• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN KEJAKSAAN TINGGI LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN KEJAKSAAN TINGGI LAMPUNG"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA

KORUPSI ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN KEJAKSAAN TINGGI LAMPUNG

Oleh Dinny Dwi Astari

Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) menjadi problematika masyarakat karena penegak hukum dinilai kurang serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak pidana korupsi. Hal ini terbukti dari data kasus korupsi lima tahun terakhir (2008-2012) tercatat ada 25 tersangka kasus korupsi besar yang dihentikan penyidikannya, baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah. Kewenangan kejaksaan dalam hal SP3 berbeda dengan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejaksaan berpedoman pada Pasal 109 Ayat (2) KUHAP yang memberikan wewenang bagi penyidik dapat menghentikan proses penyidikan, sedangkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah syarat-syarat suatu perkara tindak pidana korupsi dihentikan penyidikannya dan mengapa penyidik Kejaksaan berwenang mengeluarkan SP3 pada perkara tindak pidana korupsi sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki kewenangan mengeluarkan SP3.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan empiris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara kepada Staf Ahli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jaksa dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah yang kemudian dianalisis secara kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan.

(2)

dan hilangnya hak menjalankan pidana seperti nebis in idem, tersangka meninggal dunia, daluarsa, tersangka menderita sakit jiwa, dan adanya pencabutan pengaduan, dalam hal tindak pidana yang disidik itu adalah tindak pidana aduan. Alasan bahwa penyidik Kejaksaan berwenang mengeluarkan SP3 pada perkara tindak pidana korupsi sedangkan KPK tidak memiliki kewenangan mengeluarkan SP3 hal ini karena penyidik Kejaksaan untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan kejaksaan memiliki beberapa rasio sebagai alasan dalam penghentian penyidikan pada perkara tindak pidana korupsi yakni penyidik Kejaksaan menghentikan penyidikan yang sedang berjalan pada hakikatnya untuk menegakkan prinsip peradilan yang yang cepat, tepat dan biaya ringan dan sekaligus untuk tegaknya hukum. Penyidik kejaksaan menghentikan penyidikan yang sedang berjalan supaya penyidikan terhindar dari tuntut kemungkinan ganti kerugian, sebab kalau perkaranya diteruskan, tapi ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum dengan sendirinya memberikan hak kepada tersangka untuk menuntut ganti kerugian. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki kewenangan mengeluarkan SP3 karena dalam kerangka menjamin kepastian hukum di masyarakat dan agar tidak terjadi praktik mafia peradilan ataupun rekayasa perkara, hal ini yang menjadi alasan utama bahwa KPK tidak dapat mengeluarkan SP3 pada perkara tindak pidana korupsi, ketegasan hukum akan pemberantasan korupsi di masyarakat merupakan tujuan utama dibentuknya lembaga KPK, sehingga dalam proses pemeriksaan suatu perkara tindak pidana korupsi berlandaskan pada asas kehati-hatian dan menjunjung tinggi kepastian hukum agar tidak terjadi praktik mafia peradilan pada proses penyidikan.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu dalam melakukan proses penyelidikan dan penyidikan baik KPK maupun Kejaksaan yang melakukan pemeriksaan tersebut diharapkan dapat bekerja secara professional, efisien dan efektif serta harus diperhatikan benar syarat-syarat dan hal-hal yang harus dipenuhi sebelum terhadap suatu perkara tindak pidana korupsi dilakukan penyidikan demi menjunjung tinggi kepastian hukum dan agar tidak terjadi praktik mafia peradilan dengan penerbitan SP3 sehingga tercipta sinergis dan kepastian hukum di masyarakat.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal

dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan merupakan suatu

tahap terpenting dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia karena dalam

tahap ini pihak penyidik berupaya mengungkapkan fakta-fakta dan bukti-bukti

atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan tersangka pelaku tindak

pidana tersebut.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan yang

dimaksud dengan penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri

dari pejabat yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang terbagi menjadi

pejabat penyidik penuh dan pejabat penyidik pembantu, serta Pejabat Pegawai

Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Namun,

dalam hal tertentu jaksa juga memiliki kewenangan sebagai penyidik terhadap

perkara / tindak pidana khusus, seperti perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak

Pidana Korupsi1. Selain itu berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002

1

(4)

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan awal mula eksistensi

dari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebutkan juga bahwa

penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan

Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi2.

Suatu perkara tindak pidana, sebelum dimulainya suatu proses penyidikan,

terlebih dahulu telah dilakukan proses penyelidikan oleh penyelidik pada perkara

tindak pidana tersebut. Ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan pengertian

penyelidikan adalah sebagai berikut : Penyelidikan adalah serangkaian tindakan

penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Berdasarkan pengertian tersebut terlihat bahwa penyelidikan merupakan tindakan

tahap pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan penekanan

diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap

atau diduga sebagai suatu tindak pidana3. Sedangkan pada penyidikan, titik

beratnya tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti

supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat

menemukan dan menentukan pelakunya.

melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, hal ini dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2

Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 (Selanjutnya Penulis akan menyebut dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK).

3

(5)

Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi berhasil

tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan sidang

pengadilan nantinya, namun bagaimana halnya bila penyidikan berhenti di tengah

jalan, maka Undang-Undang memberikan wewenang penghentian penyidikan

kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan

yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan Pasal 109 Ayat (2) KUHAP yang

memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang

sedang berjalan. Pasal 109 Ayat (2) KUHAP menyatakan: Dalam hal penyidik

menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut

ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum,

maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau

keluarganya4.

Proses penyidik memulai tindakan penyidikan, kepadanya dibebani kewajiban

untuk memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut

umum. Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada

permulaan tindakan penyidikan, melainkan juga pada tindakan penghentian

penyidikan. Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak

penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah Penghentian

Penyidikan (SP3)5. Pemberian SP3 yang akan dibahas dalam penelitian ini

bukanlah pemberian SP3 terhadap tindak pidana biasa/umum, seperti

pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya, melainkan hanyalah dikhususkan

pada pemberian SP3 terhadap tindak pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi

4

Penjelasan umum ketentuan KUHAP

5

(6)

yang dalam beberapa waktu belakangan ini mengundang kontroversi dan

perdebatan serta menciptakan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja

dan citra aparat penegak hukum, khususnya penyidik tindak pidana korupsi yang

seringkali mengeluarkan SP3.

Penerbitan SP3 selalu menjadi problematika masyarakat bahwa penegak hukum

tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak pidana korupsi yang

terjadi di negara ini. Secara objektif masyarakat yang menghendaki agar pelaku

tindak pidana korupsi diproses secara hukum dan dikenai hukuman yang

seadil-adilnya, pemberian SP3 dianggap sebagai tindakan yang merusak harapan

masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi6.

Berdasarkan ketentuan penghentian penyidikan dalam Pasal 109 Ayat (2)

KUHAP di atas, penyidik menghentikan penyidikan yaitu karena tidak terdapat

cukup bukti merupakan alasan yang digunakan oleh penyidik tindak pidana

korupsi. Hal ini Penulis amati dari beberapa contoh perkara korupsi yang terjadi,

di mana dilakukan penghentian penyidikan oleh penyidik dalam beberapa perkara

tindak pidana korupsi yang dapat dikatakan besar. Berdasarkan data yang

dihimpunIndonesian Corruption Watch(ICW), hingga lima tahun terakhir (2008-2012), tercatat ada 25 tersangka kasus korupsi besar yang dihentikan

penyidikannya, baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah.

Sebagai contoh adalah kasus dugaan tindak pidana korupsi Technical Assistance

Contract (TAC) dengan tersangka Ginandjar Kartasasmita, dalam proyek

Technical Assistant Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT. Ustraindo Petro

6

(7)

Gas (UPG) telah merugikan negara sebesar Rp. 227, 4 Milyar. Kejaksaan Agung

secara diam-diam menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)

terhadap Ginandjar Kartasasmita. Pengumuman pemberian SP3 dengan No:

Prin-043/F/FJP/10/2005 baru disampaikan kepada publik oleh Kapuspen Kejaksaan 20

hari setelah SP3 diterbitkan. Alasan dan pertimbangan Kejaksaan Agung dalam

mengeluarkan SP3 adalah karena kasus tersebut tidak cukup bukti formal maupun

materiil untuk diteruskan penyidikannya. Selain itu perkara dugaan tindak pidana

korupsi Jamsostek dengan tersangka Abdul Latief, berawal dari penyalahgunaan

dana Jamsostek sebesar Rp. 7,1 Milyar untuk pembahasan RUU Ketenagakerjaan.

Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kemudian mengeluarkan SP3 dengan No. NF

095/R/F/FPK.1.8/2001 terhadap kasus ini dengan alasan tidak ditemukannya

unsur kerugian Negara7.

Pihak Kejaksaan selaku institusi yang melakukan penghentian penyidikan selalu

berpedoman pada Pasal 109 Ayat (2) KUHAP. Sebelum dilakukan penyidikan

oleh maka terlebih dahulu dilakukan penyelidikan. Penyelidikan merupakan suatu

tindakan penyelidik yang bertujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti

yang cukup agar dapat dilakukan tindakan lanjutan penyidikan. Sehingga dengan

adanya tahapan penyelidikan diharapkan tumbuh sikap hati-hati rasa tanggung

jawab hukum yang bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan

hukum sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi

7

(8)

tindakan yang melanggar hak-hak asasi yang merendahkan harkat dan martabat

manusia8.

Penyelidik harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti yang ada

sebagai landasan tindak lanjut penyidikan yang selanjutnya dilakukan penyidikan

oleh penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu

membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus

menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.

Berdasarkan kedua rangkaian proses di atas terdapat graduasi antara tahap

penyelidikan menuju ke tahap penyidikan, karena itulah dibutuhkan kehati-hatian

yang amat besar serta alasan yang jelas, meyakinkan dan relevan ketika aparat

penegak hukum meningkatkan tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Hal ini

tentu saja bertujuan untuk menjaga kredibilitas dan kewibawaan dari aparat

penegak hukum itu sendiri agar tidak dinilai tergesa-gesa dalam melakukan

rangkaian pemeriksaan terhadap suatu tindak pidana.

Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia. Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan, kejaksaan

berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang

Kejaksaan lebih lanjut dijelaskan bahwa kewenangan kejaksaan untuk melakukan

penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa

8

(9)

ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk

melakukan penyidikan. Jadi, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan

dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara spesifik diatur dalam

Undang-Undang Kejaksaan.

Tugas kewenangan jaksa dalam hal ini penyidikan berdasarkan Keputusan

Presiden Nomor 86 Tahun 1999 Pasal 5 Ayat (1) mengatur tugas kewenangan

jaksa melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusi dan tindakan

hukum lainnya berdasarkn ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal

17 Kepres tersebut menjelaskan bahwa jaksa agung muda tindak pidana khusus

memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam tindakan

hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi dan tindak

pidana khusus lainnya9.

Beberapa kasus yang dihimpunIndonesian Corruption Watch(ICW), seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Lampung juga

terdapat perkara tindak pidana korupsi yang dalam pemeriksaan di tahap

penyidikan kemudian diterbitkan SP3 yang dinilai kurang transparan dan tidak

jelas. Dengan demikian yang menjadi persoalan adalah pemberian SP3 oleh

kejaksaan terhadap perkara tindak pidana korupsi di mana dasar pemberian SP3

itu dinilai kurang transparan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan terhadap

ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku.

Sebagai contoh adalah kasus dugaan korupsi jalan lintas pantai timur dengan

tersangka Kepala Dinas Pekerjaan Umum Lampung Timur yakni Deson Musni.

9

(10)

Proyek jalan lintas pantai timur 2009-2010 mendapatkan asupsi dana Rp 51

Milyar yang digunakan untuk mengganti tanam tumbuh di sepanjang jalan yang

terkena pengerjaan proyek. Dana itu dibagi dalam dua tahun anggaran. Dalam

pelaksanaannya diduga ada penyimpangan berupa indikasi fiktif dan mark up

realisasi pembebasan lahan. Saat proses penyidikan perkara tersebut Kejaksaan

meminta keterangan ahli dari pihak Badan Pertanahan Nasional untuk menghitung

luas tanah yang digunakan dalam proyek. Selain itu pihak Kejaksaan pun telah

berkoordinasi dengan Badan pemeriksa Keuangan Lampung, namun tidak

terdapatnya bukti-bukti yang kuat maka penyidik Kejati Lampung menghentikan

penyidikan dan menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan)10.

Problematika yang timbul di masyarakat dalam penerbitan SP3 oleh kejaksaan

terhadap perkara tindak pidana korupsi di atas yakni dasar pemberian SP3 itu

dinilai kurang transparan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan terhadap

ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku.

Kewenangan kejaksaan dalam hal SP3 berbeda dengan lembaga Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan sebuah institusi atau lembaga

negara yang dibentuk dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengeluarkan

SP3 dalam setiap penyidikan yang dilakukannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal

40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang menjelaskan bahwa“Komisi Pemberantasan Korupsi

10

(11)

tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan

penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi11.”

Ketentuan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut dapat dilihat dari sudut

pandang bahwa seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK

maka setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke tingkat yang lebih

tinggi yaitu penuntutan dan pengadilan12. Tanpa adanya mekanisme SP3 maka

KPK akan memproses setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke tingkat

pengadilan. Undang-undang telah menggariskan KPK untuk selalu berada di luar

cara-cara konvensional penegakan hukum karena tindak pidana korupsi

merupakan salah satu tindak pidana khusus yang sering disebut dengan ekstra

ordinary crime, dan oleh karena itulah dibutuhkan cara-cara yang khusus pula untuk menanganinya13.

Wewenang yang dimiliki KPK yang berada di luar sistem hukum material dan

formal undang-undang hukum pidana yang konvensional. Contoh tindakan yang

tergolong non-konvensional adalah penyadapan atau merekam pembicaraan

dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.

Ketentuan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dipertegas oleh Mahkamah

Konstitusi yakni keberadaan pasal itu untuk menegakkan pesan konstitusi yaitu

11

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

12

Lilik Mulyadi.Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Alumni. Bandung. 2007. hlm. 26

13

(12)

memberantas korupsi14. Oleh karena itu landasan sosiologis, yuridis dan filosofis

Undang-Undang Korupsi dan KPK berusaha mewujudkan clean governmentdan

tegaknya keadilan bagi siapapun yang melakukan perbuatan menyimpang.

Peran aparat penegak hukum yakni Kejaksaan Tinggi Lampung dan KPK menjadi

sangat penting khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi. Hal ini

dikarenakan hukum acara pidana melegalkan setiap tindakan-tindakan dari aparat

penegak hukum terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana. Pasal 109

Ayat (2) KUHAP memberikan wewenang bagi penyidik apabila tidak cukup bukti

atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan

dihentikan demi hukum, namun Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang KPK memberikan penjelasan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak

berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan

dalam perkara tindak pidana korupsi.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis hendak

melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul“Analisis

Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak

Pidana Korupsi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Tinggi

Lampung”.

14

(13)

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah syarat-syarat suatu perkara tindak pidana korupsi dihentikan

penyidikannya?

b. Mengapa penyidik Kejaksaan berwenang mengeluarkan Surat Perintah

Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara tindak pidana korupsi sedangkan

Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki kewenangan mengeluarkan

SP3?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana di

Indonesia khususnya hanya terbatas pada masalah syarat-syarat suatu perkara

tindak pidana korupsi dihentikan penyidikannya dan alasan penyidik Kejaksaan

berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada

perkara tindak pidana korupsi sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak

memiliki kewenangan mengeluarkan SP3. Ruang lingkup tempat penelitian hanya

dibatasi pada Kejaksaan Tinggi Lampung, Komisi Pemberantasan Korupsi dan

(14)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui syarat-syarat suatu perkara tindak pidana korupsi

dihentikan penyidikannya.

b. Untuk mengetahui alasan penyidik Kejaksaan berwenang mengeluarkan Surat

Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara tindak pidana korupsi

sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki kewenangan

mengeluarkan SP3.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan

kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan

terhadap pengembangan ilmu hukum pidana khususnya hukum pidana anak di

Indonesia, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang

analisis penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara

tindak pidana korupsi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan

(15)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi

aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum

khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat

pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk

menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan

dalam rangka pembaharuan hukum pidana anak di Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh

peneliti15.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia dan agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum

dapat berlangsung secara normal dan damai tetapi dapat terjadi juga pelanggaran

hukum, melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi suatu kenyataan16.

Setiap penyidikan perkara pidana korupsi terdapat kemungkinan penyidik

menemukan hambatan sehingga tidak mungkin lagi melanjutkan penyidikan,

15

Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. 1986. hal.125. Kerangka teoritis merupakan konsep abstraksi atau gambaran umum teoritis dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan.

16

(16)

dalam situasi demikian, oleh undang-undang (KUHAP), penyidik diberi

kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan. KUHAP tidak

merumuskan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghentian penyidikan,

melainkan hanya memberikan perumusan tentang penyidikan saja. Selain itu

pengaturan tentang tata cara penghentian penuntutan diatur dengan lebih rinci dan

jelas, sedangkan mengenai penghentian penyidikan pengaturannya tidak lengkap.

Secara harfiah penghentian penyidikan adalah tindakan penyidik menghentikan

penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk

membuat suatu terang peristiwa itu dan menentukan pelaku sebagai tersangkanya

tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa

tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.

Dalam setiap proses dimulainya penyidikan, penyidik memiliki kewajiban untuk

memberitahukannya kepada penuntut umum. Begitu pula ketika dilakukan

penghentian penyidikan, penyidik wajib memberikan pemberitahuan. Hal ini

dinyatakan dalam KUHAP Pasal 109 Ayat (2):

a. Jika yang melakukan penghentian itu penyidik Polri, pemberitahuan

penghentian penyidikan disampaikan kepada: penuntut umum dan atau

keluarganya.

b. Apabila penghentian penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil

pemberitahuan penghentian harus segera disampaikan kepada: penyidik Polri

sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atas penyidikan dan

(17)

Ketentuan angka 11 Lampiran Kep. Menkeh No. M. 14-PW. 03/1983,

pemberitahuan penghentian penyidikan meliputi pemberitahuan kepada:

penasehat hukum dan saksi pelapor atau korban. Untuk setiap penghentian

penyidikan yang dilakukannya, penyidik yang berwenang wajib mengeluarkan

Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Jadi yang dimaksud dengan SP3

adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh penyidik sebagai bukti telah

dihentikannya penyidikan suatu tindak pidana.

Wewenang Kejaksaan dalam melakukan penyidikan berdasarkan ketentuan Pasal

30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, kejaksaan

berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang. KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik

(opsporing/interrogation) dan Penyelidik17. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal

1 angka 2 KUHAP disebutkan bahwa penyidikan itu adalah serangkaian tindakan

Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya18. Adapun mengenai

Penyelidik berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah orang yang

melakukan penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

17

Manthovani Reda dan Soewarsono.POLRI Dalam Optik Hukum di Indonesia, C.V. Malibu. Jakarta. 2004. hal.31

18

(18)

dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini19.

Saat penyidik memulai tindakan penyidikan, kepadanya dibebani kewajiban untuk

memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum dan

juga pada tindakan penghentian penyidikan. Setiap penghentian penyidikan yang

dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah

Penghentian Penyidikan (SP3)20.

Menurut Andi Hamzah menjelaskan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 109 Ayat

(2) KUHAP, menyebutkan alasan penghentian penyidikan adalah21:

a. Tidak terdapat cukup bukti, atau

b. Bukan merupakan tindak pidana, atau

c. Demi hukum.

a) Yang dimaksud “tidak cukup bukti” ialah tidak diperoleh minimal dua bukti

yang bersesuaian antar satu dengan yang lain guna membuat terang tindak

pidana yang terjadi dan menentukan tersangkanya22.

Bukti yang sah diperoleh dari :

1) Keterangan saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan Sah.

2) Keterangan ahli dalam Berita Acara Pemeriksaan Ahli atau dalam laporan

ahli, sebelum memberikan keterangan wajib bersumpah atau berjanji.

3) Surat / dokumen yang tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan yang

sah.

19

KUHAP.Op. cit.

20

Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. PT. Alumni. Bandung. 2007. hal. 54. (Selanjutnya Penulis akan menyebut Surat Perintah Penghentian Penyidikan dengan SP3)

21

Andi Hamzah.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 1999. hal. 37

22

(19)

4) Barang bukti yang ada hubungan dengan tindak pidana yang terdapat

dalam Berita Acara Penyitaan yang sah.

5) Keterangan tersangka dalam Berita Acara Pemeriksaan tersangka yang

sah.

b) Yang dimaksud “bukan merupakan tindak pidana” ialah tindak pidana yang

disangkakan terbukti, akan tetapi tersangka tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas tindak pidana tersebut baik karena alasan

pembenaran maupun alasan pemaaf23.

c) Yang dimaksud dihentikan “demi hukum” ialah terhadap tindak pidana yang

terbukti tersebut kewenangan melakukan penuntutan terhadap tersangka telah

hapus antara lain karena daluarsa, nebis in idem atau terdakwa meninggal

dunia24.

Sehubungan dengan hal itu, dalam hal Penyidik menghentikan penyidikan maka

turunan surat penghentian penyidikan disampaikan kepada Penuntut Umum,

tersangka dan korban/pelapor/pengadu. Dalam hal Penyidik menghentikan

penyidikan, Penuntut Umum dan/atau pihak ketiga yang berkepentingan (korban,

pelapor, LSM terkait) dapat mengajukan pra-peradilan tentang sah tidaknya

penghentian penyidikan (Pasal 80 KUHAP).

Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang mempunyai kewenangan untuk

melakukan penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi dan juga dalam hal

penuntutan. Dalam penyelesaian perkara pidana korupsi dalam persidangan di

23

Andi Hamzah.Op. cit. hal. 39

24

(20)

pengadilan harus melewati beberapa tahap, salah satu diantaranya adalah tahap

penyidikan25.

KPK memiliki tugas dan wewenang yang didasarkan pada evaluasi kelemahan

penegakan hukum yang selama ini menjadi harapan dalam pemberantasan korupsi

secara represif dan preventif. Dengan berdasarkan pada Undang-Undang No. 30

Tahun 2002 tentang KPK, komisi ini menjalankan tugas dan kewenangan

penyidikan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 6 undang-undang KPK.

Tugas dan kewenangan yang dimiliki KPK berbeda dari kewenangan yang

dimiliki oleh penyidik biasanya, mulai dari tugas koordinasi, supervisi,

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, pencegahan, serta monitor terhadap

penyelenggara pemerintahan negara. Dengan banyaknya kewenangan yang

dimilikinya KPK seringkali disebut sebagai lembaga superbody, hal ini terutama karena dimilikinya kewenangan sekaligus dalam proses pemeriksaan perkara

korupsi yaitu penyelidikan dan penyidikan. Prosedur penyidikan yang dilakukan

oleh penyidik KPK:

1) Persiapan Penyidikan.

2) Pengembangan Penyidikan (dilakukan gelar perkara di hadapan pimpinan)

3) Pelaksanaan Penyidikan.

4) Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara, tersangka dan barang bukti.

Ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK

memberikan penjelasan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang

25

(21)

mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam

perkara tindak pidana korupsi.

Secara teoritis dalam pedoman pelaksanaan hukum acara pidana Indonesia

bertujuan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan berkehendak untuk

menegakkan keadilan kepada semua warga negaranya tanpa kecuali. Namun

demikian dalam pelaksanaan penegakan hukum khususnya hukum pidana kadang

dijumpai kesalahan-kesalahan, seperti lembaga kepolisisan sebagai pintu gerbang

untuk memperoleh keadilan namun dalam penyidikan dapat dihentikan apabila

tidak terdapat cukup bukti, karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan

tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan

istilah yang ingin tahu akan diteliti26.

Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

a. Analisis

Menurut penjelasan Kamus Hukum (law dictoinary) yang dimaksud dengan analisis adalah penguraian suatu hukum pokok atas berbagai bagiannya dan

pengaturannya serta penelaahan bagian pengaturan itu sendiri serta hubungan

26

(22)

antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti

keseluruhan27.

b. Penerbitan

Penerbitan berarti mengeluarkan ketetapan, surat, perintah, edaran, keputusan

berdasarkan ketentuan atau hukum dan atau peraturan perundang-undangan.

c. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)

Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) adalah Surat surat perintah yang

dikeluarkan oleh penyidik sebagai bukti telah dihentikannya penyidikan suatu

tindak pidana28.

d. Tindak Pidana Korupsi

Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan atau perilaku pejabat publik, baik

politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak

legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,

dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada

mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar

mencakup unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan hukum;

penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, sarana; memperkaya diri sendiri,

orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan Negara/perekonomian

Negara29.

Korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 dijelaskan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan

27

M.Marwan.Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality Publisher. Surabaya. 2009. hal. 48

28

Lilik Mulyadi.Op. cit. hal. 36

29

(23)

keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan

nasional juga menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan

nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Sedangkan dalam penjelasan umum

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tindak pidana korupsi dijelaskan

sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara

luas30.

e. Penyidik

Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang untuk melakukan penyidikan31.

Penyidik menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia yakni Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan pada

tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia dan

Tindak Pidana Korupsi32.

Penyidik berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

KPK dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik

dalam tindak pidana korupsi33.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan

dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika

penulisannya sebagai berikut:

30

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi

31

KUHAP.Op. cit.

32

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

33

(24)

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari

uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya,

tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta

menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan

tentang latar belakang Penggunaan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)

pada perkara tindak pidana korupsi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian

umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang

nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku

dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab

ini adalah menjelaskan tentang pengertian tindak pidana korupsi, tinjauan umum

tentang penyelidikan dan penyidikan, pengertian Surat Perintah Penghentian

Penyidikan, alasan-alasan penghentian penyidikan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur

pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung

(25)

mengetahui syarat-syarat suatu perkara tindak pidana korupsi dihentikan

penyidikannya, dan untuk mengetahui alasan penyidik Kejaksaan berwenang

mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara tindak

pidana korupsi sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki

kewenangan mengeluarkan SP3.

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa

kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Dasar Yurudis Tindak Pidana Korupsi

Secara teoritis tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan pidana yang

merugikan keuangan Negara untuk kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi

menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan sebagai jenis tindak

pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan

menghambat pembangunan nasional juga menghambat pertumbuhan serta

kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, bahkan

dalam bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tindak

pidana korupsi dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan

ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu

digolongkan sebagai kejahatan yang pemberatasannya harus dilakukan secara luar

biasa1.

Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif

untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang

yang mengatur masalah korupsi sebelumnya yaitu menentukan ancaman pidana

1

(27)

menimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang

merupakan pemberatan pidana2.

Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi

adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana

korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku3.

Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai

negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya

mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang

dipercayakan kepada mereka4. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi

secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan

hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri

sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara5.

2

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3Ibid

.Ketentuan Umum.

4

Lilik Mulyadi.Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Alumni. Bandung. 2007. hlm. 33

(28)

Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan sebagai jenis

tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

dan menghambat pembangunan nasional juga menghambat pertumbuhan serta

kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Sedangkan

dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tindak pidana korupsi

dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat

secara luas6.

Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat pengertian korupsi sebagai berikut:

penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya)

untuk keuntungan pribadi atau orang lain7. Menurut Andi Hamzah arti kata

harafiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,

ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,

kata-kata yang menghina atau memfitnah. Kata korupsi berasal dari bahasa Latin

Corruptio yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis Corruption, serta dalam bahasa Belanda Korruptie8. Sedangkan Black’s Law Dictionary9 mendefinisikan korupsi sebagai berikut:

“Corruption is an act done with an intent to give advantages inconsistent

with official duty and the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person

contrary to duty and the rights of others”.

6

Penjelasan Umum UU Tipikor. Op. Cit. 7

Tim Penyusun Kamus.Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta. 1997. hlm. 247

8

Andi Hamzah.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 1999. hlm.26

9

(29)

Transparency International10menyatakan:

“Corruption involves behaviour on part of officials in the public sector,

wether politicians or civil servants, in which they improperly and unlawfully enrich themselves, or those close to them, by the missuse of the public power entrusted them.”

(korupsi mencakup perilaku dari pejabatpejabat di sektor publik, baik politikus atau pegawai negeri, di mana mereka secara tidak benar dan secara melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kewenangan publik yang dipercayakan kepada mereka).

Pengertian tindak pidana korupsi juga telah dirumuskan oleh pemerintah di dalam

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, secara keseluruhan dapat dilihat pada Bab II (Tindak Pidana Korupsi),

salah satu yang Penulis kutip adalah pengertian korupsi11 pada Pasal 2 ayat (1)

undang-undang ini yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.

Era reformasi, pemerintah berusaha untuk melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi dengan berbagai upaya, di antaranya menerbitkan berbagai

peraturan perundang-undangan yang diharapkan bisa berlaku secara efektif,

undang-undang tersebut sebagai berikut12:

10

Transparency International searching. http://www.google.com/2012/11/ imdex/Transparency International/php.html diakses tanggal 25 November 2012 Pkl. 19.30 WIB

11

Penjelasan Umum UU Tipikor. Op. Cit. 12

(30)
[image:30.595.113.525.114.542.2]

Tabel : Peraturan Perundang-undangan Korupsi Setelah Era Reformasi

Nomor Peraturan Perundang-undangan Penjelasan

1 TAP MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

2 Undang-Undang No. 28 Tahun

1999

Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

3 Undang-Undang No. 31 Tahun

1999

Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

4 Peraturan Pemerintah No. 65

Tahun 1999

Tentang Tata Cara Pemeriksaan

Kekayaan Penyelenggara Negara

5 Keputusan Presiden No. 127

Tahun 1999

Tentang Pembentukan Komisi

Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara

Negara dan Sekretaris Jenderal

Komisi Pemeriksa Kekayaan

Penyelenggara Negara

6 Peraturan Pemerintah No. 19

Tahun 2000

Tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

7 Keputusan Presiden No. 44 Tahun

2000

Tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional

8 Undang-Undang No.20 Tahun

2001

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi

9 Undang-Undang No. 30 Tahun

2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

Sumber : Data Lampiran Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

B. Tinjauan Umum Tentang Penyelidikan dan Penyidikan

1. Tinjauan Umum Tentang Penyelidikan

Penyelidikan merupakan tahap persiapan atau permulaan dari penyidikan.

KUHAP merumuskan pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan

(31)

suatu tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang13.

Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. akan

tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari

fungsi penyidikan. Berdasarkan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP,

penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi

penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,

pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut

umum14.

Pengertian penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian tindakan pengusutan

sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti

sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana15. Penyelidikan

merupakan tahap persiapan atau permulaan dari penyidikan, Soesilo Yuwono

mengatakan bahwa lembaga penyelidikan mempunyai fungsi sebagai

“penyaring”, apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan ataukah tidak.

Sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan yang sudah bersifat upaya paksa

terhadap seseorang dapat dihindarkan sedini mungkin.

13

Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana LN. No.76 Tahun 1981 TLN No. 3209

14

M. Yahya Harahap.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua). Sinar Grafika. Jakarta. 2003. hlm. 112

15

(32)

Penegasan dan pembedaan pengertian antara penyelidikan dan penyidikan sangat

berguna demi untuk kejernihan fungsi pelaksanaan penegakan hukum sehingga16:

a. Telah tercipta penahapan tindakan guna menghindarkan cara-cara penegakan

hukum yang tergesa-gesa seperti yang dijumpai pada masa-masa lalu. Akibat

dari cara-cara penindakan yang tergesa-gesa dapat menimbulkan sikap dan

tingkah laku aparat penyidik kepolisian sering tergelincir ke arah

mempermudah dan menganggap sepele nasib seseorang yang diperiksa.

b. Dengan adanya tahapan penyelidikan, diharap tumbuh sikap rasa hati-hati dan

rasa tanggung jawab hukum yang lebih bersifat manusiawi dalam

melaksanakan tugas penegakan hukum. Menghindari cara-cara penindakan

yang menjurus kepada mengutamakan pemerasan pengakuan daripada

menemukan keterangan dan bukti-bukti. Apalagi jika pengertian dan tujuan

penahapan pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan dihubungkan

dengan Pasal 17 KUHAP (Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang

yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan

yang cukup), semakin memperjelas pentingnya arti penyelidikan, sebelum

dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang

melanggar hak-hak asasi yang merendahkan harkat martabat manusia

Mengingat pentingnya fungsi penyelidikan dalam kaitannya dengan fungsi

penyidikan dengan segala konsekuensinya (terutama ganti rugi dan rehabilitasi),

maka banyak hal yang harus mendapat perhatian dan ketelitian dari pejabat

penyelidik dalam melaksanakan tugas-tugas penyelidikan yang dimaksud17.

16Op. cit .hlm. 115

17

(33)

Adapun hal-hal yang harus mendapatkan perhatian dan ketelitian tersebut antara

lain:

a. Penyelidikan sebagai rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

b. Karena untuk dapat menentukan suatu peristiwa sebagai suatu tindak pidana

atau bukan merupakan suatu tindak pidana memerlukan pengetahuan

pengalaman yang memadai, maka seyogyanya penyelidikan ditangani oleh

petugas-petugas penyidik yang memenuhi syarat ditinjau dari pengetahuan

dan pengalamannya. Oleh karena itu adalah bijaksana apabila penugasan para

pejabat penyelidik yang melakukan penyelidikan dilakukan secara selektif.

c. Penyelidikan sebagai suatu usaha untuk menentukan dapat atau tidaknya

dilakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana.

d. Setelah seorang penyelidik mendapat kepastian bahwa suatu peristiwa yang

diduga sebagai tindak pidana, benar-benar merupakan suatu tindak pidana,

maka ia masih harus menentukan apakah terhadap tindak pidana itu dapat atau

tidak dilakukan penyidikan. Hal ini erat kaitannya dengan upaya penyelidik

dalam mengumpulkan bahan-bahan berupa keterangan-keterangan maupun

benda-benda yang diperlukan bagi dilakukannya tindakan penyidikan atas

tindak pidana tersebut. Jadi yang menjadi inti dari tindakan penyelidikan itu

adalah mengarah kepada pengungkapan bukti-bukti tentang telah

dilakukannya suatu tindak pidana oleh seseorang yang dicurigai sebagai

pelakunya. Oleh karena itu pada tahap ini, meskipun masih termasuk tahap

penyelidikan, penyelidik sudah harus mendapatkan gambaran tentang: tindak

(34)

bagaimana pelakunya melakukan tindak pidana itu, apa akibat-akibat yang

ditimbulkannya, siapa yang melakukannya, dan benda-benda apa yang dapat

dipergunakan sebagai barang buktinya.

Penyelidik yang berwenang melakukan penyelidikan pada perkara pidana secara

umum diatur oleh KUHAP dalam Pasal 1 angka 4, sebagai berikut: Penyelidik

adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh

undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan18. Selanjutnya dalam Pasal 4

KUHAP juga disebutkan bahwa yang berwenang melaksanakan fungsi

penyelidikan adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Tegasnya

Penyelidik adalah setiap pejabat POLRI, sedangkan Jaksa atau pejabat lain tidak

berwenang melakukan penyelidikan. Penyelidikan merupakan monopoli tunggal

POLRI19.

2. Tinjauan Umum Tentang Penyidikan

Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing

atauonderzoek (Belanda) daninvestigation (Inggris) atau penyiasatan atatu siasat (Malaysia)20. Menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti: Pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang

segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar

beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum21.

18

KUHAP.Op. cit.

19

KUHAP.Op. cit.

20

Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. PT. Alumni. Bandung. 2007. hlm. 59

21

(35)

KUHAP merumuskan pengertian penyidikan adalah serangkaian tindakan

penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya22.

Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai

berikut :

a. Ketetentuan tentang alat-alat penyidik

b. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik c. Pemeriksaan di tempat kejadian

d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa e. Penahanan sementara

f. Penggeledahan

g. Pemeriksaan atau interogasi

h. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat) i. Penyitaan

j. Pengenyampingan perkara

Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan upaya paksa,

terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan segala data dan fakta

yang diperoleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga

sebagai suatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana.

Terhadap tindak pidana yang telah terjadi itu dapat dilakukan penyidikan, dengan

demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan.

Pada tindakan penyelidikan, penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan

menemukan sesuatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana.

Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta

22

(36)

mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang

serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya23.

Adapun yang merupakan Penyidik menurut Pasal 6 KUHAP adalah:

1) a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang.

2) Syarat kepangkatan pej abat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Berdasarkan ketentuan di atas, penyidikan merupakan kewenangan dari pejabat

polisi negara Republik Indonesia (POLRI) dan pegawai negeri sipil yang ditunjuk

(PPNS). Agar para pejabat yang dimaksud mempunyai kewenangan menyidik

maka harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan tertentu. Syarat-syarat

kepangkatan penyidik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah24.

C. Pengertian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)

Setiap penyidikan perkara pidana terdapat kemungkinan pada penyidik

menemukan jalan buntu sehingga tidak mungkin lagi melanjutkan penyidikan,

dalam situasi demikian, oleh undang-undang (KUHAP), penyidik diberi

kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan25. KUHAP tidak

merumuskan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghentian penyidikan,

melainkan hanya memberikan perumusan tentang penyidikan saja. Selain itu

23

M. Yahya Harahap.Op. Cit. 24

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

25

(37)

pengaturan tentang tata cara penghentian penuntutan diatur dengan lebih rinci dan

jelas, sedangkan mengenai penghentian penyidikan pengaturannya tidak lengkap.

Akan tetapi dapat dirumuskan bahwa penghentian penyidikan adalah tindakan

penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak

pidana karena untuk membuat suatu terang peristiwa itu dan menentukan pelaku

sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan

diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau

penyidikan dihentikan demi hukum26. Dalam setiap proses dimulainya

penyidikan, penyidik memiliki kewajiban untuk memberitahukannya kepada

penuntut umum. Begitu pula ketika dilakukan penghentian penyidikan, penyidik

wajib memberikan pemberitahuan. Hal ini dinyatakan dalam KUHAP Pasal 109

Ayat (2) yakni:

a) Jika yang melakukan penghentian itu penyidik Polri, pemberitahuan

penghentian penyidikan kepada: penuntut umum dan atau keluarganya.

b) Apabila penghentian penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil

pemberitahuan penghentian harus segera disampaikan kepada: penyidik Polri

sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atas penyidikan dan

penuntut umum

D. Tinjauan Umum Penghentian Penyidikan Oleh Kejaksaan

Undang-Undang yang mengatur mengenai kewenangan Kejaksaan sebagai

penyidik sudah berganti sebanyak tiga kali, yaitu yang pertama Undang-Undang

26

(38)

No.15 Tahun 1961 yang mengatur secara implisit kewenangan Kejaksaan untuk

melakukan penyidikan segala tindak pidana.27 Kemudian undang-undang tersebut

dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991. Alasannya karena

sudah tidak selaras dengan pembaruan hukum nasional yaitu pemberlakuan

KUHAP dan lebih mengkonsentrasikan perannya di bidang penuntutan.

Undang-undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 16 Tahun

2004. Undang-undang ini memberi wewenang penyidikan lagi pada Kejaksaan

namun hanya tindak pidana khusus.28 Tindak pidana khusus yang dimaksud

adalah perkara pidana korupsi29dan hak asasi manusia.30

Berdasarkan ketentuan pasal 53 dan 54 Statuta Roma, penuntut umum

mempunyai kewenangan untuk menyidik.31 Statuta Roma atau Rome Statute of The International Criminal Court adalah persetujuan yang disepakati pada tahun 1998 oleh United Nations Diplomats Conference of Plenipotentiaries on Establishment of an International Criminal Courtuntuk membentukInternational Criminal Court(ICC) atau Pengadilan Pidana Internasional.

ICC adalah pengadilan internasional yang permanen dan independen untuk

melakukan penyidikan dan mengadili pelaku kejahatan internasional seperti

genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. ICC sifatnya

melengkapi keberadaan sistem peradilan nasional sebuah negara. ICC hanya akan

memproses suatu perkara apabila suatu negara tidak memiliki kemauan atau

27

Penjelasn Umum Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.

28

Pasal 30 ayat (1) huruf d. Penjelasn Umum Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

29

Ibid. hlm. 34

30

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, LN. No. 191 Tahun 2000, TLN No.3911.

31

(39)

kemampuan untuk menyidik dan menuntut perkara tersebut. Meskipun Indonesia

belum meratifikasi Statuta Roma, namun ketentuan-ketentuan dalam Statuta

Roma telah diadopsi ke dalam hukum nasional. Antara lain dengan

menyempurnakan hukum acara pidana yang merupakan hukum acara untuk

perkara pelanggaran hak asasi manusia dengan mengundangkan Undang-Undang

No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 26

Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan uraian tersebut,

KUHAP menegaskan instansi Kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum saja,

namun pada pengaturan undang-undang yang lebih khusus instansi Kejaksaan

dapat berfungsi menjadi dua, yaitu sebagai penyidik dan penuntut umum.

E. Tinjauan Umum Penghentian Penyidikan Oleh KPK

KPK dalam menjalankan fungsinya terkait dengan kewenangan yang dimilikinya,

selain berdasarkan pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK

juga tidak lepas dari pengaturan sebagaimana diatur oleh UndangUndang No 8

Tahun 1981 (KUHAP). Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1)

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan bahwa:

(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut

umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UndangUndang No.

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik

(40)

Selain KUHAP, dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya, KPK juga

mengacu pada pengaturan di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana dinyatakan dalam Pasal 39 ayat

(1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK:

Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Berlakunya beberapa undang-undang dalam pelaksanaan fungsi dan wewenang

penyidikan KPK bukanlah menunjukkan terjadi tumpang tindih hukum/ peraturan

perundang-undangan, karena tetap berlaku asas lex specialis derogat lex generalis, di mana ketentuan hukum yang khusus akan mengenyampingkan hukum yang umum, jadi dalam melaksanakan fungsi penyidikannya, KPK tetap

berdasar pada ketentuan peraturan umum yaitu KUHAP, kecuali terdapat hal lain

yang diatur oleh Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satu

perbedaan kewenangan dalam proses penyidikan yang dimaksud adalah

pengaturan dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK

yang menyatakan: Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang

mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam

(41)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya1.

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris2. Pendekatan

secara yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

melihat dan menganalisis penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (Sp3)

pada perkara tindak pidana korupsi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Kejaksaan Tinggi Lampung. Selain itu juga pendekatan ini dilakukan melalui

penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari terhadap hal-hal yang bersifat

teoritis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan-peraturan

hukum serta hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan melalui penelitian lapangan

yang dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian,

perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan analisis penerbitan Surat Perintah

1

Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. 1986. hlm.40

2

(42)

Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara tindak pidana korupsi antara Komisi

Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Tinggi Lampung.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat di lihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang

diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka3.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu:

1. Data Primer

Data primer4adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan.

Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan

skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara

terhadap aparat penegak hukum yang terkait dengan analisis penerbitan Surat

Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara tindak pidana korupsi

antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Tinggi Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder 5yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara

membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan,

buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan

dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer6 yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari :

3

Op. cit. hlm. 44

4

Op. cit. hlm. 45

5

Op. cit. hlm. 46

6

(43)

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

3. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

4. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK).

b. Bahan hukum sekunder7 yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa

serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma

hukum yang berhubungan dengan masalah yang di bahas dalam skripsi ini.

Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi Peraturan Pemerintah

Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tentang

Pembentukan Tim gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1999 Susunan Organisasi dan Tata

Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

c. Bahan hukum tersier8yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan

informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia, media

massa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet yang berkaitan

dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

7

Op. cit. hlm. 48

8

(44)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Kajian lebih lanjut penentuan populasi dan sampel sangat penting dalam

penelitian. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro yang dimaksud dengan populasi9

adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik

yang sama. Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah pihak-pihak yang

berkaitan dengan penegakan hukum pidana terhadap permasalahan yang terkait

dengan analisis penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada

perkara tindak pidana korupsi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Kejaksaan Tinggi Lampung.

Adanya populasi dalam penelitian ini secara otomatis akan menimbulkan adanya

sampel. Adapun sampel dari penelitian ini adalah Penyidik KPK, Jaksa dari

Kejaksaan Tinggi Lampung, serta Akademisi dari Universitas Lampung. Masri

Singarimbun dan Sofian Effendi memberikan pengertian mengenai sampel10 yaitu

sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi. Sehubungan dengan itu,

Abdulkadir Muhammad memberikan pengertian mengenai prosedur sampling

11

dalam penelitian adalah Purposive Sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampling yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan

atas pertimbangan dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.

9

Ronny Hanitijo Soemitro.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia. Jakarta. 1990. hlm. 14

10

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi.Metode Penelitian Survey. Jakarta. 1989. hlm. 11

11

(45)

Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 5 (lima) orang, yaitu:

1. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi = 2 orang

2. Jaksa Kejaksaan Tinggi Lampung = 2 orang

3. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skipsi ini, dilakukan dengan

menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan12 merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis

dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan c

Gambar

Tabel : Peraturan Perundang-undangan Korupsi Setelah Era Reformasi

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan pelelangan yang dilakukan Panitia pengadaan barang jasa Dinas Koperasi perindustrian dan perdagangan Kabupaten Bondowoso

Peristiwa yang dibahas dalam sejarah lisan tidak hanya berfokus pada. kehidupan kelompok-kelompok elit tetapi juga menunjukkan

Kesehatan mental Islami diharapkan menghantarkan manusia ketahap yang sesuai dengan mental yang wajar dan berkontribusi dalam dunia pendidikan Islam.. Pada

Cara ini dapat diketahui dengan menggunakan metode The American Produktivity Center (APC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Proses transaksi pembelian dan penjualan

SMK Muhammadiyah 2 Klaten Utara adalah sekolah yang sudah mengusahakan adanya pembelajaran melalui media internet serta memperbolehkan siswanya menggunakan gadget

(3) terdapat hubungan yang positif antara motivasi belajar mata pelajaran akidah akhlak dan sikap sosial siswa terhadap sesama manusia pada siswa kelas VIII MTs

[r]

Metode analisis menggunakan SEM dengan program Partial Least Square (PLS). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) kualitas teknikal berpengaruh positif dan