seperti Suryana (2010) pada penelitian P. fredeicae, Gurmaya (1986) pada penelitian P. thomasi, dan Salter et al. (1985) pada penelitian Nasalis larvatus. Hasil penelitian Fashing et al. (2012) pada monyet afrika di hutan tanaman campuran, Kenya, juga mendukung hasil penelitian ini. Kelompok primata memasuki areal kebun campuran dan lahan pertanian bertujuan untuk memanfaatkan tanaman budidaya sebagai sumber pakan (Marchall & Hill 2009, Boulton et al. 1996, Saj et al. 1999, Naughton-Treves 1998). Jenis-jenis tanaman di kebun campuran pada umumnya terdiri atas Paraserianthes falcataria,
Swietenia mahagoni, Anthocepalus cadamba, Tectona grandis, Maesopsis eminii,
Bambusa spp., Mangifera indica, Durio zibethinus, Nephelium lappaceum, Parkia speciosa, Cocos nucifera, Arenga pinnata, Artocarpus heterophyllus, dan Gnetum gnemon (Prasetyo et al. 2012). Beberapa jenis tumbuhan di kebun campuran seperti N. lappaceum, dan P. falcataria merupakan sumber pakan bagi surili (Farida & Harun 2000, Melisch & Dirgayusa 1996). Oleh karena itu, ketersediaan pakan diduga menjadi salah satu penyebab kelompok surili menempati kebun campuran. Selain itu, dijumpainya surili di kebun campuran pada penelitian ini menunjukkan bahwa kebun campuran dapat menjadi habitat alternatif bagi populasi surili.
Penggunaan hutan tanaman oleh populasi surili masih jarang diteliti dan dipublikasikan. Hasil yang menunjukan bahwa populasi surili dijumpai di areal hutan tanaman yang didominasi pinus konsisten dengan hasil penelitian Agostini
Misiones, bagian utara Argentina. Meskipun surili dapat dijumpai di hutan pinus dan hutan monokultur lainnya (T. grandis, S. macrophylla, dan D. latifolia), frekuensi perjumpaannya lebih rendah dibandingkan dengan di tipe hutan lainnya. Kondisi tersebut didukung oleh hasil penelitian Henzi et al. (2011) di Mpumalanga Province, South Africa, yang menunjukkan bahwa baboons Papio hamadryasursinus menghindari tegakan pinus dan memilih kantong-kantong kecil yang berisi tegakan alami. Tegakan pinus dan hutan monokultur lainnya seperti hutan Agathis memiliki ketersediaan pakan bagi primata (seperti P. fredericae) yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam (Setiawan et al. 2010). T. grandis, S. macrophylla, dan D. latifolia tidak pernah dilaporkan dimakan surili (Farida & Harun 2000, Ruhiyat 1983). Selanjutnya, surili yang menempati hutan tanaman dan hutan terdegradasi tidak dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama (Nijman 1997). Oleh karena itu, rendahnya jumlah kelompok surili di kedua tipe hutan tersebut diduga karena rendahnya ketersedian sumberdaya yang diperlukan, terutama sumber pakan.
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa surili tidak dijumpai di semak belukar diduga terkait dengan tingkat kemampuannya untuk berpindah dan kualitas habitat. Surili merupakan spesies arboreal (Nijman 1997) sehingga membutuhkan pohon yang rapat untuk berpindah, meskipun Ruhiyat (1983) pernah menjumpai spesies tersebut turun ke permukaan tanah. Semak belukar juga merupakan habitat berkualitas rendah (Li 2004). Alasan bahwa surili tidak dijumpai di kebun kopi diduga juga karena kebun kopi memiliki kepadatan pohon yang rendah sehingga menyulitkan surili untuk melakukan perpindahan. Akan tetapi, penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Gurmaya (1986) pada P. thomasi. Spesies tersebut menggunakan semak belukar dan kebun coklat sebagai bagian dari wilayah jelajahnya (Gurmaya 1986). Namun demikian, penyebab perbedaan hasil tersebut belum bisa diketahui dengan pasti, apakah karena metode yang digunakan, perbedaan spesies, atau faktor lainnya, sehingga perlu kajian lebih lanjut.
Ketinggian Tempat
Penelitian yang menunjukkan bahwa populasi surili dijumpai di ekosistem hutan dataran rendah sesuai dengan laporan para peneliti terdahulu yang menyebutkan bahwa hutan primer dataran rendah merupakan habitat utama surili (Hoogerworf 1970, MacKinnon 1987, Napier & Napier 1985). Melisch & Dirgayusa (1996) juga dalam penelitiannya menjumpai populasi surili di hutan dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian di bawah 700 mdpl. Akan tetapi, penyempitan habitat akibat konversi hutan alam seperti menjadi areal pertanian dan hutan tanaman (Melisch & Dirgayusa 1996) mengakibatkan surili lebih banyak dijumpai di ekosistem pegunungan (IUCN 2012, Roland & Seitre 1990), seperti TN Gunung Halimun (Farida & Harun 2000). P. fredericae di hutan lindung Gunung Slamet yang sebelumnya adalah P. comata frederiace
luar kawasan konservasi masih mampu bertahan hidup di ekosistem hutan dataran rendah dan perbukitan.
Implikasi Konservasi
Hasil penelitian ini memberikan beberapa implikasi bagi konservasi surili, khususnya di eksositem hutan dataran rendah di Kabupaten Kuningan. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa surili yang terdistribusi di 34 areal hutan dan areal tersebut berhubungan satu sama lain. Hal tersebut menandakan bahwa pembuatan koridor yang dapat menghubungkan suatu lokasi dengan lokasi hutan lainnya perlu dilakukan untuk memudahkan penyebaran dan memperluas habitat. Penelitian yang mendapatkan hasil bahwa populasi surili dapat dijumpai di kebun campuran dan hutan pinus yang bercampur dengan jenis tumbuhan lainnya menandakan bahwa konservasi surili dapat dilakukan di hutan tanaman. Kegiatan tersebut dapat berupa penanaman jenis-jenis pohon produksi yang dikombinasikan dengan jenis-jenis lainnya baik jenis alami maupun budidaya yang dapat menyediakan sumberdaya bagi populasi surili. Penelitian yang mendapatkan hasil bahwa populasi surili dapat dijumpai di kebun-kebun atau hutan yang dekat dengan pemukiman menandakan bahwa konservasi surili juga pada dasarnya dapat dilakukan di areal-areal yang dekat dengan pemukiman.
Keterbatasan Penelitian
Meskipun penelitian ini dapat dianggap mencakup hampir semua lokasi (wilayah administrasi desa) yang terdapat populasi surili di luar kawasan konservasi di Kabupaten Kuningan, penelitian ini memiliki keterbatasan. Penempatan dan panjang jalur pengamatan tidak didasarkan pada proporsi luas areal setiap tipe tutupan lahan. Pertimbangan penempatan titik awal transek didasarkan pada aksesibilitas. Walaupun tidak proporsional, transek ditempatkan di beberapa tipe tutupan lahan yang diduga ditempati populasi surili. Oleh karena itu, penelitian berikutnya yang diperlukan adalah penelitian dengan panjang transek yang proporsional terhadap luas setiap tipe tutupan lahan sehingga hasilnya akan lebih mewakili.
Simpulan
3 UKURAN KELOMPOK DAN KEPADATAN
POPULASI SURILI
Pendahuluan
Surili merupakan salah satu spesies primata yang hidup berkelompok (Ruhiyat 1983, Supriatna & Wahyono 2000). Ukuran kelompok pada beberapa primata dapat menjadi indikator kualitas habitat karena ukuran kelompok di antaranya dipengaruhi oleh beberapa komponen habitat (Chapman 1990, Chapman & Chapman 2000, Moura 2007). Kelangsungan hidup populasi surili mengalami ancaman karena beberapa faktor seperti berkurangnya habitat alami (MacKinnon 1983) dan degradasi habitat (Supriatna et al. 1994). Upaya-upaya konservasi populasi perlu dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Selanjutnya, upaya-upaya konservasi surili juga memerlukan data dan informasi populasi yang lengkap termasuk kepadatannya. Namun, sejauh ini informasi mengenai populasi surili masih terbatas (Supriatna et al. 1994).
Para peneliti terdahulu telah melakukan penelitian di beberapa lokasi untuk mengetahui ukuran populasi dan kepadatannya. Misalnya, Ruhiyat (1983) telah melakukan penelitian di hutan CA Situ Patenggang dan hutan Kawah Kamojang, Melisch & Dirgayusa (1996) di hutan CA Rawa Danau dan Gunung Tukung Gede, Tobing (1999) di hutan TN Gunung Halimun, Siahaan (2002) di hutan TN Gunung Salak, Heriyanto & Iskandar (2004) di Taman Nasional Ujung Kulon, dan Kartono et al. (2009) di TN Gunung Ciremai. Penelitian-penelitian tersebut masih terbatas di kawasan konservasi yang pada umumnya berupa ekosistem hutan pegunungan. Sebaliknya, penelitian ukuran kelompok dan kepadatan populasi di luar kawasan konservasi yang berupa hutan tanaman termasuk kebun campuran dan hutan alam sekunder dataran rendah dan perbukitan belum banyak dilakukan. Padahal, populasi surili juga masih bisa dijumpai di areal hutan di luar kawasan konservasi. Informasi populasi di luar kawasan konservasi sangat penting karena dapat menjadi bahan pertimbangan konservasi dan sekaligus membantu pelestarian populasi yang selama ini dilakukan di dalam kawasan konservasi.
Pentingnya informasi populasi telah mendorong dilakukannya penelitian di luar kawasan konservasi yang berupa kebun campuran, hutan tanaman, dan hutan alam sekunder dataran rendah dan perbukitan. Tujuan penelitian ini adalah mengkomparasi dan menganalisis ukuran kelompok dan kepadatan populasi di blok hutan yang berada di luar kawasan konservasi.
Metode Lokasi Penelitian