SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
LILIS SUMIYATI
NIM. 1111044100083
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi berjudul MURTAD MENJADI PENGHALANG HADHANAH (Studi
Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor
1700/Pdt.G/2010/PAJT) telah diujikan dalam sidang Munaqosyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
pada….. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Syariah (S.sy) pada program studi……
Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. xi + 112 halaman + 95 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui alasan-alasan pengasuh anak yang disebabkan salah satu orang tuanya murtad, yang kemudian dalam hukum Islam menjadi penghalang untuk memperoleh hak dalam mengasuh anak melalui putusan No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT, serta mengindentifikasi pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang dikarenakan murtad, yang mana hak dalam mengasuh anak tersebut tidak diberi kewenangan bagi salah satu orang tuanya yang murtad.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menekankan pada kualitas dengan pemahaman deskriptif pada putusan pengadilan tersebut. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pedekatan yuridis-normatif dengan melihat objek hukum yang berkaitan dengan Undang-undang. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara kepada hakim yang memutus perkara di Pengadilan Agama Jakarta Timur serta hakim lainnya. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang kongkret yang dihadapi.
Penelitian ini membuktikan bahwa tidak semua perkara hadhanah itu diberikan pada seorang ibu. Majelis Hakim beralasan bahwa dalam perkara hadhanah yang disebabkan salah satu orang tuanya murtad, maka akibat murtad inilah yang benar-benar menjadi penghalang untuk mendapatkan hak asuh anak, karena faktor agama orang tua yang menjadi hal yang paling utama sebagai pengasuh anak, disebabkan agama merupakan pondasi dalam kehidupan dan menjadi prioritas utama dalam merawat dan mendidik anak. Oleh karena itu hakim dalam memutus tidak hanya berpedoman pada satu pasal yang menyatakan hak asuh anak adalah hak seorang ibu, akan tetapi harus melihat pada kemaslahatan dan perlidungan bagi anak-anaknya, karena kedudukan sebagai orang tua tidak saja memenuhi kebutuhan materialnya tetapi juga lingkungan, pendidikan serta pembinaan akhlak wajib dan harus diperhatikan dari anak itu masih kecil sampai tumbuh dewasa.
Kata Kunci : Murtad Sebagai Penghalang Hadhanah, Perkara Nomor: 1700/Pdt.G/2010/PAJT
Pembimbing : Sri Hidayati, M.Ag
telah memberikanpetunjuk dan kemudahan kepada penulis. Sehingga atas karunia
pertolongan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta
salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW beserta
keluarga, para sahabat dan para umat-Nya.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tercinta,
Ayahanda Muhammad Soleh dan Ibunda Umi Sumiati beserta kakak Muhlis Ali
dan adik-adik yang penulis sayangi Sofia, ikhwan, dan Nur laila, yang tiada lelah
dan bosan memberikan motivasi, bimbingan, kasih sayangnya serta do’a, begitu
juga waktu dan senyumannya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat
dan kasih sayang kepada mereka semua.
Dalam penulisan skripsi ini, tiada sedikit hambatan dan kesulitan yang
penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi, sehingga pada akhirnya
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, sudah sepantasnya
pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan dan memotivasi selama
membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta Staf pengajar pada lingkungan Program
Studi Hukum Keluarga (Ahwal al-Syakhshiyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
ilmu pengetahuannya kepada penulis dari awal bangku kuliah sampai pada
akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Ibu Dra. Nurroh Sunah, SH., dan bapak Drs. Sultoni, MH., serta bapak Drs. H.
Jarkasih, MH., sekalu hakim yang penulis teliti di Pengadilan Agama Jak-Pus,
Jak-Tim dan Jak-sel, yang senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa
diwawancarai dan bimbingannya serta nasehat dan saran selama penulis
melakukan wawancara.
7. Bapak Drs. Ahmad Zawawi, MH, selaku hakim PA Jak-Tim yang telah
membantu dan membimbing penulis selama melakukan wawancara. Dan
segenap jajaran Staf dan karyawan di Pengadilan Agama Jakarta Timur, PA
Yulianti dan Safira Maharani yang senantiasa memberikan semangat, cinta
kasihnya, ilmunya serta kesabaran dan kesetiannya menemani penulis dari
awal semester dan sampai pada akhirnya sama-sama menyelesaikan skripsi.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis lainnya, Andi Asyraf Rahman,
Hendrawan, M. Fathin, Juni, Rina, Nadia, Kamel, Didah, Triana, Denis, Vemi,
Burhan, Rudi, Farhan, Hira, Tiflen, Azhar Syukri, Syukra, Naili dan Ayun
yang terus memberikan ilmu dan motivasinya serta semangat kepada penulis.
10.Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 dan KKN SMITH 2014
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan
semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kenangan
indah penulis yang tidak dapat terlupakan bersama kalian semuanya.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas jasanya, hanya doa semoga
amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 20 Mei 2015
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 9
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 11
E. Review Studi Terdahulu ... 12
F. Metode Penelitian ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II PENGASUHAN ANAK (HADHANAH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Hadhanah ... 20
B. Dasar Hukum Hadhanah ... 24
C. Syarat-syarat Sebagai Pengasuhan Anak ... 34
AGAMA JAKARTA TIMUR
A. Perkara Hadhanah Pada Tahun 2011 ... 59
B. Perkara Hadhanah Pada Tahun 2012 ... 63
C. Perkara Hadhanah Pada Tahun 2013 ... 67
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA
TIMUR NOMOR 1700/Pdt.G/2010/PAJT
A. Kronologis Perkara Putusan No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT ... 75
1. Duduk Perkara ... 75
2. Tuntutan Para Pihak Dalam Gugatan ... 78
B. Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan No.
1700/Pdt.G/2010/PAJT ... 79
C. Amar Putusan Dalam Perkara No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT ... 83
D. Analisis Penulis ... 84
BAB V PENUTUP
D. Kesimpulan ... 103
E. Saran ... 106
3. Surat Permohonan Data/Wawancara Ke PA Jakarta Selatan
4. Surat Permohonan Data/Wawancara Ke PA Jakarta Pusat
5. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Jak-Tim
6. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Jak-Sel
7. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Jak-Pus
8. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Jak-Pus
9. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Jak-Tim
10.Hasil Wawancara dengan Hakim PA Jak-Sel
11.Putusan Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita
kehidupan umat manusia, maka adanya perkawinan rumah tangga dapat
ditegakkan, dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan
masyarakat dan untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang akan
meneruskan perjalanan peradaban manusia.1
Islam memandang perkawinan itu suatu nilai keagamaan sebagai
wujud ibadah kepada Allah dan Sunnah Nabi yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Hadis. Sehingga unsur ibadah dalam perkawinan yang berarti
ingin menyempurnakan sebagian dari agama dan menumbuhkan nilai
kemanusian serta rasa kasih sayangnya terhadap manusia lainnya.2
Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat yang
didalamnya hanya terdiri dari suami, istri dan anak. Setiap individu juga
pasti menginginkan sebuah keluarga yang bahagia dibutuhkan rasa saling
kasih sayang, terciptanya keharmonisan, ketentraman dalam berkeluarga
(sakinah, mawaddah, wa rahmah) dan itulah merupakan kunci dari tujuan sebuah perkawinan.3
1
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 1
2
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1974), h. 5-9
3
[image:12.595.144.513.112.343.2]Tujuan dari sebuah perkawinan, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an ialah: “…Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang….” (QS. Ar-Rum: 21)
Maksud dari penjelasan arti ayat di atas, bahwa dalam membina
rumah tangga yang tentram dan penuh rasa kasih sayang antara suami dan
istri, perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan
dapat mewujudkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang
sejahtera.
Sebuah keluarga akan berjalan dengan harmonis dan tentram,
apabila seorang ayah akrab dengan anak dan bekerja sama dengan ibu
dalam memberi bimbingan atau pendidikan kepada anak.4 Menurut ajaran
agama, anak merupakan amanah atau titipan dari Yang Maha Kuasa
melalui anugerah-Nya yang diberikan kepada siapapun hamba-Nya yang
dikehendaki agar dijaga, dipelihara dan dilindungi, karena itu menjadi
tanggung jawab orang tua.5
Di samping itu, salah satu yang perlu diperhatikan adalah tanggung
jawab pemeliharaan anak. Maka pemeliharaan anak merupakan tanggung
jawab kedua orang tua sehingga pemeliharaan anak meliputi berbagai hal
seperti, kasih sayang, pendidikan, ekonomi dan kebutuhan pokok anak
lainnya. Pemeliharaan anak juga bukan kepada material saja, melainkan
kepada kebutuhan dalam menjaganya yang penuh rasa kasih sayang,
4
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h. 80
5
kesabaran dan ikut turut menjadi faktor penentu pembentuk kepribadian
anak dan unsur penting dalam pertumbuhan seorang anak. Sehingga antara
anak dan orang tua itu bisa berkomunikasi dengan baik dan agar tidak
terjadi kerusakan pada mental anak, tetapi apabila itu tidak dipenuhi maka
kemungkinan besar anak akan terpengaruh oleh pergaulan yang negatif
yang bisa merusak anak.6
Pengasuhan anak setelah terjadinya perceraian dalam bahasa fiqih
disebut dengan hadhanah. Hadhanah adalah memelihara seseorang (anak) yang belum (atau tidak) bisa mandiri, mendidik, dan memeliharanya untuk
menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat merusak dan
mendatangkan madharat atau kesengsaraan bagi anak.7
Proses pemeliharaan anak dari kecil sampai baligh ada dua istilah
yang berdekatan maksudnya yaitu kata hadhin dan kata wali, hadhin atau
hadhanah dalam bahasa arab adalah pemeliharaan anak atau hak asuh. Secara etimologis, hadhanah ialah meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan. Sedangkan secara terminologisnya ialah pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz yang tujuannya untuk mendidik, menjaga dan
menyayanginya, karena masih belum mampu berdiri sendiri untuk
keperluannya.8
Hak asuh (hadhanah) anak yang berhak dalam pemeliharaannya adalah ibunya yang secara emosional lebih sabar dibandingkan ayahnya,
6
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), h. 240
7
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 316 8
dan selama ibunya itu tidak menikah dengan laki-laki lain. Karena apabila
ibunya menikah, maka hak hadhanah tersebut beralih kepada ayahnya.9 Agama Islam itu memberikan syarat-syarat kepada seorang pengasuh
yaitu: berakal, baligh, mempunyai kemampuan, tidak membenci anak dan
beragama Islam/ seakidah dengan sang anak.10 Dalam Undang-undang
yang ada di Indonesia sendiri mengenai hak asuh anak bahwasannya tidak
menjelaskan secara langsung mengenai syarat-syarat bagi pengasuh anak,
karena dalam undang-undang itu sendiri hanya mengatur seorang yang
berhak sebagai pengasuh anak yang melihat pada kesejahteraan bagi anak
itu sendiri sedangkan dalam ajaran Islam itu sendiri ditetapkan adanya
syarat-syarat bagi pengasuhnya (hadhin).
Di dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 jo. Undang-undang
No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pada Bab III mengenai hak
dan kewajiban anak, bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup
yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangan dengan wajar. Oleh karena itu kebahagian anak merupakan
pula kebahagiaan orang tua, maka seorang anak perlu mendapatkan rasa
kasih sayang dari orang tua, dimana kondisi setiap anak itu dapat
9
Abdul fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hal. 251
10
melaksanakan hak dan kewajibannya.11 Dan jika tidak ingin terjadi adanya
keresahan pada anak atau menjadi korban akibat sebuah perceraian atau
menderita kerugian seperti mental, fisik dan sosial bagi anak, maka
peranan orang tua yang merupakan tanggung jawab sepenuhnya atas
pertumbuhan dan perkembangan anak.12
Namun tanggung jawab pemeliharaan ada dua sifat yaitu ada yang
bersifat meteril dan bersifat pengasuh dan keduanya berbeda masalah
tanggung jawabnya, bahwa tanggung jawab yang bersifat materil itu
kaitannya dengan seorang ayah yang harus memenuhi pembiayaan untuk
penghidupan anak, termasuk biaya pendidikannya dan apabila ayah tidak
bisa memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.13 Hal tersebut termaktub dalam
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 41 ayat (2),
sedangkan tanggung jawab yang bersifat pengasuh bahwa ibu lah yang
memegang hak asuh, selama anak itu belum mumayyiz.
Berakhirnya masa asuhan atau dibebaskan untuk memilih adalah
pada waktu anak itu sudah mumayyiz atau sudah bisa ditanya dan memilih
11
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), h. 17-18
12
Ibid., h. 35
13
kepada siapa dia akan terus ikut. Jadi secara umum anak yang belum
mumayyiz hak asuh diberikan kepada ibunya.14
Melihat ketentuan undang Perlindungan Anak
Undang-undang No. 23 tahun 2002 jo. Udang-Undang-undang No. 35 tahun 2014 bahwa
hak asuh di samping hak orang tua juga merupakan hak anak, karena anak
termasuk salah satu anggota keluarga. Hal tersebut diterangkan dalam
pasal 37 ayat (1) yaitu:
“Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar…”.
Jadi terpeliharanya anak dari adanya akibat perceraian dikarenakan
seorang ibu yang murtad yaitu berpindah agama ke non-muslim sehingga
berakibat mengabaikan anak yang diasuhnya. Maka hal ini perlu adanya
tindakan suami kepada istri untuk kembali ke jalan yang sesuai dengan
ajaran Islam yang kemudian menjadi perebutan hak asuh anak bagi kedua
orang tuanya ketika terjadi perceraian. Oleh karenanya Majelis Hakim
juga tidak selamanya memberikan hak asuh itu kepada ibunya karena
melihat pada hak-hak seorang anak dan kesejateraannya. Maka persamaan
agama tidaklah menjadi syarat yang dominan bagi pengasuh kecuali jika
dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama Islam. Sebab yang
terpenting dalam hadhanah ialah pengasuh mempunyai rasa cinta dan
kasih sayang kepada anak serta bersedia memelihara anak
sebaik-baiknya.15
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 49 ayat (1)
disebutkan bahwa salah seorang atau kedua orang tua dapat gugur
kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu
atas permintaan orang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan
saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan
keputusan pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. Ia berkelakuan buruk sekali
Maka dalam hal hak asuh (hadhanah) anak yang diberikan kepada si ibu yang murtad maka bisa saja dapat gugur, dan bisa diberikan kepada
keluarga anak garis ke atas dari pihak ibu seperti nenek dari ibu saudara
perempuan sekandung, anak perempuan saudara perempuan/ laki-laki
seibu dan sebapak, bibi yang sekandung dengan ibu, demikian seterusnya.
Jika tidak bisa menjaganya atau tidak ada yang akan melakukan hak
asuhnya pada tingkat perempuan, maka hak asuh anak bisa diberikan
kepada pihak laki-laki ayahnya garis keatas atau pejabat berwenang yaitu
pemerintah.16
Perceraian yang sering terjadi di masyarakat mengakibatkan
konflik dalam hadhanah atau pemeliharaan anak. Tetapi dalam
15
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 182
16
undang dan pendapat para Fuqoha bahwasannya hak asuh itu diberikan
kepada ibu apabila anak belum mumayyiz, masalah seperti inilah yang
akan menimbulkan ketidakadilannya kepada pihak ayah dari anak, karena
timbulnya perceraian yang disebabkan kemurtadan seorang ibu maka ibu
sudah tidak lagi memiliki cakap hukum atau tidak berhak atas penguasaan
anak. Oleh sebab itu penulis ingin meneliti lebih alasan-alasan yang
mengakibatkan hak asuh ibu dan seterusnya dari pihak ibu terhalang
karena ibu murtad.
Berdasarkan masalah di atas, yaitu hak pengasuhan anak yang
merupakan hak ibunya yang ternyata dalam praktek dan teorinya berbeda
dengan putusan yang ditetapkan di Pengadilan Agama. Karena seorang ibu
yang melalaikan kewajibannya sebagai seorang ibu kepada anaknya dan
keluarnya ibu dari agama Islam (Murtad) yang tidak sesuai yang
diajarakan oleh perintah Allah. Maka sebab-sebab seperti itu yang akan
membawa kemudharatan bagi anak baik secara mental, akhlak dan agama.
Karena adanya rasa kekhawatiran seorang ayahnya apabila hak asuh itu
diberikan pada ibunya akan mengikuti perilaku ibu yang tidak sesuai
dengan ajaran-Nya.
Seorang bapak bisa saja lebih berhak mendapatkan pengasuhan
anak tersebut, diakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak yang dimiliki
seorang anak. Walaupun hakikatnya hak asuh ibulah yang memiliki
kemampuan dalam merawat dan mendidik anak atas hak asuh anak yang
penulis akan diteliti lebih jauh lagi masalah ini melalui karya tulis ilmiah,
yang penulis teliti tentang Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur serta
alasan mengapa hakim tidak menjatuhkan hak asuh anak itu kepada ibunya
melainkan diberikan pada bapaknya yang ketidaksesuaian dengan pasal
105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa dalam hal
terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya. Dikarenakan dalam masalah yang terjadi dalam
putusan di Pengadilan Jakarta Timur disebutkan hak asuh anak belum
mumayyiz diberikan hak kepada bapak. Maka penulis tertarik untuk
mengambil sebuah tema skripsi ini untuk membahas dan merumuskannya
kedalam sebuah karya tulis dengan judul: “Murtad Sebagai Penghalang
Hadhanah” (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
Perkara Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT).
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan suatu permasalahan yang terkait
dengan judul skripsi yang sedang dibahas. Masalah-masalah yang sudah
tertuang pada subbab latar belakang diatas pada umumnya kerap
dijumpai direalita kehidupan untuk saat ini, maka dari itu penulis
memaparkan beberapa permasalahan yang ditemukan sesuai dengan
bagian latar belakang penelitian ini, diantaranya adalah:
1. Bagaimana hakim memutuskan perkara hak asuh anak yang salah
2. Bagaimana metode ijtihad seorang hakim dalam memutus perkara
hak asuh anak pada bapak
3. Apa saja faktor penghambat seseorang mendapatkan hak asuh anak
4. Apakah murtad bisa dijadikan alasan penghalang untuk
mendapatkan hak asuh anak.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Pengadilan
Agama Jakarta Timur sebagai obyek penelitian. Mengingat banyaknya
perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama tersebut, maka penulis
melakukan pembatasan yakni agar pembahasan terarah dan lebih
spesifik, maka pembahasan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada
pemberian hak asuh anak yang dberikan kepada bapak akibat ibu
murtad dalam putusan Nomor 1700/Pdt. G/2010/PAJT.
Menarik untuk penulis teliti dalam skripsi ini sehingga nantinya
tidak meluas atau keluar dari pokok bahasan yakni sehubungan dengan
beraneka ragamnya kasus Hadhanah anak, maka dalam skripsi ini
penulis membatasi hanya pada kasus di atas yang difokuskan pada
argumentasi dan landasan hukum hakim dalam memutus perkara
tentang hak-hak anak dalam perebutan hak asuh anak yang disebabkan
b. Perumusan Masalah
Sehubung dengan permasalahan di atas dan untuk memudahkan
penulis dalam penulisan skripsi ini, maka rincian rumusan masalah
skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hakim memutuskan perkara hak asuh anak yang salah
satu orang tuanya murtad?
2. Apakah murtad bisa dijadikan alasan penghalang untuk
mendapatkan hak asuh anak?
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
a. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan di atas maka yang
menjadi tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengidentifikasi putusan hakim dalam memutus perkara
hak asuh anak akibat murtad.
2. Untuk mengetahui alasan penghalang seseorang yang murtad
untuk mendapatkan hak asuh anak.
b. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Memperkaya keilmuan intelektualitas di bidang hukum Islam
serta hukum- hukum lainnya yang diterapakan di Indonesia.
2. Menjadikan bahan pertimbangan para penegak hukum dalam
dalam memutuskan perkara selain mengedepankan
pertimbangan hukum.
3. Memberikan informasi atau wawasan kepada masyarakat
lainnya terkait dengan hak asuh anak akibat seseorang yang
berpindah agama ke non-muslim (murtad) dan untuk lebih
melihat pada kepentingan hak anak bukan pada hak orang
tuanya.
E. Review Studi Terdahulu
Terdapat beberapa skripsi yang ada kaitannya dengan hadhanah, di
antaranya adalah:
1. Skripsi Widya Eka Rahmawati, Hak Hadhanah Ghairu Mumayyiz Kepada Ayah Karena Perdamaian (Analisis Putusan PA Jakarta Selatan No. 1091/Pdt.G/PA.JS), Administrasi Keperdataan Islam,
2009. Skripsi ini membahas tentang hak hasuh anak yang diberikan
kepada bapaknya atas perdamaian dari kedua belah pihak antara
penggugat dan tergugat, jadi penyerahannya anak itu atas kerelaan
dari ibunya, maupun ini sama membahas skripsi yang
pengasuhannya kepada bapak. Perbedaannya dalam penelitian
penulisan skripsi ini, penulis membahas hak asuh anak yang belum
mumayyiz kepada bapaknya akibat ibu yang murtad yang akan
menimbulkan kerusakan pada akhlak anak dan melalaikannya
dalam mengurus anak, maka bukan berdasarkan atas kerelaan dari
2. Skripsi Nova Andriani, Penetapan Hak Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Belum Mumayyiz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2008/PA.JB, Administrasi
Keperdataan Islam, 2011. Pada skripsi ini membahas tentang
peranan seorang hakim dalam memutus perkara hadnanah akibat
perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Barat. Perbedaan dari
penelitian penulis, penulis membahas mengenai penghalang hak
asuh anak yang akibat ibu murtad, yang sehingga hak asuh itu tidak
berhak bagi pihak ibu keatas, sehingga hak asuh anak yang belum
mumayyiz itu berpindah kepada bapaknya.
3. Skripsi Moh Anas Maulana Ibroohim, Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 345/Pdt.G/2007/PA.Bks, Peradilan Agama,
2014. Skripsi ini membahas tentang hak asuh anak yang diberikan
kepada bapak yang disebabkan kurang harmonis dan ibu tidak bisa
lagi menjaga dan merawat anaknya dengan baik, sehingga
mengakibatkan perceraian bagi keduanya maka hak asuh tersebut
diberikan kepada bapak. Sedangkan perbedaannya, penulis
membahas tentang seorang ibu murtad yang menjadi penghalang
untuk mendapatkan hak asuh, sehingga dalam putusan di
Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT hak
asuh anak itu diberikan bapaknya tanpa melihat anak yang belum
Dengan demikian skripsi yang akan penulis angkat terdapat
perbedaan dengan skripsi-skripsi yang sudah dibahas terdahulu, karena
skripsi penulis ini akan membahas tentang hadhanah terhadap anak yang
belum mumayyiz yang diberikan kepada bapak akibat ibu yang murtad.
Sehingga seorang yang murtad akan menjadi penghalang mendapatkan
hak asuh anaknya, maka hal imi terdapat dalam analisis putusan No.
1700/Pdt.G/2010/PAJT.
F. Metode Penelitian
Dalam mengumpulkan data dalam penulisan penelitian skripsi ini,
maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan normatif. Dilakukan
pendekatan ini yaitu untuk lebih meneliti aturan hukum baik secara
tertulis maupun tidak tertulis.17 Maka dapat mengindentifikasikan
konsep dan dituangkan dalam meneliti bentuk analisis hasil
pertimbangan hakim dalam memutus perkara putusan No.
1700/Pdt.G/2010/PAJT. Dengan dilakukannya pendekatan ini,
penulis melakukan wawancara dan akan lebih aktual mendapatkan
informasi mengenai hak asuh anak.
17
2. Jenis penelitian
Dalam jenis penelitian ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan
dapat memberikan data yang sejelas mungkin tentang objek yang
diteliti.18
3. Sumber Data
Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif
dan terbagi menjadi dua yaitu:
a. Data Primer
Sumber data ini diperoleh dari data yang langsung
dikumpulkan oleh peneliti atau dari sumber pertamanya.19 Yaitu
melalui penelitian dokumentasi, serta melalui wawancara langsung
terhadap pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini, terutama
majelis hakim yang berwenang dalam menangani putusan perkara
Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT tentang adanya penghalang hak
asuh anak dari ibu yang murtad.
b. Data Sekunder
Data ini didapat dari bahan pustaka yang berisikan
informasi tentang bahan primer,20 yang didapatkan dari peraturan
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 43 19
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 39 20
perundang-undangan, Al-Qur’an, Hadits, data-data resmi dari
instansi pemerintah yang berwenang, buku-buku literatur, karangan
ilmiah, jurnal, makalah umum dan bacaan lain yang berkaitan
dengan judul penelitian.
4. Teknik Pengolahan Data
Dalam rangka mengumpulkan, mengelolah dan menyajikan
bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data
dengan cara sebagai berikut:
a. Studi Dokumentasi (document research)
Melalui penelitian ini, penulis memfokuskan untuk dapat
menelaah bahan-bahan atau data-data yang diambil dari
dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang pemeriksaan
putusan yang terkait masalah hak asuh anak (Hadhanah) dalam putusan perkara No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT.
b. Studi Pustaka (library research)
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu dari
Undang-undang, buku-buku, jurnal, literatur-literatur dan sumber bacaan
lainnya yang memuat laporan hasil penelitian21, yang kemudian
sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah. Pengolahan data
studi pustaka ini dilakukan dengan cara dibaca, dikaji dan
21
dikelompokkan sesuai dengan pokok masalah yang terdapat dalam
skripsi ini.
c. Wawancara (interview)
Melalui penelitian ini, didapatkannya data-data untuk
mendapatkan informasi dengan melakukan wawancara kepada
pihak-pihak yang terkait dan majelis hakim yang menyidangi
perkara putusan Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT yaitu hakim Dra.
Nurroh Sunnah, SH, Dra. Haulillah, MH dan Drs. H.M Syamri
Adnan, SH., MHI. Wawancara ini menggunakan metode bebas dan
terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis jadikan referensi
untuk memperkuat data.
5. Pengolahan Data
Setelah memperoleh data-data tersebut di atas, penulis
mengolah data dengan metode deskriptif dan komparatif. Dan
kemudian dalam penyajian tersebut dikomparatifkan antara data
yang tertera pada teori yang diambil dari studi pustaka dan
kenyataan sesungguhnya yang didapatkan dari penelitian
dilapangan dan data-data yang menyangkut masalah hak anak dan
pengasuhan anak.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis
kualitatif, yaitu cara penelitian yang menghasilkan data dekriptif
yang terkait terhadap kasus-kasus yang diteliti, yang kemudian
analisis ini didasarkan pada dokumen, wawancara, buku-buku serta
sumber data lainnya. Dan dalam teknis penulisan ini, penulis
berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi dan buku
metode penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan penulisan ini ialah berformat dalam
bentuk bab dan sub bab secara ringkas dan terurai, yang kemudian dibagi
ke dalam empat bab yaitu:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang memuat latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu, serta sistematika
penulisan.
Bab kedua, membahas tentang pengasuhan anak (hadhanah)
menurut hukum Islam dan hukum positif, yang terdiri dari sub bab:
pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat-syarat untuk
mendapatkan hak asuh anak, pihak-pihak yang berhak melakukan
hadhanah, masa berlakunya hadhanah, dan mencantumkan faktor
pengahalang yang menghalangi mendapatkan hak asuh (Hadhanah).
Bab ketiga, berisi deskripsi tentang perkara-perkara Hadhanah
yang pernah diputuskan oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam tiga
(3) tahun terakhir. Uraian ini diperlukan untuk memberikan gambaran
Bab keempat, membahas analisis putusan di Pengadilan Agama
Jakarta Timur tentang hadhanah yang terdiri dari: kronologis perkara yang
meliputi duduk perkara, tuntutan para pihak, pertimbangan hakim dan
amar putusan, dan pada bab ini penulis langsung menganalisis terhadap
putusan No. 1700/Pdt.G/2010/PAJT tersebut tentang murtad menjadi
pengahalang hadhanah.
Bab kelima, merupakan tahap akhir dari penulisan skripsi yang
berupa kesimpulan dari beberapa persoalan yang dibahas dan saran-saran
penulis terhadap masyarakat dan penegak hukum untuk lebih teliti dan
BAB II
PENGASUHAN ANAK (HADHANAH) MENURUT HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah
ةناضح
secara etimologi (bahasa) ialah jamak dari kataناضحا
(ahdhan) atauنضح
(hudhun) terambil dari kataنضح
(hidhn) yang berarti anggota badan yang terletak atau berada di bawah ketiak.22 Atau juga bisa disebutnya dengan “meletakkan sesuatu dekat
tulang rusuk atau pangkuan”. Maksudnya adalah pendidikan dan
pemeliharaannya anak sejak dari lahir sampai sanggup mandiri atau
berdiri sendiri.23
Mengenai hadhanah dalam kamus besar bahasa Indonesia
pemeliharaan anak (hadhanah) terdiri dari dua kata yaitu pemelihara dan kata anak, pemelihara berasal dari kata pelihara yang memiliki arti
jaga. Sedangkan kata pemeliharaan yang berarti proses, cara, perbuatan
penjagaan, perawatan pendidikan.24
Berdasarkan dari penjelasan secara bahasa (etimologis) di atas,
bahwa makna dari hadhanah ialah sebagai mengasuh anak dan mendidiknya sejak pertama kali keberadaanya di dunia ini. Baik hal
22
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir-Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Ponpes al-Munawwir), h. 296
23
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 175 24
tersebut dilakukan oleh ibu atau ayahnya maupun oleh orang lain yang
menggantikannya, sehingga hadhanah merupakan langkah pertama dalam perwalian atau bimbingan terhadap anak.25
Sedangkan menurut Istilah fiqh hadhanah atau yang disebut pemeliharaan atau pengasuhan ialah pemeliharaan anak yang masih
kecil setelah terjadinya putus perkawinan.26 Kemudian dari pengertian
lainnya, yang ada di dalam kitab Fiqh Islam Wa Adillatuhu karangan Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa hadhanah diambil dari kata al-hidhnu yang artinya samping atau merengkuh ke samping. Adapun secara syara hadhanah artinya pemeliharaan anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya. Atau memelihara atau menjaga orang
yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri karena tidak
mumayyiz seperti anak-anak dan orang dewasa tetapi gila.27
Adapun maksud dari pemeliharaan anak ialah merupakan
tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang
semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang
tuanya. Pemeliharaan anak juga meliputi pengawasan, pelayanan dan
pembelanjaan dalam arti luas. Pengawasan berarti membentuk
lingkungan anak dalam suasana yang sehat, baik jasmani maupun
25
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, Cet.1, (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004), h. 101
26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indnesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 327
27
rohani, sehingga anak menjadi manusia yang memiliki jiwa sosial.
Pelayanan berarti menanamkan rasa kasih sayang orang tua terhadap
anak. Sedangkan kebutuhan hidup adalah kebutuhan primer atas
tempat tinggal, makanan dan pakaian menjadi kebutuhan yang
ditekankan pada soal nafkah.28 Oleh karena itu kekuasaan orang tua
terhadap anak yang berisi kewajiban pemeliharaan anak itu mulai
berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahan dan berakhir
pada saat anak itu sudah menjadi dewasa atau menikah. Akan tetapi
kekuasaan orang tua itu tidak saja meliputi diri si anak, tetapi juga
meliputi benda atau kekayaan yang dimiliki anak.29
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan hadhanah adalah hak yang berkaitan dengan seorang anak yang
masih kecil baik itu anak laki-laki maupun perempuan karena ia masih
sangat membutuhkan perawatan, pemeliharaan, penjagaan, pendidikan
dan melindunginya serta kasih sayang yang kemudian untuk lebih bisa
membimbing untuk membedakan baik dan buruk perilaku agar
menjadi manusia yang hidup sempurna dan bertanggung jawab di masa
depannya.
B. Dasar Hukum Hadhanah
Dasar hukum melakukan hadhanah adalah wajib, karena pada
prinsipnya dalam Islam bahwa anak-anak mempunyai hak untuk
28
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV. Zahir Trading, 1975), h. 204
29
dilindungi, baik atau keselamatan akidah maupun dirinya dari hal-hal
yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka.30 Jika hadhanah itu
dilalaikan akan merusak anak sehingga wajib menjaganya dari
kehancuran, begitu juga wajib menafkahi dan menghindarkan anak
dari hal-hal yang dapat mencelakakannya.31
a. Al-Qur’an dan Hadis
Adapun dasar hukum pemeliharaan anak dalam Firman Allah
SWT pada surat Al-Baqarah ayat 233 yang menyatakan:
“Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara
yang makruf...”(QS. Al-Baqarah: 233).
Sebagaimana maksud dari ayat Al-Qur’an di atas yaitu
menjelaskan mengenai hukum penyusuan anak ketika terjadinya talak
dapat di artikan bahwa keluarga mengandung arti hubungan yang tidak
dapat lepas dari kedua suami istri yang bersangkutan, yaitu tentang
anak yang masing-masing punya andil padanya dan terikat dengannya.
Apabila dalam kehidupan rumah tangga kedua orang tua itu bubar,
maka si kecil ini harus diberi jaminan secara terperinci yang harus
dipenuhi oleh kedua orang tuanya dalam setiap keadaannya. Kemudian
seorang ibu yang telah diceraikan itu mempunyai kewajiban terhadap
30
Bagir Manan, dkk, Mimbar Hukum, (Jakarta: PPHIMM, 2010), Ed. 70, h.201 31
anaknya yang masih menyusu, hal tersebut merupakan kewajiban yang
ditetapkan oleh Allah dan tidak dibiarkan-Nya meskipun fitrah dan
kasih sayang untuk anak terkurangi akibat dari perceraian kedua orang
tuanya, sehingga Allah mewajibkan bagi seorang ibu untuk menyusui
anaknya selama dua tahun penuh. Karena ibu mengetahui bahwa masa
usia anak ketika dua tahun merupakan waktu yang paling ideal ditinjau
dari segi kesehatan maupun jiwa anak dan pada masa usia tersebut
merupakan kebutuhan yang vital bagi pertumbuhan anak baik
mengenai kesehatan maupun mentalnya.32
Kemudian sebagai timbal balik dari melaksanakan kewajiban
yang ditetapkan Allah terhadap si ibu kepada anaknya tersebut, maka
seorang ayah (meskipun telah menceraikannya) berkewajiban untuk
memberi nafkah dan pakaian kepada si ibu secara patut dan baik. Jadi
kedua-keduanya mempunyai beban dan tanggung jawab terhadap anak
yang masih menyusui sampai ia dewasa. Sehingga kewajiban bagi
seorang ibu ialah merawat anak dengan menyusui dan memeliharanya,
dan kewajiban ayah harus memberi makanan dan pakaian kepada si
ibu itu supaya dia dapat memelihara anaknya dan masing-masing dari
kedua orang tuanya harus menunaikan kewajibannya sesuai batas
kemampuannya.33
32
Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an: Di bawah Naungan Al-Qur’an, (Darusy-Syuruq: Bairut, 1412 H/1992 M), Penerjemah As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Penyunting Tim Simpul dan Tim GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Jilid 1, Cet. 1, h. 301-302
33
Sedangkan menurut Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa
orang tua berkewajiban membiayai anaknya yang masih kecil bukan
hanya berlaku pada ayah dan ibu yang masih terikat perkawinan,
namun berlanjut setelah terjadinya perceraian.34 Oleh karena itu
seorang ayah tetap berkewajiban memberi nafkah untuk anaknya dan
seorang ibu tetap berkewajiban merawat, mendidik anak dengan baik
sampai anak itu menikah dan mampu berdiri sendiri (mumayyiz). Adapun dalam Firman Allah SWT pada surat at-Tahrim ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...”(QS. at-Tahrim: 6).
Ayat Al-Qur’an di atas menjelaskan bahwa dakwah dan
pendidikan harus bermula dari rumah, dimana dari ayat tersebut
walaupun secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah) tetapi itu
bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada
perempuan dan lelaki (ibu dan ayah), maka dengan demikian hal ini
berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anaknya dan
pasangan masing-masing sebagaimana suami dan istri bertanggung
jawab atas kelakuannya. Ayah dan ibu serta anak cukup untuk
menciptakan satu rumah tangga atau keluarga yang diliputi oleh
nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis. Maksud dari
manusia menjadi bahan bakar neraka, dipahami thaba’thaba’i dalam
34
arti manusia terbakar dengan sendirinya.35 Oleh sebab itu manusia
diperintahkan untuk selalu menjauhi segala perintah yang dilarang oleh
Allah, yang mana siksaan api neraka lebih panas sampai bisa
membakar manusia.
Sebagaimana yang sudah dijelakan diatas mengenai ayat
tersebut juga dapat disimpulkan bahwa yang diperintahkan oleh Allah
yaitu pemeliharaan anak merupakan kewajiban kedua orang tua yang
tujuannya untuk memelihara keluarganya dari api neraka dengan
berusaha agar keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah-Nya
dan menjauhi larangan-larangan Allah, maksud dari keluarga dalam
ayat ini adalah anak.36 Kemudian mengantarkan anak-anaknya dengan
cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan baik ilmu
agama maupun umum untuk bekal mereka kejenjang dewasa.37
Dalam kaitannya dengan pemeliharaan, merawat dan mendidik
anak kecil diperlukan adanya kesabaran, kebijaksanaan, pengertian dan
kasih sayang.38 Karena hadhanah merupakan hak anak sebagai
manusia dan bisa jadi tidak terpenuhi karena perceraian orang tuanya.
Ditinjau dari sisi hak anak yang masih kecil dan belum mandiri,
pengasuhan (hadhanah) adalah suatu perbuatan yang wajib
35
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 15, Cet. 1, h. 326
36
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 177 37
Ibid., h. 176 38
dilaksanakan oleh orang tuanya karena tanpa adanya pemeliharaan,
maka anak akan menjadi terlantar yang berarti kehilangan
hak-haknya.39 Sedangkan dalam dalil Hadis yang bersumber pada Hadits
Nabi riwayat dari Abdullah ibn Amr menceritakan:40
“Seorang Perempuan berkata (kepada Rasulullah Saw): Wahai
Rasulullah Saw, anakku ini yang mengandungnya, air susuku yang diminumnya, dan dibilikku tempat kumpulnya (bersamaku), ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dari aku”, maka
Rasulullah Saw, bersabda: “Kamulah yang lebih berhak untuk memelihara anak itu, selama kamu belum menikah lagi.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim Menshahikannya).
Hadits tersebut menegaskan bahwa seorang ibu lebih berhak
untuk mengurus hadhanah anaknya meski sudah bercerai atau ditinggal
mati oleh suaminya.42 Maka perempuan lah yang lebih berhak dari
pada kalangan laki-laki, karena perempuan lebih dalam hal belas kasih
sayang, ketelatenan dalam merawat dan menjaganya serta memiliki
kesabaran yang lebih,43 dan selama ibunya tidak menikah dengan
39
Rahima, “Pandangan Islam Tentang Pengasuhan Anak (Hadhanah); Suplemen Edisi 45”, artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari http://www.rahima.or.id/
40
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 199 41
Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq, Sunan Abu Dawud, Juz 2, Hadis 2276, (Bairut: Maktaba Al-Ashriyah), h. 283
42
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk: Penyunting Budi Permadi, Cet. 1, h. 61
43
laki lain. Apabila ibunya telah menikah maka hak hadhanah tersebut
beralih kepada bapaknya alasannya ialah jika ibu anak tersebut
menikah maka besar kemungkinan perhatian seorang ibu akan beralih
kepada suami barunya dan bahkan mengalahkan perhatiannya kepada
anak kandungnya sendiri.44
b. Hukum Positif
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab
kedua orang tuanya, yang meliputi berbagai hal masalah ekonomi,
pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak.
Oleh karena itu yang terpenting dalam memelihara anak ialah kerja
sama dan saling tolong menolong antara suami dan istri sampai anak
tersebut dewasa. Bahwa faktanya di dalam Undang-undang
Perkawinan tidak secara rinci mengatur masalah tersebut, karena tugas
dan kewajiban memelihara anak intern dengan tugas dan tanggung
jawab suami sekaligus sebagai bapak bagi anak-anaknya.45 Kemudian
di dalam ketentuan pasal 45 Undang-undang No. 1 tahun 1974
menyatakan:
Pasal 45
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknnya.
2. Kewajiban kedua orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
44
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 199
45
sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Oleh sebab itu dalam mengenai hadhanah, seorang bapak dan
ibu tetap berkewajiban untuk memeliharanya meskipun ikatan
perkawinan dari kedua orang tuanya telah putus, sebagaimana telah
diatur dalam pasal 41 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
dinyatakan:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diberlakukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Dari uraian pasal diatas menjelaskan bahwa kedua orang tua
tetap berkewajiban memelihara anak yang didasarkan untuk
kepentingan di masa yang akan datang yaitu ketika anak tersebut sudah
dikatakan dewasa atau cakap hukum dan bukan untuk kepentingan
masing-masing pihak orang tua dalam mengambil haknya. Oleh karena
itu adanya kedua orang tua bagi anak ialah untuk saling memikul
2. Undang-Undang Perlidungan anak No. 23 Tahun 2002 jo. No.
35 Tahun 2014 Dan Convention on the Right of the Child (CRC) Tahun 1989
Dalam Undang-undang perlindungan anak No. 23 tahun 2003 jo.
UU No. 35 tahun 2014 ternyata pada prinsipnya sama dengan yang
diajarkan dari keteladanan Nabi Muhammad Saw, dan ajaran Islam
memiliki kesamaan dan persamaan dengan Prinsip-prinsip dasar yang ada
dalam CRC atau bisa disebut dengan Konvensi Hak Anak.
Undang-undang perlindungan Anak juga terinspirasi adanya CRC (Convention on the Right of the Child) yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989, telah disebutkan bahwa
ada empat prinsip dasar di dalam CRC yaitu: non discrimination, the best interest of child, right of survival, develope and participation.46
Dalam perlindungan Konvensi Hak Anak juga mengatakan kedua
orang tua bertanggung jawab untuk menjamin perlindungan bagi anak dan
pengembangan pertumbuhan bagi anaknya. Hal ini tercantum dalam pasal
27 ayat 2 yang menyatakan bahwa:
“Orang tua atau mereka yang bertanggung jawab atas anak memikul tanggung jawab utama untuk menjamin, dalam batas-batas kemampuan dan keuangan mereka, kondisi kehidupan yang diperlukan
bagi pengembangan anak.”
Sehingga pengasuhan anak menjadi dasar hukum yang wajib
dilakukan bagi orang tuanya untuk mengasuh, merawat dan mendidik
46
anak-anaknya, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam pasal 26
Undang-undang Perlindungan Anak bahwa:
1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
2. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), maka hal ini dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian, apabila kedua orang tua telah bercerai maka
pengasuhan dan pemeliharaan anak tetap merupakan kewajiban dan
tanggung jawab bagi orang tua, walaupun dari salah satu kedua orang
tuanya memiliki hak asuh anak. Akan tetapi dalam pengasuhan dan
pemeliharaan anak merupakan hak anak-anaknya lah yang lebih di
utamakan demi untuk kemaslahatan anak ke depannya. Hal ini
tercantum dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 jo.
No. 35 tahun 2014 tentang perlidungan anak yang menyatakan:
1. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
2. Dalam terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak tetap berhak:
a. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang tuanya.
b. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
Dari pasal di atas, hal tersebut sejalan dengan Konvensi Hak
Anak (KHA) sebagaimana penjelasan pada pasal 9 yang menyatakan
bahwa pada dasarnya seorang anak berhak untuk hidup bersama orang
tuanya, kecuali kalau hal ini dianggap tidak sesuai dengan kepentingan
terbaiknya. Hak anak untuk mempertahankan hubungan dengan orang
tuanya jika terpisah dari salah satu atau keduanya, maka kewajiban
Negara dalam kasus di mana pemisahan seperti itu terjadi akibat
tindakan Negara. Namun dalam hal ini Negara juga berwenang atas
pemisahan anak dari orang tuanya sesuai dengan keputusan
pengadilan. Oleh karena itu dari ketentuan hukum mengenai
perlindungan anak bahwa prinsipnya yaitu pada asas kepentingan
terbaik bagi anak yang harus dijadikan pertimbangan utama,
sebagaimana termaktud dalam KHA (Konvensi Hak Anak) pasal 3
ayat 1 yang berbunyi:
“Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan, penguasa-penguasa pemerintahan atau badan-badan legislative, kepentingan terbaik dari anak-anak harus menjadi pertimbangan utama.”
Dari penjelasan yang sudah diterangkan sebelumnya, kaitannya
dengan perlindungan anak dapat disimpulkan bahwa perkembangan
anak ada empat yang harus dan perlu diperhatikan yaitu perkembangan
fisik, mental, sosial dan spiritual. Oleh karena itu hak asasi inilah hak
yang menjadi dasar bagi anak yang harus dilindungi, baik oleh
untuk mengimplementasikan dan mewujudkan perkembangan anak
bukan hanya merupakan kewajiban kemanusian sebagai realisasi hak
asasi manusia, namun lebih dari itu adalah merupakan kewajiban
agama.47
3. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hal ini juga sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab
XIV pasal 98 yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya meninggal.
Dari penjelasan pasal tersebut bahwa kewajiban kedua orang
tua adalah mengantarkan anak-anaknya dengan cara mendidik, serta
membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal mereka di
hari dewasanya.48
Demikianlah ketentuan mengenai pemeliharaan anak dan
batas-batasnya yang menjadi tanggung jawab orang tua terutama bapak
sebagai pemimpin dalam rumah tangga dan pelindung keluarga bagi
istri dan anak-anaknya.49 Karena orang tua tidak lain sebagai cerminan
47
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 312-313 48
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 65
49
anak di masa yang akan datang dan apabila tidak berhati-hati dalam
merawatnya, ditakutkan anak bisa lebih mudah terpengaruh terhadap
perbuatan yang bisa mencelakakan baik itu jasmani dan rohaninya.
Dari dasar hukum yang disebutkan diatas, baik itu secara
hukum Islam maupun hukum Positif mengenai pemeliharaan anak,
dapat disimpulkan bahwa dari kedua hukum tersebut,telah jelas
menyatakan pemeliharaan anak hukumnya bersifat wajib. Adanya sifat
wajib disini ialah baik orang tuanya dalam ikatan perkawinan maupun
bercerai, mereka tetap harus merawat, melidungi, menjaga
anak-anaknya sebaik mungkin tanpa menghilangkan hak anak tersebut.
C. Syarat-syarat Bagi Yang Melakukan Hadhanah
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua
unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya yaitu orang tua yang
mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun.
Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan
sahnya tugas pengasuhan anak. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan
bapak secara bersamaan berkewajiban untuk memelihara anak hasil
dari perkawinannya, akan tetapi jika suami dan istri bercerai dan
keduanya berpisah maka sebagai kedua orang tua tetap berkewajiban
memelihara anaknya sendiri-sendiri.50
50
Sebagaimana diterangkan di dalam kitab Kifayatul ahyar, mengenai syarat-syarat bagi yang melakukan hadhanah, yaitu terdapat
tujuh macam di antaranya:
“syarat-syarat bagi orang yang akan melakukan tugas hadhanah ada tujuh macam: berakal sehat, merdeka, beragama Islam, sederhana, amanah, dan tidak bersuami baru, bermukim (di daerah tertentu), apabila kurang dari satu di antara syarat-syarat tersebut, gugurlah hak hadhanah (dari tangan ibu).”
Mengingat adanya syarat-syarat bagi pengasuh anak maka hal
tersebut menjadi kepentingan anak, mengenai syarat secara jelasnya
ialah, sebagai berikut:52
1. Mukallaf (sudah baligh berakal), karena orang yang belum baligh,
orang-orang yang kurang akal dan yang mempunyai sifat-sifat
yang dapat membahayakan si anak.53 Oleh sebab itu seorang ibu
yang mendapat gangguan jiwa atau ingatannya tidak layak
melakukan hadhanah. Ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang
melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.54
51 Abu Bakar Taqinuddin Syafi’i,
Kifayatul Ahyar, Juz.1, (Damaskus: Darul Khair, 1994), h. 447
52
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 172
53
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 134
54
2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan
mendidik mahdhun (anak yang diasuhnya) dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi
terlantar.
3. Mempunyai sifat amanah, maka dengan itu dapat lebih menjamin
pemeliharaan anak, karena orang yang rusak akhlaknya tidak dapat
memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh
karena itu ia tidak layak melakukan tugas ini.
4. Tidak terikat dengan perkawinan dengan laki-laki yang lain,
apabila pengasuh itu adalah wanita atau ibu kandungnya, sesuai
dengan sabda Rasulullah kepada seorang wanita yang anaknya
akan diambil oleh bekas suaminya:
“…Engkau lebih berhak terhadap anakmu itu selama engkau belum menikah lagi.”(HR. Abu Dawud)
Apabila ibunya yang menikah dengan laki-laki yang ada
hubungan mahram dengan anak maka ia tetap mempunyai hak
tersebut, mengingat terhadap kemaslahatan anak yang diasuhnya.
Apabila kemaslahatan si anak diduga akan terjaga, sekalipun ibunya
telah menikah dengan laki-laki yang bukan mahram si anak, maka
pengasuh tetap mempunyai haknya.56
55
Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq, Sunan Abu Dawud, Juz 2, Hadis 2276,
(Bairut: Maktaba Al-Ashriyah), h. 283
56
5. Seseorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam.
Karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan
mengarahkan agama anak yang diasuh. Apabila anak diasuh oleh
orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak akan mengikuti
agamanya.57
Akan tetapi jika terjadinya perceraian yang di akibatkan
seorang istri atau ibu si anak pindah agama (murtad), yang di satu sisi
seorang ibu lebih berhak atas pemeliharaan anak tersebut. Maka hal ini
yang menjadi problematika di kalangan ulama fiqih karena adanya
perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya hak asuh bagi ibu
yang murtad. Tetapi apabila seorang ibu melalaikan kewajibannya dan
berkelakuan buruk yang menimbulkan dampak negatif pada anak,
maka hak asuh tersebut menjadi gugur serta penghalang untuk
mendapatkan hak asuh anak.
Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai syarat seseorang
yang mengasuh beragama Islam. Bahwa kalangan dari ulama
Hanafiyyah dan Malikiyyah tidak mensyaratkan orang yang
memelihara anak harus beragama Islam, akan tetapi jika non-muslim
itu kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik ia ibu
sendiri maupun orang lain.58 Oleh sebab itu mengenai masalah agama
yang dianut oleh pengasuh tidak menjadi syarat apakah pengasuh itu
57
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 329 58
seorang yang beragama Islam atau tidak, karena kasih sayangnya
seorang ibu kepada anaknya tidak akan terpengaruh karena perbedaan
agamanya dan agama anak itu, kecuali anak dikhawatirkan akan
terpengaruh dengan perilaku agama yang berlainan dengan anak atau
memakan makanan yang haram menurut hukum Islam.59
Akan tetapi bagi seorang yang beragama Islam menerapkan
sikap yang sangat tegas dalam menghadapi kemurtadan, khususnya
bila para pelakunya menyatakan kemurtadan diri mereka dan menjadi
pengaruh kepada orang lain untuk melakukan kemurtadan. Karena
sesungguhnya mereka merupakan bahaya yang sangat serius yang akan
menghancurkan dasar-dasar aqidah.60 Sebagaimana yang dijelaskan
dalam Hadis Nabi Saw diriwayatkan oleh Abu Hurairah. ra:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannnya penganut yahudi, nasrani, atau majusi”. (HR. Bukhari Muslim)
Hadis diatas menerangkan bahwa bayi yang dilahirkan itu
dalam keadaan suci dan bersih, seperti sehelai kertas putih. Jika
digoresi dengan tinta hitam, dia menjadi hitam dan jika ditulisi dengan
59
Zakariya Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 59
60
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah khairul amru harahap, faisal saleh, jilid 3, cet. 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 672-673
61
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, KitabShahih Al-Bukhari, No. 1385,
tinta merah, dia akan menjadi merah. Maksudnya ialah, apabila akhlak
dan kepribadian anak itu amat tergantung kepada rawatan, asuhan dan
didikan ibu dan bapaknya. Ibu dan bapaknya lah yang me-Yahudi-kan
anaknya atau me-Nasrani-kan atau me-Majusi-kannya.62 Sehingga
menunjukkan bahwa kemurnian agama anak tidak akan aman jika
orang tua yang mengasuhnya kafir, karena ruang lingkup hadhanah
meliputi pendidikan agama anak.63 Oleh karena itu pemeliharaan anak
dari salah satu orang tuanya yang bukan Muslim dipandang tidak
berhak mengasuh anak karena kekafirannya yang sudah tentu akan
langsung berpengaruh terhadap anaknya.64 sebagaimana diterangkan
dalam firman Allah surat An-Nissa ayat 141 mejelaskan:
“…dan Allah sekali-kali tidak akan memeberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.
(QS. An-Nissa: 141)
Mengenai adanya perbedaan pendapat para ulama dalam
pengasuhan yang diterangkan diatas, maka dari berpengaruhnya akidah
dan agama anak disinilah yang menjadi bahaya terbesar yang akan
dialami si anak, apabila ada kewenangan bagi orang yang non-muslim
untuk mengasuh anaknya.
62
A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994), Cet. 1, h. 220
63
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah khairul amru harahap, faisal saleh, jilid 3, cet. 2, h. 673
64
6. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan
meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari
adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat
diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih
kecil.65
Sedangkan dalam ketentuan Perundang-undangan di Indonesia
sendiri tidak terlihat adanya syarat-syarat untuk melakukan hadhanah,
tetapi lebih melihat kepada tanggung jawab serta kewajiban seorang
ibu dan bapaknya terhadap anaknya baik dalam ikatan perkawinan
maupun terjadinya perceraian. Karena tidak adanya ketentuan tersebut,
sehingga tidak memberikan pengaturan secara tegas mengenai kriteria
sebagai pengasuh anak. Hal ini berbeda dengan aturan fikih yang
menetapkan bahwa seorang pengasuh harus memenuhi beberapa
kriteria, sebagaimana yang telah disebutkan diatas jika ia ingin
mendapatkan hak asuhnya.66
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:67
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri
sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
65
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 329 66
Arskal Salim. dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, (Jakarta: PUSKUMHAM, 2009), h. 69
67
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena
itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti
orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya
tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun.
Apabila kedua orang tua dari anak tersebut masih lengkap dan
memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas
anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih
sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia anak yang
sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang, dan apabila anak
berada dalam asuhan seorang ibu maka segala biaya yang diperlukan
untuk itu tetap berada d