• Tidak ada hasil yang ditemukan

Murtad Sebagai Penghalang Hadhanah (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1700/Pdt. G/2010/PAJT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Murtad Sebagai Penghalang Hadhanah (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1700/Pdt. G/2010/PAJT)"

Copied!
206
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

LILIS SUMIYATI

NIM. 1111044100083

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

Skripsi berjudul MURTAD MENJADI PENGHALANG HADHANAH (Studi

Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor

1700/Pdt.G/2010/PAJT) telah diujikan dalam sidang Munaqosyah Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

pada….. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Syariah (S.sy) pada program studi……

(5)

Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. xi + 112 halaman + 95 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui alasan-alasan pengasuh anak yang disebabkan salah satu orang tuanya murtad, yang kemudian dalam hukum Islam menjadi penghalang untuk memperoleh hak dalam mengasuh anak melalui putusan No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT, serta mengindentifikasi pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang dikarenakan murtad, yang mana hak dalam mengasuh anak tersebut tidak diberi kewenangan bagi salah satu orang tuanya yang murtad.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menekankan pada kualitas dengan pemahaman deskriptif pada putusan pengadilan tersebut. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pedekatan yuridis-normatif dengan melihat objek hukum yang berkaitan dengan Undang-undang. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara kepada hakim yang memutus perkara di Pengadilan Agama Jakarta Timur serta hakim lainnya. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang kongkret yang dihadapi.

Penelitian ini membuktikan bahwa tidak semua perkara hadhanah itu diberikan pada seorang ibu. Majelis Hakim beralasan bahwa dalam perkara hadhanah yang disebabkan salah satu orang tuanya murtad, maka akibat murtad inilah yang benar-benar menjadi penghalang untuk mendapatkan hak asuh anak, karena faktor agama orang tua yang menjadi hal yang paling utama sebagai pengasuh anak, disebabkan agama merupakan pondasi dalam kehidupan dan menjadi prioritas utama dalam merawat dan mendidik anak. Oleh karena itu hakim dalam memutus tidak hanya berpedoman pada satu pasal yang menyatakan hak asuh anak adalah hak seorang ibu, akan tetapi harus melihat pada kemaslahatan dan perlidungan bagi anak-anaknya, karena kedudukan sebagai orang tua tidak saja memenuhi kebutuhan materialnya tetapi juga lingkungan, pendidikan serta pembinaan akhlak wajib dan harus diperhatikan dari anak itu masih kecil sampai tumbuh dewasa.

Kata Kunci : Murtad Sebagai Penghalang Hadhanah, Perkara Nomor: 1700/Pdt.G/2010/PAJT

Pembimbing : Sri Hidayati, M.Ag

(6)

telah memberikanpetunjuk dan kemudahan kepada penulis. Sehingga atas karunia

pertolongan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta

salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW beserta

keluarga, para sahabat dan para umat-Nya.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tercinta,

Ayahanda Muhammad Soleh dan Ibunda Umi Sumiati beserta kakak Muhlis Ali

dan adik-adik yang penulis sayangi Sofia, ikhwan, dan Nur laila, yang tiada lelah

dan bosan memberikan motivasi, bimbingan, kasih sayangnya serta do’a, begitu

juga waktu dan senyumannya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat

dan kasih sayang kepada mereka semua.

Dalam penulisan skripsi ini, tiada sedikit hambatan dan kesulitan yang

penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya,

kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung

maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi, sehingga pada akhirnya

skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, sudah sepantasnya

pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan

(7)

3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan

waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan dan memotivasi selama

membimbing penulis.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta Staf pengajar pada lingkungan Program

Studi Hukum Keluarga (Ahwal al-Syakhshiyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

ilmu pengetahuannya kepada penulis dari awal bangku kuliah sampai pada

akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam

pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

6. Ibu Dra. Nurroh Sunah, SH., dan bapak Drs. Sultoni, MH., serta bapak Drs. H.

Jarkasih, MH., sekalu hakim yang penulis teliti di Pengadilan Agama Jak-Pus,

Jak-Tim dan Jak-sel, yang senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa

diwawancarai dan bimbingannya serta nasehat dan saran selama penulis

melakukan wawancara.

7. Bapak Drs. Ahmad Zawawi, MH, selaku hakim PA Jak-Tim yang telah

membantu dan membimbing penulis selama melakukan wawancara. Dan

segenap jajaran Staf dan karyawan di Pengadilan Agama Jakarta Timur, PA

(8)

Yulianti dan Safira Maharani yang senantiasa memberikan semangat, cinta

kasihnya, ilmunya serta kesabaran dan kesetiannya menemani penulis dari

awal semester dan sampai pada akhirnya sama-sama menyelesaikan skripsi.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis lainnya, Andi Asyraf Rahman,

Hendrawan, M. Fathin, Juni, Rina, Nadia, Kamel, Didah, Triana, Denis, Vemi,

Burhan, Rudi, Farhan, Hira, Tiflen, Azhar Syukri, Syukra, Naili dan Ayun

yang terus memberikan ilmu dan motivasinya serta semangat kepada penulis.

10.Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 dan KKN SMITH 2014

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan

semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kenangan

indah penulis yang tidak dapat terlupakan bersama kalian semuanya.

Tidak ada yang dapat penulis berikan atas jasanya, hanya doa semoga

amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran

yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 20 Mei 2015

(9)

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 11

E. Review Studi Terdahulu ... 12

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PENGASUHAN ANAK (HADHANAH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Hadhanah ... 20

B. Dasar Hukum Hadhanah ... 24

C. Syarat-syarat Sebagai Pengasuhan Anak ... 34

(10)

AGAMA JAKARTA TIMUR

A. Perkara Hadhanah Pada Tahun 2011 ... 59

B. Perkara Hadhanah Pada Tahun 2012 ... 63

C. Perkara Hadhanah Pada Tahun 2013 ... 67

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA

TIMUR NOMOR 1700/Pdt.G/2010/PAJT

A. Kronologis Perkara Putusan No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT ... 75

1. Duduk Perkara ... 75

2. Tuntutan Para Pihak Dalam Gugatan ... 78

B. Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan No.

1700/Pdt.G/2010/PAJT ... 79

C. Amar Putusan Dalam Perkara No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT ... 83

D. Analisis Penulis ... 84

BAB V PENUTUP

D. Kesimpulan ... 103

E. Saran ... 106

(11)

3. Surat Permohonan Data/Wawancara Ke PA Jakarta Selatan

4. Surat Permohonan Data/Wawancara Ke PA Jakarta Pusat

5. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Jak-Tim

6. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Jak-Sel

7. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Jak-Pus

8. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Jak-Pus

9. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Jak-Tim

10.Hasil Wawancara dengan Hakim PA Jak-Sel

11.Putusan Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT

(12)

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita

kehidupan umat manusia, maka adanya perkawinan rumah tangga dapat

ditegakkan, dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan

masyarakat dan untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang akan

meneruskan perjalanan peradaban manusia.1

Islam memandang perkawinan itu suatu nilai keagamaan sebagai

wujud ibadah kepada Allah dan Sunnah Nabi yang terdapat dalam

Al-Qur’an dan Hadis. Sehingga unsur ibadah dalam perkawinan yang berarti

ingin menyempurnakan sebagian dari agama dan menumbuhkan nilai

kemanusian serta rasa kasih sayangnya terhadap manusia lainnya.2

Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat yang

didalamnya hanya terdiri dari suami, istri dan anak. Setiap individu juga

pasti menginginkan sebuah keluarga yang bahagia dibutuhkan rasa saling

kasih sayang, terciptanya keharmonisan, ketentraman dalam berkeluarga

(sakinah, mawaddah, wa rahmah) dan itulah merupakan kunci dari tujuan sebuah perkawinan.3

1

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 1

2

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1974), h. 5-9

3

[image:12.595.144.513.112.343.2]
(13)

Tujuan dari sebuah perkawinan, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an ialah: “…Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan

dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang….” (QS. Ar-Rum: 21)

Maksud dari penjelasan arti ayat di atas, bahwa dalam membina

rumah tangga yang tentram dan penuh rasa kasih sayang antara suami dan

istri, perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan

dapat mewujudkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang

sejahtera.

Sebuah keluarga akan berjalan dengan harmonis dan tentram,

apabila seorang ayah akrab dengan anak dan bekerja sama dengan ibu

dalam memberi bimbingan atau pendidikan kepada anak.4 Menurut ajaran

agama, anak merupakan amanah atau titipan dari Yang Maha Kuasa

melalui anugerah-Nya yang diberikan kepada siapapun hamba-Nya yang

dikehendaki agar dijaga, dipelihara dan dilindungi, karena itu menjadi

tanggung jawab orang tua.5

Di samping itu, salah satu yang perlu diperhatikan adalah tanggung

jawab pemeliharaan anak. Maka pemeliharaan anak merupakan tanggung

jawab kedua orang tua sehingga pemeliharaan anak meliputi berbagai hal

seperti, kasih sayang, pendidikan, ekonomi dan kebutuhan pokok anak

lainnya. Pemeliharaan anak juga bukan kepada material saja, melainkan

kepada kebutuhan dalam menjaganya yang penuh rasa kasih sayang,

4

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h. 80

5

(14)

kesabaran dan ikut turut menjadi faktor penentu pembentuk kepribadian

anak dan unsur penting dalam pertumbuhan seorang anak. Sehingga antara

anak dan orang tua itu bisa berkomunikasi dengan baik dan agar tidak

terjadi kerusakan pada mental anak, tetapi apabila itu tidak dipenuhi maka

kemungkinan besar anak akan terpengaruh oleh pergaulan yang negatif

yang bisa merusak anak.6

Pengasuhan anak setelah terjadinya perceraian dalam bahasa fiqih

disebut dengan hadhanah. Hadhanah adalah memelihara seseorang (anak) yang belum (atau tidak) bisa mandiri, mendidik, dan memeliharanya untuk

menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat merusak dan

mendatangkan madharat atau kesengsaraan bagi anak.7

Proses pemeliharaan anak dari kecil sampai baligh ada dua istilah

yang berdekatan maksudnya yaitu kata hadhin dan kata wali, hadhin atau

hadhanah dalam bahasa arab adalah pemeliharaan anak atau hak asuh. Secara etimologis, hadhanah ialah meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan. Sedangkan secara terminologisnya ialah pemeliharaan

anak yang belum mumayyiz yang tujuannya untuk mendidik, menjaga dan

menyayanginya, karena masih belum mampu berdiri sendiri untuk

keperluannya.8

Hak asuh (hadhanah) anak yang berhak dalam pemeliharaannya adalah ibunya yang secara emosional lebih sabar dibandingkan ayahnya,

6

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), h. 240

7

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 316 8

(15)

dan selama ibunya itu tidak menikah dengan laki-laki lain. Karena apabila

ibunya menikah, maka hak hadhanah tersebut beralih kepada ayahnya.9 Agama Islam itu memberikan syarat-syarat kepada seorang pengasuh

yaitu: berakal, baligh, mempunyai kemampuan, tidak membenci anak dan

beragama Islam/ seakidah dengan sang anak.10 Dalam Undang-undang

yang ada di Indonesia sendiri mengenai hak asuh anak bahwasannya tidak

menjelaskan secara langsung mengenai syarat-syarat bagi pengasuh anak,

karena dalam undang-undang itu sendiri hanya mengatur seorang yang

berhak sebagai pengasuh anak yang melihat pada kesejahteraan bagi anak

itu sendiri sedangkan dalam ajaran Islam itu sendiri ditetapkan adanya

syarat-syarat bagi pengasuhnya (hadhin).

Di dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 jo. Undang-undang

No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pada Bab III mengenai hak

dan kewajiban anak, bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan

perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup

yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan

perkembangan dengan wajar. Oleh karena itu kebahagian anak merupakan

pula kebahagiaan orang tua, maka seorang anak perlu mendapatkan rasa

kasih sayang dari orang tua, dimana kondisi setiap anak itu dapat

9

Abdul fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hal. 251

10

(16)

melaksanakan hak dan kewajibannya.11 Dan jika tidak ingin terjadi adanya

keresahan pada anak atau menjadi korban akibat sebuah perceraian atau

menderita kerugian seperti mental, fisik dan sosial bagi anak, maka

peranan orang tua yang merupakan tanggung jawab sepenuhnya atas

pertumbuhan dan perkembangan anak.12

Namun tanggung jawab pemeliharaan ada dua sifat yaitu ada yang

bersifat meteril dan bersifat pengasuh dan keduanya berbeda masalah

tanggung jawabnya, bahwa tanggung jawab yang bersifat materil itu

kaitannya dengan seorang ayah yang harus memenuhi pembiayaan untuk

penghidupan anak, termasuk biaya pendidikannya dan apabila ayah tidak

bisa memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan

bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.13 Hal tersebut termaktub dalam

Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 41 ayat (2),

sedangkan tanggung jawab yang bersifat pengasuh bahwa ibu lah yang

memegang hak asuh, selama anak itu belum mumayyiz.

Berakhirnya masa asuhan atau dibebaskan untuk memilih adalah

pada waktu anak itu sudah mumayyiz atau sudah bisa ditanya dan memilih

11

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), h. 17-18

12

Ibid., h. 35

13

(17)

kepada siapa dia akan terus ikut. Jadi secara umum anak yang belum

mumayyiz hak asuh diberikan kepada ibunya.14

Melihat ketentuan undang Perlindungan Anak

Undang-undang No. 23 tahun 2002 jo. Udang-Undang-undang No. 35 tahun 2014 bahwa

hak asuh di samping hak orang tua juga merupakan hak anak, karena anak

termasuk salah satu anggota keluarga. Hal tersebut diterangkan dalam

pasal 37 ayat (1) yaitu:

“Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar…”.

Jadi terpeliharanya anak dari adanya akibat perceraian dikarenakan

seorang ibu yang murtad yaitu berpindah agama ke non-muslim sehingga

berakibat mengabaikan anak yang diasuhnya. Maka hal ini perlu adanya

tindakan suami kepada istri untuk kembali ke jalan yang sesuai dengan

ajaran Islam yang kemudian menjadi perebutan hak asuh anak bagi kedua

orang tuanya ketika terjadi perceraian. Oleh karenanya Majelis Hakim

juga tidak selamanya memberikan hak asuh itu kepada ibunya karena

melihat pada hak-hak seorang anak dan kesejateraannya. Maka persamaan

agama tidaklah menjadi syarat yang dominan bagi pengasuh kecuali jika

dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama Islam. Sebab yang

terpenting dalam hadhanah ialah pengasuh mempunyai rasa cinta dan

(18)

kasih sayang kepada anak serta bersedia memelihara anak

sebaik-baiknya.15

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 49 ayat (1)

disebutkan bahwa salah seorang atau kedua orang tua dapat gugur

kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu

atas permintaan orang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan

saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan

keputusan pengadilan dalam hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya

b. Ia berkelakuan buruk sekali

Maka dalam hal hak asuh (hadhanah) anak yang diberikan kepada si ibu yang murtad maka bisa saja dapat gugur, dan bisa diberikan kepada

keluarga anak garis ke atas dari pihak ibu seperti nenek dari ibu saudara

perempuan sekandung, anak perempuan saudara perempuan/ laki-laki

seibu dan sebapak, bibi yang sekandung dengan ibu, demikian seterusnya.

Jika tidak bisa menjaganya atau tidak ada yang akan melakukan hak

asuhnya pada tingkat perempuan, maka hak asuh anak bisa diberikan

kepada pihak laki-laki ayahnya garis keatas atau pejabat berwenang yaitu

pemerintah.16

Perceraian yang sering terjadi di masyarakat mengakibatkan

konflik dalam hadhanah atau pemeliharaan anak. Tetapi dalam

15

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 182

16

(19)

undang dan pendapat para Fuqoha bahwasannya hak asuh itu diberikan

kepada ibu apabila anak belum mumayyiz, masalah seperti inilah yang

akan menimbulkan ketidakadilannya kepada pihak ayah dari anak, karena

timbulnya perceraian yang disebabkan kemurtadan seorang ibu maka ibu

sudah tidak lagi memiliki cakap hukum atau tidak berhak atas penguasaan

anak. Oleh sebab itu penulis ingin meneliti lebih alasan-alasan yang

mengakibatkan hak asuh ibu dan seterusnya dari pihak ibu terhalang

karena ibu murtad.

Berdasarkan masalah di atas, yaitu hak pengasuhan anak yang

merupakan hak ibunya yang ternyata dalam praktek dan teorinya berbeda

dengan putusan yang ditetapkan di Pengadilan Agama. Karena seorang ibu

yang melalaikan kewajibannya sebagai seorang ibu kepada anaknya dan

keluarnya ibu dari agama Islam (Murtad) yang tidak sesuai yang

diajarakan oleh perintah Allah. Maka sebab-sebab seperti itu yang akan

membawa kemudharatan bagi anak baik secara mental, akhlak dan agama.

Karena adanya rasa kekhawatiran seorang ayahnya apabila hak asuh itu

diberikan pada ibunya akan mengikuti perilaku ibu yang tidak sesuai

dengan ajaran-Nya.

Seorang bapak bisa saja lebih berhak mendapatkan pengasuhan

anak tersebut, diakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak yang dimiliki

seorang anak. Walaupun hakikatnya hak asuh ibulah yang memiliki

kemampuan dalam merawat dan mendidik anak atas hak asuh anak yang

(20)

penulis akan diteliti lebih jauh lagi masalah ini melalui karya tulis ilmiah,

yang penulis teliti tentang Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur serta

alasan mengapa hakim tidak menjatuhkan hak asuh anak itu kepada ibunya

melainkan diberikan pada bapaknya yang ketidaksesuaian dengan pasal

105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa dalam hal

terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya. Dikarenakan dalam masalah yang terjadi dalam

putusan di Pengadilan Jakarta Timur disebutkan hak asuh anak belum

mumayyiz diberikan hak kepada bapak. Maka penulis tertarik untuk

mengambil sebuah tema skripsi ini untuk membahas dan merumuskannya

kedalam sebuah karya tulis dengan judul: “Murtad Sebagai Penghalang

Hadhanah” (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur

Perkara Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT).

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan suatu permasalahan yang terkait

dengan judul skripsi yang sedang dibahas. Masalah-masalah yang sudah

tertuang pada subbab latar belakang diatas pada umumnya kerap

dijumpai direalita kehidupan untuk saat ini, maka dari itu penulis

memaparkan beberapa permasalahan yang ditemukan sesuai dengan

bagian latar belakang penelitian ini, diantaranya adalah:

1. Bagaimana hakim memutuskan perkara hak asuh anak yang salah

(21)

2. Bagaimana metode ijtihad seorang hakim dalam memutus perkara

hak asuh anak pada bapak

3. Apa saja faktor penghambat seseorang mendapatkan hak asuh anak

4. Apakah murtad bisa dijadikan alasan penghalang untuk

mendapatkan hak asuh anak.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Pengadilan

Agama Jakarta Timur sebagai obyek penelitian. Mengingat banyaknya

perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama tersebut, maka penulis

melakukan pembatasan yakni agar pembahasan terarah dan lebih

spesifik, maka pembahasan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada

pemberian hak asuh anak yang dberikan kepada bapak akibat ibu

murtad dalam putusan Nomor 1700/Pdt. G/2010/PAJT.

Menarik untuk penulis teliti dalam skripsi ini sehingga nantinya

tidak meluas atau keluar dari pokok bahasan yakni sehubungan dengan

beraneka ragamnya kasus Hadhanah anak, maka dalam skripsi ini

penulis membatasi hanya pada kasus di atas yang difokuskan pada

argumentasi dan landasan hukum hakim dalam memutus perkara

tentang hak-hak anak dalam perebutan hak asuh anak yang disebabkan

(22)

b. Perumusan Masalah

Sehubung dengan permasalahan di atas dan untuk memudahkan

penulis dalam penulisan skripsi ini, maka rincian rumusan masalah

skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hakim memutuskan perkara hak asuh anak yang salah

satu orang tuanya murtad?

2. Apakah murtad bisa dijadikan alasan penghalang untuk

mendapatkan hak asuh anak?

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

a. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan di atas maka yang

menjadi tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengidentifikasi putusan hakim dalam memutus perkara

hak asuh anak akibat murtad.

2. Untuk mengetahui alasan penghalang seseorang yang murtad

untuk mendapatkan hak asuh anak.

b. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memperkaya keilmuan intelektualitas di bidang hukum Islam

serta hukum- hukum lainnya yang diterapakan di Indonesia.

2. Menjadikan bahan pertimbangan para penegak hukum dalam

(23)

dalam memutuskan perkara selain mengedepankan

pertimbangan hukum.

3. Memberikan informasi atau wawasan kepada masyarakat

lainnya terkait dengan hak asuh anak akibat seseorang yang

berpindah agama ke non-muslim (murtad) dan untuk lebih

melihat pada kepentingan hak anak bukan pada hak orang

tuanya.

E. Review Studi Terdahulu

Terdapat beberapa skripsi yang ada kaitannya dengan hadhanah, di

antaranya adalah:

1. Skripsi Widya Eka Rahmawati, Hak Hadhanah Ghairu Mumayyiz Kepada Ayah Karena Perdamaian (Analisis Putusan PA Jakarta Selatan No. 1091/Pdt.G/PA.JS), Administrasi Keperdataan Islam,

2009. Skripsi ini membahas tentang hak hasuh anak yang diberikan

kepada bapaknya atas perdamaian dari kedua belah pihak antara

penggugat dan tergugat, jadi penyerahannya anak itu atas kerelaan

dari ibunya, maupun ini sama membahas skripsi yang

pengasuhannya kepada bapak. Perbedaannya dalam penelitian

penulisan skripsi ini, penulis membahas hak asuh anak yang belum

mumayyiz kepada bapaknya akibat ibu yang murtad yang akan

menimbulkan kerusakan pada akhlak anak dan melalaikannya

dalam mengurus anak, maka bukan berdasarkan atas kerelaan dari

(24)

2. Skripsi Nova Andriani, Penetapan Hak Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Belum Mumayyiz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2008/PA.JB, Administrasi

Keperdataan Islam, 2011. Pada skripsi ini membahas tentang

peranan seorang hakim dalam memutus perkara hadnanah akibat

perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Barat. Perbedaan dari

penelitian penulis, penulis membahas mengenai penghalang hak

asuh anak yang akibat ibu murtad, yang sehingga hak asuh itu tidak

berhak bagi pihak ibu keatas, sehingga hak asuh anak yang belum

mumayyiz itu berpindah kepada bapaknya.

3. Skripsi Moh Anas Maulana Ibroohim, Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 345/Pdt.G/2007/PA.Bks, Peradilan Agama,

2014. Skripsi ini membahas tentang hak asuh anak yang diberikan

kepada bapak yang disebabkan kurang harmonis dan ibu tidak bisa

lagi menjaga dan merawat anaknya dengan baik, sehingga

mengakibatkan perceraian bagi keduanya maka hak asuh tersebut

diberikan kepada bapak. Sedangkan perbedaannya, penulis

membahas tentang seorang ibu murtad yang menjadi penghalang

untuk mendapatkan hak asuh, sehingga dalam putusan di

Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT hak

asuh anak itu diberikan bapaknya tanpa melihat anak yang belum

(25)

Dengan demikian skripsi yang akan penulis angkat terdapat

perbedaan dengan skripsi-skripsi yang sudah dibahas terdahulu, karena

skripsi penulis ini akan membahas tentang hadhanah terhadap anak yang

belum mumayyiz yang diberikan kepada bapak akibat ibu yang murtad.

Sehingga seorang yang murtad akan menjadi penghalang mendapatkan

hak asuh anaknya, maka hal imi terdapat dalam analisis putusan No.

1700/Pdt.G/2010/PAJT.

F. Metode Penelitian

Dalam mengumpulkan data dalam penulisan penelitian skripsi ini,

maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang

dilakukan dengan memakai pendekatan normatif. Dilakukan

pendekatan ini yaitu untuk lebih meneliti aturan hukum baik secara

tertulis maupun tidak tertulis.17 Maka dapat mengindentifikasikan

konsep dan dituangkan dalam meneliti bentuk analisis hasil

pertimbangan hakim dalam memutus perkara putusan No.

1700/Pdt.G/2010/PAJT. Dengan dilakukannya pendekatan ini,

penulis melakukan wawancara dan akan lebih aktual mendapatkan

informasi mengenai hak asuh anak.

17

(26)

2. Jenis penelitian

Dalam jenis penelitian ini, penulis menggunakan metode

penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini

dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan

dapat memberikan data yang sejelas mungkin tentang objek yang

diteliti.18

3. Sumber Data

Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif

dan terbagi menjadi dua yaitu:

a. Data Primer

Sumber data ini diperoleh dari data yang langsung

dikumpulkan oleh peneliti atau dari sumber pertamanya.19 Yaitu

melalui penelitian dokumentasi, serta melalui wawancara langsung

terhadap pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini, terutama

majelis hakim yang berwenang dalam menangani putusan perkara

Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT tentang adanya penghalang hak

asuh anak dari ibu yang murtad.

b. Data Sekunder

Data ini didapat dari bahan pustaka yang berisikan

informasi tentang bahan primer,20 yang didapatkan dari peraturan

18

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 43 19

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 39 20

(27)

perundang-undangan, Al-Qur’an, Hadits, data-data resmi dari

instansi pemerintah yang berwenang, buku-buku literatur, karangan

ilmiah, jurnal, makalah umum dan bacaan lain yang berkaitan

dengan judul penelitian.

4. Teknik Pengolahan Data

Dalam rangka mengumpulkan, mengelolah dan menyajikan

bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data

dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Dokumentasi (document research)

Melalui penelitian ini, penulis memfokuskan untuk dapat

menelaah bahan-bahan atau data-data yang diambil dari

dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang pemeriksaan

putusan yang terkait masalah hak asuh anak (Hadhanah) dalam putusan perkara No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT.

b. Studi Pustaka (library research)

Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang

berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu dari

Undang-undang, buku-buku, jurnal, literatur-literatur dan sumber bacaan

lainnya yang memuat laporan hasil penelitian21, yang kemudian

sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah. Pengolahan data

studi pustaka ini dilakukan dengan cara dibaca, dikaji dan

21

(28)

dikelompokkan sesuai dengan pokok masalah yang terdapat dalam

skripsi ini.

c. Wawancara (interview)

Melalui penelitian ini, didapatkannya data-data untuk

mendapatkan informasi dengan melakukan wawancara kepada

pihak-pihak yang terkait dan majelis hakim yang menyidangi

perkara putusan Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT yaitu hakim Dra.

Nurroh Sunnah, SH, Dra. Haulillah, MH dan Drs. H.M Syamri

Adnan, SH., MHI. Wawancara ini menggunakan metode bebas dan

terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis jadikan referensi

untuk memperkuat data.

5. Pengolahan Data

Setelah memperoleh data-data tersebut di atas, penulis

mengolah data dengan metode deskriptif dan komparatif. Dan

kemudian dalam penyajian tersebut dikomparatifkan antara data

yang tertera pada teori yang diambil dari studi pustaka dan

kenyataan sesungguhnya yang didapatkan dari penelitian

dilapangan dan data-data yang menyangkut masalah hak anak dan

pengasuhan anak.

6. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis

kualitatif, yaitu cara penelitian yang menghasilkan data dekriptif

(29)

yang terkait terhadap kasus-kasus yang diteliti, yang kemudian

analisis ini didasarkan pada dokumen, wawancara, buku-buku serta

sumber data lainnya. Dan dalam teknis penulisan ini, penulis

berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi dan buku

metode penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penyusunan penulisan ini ialah berformat dalam

bentuk bab dan sub bab secara ringkas dan terurai, yang kemudian dibagi

ke dalam empat bab yaitu:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang memuat latar belakang

masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu, serta sistematika

penulisan.

Bab kedua, membahas tentang pengasuhan anak (hadhanah)

menurut hukum Islam dan hukum positif, yang terdiri dari sub bab:

pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat-syarat untuk

mendapatkan hak asuh anak, pihak-pihak yang berhak melakukan

hadhanah, masa berlakunya hadhanah, dan mencantumkan faktor

pengahalang yang menghalangi mendapatkan hak asuh (Hadhanah).

Bab ketiga, berisi deskripsi tentang perkara-perkara Hadhanah

yang pernah diputuskan oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam tiga

(3) tahun terakhir. Uraian ini diperlukan untuk memberikan gambaran

(30)

Bab keempat, membahas analisis putusan di Pengadilan Agama

Jakarta Timur tentang hadhanah yang terdiri dari: kronologis perkara yang

meliputi duduk perkara, tuntutan para pihak, pertimbangan hakim dan

amar putusan, dan pada bab ini penulis langsung menganalisis terhadap

putusan No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT tersebut tentang murtad menjadi

pengahalang hadhanah.

Bab kelima, merupakan tahap akhir dari penulisan skripsi yang

berupa kesimpulan dari beberapa persoalan yang dibahas dan saran-saran

penulis terhadap masyarakat dan penegak hukum untuk lebih teliti dan

(31)

BAB II

PENGASUHAN ANAK (HADHANAH) MENURUT HUKUM ISLAM

DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Hadhanah

Hadhanah

ةناضح

secara etimologi (bahasa) ialah jamak dari kata

ناضحا

(ahdhan) atau

نضح

(hudhun) terambil dari kata

نضح

(hidhn) yang berarti anggota badan yang terletak atau berada di bawah ketiak.22 Atau juga bisa disebutnya dengan “meletakkan sesuatu dekat

tulang rusuk atau pangkuan”. Maksudnya adalah pendidikan dan

pemeliharaannya anak sejak dari lahir sampai sanggup mandiri atau

berdiri sendiri.23

Mengenai hadhanah dalam kamus besar bahasa Indonesia

pemeliharaan anak (hadhanah) terdiri dari dua kata yaitu pemelihara dan kata anak, pemelihara berasal dari kata pelihara yang memiliki arti

jaga. Sedangkan kata pemeliharaan yang berarti proses, cara, perbuatan

penjagaan, perawatan pendidikan.24

Berdasarkan dari penjelasan secara bahasa (etimologis) di atas,

bahwa makna dari hadhanah ialah sebagai mengasuh anak dan mendidiknya sejak pertama kali keberadaanya di dunia ini. Baik hal

22

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir-Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Ponpes al-Munawwir), h. 296

23

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 175 24

(32)

tersebut dilakukan oleh ibu atau ayahnya maupun oleh orang lain yang

menggantikannya, sehingga hadhanah merupakan langkah pertama dalam perwalian atau bimbingan terhadap anak.25

Sedangkan menurut Istilah fiqh hadhanah atau yang disebut pemeliharaan atau pengasuhan ialah pemeliharaan anak yang masih

kecil setelah terjadinya putus perkawinan.26 Kemudian dari pengertian

lainnya, yang ada di dalam kitab Fiqh Islam Wa Adillatuhu karangan Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa hadhanah diambil dari kata al-hidhnu yang artinya samping atau merengkuh ke samping. Adapun secara syara hadhanah artinya pemeliharaan anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya. Atau memelihara atau menjaga orang

yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri karena tidak

mumayyiz seperti anak-anak dan orang dewasa tetapi gila.27

Adapun maksud dari pemeliharaan anak ialah merupakan

tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang

semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang

tuanya. Pemeliharaan anak juga meliputi pengawasan, pelayanan dan

pembelanjaan dalam arti luas. Pengawasan berarti membentuk

lingkungan anak dalam suasana yang sehat, baik jasmani maupun

25

Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, Cet.1, (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004), h. 101

26

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indnesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 327

27

(33)

rohani, sehingga anak menjadi manusia yang memiliki jiwa sosial.

Pelayanan berarti menanamkan rasa kasih sayang orang tua terhadap

anak. Sedangkan kebutuhan hidup adalah kebutuhan primer atas

tempat tinggal, makanan dan pakaian menjadi kebutuhan yang

ditekankan pada soal nafkah.28 Oleh karena itu kekuasaan orang tua

terhadap anak yang berisi kewajiban pemeliharaan anak itu mulai

berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahan dan berakhir

pada saat anak itu sudah menjadi dewasa atau menikah. Akan tetapi

kekuasaan orang tua itu tidak saja meliputi diri si anak, tetapi juga

meliputi benda atau kekayaan yang dimiliki anak.29

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan hadhanah adalah hak yang berkaitan dengan seorang anak yang

masih kecil baik itu anak laki-laki maupun perempuan karena ia masih

sangat membutuhkan perawatan, pemeliharaan, penjagaan, pendidikan

dan melindunginya serta kasih sayang yang kemudian untuk lebih bisa

membimbing untuk membedakan baik dan buruk perilaku agar

menjadi manusia yang hidup sempurna dan bertanggung jawab di masa

depannya.

B. Dasar Hukum Hadhanah

Dasar hukum melakukan hadhanah adalah wajib, karena pada

prinsipnya dalam Islam bahwa anak-anak mempunyai hak untuk

28

Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV. Zahir Trading, 1975), h. 204

29

(34)

dilindungi, baik atau keselamatan akidah maupun dirinya dari hal-hal

yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka.30 Jika hadhanah itu

dilalaikan akan merusak anak sehingga wajib menjaganya dari

kehancuran, begitu juga wajib menafkahi dan menghindarkan anak

dari hal-hal yang dapat mencelakakannya.31

a. Al-Qur’an dan Hadis

Adapun dasar hukum pemeliharaan anak dalam Firman Allah

SWT pada surat Al-Baqarah ayat 233 yang menyatakan:

“Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara

yang makruf...”(QS. Al-Baqarah: 233).

Sebagaimana maksud dari ayat Al-Qur’an di atas yaitu

menjelaskan mengenai hukum penyusuan anak ketika terjadinya talak

dapat di artikan bahwa keluarga mengandung arti hubungan yang tidak

dapat lepas dari kedua suami istri yang bersangkutan, yaitu tentang

anak yang masing-masing punya andil padanya dan terikat dengannya.

Apabila dalam kehidupan rumah tangga kedua orang tua itu bubar,

maka si kecil ini harus diberi jaminan secara terperinci yang harus

dipenuhi oleh kedua orang tuanya dalam setiap keadaannya. Kemudian

seorang ibu yang telah diceraikan itu mempunyai kewajiban terhadap

30

Bagir Manan, dkk, Mimbar Hukum, (Jakarta: PPHIMM, 2010), Ed. 70, h.201 31

(35)

anaknya yang masih menyusu, hal tersebut merupakan kewajiban yang

ditetapkan oleh Allah dan tidak dibiarkan-Nya meskipun fitrah dan

kasih sayang untuk anak terkurangi akibat dari perceraian kedua orang

tuanya, sehingga Allah mewajibkan bagi seorang ibu untuk menyusui

anaknya selama dua tahun penuh. Karena ibu mengetahui bahwa masa

usia anak ketika dua tahun merupakan waktu yang paling ideal ditinjau

dari segi kesehatan maupun jiwa anak dan pada masa usia tersebut

merupakan kebutuhan yang vital bagi pertumbuhan anak baik

mengenai kesehatan maupun mentalnya.32

Kemudian sebagai timbal balik dari melaksanakan kewajiban

yang ditetapkan Allah terhadap si ibu kepada anaknya tersebut, maka

seorang ayah (meskipun telah menceraikannya) berkewajiban untuk

memberi nafkah dan pakaian kepada si ibu secara patut dan baik. Jadi

kedua-keduanya mempunyai beban dan tanggung jawab terhadap anak

yang masih menyusui sampai ia dewasa. Sehingga kewajiban bagi

seorang ibu ialah merawat anak dengan menyusui dan memeliharanya,

dan kewajiban ayah harus memberi makanan dan pakaian kepada si

ibu itu supaya dia dapat memelihara anaknya dan masing-masing dari

kedua orang tuanya harus menunaikan kewajibannya sesuai batas

kemampuannya.33

32

Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an: Di bawah Naungan Al-Qur’an, (Darusy-Syuruq: Bairut, 1412 H/1992 M), Penerjemah As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Penyunting Tim Simpul dan Tim GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Jilid 1, Cet. 1, h. 301-302

33

(36)

Sedangkan menurut Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa

orang tua berkewajiban membiayai anaknya yang masih kecil bukan

hanya berlaku pada ayah dan ibu yang masih terikat perkawinan,

namun berlanjut setelah terjadinya perceraian.34 Oleh karena itu

seorang ayah tetap berkewajiban memberi nafkah untuk anaknya dan

seorang ibu tetap berkewajiban merawat, mendidik anak dengan baik

sampai anak itu menikah dan mampu berdiri sendiri (mumayyiz). Adapun dalam Firman Allah SWT pada surat at-Tahrim ayat 6:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...”(QS. at-Tahrim: 6).

Ayat Al-Qur’an di atas menjelaskan bahwa dakwah dan

pendidikan harus bermula dari rumah, dimana dari ayat tersebut

walaupun secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah) tetapi itu

bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada

perempuan dan lelaki (ibu dan ayah), maka dengan demikian hal ini

berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anaknya dan

pasangan masing-masing sebagaimana suami dan istri bertanggung

jawab atas kelakuannya. Ayah dan ibu serta anak cukup untuk

menciptakan satu rumah tangga atau keluarga yang diliputi oleh

nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis. Maksud dari

manusia menjadi bahan bakar neraka, dipahami thaba’thaba’i dalam

34

(37)

arti manusia terbakar dengan sendirinya.35 Oleh sebab itu manusia

diperintahkan untuk selalu menjauhi segala perintah yang dilarang oleh

Allah, yang mana siksaan api neraka lebih panas sampai bisa

membakar manusia.

Sebagaimana yang sudah dijelakan diatas mengenai ayat

tersebut juga dapat disimpulkan bahwa yang diperintahkan oleh Allah

yaitu pemeliharaan anak merupakan kewajiban kedua orang tua yang

tujuannya untuk memelihara keluarganya dari api neraka dengan

berusaha agar keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah-Nya

dan menjauhi larangan-larangan Allah, maksud dari keluarga dalam

ayat ini adalah anak.36 Kemudian mengantarkan anak-anaknya dengan

cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan baik ilmu

agama maupun umum untuk bekal mereka kejenjang dewasa.37

Dalam kaitannya dengan pemeliharaan, merawat dan mendidik

anak kecil diperlukan adanya kesabaran, kebijaksanaan, pengertian dan

kasih sayang.38 Karena hadhanah merupakan hak anak sebagai

manusia dan bisa jadi tidak terpenuhi karena perceraian orang tuanya.

Ditinjau dari sisi hak anak yang masih kecil dan belum mandiri,

pengasuhan (hadhanah) adalah suatu perbuatan yang wajib

35

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 15, Cet. 1, h. 326

36

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 177 37

Ibid., h. 176 38

(38)

dilaksanakan oleh orang tuanya karena tanpa adanya pemeliharaan,

maka anak akan menjadi terlantar yang berarti kehilangan

hak-haknya.39 Sedangkan dalam dalil Hadis yang bersumber pada Hadits

Nabi riwayat dari Abdullah ibn Amr menceritakan:40

“Seorang Perempuan berkata (kepada Rasulullah Saw): Wahai

Rasulullah Saw, anakku ini yang mengandungnya, air susuku yang diminumnya, dan dibilikku tempat kumpulnya (bersamaku), ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dari aku”, maka

Rasulullah Saw, bersabda: “Kamulah yang lebih berhak untuk memelihara anak itu, selama kamu belum menikah lagi.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim Menshahikannya).

Hadits tersebut menegaskan bahwa seorang ibu lebih berhak

untuk mengurus hadhanah anaknya meski sudah bercerai atau ditinggal

mati oleh suaminya.42 Maka perempuan lah yang lebih berhak dari

pada kalangan laki-laki, karena perempuan lebih dalam hal belas kasih

sayang, ketelatenan dalam merawat dan menjaganya serta memiliki

kesabaran yang lebih,43 dan selama ibunya tidak menikah dengan

39

Rahima, “Pandangan Islam Tentang Pengasuhan Anak (Hadhanah); Suplemen Edisi 45”, artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari http://www.rahima.or.id/

40

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 199 41

Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq, Sunan Abu Dawud, Juz 2, Hadis 2276, (Bairut: Maktaba Al-Ashriyah), h. 283

42

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk: Penyunting Budi Permadi, Cet. 1, h. 61

43

(39)

laki lain. Apabila ibunya telah menikah maka hak hadhanah tersebut

beralih kepada bapaknya alasannya ialah jika ibu anak tersebut

menikah maka besar kemungkinan perhatian seorang ibu akan beralih

kepada suami barunya dan bahkan mengalahkan perhatiannya kepada

anak kandungnya sendiri.44

b. Hukum Positif

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab

kedua orang tuanya, yang meliputi berbagai hal masalah ekonomi,

pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak.

Oleh karena itu yang terpenting dalam memelihara anak ialah kerja

sama dan saling tolong menolong antara suami dan istri sampai anak

tersebut dewasa. Bahwa faktanya di dalam Undang-undang

Perkawinan tidak secara rinci mengatur masalah tersebut, karena tugas

dan kewajiban memelihara anak intern dengan tugas dan tanggung

jawab suami sekaligus sebagai bapak bagi anak-anaknya.45 Kemudian

di dalam ketentuan pasal 45 Undang-undang No. 1 tahun 1974

menyatakan:

Pasal 45

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknnya.

2. Kewajiban kedua orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri

44

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 199

45

(40)

sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.

Oleh sebab itu dalam mengenai hadhanah, seorang bapak dan

ibu tetap berkewajiban untuk memeliharanya meskipun ikatan

perkawinan dari kedua orang tuanya telah putus, sebagaimana telah

diatur dalam pasal 41 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974

dinyatakan:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diberlakukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Dari uraian pasal diatas menjelaskan bahwa kedua orang tua

tetap berkewajiban memelihara anak yang didasarkan untuk

kepentingan di masa yang akan datang yaitu ketika anak tersebut sudah

dikatakan dewasa atau cakap hukum dan bukan untuk kepentingan

masing-masing pihak orang tua dalam mengambil haknya. Oleh karena

itu adanya kedua orang tua bagi anak ialah untuk saling memikul

(41)

2. Undang-Undang Perlidungan anak No. 23 Tahun 2002 jo. No.

35 Tahun 2014 Dan Convention on the Right of the Child (CRC) Tahun 1989

Dalam Undang-undang perlindungan anak No. 23 tahun 2003 jo.

UU No. 35 tahun 2014 ternyata pada prinsipnya sama dengan yang

diajarkan dari keteladanan Nabi Muhammad Saw, dan ajaran Islam

memiliki kesamaan dan persamaan dengan Prinsip-prinsip dasar yang ada

dalam CRC atau bisa disebut dengan Konvensi Hak Anak.

Undang-undang perlindungan Anak juga terinspirasi adanya CRC (Convention on the Right of the Child) yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989, telah disebutkan bahwa

ada empat prinsip dasar di dalam CRC yaitu: non discrimination, the best interest of child, right of survival, develope and participation.46

Dalam perlindungan Konvensi Hak Anak juga mengatakan kedua

orang tua bertanggung jawab untuk menjamin perlindungan bagi anak dan

pengembangan pertumbuhan bagi anaknya. Hal ini tercantum dalam pasal

27 ayat 2 yang menyatakan bahwa:

“Orang tua atau mereka yang bertanggung jawab atas anak memikul tanggung jawab utama untuk menjamin, dalam batas-batas kemampuan dan keuangan mereka, kondisi kehidupan yang diperlukan

bagi pengembangan anak.”

Sehingga pengasuhan anak menjadi dasar hukum yang wajib

dilakukan bagi orang tuanya untuk mengasuh, merawat dan mendidik

46

(42)

anak-anaknya, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam pasal 26

Undang-undang Perlindungan Anak bahwa:

1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

2. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), maka hal ini dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, apabila kedua orang tua telah bercerai maka

pengasuhan dan pemeliharaan anak tetap merupakan kewajiban dan

tanggung jawab bagi orang tua, walaupun dari salah satu kedua orang

tuanya memiliki hak asuh anak. Akan tetapi dalam pengasuhan dan

pemeliharaan anak merupakan hak anak-anaknya lah yang lebih di

utamakan demi untuk kemaslahatan anak ke depannya. Hal ini

tercantum dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 jo.

No. 35 tahun 2014 tentang perlidungan anak yang menyatakan:

1. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

2. Dalam terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak tetap berhak:

a. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang tuanya.

b. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.

(43)

Dari pasal di atas, hal tersebut sejalan dengan Konvensi Hak

Anak (KHA) sebagaimana penjelasan pada pasal 9 yang menyatakan

bahwa pada dasarnya seorang anak berhak untuk hidup bersama orang

tuanya, kecuali kalau hal ini dianggap tidak sesuai dengan kepentingan

terbaiknya. Hak anak untuk mempertahankan hubungan dengan orang

tuanya jika terpisah dari salah satu atau keduanya, maka kewajiban

Negara dalam kasus di mana pemisahan seperti itu terjadi akibat

tindakan Negara. Namun dalam hal ini Negara juga berwenang atas

pemisahan anak dari orang tuanya sesuai dengan keputusan

pengadilan. Oleh karena itu dari ketentuan hukum mengenai

perlindungan anak bahwa prinsipnya yaitu pada asas kepentingan

terbaik bagi anak yang harus dijadikan pertimbangan utama,

sebagaimana termaktud dalam KHA (Konvensi Hak Anak) pasal 3

ayat 1 yang berbunyi:

“Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan, penguasa-penguasa pemerintahan atau badan-badan legislative, kepentingan terbaik dari anak-anak harus menjadi pertimbangan utama.”

Dari penjelasan yang sudah diterangkan sebelumnya, kaitannya

dengan perlindungan anak dapat disimpulkan bahwa perkembangan

anak ada empat yang harus dan perlu diperhatikan yaitu perkembangan

fisik, mental, sosial dan spiritual. Oleh karena itu hak asasi inilah hak

yang menjadi dasar bagi anak yang harus dilindungi, baik oleh

(44)

untuk mengimplementasikan dan mewujudkan perkembangan anak

bukan hanya merupakan kewajiban kemanusian sebagai realisasi hak

asasi manusia, namun lebih dari itu adalah merupakan kewajiban

agama.47

3. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Hal ini juga sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab

XIV pasal 98 yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya meninggal.

Dari penjelasan pasal tersebut bahwa kewajiban kedua orang

tua adalah mengantarkan anak-anaknya dengan cara mendidik, serta

membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal mereka di

hari dewasanya.48

Demikianlah ketentuan mengenai pemeliharaan anak dan

batas-batasnya yang menjadi tanggung jawab orang tua terutama bapak

sebagai pemimpin dalam rumah tangga dan pelindung keluarga bagi

istri dan anak-anaknya.49 Karena orang tua tidak lain sebagai cerminan

47

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 312-313 48

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 65

49

(45)

anak di masa yang akan datang dan apabila tidak berhati-hati dalam

merawatnya, ditakutkan anak bisa lebih mudah terpengaruh terhadap

perbuatan yang bisa mencelakakan baik itu jasmani dan rohaninya.

Dari dasar hukum yang disebutkan diatas, baik itu secara

hukum Islam maupun hukum Positif mengenai pemeliharaan anak,

dapat disimpulkan bahwa dari kedua hukum tersebut,telah jelas

menyatakan pemeliharaan anak hukumnya bersifat wajib. Adanya sifat

wajib disini ialah baik orang tuanya dalam ikatan perkawinan maupun

bercerai, mereka tetap harus merawat, melidungi, menjaga

anak-anaknya sebaik mungkin tanpa menghilangkan hak anak tersebut.

C. Syarat-syarat Bagi Yang Melakukan Hadhanah

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua

unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya yaitu orang tua yang

mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun.

Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan

sahnya tugas pengasuhan anak. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan

bapak secara bersamaan berkewajiban untuk memelihara anak hasil

dari perkawinannya, akan tetapi jika suami dan istri bercerai dan

keduanya berpisah maka sebagai kedua orang tua tetap berkewajiban

memelihara anaknya sendiri-sendiri.50

50

(46)

Sebagaimana diterangkan di dalam kitab Kifayatul ahyar, mengenai syarat-syarat bagi yang melakukan hadhanah, yaitu terdapat

tujuh macam di antaranya:

“syarat-syarat bagi orang yang akan melakukan tugas hadhanah ada tujuh macam: berakal sehat, merdeka, beragama Islam, sederhana, amanah, dan tidak bersuami baru, bermukim (di daerah tertentu), apabila kurang dari satu di antara syarat-syarat tersebut, gugurlah hak hadhanah (dari tangan ibu).”

Mengingat adanya syarat-syarat bagi pengasuh anak maka hal

tersebut menjadi kepentingan anak, mengenai syarat secara jelasnya

ialah, sebagai berikut:52

1. Mukallaf (sudah baligh berakal), karena orang yang belum baligh,

orang-orang yang kurang akal dan yang mempunyai sifat-sifat

yang dapat membahayakan si anak.53 Oleh sebab itu seorang ibu

yang mendapat gangguan jiwa atau ingatannya tidak layak

melakukan hadhanah. Ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang

melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.54

51 Abu Bakar Taqinuddin Syafi’i,

Kifayatul Ahyar, Juz.1, (Damaskus: Darul Khair, 1994), h. 447

52

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 172

53

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 134

54

(47)

2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan

mendidik mahdhun (anak yang diasuhnya) dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi

terlantar.

3. Mempunyai sifat amanah, maka dengan itu dapat lebih menjamin

pemeliharaan anak, karena orang yang rusak akhlaknya tidak dapat

memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh

karena itu ia tidak layak melakukan tugas ini.

4. Tidak terikat dengan perkawinan dengan laki-laki yang lain,

apabila pengasuh itu adalah wanita atau ibu kandungnya, sesuai

dengan sabda Rasulullah kepada seorang wanita yang anaknya

akan diambil oleh bekas suaminya:

“…Engkau lebih berhak terhadap anakmu itu selama engkau belum menikah lagi.”(HR. Abu Dawud)

Apabila ibunya yang menikah dengan laki-laki yang ada

hubungan mahram dengan anak maka ia tetap mempunyai hak

tersebut, mengingat terhadap kemaslahatan anak yang diasuhnya.

Apabila kemaslahatan si anak diduga akan terjaga, sekalipun ibunya

telah menikah dengan laki-laki yang bukan mahram si anak, maka

pengasuh tetap mempunyai haknya.56

55

Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq, Sunan Abu Dawud, Juz 2, Hadis 2276,

(Bairut: Maktaba Al-Ashriyah), h. 283

56

(48)

5. Seseorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam.

Karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan

mengarahkan agama anak yang diasuh. Apabila anak diasuh oleh

orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak akan mengikuti

agamanya.57

Akan tetapi jika terjadinya perceraian yang di akibatkan

seorang istri atau ibu si anak pindah agama (murtad), yang di satu sisi

seorang ibu lebih berhak atas pemeliharaan anak tersebut. Maka hal ini

yang menjadi problematika di kalangan ulama fiqih karena adanya

perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya hak asuh bagi ibu

yang murtad. Tetapi apabila seorang ibu melalaikan kewajibannya dan

berkelakuan buruk yang menimbulkan dampak negatif pada anak,

maka hak asuh tersebut menjadi gugur serta penghalang untuk

mendapatkan hak asuh anak.

Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai syarat seseorang

yang mengasuh beragama Islam. Bahwa kalangan dari ulama

Hanafiyyah dan Malikiyyah tidak mensyaratkan orang yang

memelihara anak harus beragama Islam, akan tetapi jika non-muslim

itu kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik ia ibu

sendiri maupun orang lain.58 Oleh sebab itu mengenai masalah agama

yang dianut oleh pengasuh tidak menjadi syarat apakah pengasuh itu

57

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 329 58

(49)

seorang yang beragama Islam atau tidak, karena kasih sayangnya

seorang ibu kepada anaknya tidak akan terpengaruh karena perbedaan

agamanya dan agama anak itu, kecuali anak dikhawatirkan akan

terpengaruh dengan perilaku agama yang berlainan dengan anak atau

memakan makanan yang haram menurut hukum Islam.59

Akan tetapi bagi seorang yang beragama Islam menerapkan

sikap yang sangat tegas dalam menghadapi kemurtadan, khususnya

bila para pelakunya menyatakan kemurtadan diri mereka dan menjadi

pengaruh kepada orang lain untuk melakukan kemurtadan. Karena

sesungguhnya mereka merupakan bahaya yang sangat serius yang akan

menghancurkan dasar-dasar aqidah.60 Sebagaimana yang dijelaskan

dalam Hadis Nabi Saw diriwayatkan oleh Abu Hurairah. ra:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannnya penganut yahudi, nasrani, atau majusi”. (HR. Bukhari Muslim)

Hadis diatas menerangkan bahwa bayi yang dilahirkan itu

dalam keadaan suci dan bersih, seperti sehelai kertas putih. Jika

digoresi dengan tinta hitam, dia menjadi hitam dan jika ditulisi dengan

59

Zakariya Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 59

60

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah khairul amru harahap, faisal saleh, jilid 3, cet. 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 672-673

61

Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, KitabShahih Al-Bukhari, No. 1385,

(50)

tinta merah, dia akan menjadi merah. Maksudnya ialah, apabila akhlak

dan kepribadian anak itu amat tergantung kepada rawatan, asuhan dan

didikan ibu dan bapaknya. Ibu dan bapaknya lah yang me-Yahudi-kan

anaknya atau me-Nasrani-kan atau me-Majusi-kannya.62 Sehingga

menunjukkan bahwa kemurnian agama anak tidak akan aman jika

orang tua yang mengasuhnya kafir, karena ruang lingkup hadhanah

meliputi pendidikan agama anak.63 Oleh karena itu pemeliharaan anak

dari salah satu orang tuanya yang bukan Muslim dipandang tidak

berhak mengasuh anak karena kekafirannya yang sudah tentu akan

langsung berpengaruh terhadap anaknya.64 sebagaimana diterangkan

dalam firman Allah surat An-Nissa ayat 141 mejelaskan:

“…dan Allah sekali-kali tidak akan memeberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.

(QS. An-Nissa: 141)

Mengenai adanya perbedaan pendapat para ulama dalam

pengasuhan yang diterangkan diatas, maka dari berpengaruhnya akidah

dan agama anak disinilah yang menjadi bahaya terbesar yang akan

dialami si anak, apabila ada kewenangan bagi orang yang non-muslim

untuk mengasuh anaknya.

62

A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994), Cet. 1, h. 220

63

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah khairul amru harahap, faisal saleh, jilid 3, cet. 2, h. 673

64

(51)

6. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan

meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari

adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat

diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih

kecil.65

Sedangkan dalam ketentuan Perundang-undangan di Indonesia

sendiri tidak terlihat adanya syarat-syarat untuk melakukan hadhanah,

tetapi lebih melihat kepada tanggung jawab serta kewajiban seorang

ibu dan bapaknya terhadap anaknya baik dalam ikatan perkawinan

maupun terjadinya perceraian. Karena tidak adanya ketentuan tersebut,

sehingga tidak memberikan pengaturan secara tegas mengenai kriteria

sebagai pengasuh anak. Hal ini berbeda dengan aturan fikih yang

menetapkan bahwa seorang pengasuh harus memenuhi beberapa

kriteria, sebagaimana yang telah disebutkan diatas jika ia ingin

mendapatkan hak asuhnya.66

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:67

1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri

sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

65

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 329 66

Arskal Salim. dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, (Jakarta: PUSKUMHAM, 2009), h. 69

67

(52)

2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena

itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti

orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya

tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun.

Apabila kedua orang tua dari anak tersebut masih lengkap dan

memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas

anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih

sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia anak yang

sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang, dan apabila anak

berada dalam asuhan seorang ibu maka segala biaya yang diperlukan

untuk itu tetap berada d

Gambar

Grafika, 1992), hal. 7
Tabel. 1
Tabel. 2

Referensi

Dokumen terkait

Meningkatkan Kualitas Pelayanan Internet Speedy dalam Memuaskan Pelanggan.. Penyediaan sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas

Agar pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adiwarno terselenggara dengan baik dan terarah perlu dicapai dengan rencana Strategis Desa, yaitu telah ditempuh dengan

Metode pembahasan diawali dengan pengumpulan data yang diolah melalui analisis dan sintesis data yang kemudian diprosese menjadi sebuah konsep

Hasil penelitian menunjukkan parameter lingkungan tanah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove di dua lokasi penelitian menunjukkan pH yang rendah sekitar

Pengkombinasian yang tepat dari elemen-elemen media yang terdiri dari unsur gambar, animasi, suara, video serta informasi menjadi sebuah proyek multimedia akan mampu menjadi

merupakan risiko dalam berusahatani bawang merah dan menentukan sikap petani apakah tetap melanjutkan berusahatani setelah mengalami kegagalan atau berhenti dan

pembahasan yang telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan bahwa: [1] kejadian duplikasi berkas sangat mempengaruhi tingkat kesinambungan data rekam medis pasien;

Pengaruh Kecepatan Potong dan Kecepatan Makan Terhadap Getaran Quil Pada Proses Milling Vertikal Tipe Milko 35; Yuliyus Ispriyadi 071910101065; 2011: 45 halaman;