• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTRIBUSI EKOSISTEM MANGROVE SEBAGAI PEMASOK MAKANAN IKAN BELANAK (Liza subviridis) DI PERAIRAN PANTAI UTARA KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONTRIBUSI EKOSISTEM MANGROVE SEBAGAI PEMASOK MAKANAN IKAN BELANAK (Liza subviridis) DI PERAIRAN PANTAI UTARA KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

KONTRIBUSI EKOSISTEM MANGROVE SEBAGAI

PEMASOK MAKANAN IKAN BELANAK

(Liza subviridis) DI PERAIRAN PANTAI UTARA

KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA

MUHAMMAD RAMLI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: Kontribusi Ekosistem Mangrove Sebagai Pemasok Makanan Ikan Belanak, Liza subviridis di Perairan Pantai Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Muhammad Ramli

(3)

ABSTRACT

MUHAMMAD RAMLI. Contribution of Mangrove Ecosystems as Food Suppliers of Greenback mullet (Liza subviridis) on the north coast Waters of South Konawe, Southeast Sulawesi. Supervised by DIETRIECH G BENGEN, RICHARDUS F. KASWADJI and RIDWAN AFFANDI.

The most important ecological functions of mangrove forests are nutrient cycles and energy flows. Mangrove litter fall in the water decomposed by microorganisms that produce nutrients (partly in the form of particles of litter (detritus)) are utilized by fish, shrimp and crabs as food (Bengen 2000; Bengen and Dutton 2004).

Mangrove leaf is the largest part of litter primary production available to consumers contributed significantly to the food chain in the coastal fishery resources (Lee 1995; Ananda et al. 2007; Berg and McClaugherty 2008). The amount and quality of the mangrove detritus are based on the dominant mangrove species in the ecosystem. A kind of fish that make use of detritus in a mangrove ecosystem as a food source (energy) is the Greenback mullet (L.subviridis) from mugilidae family.

This study aims to determine the contribution of mangrove forests as a detritus supplier served as food and energy sources of mullet (L. subviridis) on the north coast of South Konawe.

The research was carried out for six months from May - October 2011 on the north coast of South Konawe Southeast Sulawesi, covering Landipo Estuaryne waters and Oyster Cape. Data collection of mangrove species at each stationwas was done using Line transect plots with a size of 10 mx 10 m for tree and 5m x 5m for the pups (Bengen 2001).

Production of detritus derived from mangrove litter was carried out by inserting as many as 10 grams of leaf litter in litter bags measuring 20 cm x 30 cm made of nylon with a mesh size of 2 mm. Then, the bags were put into other plastic bags with small holes in some parts so the waste products of decomposition in the bag will not go out making calsulation easy.

The fish were collected using varying mesh size of monofilament gill nets. Biological parameters measured were feeding habits, condition factor, hepto and Gonado somatic index.

Macronutrients of the detritus were determined by proximate analysis. Variations in water chemistry and physics variables were analyzed using Principal Component Analysis (PCA). Distribution of detritus production between stations were analyzed using Correspondent Analysis (CA) (Lagendre and Lagendre 1983; Bengen 2000).

The results showed that the total energy generated by Rhizophora apiculata detritus was greater than Sonneratia alba detritus. Detritus of Rhizophora apiculata contribute better to the condition factor, Gonado and Hepato-Somatic Index of mullet fish (Liza subviridis) than detritus of Sonneratia alba on the north coast of South Konawe.

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD RAMLI. Kontribusi Ekosistem Mangrove sebagai Pemasok Makanan Ikan Belanak (Liza subviridis)di Perairan Pantai utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh DIETRIECH G BENGEN, RICHARDUS F. KASWADJI dan RIDWAN AFFANDI.

Fungsi ekologis terpenting dari hutan mangrove adalah dalam siklus nutrien dan aliran energi, dimana mangrove merupakan penghasil serasah yaitu materi organik yang telah mati yang terdapat di lantai hutan yang tersusun atas tumbuhan mati. Serasah mangrove yang jatuh di perairan mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme yang menghasilkan zat hara (nutrient), dan sebagian lagi berupa partikel serasah (detritus) yang dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya (Bengen 2000). Detritus inilah yang merupakan sumber makanan dan energy bagi berbagai biota perairan termasuk berbagai juvenile, larva ikhtiofauna, krustacea serta kerang (shellfish) (Bengen dan Dutton 2004).

Daun mangrove merupakan bagian terbesar dari produksi primer serasah yang tersedia untuk konsumen dan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap rantai makanan dan sumberdaya perikanan di pesisir (Lee 1995; Ananda et al. 2007; Berg dan McClaugherty 2008)

Besarnya sumbangan detritus dari ekosistem mangrove berkaitan dengan proses dekomposisi serasah dalam ekosistem mangrove. Melalui proses ini hara dalam jumlah yang cukup besar dapat dihasilkan (Valk dan Attiwill 1984).

Hutan mangrove sebagai penghasil detritus yang merupakan sumber makanan bagi organisme laut. Salah satu jenis ikan yang memanfaatkan detritus dalam ekosistem mangrove sebagai sumber makanan (energi) adalah ikan belanak (Liza subviridis) dari famili mugilidae. Ikan belanak secara ekologis sangat penting dalam rantai makanan yang berperan dalam transfer energi dalam kehidupan di perairan estuari.

Diduga, jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan dari hutan mangrove didasarkan pada jenis mangrove. Persentase dan total energi detritus yang dihasilkan akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ikan belanak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi hutan mangrove sebagai pemasok detritus sebagai sumber makanan dan energi ikan belanak (Liza subviridis) di pesisir utara Konawe Selatan.

Penelitian dilaksanakan selama enam bulan dari bulan Mei 2011 sampai dengan Oktober 2011 dengan lokasi di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara, meliputi perairan Muara Landipo dan Tanjung Tiram. Pengumpulan data jenis mangrove di setiap stasiun dilakukan dengan menggunakan Transect Line Plots dengan ukuran transek 10 m x 10 m untuk pohon dan 5m x 5m untuk anakan (Bengen 2001).

Mengumpulkan guguran serasah dalam waktu tertentu menggunakan jaring perangkap serasah berukuran 100 cm x 100 cm dengan ukuran mata jaring 1.50 mm x 1.50 mm. Serasah yang tertampung dalam perangkap serasah dikumpulkan setiap 15 hari selama 6 bulan. Penentuan berat kering dilakukan dengan

(5)

mengeringkan sampel ke dalam oven pada suhu 70 0C selama 4 hari atau sampai berat sampel tersebut konstan.

Penghitungan laju dekomposisi dilakukan dengan memasukkan serasah daun sebanyak 10 gram ke dalam kantong serasah (berukuran 20 cm x 30 cm) Kantong-kantong tersebut diikatkan pada akar atau pangkal batang vegetasi mangrove agar tidak hanyut atau hilang terbawa arus pasang surut. Pengambilan sampel dan pengukuran laju dekomposisi dilakukan selang waktu 15 hari setelah perendaman yaitu hari ke 15, hari ke 30, hari ke 45, hari ke 60 dan hari ke 75. Serasah yang tersisa dalam kantong dibersihkan dari lumpur yang masih melekat, selanjutnya dikeringkan lagi dalam oven pada suhu 70 oC selama 4 hari atau sampai berat sampel konstan.

Produksi detritus yang dihasilkan dari serasah mangrove, dilakukan dengan meletakkan atau memasukkan serasah daun sebanyak 10 gram ke dalam kantong serasah (litter-bag) yang berukuran 20 cm x 30 cm yang terbuat dari nilon dengan mesh 2 mm. Selanjutnya kantong-kantong tersebut dimasukkan lagi kedalam kantong plastik yang telah diberi lubang kecil pada beberapa bagian sehingga sisa hasil dekomposisi dalam kantong tidak akan keluar.

Untuk menentukan kondisi kualitas perairan di setiap lokasi pengamatan digunakan cara skoring indeks kualitas lingkungan (IKL) yang dimodifikasi dari indeks kualitas air mengacu kepada Ramakrishnaiah et al. (2009). Untuk mengumpulkan ikan belanak di lokasi penelitian digunakan gill net atau jaring insang monofilamen dengan ukuran mata jaring yang bervariasi. Parameter biologi ikan yang diukur meliputi kebiasaan makan, faktor kondisi, gonado somatik indeks dan hepto somatik indeks.

Untuk mendapatkan data mengenai makronutrien dari bahan sampel (detritus), maka dilakukan analisis proksimat untuk menggolongkan komponen yang ada pada detritus berdasarkan komposisi kimia dan fungsinya. Analisis proksimat dilakukan dengan menentukan persentase komponen protein, lemak dan karbohidrat. Nilai dari komponen tersebut, selanjutnya dikalikan dengan equivalensi energinya (Nurjana 2010) yaitu menggunakan sistem Atwater, dimana equivalensi energi untuk protein sebesar 5.65 kcal/gram, karbohidrat 4.2 kcal/gram, dan lemak sebesar 9.4 kcal/gram (Sediatama 1987).

Untuk menentukan variasi variabel fisika kimia perairan antar stasiun pengamatan digunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA). Untuk mengetahui sebaran produksi detritus antar stasiun pengamatannya digunakan Analisis Faktorial Koresponden (Correspondent Analysis, CA) (Lagendre dan Lagendre 1983; Bengen 2000).

Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa total energi detritus yang dihasilkan jenis mangrove Rhizophora apiculata lebih besar dari detritus yang dihasilkan jenis mangrove Sonneratia alba di perairan pesisir Utara Konawe Selatan. Detritus mangrove jenis Rhizophora apiculata berkontribusi lebih baik terhadap Faktor Kondisi, Gonado Somatik Indeks dan Hepato Somatik Indeks ikan belanak (Liza subviridis) dibanding detritus jenis mangrove Sonneratia alba di pesisir utara Konawe Selatan.

Kata Kunci: Ekosistem mangrove, jenis vegetasi, detritus, makanan, ikan belanak.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

(7)

KONTRIBUSI EKOSISTEM MANGROVE SEBAGAI

PEMASOK MAKANAN IKAN BELANAK

(Liza subviridis) DI PERAIRAN PANTAI UTARA

KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA

MUHAMMAD RAMLI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(8)

Ujian Tertutup : Senin, 07 November 2011

Penguji Luar Komisi :

1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc.(Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB) 2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. (Staf Pengajar FPIK IPB)

Ujian Terbuka : Jumat, 06 Januari 2012

Panguji Luar Komisi :

1. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedarma, DEA. (Guru Besar FPIK IPB)

2. Dr. Ir. Toni Ruchimat, M.Sc. (Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan).

(9)

Judul Disertasi : Kontribusi Ekosistem Mangrove Sebagai Pemasok Makanan Ikan BelanaK, Liza subviridis di Perairan Pantai Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.

Nama : Muhammad Ramli

NIM : C 561060051

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen, DEA Ketua

Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr

(10)

“Kupersembahkan Disertasi ini kepada Agamaku, Bangsa dan Negaraku, Kedua Orang Tuaku yang telah tiada, Isteri dan anak anakku tercinta yang telah menjadi semangatku”

Sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu berdasarkan kodratnya dan masing-masing ciptaan-Nya memiliki nilai manfaat.

(11)

PRAKATA

Tiada kata yang terindah untuk diucapkan selain ucapan Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang memberikan rahmat dan rahim-Nya sehingga penulis dapat menyelesasikan disertasi ini. Penelitian ini berjudul “ Kontribusi Ekosistem Mangrove Sebagai Pemasok Makanan Ikan Belanak (Liza subviridis) Di Perairan Pantai Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara”.

Dalam penyelesaian tulisan ini, berbagai pihak telah banyak membantu dalam proses pneyelesaian tulisan ini oleh karena itu perkenankanlah penulis pada kesempatan ini menghaturkan terimakasih yang berlimpah kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen DEA selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan curahan ilmu, waktu dan motivasi yang luar biasa sehingga mampu memberikan pencerahan dan pembelajaran yang sangat berarti bagi penulis

.

2. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA. Selaku anggota komisi. Disela pembimbingan, beliau memberi pencerahan tentang tauhid, kecintaan terhadap keluarga, masyarakat, agama. Saya menemukan idealisme, keramahtamahan, dan proses penciptaan karya yang luar biasa. masukan yang sangat berarti selama proses penulisan disertasi ini.

3. Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc., selaku anggota komisi yang telah memberikan bimbingan, masukan, semangat dan arahan dan motivasi selama penyusunan disertasi ini. Tetap mampu mengambangkan idealisme keilmuannya selama proses pembimbingan.

4. Bapak Rektor Universitas Haluoleo, Dekan Fakultas Pertanian dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor (S3) pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

5. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Ilmu Kelautan yang telah memberi kesempatan penulis untuk mengikuti kuliah pada Sekolah Pascasarjana IPB.

6. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelutan Institut Pertanian Bogor beserta stafnya yang telah menyediakan sarana pendidikan (kuliah, praktikum, dan rapat-rapat komisi) dalam rangka pnyelesaian studi ini.

7. Ibu Dr.Ir. Neviaty Zamani, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kelautan beserta staf yang banyakmembantu penulis dalam hal administrasi akademik selama menempuh studi.

8. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang telah memberikan bantuan penelitian dalam penyelesaian disertasi ini.

9. Program Mitra Bahari – Coremap II yang telah memberikan bantuan beasiswa penulisan disertasi

10. Rekan-rekan mahasiswa IKL (Bintang Marhaeni, Miswar Budi Mulya, Suryo, Herlisman dan Ngadiran) atas dukungan, semangat dan kebersamaannya.

(12)

11. Project Management Unit, The Development and UpGrading of Haluoleo University Project Islamic Development Bank (IDB) Loan 105 & IND-106. Yang telah membiayai studi program Doktor (S3) saya selama 2.5 tahun. 12. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang telah memberikan bantuan

penelitian dalam penyelesaian disertasi ini.

13. Program Mitra Bahari – Coremap II yang telah memberikan bantuan beasiswa penulisan disertasi. Terimakasih kepada bapak Ir Abdul Hamid, M.Si. selaku ketua Regional centre Mitra Bahari Sulawesi Tenggara.

14. Kepala Laboratorium Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Kepala laboratorium FMIPA Universitas Haluoleo yang telah memberikan fasilitas dan membantu analisis sampel air, detritus dan ikan selama penelitian.

15. Dr. Ir. Andi Irwan Nur, MES, Drs. Amirullah, M.Si, Drs. Parakasi, M.Si. Ir. La Anadi, M.Si. Taswin Munier, S.Pi. MES, La Ode Afa, SP. M.Si. Bahtiar, S.Pi. M.Si. Asmadin, S.Pi. M.Si. Akhmad Mansur, SP. M.Si. Terima kasih atas kebersamaan, kedekatan dan gurauan yang hangat, memberikan support, doa dan semangat yang tiada henti.

16. Kakanda saya (Zainal Abidin sekeluarga), adinda Thamrin, Fachri adil, Nurida, Muh Jufri, Nurhayati dan Nurlia sekeluarga. Terima kasih atas bantuan materi dan doanya.

17. Ayahanda (Facharuddin Tahaq) dan Ibunda tercinta dan tersayang (Sitti Yalia), yang selalu menasehati penulis saat masih kecil “Pendidikan adalah harta warisan yang tidak akan pernah dicuri orang” ketika penulis kadang bolos dari sekolah. Insipirasi ibundalah yang senantiasa hadir dalam benak dan pikiran saya selama menempuh pendidikan sejak dari S1 hingga S3. 18. Pencapaian ini secara khusus saya dedikasikan buat Isteri tercinta, Suprihaty

Prawaty Nengtias serta anak anakku tersayang, Nuralam Pradana, Nuralim Pratama, Muhammad Iqbal dan Nur Rahma Aulia yang senantiasa memberikan doa, dorongan semangat, materi dan cinta kasih yang merupakan sumber energy tiada henti.

19. Semua pihak yang telah memberikan dukungandan bantuan dengan caranya masing-masing.

Semoga semua bantuan dan doa yang telah disampaikan untuk kesuksesan ini mendapatkan ganjaran berlipat dari Allah SWT.. Amiien Ya Rabb...

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini.

Bogor, Januari 2012

(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Selayar pada tanggal 10 Maret 1962 sebagai anak ketiga dari pasangan Facharuddin dan Sitti Yalia. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan UNSRAT Manado, lulus pada tahun 1986. Pada Tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Islamic Development Bank.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari sejak tahun 1992. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti ialah kontribusi ekosistem mangrove sebagai pemasok makanan untuk ikan belanak (Liza subviridis).

Selama mengikuti program S3, penulis telah menerbitkan 2 buah artikel telah diterbitkan dengan judul Kontribusi ekosistem mangrove sebagai pemasok energi makanan ikan belanak (Liza subviridis) di perairan pantai Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Pada jurnal OMNI Akuatika Volume X No. 12 Mei 2011. Artikel lain berjudul Sumberdaya detritus dari hutan mangrove sebagai makanan potensial ikan belanak (Liza subviridis) di pantai Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Pada jurnal AGRIPLUS Volume 21 Nomor 02 Mei 2011. Karya karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL . . . xiv

DAFTAR GAMBAR . . . .. . . . xv

DAFTAR LAMPIRAN . . . xvi

1 PENDAHULUAN . . . 1 1.1 Latar Belakang . . . 1 1.2 Rumusan Masalah . . . 2 1.3 Tujuan Penelitian . . . 5 1.4 Manfaat Penelitian . . . 5 1.5 Hipotesis . . . . . . 5 1.6 Kebaharuan Penelitian . . . 5 2 TINJAUAN PUSTAKA . . . .. 7 2.1 Ikan Belanak . . . . . . 7

2.1.1 Habitat dan Daerah Sebaran . . . 9

2.1.2 Ontogenetik Makanan . . . 9

2.2 Ekosistem Mangrove . . . 12

2.2.1 Jenis dan Penyebaran Mangrove .. . . . . . 14

2.2.2 Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove . . . . 15

2.2.3 Produktivitas dan Serasah Mangrove . . . 18

2.2.4 Proses Dekomposisi Serasah Mangrove . . . 23

2.2.5 Rantai Makanan Detritus . . . . . . 24

2.2.6 Komunitas Iktiofuna di ekosistem mangrove .. . . 26

3 BAHAN DAN METODE . . . 29

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian . . . 29

3.2 Alat dan Bahan . . . . .. . . 29

3.3 Komunitas Mangrove . . . .. . . 31

3.3.1 Analisis Kerapatan . . . 31

3.3.2 Pengukuran Produksi Serasah . . . 31

3.3.3 Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah . . . 33

3.3.4 Pengukuran detritus . . . 34

3.4 Kualitas Air dan Sedimen . . . 34

3.5 Pengumpulan Data Ikan Belanak . . . 35

3.6 Aspek Pertumbuhan . .. . . … . . . 36

3.6.1 Pola Pertumbuhan . . . 36

3.6.2 Faktor Kondisi . . . 36

3.7 Kebiasaan Makanan Ikan . . . 38

3.8 Gonado Somatik Indeks . . . 39

3.9 Hepato Somatik Indeks . . . .. 39

3.10 Uji Proksimat . . . .. 39

(15)

3.11.1 Analisis Kualitas Perairan . . . . . . . 40

3.11.2 Kerapatan Vegetasi Mangrove . . . 42

3.11.3 Produksi Serasah . . . 42

3.11.4 Laju Dekomposisi Serasah . . . 43

3.11.5 Kelimpahan Fitoplankton . . . . . . 43

3.11.6 Analisis Proksimat . . . . . . 43

3.11.7 Analisis Karakteristik Lingkungan Perairan . . . 45

3.11.8 Analisis Sebaran Produksi Detritus . .. . . 45

4 HASIL. . . 47

4.1 Pengukuran Dan Analisis Vegetasi Mangrove . . . 47

4.1.1 Struktur Vegetasi Mangrove . . . .. . . . 47

4.1.2 Laju Dekomposisi Serasah . . . 48

4.2 Produksi Detritus, Nutrient Dan Fitoplankton . . . . . . 48

4.3 Kualitas Air dan Sedimen . . . . . . . . . . 50

4.4 Kelimpahan Fitoplankton . . . . . . . 50

4.5 Aspek Biologi Dan Pertumbuhan Ikan Belanak . . . 51

4.5.1 Indeks Isi Lambung . . . . 51

4.5.2 Indeks Bagian Terbesar . . . 52

4.5.3 Energi Detritus dan Non Detritus . . . 52

4.5.4 Pola Pertumbuhan . . . 53

4.5.5 Faktor Kondisi . . . 53

4.5.6 Gonado Somatic Indeks. . . 55

4.5.7 Hepato Somatic Indeks . . . .. . . 55

5 PEMBAHASAN. . . .. . . .. 57

5.1 Struktur Vegetasi Mangrove. . . 57

5.2 Produksi dan Kontribusi Serasah . . . 57

5.3 Laju Dekomposisi Serasah dan Produksi Detritus . . . . . 60

5.4 Produksi Detritus, Kandungan Nutrient dan Fitoplankton . . . 62

5.5 Karakteristik Fisika Kimia Perairan. . . 64

5.6 Analisis Kualitas Lingkungan Perairan . . . 67

5.6.1 Indeks Kualitas Lingkungan . . . 67

5.6.2 Sebaran Spasial Karakteristik Lingkungan Perairan . . . 67

5.6.3 Produksi Detritus Berdasarkan Karakteristik Lingkungan . . . . 69

5.7 Produksi Detritus Di Pesisir Utara Konawe Selatan . . . 70

5.8 Aspek Biologi dan Pertumbuhan Ikan Belanak . . . . . . . . . 71

5.8.1 Indeks Isi Lambung . . . 71

5.8.2 Indeks Bagian Terbesar . . . 72

5.8.3 Pola Pertumbuhan . . . … .. . . 73

5.8.4 Kontribusi Detritus Terhadap FK dan GSI . . . . . . . 74

5.8.5 Kontribusi Energi Isi Lambung Terhadap HSI . . . 75

6 KESIMPULAN. . . .. . . 77

DAFTAR PUSTAKA . . . ….. . . 79

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Parameter fisika-kimia dan biologi yang diukur . . . .. . .. . . 29

2 Klasifikasi Indeks Kualitas Lingkungan . . . 42

3 Kerapatan jenis INP dan produksi serasah di lokasi penelitian. . . 47

4 Kelimpahan fitoplankton di lokasi penelitian . . . 50

5 Nilai pola pertumbuhan (nilai b) setiap bulan pengamatan . . . 53

6 Kandungan energi detritus dan non detritus . . . 53

7 Rata rata factor kondisi ikan belanak setiap bulan pengamatan . . . 54

8 Rata rata nilai gonado somatik indeks . . . .. . … .. . . 55

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran Penelitian . . . 4

2 Ikan Belanak, Liza subviridis. . . … . . . .. . . 7

3 Rantai pangan berdasarkan pada daun-daun mangrove yang jatuh ke dalam perairan muara di Florida Selatan (Odum, 1971). . . 22

4 Lokasi penelitian, pantai utara kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara . . . .. . . . 30

5 Stasiun pengambilan sampel lokasi tanjung Tiram . . . .. 32

6 Stasiun pengambilan sampel di sekitar muara Landipo . . . 32

7 Tipe perangkap serasah yang akan digunakan, dengan ukuran 1 meter x 1meter. . . .. . . 33

8 Tipe jaring insang (gill net) yang digunakan. . . 35

9 Alur penelitian dari masalah hingga luaran yang diharapkan . . . 46

10 Dekomposisi serasah mangrove di lokasi penelitian. . ….. . . 48

11 Produksi detritus Rhizophora apiculata,kandungan nitrat dan fosfat dan kelimpahan fitoplankton . . . 49

12 Produksi detritus sonneratia alba, kandungan nitrat dan fosfat dan kelimpahan fitoplankton . . . 49

13 Indeks isi lambung ikan belanak . . . . . . 51

14 Persentase detritus dan non detritus dalam isi lambung . . . 52

15 Persentase detritus dan non detritus terhadap FK dan GSI di Muara Landipo . . . .. . . .. . 54

16 Persentase detritus dan non detritus terhadap FK dan GSI di Tanjung Tiram . . . .. . . .. . 54

17 Grafik Analisis Komponen Utama karakteristik lingkungan perairan . . . .. 68

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Indeks nilai penting jenis mangrove . . . .. . 89

2 Kondisi hutan mangrove Muara Landipo . . . 90

3 Kondisi hutan mangrove Tanjung Tiram . . . 91

4 produksi serasah mangrove . . . 92

5 Laju dekomposisi serasah di lokasi penelitian . . . .. 94

6 Hasil pengukuran kulitas air dan sedimen .. . . 95

7 Kelimpahan fitoplankton . . . … . . . 96

8 Rata rata nilai Faktor Kondisi dan jumlah ikan sampel. . . .. . . 97

9 Data distribusi panjang ikan yang tertangkap di lokasi penelitian... 98

10 Komposisi makanan ikan belanak di lokasi penelitian . ... . . 99

11 Nilai rata rata variabel lingkungan perairan pada Analisis Komponen Utama . . . .. . . 100

12 Indeks kualitas lingkungan (IKL) . . . 101

13 Hasil AnalisisKomponen Utama. . . 102

14 Hasil Analisis Faktorial Koresponden . . . 105

15 Karakteristik ikan belanak Muara Landipo . . . 106

(19)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alongi et al. (1993) dan Alongi (1996) mengemukakan bahwa ekosistem mangrove merupakan daerah hutan pantai yang produktif, asosiasi rantai makan dan siklus nutriennya berhubungan erat dengan perairan pantai sekitarnya. Hutan ini dapat dianggap sebagai penghubung antara eksosistem darat dan ekosistem laut (Holmer dan Annemarie 2002).

Fungsi ekologis terpenting dari hutan mangrove adalah dalam siklus nutrien dan aliran energi, dimana mangrove merupakan penghasil serasah yaitu materi organik yang telah mati yang terdapat di lantai hutan yang tersusun atas tumbuhan mati. Daun mangrove yang gugur sebagai serasah memegang peran penting dan merupakan sumber nutrisi sebagai awal rantai makanan. Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus.

Daun mangrove merupakan bagian terbesar dari produksi primer serasah yang tersedia untuk konsumen dan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap rantai makanan dan sumberdaya perikanan di pesisir (Lee 1995; Ananda et al. 2007; Berg dan McClaugherty 2008). Parameter fisika-kimia air dan substrat di ekosistem mangrove juga mempengaruhi pengaturan hara secara umum (Clough et al. 1983; Boto dan Wellington 1984).

Serasah mangrove yang jatuh di perairan didekomposisi oleh mikroorganisme dan selanjutnya akan melepaskan zat hara (nutrient), dan sebagian lagi tersisa berupa partikel serasah atau detritus. Detritus inilah yang dimanfaatkan oleh berbagai juvenile ikan, udang dan kepiting serta kerang sebagai sumber makanan dan energi (Bengen 2000; Bengen dan Dutton 2004).

Sumber utama detritus diperoleh dari guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Hancuran bahan organik (detritus) ini menjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi cacing, crustaceae, moluska dan hewan lainnya. Detritus berfungsi sebagai sumber nutrisi dan merupakan dasar dari jaring makanan yang luas untuk organisme perairan yang memiliki nilai komersil.

(20)

Laegdsgaard dan Johnson (2001) mengemukakan bahwa ada tiga dugaan utama yang menyebabkan ekosistem mangrove dijadikan sebagai habitat, yaitu : (1) ikan tertarik karena keragaman struktur ekosistem mangrove, (2) sedikitnya jumlah predator karena kompleksitas struktur ekosistemnya tinggi (seperti kerapatan vegetasi), dan (3) ketersediaan makanan di ekosistem mangrove lebih banyak dibandingkan ekosistem lainnya.

Wada (1999) mengemukakan bahwa sekitar 90 % jenis ikan laut daerah tropis menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur hidupnya di daerah pesisir berhutan. Ikan muda sering menempati ekosistem mangrove sebagai habitat (Lugendo et al. 2006). Di Florida, hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik 90%, dari partikel organik yang ada di dalam air dan berasal dari pohon-pohon mangrove, 35-60 % bersumber dari guguran daun (Brown 1984). Hasil dari produksi serasah di mangrove berperan sebagai bahan makanan bagi makrobentos dan menyokong rantai makanan di hutan mangrove yang terdiri dari ikan, krustasea, dan invertebrata serta penghasil unsur hara bagi perairan sekitarnya.

Hutan mangrove sebagai penghasil detritus yang merupakan sumber makanan bagi organisme laut. Besarnya sumbangan detritus dari ekosistem mangrove berkaitan dengan proses dekomposisi serasah dalam ekosistem mangrove. Melalui proses ini hara dalam jumlah yang cukup besar dapat dihasilkan (Valk dan Attiwill 1984). Salah satu jenis ikan yang memanfaatkan detritus dalam ekosistem mangrove sebagai sumber makanan (energi) adalah ikan belanak (Liza subviridis) dari famili mugilidae. Ikan belanak memakan detritus dan mikro algae, selain itu juga mengambil atau menelan butiran pasir dalam sedimen yang berfungsi untuk membantu menggiling makanan di dalam lambung. Ikan belanak secara ekologis sangat penting dalam rantai makanan yang berperan dalam transfer energi dalam kehidupan di perairan estuari. Diduga, jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan dari hutan mangrove didasarkan pada jenis mangrove. Jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ikan belanak.

(21)

1.2 Rumusan Masalah

Dari hasil penelusuran literatur, banyak dijumpai penelitian terkait ekosistem mangrove terhadap keanekaragaman dan struktur komunitas ikan (Chong et al. 1990; Sesakumar et al. 1992; Laegdsgaard dan Johnson 2001; Kawaroe et al. 2001; Bengen dan Dutton 2004).

Ekosistem mangrove sebagai daerah untuk mencari makan, dan keterkaitan kondisi hutan bakau dengan hasil tangkapan ikan dan udang (Lugendo et al. 2006). Kebiasan makan ikan belanak di ekositem mangrove (Chan dan Chua 1979, Prapaporn et al.1998, dan Lin et al. 2007).

Pada penelitian ini akan dilakukan kajian ilmiah untuk mengetahui kontribusi jenis mangrove sebagai penghasil detritus yang merupakan makanan dan sumber energi ikan belanak (Liza subviridis). Kontribusi ekosistem mangrove didasarkan pada jenis mangrove dominan dan kondisi lingkungan perairan di pesisir utara Konawe Selatan. Kerangka pikir penelitian, disajikan pada Gambar 1.

Dari pernyataan diatas dan latar belakang penelitian maka dirumuskan permasalahan dengan memunculkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(1) Berapa banyak detritus yang dihasilkan oleh jenis mangrove di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan,

(2) Berapa persen porsi detritus yang dimanfaatkan ikan belanak sebagai sumber makanannya di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan, dan (3) Seberapa besar pengaruh detritus sebagai sumber makanan terhadap

(22)

Gambar 1 Skema kerangka penelitian kontribusi mangrove sebagai pemasok makanan ikan belanak (Liza subviridis, Valenciennes, 1836).

Parameter Output :

Faktor Kondisi, GSI dan HSI

Ikan Belanak (Liza subviridis)

Parameter Input :

Komposisi jenis makanan

Detritus Non Detritus (% dan Kcal) Rantai Pangan Detritus

Struktur Mangrove Kerapatan (jenis) Indeks Nilai Penting

Produksi Detritus Produksi Serasah Kandungan Makronutrien Karakteristik Lingkungan Perairan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) Analisis Komponen Utama Analisis Faktorial Koresponden

(23)

1.3 Tujuan Penelitian

(1) Menganalisis kualitas detritus yang dimanfaatkan ikan belanak berdasarkan jenis mangrove yang dominan, dan

(2) Mengevaluasi kontribusi detritus sebagai sumber makanan, berdasarkan aspek pertumbuhan ikan belanak (Liza subviridis) di ekosistem mangrove pesisir utara Konawe Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

Dapat digunakan sebagai landasan pengelolaan dan konservasi yang terkait dengan fungsi biologis dan ekologis hutan mangrove sebagai pemasok detritus (sumber materi dan energi) untuk ikan pemakan detritus serta menunjang perikanan pantai secara umum.

1.5 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan ikan belanak, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini:

1. Kualitas detritus yang dihasilkan dari suatu jenis mangrove dipengaruhi karakteristik lingkungan perairan, dan

2. Aspek pertumbuhan ikan belanak akan dipengaruhi oleh kualitas detritus yang dikonsumsi.

1.6 Kebaharuan Penelitian (Novelty Penelitian)

Detritus Rhizophora apiculata berkontribusi secara signifikan sebagai makanan dan sumber energi pada aspek pertumbuhan ikan belanak (Liza subviridis) dibandingkan detritus Sonneratia alba di pesisir utara Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.

(24)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Belanak (Liza subviridis) Kingdom Animalia Filum Chordata Class Actinopterygii Order Mugiliformes Family Mugilidae Genus Liza

Spesies subviridis (Valenciennes 1836).

Ikan belanak L. subviridis yang biasa dikenal dengan nama Greenback mullet, dicirikan dengan tubuh bagian atas berwarna putih kehijauan dan cenderung abu-abu, sisi samping perutnya berwarna putih keperakan dengan sirip dada yang relatif pendek dan sirip ekornya berbentuk huruf 'V' besar, kepala bagian atas agak rata, bibir tipis serta lembut (Gambar 2).

Gambar 2 Ikan belanak, Liza subviridis (Valenciennes 1836).

Ikan belanak, L. subviridis dari famili mugilidae penyebarannya luas dan mampu bertoleransi pada kondisi yang ekstrim terhadap salinitas, suhu dan juga dapat menyesuaikan terhadap keadaan makanan di berbagi macam habitat, tersebar di estuari dan perairan pantai tropik dan subtropik. Famili ini diperkirakan mempunyai 64 spesies (Tomson 1964, diacu dalam Effendie 1984). Di Indonesia terdapat 21 spesies (Weber dan de Beaufort 1922, diacu dalam Effendie 1984).

(25)

Ikan belanak adalah sejenis ikan yang banyak dijumpai di perairan laut tropik dan subtropik yang bentuknya hampir menyerupai bandeng. Secara umum bentuknya memanjang agak langsing dan gepeng. Sirip punggung terdiri dari satu jari-jari keras dan delapan jari-jari lemah. Sirip dubur berwarna putih kotor terdiri dari satu jari-jari keras dan sembilan jari-jari lemah. Bibir bagian atas lebih tebal daripada bagian bawahnya ini berguna untuk mencari makan di dasar/organisme yang terbenam dalam lumpur (Kriswantoro dan Sunyoto 1986). Ciri lain dari ikan belanak yaitu mempunyai gigi yang amat kecil, tetapi kadang-kadang pada beberapa spesies tidak ditemukan sama sekali.

Ikan belanak secara ekologis sangat penting dalam rantai makanan yang berperan dalam transfer energi dalam kehidupan di perairan estuari. Ikan belanak setiap hari mengkonsumsi sisa tanaman yang mati, detritus, sedimen berpasir, memakan epifit dan epifauna dari padang lamun juga mencernakan buih permukaan berisi microalgae. Jumlah kandungan pasir dan detritus dalam isi perut meningkat dengan meningkatnya ukuran panjang tubuhnya, menunjukkan lebih banyak makanan dicernakkan dari dasar substrat ketika ikan menjadi dewasa.

Carl Linnaeus, seorang naturalis berkebangsaan Swedia, mula-mula menggambarkan ikan belanak (mullet) yang berbelang sebagai Mugil cephalus dalam tahun 1758. Disebut Mugil berasal dari bahasa Latin "mugil" artinya seekor ikan, mungkin ikan mullet. Beberapa nama sinonim yang mengacu pada Liza subviridis antara lain : Chelon subviridis, Ceramensis liza, Liza ceramensis, Liza dussumieri, Liza melinopterus, Liza parmatus, Liza parsia, Mugil alcocki, Mugil dussumieri, Mugil javanicus, Mugil jerdoni, Mugil melinopterus, Mugil stevensi, Mugil subviridis, Mugil sundanensis, Mugil tadopsis.

Beberapa nama yang umum digunakan dalam bahasa Inggeris yaitu striped mullet, black mullet, black true mullet, bright mullet, bully mullet, callifaver mullet, common grey mullet, common mullet, flathead grey mullet, flathead mullet, gray mullet, haarder, hardgut mullet, mangrove mullet, mullet, river mullet, sea mullet, dan springer.

(26)

2.1.1 Habitat dan daerah sebaran

Ikan Belanak adalah jenis ikan yang hidup di perairan pantai, sering kali masuk di perairan laguna, muara-muara dan air tawar. Sifatnya yang selalu hidup bergerombol di perairan pantai yang dangkal untuk mencari makan. Makanannya berupa mikro alga, zooplankton dan material detritus. Ikan belanak juga memakan pasir dan lumpur. Djajadiredja dan Purnomo (1974), diacu dalam Effendie (1984) mengemukakan bahwa jenis mugilidae yang dominan dijumpai di perairan Indonesia adalah L. subviridis. Ikan belanak jenis ini juga banyak dijumpai di perairan Thailan, Filipina dan Malaysia (Chan 1976).

Ikan belanak dewasa dan muda (panjang dari 4 cm-7 cm) memiliki toleransi pada kadar garam cukup lebar/luas (0 ppt -35 ppt). Setelah besar akan membentuk gerombol/kelompok besar pada daerah permukaan pantai berlumpur, berpasir dan perairan yang berhutan mangrove. Ikan belanak dalam kelompok yang besar akan beruaya ke lepas pantai untuk bertelur. Larvanya akan bergerak ke perairan pantai dangkal dan bervegetasi yang kaya akan makanan serta menghindari predator. Ikan belanak seringkali melompat ke permukaan air diduga karena menghindar dari pemangsa, namun kemungkinan lainnya adalah karena ikan ini waktunya lebih banyak dihabiskan pada daerah dengan kelarutan oksigen yang rendah.

Ikan belanak tersebar di perairan tropik dan subtropik (FAO 1974, diacu dalam Adrim et al. 1988), ditemukan di air payau dan kadang-kadang di air tawar. Tersebar di Indo-Pasifik dari Laut Merah sampai Samoa, ke utara menuju Jepang. Di kawasan Pasifik ikan belanak ditemukan di Fiji, Samoa, New Caledonia dan Australia. Di Asia, banyak ditemukan di Indonesia, India, Philipina, Thailan, Malaysia dan Srilangka.

2.1.2 Ontogenetik makanan ikan belanak

Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh ikan belanak sangat erat kaitanya dengan upaya untuk mencari kondisi terbaik bagi kelangsungan hidupnya. Pada dasarnya pemanfaaan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh ikan belanak biasanya disesuaikan dengan orientasi untuk mencari makan, berpijah atau untuk berlindung dari predator. Namun demikian, ikan belanak

(27)

memanfaatkan habitat mangrove sesuai dengan tahap perkembangannya. Dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara perkembangan ontogenetik ikan belanak dengan pemanfaatan ekositem mangrove sebagai habitatnya sangat erat.

Dalam pola pemanfaatan habitat, ikan yang berukuran kecil akan membutuhkan kondisi yag lebih spesifik bila dibandingkan dengan ikan yang sudah besar (Reichard et al. 2002). Misalnya ikan belanak yang berada pada stadia larva maka kehadirannya di ekoistem mangrove lebih ditujukan untuk mendapatkan perlindungan dan kecocokan makanan sesuai dengan bukaan mulutnya. Sementara pada ikan dewasa penempatan habitat lebih ditujukan untuk mencari makan, sehingga ekosistem mangrove yang dipilih merupakan habitat dengan ketersediaan makanan yang melimpah.

Diketahui ikan belanak adalah suatu jenis ikan yang hidup di perairan pantai, sering masuk di perairan muara dan air tawar. Dalam siklus hidup ikan belanak berbagai variasi strategi telah dikembangkan dan seringkali menunjukkan fleksibilitas fenotipik dalam merespon pola dan proses faktor -faktor abiotik dan biotik. Strategi yang digunakan menggambarkan pola perpindahan ikan belanak berdasarkan ruang dan waktu (misalnya migrasi pemijahan dari daerah laut lepas menuju habitat pengasuhan di daerah pantai).

Ikan belanak saat juvenil kebiasaan makanannya berbeda dengan ikan belanak yang dewasa. Perubahan ontogenetik dalam variasi makanan yang terjadi berhubungan dengan habitatnya di estuari, saat juvenil ke remaja atau dewasa meninggalkan daerah estuari yang berhubungan dengan perubahan morfologi rahang atau gigi atau ukuran.

Ikan pemakan makro dan mikrobentik dan detritus seperti ikan belanak, akan mengalami perubahan pada jenis makanannya selama proses pertumbuhan, hal ini disebabkan : 1) perubahan ukuran mulut, ukuran bukaan mulut akan berubah sejalan dengan perubahan ukuran ikan, dengan demikian ukuran yang dapat dimakan ditentukan oleh ukuran bukaan mulut, 2) selera serta kebutuhan ikan, dan 3) kemampuan dalam mencerna suatu material makanan. Bertambahnya umur ikan serta makin sempurnanya organ-organ tubuh maka ikan akan merubah makanannya sesuai dengan kebutuhan, yang berarti bahwa kebiasaan makanan ikan akan mengalami perubahan komposisi sesuai dengan

(28)

tingkat pertumbuhannya atau kelompok ukuran, dan 4) ketersediaan makanan di dalam perairan, ditentukan oleh kehadiran dan kelimpahan relatif dari tipe makanan tertentu.

Blaber (1997) mengemukakan bahwa juvenil ikan belanak mengalami perubahan ontogenetik antara ukuran 10 dan 50 mm dan setelah dewasa makanannya tidak lagi mengalami perubahan. Di estuari makanannya mengalami perubahan; ukuran 10-15 mm dari pemakan zooplankton menjadi pemakan bentik zooplankton, ukuran 10-20 mm pemakan meiobentos, ukuran 15-25 mm pemakan meiobentos pada partikel pasir dan mikrobentik. Setelah berukuran 40 mm, makanannya tidak lagi mengalami perubahan yaitu hanya mengkonsumsi mikrobentik namun pada saat matang gonad pada ukuran 23 cm makanannya didominasi oleh detritus.

Ikan belanak sebagai pemakan detritus dari tanaman, cara mengambil makanannya sangat khas. Ikan belanak yang berukuran sampai 30 mm sebagai pemakan larva nyamuk, copepoda dan zooplankton. Effendie (1997) mengemukakan bahwa ikan belanak pada ukuran dewasa mengambil makanannya atau memilih makanannya dengan tiga cara yaitu:

1. Menghisap lapisan atas permukaan air dengan menonjolkan mulutnya untuk memakan mikro alga,

2. Sambil berenang melakukan penghisapan bagian atas permukaan lumpur, dan 3. Untuk makan butiran pasir, ikan menukikan tubuh dan kepalanya membentuk

sudut 15–20 derajat sambil menonjolkan premaxilla.

Spesialisasi kebiasaan makanan ikan tidak terlepas dari kualitas dan kuantitas makanan yang akan dimakan serta bagaimana cara pengambilan makanan tersebut di dalam perairan. Hal tersebut disebabkan kebiasaan atau kesukaan ikan terhadap macam-macam makanan yang ada di perairan berhubungan dengan morfologi fungsional dari tengkorak, rahang dan alat pencernaan makanan suatu jenis ikan yang merupakan faktor pembatas dari kebiasaan makan yang timbul selama masa pertumbuhan ikan.

Proses pencernaan di lambung dilakukan pada ikan ada yang kimiawi dan ada pula pencernaan secara mekanik juga dilakukan di lambung. Pada ikan hebivora contohnya ikan ini menggerus makanan pada lambung, lambung tersebut

(29)

sering disebut gizzard atau lambung khusus (Fujaya 2004). Ikan belanak sebagai pemakan detritus yang banyak berasal dari serasah mangrove yang memiliki kandungan selulosa yang tinggi dan sulit dicerna.

Pada ikan belanak bagian pylorus dan lambung membesar (menggelembung) dan menebal akibat terjadi penebalan otot melingkarnya dan pada bagian epitelumnya sering terdapat lapisan yang mengeras seperti zat tanduk.

Untuk memudahkan pencernaan, lambung ikan belanak bermodifikasi menjadi alat penggiling, yang disebut gizzard. Gizzard yang dindingnya tebal dan berotot berfungsi untuk menggerus makanan. Dalam proses penggiligan makanan dalam gizzard menggunakan pasir. Pasir dalam lambung bertindak sebagai “gigi” untuk memotong dan menggiling makanan dengan demikian sangat membantu pencernaan.

Affandi et al. (2009) mengemukakan bahwa pada bagian gizzard tidak terdapat kelenjar macam apapun, sehingga gizzard benar benar berfungsi untuk menggerus makanan (pencernaan secara fisik). Gizzard merupakan kompensasi ketidaksempurnaan atau ketidak beradaan gigi pada rongga mulut. Gizzard ini dianggap sebagai lambung khusus pada golongan ikan mikrofagus (makanannya berukuran kecil).

2.2 Ekosistem Mangrove

Kata “mangrove” berkaitan sebagai tumbuhan tropis yang komunitas tumbuhnya didaerah pasang surut dan sepanjang garis pantai (seperti : tepi pantai, muara laguna dan tepi sungai) yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut. Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut.

Snedaker (1978) mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Aksornkoe (1993) mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi) yang hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.

(30)

Nybakken (1992) mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.

Hutan mangrove dapat dijumpai di daerah tropik dan sub tropik yang hidupnya berkembang baik pada temperatur dari 19 oC sampai 40 oC, dengan toleransi fluktuasi suhu tidak lebih dari 10 oC. Berbagai jenis tanaman bakau yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas, karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi garda depan garis pantai yang secara kolektif disebut hutan mangrove, memberikan perlindungan kepada berbagai organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak.

Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin juga merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati, ekosistem bakau juga sebagai plasma nutfah dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya.

Melalui kelenjar garamnya, beberapa spesies mangrove menghasilkan sistem yang memungkinkan mereka untuk tumbuh pada kondisi berkadar garam tinggi. Avicennia, Aegiceras, Acanthus dan Aegalitis dapat mengontrol keseimbangan garam dengan mengeluarkan garam dari kelenjar tersebut (Tomlinson 1986). Sebagian kelenjar garam terdapat dipermukaan daun yang tampak berkristal dan mudah diamati. Spesies lain seperti Rhizopora spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., Sonneratia spp. dan Lumnitzera spp. dapat mengontrol keseimbangan garam dengan menggugurkan daun tua yang mengandung garam yang terakumulasi, atau dengan melakukan tekanan osmotic akar. Struktur, fungsi ekosistem, komposisi dan distribusi spesies dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan diantaranya; Fisiografi pantai, iklim, pasang surut, gelombang/arus, salinitas, oksigen terlarut, tanah, nutrient dan proteksi.

(31)

2.2.1 Jenis dan Penyebaran Mangrove

Chapman (1975) mengemukakan bahwa ada 90 jenis tumbuhan mangrove utama di dunia. Hutan mangrove di daerah Indo-Pasifik mempunyai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi (63 jenis) dibanding dengan hutan mangrove di Amerika dan Afrika bagian Barat (43 jenis). Sedangkan daerah-daerah dari bagian ekuator dari Asia Timur jauh mempunyai hutan mangrove dengan keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan mangrove di daerah manapun juga.

Hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang diurnal memiliki struktur dan kesuburan yang berbeda dari hutan mangrove yang tumbuh di daerah semi-diurnal, dan berbeda juga dengan hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang campuran. Di daerah dengan rentang pasang yang lebar, akar tunjang dari Rhizophora spp. tumbuh lebih tinggi, sedangkan di daerah yang rentangnya sempit memiliki akar yang lebih rendah. Aegialites rotundifolia dan Sonneratia spp. menunjukkan perilaku perakaran yang pneumatoforanya besar, kuat dan panjang di atas permukaan tanah di zona peralihan pasang.

Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen 2000).

Di Indonesia diperkirakan terdapat 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jneis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku yang terbagi meknadi 2 kelompok yaitu mangrove sejati (true mangrove) dan mangrove ikutan (asociate) (Khazali et al. 1999). Tomlinson (1984) membagi flora mangrove menjadi 3 kelompok, yaitu :

a) Kelompok mayor

Komponen ini memperlihatkan karakteristik morfologi, seperti : sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologis khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan mangrove. Komponennya adalah pemisahan taksonomi dari hubungan daratan dan hanya terjadi dihutan mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas kedalam komunitas daratan. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.

(32)

b) Kelompok minor (tumbuhan pantai)

Dalam kelompok ini tidak termasuk elemen yang mencolok dari tumbuh – tumbuhan yang mungkin terdapat disekitar habitatnya dan yang jarang berbentuk tegakan murni.

c) Kelompok asosiasi mangrove

Dalam komponen ini jarang ditemukan species yang tumbuh didalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam tumbuh – tumbuhan darat.

Komponen mayor dan minor spesies mangrove tumbuh dengan baik tanpa dipengaruhi oleh kadar garam air. Namun jika air terlalu asin maka pohon mangrove tidak dapat tumbuh terlalu tinggi. Hal yang harus diperhatikan bahwa species mangrove dapat tumbuh lebih cepat pada air tawar daripada air yang mengandung garam (asin).

2.2.2 Manfaat dan fungsi hutan mangrove

Melana et al. (2000) mengemukakan bahwa fungsi hutan mangrove adalah:

1. Sebagai tempat hidup dan mencari makan berbagai jenis ikan, kepiting, udang dan tempat ikan-ikan melakukan proses reproduksi, 2. Menyuplai bahan makanan bagi spesies-spesies didaerah estuari yang

hidup dibawahnya karena mangrove menghasilkan bahan organik, 3. sebagai pelindung lingkungan dengan melindungi erosi pantai dan

ekosistemnya dari tsunami, gelombang, arus laut dan angin topan, 4. sebagai penghasil biomas organik dan penyerap polutan disekitar

pantai dengan penyerapan dan penjerapan,

5. sebagai tempat rekreasi khususnya untuk pemandangan kehidupan burung dan satwa liar lainnya,

6. sebagai sumber bahan kayu untuk perumahan, kayu bakar, arang dan kayu perangkap ikan,

7. tempat penagkaran dan penangkapan bibit ikan, dan 8. sebagai bahan obat-obatan dan alcohol.

(33)

Bengen dan dutton (2004) mengemukakn bahwa hutan mangrove memiliki fungsi :

1. Peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, dan 2. Penghasil sejumlah detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan

pohon mangrove yang rontok. Detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan oleh bakteri menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan.

Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Dengan rata-rata produksi primer yang tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan lainnya. Mangrove menyediakan tempat perkembang-biakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan khususnya udang, sehingga biasa disebut “tidak ada mangrove tidak ada udang” (Macnae 1968).

Turner (1977) mengemukakan bahwa disamping fungsi hutan mangrove sebagai 'waste land' juga berfungsi sebagai kesatuan fungsi dari ekosistem estuari yang bersifat: Sebagai daerah yang menyediakan habitat untuk ikan dan udang muda serta biota air lainnya dalam suatu daerah dangkal yang kaya akan makanan dengan predator yang sangat jarang. Sebagai tumbuhan halofita, mangrove merupakan pusat penghisapan zat-zat hara dari dalam tanah, memberikan bahan organik pada ekosistem perairan. Merupakan proses yang penting dimana tumbuhan menjadi seimbang dengan tekanan garam di akar dan mengeluarkannya. Hutan mangrove sebagai penghasil detritus atau bahan organik dalam jumlah yang besar dan bermanfaat bagi mikroba dan dapat langsung dimakan oleh biota yang lebih tinggi tingkat. Pentingnya 'detritus food web' sangat berguna dilingkungannya.

(34)

Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Rata-rata produksi primer yang tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan lainnya. Nilai produktivitas primer hutan mangrove adalah 20 kali lebih besar dari pada produktivitas laut dalam dan 5 kali lebih besar pula berbanding dengan kawasan perairan pantai (Soeroyo 1988).

Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga).

Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya.

Dari sudut fungsi ekologis dan ekonomi, mangrove tak ternilai harganya. Berbagai biota pesisir dan laut (ikan, udang, kerang, dan lain-lain) menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai daerah pemijahan/bertelur (spawning ground). Mangrove juga menjadi kawasan tempat berlindung (nursery ground) untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai biota. Dedaunan, ranting, dan bagian lainnya yang menjadi sampah dan jatuh ke air tidak sia-sia, bahkan menjadi unsur hara yang amat menentukan produktivitas perikanan sebagai feeding ground.

(35)

Jaringan sistem akar memberikan banyak nutrien bagi larva dan juvenil ikan, juga menghidupkan komunitas invertebrata laut dan algae. Sebagai gambaran tentang tingginya produktivitas habitat pantai berbakau ini, dikatakan bahwa satu sendok teh lumpur dari daerah bakau di pantai utara Queensland (Australia) mengandung lebih dari 10 milyar bakteri, suatu densitas bakteri tertinggi di dunia.

Peran terpenting dari pohon mangrove adalah serasah daun yang jatuh ke dalam air. Serasah ini merupakan sumber bahan organik yang penting dalam rantai makanan yang bisa mencapai 7 – 8 ton /ha/tahun. Sumber kesuburan di sekitar hutan mangrove tergantung pada serasahnya. Mangrove mempunyai nilai produksi bersih (NPB), yakni biomassa (62.9 – 398.8 ton/ha), guguran serasah (5.8 – 25.8 ton/ha/tahun), pada hutan tanaman mangrove umur 20 tahun. Besarnya nilai produksi primer pada hutan mangrove cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan jenis organisme akuatik di pesisir. Dalam satu kilometer bujur sangkar, hutan mangrove menyumbangkan kurang lebih 600 ton material tanaman setiap tahun ke dalam rantai makanan di perairan estuari. Mengingat beberapa fungsi dan manfaat penting kawasan mengrove, perlu diterapkan serta digalakkan prinsip save it (lindungi), study it (pelajari), dan use it (manfaatkan). Untuk itu, diperlukan faktor-faktor pendukung agar pemanfaatan kawasan mangrove berjalan sesuai dengan tujuan pengelolaan mangrove yang lestari.

2.2.3 Produktivitas dan Serasah Mangrove

Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa ada 7 (tujuh) faktor penting yang menentukan produktifitas tumbuhan mangrove, yang selanjutnya dibagi atas dua kelompok utama, yakni:

A. Fluktuasi pasang, terdiri dari empat faktor: (1) Transpor oksigen sistem perakaran,

(2) Air tanah dan jumlah pertukaran air yang digunakan untuk menghalau zat racun sulfit,

(3) Arus pasang surut dan pengaruhnya terhadap deposisi dan erosi substrat dasar, dan

(4) Fluktuasi air yang berkaitan dengan keberadaan unsur hara di daerah hutan mangrove.

(36)

B. Kimia air, terdiri dari tiga faktor:

(1) Kandungan garam (salinitas) pada substrat dasar dan kemampuan daun-daun bertahan,

(2) Kandungan unsur hara makro (makro nutrien) dalam tanah, dan

(3) Jumlah aliran permukaan (surface run-off) yang membawa unsur hara makro dari tanah.

Eong et al. (1983), diacu dalam Hilmi (2003) mengemukakan bahwa produktivitas primer adalah produktivitas primer bersih ditambah respirasi. Produktivitas primer perairan dinyatakan sebagai berat dari fiksasi karbon/unit volume atau perunit luas permukaan/waktu. Pada produktivitas primer proses fotosintesis merupakan suatu proses yang sangat efisien yang dapat mengabsorbsi energi sekitar 95 - 99 %. Energi yang disimpan akan membentuk biomassa. Sedangkan produktivitas primer bersih adalah nilai total energi yang disimpan perunit luas per waktu.

Komponen-komponen produksi primer bersih adalah keseluruhan dari organ utama tumbuhan meliputi daun, batang dan akar. Selain itu, tumbuhan epifit seperti alga pada pneumatofor, dasar pohon dan permukaan tanah juga memberikan sumbangan kepada produksi primer bersih (Nirwani 1999).

Clough (1986), diacu dalam Nirwani (1999) mengemukakan bahwa produksi primer bersih mangrove berupa materi yang tergabung dalam biomassa tumbuhan yang selanjutnya akan lepas sebagai serasah atau dikonsumsi oleh organisme heterotrof atau dapat juga dinyatakan sebagai akumulasi materi organik baru dalam jaringan tumbuhan sebagai kelebihan dari respirasi yang biasanya dinyatakan dalam berat kering materi organik.

Sebagai produser primer, mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktivitas pada ekosistem estuari dan perairan pantai melalui siklus materi yang berdasarkan pada detritus atau serasah (Head 1969, diacu dalam Nirwani 1999). Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem mangrove dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk menggambarkan produktivitas (Chapman 1976).

(37)

Serasah adalah bahan organik dari bagian pohon yang mati yang jatuh di lantai-hutan (daun, ranting dan alat reproduksi). Produksi serasah adalah berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah pada suatu waktu.

Brown (1984) mengemukakan bahwa serasah adalah guguran struktur vegetatif dan reproduktif yang disebabkan oleh faktor ketuaan, stress, faktor mekanik (misalnya angin), ataupun kombinasi dari keduanya dan kematian serta kerusakan dari keseluruhan tumbuhan oleh iklim (hujan dan angin). Produksi serasah diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada dasar hutan yang selanjutnya mengalami remineralisasi melalui tahapan-tahapan dekomposisi.

Daun-daun mangrove yang jatuh didefinisikan oleh Chapman (1976) sebagai bobot materi tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah dalam periode waktu tertentu. Produksi serasah dapat diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada lantai hutan yang selanjutnya mengalami remineralisasi melalui tahapan-tahapan dekomposisi yang selanjutnya menghasilkan energi potensial bagi kehidupan konsumer.

Serasah dari pohon mangrove merupakan sumber bahan organik yang penting. Melalui proses dekomposisi akan dirombak oleh mikroba menjadi energi dan berbagai senyawa sederhana seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain lain (Alrasjid 1988). Sebagian serasah terdekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, alga ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya (Bengen 2002).

Dari berbagai penelitian mengenai serasah nampaknya terdapat perbedaan mengenai hasil yang diperoleh di masing-masing tempat. Perbedaan ini disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi gugur mangrove di setiap tempat tidaklah sama. Cracc (1964) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gugur mangrove adalah sebagai berikut: (1) Iklim, (2) Ketinggian tempat, (3) Kesuburan tanah, (4) Kelembaban tanah, (5) Kerapatan pohon dan bidang dasar, (6) Pengaruh waktu (musim), (7) Variasi tahunan, dan (8) Umur pohon.

(38)

Besarnya produktivitas serasah pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh (1) besarnya diameter pohon, (2) produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari salinitas yang tinggi akibat fluktuasi pasang surut air laut, dan (3) keterbukaan dari pasang surut dimana makin terbuka makin optimal (Kusmana et al. 2000).

Snedaker (1974), diacu dalam Nirwani (1999) mengemukakan bahwa produksi serasah daun untuk setiap kawasan mangrove adalah berbeda. Perbedaan jumlah serasah ini dapat disebabkan oleh adanya beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah, kerapatan, musim dan tegakan. Selain faktor-faktor tersebut ketipisan tajuk dan morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah. Semakin tipis penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah. Sebutan serasah biasanya digunakan untuk bahan dalam ekosistem daratan khususnya bahan yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sedang detritus digunakan untuk bahan dalam ekosistem perairan (Mason 1977).

Lear dan Turner (1977) mengemukakan bahwa bagian terbesar dari serasah merupakan bahan pokok tempat berkumpulnya bakteri dan fungi. Kemudian bahan-bahan tersebut mangalami penguraian dan merupakan rantai makanan dari hewan-hewan laut. Bagian partikel daun yang kaya akan protein ini dirombak oleh bakteri dan seterusnya dimakan oleh ikan-ikan kecil. Perombakan partikel daun ini akan berlanjut sampai menjadi partikel-partikel yang berukuran sangat kecil (detritus) dan akhirnya dimakan oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti moluska dan krustasea kecil. Selama perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari serasah sebagian dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton dan sebagian lagi diabsorbsi oleh partikel sedimen yang menyokong rantai makanan.

Sediadi dan Pamudji (1987) mengemukakan bahwa penimbunan serasah juga dipengaruhi oleh umur dan jenis tumbuhan mangrove. Mangrove dengan tegakan tua akan menghasilkan jatuhan serasah lebih banyak, dan tegakan Rhizophora spp. menghasilkan serasah lebih banyak dibandingkan tegakan Avicennia spp. Jumlah jatuhan serasah Rhizophora spp. meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimumnya didapatkan pada usia 10 tahun.

(39)

Pelepasan nutrisi selama dekomposisi serasah sangat penting dalam mempertahankan keberlangsungan siklus nutrisi di lingkungan alam. Dengan terpeliharanya siklus nutrisi maka pertumbuhan makrofita dapat berlangsung secara lestari. Produksi hara dalam siklus ini tidak saja sebagai faktor penting bagi produksi makrofita, akan tetapi juga untuk pertumbuhan plankton pada perairan pantai yang mempunyai hubungan dengan ekosistem mangrove.

Odum (1971) menggambarkan peranan serasah daun mangrove dalam rantai makanan di daerah Florida Selatan seperti disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Rantai pangan berdasarkan pada daun-daun mangrove yang jatuh ke dalam perairan muara di Florida Selatan (Odum 1971).

Brown (1984) mengemukakan bahwa ada perbedaan antara serasah pada suatu waktu (litter-layer) dan serasah yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu (litter-fall) yaitu :

1. Standing crop atau litter-layer (serasah di lantai hutan) merupakan serasah yang ada pada suatu waktu pada wilayah tertentu dan dinyatakan dalam berat atau unit energi per area permukaan ( gram/m2, kcal/ha/tahun), dan

2. Produksi litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalan jangka waktu tertentu ( gram/m2/hari, kcal/ha/tahun).

Gambar

Gambar 1  Skema kerangka penelitian kontribusi mangrove sebagai   pemasok makanan ikan belanak (Liza subviridis,  Valenciennes, 1836)
Tabel  1    Parameter  fisika-kimia  dan  biologi  yang  diukur  dan  alat/metode  yang  digunakan
Gambar 4   Lokasi penelitian, pesisir utara  Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Gambar 5   Stasiun pengambilan sampel lokasi Tanjung Tiram.
+7

Referensi

Dokumen terkait

: Extraction of Paddy Rice Field by Applying Tasselled Cap, NDVI, and RVI of Landsat TM 7(Case Study in Karaw8og, West Java, Indonesia).

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan jumlah trombosit dan laktat dehidrogenase preeklampsia berat early onset dengan late onset di RSUD Ulin

Hal ini disebabkan karena pada metode ini bunga yang dibebankan dihitung dari saldo awal pokok pinjaman setelah dikurangi dengan uang muka, sehingga jumlah pembayaran yang

Hubungan antara Intensitas Kerja dengan Kelelahan Non Fisik Ditinjau dari Segi Ergonomi di Sentra Industri Variabel intensitas kerja mempunyai hubungan yang positif dengan

Ini diharapkan bisa menjadi sesuatu yang baru dalam memainkan genre jazz rock etnik pada lagu Kerrabhan Sape, karena dengan nuansa musik Madura yang berirama mars dan

Sehubungan dengan sanggahan yang Saudari sampaikan melalui SPSE tanggal 4 November 2016 dengan nomor surat : 001/SGHN/KS/XI/2016, Perihal Sanggahan Pemilihan Penyedia

Tidak terdapat perbedaan yang signi fi kan kadar air tubuh ikan nila yang dipaparkan selama 24 dan 48 jam pada berbagai salinitas dan temperatur medium, yang menunjukkan bahwa

(3) Setiap orang atau badan yang menikmati jasa pelayanan Pengukuran Kapal, Penerbitan Sertifikat Kesempurnaan Kapal, Penerbitan Dispensasi Penumpang Dan Registrasi