KONTRIBUSI EKOSISTEM MANGROVE SEBAGAI
PEMASOK MAKANAN IKAN BELANAK
(Liza subviridis)
DI PERAIRAN PANTAI UTARA
KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA
MUHAMMAD RAMLI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: Kontribusi Ekosistem Mangrove Sebagai Pemasok Makanan Ikan Belanak, Liza subviridis di Perairan Pantai Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Muhammad Ramli
ABSTRACT
MUHAMMAD RAMLI. Contribution of Mangrove Ecosystems as Food Suppliers of Greenback mullet (Liza subviridis) on the north coast Waters of South Konawe, Southeast Sulawesi. Supervised by DIETRIECH G BENGEN, RICHARDUS F. KASWADJI and RIDWAN AFFANDI.
The most important ecological functions of mangrove forests are nutrient cycles and energy flows. Mangrove litter fall in the water decomposed by microorganisms that produce nutrients (partly in the form of particles of litter (detritus)) are utilized by fish, shrimp and crabs as food (Bengen 2000; Bengen and Dutton 2004).
Mangrove leaf is the largest part of litter primary production available to consumers contributed significantly to the food chain in the coastal fishery resources (Lee 1995; Ananda et al. 2007; Berg and McClaugherty 2008). The amount and quality of the mangrove detritus are based on the dominant mangrove species in the ecosystem. A kind of fish that make use of detritus in a mangrove ecosystem as a food source (energy) is the Greenback mullet (L.subviridis) from mugilidae family.
This study aims to determine the contribution of mangrove forests as a detritus supplier served as food and energy sources of mullet (L. subviridis) on the north coast of South Konawe.
The research was carried out for six months from May - October 2011 on the north coast of South Konawe Southeast Sulawesi, covering Landipo Estuaryne waters and Oyster Cape. Data collection of mangrove species at each stationwas was done using Line transect plots with a size of 10 mx 10 m for tree and 5m x 5m for the pups (Bengen 2001).
Production of detritus derived from mangrove litter was carried out by inserting as many as 10 grams of leaf litter in litter bags measuring 20 cm x 30 cm made of nylon with a mesh size of 2 mm. Then, the bags were put into other plastic bags with small holes in some parts so the waste products of decomposition in the bag will not go out making calsulation easy.
The fish were collected using varying mesh size of monofilament gill nets. Biological parameters measured were feeding habits, condition factor, hepto and Gonado somatic index.
Macronutrients of the detritus were determined by proximate analysis. Variations in water chemistry and physics variables were analyzed using Principal Component Analysis (PCA). Distribution of detritus production between stations were analyzed using Correspondent Analysis (CA) (Lagendre and Lagendre 1983; Bengen 2000).
The results showed that the total energy generated by Rhizophora apiculata
detritus was greater than Sonneratia alba detritus. Detritus of Rhizophora apiculata contribute better to the condition factor, Gonado and Hepato-Somatic Index of mullet fish (Liza subviridis) than detritus of Sonneratia alba on the north coast of South Konawe.
RINGKASAN
MUHAMMAD RAMLI. Kontribusi Ekosistem Mangrove sebagai Pemasok Makanan Ikan Belanak (Liza subviridis)di Perairan Pantai utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh DIETRIECH G BENGEN, RICHARDUS F. KASWADJI dan RIDWAN AFFANDI.
Fungsi ekologis terpenting dari hutan mangrove adalah dalam siklus nutrien dan aliran energi, dimana mangrove merupakan penghasil serasah yaitu materi organik yang telah mati yang terdapat di lantai hutan yang tersusun atas tumbuhan mati. Serasah mangrove yang jatuh di perairan mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme yang menghasilkan zat hara (nutrient), dan sebagian lagi berupa partikel serasah (detritus) yang dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya (Bengen 2000). Detritus inilah yang merupakan sumber makanan dan energy bagi berbagai biota perairan termasuk berbagai juvenile, larva ikhtiofauna, krustacea serta kerang (shellfish) (Bengen dan Dutton 2004).
Daun mangrove merupakan bagian terbesar dari produksi primer serasah yang tersedia untuk konsumen dan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap rantai makanan dan sumberdaya perikanan di pesisir (Lee 1995; Ananda et al. 2007; Berg dan McClaugherty 2008)
Besarnya sumbangan detritus dari ekosistem mangrove berkaitan dengan proses dekomposisi serasah dalam ekosistem mangrove. Melalui proses ini hara dalam jumlah yang cukup besar dapat dihasilkan (Valk dan Attiwill 1984).
Hutan mangrove sebagai penghasil detritus yang merupakan sumber makanan bagi organisme laut. Salah satu jenis ikan yang memanfaatkan detritus dalam ekosistem mangrove sebagai sumber makanan (energi) adalah ikan belanak (Liza subviridis) dari famili mugilidae. Ikan belanak secara ekologis sangat penting dalam rantai makanan yang berperan dalam transfer energi dalam kehidupan di perairan estuari.
Diduga, jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan dari hutan mangrove didasarkan pada jenis mangrove. Persentase dan total energi detritus yang dihasilkan akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ikan belanak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi hutan mangrove sebagai pemasok detritus sebagai sumber makanan dan energi ikan belanak (Liza subviridis) di pesisir utara Konawe Selatan.
Penelitian dilaksanakan selama enam bulan dari bulan Mei 2011 sampai dengan Oktober 2011 dengan lokasi di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara, meliputi perairan Muara Landipo dan Tanjung Tiram. Pengumpulan data jenis mangrove di setiap stasiun dilakukan dengan menggunakan Transect Line Plots dengan ukuran transek 10 m x 10 m untuk pohon dan 5m x 5m untuk anakan (Bengen 2001).
mengeringkan sampel ke dalam oven pada suhu 70 0C selama 4 hari atau sampai berat sampel tersebut konstan.
Penghitungan laju dekomposisi dilakukan dengan memasukkan serasah daun sebanyak 10 gram ke dalam kantong serasah (berukuran 20 cm x 30 cm) Kantong-kantong tersebut diikatkan pada akar atau pangkal batang vegetasi mangrove agar tidak hanyut atau hilang terbawa arus pasang surut. Pengambilan sampel dan pengukuran laju dekomposisi dilakukan selang waktu 15 hari setelah perendaman yaitu hari ke 15, hari ke 30, hari ke 45, hari ke 60 dan hari ke 75. Serasah yang tersisa dalam kantong dibersihkan dari lumpur yang masih melekat, selanjutnya dikeringkan lagi dalam oven pada suhu 70 oC selama 4 hari atau sampai berat sampel konstan.
Produksi detritus yang dihasilkan dari serasah mangrove, dilakukan dengan meletakkan atau memasukkan serasah daun sebanyak 10 gram ke dalam kantong serasah (litter-bag) yang berukuran 20 cm x 30 cm yang terbuat dari nilon dengan mesh 2 mm. Selanjutnya kantong-kantong tersebut dimasukkan lagi kedalam kantong plastik yang telah diberi lubang kecil pada beberapa bagian sehingga sisa hasil dekomposisi dalam kantong tidak akan keluar.
Untuk menentukan kondisi kualitas perairan di setiap lokasi pengamatan digunakan cara skoring indeks kualitas lingkungan (IKL) yang dimodifikasi dari indeks kualitas air mengacu kepada Ramakrishnaiah et al. (2009). Untuk mengumpulkan ikan belanak di lokasi penelitian digunakan gill net atau jaring insang monofilamen dengan ukuran mata jaring yang bervariasi. Parameter biologi ikan yang diukur meliputi kebiasaan makan, faktor kondisi, gonado somatik indeks dan hepto somatik indeks.
Untuk mendapatkan data mengenai makronutrien dari bahan sampel (detritus), maka dilakukan analisis proksimat untuk menggolongkan komponen yang ada pada detritus berdasarkan komposisi kimia dan fungsinya. Analisis proksimat dilakukan dengan menentukan persentase komponen protein, lemak dan karbohidrat. Nilai dari komponen tersebut, selanjutnya dikalikan dengan equivalensi energinya (Nurjana 2010) yaitu menggunakan sistem Atwater, dimana equivalensi energi untuk protein sebesar 5.65 kcal/gram, karbohidrat 4.2 kcal/gram, dan lemak sebesar 9.4 kcal/gram (Sediatama 1987).
Untuk menentukan variasi variabel fisika kimia perairan antar stasiun pengamatan digunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA). Untuk mengetahui sebaran produksi detritus antar stasiun pengamatannya digunakan Analisis Faktorial Koresponden (Correspondent Analysis, CA) (Lagendre dan Lagendre 1983; Bengen 2000).
Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa total energi detritus yang dihasilkan jenis mangrove Rhizophora apiculata lebih besar dari detritus yang dihasilkan jenis mangrove Sonneratia alba di perairan pesisir Utara Konawe Selatan. Detritus mangrove jenis Rhizophora apiculata berkontribusi lebih baik terhadap Faktor Kondisi, Gonado Somatik Indeks dan Hepato Somatik Indeks ikan belanak (Liza subviridis) dibanding detritus jenis mangrove Sonneratia alba
di pesisir utara Konawe Selatan.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
KONTRIBUSI EKOSISTEM MANGROVE SEBAGAI
PEMASOK MAKANAN IKAN BELANAK
(
Liza subviridis)
DI PERAIRAN PANTAI UTARA
KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA
MUHAMMAD RAMLI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Ujian Tertutup : Senin, 07 November 2011
Penguji Luar Komisi :
1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc.(Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB) 2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. (Staf Pengajar FPIK IPB)
Ujian Terbuka : Jumat, 06 Januari 2012
Panguji Luar Komisi :
1. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedarma, DEA. (Guru Besar FPIK IPB)
Judul Disertasi : Kontribusi Ekosistem Mangrove Sebagai Pemasok Makanan Ikan BelanaK, Liza subviridis di Perairan Pantai Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.
Nama : Muhammad Ramli
NIM : C 561060051
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen, DEA Ketua
Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr
“Kupersembahkan Disertasi ini kepada Agamaku, Bangsa dan Negaraku, Kedua Orang Tuaku yang telah tiada, Isteri dan anak anakku tercinta yang telah menjadi semangatku”
PRAKATA
Tiada kata yang terindah untuk diucapkan selain ucapan Alhamdulillah,
segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang memberikan rahmat dan rahim-Nya sehingga penulis dapat menyelesasikan disertasi ini. Penelitian ini berjudul “ Kontribusi Ekosistem Mangrove Sebagai Pemasok Makanan Ikan Belanak (Liza subviridis) Di Perairan Pantai Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara”.
Dalam penyelesaian tulisan ini, berbagai pihak telah banyak membantu dalam proses pneyelesaian tulisan ini oleh karena itu perkenankanlah penulis pada kesempatan ini menghaturkan terimakasih yang berlimpah kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen DEA selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan curahan ilmu, waktu dan motivasi yang luar biasa sehingga mampu memberikan pencerahan dan pembelajaran yang sangat berarti bagi penulis
.
2. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA. Selaku anggota komisi. Disela pembimbingan, beliau memberi pencerahan tentang tauhid, kecintaan terhadap keluarga, masyarakat, agama. Saya menemukan idealisme, keramahtamahan, dan proses penciptaan karya yang luar biasa. masukan yang sangat berarti selama proses penulisan disertasi ini.
3. Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc., selaku anggota komisi yang telah memberikan bimbingan, masukan, semangat dan arahan dan motivasi selama penyusunan disertasi ini. Tetap mampu mengambangkan idealisme keilmuannya selama proses pembimbingan.
4. Bapak Rektor Universitas Haluoleo, Dekan Fakultas Pertanian dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor (S3) pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
5. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Ilmu Kelautan yang telah memberi kesempatan penulis untuk mengikuti kuliah pada Sekolah Pascasarjana IPB.
6. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelutan Institut Pertanian Bogor beserta stafnya yang telah menyediakan sarana pendidikan (kuliah, praktikum, dan rapat-rapat komisi) dalam rangka pnyelesaian studi ini.
7. Ibu Dr.Ir. Neviaty Zamani, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kelautan beserta staf yang banyakmembantu penulis dalam hal administrasi akademik selama menempuh studi.
8. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang telah memberikan bantuan penelitian dalam penyelesaian disertasi ini.
9. Program Mitra Bahari – Coremap II yang telah memberikan bantuan beasiswa penulisan disertasi
11. Project Management Unit, The Development and UpGrading of Haluoleo University Project Islamic Development Bank (IDB) Loan 105 & IND-106. Yang telah membiayai studi program Doktor (S3) saya selama 2.5 tahun.
12. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang telah memberikan bantuan penelitian dalam penyelesaian disertasi ini.
13. Program Mitra Bahari – Coremap II yang telah memberikan bantuan beasiswa penulisan disertasi. Terimakasih kepada bapak Ir Abdul Hamid, M.Si. selaku ketua Regional centre Mitra Bahari Sulawesi Tenggara.
14. Kepala Laboratorium Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Kepala laboratorium FMIPA Universitas Haluoleo yang telah memberikan fasilitas dan membantu analisis sampel air, detritus dan ikan selama penelitian.
15. Dr. Ir. Andi Irwan Nur, MES, Drs. Amirullah, M.Si, Drs. Parakasi, M.Si. Ir. La Anadi, M.Si. Taswin Munier, S.Pi. MES, La Ode Afa, SP. M.Si. Bahtiar, S.Pi. M.Si. Asmadin, S.Pi. M.Si. Akhmad Mansur, SP. M.Si. Terima kasih atas kebersamaan, kedekatan dan gurauan yang hangat, memberikan support, doa dan semangat yang tiada henti.
16. Kakanda saya (Zainal Abidin sekeluarga), adinda Thamrin, Fachri adil, Nurida, Muh Jufri, Nurhayati dan Nurlia sekeluarga. Terima kasih atas bantuan materi dan doanya.
17. Ayahanda (Facharuddin Tahaq) dan Ibunda tercinta dan tersayang (Sitti Yalia), yang selalu menasehati penulis saat masih kecil “Pendidikan adalah harta warisan yang tidak akan pernah dicuri orang” ketika penulis kadang bolos dari sekolah. Insipirasi ibundalah yang senantiasa hadir dalam benak dan pikiran saya selama menempuh pendidikan sejak dari S1 hingga S3. 18. Pencapaian ini secara khusus saya dedikasikan buat Isteri tercinta, Suprihaty
Prawaty Nengtias serta anak anakku tersayang, Nuralam Pradana, Nuralim Pratama, Muhammad Iqbal dan Nur Rahma Aulia yang senantiasa memberikan doa, dorongan semangat, materi dan cinta kasih yang merupakan sumber energy tiada henti.
19. Semua pihak yang telah memberikan dukungandan bantuan dengan caranya masing-masing.
Semoga semua bantuan dan doa yang telah disampaikan untuk kesuksesan ini mendapatkan ganjaran berlipat dari Allah SWT.. Amiien Ya Rabb...
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini.
Bogor, Januari 2012
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Selayar pada tanggal 10 Maret 1962 sebagai anak ketiga dari pasangan Facharuddin dan Sitti Yalia. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan UNSRAT Manado, lulus pada tahun 1986. Pada Tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Islamic Development Bank.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari sejak tahun 1992. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti ialah kontribusi ekosistem mangrove sebagai pemasok makanan untuk ikan belanak (Liza subviridis).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL . . . xiv
DAFTAR GAMBAR . . . .. . . . xv
DAFTAR LAMPIRAN . . . xvi
1 PENDAHULUAN . . . 1
1.1 Latar Belakang . . . 1
1.2 Rumusan Masalah . . . 2
1.3 Tujuan Penelitian . . . 5
1.4 Manfaat Penelitian . . . 5
1.5 Hipotesis . . . . . . 5
1.6 Kebaharuan Penelitian . . . 5
2 TINJAUAN PUSTAKA . . . .. 7
2.1 Ikan Belanak . . . . . . 7
2.1.1 Habitat dan Daerah Sebaran . . . 9
2.1.2 Ontogenetik Makanan . . . 9
2.2 Ekosistem Mangrove . . . 12
2.2.1 Jenis dan Penyebaran Mangrove .. . . . . . 14
2.2.2 Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove . . . . 15
2.2.3 Produktivitas dan Serasah Mangrove . . . 18
2.2.4 Proses Dekomposisi Serasah Mangrove . . . 23
2.2.5 Rantai Makanan Detritus . . . . . . 24
2.2.6 Komunitas Iktiofuna di ekosistem mangrove .. . . 26
3 BAHAN DAN METODE . . . 29
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian . . . 29
3.2 Alat dan Bahan . . . . .. . . 29
3.3 Komunitas Mangrove . . . .. . . 31
3.3.1 Analisis Kerapatan . . . 31
3.3.2 Pengukuran Produksi Serasah . . . 31
3.3.3 Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah . . . 33
3.3.4 Pengukuran detritus . . . 34
3.4 Kualitas Air dan Sedimen . . . 34
3.5 Pengumpulan Data Ikan Belanak . . . 35
3.6 Aspek Pertumbuhan . .. . . … . . . 36
3.6.1 Pola Pertumbuhan . . . 36
3.6.2 Faktor Kondisi . . . 36
3.7 Kebiasaan Makanan Ikan . . . 38
3.8 Gonado Somatik Indeks . . . 39
3.9 Hepato Somatik Indeks . . . .. 39
3.10 Uji Proksimat . . . .. 39
3.11.1 Analisis Kualitas Perairan . . . . . . . 40
3.11.2 Kerapatan Vegetasi Mangrove . . . 42
3.11.3 Produksi Serasah . . . 42
3.11.4 Laju Dekomposisi Serasah . . . 43
3.11.5 Kelimpahan Fitoplankton . . . . . . 43
3.11.6 Analisis Proksimat . . . . . . 43
3.11.7 Analisis Karakteristik Lingkungan Perairan . . . 45
3.11.8 Analisis Sebaran Produksi Detritus . .. . . 45
4 HASIL. . . 47
4.1 Pengukuran Dan Analisis Vegetasi Mangrove . . . 47
4.1.1 Struktur Vegetasi Mangrove . . . .. . . . 47
4.1.2 Laju Dekomposisi Serasah . . . 48
4.2 Produksi Detritus, Nutrient Dan Fitoplankton . . . . . . 48
4.3 Kualitas Air dan Sedimen . . . . . . . . . . 50
4.4 Kelimpahan Fitoplankton . . . . . . . 50
4.5 Aspek Biologi Dan Pertumbuhan Ikan Belanak . . . 51
4.5.1 Indeks Isi Lambung . . . . 51
4.5.2 Indeks Bagian Terbesar . . . 52
4.5.3 Energi Detritus dan Non Detritus . . . 52
4.5.4 Pola Pertumbuhan . . . 53
4.5.5 Faktor Kondisi . . . 53
4.5.6 Gonado Somatic Indeks. . . 55
4.5.7 Hepato Somatic Indeks . . . .. . . 55
5 PEMBAHASAN. . . .. . . .. 57
5.1 Struktur Vegetasi Mangrove. . . 57
5.2 Produksi dan Kontribusi Serasah . . . 57
5.3 Laju Dekomposisi Serasah dan Produksi Detritus . . . . . 60
5.4 Produksi Detritus, Kandungan Nutrient dan Fitoplankton . . . 62
5.5 Karakteristik Fisika Kimia Perairan. . . 64
5.6 Analisis Kualitas Lingkungan Perairan . . . 67
5.6.1 Indeks Kualitas Lingkungan . . . 67
5.6.2 Sebaran Spasial Karakteristik Lingkungan Perairan . . . 67
5.6.3 Produksi Detritus Berdasarkan Karakteristik Lingkungan . . . . 69
5.7 Produksi Detritus Di Pesisir Utara Konawe Selatan . . . 70
5.8 Aspek Biologi dan Pertumbuhan Ikan Belanak . . . . . . . . . 71
5.8.1 Indeks Isi Lambung . . . 71
5.8.2 Indeks Bagian Terbesar . . . 72
5.8.3 Pola Pertumbuhan . . . … .. . . 73
5.8.4 Kontribusi Detritus Terhadap FK dan GSI . . . . . . . 74
5.8.5 Kontribusi Energi Isi Lambung Terhadap HSI . . . 75
6 KESIMPULAN. . . .. . . 77
DAFTAR PUSTAKA . . . ….. . . 79
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Parameter fisika-kimia dan biologi yang diukur . . . .. . .. . . 29
2 Klasifikasi Indeks Kualitas Lingkungan . . . 42
3 Kerapatan jenis INP dan produksi serasah di lokasi penelitian. . . 47
4 Kelimpahan fitoplankton di lokasi penelitian . . . 50
5 Nilai pola pertumbuhan (nilai b) setiap bulan pengamatan . . . 53
6 Kandungan energi detritus dan non detritus . . . 53
7 Rata rata factor kondisi ikan belanak setiap bulan pengamatan . . . 54
8 Rata rata nilai gonado somatik indeks . . . .. . … .. . . 55
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran Penelitian . . . 4
2 Ikan Belanak, Liza subviridis. . . … . . . .. . . 7
3 Rantai pangan berdasarkan pada daun-daun mangrove yang jatuh ke dalam perairan muara di Florida Selatan (Odum, 1971). . . 22
4 Lokasi penelitian, pantai utara kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara . . . .. . . . 30
5 Stasiun pengambilan sampel lokasi tanjung Tiram . . . .. 32
6 Stasiun pengambilan sampel di sekitar muara Landipo . . . 32
7 Tipe perangkap serasah yang akan digunakan, dengan ukuran 1 meter x 1meter. . . .. . . 33
8 Tipe jaring insang (gill net) yang digunakan. . . 35
9 Alur penelitian dari masalah hingga luaran yang diharapkan . . . 46
10 Dekomposisi serasah mangrove di lokasi penelitian. . ….. . . 48
11 Produksi detritus Rhizophora apiculata,kandungan nitrat dan fosfat dan kelimpahan fitoplankton . . . 49
12 Produksi detritus sonneratia alba, kandungan nitrat dan fosfat dan kelimpahan fitoplankton . . . 49
13 Indeks isi lambung ikan belanak . . . . . . 51
14 Persentase detritus dan non detritus dalam isi lambung . . . 52
15 Persentase detritus dan non detritus terhadap FK dan GSI di Muara Landipo . . . .. . . .. . 54
16 Persentase detritus dan non detritus terhadap FK dan GSI di Tanjung Tiram . . . .. . . .. . 54
17 Grafik Analisis Komponen Utama karakteristik lingkungan perairan . . . .. 68
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Indeks nilai penting jenis mangrove . . . .. . 89
2 Kondisi hutan mangrove Muara Landipo . . . 90
3 Kondisi hutan mangrove Tanjung Tiram . . . 91
4 produksi serasah mangrove . . . 92
5 Laju dekomposisi serasah di lokasi penelitian . . . .. 94
6 Hasil pengukuran kulitas air dan sedimen .. . . 95
7 Kelimpahan fitoplankton . . . … . . . 96
8 Rata rata nilai Faktor Kondisi dan jumlah ikan sampel. . . .. . . 97
9 Data distribusi panjang ikan yang tertangkap di lokasi penelitian... 98
10 Komposisi makanan ikan belanak di lokasi penelitian . ... . . 99
11 Nilai rata rata variabel lingkungan perairan pada Analisis Komponen Utama . . . .. . . 100
12 Indeks kualitas lingkungan (IKL) . . . 101
13 Hasil AnalisisKomponen Utama. . . 102
14 Hasil Analisis Faktorial Koresponden . . . 105
15 Karakteristik ikan belanak Muara Landipo . . . 106
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alongi et al. (1993) dan Alongi (1996) mengemukakan bahwa ekosistem
mangrove merupakan daerah hutan pantai yang produktif, asosiasi rantai makan dan
siklus nutriennya berhubungan erat dengan perairan pantai sekitarnya. Hutan ini dapat
dianggap sebagai penghubung antara eksosistem darat dan ekosistem laut (Holmer
dan Annemarie 2002).
Fungsi ekologis terpenting dari hutan mangrove adalah dalam siklus nutrien
dan aliran energi, dimana mangrove merupakan penghasil serasah yaitu materi
organik yang telah mati yang terdapat di lantai hutan yang tersusun atas tumbuhan
mati. Daun mangrove yang gugur sebagai serasah memegang peran penting dan
merupakan sumber nutrisi sebagai awal rantai makanan. Pada ekosistem
mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus.
Daun mangrove merupakan bagian terbesar dari produksi primer serasah
yang tersedia untuk konsumen dan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap
rantai makanan dan sumberdaya perikanan di pesisir (Lee 1995; Ananda et al.
2007; Berg dan McClaugherty 2008). Parameter fisika-kimia air dan substrat di
ekosistem mangrove juga mempengaruhi pengaturan hara secara umum (Clough
et al. 1983; Boto dan Wellington 1984).
Serasah mangrove yang jatuh di perairan didekomposisi oleh
mikroorganisme dan selanjutnya akan melepaskan zat hara (nutrient), dan
sebagian lagi tersisa berupa partikel serasah atau detritus. Detritus inilah yang
dimanfaatkan oleh berbagai juvenile ikan, udang dan kepiting serta kerang
sebagai sumber makanan dan energi (Bengen 2000; Bengen dan Dutton 2004).
Sumber utama detritus diperoleh dari guguran daun mangrove yang jatuh ke
perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil
yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Hancuran bahan
organik (detritus) ini menjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi cacing,
crustaceae, moluska dan hewan lainnya. Detritus berfungsi sebagai sumber nutrisi
dan merupakan dasar dari jaring makanan yang luas untuk organisme perairan
Laegdsgaard dan Johnson (2001) mengemukakan bahwa ada tiga dugaan
utama yang menyebabkan ekosistem mangrove dijadikan sebagai habitat, yaitu : (1)
ikan tertarik karena keragaman struktur ekosistem mangrove, (2) sedikitnya jumlah
predator karena kompleksitas struktur ekosistemnya tinggi (seperti kerapatan
vegetasi), dan (3) ketersediaan makanan di ekosistem mangrove lebih banyak
dibandingkan ekosistem lainnya.
Wada (1999) mengemukakan bahwa sekitar 90 % jenis ikan laut daerah
tropis menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur hidupnya
di daerah pesisir berhutan. Ikan muda sering menempati ekosistem mangrove
sebagai habitat (Lugendo et al. 2006). Di Florida, hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik 90%, dari partikel organik yang ada di dalam air dan berasal dari pohon-pohon mangrove, 35-60 % bersumber dari guguran daun (Brown 1984). Hasil dari produksi serasah di mangrove berperan sebagai bahan makanan bagi makrobentos dan menyokong rantai makanan di hutan
mangrove yang terdiri dari ikan, krustasea, dan invertebrata serta penghasil unsur
hara bagi perairan sekitarnya.
Hutan mangrove sebagai penghasil detritus yang merupakan sumber
makanan bagi organisme laut. Besarnya sumbangan detritus dari ekosistem
mangrove berkaitan dengan proses dekomposisi serasah dalam ekosistem
mangrove. Melalui proses ini hara dalam jumlah yang cukup besar dapat
dihasilkan (Valk dan Attiwill 1984). Salah satu jenis ikan yang memanfaatkan
detritus dalam ekosistem mangrove sebagai sumber makanan (energi) adalah ikan
belanak (Liza subviridis) dari famili mugilidae. Ikan belanak memakan detritus
dan mikro algae, selain itu juga mengambil atau menelan butiran pasir dalam
sedimen yang berfungsi untuk membantu menggiling makanan di dalam lambung.
Ikan belanak secara ekologis sangat penting dalam rantai makanan yang
berperan dalam transfer energi dalam kehidupan di perairan estuari. Diduga,
jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan dari hutan mangrove didasarkan pada
jenis mangrove. Jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan akan berkontribusi
1.2 Rumusan Masalah
Dari hasil penelusuran literatur, banyak dijumpai penelitian terkait
ekosistem mangrove terhadap keanekaragaman dan struktur komunitas ikan
(Chong et al. 1990; Sesakumar et al. 1992; Laegdsgaard dan Johnson 2001;
Kawaroe et al. 2001; Bengen dan Dutton 2004).
Ekosistem mangrove sebagai daerah untuk mencari makan, dan
keterkaitan kondisi hutan bakau dengan hasil tangkapan ikan dan udang (Lugendo
et al. 2006). Kebiasan makan ikan belanak di ekositem mangrove (Chan dan
Chua 1979, Prapaporn et al.1998, dan Lin et al. 2007).
Pada penelitian ini akan dilakukan kajian ilmiah untuk mengetahui
kontribusi jenis mangrove sebagai penghasil detritus yang merupakan makanan
dan sumber energi ikan belanak (Liza subviridis). Kontribusi ekosistem
mangrove didasarkan pada jenis mangrove dominan dan kondisi lingkungan
perairan di pesisir utara Konawe Selatan. Kerangka pikir penelitian, disajikan
pada Gambar 1.
Dari pernyataan diatas dan latar belakang penelitian maka dirumuskan
permasalahan dengan memunculkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
(1) Berapa banyak detritus yang dihasilkan oleh jenis mangrove di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan,
(2) Berapa persen porsi detritus yang dimanfaatkan ikan belanak sebagai sumber makanannya di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan, dan
Gambar 1 Skema kerangka penelitian kontribusi mangrove sebagai pemasok makanan ikan belanak (Liza subviridis,
Valenciennes, 1836). Parameter Output :
Faktor Kondisi, GSI dan HSI
Ikan Belanak (Liza subviridis)
Parameter Input : Komposisi jenis makanan
Detritus Non Detritus (% dan Kcal)
Rantai Pangan Detritus Struktur Mangrove
Kerapatan (jenis)
Indeks Nilai Penting
Produksi Detritus Produksi Serasah
Kandungan Makronutrien Karakteristik
Lingkungan Perairan
Indeks Kualitas Lingkungan (IKL)
Analisis Komponen Utama
1.3 Tujuan Penelitian
(1) Menganalisis kualitas detritus yang dimanfaatkan ikan belanak berdasarkan
jenis mangrove yang dominan, dan
(2) Mengevaluasi kontribusi detritus sebagai sumber makanan, berdasarkan aspek pertumbuhan ikan belanak (Liza subviridis) di ekosistem mangrove
pesisir utara Konawe Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian
Dapat digunakan sebagai landasan pengelolaan dan konservasi yang terkait
dengan fungsi biologis dan ekologis hutan mangrove sebagai pemasok detritus
(sumber materi dan energi) untuk ikan pemakan detritus serta menunjang
perikanan pantai secara umum.
1.5 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang berkaitan dengan
pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan ikan belanak,
maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini:
1. Kualitas detritus yang dihasilkan dari suatu jenis mangrove dipengaruhi
karakteristik lingkungan perairan, dan
2. Aspek pertumbuhan ikan belanak akan dipengaruhi oleh kualitas detritus
yang dikonsumsi.
1.6 Kebaharuan Penelitian (Novelty Penelitian)
Detritus Rhizophora apiculata berkontribusi secara signifikan sebagai
makanan dan sumber energi pada aspek pertumbuhan ikan belanak (Liza
subviridis) dibandingkan detritus Sonneratia alba di pesisir utara Kabupaten
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Belanak (Liza subviridis)
Kingdom Animalia
Filum Chordata
Class Actinopterygii
Order Mugiliformes
Family Mugilidae
Genus Liza
Spesies subviridis (Valenciennes 1836).
Ikan belanak L. subviridis yang biasa dikenal dengan nama Greenback
mullet, dicirikan dengan tubuh bagian atas berwarna putih kehijauan dan
cenderung abu-abu, sisi samping perutnya berwarna putih keperakan dengan
sirip dada yang relatif pendek dan sirip ekornya berbentuk huruf 'V' besar, kepala
bagian atas agak rata, bibir tipis serta lembut (Gambar 2).
Gambar 2 Ikan belanak, Liza subviridis (Valenciennes 1836).
Ikan belanak, L. subviridis dari famili mugilidae penyebarannya luas dan
mampu bertoleransi pada kondisi yang ekstrim terhadap salinitas, suhu dan juga
dapat menyesuaikan terhadap keadaan makanan di berbagi macam habitat,
tersebar di estuari dan perairan pantai tropik dan subtropik. Famili ini
diperkirakan mempunyai 64 spesies (Tomson 1964, diacu dalam Effendie 1984).
Di Indonesia terdapat 21 spesies (Weber dan de Beaufort 1922, diacu dalam
Ikan belanak adalah sejenis ikan yang banyak dijumpai di perairan laut
tropik dan subtropik yang bentuknya hampir menyerupai bandeng. Secara umum
bentuknya memanjang agak langsing dan gepeng. Sirip punggung terdiri dari satu
jari-jari keras dan delapan jari-jari lemah. Sirip dubur berwarna putih kotor terdiri
dari satu jari-jari keras dan sembilan jari-jari lemah. Bibir bagian atas lebih tebal
daripada bagian bawahnya ini berguna untuk mencari makan di dasar/organisme
yang terbenam dalam lumpur (Kriswantoro dan Sunyoto 1986). Ciri lain dari ikan
belanak yaitu mempunyai gigi yang amat kecil, tetapi kadang-kadang pada
beberapa spesies tidak ditemukan sama sekali.
Ikan belanak secara ekologis sangat penting dalam rantai makanan yang
berperan dalam transfer energi dalam kehidupan di perairan estuari. Ikan belanak
setiap hari mengkonsumsi sisa tanaman yang mati, detritus, sedimen berpasir,
memakan epifit dan epifauna dari padang lamun juga mencernakan buih
permukaan berisi microalgae. Jumlah kandungan pasir dan detritus dalam isi perut
meningkat dengan meningkatnya ukuran panjang tubuhnya, menunjukkan lebih
banyak makanan dicernakkan dari dasar substrat ketika ikan menjadi dewasa.
Carl Linnaeus, seorang naturalis berkebangsaan Swedia, mula-mula
menggambarkan ikan belanak (mullet) yang berbelang sebagai Mugil cephalus
dalam tahun 1758. Disebut Mugil berasal dari bahasa Latin "mugil" artinya seekor
ikan, mungkin ikan mullet. Beberapa nama sinonim yang mengacu pada Liza
subviridis antara lain : Chelon subviridis, Ceramensis liza, Liza ceramensis, Liza
dussumieri, Liza melinopterus, Liza parmatus, Liza parsia, Mugil alcocki, Mugil
dussumieri, Mugil javanicus, Mugil jerdoni, Mugil melinopterus, Mugil stevensi,
Mugil subviridis, Mugil sundanensis, Mugil tadopsis.
Beberapa nama yang umum digunakan dalam bahasa Inggeris yaitu striped
mullet, black mullet, black true mullet, bright mullet, bully mullet, callifaver
mullet, common grey mullet, common mullet, flathead grey mullet, flathead
mullet, gray mullet, haarder, hardgut mullet, mangrove mullet, mullet, river
2.1.1 Habitat dan daerah sebaran
Ikan Belanak adalah jenis ikan yang hidup di perairan pantai, sering kali
masuk di perairan laguna, muara-muara dan air tawar. Sifatnya yang selalu hidup
bergerombol di perairan pantai yang dangkal untuk mencari makan. Makanannya
berupa mikro alga, zooplankton dan material detritus. Ikan belanak juga
memakan pasir dan lumpur. Djajadiredja dan Purnomo (1974), diacu dalam
Effendie (1984) mengemukakan bahwa jenis mugilidae yang dominan dijumpai
di perairan Indonesia adalah L. subviridis. Ikan belanak jenis ini juga banyak
dijumpai di perairan Thailan, Filipina dan Malaysia (Chan 1976).
Ikan belanak dewasa dan muda (panjang dari 4 cm-7 cm) memiliki
toleransi pada kadar garam cukup lebar/luas (0 ppt -35 ppt). Setelah besar akan
membentuk gerombol/kelompok besar pada daerah permukaan pantai berlumpur,
berpasir dan perairan yang berhutan mangrove. Ikan belanak dalam kelompok
yang besar akan beruaya ke lepas pantai untuk bertelur. Larvanya akan bergerak
ke perairan pantai dangkal dan bervegetasi yang kaya akan makanan serta
menghindari predator. Ikan belanak seringkali melompat ke permukaan air
diduga karena menghindar dari pemangsa, namun kemungkinan lainnya adalah
karena ikan ini waktunya lebih banyak dihabiskan pada daerah dengan kelarutan
oksigen yang rendah.
Ikan belanak tersebar di perairan tropik dan subtropik (FAO 1974, diacu
dalam Adrim et al. 1988), ditemukan di air payau dan kadang-kadang di air
tawar. Tersebar di Indo-Pasifik dari Laut Merah sampai Samoa, ke utara menuju
Jepang. Di kawasan Pasifik ikan belanak ditemukan di Fiji, Samoa, New
Caledonia dan Australia. Di Asia, banyak ditemukan di Indonesia, India,
Philipina, Thailan, Malaysia dan Srilangka.
2.1.2 Ontogenetik makanan ikan belanak
Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh ikan belanak sangat
erat kaitanya dengan upaya untuk mencari kondisi terbaik bagi kelangsungan
hidupnya. Pada dasarnya pemanfaaan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh
ikan belanak biasanya disesuaikan dengan orientasi untuk mencari makan,
memanfaatkan habitat mangrove sesuai dengan tahap perkembangannya. Dapat
dikatakan bahwa keterkaitan antara perkembangan ontogenetik ikan belanak
dengan pemanfaatan ekositem mangrove sebagai habitatnya sangat erat.
Dalam pola pemanfaatan habitat, ikan yang berukuran kecil akan
membutuhkan kondisi yag lebih spesifik bila dibandingkan dengan ikan yang
sudah besar (Reichard et al. 2002). Misalnya ikan belanak yang berada pada
stadia larva maka kehadirannya di ekoistem mangrove lebih ditujukan untuk
mendapatkan perlindungan dan kecocokan makanan sesuai dengan bukaan
mulutnya. Sementara pada ikan dewasa penempatan habitat lebih ditujukan
untuk mencari makan, sehingga ekosistem mangrove yang dipilih merupakan
habitat dengan ketersediaan makanan yang melimpah.
Diketahui ikan belanak adalah suatu jenis ikan yang hidup di perairan
pantai, sering masuk di perairan muara dan air tawar. Dalam siklus hidup ikan
belanak berbagai variasi strategi telah dikembangkan dan seringkali
menunjukkan fleksibilitas fenotipik dalam merespon pola dan proses faktor
-faktor abiotik dan biotik. Strategi yang digunakan menggambarkan pola
perpindahan ikan belanak berdasarkan ruang dan waktu (misalnya migrasi
pemijahan dari daerah laut lepas menuju habitat pengasuhan di daerah pantai).
Ikan belanak saat juvenil kebiasaan makanannya berbeda dengan ikan
belanak yang dewasa. Perubahan ontogenetik dalam variasi makanan yang
terjadi berhubungan dengan habitatnya di estuari, saat juvenil ke remaja atau
dewasa meninggalkan daerah estuari yang berhubungan dengan perubahan
morfologi rahang atau gigi atau ukuran.
Ikan pemakan makro dan mikrobentik dan detritus seperti ikan belanak,
akan mengalami perubahan pada jenis makanannya selama proses pertumbuhan,
hal ini disebabkan : 1) perubahan ukuran mulut, ukuran bukaan mulut akan
berubah sejalan dengan perubahan ukuran ikan, dengan demikian ukuran yang
dapat dimakan ditentukan oleh ukuran bukaan mulut, 2) selera serta kebutuhan
ikan, dan 3) kemampuan dalam mencerna suatu material makanan.
Bertambahnya umur ikan serta makin sempurnanya organ-organ tubuh maka ikan
akan merubah makanannya sesuai dengan kebutuhan, yang berarti bahwa
tingkat pertumbuhannya atau kelompok ukuran, dan 4) ketersediaan makanan di
dalam perairan, ditentukan oleh kehadiran dan kelimpahan relatif dari tipe
makanan tertentu.
Blaber (1997) mengemukakan bahwa juvenil ikan belanak mengalami
perubahan ontogenetik antara ukuran 10 dan 50 mm dan setelah dewasa
makanannya tidak lagi mengalami perubahan. Di estuari makanannya
mengalami perubahan; ukuran 10-15 mm dari pemakan zooplankton menjadi
pemakan bentik zooplankton, ukuran 10-20 mm pemakan meiobentos, ukuran
15-25 mm pemakan meiobentos pada partikel pasir dan mikrobentik. Setelah
berukuran 40 mm, makanannya tidak lagi mengalami perubahan yaitu hanya
mengkonsumsi mikrobentik namun pada saat matang gonad pada ukuran 23 cm
makanannya didominasi oleh detritus.
Ikan belanak sebagai pemakan detritus dari tanaman, cara mengambil
makanannya sangat khas. Ikan belanak yang berukuran sampai 30 mm sebagai
pemakan larva nyamuk, copepoda dan zooplankton. Effendie (1997)
mengemukakan bahwa ikan belanak pada ukuran dewasa mengambil makanannya
atau memilih makanannya dengan tiga cara yaitu:
1. Menghisap lapisan atas permukaan air dengan menonjolkan mulutnya untuk
memakan mikro alga,
2. Sambil berenang melakukan penghisapan bagian atas permukaan lumpur, dan
3. Untuk makan butiran pasir, ikan menukikan tubuh dan kepalanya membentuk
sudut 15–20 derajat sambil menonjolkan premaxilla.
Spesialisasi kebiasaan makanan ikan tidak terlepas dari kualitas dan
kuantitas makanan yang akan dimakan serta bagaimana cara pengambilan
makanan tersebut di dalam perairan. Hal tersebut disebabkan kebiasaan atau
kesukaan ikan terhadap macam-macam makanan yang ada di perairan
berhubungan dengan morfologi fungsional dari tengkorak, rahang dan alat
pencernaan makanan suatu jenis ikan yang merupakan faktor pembatas dari
kebiasaan makan yang timbul selama masa pertumbuhan ikan.
Proses pencernaan di lambung dilakukan pada ikan ada yang kimiawi dan
ada pula pencernaan secara mekanik juga dilakukan di lambung. Pada ikan
sering disebut gizzard atau lambung khusus (Fujaya 2004). Ikan belanak sebagai
pemakan detritus yang banyak berasal dari serasah mangrove yang memiliki
kandungan selulosa yang tinggi dan sulit dicerna.
Pada ikan belanak bagian pylorus dan lambung membesar
(menggelembung) dan menebal akibat terjadi penebalan otot melingkarnya dan
pada bagian epitelumnya sering terdapat lapisan yang mengeras seperti zat tanduk.
Untuk memudahkan pencernaan, lambung ikan belanak bermodifikasi
menjadi alat penggiling, yang disebut gizzard. Gizzard yang dindingnya tebal dan
berotot berfungsi untuk menggerus makanan. Dalam proses penggiligan makanan
dalam gizzard menggunakan pasir. Pasir dalam lambung bertindak sebagai “gigi”
untuk memotong dan menggiling makanan dengan demikian sangat membantu
pencernaan.
Affandi et al. (2009) mengemukakan bahwa pada bagian gizzard tidak
terdapat kelenjar macam apapun, sehingga gizzard benar benar berfungsi untuk
menggerus makanan (pencernaan secara fisik). Gizzard merupakan kompensasi
ketidaksempurnaan atau ketidak beradaan gigi pada rongga mulut. Gizzard ini
dianggap sebagai lambung khusus pada golongan ikan mikrofagus (makanannya
berukuran kecil).
2.2 Ekosistem Mangrove
Kata “mangrove” berkaitan sebagai tumbuhan tropis yang komunitas tumbuhnya didaerah pasang surut dan sepanjang garis pantai (seperti : tepi pantai,
muara laguna dan tepi sungai) yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut.
Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang
membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut.
Snedaker (1978) mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah kelompok
jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis
yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan
bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Aksornkoe (1993)
mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang
hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi) yang hidup disepanjang
areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati
Nybakken (1992) mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah sebutan
umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai
tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau
semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Hutan mangrove dapat dijumpai di daerah tropik dan sub tropik yang
hidupnya berkembang baik pada temperatur dari 19 oC sampai 40 oC, dengan toleransi fluktuasi suhu tidak lebih dari 10 oC. Berbagai jenis tanaman bakau yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke zona berair laut,
merupakan suatu ekosistem yang khas, karena bertahan hidup di dua zona transisi
antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan.
Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi garda depan garis pantai
yang secara kolektif disebut hutan mangrove, memberikan perlindungan kepada
berbagai organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan
berkembang biak.
Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin juga
merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia,
amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain
menyediakan keanekaragaman hayati, ekosistem bakau juga sebagai plasma
nutfah dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya.
Melalui kelenjar garamnya, beberapa spesies mangrove menghasilkan
sistem yang memungkinkan mereka untuk tumbuh pada kondisi berkadar garam
tinggi. Avicennia, Aegiceras, Acanthus dan Aegalitis dapat mengontrol
keseimbangan garam dengan mengeluarkan garam dari kelenjar tersebut
(Tomlinson 1986). Sebagian kelenjar garam terdapat dipermukaan daun yang
tampak berkristal dan mudah diamati. Spesies lain seperti Rhizopora spp.,
Bruguiera spp., Ceriops spp., Sonneratia spp. dan Lumnitzera spp. dapat
mengontrol keseimbangan garam dengan menggugurkan daun tua yang
mengandung garam yang terakumulasi, atau dengan melakukan tekanan osmotic
akar. Struktur, fungsi ekosistem, komposisi dan distribusi spesies dan pola
pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan
diantaranya; Fisiografi pantai, iklim, pasang surut, gelombang/arus, salinitas,
2.2.1 Jenis dan Penyebaran Mangrove
Chapman (1975) mengemukakan bahwa ada 90 jenis tumbuhan mangrove
utama di dunia. Hutan mangrove di daerah Indo-Pasifik mempunyai keanekaragaman
jenis yang lebih tinggi (63 jenis) dibanding dengan hutan mangrove di Amerika dan
Afrika bagian Barat (43 jenis). Sedangkan daerah-daerah dari bagian ekuator dari
Asia Timur jauh mempunyai hutan mangrove dengan keanekaragaman jenis yang
lebih tinggi dibandingkan dengan hutan mangrove di daerah manapun juga.
Hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang diurnal memiliki struktur
dan kesuburan yang berbeda dari hutan mangrove yang tumbuh di daerah
semi-diurnal, dan berbeda juga dengan hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang
campuran. Di daerah dengan rentang pasang yang lebar, akar tunjang dari
Rhizophora spp. tumbuh lebih tinggi, sedangkan di daerah yang rentangnya
sempit memiliki akar yang lebih rendah. Aegialites rotundifolia dan Sonneratia
spp. menunjukkan perilaku perakaran yang pneumatoforanya besar, kuat dan
panjang di atas permukaan tanah di zona peralihan pasang.
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam
8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennia, Sonneratia,
Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia,
Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen 2000).
Di Indonesia diperkirakan terdapat 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi
89 jneis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis
epifit dan 1 jenis paku yang terbagi meknadi 2 kelompok yaitu mangrove sejati
(true mangrove) dan mangrove ikutan (asociate) (Khazali et al. 1999). Tomlinson
(1984) membagi flora mangrove menjadi 3 kelompok, yaitu :
a) Kelompok mayor
Komponen ini memperlihatkan karakteristik morfologi, seperti : sistem
perakaran udara dan mekanisme fisiologis khusus untuk mengeluarkan garam
agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan mangrove. Komponennya
adalah pemisahan taksonomi dari hubungan daratan dan hanya terjadi dihutan
mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas kedalam
komunitas daratan. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera,
b) Kelompok minor (tumbuhan pantai)
Dalam kelompok ini tidak termasuk elemen yang mencolok dari tumbuh –
tumbuhan yang mungkin terdapat disekitar habitatnya dan yang jarang
berbentuk tegakan murni.
c) Kelompok asosiasi mangrove
Dalam komponen ini jarang ditemukan species yang tumbuh didalam
komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan
dalam tumbuh – tumbuhan darat.
Komponen mayor dan minor spesies mangrove tumbuh dengan baik tanpa
dipengaruhi oleh kadar garam air. Namun jika air terlalu asin maka pohon
mangrove tidak dapat tumbuh terlalu tinggi. Hal yang harus diperhatikan bahwa
species mangrove dapat tumbuh lebih cepat pada air tawar daripada air yang
mengandung garam (asin).
2.2.2 Manfaat dan fungsi hutan mangrove
Melana et al. (2000) mengemukakan bahwa fungsi hutan mangrove
adalah:
1. Sebagai tempat hidup dan mencari makan berbagai jenis ikan,
kepiting, udang dan tempat ikan-ikan melakukan proses reproduksi,
2. Menyuplai bahan makanan bagi spesies-spesies didaerah estuari yang
hidup dibawahnya karena mangrove menghasilkan bahan organik,
3. sebagai pelindung lingkungan dengan melindungi erosi pantai dan
ekosistemnya dari tsunami, gelombang, arus laut dan angin topan,
4. sebagai penghasil biomas organik dan penyerap polutan disekitar
pantai dengan penyerapan dan penjerapan,
5. sebagai tempat rekreasi khususnya untuk pemandangan kehidupan
burung dan satwa liar lainnya,
6. sebagai sumber bahan kayu untuk perumahan, kayu bakar, arang dan
kayu perangkap ikan,
7. tempat penagkaran dan penangkapan bibit ikan, dan
Bengen dan dutton (2004) mengemukakn bahwa hutan mangrove memiliki
fungsi :
1. Peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan
lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, dan
2. Penghasil sejumlah detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan
pohon mangrove yang rontok. Detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan
makanan bagi pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan oleh bakteri
menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan.
Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove
menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi
nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam
perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien
baik nutrien organik maupun anorganik. Dengan rata-rata produksi primer yang
tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan
lainnya. Mangrove menyediakan tempat perkembang-biakan dan pembesaran
bagi beberapa spesies hewan khususnya udang, sehingga biasa disebut “tidak ada mangrove tidak ada udang” (Macnae 1968).
Turner (1977) mengemukakan bahwa disamping fungsi hutan mangrove
sebagai 'waste land' juga berfungsi sebagai kesatuan fungsi dari ekosistem estuari
yang bersifat: Sebagai daerah yang menyediakan habitat untuk ikan dan udang
muda serta biota air lainnya dalam suatu daerah dangkal yang kaya akan makanan
dengan predator yang sangat jarang. Sebagai tumbuhan halofita, mangrove
merupakan pusat penghisapan zat-zat hara dari dalam tanah, memberikan bahan
organik pada ekosistem perairan. Merupakan proses yang penting dimana
tumbuhan menjadi seimbang dengan tekanan garam di akar dan
mengeluarkannya. Hutan mangrove sebagai penghasil detritus atau bahan organik
dalam jumlah yang besar dan bermanfaat bagi mikroba dan dapat langsung
dimakan oleh biota yang lebih tinggi tingkat. Pentingnya 'detritus food web'
Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut,
mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan
mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Rata-rata
produksi primer yang tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi
ikan, kerang dan lainnya. Nilai produktivitas primer hutan mangrove adalah 20
kali lebih besar dari pada produktivitas laut dalam dan 5 kali lebih besar pula
berbanding dengan kawasan perairan pantai (Soeroyo 1988).
Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan
unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat
asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber
makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk
partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah
mangrove (seperti daun, ranting dan bunga).
Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat
kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme
pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen
primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh
ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator
besar yang membentuk konsumen tingkat tiga Singkatnya, hutan mangrove
berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis
komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus
hidupnya.
Dari sudut fungsi ekologis dan ekonomi, mangrove tak ternilai harganya.
Berbagai biota pesisir dan laut (ikan, udang, kerang, dan lain-lain) menjadikan
kawasan hutan mangrove sebagai daerah pemijahan/bertelur (spawning ground).
Mangrove juga menjadi kawasan tempat berlindung (nursery ground) untuk tumbuh
dan berkembangnya berbagai biota. Dedaunan, ranting, dan bagian lainnya yang
menjadi sampah dan jatuh ke air tidak sia-sia, bahkan menjadi unsur hara yang amat
Jaringan sistem akar memberikan banyak nutrien bagi larva dan juvenil
ikan, juga menghidupkan komunitas invertebrata laut dan algae. Sebagai
gambaran tentang tingginya produktivitas habitat pantai berbakau ini, dikatakan
bahwa satu sendok teh lumpur dari daerah bakau di pantai utara Queensland
(Australia) mengandung lebih dari 10 milyar bakteri, suatu densitas bakteri
tertinggi di dunia.
Peran terpenting dari pohon mangrove adalah serasah daun yang jatuh ke
dalam air. Serasah ini merupakan sumber bahan organik yang penting dalam
rantai makanan yang bisa mencapai 7 – 8 ton /ha/tahun. Sumber kesuburan
di sekitar hutan mangrove tergantung pada serasahnya. Mangrove mempunyai
nilai produksi bersih (NPB), yakni biomassa (62.9 – 398.8 ton/ha), guguran
serasah (5.8 – 25.8 ton/ha/tahun), pada hutan tanaman mangrove umur 20 tahun.
Besarnya nilai produksi primer pada hutan mangrove cukup berarti bagi
penggerak rantai pangan kehidupan jenis organisme akuatik di pesisir. Dalam
satu kilometer bujur sangkar, hutan mangrove menyumbangkan kurang lebih
600 ton material tanaman setiap tahun ke dalam rantai makanan di perairan
estuari. Mengingat beberapa fungsi dan manfaat penting kawasan mengrove, perlu
diterapkan serta digalakkan prinsip save it (lindungi), study it (pelajari), dan use it
(manfaatkan). Untuk itu, diperlukan faktor-faktor pendukung agar pemanfaatan
kawasan mangrove berjalan sesuai dengan tujuan pengelolaan mangrove yang lestari.
2.2.3 Produktivitas dan Serasah Mangrove
Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa ada 7 (tujuh) faktor penting
yang menentukan produktifitas tumbuhan mangrove, yang selanjutnya dibagi atas
dua kelompok utama, yakni:
A. Fluktuasi pasang, terdiri dari empat faktor:
(1) Transpor oksigen sistem perakaran,
(2) Air tanah dan jumlah pertukaran air yang digunakan untuk menghalau
zat racun sulfit,
(3) Arus pasang surut dan pengaruhnya terhadap deposisi dan erosi substrat
dasar, dan
(4) Fluktuasi air yang berkaitan dengan keberadaan unsur hara di daerah
B. Kimia air, terdiri dari tiga faktor:
(1) Kandungan garam (salinitas) pada substrat dasar dan kemampuan
daun-daun bertahan,
(2) Kandungan unsur hara makro (makro nutrien) dalam tanah, dan
(3) Jumlah aliran permukaan (surface run-off) yang membawa unsur hara
makro dari tanah.
Eong et al. (1983), diacu dalam Hilmi (2003) mengemukakan bahwa
produktivitas primer adalah produktivitas primer bersih ditambah respirasi.
Produktivitas primer perairan dinyatakan sebagai berat dari fiksasi karbon/unit
volume atau perunit luas permukaan/waktu. Pada produktivitas primer proses
fotosintesis merupakan suatu proses yang sangat efisien yang dapat mengabsorbsi
energi sekitar 95 - 99 %. Energi yang disimpan akan membentuk biomassa.
Sedangkan produktivitas primer bersih adalah nilai total energi yang disimpan
perunit luas per waktu.
Komponen-komponen produksi primer bersih adalah keseluruhan dari organ
utama tumbuhan meliputi daun, batang dan akar. Selain itu, tumbuhan epifit
seperti alga pada pneumatofor, dasar pohon dan permukaan tanah juga
memberikan sumbangan kepada produksi primer bersih (Nirwani 1999).
Clough (1986), diacu dalam Nirwani (1999) mengemukakan bahwa
produksi primer bersih mangrove berupa materi yang tergabung dalam biomassa
tumbuhan yang selanjutnya akan lepas sebagai serasah atau dikonsumsi oleh
organisme heterotrof atau dapat juga dinyatakan sebagai akumulasi materi
organik baru dalam jaringan tumbuhan sebagai kelebihan dari respirasi yang
biasanya dinyatakan dalam berat kering materi organik.
Sebagai produser primer, mangrove memberikan sumbangan berarti
terhadap produktivitas pada ekosistem estuari dan perairan pantai melalui siklus
materi yang berdasarkan pada detritus atau serasah (Head 1969, diacu dalam
Nirwani 1999). Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem mangrove
dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk
Serasah adalah bahan organik dari bagian pohon yang mati yang jatuh di
lantai-hutan (daun, ranting dan alat reproduksi). Produksi serasah adalah berat
dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah
pada suatu waktu.
Brown (1984) mengemukakan bahwa serasah adalah guguran struktur
vegetatif dan reproduktif yang disebabkan oleh faktor ketuaan, stress, faktor
mekanik (misalnya angin), ataupun kombinasi dari keduanya dan kematian serta
kerusakan dari keseluruhan tumbuhan oleh iklim (hujan dan angin). Produksi
serasah diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen dari produksi
primer bersih yang dapat terakumulasi pada dasar hutan yang selanjutnya
mengalami remineralisasi melalui tahapan-tahapan dekomposisi.
Daun-daun mangrove yang jatuh didefinisikan oleh Chapman (1976)
sebagai bobot materi tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan
tanah dalam periode waktu tertentu. Produksi serasah dapat diketahui dengan
memperkirakan komponen-komponen dari produksi primer bersih yang dapat
terakumulasi pada lantai hutan yang selanjutnya mengalami remineralisasi melalui
tahapan-tahapan dekomposisi yang selanjutnya menghasilkan energi potensial
bagi kehidupan konsumer.
Serasah dari pohon mangrove merupakan sumber bahan organik yang
penting. Melalui proses dekomposisi akan dirombak oleh mikroba menjadi energi
dan berbagai senyawa sederhana seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium
dan lain lain (Alrasjid 1988). Sebagian serasah terdekomposisi oleh bakteri dan
fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh
fitoplankton, alga ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses
fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh
ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya (Bengen 2002).
Dari berbagai penelitian mengenai serasah nampaknya terdapat perbedaan
mengenai hasil yang diperoleh di masing-masing tempat. Perbedaan ini disebabkan
faktor-faktor yang mempengaruhi gugur mangrove di setiap tempat tidaklah sama.
Cracc (1964) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gugur
mangrove adalah sebagai berikut: (1) Iklim, (2) Ketinggian tempat, (3) Kesuburan
tanah, (4) Kelembaban tanah, (5) Kerapatan pohon dan bidang dasar, (6) Pengaruh
Besarnya produktivitas serasah pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh
(1) besarnya diameter pohon, (2) produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari
salinitas yang tinggi akibat fluktuasi pasang surut air laut, dan (3) keterbukaan
dari pasang surut dimana makin terbuka makin optimal (Kusmana et al. 2000).
Snedaker (1974), diacu dalam Nirwani (1999) mengemukakan bahwa
produksi serasah daun untuk setiap kawasan mangrove adalah berbeda.
Perbedaan jumlah serasah ini dapat disebabkan oleh adanya beberapa faktor
lingkungan yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban
tanah, kerapatan, musim dan tegakan. Selain faktor-faktor tersebut ketipisan tajuk
dan morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah. Semakin tipis
penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah. Sebutan serasah biasanya
digunakan untuk bahan dalam ekosistem daratan khususnya bahan yang berasal
dari tumbuhan tingkat tinggi, sedang detritus digunakan untuk bahan dalam
ekosistem perairan (Mason 1977).
Lear dan Turner (1977) mengemukakan bahwa bagian terbesar dari serasah
merupakan bahan pokok tempat berkumpulnya bakteri dan fungi. Kemudian
bahan-bahan tersebut mangalami penguraian dan merupakan rantai makanan dari
hewan-hewan laut. Bagian partikel daun yang kaya akan protein ini dirombak oleh bakteri
dan seterusnya dimakan oleh ikan-ikan kecil. Perombakan partikel daun ini akan
berlanjut sampai menjadi partikel-partikel yang berukuran sangat kecil (detritus) dan
akhirnya dimakan oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti moluska dan
krustasea kecil. Selama perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari
serasah sebagian dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton dan sebagian
lagi diabsorbsi oleh partikel sedimen yang menyokong rantai makanan.
Sediadi dan Pamudji (1987) mengemukakan bahwa penimbunan serasah
juga dipengaruhi oleh umur dan jenis tumbuhan mangrove. Mangrove dengan
tegakan tua akan menghasilkan jatuhan serasah lebih banyak, dan tegakan
Rhizophora spp. menghasilkan serasah lebih banyak dibandingkan tegakan
Avicennia spp. Jumlah jatuhan serasah Rhizophora spp. meningkat secara nyata
sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimumnya didapatkan pada
Pelepasan nutrisi selama dekomposisi serasah sangat penting dalam
mempertahankan keberlangsungan siklus nutrisi di lingkungan alam. Dengan
terpeliharanya siklus nutrisi maka pertumbuhan makrofita dapat berlangsung
secara lestari. Produksi hara dalam siklus ini tidak saja sebagai faktor penting
bagi produksi makrofita, akan tetapi juga untuk pertumbuhan plankton pada
perairan pantai yang mempunyai hubungan dengan ekosistem mangrove.
Odum (1971) menggambarkan peranan serasah daun mangrove dalam rantai
[image:39.595.114.514.82.607.2]makanan di daerah Florida Selatan seperti disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Rantai pangan berdasarkan pada daun-daun mangrove yang jatuh ke dalam perairan muara di Florida Selatan (Odum 1971).
Brown (1984) mengemukakan bahwa ada perbedaan antara serasah pada
suatu waktu (litter-layer) dan serasah yang dihasilkan dalam jangka waktu
tertentu (litter-fall) yaitu :
1. Standing crop atau litter-layer (serasah di lantai hutan) merupakan serasah yang
ada pada suatu waktu pada wilayah tertentu dan dinyatakan dalam berat atau
unit energi per area permukaan ( gram/m2, kcal/ha/tahun), dan
2. Produksi litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalan jangka waktu
Turnover rate (rata-rata perputaran unsur hara) dinyatakan sebagai tingkat
total dari sejumlah zat yang dilepas atau yang dimasukkan dalam suatu bagian
untuk suatu periode (misal, gram/ha). Konsep turnover rate berguna
membandingkan tingkat/nilai pertukaran diantara bagian yang berbeda dari suatu
ekosistem. Odum (1971) mendefinisikan Turnover rate sebagai rasio dari
kandungan yang ada (misal rasio produksi serasah terhadap standing crop atau
litter-layer). Serasah yang telah terurai merupakan sumber utama unsur karbon,
nitrogen baik untuk ekosistem hutan itu sendiri maupun ekosistem sekitarnya.
2.2.4 Proses Dekomposisi Serasah
Serasah dari dedaunan mangrove menyumbang unsur hara ke perairan yang
dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Serasah yang kaya unsur hara lebih cepat
terdekomposisi daripada serasah yang mengandung sedikit unsur hara. Residu
tumbuhan yang mempunyai kandungan dinding sel yang tinggi memiliki konsentrasi
unsur hara yang rendah.
Satchell (1974) dan Hornby et al. (1987), diacu dalam Yunasfi (2006)
mengemukakan bahwa dekomposisi adalah kegiatan atau proses penguraian,
pemisahan bahan-bahan organik atau resolusi (dan sesuatu) menjadi
bagian-bagian kecil; hancuran; busuk. Dekomposisi bisa berarti mekanisme
penghancuran st