• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika populasi plankton dalam area pusat penangkapan benur dan nener di perairan pantai Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan (Disertasi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika populasi plankton dalam area pusat penangkapan benur dan nener di perairan pantai Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan (Disertasi)"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA POPULASI PLANKTON

DALAM AREA PUSAT PENANGKAPAN BENUR DAN NENER

DI PERAIRAN PANTAI KECAMATAN SUPPA

KABUPATEN PINRANG, SULAWESI SELATAN

NUR ASIA UMAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

x

Halaman

DAFTAR TABEL ………... xii

DAFTAR GAMBAR ……….……... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii

I PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ……….. 1

Rumusan Masalah ………... 3

Tujuan dan Kegunaan ………... 7

II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 8

Distribusi dan Kelimpahan Fitoplankton ……….. 8

Pertumbuhan Fitoplankton dan Produktivitas Primer ………... 10

Distribusi dan Kelimpahan Zooplankton ……….. 11

Pemangsaan Zooplankton Terhadap Fitoplankton ... 14

Benur, Nener dan Larva Lainnya ... 20

Parameter Lingkungan dan Nutrien ... 25

III METODE PENELITIAN ………... 31

Waktu dan Lokasi ... 31

Pengambilan Data ... 32

Pengukuran Parameter Lingkungan ... 32

Pengambilan Sampel Plankton dan Larva ... 33

Pengukuran Produktivitas Primer ... 35

Pengamatan Pemangsaan ... 36

Analisis Data ... 38

Parameter Lingkungan ... 39

Produktivitas Primer ... 40

Distribusi dan Kelimpahan Plankton, Benur, Nener dan Larva Lainnya ... 41

Pemangsaan Plankton ... 41

Dinamika Populasi Plankton ... 43

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 44

Parameter Lingkungan ……….. 44

Suhu ……….. 44

Salinitas ……… 46

Kadar Oksigen Terlarut (DO) ... 48

Kecepatan Arus ……… 50

Kadar Nutrien ………... 51

Parameter Lingkungan Berdasarkan Musim Benur dan Nener ... 52

(3)

Latar Belakang

Fitoplankton memiliki peranan penting dalam ekosistem perairan, sebagai

organisme autotrof yang mampu mensintesis sejumlah bahan organik dari bahan

anorganik melalui proses fotosintesis (Nybakken 1992; Nontji 1987). Produksi

primer yang dihasilkan oleh fitoplankton ini sangat penting bagi kehidupan

organisme lainnya di dalam suatu perairan. Dalam struktur rantai makanan

fitoplankton dikonsumsi oleh zooplankton dan selanjutnya kedua golongan

plankton ini menjadi sumber makanan utama berbagai jenis organisme pada stadia

awal perkembangannya. Larva berbagai jenis ikan, udang dan hewan yang

memiliki nilai ekonomis penting memiliki ketergantungan yang sangat tinggi

terhadap kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan pantai (Hinrichsen

et al. 2002).

Produksi primer yang dihasilkan oleh fitoplankton sangat ditentukan oleh

kelimpahan dan komposisi jenis fitoplankton yang ada dalam suatu perairan.

Komposisi jenis dan kelimpahan fitoplankton sangat dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan dan aktivitas pemangsaan oleh zooplankton dan organisme planktivor

lainnya. Nutrien dan cahaya merupakan parameter lingkungan laut yang memiliki

pengaruh yang sangat besar terhadap kelimpahan fitoplankton di laut maupun

perairan pantai. Intensitas pemangsaan melalui grazing zooplankton dan

pemangsaan oleh larva berbagai jenis hewan tingkat tinggi juga merupakan faktor

utama yang cukup berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton.

Ekosistem perairan pantai yang relatif dinamis mengalami perubahan baik

dalam skala waktu harian melalui pasang surut maupun skala musiman yang

terkait dengan proses fisik yang mengalami siklus musiman seperti curah hujan,

masukan nutrien melalui run off, intensitas penyinaran dan suhu yang akan

mempengaruhi dinamika populasi fitoplankton secara musiman di pantai. Oleh

karena itu produktivitas primer akan mengalami dinamika sesuai dengan dinamika

populasi fitoplankton yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan aktivitas

(4)

mempengaruhi kelimpahan dan kelangsungan hidup populasi benur, nener dan

larva beberapa hewan tingkat tinggi lainnya.

Berkaitan dengan pemangsaan terhadap populasi fitoplankton maupun

zooplankton, larva udang windu (Penaeus monodon Fab.) dan larva ikan bandeng

(Chanos chanos Forsk.) merupakan larva yang secara musiman mempengaruhi

kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di beberapa perairan pantai di pesisir

pantai barat Sulawesi Selatan. Pada stadia larva kedua jenis ini mengkonsumsi

plankton sebagai makanan utamanya. Oleh karena itu kelangsungan hidupnya

sangat ditentukan oleh ketersediaan plankton di pantai. Kelimpahan benur dan

nener secara musiman sangat ditentukan oleh jumlah larva yang dihasilkan dari

pemijahan dan selanjutnya kelangsungan hidup pada perkembangan stadia larva

sangat dipengaruhui oleh ketersediaan makanannya.

Penangkapan benur dan nener dari alam telah lama dilakukan oleh

masyarakat pesisir pantai di Sulawesi Selatan. Sampai saat ini penangkapan

benur dan nener itu masih cukup intensif dilakukan terutama pada daerah-daerah

tertentu seperti di Kabupaten Pinrang, Barru, dan Bantaeng. Bahkan akhir-akhir

ini teknik penangkapan tradisionil dengan menarik jaring (seser) oleh tenaga

manusia semakin dikembangkan dengan cara menggunakan perahu motor tempel.

Indikasi ini menunjukkan bahwa minat para petani tambak untuk menggunakan

benur dan nener alami masih terus meningkat, meskipun penyediaan benih dari

hatchery dengan harga lebih murah dan jumlah yang banyak juga semakin

meningkat. Hal ini disebabkan adanya beberapa keunggulan benur dan nener

alami dibandingkan dengan produksi hatchery, seperti daya tahan dan tingkat

kelangsungan hidup yang relatif lebih tinggi, namun jumlah dan kontinyuitasnya

sangat terbatas dan tergantung pada musim.

Kegiatan penangkapan benur dan nener pada beberapa sentra penangkapan

dilakukan secara musiman, mengikuti kelimpahan populasinya di alam. Puncak

musim biasanya terjadi pada musim barat. Populasi benur dan nener pada musim

tersebut mencapai kepadatan yang sangat tinggi dan biasanya berlangsung hanya

beberapa bulan saja. Secara alamiah dengan meningkatnya populasi benur dan

nener di alam pada musim tertentu akan berpengaruh terhadap populasi plankton

(5)

pemangsaan pada musim tersebut maka populasi fitoplankton akan mengalami

perubahan sesuai keseimbangan antara daya dukung lingkungan dan laju

pemangsaan.

Melihat gejala ini maka dapat diduga bahwa ada faktor-faktor yang

menyebabkan populasi benur dan nener itu sangat melimpah pada musim tersebut.

Faktor-faktor apa saja yang sangat erat kaitannya dengan kelimpahan tersebut

sejauh ini masih dikaitkan dengan waktu pemijahan ikan dan udang dewasa.

Sementara informasi mengenai beberapa parameter bioekologi masih terbatas.

Bagaimana hubungan antar populasi plankton dengan kelimpahan benur dan nener

berikut mekanisme mangsa memangsa yang membentuk dinamika populasinya

merupakan salah satu kajian yang dianggap perlu untuk diteliti. Hal ini

merupakan salah satu yang melatarbelakangi sehingga penelitian ini dilaksanakan.

Rumusan Masalah

Pola musim melimpahnya larva benur dan nener adalah pada musim barat

sekitar bulan Desember sampai Februari (musim barat yaitu Desember sampai

Februari, musim pancaroba I Maret sampai Mei, musim timur yaitu Juni sampai

Agustus, musim pancaroba II yaitu September sampai Nopember). Musim ini

pada beberapa pantai di sepanjang pantai barat Sulawesi Selatan sangat terkait

dengan musim pemijahan udang dan ikan bandeng. Pola angin dan arus pada

musim tersebut menyebabkan terbawanya benur dan nener yang baru menetas dari

laut menuju pantai. Konsentrasi larva yang tinggi di perairan pantai menyebabkan

tekanan pemangsaan terhadap plankton terutama fitoplankton relatif cukup besar.

Akibatnya terjadi perubahan kelimpahan populasi plankton yang cukup cepat dan

akhirnya menyebabkan perubahan pula pada produktivitas primer. Jika

produktivitas primer tidak meningkat dari waktu sebelum puncak hingga

kelimpahan benur dan nener mencapai puncaknya, maka akibatnya dapat

dipastikan bahwa sebagian besar benur dan nener akan mati karena kekurangan

makanan, hal ini sesuai dengan pernyataan Smith dan Eppley (1982) yang

menyatakan bahwa produksi ikan anchovy berhubungan erat dengan produktivitas

primer. Produksi rata-rata musiman ikan anchovy paling tinggi ketika

(6)

oleh variasi produktivitas primer. Sebaliknya jika laju produktivitas primer

meningkat pada puncak musim hingga mencapai titik yang dapat mendukung

populasi benur dan nener sehingga terjadi keseimbangan dengan tekanan

pemangsaan maka jelas bahwa kematian populasi benur dan nener bukan akibat

kekurangan makanan. Untuk menjelaskan kejadian tersebut maka perlu dilakukan

penelitian cermat yang mempelajari hubungan antara kelimpahan plankton dan

produktivitas primer dengan kelimpahan populasi benur dan nener di lokasi

penelitian.

Populasi plankton yang tersusun dari berbagai taksa atau genera sangat

memungkinkan adanya perbedaan respon baik terhadap faktor lingkungan

maupun terhadap tekanan pemangsaan. Karena diduga bahwa tidak semua jenis

fitoplankton dan zooplankton dikonsumsi dalam jumlah yang sama oleh populasi

benur dan nener, maka hal ini berpotensi menyebabkan perbedaan dalam

kelimpahan dan dinamika populasi antar jenis plankton. Apabila masalah ini

hanya dilihat dari perubahan produktivitas primer pada tingkat populasi maka

sangat sulit untuk menjelaskan terjadinya perbedaan antar jenis tersebut. Dengan

demikian masalah ini memerlukan pengamatan melalui pemangsaan yang mampu

mengidentifikasi paling tidak pada tingkat genera. Untuk menjelaskan lebih detail

mengenai dinamika populasi plankton diperlukan fakta-fakta yang lebih detail

mengenai pola perubahan distribusi dan kelimpahan diantara genera-genera

penyusun populasi tersebut berdasarkan responnya terhadap perubahan

lingkungan dan pemangsaan benur dan nener.

Benur dan nener yang bersifat planktonik dan juga makan plankton sangat

dipengaruhi oleh populasi fitoplankton dan zooplankton serta larva hewan tingkat

tinggi lainnya. Ketika mencapai puncak musim, peningkatan populasi benur dan

nener yang tinggi mutlak memerlukan banyak makanan. Masalahnya adalah

apakah daya dukung lingkungan (berdasarkan kelimpahan dan produktivitas

primer) mampu memenuhi kebutuhan benur dan nener serta jenis apa saja yang

menjadi makanannya, pemangsa dan pesaing dalam perebutan sumberdaya bagi

benur dan nener dari sekian banyak jenis plankton yang ada. Jika telah diketahui

berpengaruh, seberapa besar pengaruh perubahan populasi plankton terhadap

(7)

plankton maupun benur dan nener terhadap perubahan parameter lingkungan?

Oleh karena itu agar masalah tersebut dapat dijelaskan perlu dilakukan penelitian

yang mempelajari dinamika populasi plankton, benur dan nener serta larva lainnya

yang juga bersifat planktonik, termasuk pengaruh parameter lingkungan terhadap

populasi plankton yang ada di dalamnya.

Permasalahan yang dijelaskan di atas dapat dijawab melalui penelitian

dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti pengambilan data kelimpahan

plankton dan pengukuran beberapa parameter lingkungan dalam waktu yang

bersamaan secara periodik dan meliputi waktu sebelum, pada saat dan setelah

puncak musim benur dan nener, pengukuran produktivitas dan pengamatan laju

pemangsaan benur, nener dan larva lain terhadap plankton. Melalui kerangka

berfikir dan sesuai dengan tujuan penelitian ini maka rumusan masalah dalam

penelitian ini secara skematis ditunjukkan dalam diagram seperti dalamGambar 1.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka dibuat hipotesis dalam penelitian ini

yaitu:

(1) Kelimpahan plankton dan produktivitas primer pada puncak musim lebih

tinggi jika dibandingkan dengan sebelum dan sesudah puncak musim benur

dan nener.

(2) Laju pemangsaan benur, nener dan larva lain terhadap populasi plankton

tergantung pada kelimpahan plankton dan terjadi kompetisi antara benur,

nener dan larva lain dalam memangsa plankton.

(3) Dinamika populasi plankton dipengaruhi oleh parameter lingkungan dan

pemangsaan oleh benur, nener dan larva lainnya, perubahan populasi

plankton mempengaruhi perubahan populasi benur dan nener dan ada spesies

(8)
(9)

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan utama penelitian ini adalah:

(1) Untuk mempelajari bagaimana hubungan antara parameter lingkungan,

kelimpahan plankton dan produktivitas primer dengan kelimpahan benur dan

nener di lokasi penelitian.

(2) Mengkaji dinamika populasi plankton, benur dan nener sebelum, pada saat,

dan setelah puncak musim benur dan nener.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar

mengenai karakteristik perairan pantai, kapasitas daya dukung dan dinamika

sistem planktonik serta pengaruhnya terhadap populasi benur dan nener. Selain

itu diharapkan dari pengetahuan tentang dinamika populasi plankton di lokasi

penelitian dapat menjadi acuan dasar dalam merumuskan kebijakan untuk upaya

peningkatan populasi benur dan nener.

(10)

Distribusi dan Kelimpahan Fitoplankton

Distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan,

seperti cahaya, temperatur, salinitas, nutrien, pH, arah dan kecepatan arus. Faktor

tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan spesies plankton di suatu

lingkungan (Parsons et al. 1984; Valiela 1984). Lebih lanjut Parsons et al. (1984)

mengemukakan bahwa tidak mudah untuk menjelaskan kondisi yang berlaku

umum tentang penyebaran fitoplankton secara horisontal di laut. Hal ini

disebabkan oleh perbedaan kondisi ekologi pada bagian-bagian laut yang berbeda,

seperti di daerah pantai dan estuari, pesisir pantai dan laut lepas.

Ada kecenderungan persebaran fitoplankton bersifat lebih mengelompok

di daerah neritik dibanding dengan di oseanik (lepas pantai).

Kecenderungan pengelompokan fitoplankton secara horisontal

kemungkinan berhubungan dengan variasi parameter fisika, kimia dan biologi

(salinitas, turbulensi, dan pemangsaan). Keragaman distribusi horisontal ini lebih

nampak di daerah dekat pantai, estuari, dan teluk dibanding di laut terbuka.

Umumnya fitoplankton di laut terbuka kurang melimpah dan distribusinya lebih

merata dibandingkan dengan fitoplankton di dekat pantai (Lorenzen 1971;

Venrick 1972, diacu dalam Levinton 1982).

Secara spasial dan musiman, penyusun biomassa dan ukuran sel

fitoplankton di daerah paparan benua sebelah timur laut Selandia Baru berkaitan

dengan keterbatasan nutrien, cahaya dan pemangsaan. Pada awal musim semi dan

selama turbulensi dan upwelling musim dingin fitoplankton didominasi oleh

diatom berbentuk rantai dan berukuran besar. Blooming menurun pada akhir

musim semi karena keterbatasan nutrien, diatom berukuran lebih kecil bertepatan

dengan munculnya dinoflagellata, nannoflagellata kecil dan picofitoplankton pada

awal dan akhir musim panas (Chang et al. 2003).

Cahaya sangat menentukan persebaran fitoplankton di laut. Fitoplankton

dapat beradaptasi dengan kondisi cahaya yang masuk dalam perairan, sehingga

(11)

Fitoplankton tipe terang hidup di permukaan dan mempunyai kemampuan untuk

beradaptasi menggunakan intensitas cahaya tinggi dengan efisien (Nontji 1984).

Nontji (1975) yang telah meneliti 38 stasiun di daerah upwelling

Laut Banda mendapatkan rata-rata kandungan klorofil-a untuk kedalaman 0, 25,

50, 75 dan 100 meter masing-masing sebesar 0.26, 0.38, 0.33, 0.18 dan

0.08 mg/m3. Klorofil-a maksimum umumnya ditemukan pada kedalaman 25 dan

50 meter. Sedangkan Dickson dan Wheeler (1993) mendapatkan adanya

perbedaan kedalaman konsentrasi klorofil-a maksimum menurut letak lintang

di garis bujur 152oB. Pada lintang 28oU, 37oU, 42oU dan 48oU secara berurut

memiliki kedalaman konsentarsi klorofil-a maksimum yaitu 130, 100, 40 dan 0

meter. Sejalan dengan hal itu, Matsumura-Tundisi et al. (1997) berdasarkan hasil penelitiannya di bagian timur Lautan Hindia menyatakan bahwa sebaran

konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat

sedikit, dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan

tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada

lagi klorofil-a di bawah lapisan termoklin.

Perbedaan kelimpahan dan spesies yang mendominasi komunitas

fitoplankton pada tiga perairan teluk (Jakarta, Lampung dan Semangka) yang

berbeda didapatkan dari hasil penelitian Damar (2003). Meskipun pada ketiga

teluk komunitas fitoplankton didominasi oleh diatom, namun terdapat perbedaan

dalam tingkat genus dan spesies yang mendominasi. Spesies dari diatom kecil

yang berbentuk rantai Skeletonema costatum dan Chaetoceros spp. terutama

mendominasi daerah lepas pantai di Teluk Jakarta, sementara di perairan pantai

yang kurang teraduk Chyanophycea (Trichodesmium spp.) dan Dinophyceae

(Ceratium spp. dan Dynophysis caudata) juga ditemukan tetapi dengan jumlah

yang relatif terbatas dibandingkan dengan diatom. Teluk Lampung dan Teluk

Semangka lebih didominasi oleh Chaetoceros spp., di daerah yang kurang

teraduk dan lebih terstratifikasi di mulut sungai didapatkan dinoflagellata dan

cyanophyceae yang lebih melimpah dibandingkan dengan di lepas pantai.

Distribusi vertikal klorofil di laut pada umumnya berbeda menurut waktu,

pada suatu saat ditemukan maksimum di dekat permukaan, namun di lain waktu

(12)

1960, diacu dalam Parsons et al.1984). Hal ini didukung oleh kenyataan yang

didapatkan oleh Setiapermana et al. (1992) di Lautan Hindia bagian timur dan

Arinardi (1994) di Teluk Jakarta yang menunjukkan adanya perbedaan distribusi

klorofil-a pada musim yang berbeda. Mann dan Lazier (1991) menyatakan bahwa

secara umum produktivitas primer fitoplankton dipengaruhi oleh berbagai aspek

fisika di laut.

Pertumbuhan Fitoplankton dan Produktivitas Primer

Respon fitoplankton terhadap intensitas cahaya sangat dipengaruhi oleh

pigmen yang dikandungnya. Perbedaan pigmen yang dikandung antara jenis

fitoplankton menyebabkan perbedaan intensitas cahaya yang diabsorbsi. Hal ini

berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesis. Lebih spesifik Levinton

(1982) menyatakan bahwa fitoplankton berfotosintesis menggunakan klorofil a, c

dan pigmen tambahan seperti protein fucoxanthin dan peridinin yang secara

lengkap menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak. Cahaya dengan

panjang gelombang lebih dari 600 nm diabsorbsi oleh klorofil dan yang kurang

dari 600 nm diabsorbsi oleh pigmen tambahan.

Gabric dan Parslow (1989) menyatakan bahwa faktor fisik utama yang

mengontrol produksi fitoplankton di daerah eutrofik adalah percampuran vetikal,

penetrasi cahaya dalam kolom air dan laju pengendapan sel-sel fitoplankton itu

sendiri. Sharples et al. (2001) mendapatkan konsentrasi klorofil-a maksimum di

lapisan termoklin pada perairan terstratifikasi sempurna di bagian barat Selat

Inggris. Konsentrasi klorofil-a maksimum (sekitar 45 mg/m3) pada kedalaman

sekitar 30 meter dengan ketebalan sekitar 5 meter. Kedalaman tersebut

merupakan lapisan di sekitar batas bawah lapisan termoklin dan sangat dekat

dengan lapisan dimana kandungan kadar nitrat sangat tinggi. Maksimumnya

konsentrasi klorofil-a pada kedalaman tersebut berkaitan dengan intensitas

cahaya, konsentrasi nitrat dan energi disipasi turbulensi akibat pengaruh pasang

surut.

Observasi selama satu dekade di utara Teluk San Fransisco menunjukkan

bahwa biomassa fitoplankton estuari berfluktuasi dalam skala waktu beberapa hari

(13)

fluktuasi energi pasang surut. Blooming biomassa fitoplankton meningkat dari

2 - 4 mg klorofil-a per m3 sampai puncaknya 20 - 40 mg klorofil-a per m3

kemudian menurun kembali dalam beberapa minggu. Peningkatan biomassa

terjadi selama pasang perbani dan setiap penurunan bersesuaian dengan pasang

purnama. Hal ini menunjukkan bahwa variasi harian laju percampuran vertikal

akibat pasang surut kemungkinan mengontrol dinamika blooming fitoplankton

di estuari (Cloern 1991).

Hasil penelitian Peperzak et al. (2003) mengenai laju pengendapan

fitoplankton di wilayah Rhine yang mendapat pengaruh air tawar tidak

memperlihatkan adanya hubungan linier antara ukuran fitoplankton (< 10 sampai

> 1000 µm) dengan laju pengendapan (–0.4 sampai > 2.2m hari-1) 24 spesies dan

genus fitoplankton autotrof. Faktanya, di bawah kondisi nutrien cukup laju

pengendapan diatom (Chaetoceros radicans), Rhizosolenia shrubsolei dan

Rhizosolenia stolterfothii menurun dengan meningkatnya ukuran. Laju

pengendapan koloni yang besar dari prymnesiophyte Phaeocystis globosa

berkorelasi negatif dengan ukuran dan berkorelasi positif dengan bouyancy. Laju

pengendapan klorofil-a secara periodik melebihi satu meter per hari, cukup

signifikan untuk menyebabkan laju kehilangan pada lapisan permukaan sebanyak

0.2 µg klorofil-a per hari. Pada kondisi terstratifikasi, laju pengendapan dan

konsentrasi klorofil-a pada lapisan dasar signifikan lebih tinggi dibandingkan

dengan lapisan permukaan (secara berurut +49% dan +16%).

Distribusi dan Kelimpahan Zooplankton

Dubi et al. (2003) menyatakan bahwa variabel lingkungan seperti suhu,

salinitas, pH dan oksigen terlarut berpengaruh terhadap komunitas plankton dan

fitobentos. Perbedaan salinitas antara musim hujan dan kemarau menyebabkan

perbedaan kelimpahan zooplankton, dimana selama musim hujan dengan salinitas

rendah rotifer melimpah, sedangkan selama musim kering protozoa dan kopepoda

yang melimpah.

Suhu memiliki salah satu peranan penting dalam karakter life history

Pseudocalanus newmani, tidak hanya pertumbuhan dan reproduksi yang

(14)

yang dikontrol suhu di bawah suplai makanan yang cukup (Lee et al. 2003). Pada

kisaran suhu 3 - 15oC, perkembangan dari penetasan sampai mencapai betina

dewasa meningkat secara eksponensial dengan menurunnya suhu. Di atas suhu

15oC, laju pertumbuhan berat spesifik (SGR) meningkat secara linier dengan suhu

dengan persamaan: SGR = 0.0095T + 0.0462(r = 0.996). Sementara laju produksi

berat telur spesifik (SER) meningkat dengan meningkatnya suhu mengikuti

persamaan: SER = 0.02T + 0.014 (r = 0.99) di bawah suhu 15 oC. Pada suhu

tinggi (20 oC) perkembangan embrio dan postembrio dan produksi telur tertekan.

Pengaruh penghambatan suhu tinggi ini terkait dengan kisaran distribusi vertikal

dan siklus kelimpahan musiman di alam.

Uye dan Shimazu (1997) mendapatkan adanya perbedaan musim

kelimpahan, biomassa dan laju produksi meso dan makro plankton di Laut Inland,

Jepang. Rata-rata biomassa net-zooplankton di lokasi tersebut lebih tinggi pada

bulan Oktober (35.5 mg C m–3) dibandingkan dengan bulan lainnya (13.2, 14.9

dan 16.4 mg C m–3, pada Januari, April dan Juni 1994). Dari biomassa tersebut

kopepoda merupakan bagian yang penting (rata-rata tahunan 65%), diikuti oleh

chaetognata (12%) dan malacostraca yang terdiri dari euphausiid, mysid, dan

larva decapoda (10%). Net-zooplankton dibagi ke dalam produser sekunder dan

produser tertier, menurut kebiasaan makannya. Rata-rata tahunan produksi

sekunder dan produksi tertier adalah 4.35 mg C m–3 hari–1 (=51.8 g C m–2 th–1)

dan 1.68 mg C m–3 hari–1 (=20.0 g C m–2 th–1). Kedua laju produksi paling tinggi

pada bulan Oktober dibanding dengan bulan lainnya, dalam respon yang tidak

selalu diikuti dengan laju produksi fitoplankton tinggi pada bulan tersebut.

Zooplankton yang mudah dimakan oleh ikan yang khas pemakan plankton

bertahan pada perairan yang lebih dalam dan gelap pada siang hari. Posisi

vertikal mungkin dipengaruhi oleh profil suhu dan oksigen, tetapi intensitas

cahaya menjadi faktor kritis yang penting. Kecerahan air tergantung pada

konsentrasi karbon organik terlarut (DOC), dengan demikian perbedaan pola

distribusi vertikal zooplankton bervariasi berdasarkan kandungan DOC.

Cladosera kecil didapatkan lebih di atas dibanding cladosera besar, sementara

kopepoda berada pada kolom air lebih dalam. Perairan yang jernih ditentukan

(15)

waktu tertentu. Suhu dan oksigen juga merupakan variabel utama yang

menentukan distribusi vertikal zooplankton (Wissel & Ramacharan 2003).

Nejstgaard et al. (2001) telah meneliti pertumbuhan, aktivitas makan dan

keberhasilan reproduksi zooplankton Calanus helgolandicus secara simultan

dalam kondisi blooming plankton yang didominasi diatom dan mikrozooplankton

flagellata. C. helgolandicus umumnya menyukai makanan bukan diatom seperti

ciliata dan metazoa. Produksi spesifik karbon dalam tubuh naupli betina tertinggi

10.6% per hari terjadi selama blooming mikrozooflankton flagellata, kemudian

menurun sekitar 1.7% per hari selama blooming Dictyocha speculum. Dalam

perairan yang didominasi diatom produksi spesifik karbon menurun sampai 0.1%

dan selalu <5.2% per hari. Selanjutnya didapatkan total standing stock kopepoda

calanoid meningkat sampai 2.6 kali lebih banyak pada mesocosm yang

didominasi mikrozooplankton flagellata. Penurunan keberhasilan reproduksi

dalam perairan yang didominasi diatom terlihat ketika laju pemangsaan tinggi,

ciliata dan mangsa lainnya menyusun bagian subtansial makanan. Hal ini

menunjukkan bahwa semua mangsa lainnya termasuk ciliata kualitasnya rendah,

dan atau komponen penghambat tersebut mungkin memiliki peran penting selama

blooming diatom, terjadi ketika jumlah yang signifikan dari mangsa alternatif

tersedia. Hasil ini juga mendukung bahwa blooming silicoflagellata Dictyocha

speculum mungkin berpengaruh negatif terhadap reproduksi kopepoda. Tingginya

konsentrasi populasi zooplankton di Western Bank, Scotian Shelf disebabkan

karena lebih tingginya laju produksi yang melampaui laju hilangnya akibat

adveksi sebagai pengaruh arus. Calanus typicus dan Pseudocalanus spp dapat

meningkatkan populasinya melampaui laju kematian sekitar 10% per hari.

Hasil pengamatan Tarling et al. (1998) terhadap migrasi vertikal

komunitas zooplankton yang didominasi oleh eupausid Meganyctiphanes

norvegica menunjukkan bahwa bulan berpengaruh terhadap migrasi vertikal

zooplankton. Permulaan turunnya zooplankton berkorelasi sangat kuat dengan

waktu terbitnya bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa M. norvegica berespon

terhadap cahaya bulan.

Laju produksi dan kesuksesan penetasan telur Centropages hamatus dan

(16)

Hasilnya menunjukkan bahwa dalam kondisi terdapat makanan alami, peranan

penetasan yang terhambat dan laju pengendapan yang tinggi menyebabkan

hilangnya telur dari kolom air. Kumulatif kesuksesan penetasan selama 15 hari

konsisten tinggi selama bulan Maret-Juni, yaitu 80% dan 70% masing-masing

pada Centropages hamatus dan Temora longicornis. Laju pengendapan telur

untuk Centropages hamatus berkisar antara 4.6 - 22.4 m per hari dan 13.4 - 25.4

m per hari untuk Temora longicornis. Dalam perairan dangkal seperti di Long

Island Sound (<20 m) sering terjadi telur mengendap ke dasar perairan sebelum

menetas.

Somoue et al. (2005) mendapatkan 78 spesies dari 24 famili kopepoda di

perairan pantai bagian Selatan Maroko. Pada umumnya kopepoda menghuni

perairan pantai, empat jenis diantaranya yang dominan adalah Calanus

helgolandicus, Paracalanus parvus, Acartia clausi dan Corycaeus typicus.

Keempat spesies tersebut jumlahnya mencapai 57% dari total kpepoda pada

musim panas.

Pemangsaan Zooplankton Terhadap Fitoplankton

Greze (1987) menggunakan metode secara fisiologis dalam pendugaan

laju pertumbuhan populasi zooplankton di Laut Mediterania. Hasilnya

menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik kopepoda pada lapisan permukaan

100 meter mencapai rata-rata 0.10 mg/m3, krustasea pelagis 0.05-0.06 mg/m3,

chaetognatha 0.08-0.10 mg/m3, coelenterata 0.13-0.14 mg/m3. Berdasarkan atas

biomassa, taksonomi dan komposisi zooplankton pada bagian-bagian yang

berbeda di Laut Mediterania, nilai produksi diduga terdiri dari herbivor, carnivor

dan euryphage.

Aktivitas pemangsaan zooplankton dapat ditentukan dengan berbagai cara

berdasarkan pada pengukuran terhadap variasi penjejak dalam makanan terhadap

waktu. Metode inkubasi berdasarkan pada pengukuran jumlah fitoplankton atau

klorofil-a dalam medium menurut waktu tertentu. Metode ini termasuk

pengukuran secara tidak langsung. Pengukuran tidak langsung lainnya adalah

berdasarkan pada produksi faecal pellets. Kwint dan Kramer (1996)

(17)

zooplankton. Isi lambung zooplankton diukur dari b-dimethylsulphoniopropionate

(DMSP), yang dapat mengukur kejadian dalam individu kopepoda. Tracer

gabungan tersebut menggabungkan sensitivitas tinggi, deteksi dalam lambung

zooplankton dan kemungkinan diaplikasikan di lapangan. Laju pengisian dan laju

pengosongan lambung dapat diduga dalam metode tersebut berdasarkan pada

analisis terhadap senyawa sulfur b-dimethylsulphoniopropionate (DMSP). DMSP

terdapat pada kebanyakan spesies fitoplankton laut (salah satu sumber makanan

utama zooplankton yang mungkin memiliki fungsi osmolyte. DMSP terutama

terdapat dalam sel-sel hidup, dengan cepat terdegradasi dalam air dengan aksi

fisik dan mikrobiologis. DMSP dapat dianalisis sebagai dimethylsulphide (DMS)

dengan gas chromatography, setelah hidrolisasi dengan NaOH. DMS yang

terbentuk dengan hidrolisis ini hanya terkait dengan DMSP. Selain itu dijelaskan

pula bahwa aktivitas pemangsaan zooplankton dapat diketahui dengan berbagai

cara berdasarkan pada pengukuran variasi tracer dalam makanan sebagai fungsi

dari waktu. Penggunaan material radio-labelled memiliki kelemahan. Karena

pengukuran fluoroscen lambung dan metode 14C terbentuk dalam zooplankton itu

sendiri sehingga dengan demikian adalah metode langsung, dapat juga digunakan

ketika makanan yang tersedia berlebih. Salah satu kelemahan kedua metode yaitu

metode inkubasi dan metode fluorescen lambung adalah bahwa dibutuhkan

jumlah kopepod yang sangat besar dalam suatu waktu (lebih 200 untuk kopepod

<500 µm), sensitivitas metode tersebut relatif rendah (Rodriguez & Durbin 1992,

diacu dalam Kwint & Kramer 1996). Selanjutnya dijelaskan bahwa pigmen adalah

sangat rentan perubahan karena pengaruh cahaya dan suhu. Hanya metode

fluorescen lambung dapat diaplikasikan dalam eksprimen terbuka dalam kondisi

lapangan.

Pengukuran laju pemangsaan secara insitu dinoflagellata miksotrofik

Gyrodinium galatheanum terhadap populasi cryptophyta yang mengandung

phycoerithrin telah dilakukan oleh Li et al. (2001) di Teluk Chesapeake. Laju

pemangsaan diduga dari kandungan vakuola makanan, suhu in situ, kelimpahan

cryptophyta dan penentuan laju pemangsaan secara eksperimental. Eksperimen

pemangsaan di laboratorium menunjukkan bahwa laju pemangsaan spesifik

(18)

kandungan awal vakuola ketika kandungannya < 0.46 cryptophyta per

dinoflagellata. Hasil ini memungkinkan untuk mengembangkan model empiris

untuk mengestimasi laju pemangsaan in situ cryptophyta oleh Gyrodinium

galatheanum. Hasil estimasi berkisar antara 0 - 0.26 cryptophyta per

dinoflagellata per hari, sesuai dengan pemangsaan harian 0 - 12.29 pg karbon,

0-2.48 pg nitrogen dan 0 - 0.34 pg fosfat per dinoflagellata. Estimasi konsumsi

harian biomassa cryptophyta oleh Gyrodinium galatheanum setara dengan

0-12% carbon tubuh, 0 - 13% nitrogen tubuh dan 0 - 21% fosfor tubuh. Estimasi

laju penyaringan in situ terhadap cryptophyta berkisar dari 0-27 μl per

dinoflagellata per hari, menunjukkan kehilangan harian 0 - 4% dari produksi tetap

cryptophyta.

Metode 14C digunakan untuk menandai makanan fitoplankton dalam

eksperimen pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton. Kandungan karbon

per unit volume dan laju penyerapan karbon menurun dengan meningkatnya

ukuran sel. Ketika bekerja dengan multi spesies fitoplankton, dihasilkan suatu

distribusi tracer yang tidak proporsional terhadap biomassa karbon fitoplankton.

Hal ini disebabkan karena banyak zooplankton yang memilih ukuran sel

fitoplankton tertentu. Distribusi tracer yang tidak proporsional ini menyebabkan

suatu bias dalam menentukan laju pemangsaan terhadap total populasi

fitoplankton dengan metode 14C. Hasil penelitian Tackx dan Daro (1993) yang

mengkombinasikan pengamatan secara eksperimen laju pemangsaan kopepoda

Acartia tonsa dan Tartonus longicornis yang diukur pada distribusi bahan partikel

alami yang digabungkan dengan perhitungan secara teoritis laju pengambilan 14C

menunjukkan bahwa laju pemangsaan yang diukur dengan metode 14C akan

dugaan lebih rendah tekanan pemangsaan terhadap stock karbon fitoplankton

sekitar 7 - 24%.

Hasil uji pendahuluan penelitian Gifford dan Percy (1998) di Eastsound,

Washintong didapatkan komposisi taksonomi organisme dalam lapisan piknoklin

sama dengan lapisan di sekitarnya. Taxa fitoplankton terdiri dari berbagai spesies

diatom berantai yang koloninya terdegradasi Chaetoceros socialis, dan sel-sel

nannoplankton < 20 µm. Mikrozooplankton didominasi oleh dinoflagellata

(19)

pemangsaan mikrozooplankton di dalam dan sekitar lapisan piknoklin yang

berasosiasi dengan fitoplankton di Eastsound, Washintong menggunakan metode

pengenceran air laut. Klorofil di atas dan di dalam piknoklin tumbuh dengan

kecepatan sama mendekati sekitar 1 penggandaan/hari, sedangkan klorofil di

bawah piknoklin tumbuh sekitar 0.83 penggandaan/hari. Pengaruh pemangsaan

microzooplankton di atas dan di dalam lapisan piknoklin signifikan (p < 0.0001),

sekitar 100% dari produksi klorofil harian dikonsumsi pada kedua lapisan

tersebut. Sebaliknya di bawah lapisan piknoklin, 39% dari produksi klorofil

harian dikonsumsi tetapi tidak signifikan. Hasil ini mendukung bahwa laju

pemangsaan yang sama di dalam dan di atas lapisan piknoklin mempertahankan

batas lapisan permukaan, sedangkan batas di bawahnya nampaknya dibatasi oleh

dasar piknoklin (Gifford & Percy 1998).

Naupli kopepoda dan kopepoda dewasa Eurytemora affinis Poppe

signifikan menurunkan kelimpahan ciliata dan flagellata dalam eksperimen

pemangsaan yang dilakukan Merrell dan Stoecker (1998). Mikroplankton

protozoa umumnya dikonsumsi dalam proporsi yang sesuai dengan

ketersediaannya di alam, meskipun laju pemangsaan nauplii kopepoda dan

kopepoda dewasa lebih tinggi pada mangsa yang lebih besar (40 μm). Eurytemora

affinis nauplii dan dewasa memangsa protozoa dapat dikatakan lebih cepat

dibandingkan terhadap klorofil-a. Laju pemangsaan naupli setingkat lebih rendah

dibandingkan yang dewasa. Dijelaskan pula bahwa pemangsaan total komponen

penyusun kopepoda dapat diduga lebih rendah baik dalam pengamatan mesocosm

maupun pengamatan lapangan jika stadia juvenil diabaikan.

Laju pemangsaan fitoplankton oleh komunitas zooplankton metazoa telah

diteliti oleh White dan Roman (1992) di Teluk Chesapeake, Amerika Serikat.

Hasilnya menunjukkan bahwa pemangsaan fitoplankton didominasi oleh

kopepoda. Acartia dominan pada bulan Maret dan Agustus sedangkan Oithona

dominan pada bulan Juni dan Oktober. Naupli copepoda hampir selalu menjadi

pemangsa utama sebab biomassanya yang tinggi. Jumlah produksi harian

fitoplankton yang dapat dihilangkan bervariasi antara 12 sampai 13%.

Laju pemangsaan kopepoda calanoid terhadap fitoplankton dan

(20)

bahwa laju pemangsaan Leptodiaptomus sicilis terhadap klorofil-a fitoplankton

berkisar antara 2-14 ng C per kopepoda per hari. Lebih lanjut dijelaskan bahwa

proporsi makanan L. sicilis dari mikrozooplankton lebih besar dibandingkan

dengan fitoplankton pada akhir musim dingin sampai awal musim semi.

Blooming alga Phaeocystis dimakan oleh berbagai macam zooplankton

grazer. Pengamatan Turner et al. (2002) mengenai pemangsaan kopepoda

Temora stylifera dan Calanus helgolandicus terhadap sel-sel soliter Phaeocystis

(masing-masing dengan kepadatan 2.5–7.9x 104 sell per ml dan 1.2–3.6x 104 sel

per ml) menunjukkan bahwa kedua jenis kopepoda hidup dengan baik dan

kontinyu menghasilkan kotoran (fecal pellet) yang mengindikasikan bahwa

terjadi pemangsaan terhadap Phaeocystis. Meskipun produksi telur kedua jenis

kopepoda rendah, namun keberhasilan penetasannya tinggi. Laju pemangsaan

Temora stylifera lebih tinggi daripada hasil yang didapatkan pada bebeberapa

pengamatan pemangsaan sebelumnya pada konsentrasi Phaeocystis yang lebih

rendah. Dengan demikian disimpulkan bahwa meskipun kopepoda makan

Phaeocystis dengan baik, namun miskinnya fekunditas kopepoda dengan makan

tersebut menghambat peningkatan populasi kopepoda selama terjadi blooming.

Diduga Phaeocystis mengandung semacam senyawa kimia yang berfungsi sebagai

senyawa penghambat telur kopepoda seperti yang banyak terjadi pada jenis

fitoplankton lainnya.

Sakka et al. (2002) dalam hasil penelitiannya di laguna Atol Takapoto,

Polynesia Prancis mendapatkan produksi bersih partikel plankton yang relatif

tinggi terutama disebabkan oleh cyanobakteri yang ukurannya < 1 μm. Pelepasan

karbon organik terlarut dari fitoplankton rata-rata 48% dari total karbon

fotoassimilasi. Jaringan makanan planktonik dicirikan dengan biomassa yang

tinggi dari protozoa kecil (82% < 14 μm). Kontribusi metazoa dalam stok karbon

dari zooplankton lebih kecil daripada protozoa, tetapi laju produksi dan

pemangsaannya lebih tinggi. Penggunaan karbon dalam sistem planktonik

menunjukkan bahwa 70% dari total peroduksi bersih fitoplankton hilang dalam

respirasi heterotrofik. Sisanya 30% diekspor ke transfer jaringan makanan dan

mengendap jadi detritus masing-masing sebesar 20% dan 10%. Hal ini

(21)

primernya berukuran kecil namun sangat efisien dalam mengekspor karbon

biogenik. Protozoa grazer memiliki peran kunci dalam ekspor karbon,

memberikan tekanan pemangsaan yang kuat terhadap fitoplankton, dan protozoa

itu sendiri dimangsa cukup besar oleh zooplankton metazoa. Efisiensi degradasi

pigmen makanan hidup pada konsentrasi berbeda Thalassiosira weissflogii

bervariasi antara 30.56 dan 94.05% dan kuantitas pigmen yang hilang selama

melewati usus berhubungan langsung dengan total pemangsaan. Fraksi klorofil-a

yang dimakan yang terdegradasi oleh kopepoda beradaptasi dengan konsentrasi

makanan yang tinggi (15 µg Chl-a ml-1). Persentase klorofil-a terkonsumsi yang

Acartia clausi transformasi menjadi bahan yang tidak terdeteksi secara

fluorometrik tidak konstan. Pengetahuan mengenai proses rusaknya pigmen

mengindikasikan bahwa klorofil-a dan pigmen yang dihasilkannya tidak

menjelaskan dengan baik secara kuantitatif aktivitas makan kopepoda. Hal ini

mendukung untuk menguji kembali penerapan metode fluoroscen usus dalam

mengevaluasi aktivitas pemangsaan kopepoda Acartiaclausi.

Kleppel (1998) meneliti jumlah fucoxanthin, suatu diagnosa secara

taxonomi carotenoid, diambil setelah melewati usus Acartia californiensis dan

Calanus pacificus, setelah kopepoda makan pada konsentrasi diatom

Thalassiosira weissflogii berbeda (rendah = 50 μg Cl-1 dan tinggi = 350μg Cl-1)

untuk Acartia californiensis dan 350 μg Cl-1 untuk Calanus pacificus, selama

musim semi (Mei) dan musim dingin (Desember). Perubahan konsentrasi pigmen

dan kelimpahan sel diamati melalui eksperimen inkubasi (dengan kopepoda) dan

tanpa kopepoda (kontrol). Pigmen recovery dilihat dengan cara: (1)

membandingkan jumlah pigmen yang diperoleh dari makanan dari kelompok

percobaan dengan dugaan yang telah dimakan melalui data perhitungan sel, dan

(2) membandingkan rasio fucoxanthin/sel dalam kontrol dengan contoh

eksperimen. Kedua metode menunjukkan bahwa pigmen yang hilang secara

subtansial umumnya 60 - 100% tanpa memperhitungkan spesies, ketersediaan

makanan dan musim. Pola konservasi pigmen berbeda antar spesies, meskipun

pemulihan pigmen selalu lebih tinggi pada konsentrasi makanan lebih tinggi

dibandingkan dengan konsentrasi makanan lebih rendah. Pigmen recovery pada

(22)

musim dingin tidak ada pemulihan) tanpa melihat konsentrasi makanannya. Pada

Calanus pacificus, pigmen recovery selalu lebih tinggi pada konsentrasi makanan

lebih tinggi.

Hasil penelitian Wang et al. (1998) di Laut Bohai, China menunjukkan

bahwa copepoda (Calanus sinicus, Paracalanus parvus, Acartia bifilosa dan

Centropages mcmurrichi) memperlihatkan pola migrasi diurnal. Variasi

kandungan pigmen usus dalam siklus 24 jam memperlihatkan adanya ritme harian

makanan yang kuat, utamanya pada copepoda yang besar. Kandungan maksimum

harian usus terjadi pada saat menjelang malam sampai tengah malam (jam 18:00 -

24:00). Laju pemangsaan harian zooplankton terhadap fitoplankton bervariasi

menurut ukuran zooplankton. Copepoda mengkonsumsi hanya sebagian kecil dari

biomassa fitoplankton (2.90 - 13.52%) tetapi mencapai 77% dari produksi harian

fitoplankton. Perhitungan terhadap laju konsumsi harian copepoda terhadap

biomassa fitoplankton dapat mencapai 85 - 319%.

Benur, Nener dan Larva Lainnya

Penelitian mengenai stok populasi udang windu di bagian barat Samudra

Hindia dan bagian barat Samudra Pasifik yang telah dilakukan Duda dan Palumbi

(1999) menunjukkan adanya perbedaan yang sangat kuat diantara populasi dari

kedua wilayah tersebut. Keragaman nukletid yang berbeda diantara kedua

wilayah tersebut menunjukkan adanya perbedaan regional demografis secara

histori, dimana Indo-Australian Archipelago merupakan pemisah antar keduanya.

Siklus hidup P. monodon dicirikan dengan perubahan habitat mengikuti

perkembangan stadianya. Stadia planktonik udang windu terdiri dari nauplii,

protozoa, mysis dan post larva. Fase dewasa dihabiskan di laut lepas dan memijah

pada kedalamn 30 - 60 meter. Setiap ekor induk betina dapat memijahkan antara

200.000 sampai satu juta telur (Dall et al. 1990).

Gómezdan Gracia (2007) yang meneliti pola penyebaran larva dan post

larva udang di Campeche Bay, Mexico, mendapatkan kelimpahan tertinggi pada

musim panas dengan rata-rata kelimpahan larva masing-masing pada stadia

(23)

Penelitian Kumlu et al. (1999) untuk melihat pengaruh salinitas terhadap

pertumbuhan, kelangsungan hidup dan perkembangan larva Penaeus semisulcatus

pada stadia protozoea 1 (PZ) digunakan pakan Tetraselmis chuii (20 cells /µl),

Chaetoceros calcitrans (50 cells /µl) dan Isohrysis galbana (30 cells /µl),

ditambah lima naupli/ml Artemia pada suhu 28°C dengan perlakuan salinitas

25 - 55 ppt dan interval 5 ppt. Hasilnya menunjukkan bahwa salinitas optimal

untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva berkisar antara 30 - 35 ppt, dan

larva menunjukkan lebih toleran pada salinitas tinggi dibandingkan dengan

salinitas rendah. Meskipun kelangsungan hidup relatif lebih tinggi pada salinitas

tinggi (45 - 55 ppt) namun pertumbuhan dan perkembangan larva lebih bagus

pada salinitas rendah (25 - 40 ppt). Menurut Merchie et al. (1998) daya tahan

larva udang windu terhadap kejutan salinitas meningkat dengan meningkatnya

jumlah asam askorbat dan astaxanthin dalam makanannya, meskipun dalam

penelitian ini tidak didapatkan perbedaannya dalam daya tahan terhadap penyakit.

Percobaan pemeliharaan larva udang windu selama 24 hari dari stadia

naupli sampai postlarva (PL16) dengan kepadatan berbeda yaitu 70, 140 dan 210

naupli/liter telah dilakukan Luangthuvapranit et al. (2004). Hasilnya menunjukkan

bahwa pertumbuhan panjang rata-rata larva tidak berbeda berdasarkan kepadatan.

Rata-rata persentase tingkat kelangsungan hidup tertinggi pada kepadatan 70

naupli/liter, berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya

dengan kepadatan lebih tinggi.

Carballo et al. (1994) menyatakan bahwa rotifera dapat mencegah

perubahan pH yang drastis dan mempertahankan keseimbangan nitrat-amonia

dalam tambak maupun tanki-tanki percobaan. Larva udang Penaeus japonicus

tumbuh lebih cepat dan juga memperlihatkan kelangsungan hidup dan konversi

pakan yang lebih baik dibandingkan dengan larva yang dikultur tanpa rotifer.

Hasil penelitian Le Pay et al. (2000) menyimpulkan bahwa biomassa alga

cocok digunakan sebagai makanan udang, ketika dimasukkan dalam suatu

makanan yang seimbang secara komposisi sebagai sumber karbohidrat/DHD

yang dapat dicerna dalam makanan larva/postlarva. Setelah pemeliharaan selama

(24)

yang mengandung alga, nyata lebih berat 50 - 60% dibandingkan dengan kontrol

yang tidak diberikan alga.

Distribusi ikan bandeng berkisar dari 40o BT - 100o BB dan 30 - 40o LU –

30 - 40 o LS menyebar di perairan tropis dan sub tropis di Samudra Hindia dan

Pasifik. Ikan bandeng mengkonsumsi diatom, alga biru hijau, alga filament, dan

kadang-kadang berbagai hewan seperti nematoda dan kopepoda. Ikan bandeng

memijah di laut dekat pantai dengan fekunditas mencapai sekitar tujuh juta telur

per ekor induk betina, memijah dua kali atau sekali dalam setahun tergantung

wilayahnya (Perschbacher 2004).

Hasil penelitian Gapasin et al. (1998) menunjukkan bahwa pengkayaan

asam lemak esensial dan vitamin C dalam makan hidup (rotifer yang diberi

Chlorella sp.dan naupli Artemia) larva ikan bandeng berpengaruh nyata lebih

tinggi dibandingkan dengan kontrol terhadap pertumbuhan dan daya tahan

terhadap tekanan salinitas, tetapi tidak mengurangi terjadinya kelainan bentuk

(deformity) pada operkulum larva. Amores (2004) menyatakan bahwa larva ikan

bandeng memakan zooplankton, juvenil dan dewasanya makan cyanobacteria,

alga halus dan avertebrata bentik kecil.

Artemia spp. banyak digunakan dalam pemberian makanan berbagai

macam larva krustacea dan telah menjadi makanan standar dalam kultur larva

karena komposisi kimianya yang mendukung. Meskipun demikian nilai nutrisi

Artemia spp. tidaklah konstan tetapi bervariasi secara geografis dan temporal.

Selain itu metode pengkayaan dalam berbagai teknik kultur juga berpengaruh

terhadap kandungan nutrisinya (Sorgeloos et al. 1998).

Rotifera Brachionus plicatilis dapat dikultur massal dan merupakan salah

satu makan hidup yang penting dalam akuakultur. Umumnya diberikan pada larva

berumur 7-30 hari. Kepadatan mangsa berpengaruh terhadap laju, rasio, aktivitas,

waktu evakuasi pemangsaan serta efisiensi dan laju pertumbuhan larva ikan.

Brachionus plicatilis dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan

meningkatkan tingkat kelangsungan hidup larva (Lubzens 1987). Alemany dan

Ignacio (2003) menyatakan bahwa tingkat kelangsungan hidup larva ikan

dipengaruhi oleh kondisi pemijahan dan makanan dalam suatu waktu dan periode

(25)

Larva ikan kakap Lutjanus argentimaculatus yang dipelihara dalam tanki

percobaan dan diberi makanan Chlorella, rotifera Brachionus plicatilis kecil,

Artemia dan ikan ruca, setelah dipelihara selama 24 hari tingkat kelangsungan

hidupnya relatif rendah yaitu 27% dalam tanki kapasitas 3 ton dan hanya 3%

dalam tanki 5 ton. Selama pemeliharaan panjang awal larva 2.15 mm menjadi

8.2 mm setelah 24 hari dan menjadi 306 mm setelah 55 hari. Pertumbuhan dan

kelangsungan hidup larva lebih bagus ketika larva mengkonsumsi Brachionus

plicatilis kecil (< 90 μm) selama 14 hari pertama (Duray et al. 1996).

Pada pemberian Artemia 2 per ml per hari, kelangsungan hidup lebih tinggi pada

frekuensi pemberian 4 kali sehari dibandingkan dengan frekuensi 1 - 2 kali sehari.

Disamping itu Carrillo et al. (1993) melaporkan bahwa dalam pemeliharaan larva

ikan kakap Lates calcarifer di Asia Tenggara dan Australia banyak digunakan

Chlorella, rotifera Brachionus plicatilis dan naupli Artemia. Ketersediaan

Chlorella dalam jumlah besar sangat dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan

dalam kultur rotifera.

Pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva ikan herring di daerah

front dipengaruhi oleh fitoplankton dan zooplankton (Kiørboe et al. 1988).

Pengetahuan laju mortalitas larva dan telur ikan merupakan salah satu kunci untuk

mengetahui proses rekruitmen karena banyak spesies jumlah rekruitmen

kemungkinan ditentukan pada stadia awal daur hidupnya. Akurasi pengukuran

jumlah dan variabilitas laju mortalitas di lapangan dibutuhkan untuk mengetahui

penyebab dan proses mortalitas, seperti pemangsaan dan makanan. Data variasi

antar tahunan laju mortalitas dapat dijadikan sebagai alat dalam menduga

kesuksesan kelompok umur tertentu (Hinckley et al. 1998).

Hinrichsen et al. (2002) menyatakan bahwa menghubungkan zooplankton

dengan ikan merupakan konsep penting dalam biologi laut. Dinamika populasi

ikan dikontrol oleh perubahan populasi fitoplankton di laut. Kelimpahan ikan

terkait dengan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton (Trumble et al. 1981,

diacu dalam Mann dan Lazier 1991). Penyebaran jenis ikan tersebut dipengaruhi

oleh suhu perairan dan musim. Menurut Peterman dan Bradford (1986), kecepatan

angin sangat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup larva ikan “northern

(26)

mortalitas larva dengan kekuatan angin. Kecepatan dan arah angin sangat

mempengaruhi proses transportasi larva ikan jenis tersebut.

Smith dan Eppley (1982) menyatakan bahwa produksi ikan anchovy

berhubungan erat dengan produktivitas primer. Produksi rata-rata musiman ikan

anchovy paling tinggi ketika produktivitas primer meningkat dan sekitar 50%

variasi jumlah larva anchovy ditentukan oleh variasi produktivitas primer.

Uye dan Shimazu (1997) menduga laju produkasi oleh fitoplankton,

microzooplankton dan ikan planktivorous memungkinkan untuk menentukan

aliran karbon dalam trofik level lebih rendah dalam ekosistem pelagis di Laut

Inland, Jepang. Rata-rata efisiensi transfer dari produksi primer ke produksi

sekunder dan dari produksi sekunder ke produksi tertier adalah 28 dan 26%,

mengindikasikan bahwa aliran energi dalam perairan dangkal dan area laut yang

produktif ini sangat efisien. Pada produksi tertier, bagaimanapun kontribusi ikan

planktivor sangat kecil dibandingkan dengan zooplankton karnivor.

Parsons dan Kessler (1987) menggunakan sebuah model ekosistem untuk

perkiraan produktivitas plankton dalam kaitannya dengan kelangsungan hidup

benih ikan di Amerika. Scott et al. (2002), menyatakan bahwa faktor oseanografi

fisik seperti stratifikasi dan produktivitas primer, kedalaman lapisan tercampur

dan gradient piknoklin merupakan variabel yang mengontrol ketersedian ikan

untuk predator.

Fiiliukienà dan Fiiliukas (2000) mendapatkan komposisi jenis dan

kelimpahan larva ikan yang berbeda antara daerah pantai dan bagian terbuka di

laguna Curonian, di Lituania. Pada bagian terbuka laguna, rata-rata kelimpahan

ichthoplankton bervariasi antara 4.1 - 29.3 individu per m3. Di daerah pantai

kelimpahan larva ikan meningkat mencapai 374.3 individu /m3. Meskipun

hubungannya tidak terlalu kuat (r = 0.339), namun kelimpahan larva ikan

menunjukkan korelasi positif dengan kelimpahan zooplankton.

Komposisi makanan 14 spesies ikan yang banyak tertangkap dengan beach

seine dalam padang lamun di Teluk Gazi, Kenya yang dianalisis secara

gravimetrik oleh De Troch et al. (1998) menunjukkan adanya kelompok ikan

sebagai pemakan plankton, pemakan benthos dan pemakan ikan lainnya.

(27)

duodecimalis merupakan kelompok pemakan plankton, dengan makanan utama

terdiri dari kopepoda harpatikoid dan calanoid, dan zoea serta megalova dari

brachiura. Ikan-ikan Apogon thermalis, Fowleria aurita, Paramonacanthus

barnardi, Mulloides flavolineatus, Lutjanus fulviflamma, L. argentimaculatus dan

Gerres acinaces merupakan pemakan benthos, terutama memangsa epibenthic dan

hiperbenthic kecil yang didominasi oleh amphipoda (Gammaridae), Tanaidacea

dan Mysidacea. Ikan yang memangsa ikan lainnya terdiri dari Bothus myriaster,

Fistularia commersonii, Sphyraena barracuda dan Plotosus lineatus, terutama

memakan larva ikan lainnya dan invertebrata nekton besar (Gammaridea,

amphipoda, mysid, udang dan kepiting).

Parameter Lingkungan dan Nutrien

Suhu permukaan laut di perairan Indonesia berkisar antara 26 oC - 30 oC.

Suhu maksimun terjadi pada musim pancaroba I (sekitar Maret – Mei) dan musim

pancaroba II (September-November). Sebaliknya suhu mencapai minimum

terjadi pada musim barat (Desember-Februari). Hal ini disebabkan karena pada

musim barat kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan yang tinggi

(Nontji, 1987).

Menurut Clark (1974) suhu perairan mempunyai pengaruh yang besar

di ekosistem perairan pesisir. Berbagai aktivitas hewan akuatik dipengaruhi oleh

suhu, misalnya migrasi, pemijahan, kebiasan makan, kecepatan berenang,

perkembangan larva dan laju metabolisme. Jones (1964) menyatakan bahwa suhu

perairan dapat berpengaruh pada sifat fisika, kimia dan biologi perairan. Hewan

air mempunyai toleransi terhadap suhu, tergantung pada jenis, stadium dan

aklimatisasinya.

Suhu merupakan faktor pembatas yang sangat vital bagi biota air dan dapat

mempengaruhi proses biokimia, fisiologi dan tingkah laku ikan-ikan

(Wooton 1992). Suhu juga dapat membatasi daerah penyebaran juvenil dan ikan

dewasa karena masing-masing mempunyai perbedaan dalam toleransi suhu

(Laevastu dan Hayes 1981). Meningkatnya suhu menyebabkan konsentrasi

oksigen perairan menurun, yang akhirnya mempengaruhi kehidupan organisme

(28)

Vernberg (1972), diacu dalam Saengar dan Holmes (1991) mengemukakan

bahwa rata-rata perkembangan telur dan larva avertebrata air akan meningkat

dengan meningkatnya suhu sampai pada titik tertentu. Kisaran suhu optimal yang

dapat ditoleransi untuk proses perkembangan beberapa spesies sering berkolerasi

dengan karakteristik suhu habitatnya.

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola

sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Sverdrup et al. 1961;

Tchernia 1980). Keragaman salinitas air laut dapat mempengaruhi biota bahari

lewat perubahan massa jenis air laut dan lewat perubahan tekanan osmotik.

Salinitas air mempengaruhi osmoregulasi ikan dan berpengaruh besar terhadap

fertilisasi dan perkembangan telur. Setiap jenis ikan mempunyai kemampuan

berbeda dalam beradaptasi terhadap salinitas.

Tinggi rendahnya kekeruhan perairan sangat tergantung pada jumlah

padatan tersuspensi. Semakin tinggi konsentrasi padatan tersuspensi,

maka kekeruhan juga akan meningkat. Menurut laporan EIFAC (1961), diacu

dalamTrain (1979), kekeruhan akibat konsentrasi padatan tersuspensi yang tinggi

dapat merugikan populasi ikan dan populasi makanan ikan. Hal ini disebabkan

karena dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan, menghalangi

perkembangan telur dan larva ikan, dapat merubah pergerakan dan migrasi ikan

dan dapat mengurangi ketersediaan kelimpahan makanan ikan. Laevastu dan

Hayes (1981) menyatakan bahwa bagi ikan, kecepatan arus berpengaruh besar

dalam transportasi telur, larva dan ikan-ikan kecil, juga berperan dalam

menentukan orientasi selama melakukan perjalanan migrasi yang panjang,

terutama di daerah Ugahari.

Kandungan oksigen terlarut di laut dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu

interaksi antara permukaan air laut dengan atmosfir, kegiatan biologi, dan arus

beserta proses percampuran yang mempunyai kecenderungan untuk mengubah

pengaruh kegiatan biologi lewat gerakan massa air. Konsentrasi oksigen terlarut di

lapisan permukaan laut pada siang hari cenderung meningkat sebagai akibat dari

proses fotosintesa oleh fitoplankton (Sverdrup et al. 1961). Konsentrasi oksigen

(29)

Oksigen terlarut merupakan gas yang mutlak dibutuhkan dalam proses

respirasi ikan dan biota lain serta diperlukan dalam perombakan bahan organik.

Untuk proses metabolisme, hewan air membutuhkan oksigen terlarut di atas 5 ml/l

dan cukup layak bagi kehidupan larva plankton (Shahab 1986). Para ahli

perikanan sering menyebutkan bahwa ikan dan biota air lain memerlukan

sekurang-kurangnya 3 mg/l oksigen terlarut untuk kehidupannya secara normal.

Prescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut minimal sebesar

2 ppm, cukup untuk mendukung kehidupan perairan secara normal di daerah

tropik dengan asumsi perairan tidak mengandung bahan beracun.

Bagian utama pelepasan bahan organik terlarut oleh fitoplankton di laut

terdiri dari molekul-molekul kecil (bahan organik terlarut berat molekul rendah)

(Jensen 1983; Rancelot 1984, diacu dalamBiddanda & Benner 1997). Selanjutnya

dijelaskan bahwa pelepasan organik terlarut oleh fitoplankton berkolerasi positif

dengan laju fotosintesa.

Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa fraksi terbesar karbon organik

di laut berasal dari pecahan-pecahan organisme dan bahan organik terlarut

biasanya digunakan oleh organisme hetetrofik. Sumber-sumber utama karbon

organik berasal dari organisme autotrof baik fototrop maupun kemotrof.

Valiela (1984) menyatakan bahwa jumlah bahan organik terlarut dalam

nitrogen selalu lebih rendah daripada nitrogen anorganik. Konsentrasi nitrogen

terlarut berkisar dari 5 sampai lebih besar dari 30 μg atom N/l. Asam amino dan

urea hanya merupakan komponen kecil dari nitrogen terlarut, asam amino berkisar

dari 0.25 – 1.4 μmol sedangkan konsentrasi urea mencapai 8,9 μg atom N/l.

N organik terlarut kurang begitu penting secara nutrisi bagi fitoplankton oseanik

dan mikroba estuari. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebanyakan nitrogen terlarut

mungkin resisten terhadap dekomposisi.

Hasil penelitian Berland et al. (1987) di Laut Mediterania menunjukkan

bahwa konsentrasi nitrat menjadi rendah (2 - 4 nmol l-1) pada kedalaman

100 meter dan fosfat (kurang dari 0.1 pmol l-1). Pada kedalaman 300 meter rasio

N:P berada dalam kisaran 37 - 40 yang menunjukkan terjadinya penipisan fosfor.

Konsentrasi klorofil-a sebesar 0.09 ng l-1 pada lapisan homogen 60 meter, dan

(30)

tersebut sangat oligotrop. Biomassa fototrofik dasar terutama terdiri dari nannno

dan picoplankton. Picoplankton berkontribusi lebih dari 60% dari konsentrasi

total klorofil-a. Hasil eksperimen biologis tersebut menunjukkan bahwa fosfor

dan nitrogen membatasi biomassa. Penambahan secara simultan fosfor dan

nitrogen belum mendukung untuk merangsang pertumbuhan yang

mengindikasikan bahwa Mn merupakan elemen paling penting untuk

pertumbuhan fitoplankton dalam perairan yang oligotrop.

Rasio C:P dapat mempengaruhi kualitas makanan fitoplankton pada

zooplankton sehingga sangat menarik untuk mengukur rasio C:P dalam sistem

perairan. Kebanyakan analisis C diukur dengan berat kering menggunakan C-N

analizer (Lampman et al. 1997). Carbon dapat diukur dengan suatu variasi dari

metode yang sama dengan pencernaan basah (persulfate) yang sering digunakan

untuk menganalisis P sehingga dapat diukur dalam filter yang sama. Untuk

kisaran nilai C yang tinggi (1 - 40 uM/filter), metode persulfate untuk

pengukuran C memberikan nilai yang sama pada seston dan fitoplankton yang

diukur dengan berat kering menggunakan Carlo-Erba CN analyzer. Metode ini

lebih murah dibandingkan metode berat kering dalam pengertian alat dan biaya

per unit sampelnya. Selanjutnya bahwa metode persulfate method cukup teliti (cv

= 3%) dibandingkan dengan metode berat kering (cv = 2%) untuk pengukuran C.

Trace elemen memiliki peranan ekologis yang penting terutama bagi

pertumbuhan fitoplankton. Sampai tahun 1999 belum ditemukan metode yang

dapat mengukur secara langsung pengembalian baik secara intra maupun ekstra

selluler atau menyerapan logam baru dan teregenerasi. Hutchins et al. (1999)

kemudian mengembangkan metode baru dengan menggunakan isotop rangkap

dari trace elemen yang sama untuk mengukur secara langsung proses biogeokimia

penting tersebut pada komunitas plankton laut dan tawar. Hasil penelitian dalam

laboratorium dan lapangan pada fitoplankton laut menggunakan radiolabels 59Fe

dan 55Fe untuk membandingkan penyerapan Fe baru dan Fe teregenerasi.

Hasilnya menunjukkan bahwa new Fe (Fe terlarut) lebih banyak digunakan oleh

fitoplankton dibandingkan dengan Fe regenerated, tetapi transfer intraselluler Fe

sangat penting. Hasil pengujian setelah proses pemangsaan zooplankton terhadap

(31)

oleh zooplankton, sementara Fe ekstraselluler diregenerasi terlebih dahulu ke

dalam bentuk terlarut selama pemangsaan.

Hasil penelitian Varela et al. (2003) menunjukkan bahwa konsentrasi

nitrogen anorganik berhubungan dengan pengkayaan nitrat melalui upwelling,

sedangkan konsentrasi amonia umumnya rendah pada semua lokasi. Amonia

yang tidak terakumulasi di daerah penelitian mendukung adanya skala waktu

harian gabungan antara regenarasi dan penyerapan. Sebaliknya nitrogen organik

terlarut (DON) melebihi nitrogen inorganik pada semua kondisi. Regenerasi

amonia berkorelasi positif dengan pelepasan DON. Rasio C:N dari pelepasan

DON dan karbon organik terlarut (DOC) bervariasi cukup tinggi, memperlihatkan

kelebihan yang lebih besar dari DOC dibandingkan dengan DON.

Mempelajari perpindahan nutrien dalam suatu sistem sangat penting untuk

menunjukkan pemasukan dan pengeluaran nutrien (Wong 1994). Tingkah laku

setiap nutrien dalam sistem tersebut perlu diuraikan Salah satu caranya adalah

menganalisis profil nutrien berdasarkan konsep diagram percampuran. Fakta dari

estuari mangrove di Malaysia menunjukkan bahwa amonia masuk dalam sistem

melalui masuknya sumber air tawar. Keluar masuknya nitrat, nitrit dan fosfor

tergantung dari fase pasang surut. Selama air surut nitrat, nitrit dan fosfor masuk

ke dalam sistem melalui masuknya sumber air tawar. Konsentrasi amonia

bervariasi antara lebih dari 50 μM di ujung air tawar sampai tidak terdeteksi pada

ujung air laut dalam sistem estuari. Konsentrasi nitrat, nitrit dan total fosfor

bervariasi dari 0.1 - 0.3 μM sampai 6.0 μM. Perbedaan senyawa nitrogen dalam

sistem dapat diinterpretasikan sebagai hasil dari interkonversi oleh nitrifikasi dan

denitrifikasi

Kontribusi zooplankton cukup besar dalam aliran turunnya karbon dalam

suatu perairan. Bradford-Grieve et al. (2001) mengestimasi sekitar 1.7 - 9.3 g C m–2 tahun–1 di perairan subantarctic mengalir ke dasar perairan. Nilai ini setingkat

lebih tinggi dari dugaan sebesar 0.27 g C m–2 tahun–1 pada migrasi kopepoda besar

di Atlantik Utara. Dari total 55.6 x 106 km2, dimana Neocalanus tonsus, 0.17 Gt

C tahun–1 diperkirakan hilang setiap tahun ke laut lepas. Nilai ini sesuai dengan

1.4% produksi primer, dan 14% lebih tinggi daripada karbon organik partikel

(32)

Neocalanus tonsus tidak pernah didapatkan dalam sedimen trap dengan

bertambahnya waktu.

Hasil penelitian Townsend dan Pettigrew (1997) di George Bank yang

memiliki aliran nutrien yang cukup besar dari perairan yang lebih dalam di

perairan sekitarnya menunjukkan bahwa produktivitas dan siklus nutrien cukup

tinggi. Perpindahan biomassa dari zooplankton ke ikan dibatasi oleh frekuensi

dan intensitas proses yang menyebabkan aliran nitrogen dari perairan dalam

(33)

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dimulai dari bulan

September 2005 sampai Februari 2006. Rentang waktu tersebut mencakup waktu

sebelum, pada saat dan setelah puncak musim benur dan nener. Lokasi

pengambilan sampel adalah di sepanjang pantai Kecamatan Suppa, Kabupaten

Pinrang, Propinsi Sulawesi Selatan (Gambar 2).

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian di Pantai Kecamatan Suppa, Kabupaten

Pinrang. Jarak antar Transek (A1, B1, C1, D1), Sejajar Garis Pantai Masing-masing 1 Km. Jarak antar Stasiun (A1, A2, A3, A4), Tegak Lurus Pantai Masing-masing 75 m.

(Sumber Peta: Didigitasi Ulang dari Peta Bakosurtanal, 2005). 119.54 119.56 119.58 119.60 119.62 119.64

(34)

Pengambilan Data

Pengambilan data yang dilakukan dengan pengukuran in situ di lapangan

berupa pengukuran parameter lingkungan (suhu, salinitas, kadar DO, kedalaman

kecerahan, kecepatan arus), pengukuran produktivitas primer, pengambilan

contoh untuk identifikasi jenis dan kelimpahan plankton, benur, dan nener serta

larva lainnya; serta pengamatan pemangsaan fitoplankton oleh zooplankton dan

pengamatan pemangsaan plankton (fitoplankton dan zooplankton) oleh benur,

nener, dan larva lain. Kegiatan yang dilakukan di laboratorium terdiri dari

identifikasi jenis plankton dan larva, pengambilan gambar plankton, percobaan

isolasi plankton, dan pengukuran kadar nutrien (Lampiran 1).

Stasiun-stasiun pengamatan dan pengambilan data dibuat sebanyak 16

stasiun dalam 4 transek (4x4) dengan arah sebaran stasiun per transek tegak lurus

garis pantai. Setelah dilakukan survei di lokasi penelitian yang menunjukkan

topografi dan batimetri perairan pantai yang hampir sama pada semua transek,

maka sebaran stasiun dalam satu transek ditentukan berdasarkan jarak yaitu

75 meter antar stasiun dengan posisi stasiun terdekat dengan garis pantai

ditetapkan pada kedalaman 0.5 meter pada waktu surut. Penentuan stasiun sebagai

titik sampling dilakukan dengan memasang tanda sebagai acuan di pantai.

Frekuensi pengambilan contoh di lapangan dilakukan dengan interval yang

bervariasi antar parameter yang diukur.

Pengukuran Parameter Lingkungan

Pengukuran parameter lingkungan dilakukan 2 (dua) kali dalam sebulan

bersamaan dengan pengambilan contoh plankton, benur, nener, dan larva pada

semua stasiun pengamatan. Parameter lingkungan hanya diukur pada bagian

permukaan saja sebab berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Naulita (1998)

di perairan Selat Makassar terjadi percampuran sampai kedalaman 20 m.

Parameter lingkungan yang diukur secara in situ adalah suhu, salinitas, kadar DO,

kedalaman, kecerahan dan kecepatan arus pada semua stasiun (14 kali selama

penelitian). Pengambilan air contoh untuk pengukuran kandungan nutrien (nitrat,

fosfat dan silikat) dilakukan pada setiap transek di stasiun terdekat dari pantai

(35)

didapatkan bahwa tidak ada perbedaan antar stasiun yang dekat pantai dengan

ketiga stasiun yang berjarak 75 m, 150 m dan 225 m dari pantai (Lampiran 2).

Selain itu, pengambilan data nutrien ini hanya difokuskan pada wilayah

penangkapan benur dan nener. Kemudian frekuensi pengukuran data nutrien yaitu

7 (tujuh) kali selama penelitian sebab dianggap bahwa perubahan nutrien tidak

secepat perubahan biologis yang terjadi di laut, dengan cara mengambil air

permukaan sebanyak 250 ml lalu dimasukkan ke dalam botol sampel yang terbuat

dari bahan kaca. Setiap botol sampel diberi label kemudian dimasukkan ke dalam

cool box bersuhu 4oC dan untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk

dianalisis. Jenis parameter, alat, dan metode pengukuran yang digunakan dalam

pengukuran parameter lingkungan disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Parameter Lingkungan, Alat/Metode yang Digunakan, Frekuensi, dan Jumlah Stasiun Pengamatan

No Parameter

Lingkungan Alat/metode

Frekuensi/ 6 bulan

Jumlah Stasiun

1 Suhu Termometer/Pemuaian 14 16

2 Salinitas Hand Refraktometer/Refraksi 14 16

3 Oksigen terlarut (DO) DO meter/potensiometrik 14 16

4 Kecerahan Secchi disck/visual 14 16

5 Kecepatan arus Floating drauge/Langrangian 14 16

6 Fosfat Spektrofotometer/Colorimetri 7 4

7 Nitrat Spektrofotometer/Colorimetri 7 4

8 Silikat Spektrofotometer/Colorimetri 7 4

9 Pasang Surut Menggunakan Data Dishidros 1 16

Pengambilan Sampel Plankton dan Larva

Pengambilan sampel untuk perhitungan kelimpahan dan komposisi jenis

fitoplankton, zooplankton, benur, nener, dan larva lainnya dilakukan dengan cara

menyaring air laut menggunakan plankton net dan seser. Plankton net yang

digunakan untuk fitoplankton dengan mesh size 35 µm dan untuk zooplankton

dengan mesh size 50 µm dengan luas bukaan 962 cm2 (Gambar 3A). Untuk

menyaring benur, nener, larva digunakan seser (alat tangkap) dengan mesh size

0.1mm yang digunakan nelayan setempat selama ini sebagai pengganti larva net

Gambar

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian di Pantai Kecamatan Suppa, Kabupaten
Tabel 1  Parameter Lingkungan, Alat/Metode yang Digunakan, Frekuensi, dan Jumlah Stasiun Pengamatan
Gambar 5 Perubahan Rata-rata  Suhu Permukaan Laut (oC) Menurut Waktu Pengamatan (I = Kesalahan Baku, n = 16)
Gambar 7  Perubahan Rata-rata  Salinitas  Permukaan Laut (‰) Menurut Waktu
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sehubungan dengan per- masalahan tersebut, penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor pembentuk perilaku mahasiswa yang memiliki niat mengadopsi

Terdapat dua pilihan button yang dapat dipilih user yaitu, pilihan reset digunakan untuk mereset pilihan fasilitas kamar kost yang telah dipilih user menjadi default

Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, dari sekian banyak persoalan hukum yang dapat lahir dari suatu transaksi atau kontrak dagang internasional, khususnya perjanjian jual

Berdasarkan Keputusan KPU RI Nomor 66/PP.06-Kpt/03/KPU/II/2020 Tentang Pedoman Teknis Pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, Petugas

Hasil ini mendukung dan memperkuat dengan hasil berpengaruh signifikan pada hipotesis kedua yang mengatakan bahwa transparansi lembaga zakat berpengaruh terhadap

に触れるようになった。また,東大門市場は,他国では珍しい夜間市場であることから,海外から