• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Effect of Variety and Density Cajuput Leaf (Melaleuca leucadendron Linn) In The Kettle on Oil Yield and Quality of Cajuput Oil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Effect of Variety and Density Cajuput Leaf (Melaleuca leucadendron Linn) In The Kettle on Oil Yield and Quality of Cajuput Oil"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH VARIETAS DAN KERAPATAN DAUN KAYU PUTIH (Melaleuca Leucadendron Linn.) DALAM KETEL TERHADAP

RENDEMEN DAN MUTU MINYAK KAYU PUTIH

PRISTY ARNITA

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMMARY

INTRODUCTION : Cajuput oil known as essensial oil from Indonesia which has so many benefits, both for external and internal treatment. Cajuput oil quality is determined by the value of cineol content. The value of cineol content can be affected by several things including the variety and density of cajuput leaves in the kettle. A variety of cajuput leaves consists of red buds and white buds. While in its processing, the density of leaves into the kettle should be regulated in order to achieve optimum capacity. This research aims to determine the optimal yield of each varieties and densities of leaves in the kettle, and know the physico-chemical properties of cajuput oil are produced.

MATERIAL AND METHOD : The material that is used in this research are the leaves of cajuput (Melaleuca leucadendron Linn) aged 5 months with those varieties are red buds and white buds as a raw material for making cajuput oil. The tool that used on this method is water and steam distillation. Distillation carried out for 4 hours. The density of the leaves are 0.17 gr/cm3, 0.26 gr/cm3, and 0.35 gr/cm3, wherein for each distillation consists of two varieties (white buds and red buds). Observation is made yield of oil produced, specific gravity, refraction index, optical cycles, solubility in 70% ethanol, and cineol content.

RESULT : Result of the research shows the cajuput oil yield from cajuput leaf is approximately about 0.84% - 1.21%. Optimum yield value have found in the density of leaves in the kettle for 0.17 gr/cm3 with white buds, and lowest on the density of leaves in the kettle for 0.35 gr/cm3 with red buds. The yield of cajuput oil decreases with increasing density of leaves in the kettle. Buds white varieties have higher yield on any distillation compared with red buds. Based on the Standard National Indonesia SNI 06-3954-2006, physico-chemical properties of cajuput oil that are specific gravity, refractive index, optical cycles, and solubility in 70% ethanol entered into the standard SNI, but at density of 0.35 g/cm3 values of cineol content has lower value than SNI standard. While the EOA (Essential Oil Association), the value of specific gravity and optical cycles are entered into the standard EOA.

KEYWORDS : cajuput leaf, varieties of leaves, leaf density in the kettle, physico chemical properties

1)

. Student of Forest Product Department, Faculty of Forestry, IPB.

2)

. Lecturer of Forest Product Department, Faculty of Forestry, IPB. The Effect of Variety and Density Cajuput Leaf (Melaleuca leucadendron Linn.) In The Kettle on

Oil Yield and Quality of Cajuput Oil. by

1)

Pristy Arnita , 2) Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafi’i, M.Agr.

(3)

RINGKASAN

PRISTY ARNITA. Pengaruh Varietas dan Kerapatan Daun Kayu Putih (Melaleuca Leucadendron Linn.) dalam Ketel Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih. Skripsi. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan WASRIN SYAFI’I).

Minyak kayu putih termasuk salah satu jenis minyak atsiri khas Indonesia. Minyak ini diketahui memiliki banyak khasiat, baik untuk pengobatan luar maupun pengobatan dalam. Kualitas minyak kayu putih ditentukan oleh besarnya kadar sineol. Besarnya kadar sineol yang didapatkan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah varietas dan kerapatan daun kayu putih dalam ketel. Varietas daun kayu putih dibedakan menjadi dua yaitu daun yang berkuncup merah dan putih. Sedangkan dalam pengolahannya, kerapatan daun ke dalam ketel perlu diatur agar mencapai kapasitas yang optimum dan merata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rendemen yang optimal dari setiap varietas daun dan kerapatan daun dalam ketel yang digunakan, dan mengetahui sifat fisiko-kimia minyak kayu putih yang dihasilkan.

Bahan baku yang digunakan adalah daun kayu putih (Melaleuca leucadendron Linn) berumur 5 bulan dengan varietas daun berkuncup putih dan daun berkuncup merah sebagai bahan baku pembuatan minyak kayu putih. Alat yang digunakan adalah alat penyuling kukus (Water and Steam Distillation). Penyulingan dilakukan selama 4 jam. Kerapatan daun yang digunakan masing-masing sebesar 0,17 gr/cm3, 0,26 gr/cm3, dan 0,35 gr/cm3, dimana masing-masing penyulingan dengan kerapatan daun dalam ketel yang sama terdiri dari dua varietas daun yaitu daun berkuncup putih dan berkuncup merah. Pengamatan yang dilakukan adalah rendemen, pengujian bobot jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam etanol 70%, dan kadar sineol.

Rendemen yang dihasilkan berada pada kisaran (0,84% - 1,21%). Nilai rendemen optimum terdapat pada kerapatan daun dalam ketel sebesar 0,17 gr/cm3 dengan kuncup putih, dan terendah pada kerapatan daun dalam ketel sebesar 0,35 gr/cm3 dengan kuncup merah. Rendemen minyak kayu putih semakin menurun seiring dengan bertambahnya kerapatan daun dalam ketel. Varietas kuncup putih memiliki rendemen lebih tinggi pada setiap pemasakan dibandingan dengan kuncup merah. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 06-3954-2006, sifat fisiko-kimia minyak kayu putih yaitu bobot jenis, indeks bias, putaran optik, dan kelarutan dalam etanol 70% memiliki nilai yang memenuhi SNI, kecuali pada kadar sineol pada kerapatan 0,35 gr/cm3 memiliki nilai yang lebih rendah dari standar SNI. Sedangkan pada EOA (Essensial Oil Association) nilai bobot jenis, dan putaran optik saja yang masuk ke dalam standar EOA.

(4)

PENGARUH VARIETAS DAN KERAPATAN DAUN KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendron Linn.) DALAM KETEL TERHADAP

RENDEMEN DAN MUTU MINYAK KAYU PUTIH

PRISTY ARNITA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pengaruh Varietas dan Kerapatan Daun Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dalam Ketel Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih

Nama : Pristy Arnita NIM : E24070024

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafi’i, M.Agr. NIP. 19541017 198003 1 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB

Dr. Ir. Wayan Darmawan, M.Sc. NIP. 19660212 199103 1 002

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Varietas dan Kerapatan Daun Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dalam Ketel Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor,

September 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 02 Agustus 1989 sebagai anak kedua dari lima bersaudara pasangan Ir. Edi Gunawan dengan Sri Pujiwati Hartati. Penulis memperoleh pendidikan yang dimulai dari TK Islam Gembira Bekasi Timur yang diselesaikan tahun 1995. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan di SDN Cipinang Melayu 04 Pagi Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2001. Pendidikan menengah pertama penulis di SLTPN Plus 109 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan sekolah ke SMAN 47 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2007. Penulis mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun yang sama dan mengambil Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan bidang keahlian di Laboratorium Kimia Hasil Hutan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai kepengurusan organisasi. Diantaranya adalah menjadi Public Relation UKM MAX!! tahun 2008, anggota Himpunan Mahasiswa Islam komisariat Fakultas Kehutanan tahun 2008-2011, anggota bidang eksternal Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) tahun 2008-2011, Duta Lingkungan Hidup Fakultas Kehutanan IPB tahun 2009-2010, dan dan asisten praktikum Kimia Kayu tahun 2011. Penulis juga aktif dalam berbagai beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh DIKTI dan IPB diantaranya adalah Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Kewirausahaan maupun Penelitian pada tahun 2010 dan tahun 2011 serta menjadi Finalis pada Program Mahasiswa Wirausaha pada tahun 2010.

Penulis melaksanakan beberapa kegiatan lapang, antara lain : Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Sancang Barat-Kamojang (2009), Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (2010), serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Indramayu Perum Perhutani Unit IIIJawa Barat - Banten. Penulis pernah menerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) dari IPB tahun 2008-2010.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya yang telah dilimpahkan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam senantiasa tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.

Penilitian yang berjudul Pengaruh Varietas dan Kerapatan Daun Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dalam Ketel Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Walaupun demikian, semoga hasil-hasil yang dituangkan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, September 2011

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan masukan, dukungan, dan semangat, baik selama penelitian maupun dalam penulisan skripsi ini. Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafi’i, M.Agr selaku dosen pembimbing skripsi atas segala arahan, bimbingan, waktu, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

2. Ayah saya Ir. Edi Gunawan, Ibu saya Sri Puji Wati Hartati, Kakak saya Mas Brian, dan adik adik saya Irham, Lugas, dan Boma yang telah memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

3. Dr.Ir. Agus Hikmat, M.Sc atas kesediaannya menjadi penguji utama dan atas segala sarannya terhadap penelitian ini.

4. I Nyoman Jaya Wistara, Phd atas kesediaannya menjadi pemimpin sidang dan atas segala sarannya terhadap penelitian ini.

5. Ir. Deded Sarip Nawawi, MSc atas kesediaannya menjadi moderator seminar dan atas segala sarannya terhadap penelitian ini.

6. Prof. Dr. Ir. Yusram Massijaya, MS selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan, arahan, yang telah diberikan kepada penulis.

7. M. Syafriyansyah Bermani atas perhatian, kasih sayang dan semangat yang diberikan kepada penulis.

8. Jauhar Khabibi, Jericko Situmeang, Tinto Punto Kahar, dan Kak Adi Setiadi yang telah membantu, menemani, dan memberikan dukungan kepada penulis. 9. Bapak Iwan selaku Asisten Manager, dan Segenap Staff Pabrik Minyak Kayu

Putih Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, atas bahan baku minyak kayu putih yang telah diberikan sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian ini.

(10)

x 11. Bu Sri dan Pak Dicky beserta seluruh Pegawai Lab Instrumen Departemen

Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, yang telah melatih dan membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

12. Sahabat sahabat THH angkatan 44, Yano, Angga, Linda, Desi, Nita, Irma, Jusy, Dina, Ina, Citra, Iftor, Aya dan seluruh teman teman THH angkatan 44 yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu atas kebersamaannya selama penulis menyelesaikan kegiatan belajar di kampus.

13. Ibu Rita Kartika Sari, Ibu Anne Carolina, Bapak Sucahyo, Bapak Surdiding, Bapak Mardikanto, Bapak Bintang, Bapak Wayan, Bapak Pandit, dan seluruh dosen Teknologi Hasil Hutan, terimakasih atas dedikasi dan kesabaran yang telah diberikan selama menjadi mahasiswa.

14. Pak Atin, Mas Gunawan, dan Mas Irvan yang telah membantu serta memberikan motivasi kepada penulis.

15. Sahabat sahabat TPB Gita, Andini, Wenti, Novri, seluruh teman teman A24, seluruh teman teman Asrama Putri A2 lorong 6 angkatan 2007, dan seluruh Keluarga Sunkar Icha, Mba Ana, Mba Wawa, dan lain lain yang tidak bisa sebutkan satu persatu, terimakasih atas kebersamaan dan perhatian yang telah diberikan selama menjadi mahasiswa.

16. Ibu Laya, Ibu Susi, dan seluruh staff THH. Terimakasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi, seminar, sidang.

17. Semua sahabat terbaik yang telah menemani perjalanan hidup penulis.

18. Pihak pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun tidak menghilangkan rasa hormat dan terimakasih atas bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

(11)

DAFTAR ISI

2.1. Tanaman Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn) …… 4

2.1.1.Taksonomi Tanaman Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn) ... 4

2.1.2. Daun Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn) ... 5

2.1.3. Syarat Tumbuh dan Budidaya ... 6

2.1.4. Varietas ... 7

2.2. Pemanenan Kayu Putih ...……….. 8

2.3. Proses Penyulingan Minyak Kayu Putih ………. 9

2.3.1. Pengisian Daun ke dalam Ketel ... 9

2.3.2. Cara Penyulingan Kayu Putih ... 9

2.3.3. Pembersihan Daun dan Minyak ... 10

2.4. Minyak Kayu Putih ... 11

2.5. Kualitas dan Mutu Minyak Kayu Putih ... 12

2.6. Komposisi Kimia Minyak Kayu Putih ... 15

(12)

xii

4.2. Sifat Fisiko-Kimia ... 25

4.2.1. Bobot Jenis ... 25

4.2.2. Kadar Sineol ... 28

4.2.3. Indeks Bias ... 30

4.2.4. Putaran Optik ... 33

4.2.5. Kelarutan dalam Etanol 70% …... 35

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Kesimpulan ... 37

5.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komponen Penyusun Minyak Kayu Putih ... 11

2. Syarat Mutu Minyak Kayu Putih SNI 06-3954-2006 ... 14

3. Standar Mutu Minyak Kayu Putih EOA... 14

4. Rendemen Minyak Kayu Putih yang dihasilkan (%) ... 25

5. Nilai Bobot Jenis Minyak Kayu Putih ... 27

6. Kadar Sineol (%) ... 30

7. Nilai Indeks Bias ... 32

8. Nilai Putaran Optik Minyak Kayu Putih ... 34

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tanaman Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn) ... 4

2. Kuncup Putih ... 7

3. Kuncup Merah ... 7

4. Pembiasan Antar Media ... 13

5. Grafik Hasil Uji Rendemen yang Dihasilkan ... 23

6. Grafik Hasil Perhitungan Bobot Jenis ... 26

7. Grafik Hasil Uji Kadar Sineol ... 28

8. Grafik Hasil Uji Indeks Bias ... 31

9. Grafik Hasil Uji Putaran Optik ... 33

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki potensi dan manfaat besar bagi manusia maupun makhluk hidup yang berada di dalamnya, baik manfaat ekologi, sosial-budaya maupun manfaat ekonomi yang dapat dimanfaatkan dengan cara mengelolanya secara lestari. Hasil hutan yang dapat diolah atau di manfaatkan tidak hanya kayu saja, melainkan juga non-kayu seperti getah, rotan, sagu, biji tengkawang, madu, minyak atsiri, dan lain lain.

Minyak atsiri dihasilkan dari bagian jaringan tanaman tertentu seperti akar, batang, kulit, daun, bunga, buah atau biji. Sifat minyak atsiri yang menonjol antara lain mudah menguap pada suhu kamar, mempunyai rasa getir, berbau wangi sesuai dengan aroma tanaman yang menghasilkannya, dan umumnya larut dalam pelarut organik (Lutony dan Rahmayati 1994).

Konsumsi minyak atsiri atau minyak terbang beserta turunannya di dunia meningkat sekitar 8-10%. Hal tersebut tidak terjadi hanya di Indonesia tetapi berlaku juga di negara-negara lain, seperti India, Thailand, dan Haiti (Untung 2009). Kenaikan itu disebabkan karena masyarakat sudah mulai menyadari akan pentingnya minyak atsiri untuk industri parfum, kosmetik, dan kesehatan. Selain itu pola pikir masyarakat yang sudah mulai berubah untuk mengkonsumsi bahan-bahan senyawa sintetik ke bahan-bahan alami turut menjadikan permintaan minyak atsiri meningkat. Salah satu minyak atsiri yang paling banyak dikonsumsi dalam negeri dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi adalah minyak kayu putih.

(17)

2 Salah satu faktor yang menentukan rendemen dan kualitas minyak kayu putih adalah varietas daun dan pengisian daun.

Dalam hal ini, berdasarkan varietasnya jenis tanaman kayu putih dibedakan menjadi dua macam, yaitu tanaman kayu putih yang berkuncup merah dan putih (Soepardi 1953). Sedangkan dalam pengolahannya pengisian daun ke dalam ketel perlu diatur agar mencapai kapasitas yang optimum dan merata. Kerapatan yang terlalu tinggi akan menyulitkan arus uap sehingga daun menjadi basah, dan terjadi proses hidrolisis yang akan menurunkan kualitas minyak. Arus uap yang terhalang menyebabkan tekanan dalam ketel terus meningkat sehingga menimbulkan kerusakan ketel. Sebaliknya pengisian yang terlalu longgar akan merugikan karena produksi minyak menjadi rendah. Pengisian yang tidak merata mengakibatkan uap mengalir melalui bagian yang longgar. Hal tersebut dianggap merugikan karena rendemen dan mutu minyak menjadi turun (Sumardiwangsa 1973).

Oleh karena itu, hal tersebut telah melatarbelakangi penulis untuk melakukan serangkaian penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan rendemen optimum yang dapat diperoleh dengan cara perbaikan kualitas dan mutu minyak kayu putih dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya seperti varietas daun dan krrapatan daun dalam ketel.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui rendemen yang optimal dari setiap varietas daun dan kerapatan daun kayu putih dalam ketel yang digunakan

2. Mengetahui sifat fisiko-kimia minyak kayu putih yang dihasilkan

1.3. Manfaat Penelitian

Dengan dilaksanakannya penelitian ini, manfaat yang didapat sebagai berikut :

(18)
(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn)

2.1.1. Taksonomi Tanaman Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn) Menurut Core (1955) dalam Sunanto (2003), sistematika tumbuhan kayu putih (Melaleuca leucadendron Linn) diklasifikasikan sebagai berikut:

Gambar 1. Tanaman Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn) Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Subkelas : Aechichlamideae Ordo : Myrtales

Famili : Mrytaceae Genus : Melaleuca

Species : Melaleuca leucadendron Linn.

(20)

5 panas. Ada yang sengaja dibudidayakan sebagai tumbuhan obat. Bentuk daunnya jorong, mirip ujung tombak. Kulit batangnya berwarna putih, buahnya berbentuk kotak, bijinya halus seperti sekam (Harris 1993).

Menon (1989) mengemukakan bahwa daerah penyebaran utama pohon kayu putih adalah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Maluku, Kalimantan Selatan, Irian Jaya, dan Bali. Di Jawa pohon ini ditemukan di hutan rawa sepanjang pantai Karawang dan Indramayu serta di pulau Bawean. Pohon ini banyak pula ditemukan di pulau Buru kecuali bagian selatan yang berbatu. Pohon ini dapat tumbuh terutama di lahan yang miskin hara, kering, dan yang ditumbuhi alang-alang.

Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah dan di dataran tinggi (pegunungan) dengan kondisi lahan yang kritis dan temperatur udara yang panas. Tanaman kayu putih yang tumbuh di daerah pegunungan biasanya memiliki kadar sineol di dalam daun dan menghasilkan minyak lebih banyak jika dibandingkan dengan tanaman kayu putih yang berada di daerah yang berdataran rendah dan berawa (Sunanto 2003).

Tanaman ini akan mengeluarkan banyaknya daun setelah terjadi kebakaran lahan yang disebabkan tingginya suhu udara. Dalam setahun dilakukan pemanenan daun kayu putih sebanyak dua kali untuk kelangsungan produksi. Daun yang masih muda atau terlampau tua akan menghasilkan rendemen yang sedikit dengan mutu yang rendah. Tempat penimbunan daun sebelum disuling sebaiknya dibuat dalam bentuk rak-rak atau menebarkan daun di lantai yang kering dengan ketinggian kurang lebih 20 cm, dengan kondisi suhu kamar dan sirkulasi yang terbatas. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya fermentasi daun yang dapat menurunkan kadar sineol dalam daun.

2.1.2. Daun Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn)

Secara morfologis menurut Core (1955) dalam Sunanto (2003), daun kayu putih dapat dideskipsikan sebagai berikut :

(21)

6 karena hanya terdiri dari atas dua bagian, yaitu tangkai daun (petiolus) dan helaian daun (lamina).

a. Tangkai Daun (Petiolus)

Tangkai daun merupakan bagian daun yang mendukung helaian daun dan bertugas untuk menempatkan helaian daun pada posisi sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh cahaya matahari sebanyak-banyaknya. Tangkai daun berbentuk bulat kecil dan terdapat rambut-rambut (bulu-bulu) halus pada permukaannya. Panjang dan tangkai daun bervariasi.

b. Helaian Daun (Lamina)

Sebatang tanaman kayu putih memiliki banyak daun. Helaian daun kayu putih berwarna hijau muda pada daun muda dan hijau tua pada daun tua karena mengandung zat warna hijau (klorofil). Daun memiliki tulang daun dalam jumlah yang bervariasi antara 3-5 buah, tepi daun rata (integer), dan permukaan daun dilapisi oleh bulu-bulu halus, terutama pada daun muda.

Ukuran lebar daun kayu putih berkisar antara 0,66 cm – 4,30 cm dan panjang antara 5,40 cm – 10,15 cm. Daun-daun tumbuh pada cabang-cabang tanaman secara selang seling, pada satu tangkai daun terdapat lebih dari satu helai daun. Jenis ini termasuk jenis daun majemuk.

Daun kayu putih mengandung cairan yang disebut sineol. Jika daun diremas, cairan ini akan mengeluarkan bau (aroma) yang khas. Cairan inilah yang nantinya diproses menjadi minyak kayu putih. Selain sineol, daun kayu putih juga mengandung komponen lain,misalnya terpineol dan pinena.

2.1.3. Syarat Tumbuh dan Budidaya

Tanaman kayu putih tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik. Dari ketinggian antara 5 – 450 m di atas permukaan laut, terbukti bahwa tanaman yang satu ini memiliki toleransi yang cukup baik untuk berkembang. Pohon kayu putih yang ada pada saat ini merupakan hasil penanaman Jawatan Kehutanan. Tanaman kayu putih ini diperbanyak melalui biji yang telah disemaikan terlebih dahulu (Harris 1993).

(22)

7 dilakukan pemangkasan setiap enam bulan sekali sampai tanaman berusia 30 tahun. Di beberapa daerah subur, tanaman kayu putih telah bisa dipungut daunnya pada usia dua tahun. Setiap pohon kayu putih yang telah berumur lima tahun atau lebih dapat menghasilkan sekitar 50 – 100 kg daun berikut ranting (Lutony dan Rahmayati 1994).

2.1.4. Varietas

Di Indonesia dikenal tiga varietas tanaman kayu putih, yaitu varietas Buru, varietas Timor, dan varietas Ponorogo. Secara visual, berdasarkan warna kuncup daunnya tanaman kayu putih dibedakan menjadi tanaman yang berkuncup putih kekuningan dan tanaman yang berkuncup merah. Tanaman kayu putih yang berkuncup putih kekuningan memiliki kandungan sineol dan rendemen minyak yang lebih tinggi daripada yang berkuncup merah (Sunanto 2003).

Menurut Soepardi (1953), jenis pohon kayu putih ada dua macam, yaitu pohon yang kayunya warna merah atau putih. Daun dapat berbentuk lebar pendek, lebar panjang, atau kecil panjang. Jenis yang banyak diusahakan di Indonesia adalah yang bentuk daunnya kecil panjang dan warna kayunya merah.

Gambar 2. Kuncup Putih Gambar 3. Kuncup Merah

(23)

8 kritis dan temperatur udara yang panas. Pohon yang berkuncup putih diduga sebagai varietas Buru dengan sel minyak lebih kecil dan susunannya lebih rapat, sedang yang berkuncup merah diduga sebagai varietas timor dengan sel minyak yang susunannya lebih jarang (Sumardiwangsa 1973).

2.2. Pemanenan Kayu Putih

Tanaman kayu putih mulai dapat dipetik daunnya setelah tanaman berumur empat tahun. Panen berikutnya dapat dilakukan setiap 5 – 6 bulan sekali sepanjang tahun tanpa terbatas oleh musim. Daun yang dipetik umumnya adalah daun yang tua, dengan jalan memotong cabang dan ranting-rantingnya. Daun kayu putih dalam pembuatan minyak kayu putih adalah helai daun berikut ranting sampai kurang lebih 20 cm dari pucuk (Ketaren 1985).

Daun sebaiknya disuling dalam keadaan segar karena penyimpanan akan menurunkan rendemen dan kualitas minyak. Penyusutan kadar dan kualitas minyak akibat penyimpanan terutama terjadi karena proses hidrolisa dan resinifikasi pada komponen yang terdapat di dalam daun. Pada proses hidrolisa dan resinifikasi dapat dihasilkan zat baru seperti alkohol, asam dan resin, karena pada saat penyimpanan sebagian besar membrane akan pecah, dan cairan sel dengan bebas keluar masuk dari satu sel ke sel lainnya (Sumadiwangsa 1983).

(24)

9 2.3. Proses Penyulingan Minyak Kayu Putih

Penyulingan didasarkan pada sifat minyak atsiri yang dapat menguap jika dikenai atau dialiri uap air panas. Jika uap yang terjadi diembunkan, akan diperoleh air dan minyak yang masing-masing terpisah. Proses penyulingan secara umum adalah seluruh kegiatan dalam isolasi minyak atsiri berikut cara pembersihan dan penampungannya. Tahap kegiatannya meliputi pengisian daun kedalam ketel, penyulingan daun, serta pembersihan daun dan minyak (Sumadiwangsa 1976).

2.3.1. Pengisian Daun ke dalam Ketel

Pengisian daun ke dalam ketel perlu diusahakan agar mencapai kapasitas optimum, merata dan tidak terlalu padat. Pengisian daun yang terlalu padat akan menghalangi uap air, sehingga daun menjadi basah. Hal ini mengakibatkan terjadinya proses hidrolisa yang dapat menurunkan kualitas minyak karena sebagian besar uap air tidak dapat lewat, sementara aliran uap air terus berlangsung. Akibatnya tekanan uap pada ketel semakin membesar dan membentuk celah-celah aliran pada tumpukan bahan. Selama proses penyulingan uap air hanya melewati celah tersebut dan tidak membatasi seluruh daun atau hanya melewati celah tersebut dan tidak membasahi seluruh daun atau hanya melewati tempat-tempat yang kurang padat. Sebaliknya pengisian yang terlalu longgar akan merugikan, karena rendemen menjadi rendah (Sumadiwangsa 1973). 2.3.2. Cara Penyulingan Kayu Putih

Bahan-bahan yang digunakan dalam proses penyulingan atau destilasi yaitu : ketel penyulingan (wadah tempat penyulingan), bak pendingin atau kondensor yang berfungsi mengubah uap menjadi air, tungku atau perapian yang berfungsi untuk kebutuhan kalori pembakaran, dan alat penampung minyak yang berfungsi untuk memisahkan air dan minyak, dengan waktu penyulingan antara 3 sampai 4 jam. Selesai penyulingan kemudian minyak disuling di dalam botol atau drum-drum tempat penampungan kemudian ditutup rapat-rapat mulut botol atau drum untuk menghindari penguapan.

(25)

10 1. Penyulingan dengan Perebusan (Kohobasi)

Cara penyulingan ini merupakan cara penyulingan yang paling sederhana dan membutuhkan biaya terkecil. Pada cara ini, daun dan air dicampur dalam satu ketel. Ketel biasanya dibuat dari bahan tembaga atau besi (misalnya drum bekas), sedangkan pipa pendingin sebaiknya dibuat dari bahan stainless steel sehingga minyak yang dihasilkan tidak berwarna. Kelemahan cara ini adalah daun yang dekat dengan api akan cepat hangus, sementara suhu dan tekanan udara tidak dapat diatur. Penyulingan dilakukan pada keadaan konstan, yaitu sekitar 100oC dan tekanan udara 1 atm, sehingga membutuhkan waktu yang lama.

2. Penyulingan dengan Pengkukusan (Water and Steam Distillation)

Penyulingan dengan cara pengkukusan mempunyai karakteristik adanya pemisahan antara air dan daun, berupa sekat berlubang-lubang. Keuntungan cara ini adalah dapat menghindarkan hangusnya daun dan memperkecil terjadinya hidrolisis daun karena tidak terjadi kontak langsung antara air dan daun. Penyulingan juga dilakukan pada kondisi konstan, yaitu pada suhu 100oC dan tekanan 1 atm.

3. Penyulingan Langsung dengan Uap (Direct Steam Distillation)

Pada penyulingan dengan cara ini dilakukan pemisahan antara ketel uap (pembangkit uap) dan ketel daun sehingga tekanan uap yang diperlukan dapat diatur dan disesuaikan menurut kegunaannya. Penyulingan langsung dapat dilakukan pada keadaan tekanan 2-4 atm, tergantung pada bentuk dan kapasitas ketel daun. Semakin tinggi tekanan uap, proses penyulingan akan semakin cepat. Untuk mendapatkan tekanan uap optimum, dapat dilakukan percobaan empiris pada masing-masing pabrik sehingga diperoleh kuantitas dan kualitas yang tertinggi.

2.3.3. Pembersihan Daun dan Minyak

(26)

11 dapat menyerap air dan kotoran walaupun tidak sempurna. Cara lain dapat menggunakan gaya berat atau proses sentrifuse, atau menggunakan garam Natrium Sulfat (Na2SO4) (Sumadiwangsa 1976).

2.4. Minyak Kayu Putih

Menurut Ketaren (1985), minyak kayu putih adalah hasil penyulingan dari kayu putih segar dan ranting (terminal branclet) dari beberapa spesies Melaleuca. Minyak kayu putih merupakan minyak atsiri (Esential oil) disebut juga ethereal atau volatile oil yaitu minyak yang mudah menguap atau memiliki bau yang khas, yang diperoleh dari tanaman tersebut. Beberapa jenis spesies yang mampu menghasilkan minyak kayu putih komersial antara lain Melaleuca leucadendron Linn., Melaleuca cajuputi Roxb., Melaleuca viridiflora Gartn., dan Melaleuca minor Sm.

Minyak atsiri berasal dari daun minyak kayu putih yang diperoleh melalui proses penyulingan. Daun yang digunakan adalah daun yang berasal dari tanaman muda (tidak lebih dari 6 bulan) sebab kandungan minyaknya lebih tinggi. Pemalsuan minyak kayu putih banyak sekali terjadi dan umumnya dilakukan dengan penambahan minyak tanah atau bensin (Heyne 1987).

Menurut James (1989) dalam Nurramdhan (2010), warna minyak kayu putih bervariasi, dari tidak berwarna, kuning sampai hijau dengan aroma champor yang aromatik dan rasa champor yang pahit, mengandung 10% senyawa kristalin fenolic,5-dimetil-4,6-di-o-metilfloroaseptopinon. Senyawa ini dianggap memiliki daya antseptik menurut Guenther (1987). Komponen penyusun minyak kayu putih dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen Penyusun Minyak Kayu Putih

No. Komponen Rumus Molekul Titik Didih (oC)

(27)

12 Menurut Budavari (1989) dalam Nurramdhan (2010), minyak kayu putih mengandung 50-60 sineol, L-pinene, terpineol, valeric, butyric, benzoic, dan aldehid lainnya. Komponen-komponen venol ini memiliki titik didih yang cukup tinggi sehingga tidak volatil ketika mengalami proses pemasakan.

2.5. Kualitas dan Mutu Minyak Kayu Putih

Klasifikasi kualitas minyak kayu putih diperlukan sebagai salah satu jalan untuk mengembangkan pemasaran dalam negeri ataupun luar negeri. Untuk keseragaman kualitas minyak kayu putih di Indonesia telah dikukuhkan pembagian kualitas yang dilakukan oleh Badan Standarisasi Nasional, dengan menjadikan surat Direktur Pemasaran, Direksi Perum Perhutani No : 056.6/Dir tanggal 28 Juni 1989 tentang Penetapan kualitas minyak kayu putih dan acuan normative. Pembagian kualitas yang dilakukan oleh Badan Standarisasi Nasional ditetapkan dalam SNI 06-3954-2006. Standar ini menetapkan istilah dan definisi, syarat mutu, cara uji, pengemasan dan penandaan minyak kayu putih, sebagai pedoman pengujian minyak kayu putih yang diproduksi di Indonesia. Selain itu standar mutu internasional telah ditetapkan oleh EOA (Essensial Oil Association) Syarat mutu atau pembagian kualitas yang tercantum dalam standar ini disajikan pada Tabel 2. dengan criteria di dalam pengujian dilakukan berdasarkan sifat-sifat fisik minyak senyawa kimia, diantaranya adalah :

1. Putaran Optik. Senyawa dikatakan bersifat optis aktif bila dalam senyawa tersebut terdapat atom karbon asimetris, yaitu atom karbon yang mengikat empat atom atau molekul yang berbeda. Perbedaan atom dan molekul yang terikat pada atom karbon akan menyebabkan perbedaan elektronegativitas. Sedangkan, elektronegativitas tersebut digambarkan oleh besar polaritas dan ikatan kimia, sehingga menghasilkan momen dwi kutub yang akan memutar bidang cahaya terpolarisasi kearah kanan (dextrorotary) dan ke kiri (levorotary) (Gray, 1967 dalam Handayani, 1997).

(28)

13

senyawa organik dipengaruhi oleh berat molekul dan jumlah ikatan rangkap dalam senyawa tersebut.

3. Indeks Bias. Jika cahaya melewati media kurang padat ke media lebih padat, maka sinar akan membelok atau membias menuju garis normal. Jika e adalah sudut sinar pantul dan i adalah sinar datang, maka menurut hukum pembiasan:

Gambar 4. Pembiasan Antar Media

n adalah nilai indeks bias media kurang padat dan N adalah nilai indeks bias media lebih padat (Ketaren 1985). Menurut Formo dalam Handayani (1997), senyawa organik mempunyai nilai indeks bias sebanding dengan panjang rantai karbon yang menyusunnya dan jumlah ikatan rangkap yang terdapat pada senyawa tersebut. Selain itu, senyawa organik yang simetris memiliki indeks bias sedikit lebih tinggi daripada indeks bias isomernya yang tidak simetris.

(29)

14 Tabel 2. Syarat Mutu Minyak Kayu Putih SNI 06-3954-2006

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan

1.1 Warna - Jernih sampai kuning kehijauan

1.2 Bau - Khas kayu putih

Tabel 2 merupakan standar syarat mutu minyak kayu putih SNI 06-3954-2006 yang ditrerapkan di Indonesia. Sedangkan untuk standar yang diterapkan di luar Indonesia menggunakan standar EOA (esseensial oil association) karena masing-masing negara mempunyai standarnya sendiri dalam menentukan mutu minyak kayu putih.

Tabel 3. Standar mutu minyak kayu putih EOA (esseensial oil association)

No. Jenis uji Kualitas Utama

1 Warana dan penampilan Cairan kuning, hijau atau kuning 2 Kadar sineol 50% sampai 65%

3 Kelarutan dalam etanol 80% Larut dalam 1 volume 4 BJ pada 25 °C 0,908-0,925

5 Indeks bias 20 °C 1,4660-1,4720 6 Putaran optik ±00 sampai -40 Sumber: Kartikasari (2007)

(30)

15 2.6. Komposisi Kimia Minyak Kayu Putih

Daun (kering angin) mengandung sekitar 0.97% minyak atsiri dengan komposisi yaitu: α-terpineol (0.60), α-Farnesena (1.59), Metileugenol (97.30),

Azulena (0.51) (Agusta 2000). Minyak kayu putih memiliki bau wangi mirip kamfor dengan aroma agak menyengat dan kesan dingin. Komponen utama dalam minyak kayu putih adalah sineol, yang kadarnya mencapai 50 hingga 65 persen. Senyawa ini terdapat pada sejumlah besar minyak atsiri, bahkan menurut Guenther (1987), sineol terdapat dalam 260 jenis minyak atsiri. Setelah α-Pinen,

sineol merupakan senyawa yang sering terdapat dalam minyak atsiri. Sineol (1,8-Sineole) sebagai komponen utama minyak kayu putih memiliki rumus C10H18O.

senyawa tersebut dikenal dengan nama bermacam-macam seperti Cajeput hydrate, Cajuputol, dan Cajeputol (Guenther 1987). Senyawa aktif yang berhasil diteliti oleh Voiry, Schimmel & Co., Duyster, dan Spoelstra dalam minyak kayu putih adalah :

• Valeraldehid dan Benzaldehid. Fraksi awal minyak mengandung beberapa jenis senyawa aldehid, yang dapat dipisahkan dengan perlakuan menggunakan natrium bisulfite, diantaranya adalah Valeraldehid dan Benzaldehid. Benzaldehid diidentifikasi dengan menggunakan fenilhidrazon bertitik cair 156o (Duyster, 1925 dalam Guenther, 1987). • Sineol. Konstituen utama minyak kayu putih adalah sineol (50 sampai 65

persen), dikarakterisasi dengan cara mengoksidasi fraksi yang mengandung sineol tersebut menjadi asam sineolat C10H16O5, titik cair

196o-197o (Wallach dan Gildemeister, 1988 dalam Guenther, 1987).

• α - Terpineol dan Ester. Senyawa α-terpineol bersifat optis inaktif (titik

cair 35o), merupakan konstituen kedua yang terpenting dalam minyak, yang terdapat dalam bentuk bebas, atau terikat dalam bentuk ester asam- asam asetat, propionate, dan valerat (Voiry, 1988 dalam Guenther, 1987). • l- α-Pinen, l-limonen, Dipenten, Seskuiterpen, Azulen, dan Sesquiterpen

(31)

16 terakhir ini, jika dididihkan dengan asam format (85 persen), menghasilkan suatu campuran seskuiterpen C15H24, yang terdiri dari

hidrokarbon monosiklis dan bisiklis dengan bagian yang sama, dan jika diberi perlakukan dengan sulfur akan menghasilkan kadalen.

2.7. Kegunaan Minyak Kayu Putih

(32)

BAB III

METODOLOGI

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Pusat Penelitian Hasil Hutan Bagian Hasil Hutan Bukan Kayu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH), Jl. Gunung Batu No.5, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, dan Laboratorium Instrumen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2011.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini meliputi: a. Daun Kayu Putih ( Melaleuca leucadendron Linn)

Penelitian ini menggunakan daun kayu putih berumur 5 bulan dengan varietas daun berkuncup putih dan daun berkuncup merah sebagai bahan baku pembuatan minyak kayu putih yang diperoleh dari KPH Indramayu Perum Perhutani Unit III Jawa Barat - Banten. Pemanenan Daun Kayu Putih Dilakukan pada pagi hari antara pukul 8 – 10 WIB dan dibawa dari Indramayu ke Bogor selama 4 jam. Selama pengangkutan, daun diangkut menggunakan kendaraan ber-AC dan dikemas dalam karung yang diberi lubang-lubang. b. Bahan Kimia

(33)

18 pemanas, refaktometer, tabung reaksi, gelas piala 400 ml, pengaduk dari kaca, lemari es, gelas piala 1 liter, cawan kaca masir, vacum / pompa isap, labu cassia, dan termometer

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Penyulingan

Penyulingan dilakukan dengan pengisian daun ke dalam ketel yang berumur tunas 5 bulan dengan kerapatan pengisian daun masing-masing sebesar 0,17 gr/cm3, 0,26 gr/cm3, 0,35 gr/cm3 dengan volume air masing masing 3 liter dan menggunakan dua ketel, dimana masing-masing penyulingan dengan bobot yang sama terdiri dari dua varietas daun yaitu daun berkuncup putih dan berkuncup merah dan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Pemisahan antara air dan minyak dengan menggunakan corong pemisah dan air yang masih tertinggal di minyak diambil menggunakan pipet.

3.3.2. Rendemen Prinsip :

Rendemen menunjukkan jumlah minyak kayu putih yang diperoleh dari hasil penyulingan yang dinyatakan dalam presentasi dari perbandingan antara berat minyak kayu putih hasil penyulingan (output) dengan berat daun kayu putih yang disuling (input).

Prosedur :

Berat daun kayu putih yang akan disuling ditimbang, yang sebelumnya diambil beberapa gram untuk menentukan kadar air sampel dan berat segar daun sebagai input. Demikian juga dengan berat minyak kayu putih hasil penyulingan.

Penyajian hasil uji :

Rendemen (%) = Berat minyak hasil penyulingan (output) x 100 % Berat minyak kayu putih yang disuling (input)

3.3.3. Analisis Sifat Fisiko-Kimia

(34)

19 3.3.3.1.Bobot Jenis

Prinsip :

Perbandingan antara berat minyak dengan berat air pada volume dan suhu yang sama.

Prosedur :

Piknometer dicuci dan dibersihkan, kemudian basuh berturut turut dengan etanol dan dietil eter, keringkan bagian dalam piknometer tersebut dengan arus udara kering dan sisipkan penutupnya. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 3 menit dan timbang (m). Piknometer diisi dengan air suling, hindari adanya gelembung gelembung udara. Tutup dan keringkan piknometer tersebut. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 3 menit, kemudian timbang dengan isinya (m1). Kosongkan piknometer dan cuci dengan

etanol dan dietil eter, kemudian keringkan dengan arus udara kering. Piknometer diisi dengan contoh minyak dan hindari adanya gelembung gelembung udara. Tutup dan keringkan piknometer tersebut. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 3 menit dan timbang (m2).

Penyajian hasil uji :

m, adalah massa, piknometer kosong (g)

m1, adalah massa, piknometer berisi air pada suhu pengerjaan

m2, adalah massa, piknometer berisi contoh pada suhu pengerjaan

t1, adalah suhu pengerjaan

t, adalah suhu referensi (20oC) t1

d t1

adalah pembacaan bobot jenis yang dilakukan pada suhu pengerjaan

t d

t adalah bobot jenis pada suhu 20

o

C

(35)

20 3.3.3.2.Kadar Sineol

Prinsip :

Sineol dan komponen – komponen minyak kayu putih dipisahkan dengan teknik kristalisasi.

Prosedur :

Ke dalam pinggan porselin (diameter 6 cm) dipipetkan 5 ml contoh minyak. Selanjutnya 6 gram resolsinol dilarutkan kedalam 6 ml air suling, dan setelah larut dituangkan ke dalam pinggan porselin yang berisi contoh minyak. Kemudian pinggan porselin disimpan dalam lemari es atau tempat lain yang berisi es selama satu sampai dua jam hingga terbentuk kristal resosin – sineol. Kristal yang terjadi ditapis melalui cawan kaca masir G1 atau G2 dibantu oleh pompa isap. Kristal yang terjadi setelah bebas minyak dilarutkan dengan NaOH 2N, kemudian dituangkan ke dalam labu Cassia 50 ml dan ditambahkan air suling sampai lapisan minyak tepat berada di atas garis baca. Setelah dibiarkan selama satu jam, jumlah isi sineol dibaca pada skala labu Cassia.

Penyajian hasil uji :

Kadar sineol = ml pembacaan x 100% 5

3.3.3.3.Indeks Bias Prinsip :

Metoda ini didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang dipertahankan pada kondisi suhu yang tetap.

Prosedur :

Alirkan air melalui refraktometer agar alat ini berada pada suhu pembacaan akan dilakukan. Sebelum minyak ditaruh di dalam alat, minyak tersebut harus berada pada suhu yang sama dengan suhu dimana pengukuran akan dilakukan. Pembacaan dilakukan bila suhu sudah stabil.

Penyajian hasil uji :

Indeks Bias n T t1

(36)

21 Dengan keterangan :

t1, adalah suhuyang dilakukan pada suhu pengerjaan

t, adalah suhu referensi (20oC) t1

n

D adalah pembacaan indeks bias yang dilakukan pada suhu pengerjaan t

n

D adalah bobot jenis pada suhu 20

o

C

0,0004 adalah faktor koreksi 3.3.3.4.Putaran Optik

Prinsip :

Metode ini didasarkan pada sudut bidang dimana sinar terpolarisasi diputar oleh lapian minyak yang tebalnya 10 cm pada suhu tertentu.

Prosedur :

Nyalakan sumber cahaya dan tunggu sampai diperoleh nyala yang penuh. Tabung polarimeter diisi dengan contoh, usahakan agar gelembung-gelembung udara tidak terdapat di dalam tabung. Letakkan tabung di dalam polarimeter dan bacalah putaran optik dekstro (+) atau levo (-) dari minyak, pada skala yang terdapat pada alat. Catat hasil rata - rata dari sedikitnya tiga kali pembacaan. Masing - masing pembacaan tidak berbeda dari 0,08o.

Penyajian hasil uji :

Putaran optik harus dinyatakan dalam derajat lingkar sampai mendekati 0,01o. Putaran optik dekstro harus diberi tanda positif (+) dan putaran optik levo harus diberi tanda negatif (-).

3.3.3.5.Kelarutan Etanol 70 % Prinsip :

Kelarutan minyak kayu putih dalam etanol absolut atau etanol yang diencerkan yang menimbulkan kekeruhan dan dinyatakan sebagai larut sebagian atau larut seluruhnya. Berarti bahwa minyak tersebut membentuk larutan yang bening dan cerah dalam perbandingan – perbandingan seperti yang dinyatakan.

Prosedur :

(37)

22 setiap penambahan sampai diperoleh larutan yang bening. Bila larutan tersebut tidak bening, bandingkan kekeruhan yang terjadi dengan kekeruhan larutan pembanding, melalui cairan yang sama tebalnya. Setelah minyak tersebut larut, tambahkan etanol berlebih karena beberapa minyak tertentu mengendap pada penambahan etanol lebih lanjut.

Penyajian hasil uji :

Kelarutan etanol 70 % = 1 volume dalam Y volume, menjadi keruh dalam Z volume. Bila larutan tersebut tidak sepenuhnya bening, catat apakah kekeruhan tersebut “lebih besar daripada”, “sama” atau “lebih kecil daripada” kekeruhan larutan pembanding.

3.3.4. Analisis Data

(38)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Rendemen

Rendemen minyak diperoleh dari perbandingan berat antara minyak yang telah

dipisahkan dari air dengan berat daun kayu putih yang digunakan. Penelitian ini

menghasilkan rendemen minyak dengan kisaran 0,84% - 1,21% setelah 4 jam

penyulingan. Pemakaian waktu pemasakan selama 4 jam mengikuti waktu pemasakan

yang dipakai oleh Pabrik Minyak Kayu Putih KPH Jati Munggul Indramayu. Selain itu,

menurut Sunanto (2003), lama penyulingan minyak kayu putih yang optimum adalah 3 –

4 jam. Grafik hubungan antara varietas daun dan kerapatan daun dalam ketel dengan

rendemen minyak kayu putih dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Hasil Uji Rendemen yang Dihasilkan

Nilai rendemen yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki kecenderungan

semakin menurun. Hal ini diduga karena kerapatan daun yang dilakukan belum diatur

agar mencapai kapasitas yang optimum dan merata. Kerapatan yang terlalu tinggi akan

menyulitkan arus uap sehingga daun menjadi basah, arus uap yang terhalang akan

menyebabkan tekanan dalam ketel terus meningkat sehingga menimbulkan kerusakan

ketel. Sebaliknya pengisian yang terlalu longgar akan merugikan karena produksi minyak

menjadi rendah (Sumardiwangsa 1973). Karena adanya pengisian daun yang terlalu padat

sehingga daun yang di suling tidak termasak sempurna, yaitu semakin besar bobot daun

(39)

24 Berdasarkan grafik yang ditunjukkan, pada kerapatan daun 0,17 gr/cm3 dengan

varietas kuncup putih rendemen yang dihasilkan sebesar 1,213%. Sedangkan apabila

kerapatan daun 0,26 gr/cm3 kuncup putih rendemen yang dihasilkan sebesar 1,112%. Dan

pada kerapatan daun 0,35 gr/cm3 dengan kuncup putih menghasilkan rendemen sebesar

0,890%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kerapatan daun dapat mempengaruhi

rendemen, karena dalam penambahan bobot pengisian daun dapat diproleh hasil yang

semakin menurun sebesar (0,101 - 0,222)%. Berdasarkan data yang diperoleh dapat

dilihat bahwa kerapatan daun 0,17 gr/cm3 menghasilkan rendemen yang lebih besar

dibandingkan dengan kerapatan daun 0,26 gr/cm3 dan 0,35 gr/cm3. Hal tersebut

dikarenakan uap yang membawa minyak kayu putih keluar mengalami kesulitan, karena

tertutup oleh tumpukan daun yang terlalu rapat sehingga rendemen pada kerapatan daun

yang terlalu padat mengalami penurunan. Sama halnya pada kuncup merah, dalam setiap

kerapatan daun juga mempengaruhi rendemen yang dihasilkan. Pemasakan dengan

kerapatan daun 0,17 gr/cm3 pada kuncup merah menghasilkan rendemen sebesar

1,116%%. Sedangkan pada pemasakan dengan kerapatan daun 0,26 gr/cm3 pada varietas

kuncup merah rendemen yang dihasilkan sebesar 1,038%. Dan pada kerapatan daun 0,35

gr/cm3 pada kuncup merah menghasilkan rendemen sebesar 0,847%. Dari data di atas

pada setiap kerapatan daun, rendemen yang dihasilkan selalu mengalami penurunan

seiring dengan bertambahnya bobot yang dimasak.

Kecenderungan rendemen yang semakin menurun dan rendahnya rendemen pada

kerapatan daun 0,35 gr/cm3, dapat disebabkan karena kerapatan yang terlalu tinggi akan

menyulitkan arus uap, daun menjadi basah sehingga terjadi proses hidrolisa. Menurut

Ketaren (1985), minyak tidak dapat termasak sempurna dan mutu atau kualitas minyak

dapat menurun. Karena pada proses hidrolisa, terjadi reaksi kimia antara air dengan ester

yang merupakan komponen persenyawaan dalam minyak, hasil dari reaksi ini adalah

etanol dan asam, semakin besar jumlah air yang bereaksi dengan ester maka semakin

tinggi asam dan etanol yang dihasilkan. Akibatnya, rendemen minyak yang dihasilkan

akan berkurang. Oleh karena itu, hidrolisa dapat dicegah dengan mengatur kerapatan

(40)

25

Tabel 4. Rendemen Minyak Kayu Putih yang dihasilkan (%) Rendemen Minyak Kayu Putih

Hasil pada Tabel 4 menunjukkan bahwa varietas daun mempengaruhi rendemen

minyak kayu putih yang dihasilkan. Hasil dengan kerapatan daun 0,17 gr/cm3 pada

varietas pucuk putih menghasilkan rata-rata rendemen yang paling tinggi yaitu sebesar

1,213%. Pada kerapatan daun 0,17 gr/cm3 dengan varietas pucuk merah rendemen yang

dihasilkan sebesar 1,116%, mengalami penurunan sebesar 0,097%. Selanjutnya apabila

kerapatan daun 0,26 gr/cm3 pada varietas pucuk putih rendemen yang diperoleh sebesar

1,112%. Sedangkan pada pucuk merah sebesar 1,038%, sehingga mengalami penurunan

sebesar 0,074%. Pada kerapatan daun 0,35 gr/cm3 dengan varietas kuncup putih dapat

diperoleh hasil sebesar 0,890%, dan pada kuncup merah sebesar 0,847%. Pada kerapatan

daun 0,35 gr/cm3 dapat dilihat bahwa pengaruh antar varietas dapat dari kuncup putih dan

merah mengalami penurunan sebesar 0,043.

Varietas daun kayu putih memiliki pengaruh terhadap rendemen minyak kayu

putih yang dihasilkan, dalam setiap pemasakan kuncup putih menghasilkan rendemen

minyak kayu putih yang lebih besar dibandingkan dengan kuncup merah. Hal ini sama

seperti yang dikatakan oleh Sunanto (2003), bahwa tanaman kayu putih yang berkuncup

putih kekuningan memiliki kandungan sineol dan rendemen minyak yang lebih tinggi

daripada yang berkuncup merah. Rendemen yang dihasilkan berdasarkan varietas daun

pada daun berkuncup putih dan merah memiliki perbedaan yang cukup besar yaitu

berkisar antara (0,043 – 0,097)%.

4.2. Sifat Fisiko-Kimia 4.2.1. Bobot Jenis

Nilai rata-rata bobot jenis minyak kayu putih pada varietas daun dan kerapatan

daun dalam ketel yang diteliti berkisar antara 0,913 – 0,920 seperti terlihat pada gambar

6. Nilai pada kerapatan daun 0,17 gr/cm3 memiliki nilai bobot jenis tertinggi

(41)

26 varietas daun yang diuji varietas daun berkuncup putih memiliki bobot jenis yang lebih

tinggi dibandingkan dengan varietas daun berkuncup merah. Hal tersebut dapat dilihat

pada Gambar 6, yang menjelaskan tentang pengaruh varietas daun dan kerapatan daun

dalam ketel terhadap bobot jenis.

Bobot jenis merupakan perbandingan berat suatu bahan dengan berat air dalam

volume yang sama, bahan yang digunakan dalam hal ini adalah minyak kayu putih.

Formo dalam Handayani (1997), menjelaskan bahwa berat jenis suatu senyawa organik

dipengaruhi oleh berat molekul dan jumlah ikatan rangkap dalam senyawa tersebut.

Adanya kotoran dalam minyak kayu putih akan menyebabkan bobot jenis berubah. Bobot

jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan kemurnian

minyak atsiri. Hasil perhitungan bobot jenis dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik Hasil Perhitungan Bobot Jenis

Berdasarkan Gambar 6, rata-rata bobot jenis yang tertinggi terdapat pada

kerapatan daun 0,17 gr/cm3 dan daun berkuncup putih yaitu sebesar 0,920. Bobot jenis

pada kerapatan daun 0,17 gr/cm3 berkuncup merah sebesar 0,918. Selanjutnya pada bobot

jenis yang dihasilkan pada kerapatan daun 0,26 gr/cm3 dengan kuncup putih sebesar

0,917 dan berkuncup merah sebesar 0,915. Pada perlakuan terakhir dengan kerapatan

daun 0,35 gr/cm3 dengan kuncup putih dapat dihasilkan bobot jenis sebesar 0,913, sama

halnya dengan bobot jenis berkuncup merah sebesar 0,913. Bobot jenis pada penambahan

kerapatan daun memiliki kecenderungan menurun. Akan tetapi nilai bobot jenis yang

diperoleh dari berbagai perlakuan tidak besar, berkisar antara 0,000 – 0,002. Nilai bobot

(42)

27 Standar Nasional Indonesia (SNI 06-3954-2006) yang mensyaratkan bobot jenis minyak

kayu putih terletak pada 0,900 – 0,930 untuk minyak kayu putih dan juga masuk ke

dalam standar EOA yang terletak pada kisaran 0,908 – 0,925.

Tabel 5. Nilai Bobot Jenis Minyak Kayu Putih

Bobot Jenis Minyak Kayu Putih Varietas Daun

Pada kerapatan daun tersebut ada kecenderungan bahwa semakin tinggi kerapatan

daun yang dimasak, pada volume ketel tertentu dapat menghasilkan bobot jenis yang

semakin menurun. Hal ini dapat disebabkan karena kerapatan yang terlalu tinggi akan

menyulitkan arus uap, daun menjadi basah menyebabkan pemasakan tidak sempurna

sehingga terjadi proses hidrolisa. Hidrolisa didefinisikan sebagai reaksi kimia antara air

dengan beberapa persenyawaan dalam minyak atsiri. Hal yang mengakibatkan terjadinya

hidrolisa adalah reaksi yang berlangsung tidak sempurna. Bila ada permulaan reaksi

terdapat ester dan air panas, maka hanya sebagian ester yang akan terurai sampai

keseimbangan tercapai. Sebagai hasilnya di dalam campuran tersebut terdapat ester, air,

etanol, dan asam (Guenther 1987). Bobot jenis minyak ditentukan oleh komponen

minyak yang terkandung di dalamnya. Semakin tinggi fraksi berat dalam minyak maka

bobot jenis minyak semakin tinggi (Affandi 1993). Nilai bobot jenis yang didapat pada

penelitian ini menunjukkan semakin rendah kerapatan daun dalam ketel mengakibatkan

fraksi berat penyusun minyak kayu putih tersebut semakin banyak. Oleh karena itu,

kerapatan daun dalan ketel 0,17 gr/cm3 memiliki bobot jenis yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kerapatan yang lainnya. Banyaknya komponen fraksi padat yang

menyebabkan kerapatan minyak meningkat dikarenakan pada kerapatan yang terlalu

tinggi minyak lebih mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme dan reaksi reaksi kimia

(43)

28

4.2.2. Kadar Sineol

Sineol merupakan konstituen utama minyak kayu putih (40 – 60)%, dirakterisasi

dengan cara mengoksidasi fraksi yang mengandung sineol tersebut dengan asam sineolat

(C10H16O5), dengan titik cair 196o – 197oC. (Guenther 1987). Kecepatan penguapan

minyak dalam proses hidrodestilasi bahan tidak dipengaruhi oleh sifat mudah

menguapnya komponen-komponen minyak (atau dengan kata lain perbedaan titik didih

komponen), melainkan lebih banyak oleh derajat kelarutannya dalam air, tahapan

penguapan persenyawaan dalam minyak atsiri berlangsung menurut derajat kelarutannya

di dalam air, bukan menurut titik didihnya (Guenther 1987).

Nilai rata-rata kadar sineol dalam minyak kayu putih ini antara (40 – 60)%.

Minyak kayu putih yang dihasilkan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI

06-3954-2006) dan juga masuk ke dalam standar EOA yang mensyaratkan kadar sineol

memiliki nilai berkisar antara (50-65)%, kecuali pada kerapatan daun 0,35 gr/cm3 dengan

varietas kuncup putih maupun merah. Pada kerapatan daun tersebut kadar sineol yang

diperoleh tidak memenuhi standar SNI maupun standar EOA. Nilai terendah diperoleh

dari kerapatan daun 0,35 gr/cm3 dengan varietas daun berkuncup merah, sedangkan nilai

kadar sineol tertinggi diperoleh dari kerapatan daun 0,17 gr/cm3 dengan kuncup putih.

Grafik hubungan antara varietas daun dan kerapatan daun dalam ketel dengan kadar

sineol dapat dilihat pada Gambar 7.

(44)

29 Kadar sineol yang dihasilkan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya

kerapatan daun dalam ketel yang dimasukkan. Hal tersebut dikarenakan oleh terlalu

padatnya kerapatan di dalam ketel yang mengakibatkan komponen kimia tersebut belum

terisolasi secara keseluruhan atau dengan kata lain masih ada beberapa komponen kimia

yang masih terperangkap dalam sel-sel jaringan daun tersebut. Selain itu, uap jenuh yang

membawa komponen kimia terhalang oleh tumpukan daun, uap jenuh itu kembali lagi

sehingga komponen kimia bersentuhan dengan air dan merusak komponen kimia yang

terdapat dalam minyak menjadi etanol dan asam (Guenther 1990). Oleh karena itu, sineol

sebagian besar tersuling pada kerapatan daun yang rendah yaitu pada kerapatan daun 0,17

gr/cm3. Karena pada kerapatan daun 0,17 gr/cm3, dalam ketel terdapat rongga yang cukup

besar sehingga memudahkan komponen kimia termasuk sineol untuk keluar. Sedangkan

pada kerapatan daun yang relatif padat yaitu sebesar 0,35 gr/cm3, sehingga komponen

kimia kesulitan untuk mencari celah untuk keluar, uap panas yang membawa air kembali

lagi karena terhalang oleh tumpukan daun yang terlalu padat, dan menyebabkan minyak

kayu putih yang dihasilkan masih sedikit dan kadar sineol yang dikandungnya masih

rendah, oleh karena itu dibutuhkan pengaturan dalam kerapatan daun dalam ketel agar

kadar sineol yang dihasilkan tinggi.

Selama penyulingan, fraksi minyak kayu putih dalam destilat makin lama makin

kecil, sehingga pada akhirnya hanya air yang tersuling. Meskipun demikian dalam ampas

masih tertinggal sejumlah minyak, terutama minyak yang memiliki titik didih tinggi. Hal

tersebut yang terjadi pada kerapatan yang terlalu padat, kerapatan daun yang terlalu padat

akan menghasilkan kadar sineol yang rendah dan juga menghasilkan kualitas minyak

yang rendah. Karena dalam kerapatan yang terlalu tinggi akan menyulitkan arus uap,

sehingga daun menjadi basah, dan terjadi proses hidrolisa yang menurunkan kualitas

minyak (Sumardiwangsa 1976). Oleh karena itu, kadar sineol pada kerapatan daun 0,35

gr/cm3 tidak memenuhi standar SNI karena kerapatan daun yang terlalu padat sehingga

(45)

30

Tabel 6. Kadar Sineol (%)

Kadar Sineol Minyak Kayu Putih Varietas Daun

Kadar sineol yang dihasilkan berdasarkan varietas daunnya dapat dilihat pada

Tabel 6 bahwa rata-rata kadar sineol tertinggi berada pada varietas daun berkuncup putih

dibandingkan dengan varietas daun berkuncup merah. Dengan kerapatan daun 0,17

gr/cm3 kadar sineol yang dihasilkan pada kuncup putih dan merah adalah sebesar 60%

dan 56%, yang berarti pada varietas daun berkuncup putih dan merah pada kerapatan

daun 0,17 gr/cm3, memiliki perbedaan sebesar 4%. Sedangkan pada kerapatan daun 0,26

gr/cm3 pada kuncup putih dan merah menghasilkan kadar sineol sebesar 54% dan 50%,

dapat dihitung bahwa kuncup putih dan merah memiliki perbedaan sebesar 4%, dan

dengan kerapatan daun 0,35 gr/cm3 pada masing-masing varietas kuncup putih dan merah

memiliki kadar sineol sebesar 46% dan 40%, memiliki perbedaan sebesar 6%.

Dalam penelitian ini hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dalam setiap

pemasakan varietas kuncup putih memiliki kadar sineol yang lebih besar dibandingkan

dengan kuncup merah. Hal itu diduga karena tanaman yang berkuncup putih adalah

varietas Buru dengan sel minyak lebih kecil dan susunannya lebih rapat, sedangkan

kuncup merah diduga sebagai varietas Timor dengan sel minyak yang susunannya lebih

jarang (Sumardiwangsa 1973). Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa varietas

daun yang berkuncup putih memiliki kadar sineol yang lebih tinggi pada setiap

pemasakan daripada varietas yang berkuncup merah.

4.2.3. Indeks Bias

Hasil indeks bias rata-rata yang diperoleh berkisar antara 1,4654- 1,4692. Seluruh

nilai indeks bias ini memenuhi standar nasional Indonesia (SNI 06-3954-2006) yang

mensyaratkan indeks bias minyak kayu putih terletak pada 1,450-1,470 untuk minyak

kayu putih dan juga masuk ke dalam standar EOA, akan tetapi pada kerapatan daun

dalam ketel 0,35 gr/cm3 nilai indeks bias yang diperoleh tidak masuk ke dalam standar

(46)

31 media kurang padat seperti udara ke media padat seperti air, maka sinar akan dibiaskan

mendekati garis normal sedangkan jika terjadi sebaliknya yaitu sinar dari media lebih

padat ke media kurang padat maka sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal (Guenther

1987).

Menurut Guenther (1987), komponen komponen kimia yang terdapat di dalam

minyak atsiri sangat menentukan nilai indeks bias yang akan diukur. Apabila i dalam

minyak atsiri tersebut banyak terdapat fraksi-fraksi minyak berat yaitu

komponen-komponen kimia minyak atsiri yang mengandung molekul-molekul berantai panjang,

maka sinar datang akan dibiaskan mendekati garis normal. Banyaknya komponen kimia

minyak atsiri yang berantai panjang dan berikatan rangkap dapat menyebabkan minyak

mempunyai kekentalan dan kerapatan tinggi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks bias yang terbesar berada pada

kerapatan daun 0,17 gr/cm3 dengan varietas kuncup putih, dan yang terendah terdapat

pada kerapatan daun 0,35 gr/cm3 dengan varietas kuncup merah. Hal tersebut

menunjukkan bahwa varietas daun dan kerapatan daun dalam ketel mempengaruhi nilai

indeks bias, dimana semakin tinggi kerapatan daun dalam ketel maka akan menurunkan

nilai indeks bias.

Gambar 8. Grafik Hasil Uji Indeks Bias

Nilai indeks bias ditentukan dengan menggunakan sejumlah kecil sampel. Sama

halnya dengan berat jenis, nilai indeks bias dipengaruhi oleh sejumlah kecil kotoran yang

terkandung dalam minyak kayu putih, maka nilai indeks bias kayu putih tersebut akan

(47)

32 indeks bias, minyak harus dijauhkan dari panas dan cuaca lembab sebab udara dapat

berkondensasi pada permukaan prisma yang dingin. Akibatnya akan timbul kabut

pemisah antara prisma gelap dan terang, sehingga garis pembagi tidak terlihat jelas. Jika

minyak mengandung air garis pembatas akan kelihatan lebih tajam, tetapi nilai indeks

biasnya akan menjadi rendah (Ketaren 1985).

Tabel 7. Nilai Indeks Bias

Indeks Bias Minyak Kayu Putih Varietas Daun

Dalam Gambar 8, nilai indeks bias yang dihasilkan memiliki kecenderungan yang

semakin menurun. Nilai indeks bias tertinggi berada pada kerapatan daun 0,17 gr/cm3

dengan kuncup putih, dan yang paling rendah berada pada kerapatan daun 0,35 gr/cm3

dengan kuncup merah. Menurut Ketaren (1985), rendahnya nilai indeks bias dikarenakan

adanya kerusakan komponen dalam minyak. Indeks bias minyak dipengaruhi oleh

panjang rantai karbon dan jumlah ikatan rangkap. Adanya proses oksidasi maupun

hidrolisis dapat mengakibatkan terurainya ikatan rangkap pada senyawa terpen.

Menurut Sastrohamidjojo (2004), besar kecilnya indeks bias minyak berhubungan

dengan perbandingan komponen yang tersuling. Pada penyulingan bahan jika semakin

banyak komponen berantai panjang seperti sesquiterpen atau komponen bergugus

oksigen ikut tersuling, maka kerapatan medium minyak atsiri akan bertambah sehingga

cahaya yang datang akan lebih sukar dibiaskan. Hal ini menyebabkan indeks bias minyak

lebih besar. Minyak atsiri yang mempunyai bobot jenis tinggi akan mengandung

fraksi-fraksi berat yang akan meningkatkan kerapatan minyak.

Proses hidrolisis menyebabkan terpecahnya rantai carbon (C) panjang yang

berikatan rangkap dengan minyak, yang beberapa diantaranya memiliki gugus –OH

menjadi lebih pendek. Senyawa dengan rantai-C lebih pendek ini adalah asam lemak

yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik sehingga menurunkan kualitas minyak.

(48)

33 menurun (Guenther, 1987). Pada saat pemasakan dengan kerapatan yang terlalu tinggi

mengakibatkan tidak sempurnanya pemasakan, sehingga seluruh ikatan rangkap yang

dihasilkan tidak terputus an berubah menjadi senyawa lain. Dengan terputusnya ikatan

rangkap dalam minyak membuat komponen-komponen menjadi lebih ringan dan

kerapatannya berkurang. Kerapatan yang rendah memudahkan sinar yang menembus

minyak untuk dibiaskan menuju normal. Semakin mudah sinar dibiaskan dalam suatu

medium, maka nilai indeks bias tersebut akan semakin rendah. Adanya kandungan air

pada minyak juga dapat menyebabkan indeks bias menurun karena adanya air dapat

memicu proses hidrolisis.

4.2.4. Putaran Optik

Minyak atsiri mempunyai kemampuan untuk memutar bidang polarisasi ke kanan

(dekstro) atau ke kiri (levo) (Guenther 1987). Kemampuan ini disebabkan karena minyak

atsisi mengandung komponen-komponen kimia yang mempunyai atom karbon (C)

asimetris pada struktur kimianya (Affandi 2003). Nilai rata-rata putaran optik minyak

kayu putih pada berbagai perlakuan berkisar antara -0,4 sampai – 1,9. Dalam putaran

optik sudut rotasi tergantung dari sifat cairan, panjang tabung yang digunakan dan suhu.

Derajat rotasi dan arahnya, penting untuk menentukan kriteria kemurnian. Arah

perputaran bidang polarisasi (rotasi) biasanya menggunakan tanda (+) untuk

menunjukkan dextrorotation (rotasi ke arah kanan, sesuai dengan perputaran arah jarum

jam), dan tanda (-) untuk laevorotation (rotasi ke kiri, yaitu berlawanan dengan arah

jarum jam) (Ketaren 1985).

Gambar

Gambar 1. Tanaman Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn)
Tabel 2. Syarat Mutu Minyak Kayu Putih SNI 06-3954-2006
Tabel 4. Rendemen Minyak Kayu Putih yang dihasilkan (%)
Tabel 5. Nilai Bobot Jenis Minyak Kayu Putih
+6

Referensi

Dokumen terkait