• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kombinasi iradiasi dan penyimpanan pada suhu beku terhadap kandungan bakteri pada daging sapi asal rumah potong hewan di kabupaten serta kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kombinasi iradiasi dan penyimpanan pada suhu beku terhadap kandungan bakteri pada daging sapi asal rumah potong hewan di kabupaten serta kota Bogor"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

Kandungan Bakteri pada Daging Sapi Asal Rumah Potong Hewan di Kabupaten serta Kota Bogor. Dibimbing oleh ANJA MERYANDINI dan HARSOJO.

Daging sapi memiliki kandungan gizi seperti protein dan kadar air yang tinggi sehingga merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba. Keberadaan mikroba dapat menurunkan kualitas daging. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa usaha untuk memperlambat kerusakan oleh mikroba pada daging diantaranya dengan penyimpanan beku serta memanfaatkan teknologi iradiasi. Penelitian ini mengenai pengaruh penyimpanan beku dan iradiasi terhadap kandungan bakteri dalam daging sapi. Dilakukan juga penentuan kadar protein dan air serta identifikasi

Salmonella. Sampel daging diambil dari tiga Rumah Potong Hewan (RPH) di Kabupaten serta Kota Bogor. Penyimpanan dilakukan selama 4 minggu di dalam freezer dengan dosis iradiasi 0, 3 dan 5 kGy.

Hasil penelitian menunjukkan kadar protein dalam daging RPH A, B dan C yang diiradiasi dengan dosis 0 kGy pada minggu ke 0 masing-masing sebesar 67,95%, 61,13% dan 70,40% sedangkan kadar air daging RPH A, B dan C masing-masing sebesar 75,31%, 74,26% dan 73,91%. Tidak ada Salmonella yang didapatkan dari ketiga sampel daging. Secara umum dosis 3 kGy mampu mengeliminasi total bakteri aerob, koliform, Escherichia coli dan Staphylococcus

spp. yang memenuhi SNI (2008) dalam ketiga sampel daging dan terlihat berbeda nyata dengan yang tidak diiradiasi (p<0,05). Kombinasi perlakuan antara penyimpanan beku dengan iradiasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan jumlah total bakteri aerob, koliform,

Escherichia coli dan Staphylococcus spp.

Kata Kunci: Salmonella, iradiasi, dosis, pembekuan

ABSTRACT

ISNITA KHAIRUNNISA. Combination of Iradiation and Frozen Storage Toward The Content of Bacteria on The Origin of Beef Slaughter Houses in The Distric and The City of Bogor. Under the direction of ANJA MERYANDINI and HARSOJO.

Beef contains nutrients such as protein and water content is so high that suitable media for microbial growth. The presence of microbial can degrade beef’s quality. Therefore it needs to do some efforts to slow the damage by microbes on the beef with frozen storage and use of irradiation technology. This study on the effect of frozen storage and irradiation of the content of bacteria in beef. Also performed to determine the concentration of protein and water, and identification of

Salmonella. Meat samples taken from three Slaughter Houses (RPH) in the District and the City of Bogor. Storage carried out for 4 weeks in the freezer with irradiation doses of 0, 3 and 5 kGy.

The results showed levels of protein in meat slaughterhouses A, B and C were irradiated with 0 kGy dose at week 0, respectively 67.95%, 61.13% and 70.40%, while the water content of beef slaughterhouses A, B and C, each for 75.31%, 74.26% and 73.91%. No Salmonella obtained from three samples of beef. In general, the dose of 3 kGy could eliminate the total aerobic bacteria, coliform, Escherichia coli and Staphylococcus spp. that meet the SNI (2008) in all three samples of beef and looks significantly different to that are not irradiated (p <0.05). Combination treatment of frozen storage with irradiation provides a real impact on reducing the total count of aerobic bacteria, coliform, Escherichia coli and Staphylococcus spp.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang digemari oleh masyarakat (Subagyo 2009). Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan (Suryana 2009). Daging sapi merupakan bahan pangan yang kaya akan protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan kesehatan sehingga ketersediaan daging sapi memiliki arti yang sangat penting dalam ketahanan pangan (Arifin dkk. 2008, Yanti dkk. 2008).

Kandungan air dan gizi seperti lemak serta protein yang tinggi dalam daging sapi merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroba. Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan mengalami kerusakan seperti berlendir, daya simpannya menurun, berbau busuk dan rasa tidak enak. Kandungan mikroba pada daging sapi dapat berasal dari peternakan dan rumah potong hewan yang tidak higienis (Djafaar dan Rahayu 2007). Awal cemaran mikroba pada daging dapat terjadi pada saat penyembelihan, alat-alat yang dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak steril dan lain-lain. Cemaran berikutnya dapat terjadi pada saat persiapan daging seperti proses pembelahan karkas, pendinginan, pembekuan, penyegaran daging beku, pemotongan karkas atau daging, pembuatan produk daging, proses preservasi, pengepakan, penyimpanan dan distribusi (Harsojo dkk. 2005).

Masyarakat luas saat ini mulai menyadari akan perlunya daging yang berkualitas menyangkut aspek gizi dan kesehatan dalam arti produk daging yang dikonsumsi aman, bebas dari cemaran mikroba serta bahan kimia (Bahri dkk. 2002). Beberapa usaha yang dilakukan untuk memperlambat kerusakan oleh mikroba pada daging diantaranya adalah dengan penyimpanan refrigerasi pada suhu 5°C (Suradi 2009), pembekuan (Buckle et al.

1987) serta memanfaatkan teknologi iradiasi (Harsojo dkk. 2005).

Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku sehingga bahan pangan menjadi awet karena mikroba dihambat pertumbuhannya (Depkes 1998) serta dapat menghancurkan beberapa sel mikroba (WHO 1976). Iradiasi merupakan suatu proses fisika yang dapat digunakan untuk mengawetkan dan meningkatkan keamanan bahan pangan. Jenis iradiasi yang digunakan adalah iradiasi

berenergi tinggi yang disebut iradiasi pengion (Irawati 2006). Menurut Irawati (2007), dua jenis sumber iradiasi pengion yang umum digunakan untuk pengawetan makanan secara komersial adalah sinar gamma yang dipancarkan oleh radionuklida 60Co (kobalt-60) dan 137

The Joint Expert Committee on Wholesomeness of Irradiation Foods

(JECWIF) yang mewakili WHO, IAEA dan

FAO mendukung sepenuhnya penyusunan peraturan makan iradiasi yang berlaku di seluruh dunia yaitu CODEX General Standard for Irradiated Foods/CODEX Alimentarius 1984-Rev./-2003 (Anonim 2003). Aplikasi teknologi radiasi untuk bahan pangan juga telah diatur dan memiliki dasar hukum yang kuat ditingkat nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan dan dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 pasal 2 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan (Irawati 2006) serta Peraturan

Menteri Kesehatan No. 701/MENKES/PER/V111/2009 tentang Pangan Iradiasi.

Cs (caesium-37).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi perlakuan teknologi iradiasi dan penyimpanan beku terhadap jumlah kandungan bakteri pada daging sapi yang berasal dari tiga Rumah Potong Hewan di Kabupaten serta Kota Bogor.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan

Maret-September 2010. Iradiasi dilakukan di

Gedung Instalasi Fasilitas Iradiasi (IFI) dengan alat Iradiator Panorama Serba Guna (IPASENA). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Bahan Pangan, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR-BATAN), Jl. Lebak Bulus Raya No. 49 Jakarta Selatan

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini meliputi daging sapi bagian chuck yang berasal dari sapi BX umur <3 tahun, yang dibeli dari Rumah Potong Hewan (RPH) di Kabupaten serta Kota Bogor, larutan pepton 0,1%, media Nutrient Agar (Oxoid), media

Mac Conkey Agar (Oxoid), media Briliance E.coli Coliform Selective Medium, media

(3)

Yolk-PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang digemari oleh masyarakat (Subagyo 2009). Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan (Suryana 2009). Daging sapi merupakan bahan pangan yang kaya akan protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan kesehatan sehingga ketersediaan daging sapi memiliki arti yang sangat penting dalam ketahanan pangan (Arifin dkk. 2008, Yanti dkk. 2008).

Kandungan air dan gizi seperti lemak serta protein yang tinggi dalam daging sapi merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroba. Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan mengalami kerusakan seperti berlendir, daya simpannya menurun, berbau busuk dan rasa tidak enak. Kandungan mikroba pada daging sapi dapat berasal dari peternakan dan rumah potong hewan yang tidak higienis (Djafaar dan Rahayu 2007). Awal cemaran mikroba pada daging dapat terjadi pada saat penyembelihan, alat-alat yang dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak steril dan lain-lain. Cemaran berikutnya dapat terjadi pada saat persiapan daging seperti proses pembelahan karkas, pendinginan, pembekuan, penyegaran daging beku, pemotongan karkas atau daging, pembuatan produk daging, proses preservasi, pengepakan, penyimpanan dan distribusi (Harsojo dkk. 2005).

Masyarakat luas saat ini mulai menyadari akan perlunya daging yang berkualitas menyangkut aspek gizi dan kesehatan dalam arti produk daging yang dikonsumsi aman, bebas dari cemaran mikroba serta bahan kimia (Bahri dkk. 2002). Beberapa usaha yang dilakukan untuk memperlambat kerusakan oleh mikroba pada daging diantaranya adalah dengan penyimpanan refrigerasi pada suhu 5°C (Suradi 2009), pembekuan (Buckle et al.

1987) serta memanfaatkan teknologi iradiasi (Harsojo dkk. 2005).

Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku sehingga bahan pangan menjadi awet karena mikroba dihambat pertumbuhannya (Depkes 1998) serta dapat menghancurkan beberapa sel mikroba (WHO 1976). Iradiasi merupakan suatu proses fisika yang dapat digunakan untuk mengawetkan dan meningkatkan keamanan bahan pangan. Jenis iradiasi yang digunakan adalah iradiasi

berenergi tinggi yang disebut iradiasi pengion (Irawati 2006). Menurut Irawati (2007), dua jenis sumber iradiasi pengion yang umum digunakan untuk pengawetan makanan secara komersial adalah sinar gamma yang dipancarkan oleh radionuklida 60Co (kobalt-60) dan 137

The Joint Expert Committee on Wholesomeness of Irradiation Foods

(JECWIF) yang mewakili WHO, IAEA dan

FAO mendukung sepenuhnya penyusunan peraturan makan iradiasi yang berlaku di seluruh dunia yaitu CODEX General Standard for Irradiated Foods/CODEX Alimentarius 1984-Rev./-2003 (Anonim 2003). Aplikasi teknologi radiasi untuk bahan pangan juga telah diatur dan memiliki dasar hukum yang kuat ditingkat nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan dan dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 pasal 2 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan (Irawati 2006) serta Peraturan

Menteri Kesehatan No. 701/MENKES/PER/V111/2009 tentang Pangan Iradiasi.

Cs (caesium-37).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi perlakuan teknologi iradiasi dan penyimpanan beku terhadap jumlah kandungan bakteri pada daging sapi yang berasal dari tiga Rumah Potong Hewan di Kabupaten serta Kota Bogor.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan

Maret-September 2010. Iradiasi dilakukan di

Gedung Instalasi Fasilitas Iradiasi (IFI) dengan alat Iradiator Panorama Serba Guna (IPASENA). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Bahan Pangan, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR-BATAN), Jl. Lebak Bulus Raya No. 49 Jakarta Selatan

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini meliputi daging sapi bagian chuck yang berasal dari sapi BX umur <3 tahun, yang dibeli dari Rumah Potong Hewan (RPH) di Kabupaten serta Kota Bogor, larutan pepton 0,1%, media Nutrient Agar (Oxoid), media

Mac Conkey Agar (Oxoid), media Briliance E.coli Coliform Selective Medium, media

(4)

Yolk-Tellurite Emulsion (Oxoid), media

Tetrathionate Broth Base (Oxoid), media

Salmonella Shigella Agar (Oxoid), media

Triple Sugar Iron Agar (Oxoid), media Semi Solid, media Lysine Iron Agar (Oxoid), media

Simmon Citrate (Oxoid), media Urea Agar, larutan Iodine, akuades, alkohol 70%, es batu, asam sulfat pekat (H2SO4), selen, asam klorida (HCl 0,01N), asam Boraks (H3BO3

Alat-alat yang digunakan antara lain adalah cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer 500 ml, gelas piala 250 ml, gelas ukur, pipet volumetrik 1 ml dan 10 ml, spreader, jarum inokulan, sendok, vortek, timbangan, otoklaf, penangas air, inkubator, pembilas pipet, oven,

blender, bunsen, korek api, pinset, pisau, gunting, keranjang cawan petri, kantong plastik, kain kasa, aluminum foil, kapas,

laminar air flow, lemari es, termos plastik, ice maker, Styrofoam, labu Kjeldahl dan labu destilasi.

2%), dan natrium hidroksida (NaOH 30%).

Sterilisasi Alat

Peralatan gelas seperti cawan petri, pipet volumetrik 1 dan 10 ml, tabung reaksi, erlenmeyer 500 ml, gelas piala 250 ml, dan

spreader disterilisasi di dalam oven dengan suhu 180° C selama 2 jam. Sterilisasi blender

dilakukan dengan cara mengocok alkohol 70% ke dalam blender sebanyak dua kali.

Persiapan Sampel Percobaan

Sampel daging sapi dibeli dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) A, B, dan C yang berada di Kabupaten serta Kota Bogor. Wadah yang digunakan untuk membungkus sampel-sampel ini adalah kantong plastik bersih yang diletakkan di dalam termos plastik yang berisi es batu. Hal ini bertujuan agar sampel tidak rusak saat dilakukan pengujian.

Penentuan Kadar Protein dan Kadar Air (Yanti 2009)

Kandungan protein pada ketiga sampel daging diukur dengan menggunakan metode “Nitrogen Mikro Kjeldhal”. Pertama-tama, sampel daging ditimbang sebanyak ± 0,51 gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Selanjutnya, sebanyak 25 ml asam sulfat pekat (H2SO4) dan 2 gram campuran selen, yang terdiri atas 2,5 gram serbuk SeO2, 100 gram K2SO4 dan 20 gram CuSO4. 5H2O, dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal yang telah berisi sampel. Setelah itu, larutan dipanaskan untuk menghilangkan uap SO2. Pemanasan dilakukan mula-mula dengan api kecil lalu api besar, hingga terbentuk larutan

berwarna jernih kehijauan. Larutan yang telah bebas dari SO2, dimasukkan ke dalam labu ukur (100 ml) dan diencerkan sampai tanda tera, yakni sebanyak 100 ml. Sebanyak 5 ml larutan yang telah terbebas dari SO2 diambil untuk dimasukkan ke dalam labu destilasi dan ditambahkan 5 ml natrium hidroksida (NaOH 30%), lalu disuling. Destilasi dilakukan sampai uap destilasi tidak bereaksi basa (diuji dengan kertas pH). Hasil destilasi kemudian ditampung di dalam 10 ml larutan asam boraks (H3BO3 2%), dan dititrasi dengan asam klorida (HCl 0,01N) dengan menggunakan merah metal sebagai indikator.

Perhitungan :

Total Nitrogen= (V1 – V2) x N x Fp w

x 14

Kandungan Protein = persen Total Nitrogen x F

Keterangan :

k

W : Bobot sampel V1

V

: Volume HCl 0,01 N yang dipergunakan untuk penitran Sampel

2

N : Normalitas HCl

: Volume HCl 0,01 N yang

dipergunakan untuk penitran Blanko

Fp F

: Faktor pengencer k : Faktor Konversi (6,25)

Penentuan kandungan air dilakukan menggunakan metode Gravimetri. Sampel daging ditimbang lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 3 jam. Setelah itu didinginkan dalam deksikator dan ditimbang hingga diperoleh berat stabil.

Kadar Air = a-b a

x 100%

a = bobot sampel sebelum dikeringkan, dalam gram

b = bobot sampel setelah dikeringkan, dalam gram

Identifikasi Bakteri Salmonella (Andini dkk. 1995)

Sampel daging sapi dipotong kecil-kecil dengan menggunakan pisau secara aseptis lalu ditimbang seberat 25 g. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam wadah blender steril dan ditambahkan larutan Tetrathionate Broth Base (Oxoid) 225 ml secara aseptis.

Tetrathionate Broth Base digunakan sebagai media pengkaya untuk mengidentifikasi

(5)

Salmonella. Kemudian campuran tersebut diblender sampai homogen lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml steril secara aseptis dan diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 37° C selama 24 jam. Selanjutnya dari sampel digoreskan pada media Salmonella Shigella Agar lalu diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 37° C selama 24 jam.

Identifikasi Salmonella dilakukan secara biokimiawi (Lampiran 1) dengan menumbuhkannya pada media Triple Sugar Iron Agar (TSIA),media semi solid (casiton 1 g, beef extract 1 g, natrium klorida 1 g, agar 0,8 g dan akuades 200 ml), media Lysine Iron Agar (LIA), media Simmon Citrate Agar, dan media agar-agar urea. Berdasarkan Bridson (1998), media TSIA merupakan media diferensiasi Enterobacteriaceae berdasarkan fermentasi tiga macam gula (sukrosa, glukosa, dan laktosa) dan produksi H2S. Media semi solid merupakan media setengah padat yang digunakan untuk menguji motilitas bakteri

Salmonella. Media LIA merupakan media diferensiasi untuk mendeteksi Salmonella

berdasarkan adanya enzim Lysine dekarboksilase dan produksi H2S. Media

Simmon Citrate Agar merupakan media diferensisasi yang digunakan untuk

membedakan Enterobakteriaceace berdasarkan penggunaan sitrat sebagai sumber

karbon sedangkan media agar-agar urea digunakan sebagai media diferensiasi Enterobacteriaceae berdasarkan produksi urease.

Perlakuan Kombinasi Iradiasi dan Penyimpanan Beku pada Daging Sapi

Sampel dicincang dengan menggunakan pisau secara aseptis, lalu masing-masing ditimbang seberat 20 g sebanyak 15 kali. Selanjutnya sampel yang telah dipotong-potong dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diletakkan ke dalam Styrofoam yang berisi es batu untuk diiradiasi dengan dosis 0 (kontrol), 3, dan 5 kGy. Selanjutnya sampel-sampel tersebut disimpan selama 0, 1, 2, 3, dan 4 minggu pada suhu -17°C. Iradiasi sampel menggunakan sinar gamma yang dipancarkan oleh radionuklida 60Co dengan laju dosis 1,1 kGy/jam.

Penentuan Jumlah Bakteri

a. Jumlah Total Bakteri Aerob (Fardiaz 1989)

Penentuan jumlah total bakteri aerob dilakukan dengan metode Angka Lempeng Total (Total Plate Count) yakni kontrol dan

sampel yang telah diiradiasi masing-masing dimasukkan ke dalam 180 ml larutan pepton 0,1% secara aseptis. Setelah itu, larutan pepton yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam wadah blender steril secara aseptis dan diblender sampai homogen. Selanjutnya kontrol dan sampel yang telah diblender dimasukkan ke dalam tiga buah erlenmeyer 500 ml steril secara aseptis lalu dilakukan pengenceran bertingkat. Setelah itu dipipet 0,1 ml larutan suspensi dari masing-masing pengenceran bertingkat lalu disebar pada media Nutrient Agar steril lalu diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37° C selama 24-48 jam dan dihitung jumlah koloninya.

b. Jumlah Bakteri Koliform dan Escherichia coli(Fardiaz 1989)

Penentuan jumlah bakteri koliform dilakukan seperti pada penentuan jumlah total bakteri aerob tetapi dengan menggunakan media Mac Conkey Agar steril. Selanjutnya diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37° C selama 24-48 jam dan dihitung jumlah koloninya. Penentuan jumlah bakteri

Escherichia coli dilakukan seperti pada penentuan jumlah total bakteri aerob dan koliform dengan menggunakan media

Briliance E.coli Coliform Selective Medium. Koloni Escherichia coli akan bewarna ungu.

c. Jumlah Bakteri Staphylococcus spp. Penentuan jumlah bakteri Staphylococcus

spp. dilakukan seperti penentuan jumlah total bakteri aerob, koliform dan Escherichia coli. Namun media yang digunakan adalah media

Baird-Parker Agar yang ditambahkan Egg Yolk-Tellurite Emulsion dandiinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37° C selama 48 jam lalu dihitung jumlah koloninya. Koloni

Staphylococcus spp. akan berwarna hitam.

HASIL

Kadar Protein dan Air

Kadar protein dan air disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil Penentuan Kadar Protein dan Air dalam Daging yang Berasal dari Beberapa RPH pada Minggu ke 0 tanpa Iradiasi

Sampel Daging Kadar Protein (%) Kadar Air (%)

RPH A 67,95 75,31

RPH B 61,13 74,26

RPH C 70,40 73,91

(6)

Salmonella. Kemudian campuran tersebut diblender sampai homogen lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml steril secara aseptis dan diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 37° C selama 24 jam. Selanjutnya dari sampel digoreskan pada media Salmonella Shigella Agar lalu diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 37° C selama 24 jam.

Identifikasi Salmonella dilakukan secara biokimiawi (Lampiran 1) dengan menumbuhkannya pada media Triple Sugar Iron Agar (TSIA),media semi solid (casiton 1 g, beef extract 1 g, natrium klorida 1 g, agar 0,8 g dan akuades 200 ml), media Lysine Iron Agar (LIA), media Simmon Citrate Agar, dan media agar-agar urea. Berdasarkan Bridson (1998), media TSIA merupakan media diferensiasi Enterobacteriaceae berdasarkan fermentasi tiga macam gula (sukrosa, glukosa, dan laktosa) dan produksi H2S. Media semi solid merupakan media setengah padat yang digunakan untuk menguji motilitas bakteri

Salmonella. Media LIA merupakan media diferensiasi untuk mendeteksi Salmonella

berdasarkan adanya enzim Lysine dekarboksilase dan produksi H2S. Media

Simmon Citrate Agar merupakan media diferensisasi yang digunakan untuk

membedakan Enterobakteriaceace berdasarkan penggunaan sitrat sebagai sumber

karbon sedangkan media agar-agar urea digunakan sebagai media diferensiasi Enterobacteriaceae berdasarkan produksi urease.

Perlakuan Kombinasi Iradiasi dan Penyimpanan Beku pada Daging Sapi

Sampel dicincang dengan menggunakan pisau secara aseptis, lalu masing-masing ditimbang seberat 20 g sebanyak 15 kali. Selanjutnya sampel yang telah dipotong-potong dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diletakkan ke dalam Styrofoam yang berisi es batu untuk diiradiasi dengan dosis 0 (kontrol), 3, dan 5 kGy. Selanjutnya sampel-sampel tersebut disimpan selama 0, 1, 2, 3, dan 4 minggu pada suhu -17°C. Iradiasi sampel menggunakan sinar gamma yang dipancarkan oleh radionuklida 60Co dengan laju dosis 1,1 kGy/jam.

Penentuan Jumlah Bakteri

a. Jumlah Total Bakteri Aerob (Fardiaz 1989)

Penentuan jumlah total bakteri aerob dilakukan dengan metode Angka Lempeng Total (Total Plate Count) yakni kontrol dan

sampel yang telah diiradiasi masing-masing dimasukkan ke dalam 180 ml larutan pepton 0,1% secara aseptis. Setelah itu, larutan pepton yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam wadah blender steril secara aseptis dan diblender sampai homogen. Selanjutnya kontrol dan sampel yang telah diblender dimasukkan ke dalam tiga buah erlenmeyer 500 ml steril secara aseptis lalu dilakukan pengenceran bertingkat. Setelah itu dipipet 0,1 ml larutan suspensi dari masing-masing pengenceran bertingkat lalu disebar pada media Nutrient Agar steril lalu diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37° C selama 24-48 jam dan dihitung jumlah koloninya.

b. Jumlah Bakteri Koliform dan Escherichia coli(Fardiaz 1989)

Penentuan jumlah bakteri koliform dilakukan seperti pada penentuan jumlah total bakteri aerob tetapi dengan menggunakan media Mac Conkey Agar steril. Selanjutnya diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37° C selama 24-48 jam dan dihitung jumlah koloninya. Penentuan jumlah bakteri

Escherichia coli dilakukan seperti pada penentuan jumlah total bakteri aerob dan koliform dengan menggunakan media

Briliance E.coli Coliform Selective Medium. Koloni Escherichia coli akan bewarna ungu.

c. Jumlah Bakteri Staphylococcus spp. Penentuan jumlah bakteri Staphylococcus

spp. dilakukan seperti penentuan jumlah total bakteri aerob, koliform dan Escherichia coli. Namun media yang digunakan adalah media

Baird-Parker Agar yang ditambahkan Egg Yolk-Tellurite Emulsion dandiinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37° C selama 48 jam lalu dihitung jumlah koloninya. Koloni

Staphylococcus spp. akan berwarna hitam.

HASIL

Kadar Protein dan Air

Kadar protein dan air disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil Penentuan Kadar Protein dan Air dalam Daging yang Berasal dari Beberapa RPH pada Minggu ke 0 tanpa Iradiasi

Sampel Daging Kadar Protein (%) Kadar Air (%)

RPH A 67,95 75,31

RPH B 61,13 74,26

RPH C 70,40 73,91

(7)

Identifikasi Salmonella ditunjukkan pada Tabel 2 yakni penanaman ketiga sampel daging pada media Salmonella-Shigella Agar

(Gambar 1) menghasilkan koloni tunggal berwarna putih, hitam, dan merah muda yang diduga sebagai Salmonella. Koloni-koloni tersebut lalu ditanam pada media TSIA (agar miring) dan semi solid. Reaksi biokimia dari

Salmonella pada media TSIA ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah pada bagian agar yang miring serta warna kuning, hitam, dan adanya gas pada bagian tegaknya (Bridson 1998). Warna merah yang timbul disebabkan oleh Salmonella dapat menggunakan pepton sebagai sumber energi yang terjadi di permukaan agar-agar dan menghasilkan produk sampingan berupa basa (merah). Warna kuning pada media terjadi karena Salmonella dapat memfermentasikan glukosa sehingga menghasilkan produk sampingan berupa asam (kuning) dan membentuk gas, sedangkan warna hitam terjadi karena Salmonella menghasilkan H2S yang mereduksi natrium tiosulfat pada agar-agar kemudian bereaksi dengan garam besi sehingga terbentuk warna hitam (Saptarini 2009). Reaksi biokimia dari Salmonella pada media semi solid ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan putih (motilitas) dan tidak terbentuknya gas pada permukaan media. Hasil uji terhadap ketiga sampel daging menunjukkan bahwa semua koloni tidak menghasilkan warna merah-kuning (R/Y) pada media TSIA, kecuali oleh koloni berwarna merah muda yang berasal dari RPH C. Akan tetapi, koloni tersebut tidak menghasilkan H2

Identifikasi Salmonella kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji biokimia yang menggunakan media agar-agar urea,

Simmon Citrat Agar, dan LIA untuk memperkuat uji sebelumnya. Reaksi biokimia dari Salmonella pada media agar-agar urea

ditunjukkan dengan tidak terjadinya perubahan warna pada media. Hal ini terjadi karena Salmonella tidak menghasilkan urease. Urease akan merubah warna media dari kuning menjadi merah muda karena menghidrolisis urea. Pada Simmon Citrat Agar, Salmonella akan menghasilkan reaksi basa dan merubah warna media dari hijau menjadi biru karena adanya penggunaan sitrat sebagai sumber karbon oleh Salmonella. Konfirmasi biokimia Salmonella pada LIA ditandai dengan terbentuknya warna ungu di bagian agar-agar yang miring dan warna hitam violet di bagian dasar tabung (V/HV). Warna ungu terjadi karena adanya produksi lysin dekarboksilase oleh Salmonella yang menyebabkan reaksi basa (warna ungu) pada media. Warna hitam terjadi karena adanya H

S sehingga uji biokimia

Salmonella pada TSIA menunjukkan hasil yang negatif. Uji biokimia menggunakan media semi solid menunjukkan hasil yang positif (adanya motilitas) pada semua koloni yang berasal dari daging RPH B dan C. Salah satu koloni yang berasal dari sampel daging RPH A yakni koloni yang berwarna merah muda, menunjukkan adanya motilitas pada semi solid, tetapi koloni tersebut menghasilkan gas sehingga uji biokimia

Salmonella menunjukkan hasil yang negatif. Hasil uji biokimia Salmonella dengan menggunakan media TSIA dan semi solid menunjukkan ketiga sampel daging tidak mengandung Salmonella.

2S yang dihasilkan Salmonella pada media (Bridson 1998).

Uji biokimia Salmonella menggunakan media agar-agar urea dan Simmon Citrat Agar

(8)

Tabel 2 Uji Biokimiawi terhadap Bakteri yang Diduga Salmonella pada Daging RPH A, B dan C di minggu ke 0 tanpa iradiasi

Sampel Warna koloni

TSIA Semi Solid Urea

Agar S. Citrat

Agar

LIA Ada/Tidaknya

Salmonella

R/Y H2S Gas Motilitas Gas

Daging RPH A

Putih Y/Y _ + _ _ _ ++ V/V tidak ada

Merah Muda

Y/Y _ + + + _ ++ V/V tidak ada

Daging RPH B

Merah muda

R/B + _ + (S) _ _ ++ _ tidak ada

Hitam R/B + _ + (S) _ _ + V/V tidak ada

Putih R/B + + + _ _ ++ V/V tidak ada

Daging RPH C

Merah muda

R/Y _ + + _ tidak ada

Tidak diuji

Keterangan: Y/Y: terdapat warna kuning pada bagian agar yang miring dan tegak

R/B : terdapat warna merah pada bagian agar yang miring dan warna hitam pada bagian agar yang tegak

R/Y : terdapat warna merah pada bagian agar yang miring dan warna kuning pada bagian agar yang tegak

S : Spread (ada penyebaran)

Gambar 1 Penanaman Bakteri dari Sampel Daging pada Media Salmonella Shigella Agar

yang Diinkubasi pada Suhu 37° C selama 24 jam

Jumlah Total Bakteri Aerob

Jumlah bakteri aerob dalam sampel daging kontrol RPH A lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah bakteri aerob pada sampel daging kontrol RPH B serta C (minggu ke 0). Pada sampel daging RPH A yang diiradiasi dengan dosis 3 serta 5 kGy pada penyimpanan 0 sampai 4 minggu pada suhu 17° C, tidak lagi ditemukan pertumbuhan bakteri aerob. Hal yang sama juga terjadi pada sampel daging RPH B. Jumlah bakteri aerob tersebut semuanya memenuhi persyaratan SNI (2008), yaitu kurang dari 1 x 106

Setelah disimpan selama 4 minggu pada suhu 17° C, jumlah bakteri aerob dalam sampel daging kontrol RPH A dan RPH C, cenderung menurun masing-masing sebanyak

2 desimal menjadi 1,6 x 10

cfu/g.

3

(9)

sebanyak 1 desimal. Jumlah bakteri aerob tersebut semuanya memenuhi persyaratan SNI (2008), yaitu kurang dari 1 x 106

Pada penyimpanan 0 minggu, jumlah bakteri aerob pada sampel daging kontrol ketiga RPH terlihat berbeda nyata terhadap jumlah bakteri aerob pada sampel daging

kontrol ketiga RPH di penyimpanan 4 minggu (p<0,05). Jumlah bakteri aerob pada sampel daging RPH A, B dan C terlihat ada perbedaan nyata antara kontrol dengan sampel daging yang diiradiasi dengan dosis 3 dan 5 kGy pada minggu ke 0. Pada minggu ke 4 antara kontrol dengan yang diiradiasi jumlah bakteri aerob dalam sampel daging yang berasal dari ketiga RPH tidak berbeda nyata (p<0,05).

CFU/g. Pada penyimpanan 4 minggu untuk kontrol terlihat jumlah bakteri aerob dalam daging RPH A, B, dan C saling tidak berbeda nyata secara statistik.

Tabel 3 Hasil Perhitungan Rata-rata Jumlah Bakteri Aerob dalam Daging yang Berasal dari RPH A, B dan C yang Diiradiasi dan Disimpan pada Suhu Beku (-17° C) (CFU/g)

Jumlah Koloni Bakteri (CFU/g) SNI (2008)

Minggu Dosis (kGy) RPH A RPH B RPH C (CFU/g)

0 0 2,5 x 105 a(a) 8,5 x 104 a(b) 6,2 x 104 a(b)

3 0 d(a) 0 d(a) 0 d(a)

5 0 d(a) 0 d(a) 0 d(a)

1 0 2,0 x 105 b(a) 2,6 x 104 b(b) 7,9 x 103 cbd(c) 3 0 d(a) 0 d(a) 4,0 x 102 d(b)

5 0 d(a) 0 d(a) 0 d(a)

2 0 4,7 x 103 d(a) 1,3 x 102 d(b) 2,0 x 104 b(c)

3 0 d(a) 0 d(a) 3,5 x 103 cd(b) < 1 x 106

5 0 d(a) 0 d(a) 5,2 x 102 d(b) 3 0 1,4 x 104 c(a) 2,8 x 103 c(b) 1,5 x 104 cb(a)

3 0 d(a) 0 d(a) 3,0 x 103 cd(b)

5 0 d(a) 0 d(a) 0 d(a)

4 0 1,6 x 103 d(a) 2,5 x 103 dc(a) 5,0 x 102 d(a)

3 0 d(a) 0 d(a) 6,7 x 101 d(b)

5 0 d(a) 0 d(a) 0 d(a)

Keterangan: ( ) = huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata antar baris tanpa ( ) = huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata antar kolom

Jumlah Bakteri Koliform

Pada penelitian ini ditemukan bakteri koliform dalam daging seperti yang tercantum pada Tabel 4. Jumlah bakteri koliform dalam sampel daging kontrol RPH A lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah bakteri koliform pada sampel daging kontrol RPH B serta C (minggu ke 0). Jumlah bakteri koliform tersebut semuanya tidak memenuhi persyaratan SNI (2008), karena melebihi dari 1 x 102 CFU/g. Pada sampel daging RPH A dan B yang diiradiasi dengan dosis 3 dan 5 kGy pada penyimpanan 0 sampai 4 minggu, tidak terjadi pertumbuhan bakteri koliform. Jumlah bakteri koliform tersebut semuanya memenuhi persyaratan SNI (2008), yaitu kurang dari 1 x 102 CFU/g. Pada sampel daging RPH A, B dan C yang diiradiasi dengan dosis 5 kGy pada penyimpanan 0 sampai 4 minggu, tidak lagi ditemukan pertumbuhan bakteri koliform. Jumlah bakteri

koliform tersebut semuanya memenuhi persyaratan SNI (2008), karena kurang dari 1 x 102

Setelah disimpan selama 4 minggu pada suhu beku (-17° C), jumlah bakteri koliform dalam sampel daging kontrol RPH A dan C, masing-masing menurun sebanyak 3 dan 1 desimal menjadi 7,7 x 10

cfu/g.

2

(10)

Pada penyimpanan 0 minggu, jumlah bakteri koliform pada sampel daging kontrol ketiga RPH terlihat berbeda nyata terhadap jumlah bakteri koliform pada sampel daging kontrol ketiga RPH di penyimpanan 4 minggu (p<0,05). Jumlah bakteri koliform pada sampel daging RPH A, B, dan C terlihat ada

perbedaan nyata antara kontrol dengan sampel daging yang diiradiasi dengan dosis 3 dan 5 kGy pada minggu ke 0. Pada minggu ke 4 antara kontrol dengan yang diiradiasi jumlah bakteri koliform dalam sampel daging yang berasal dari RPH A dan B tidak berbeda nyata (p>0,05).

Tabel 4 Hasil Perhitungan Rata-rata Jumlah Bakteri Koliform dalam Daging yang Berasal dari RPH A, B dan C yang Diiradiasi dan Disimpan pada Suhu Beku (-17° C)

Jumlah Koloni Bakteri (CFU/g) SNI (2008)

Minggu Dosis (kGy) RPH A RPH B RPH C (CFU/g)

0 0 1,2 x 105 a(a) 3,2 x 104 a(b) 3,7 x 103 a(c)

3 0 b(a) 0 b(a) 0 e(a)

5 0 b(a) 0 b(a) 0 e(a)

1 0 1,0 x 105 a(a) 1,4 x 103 b(b) 2,5 x 103 b(b)

3 0 b(a) 0 b(a) 0 e(a)

5 0 b(a) 0 b(a) 0 e(a)

2 0 3,3 x 103 b(a) 1,0 x 102 b(b) 9,6 x 102 c(c)

3 0 b(a) 0 b(a) 6,7 x 101 e(b) < 1 x 102

5 0 b(a) 0 b(a) 0 e(a)

3 0 5,9 x 103 b(a) 6,7 x 101 b(b) 1,0 x 103 c(c)

3 0 b(a) 0 b(a) 0 e(a)

5 0 b(a) 0 b(a) 0 e(a)

4 0 7,7 x 102 b(a) 0 b(b) 4,7 x 102 d(a)

3 0 b(a) 0 b(a) 0 e(a)

5 0 b(a) 0 b(a) 0 e(a)

Keterangan: ( ) = huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata antar baris

tanpa ( ) = huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata antar kolom

Jumlah Bakteri Escherichia coli

Keberadaan bakteri Escherichia coli

pada sampel daging ditunjukkan pada Tabel 5. Jumlah bakteri Escherichia coli dalam sampel daging kontrol RPH A adalah lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah bakteri

Escherichia coli pada sampel daging kontrol RPH B serta C (minggu ke 0). Jumlah bakteri

Escherichia coli tersebut semuanya tidak memenuhi persyaratan SNI (2008), karena melebihi dari 1 x 101 CFU/g. Pada sampel daging RPH A yang diiradiasi dengan dosis 3 serta 5 kGy pada penyimpanan 0 sampai 4 minggu, tidak lagi ditemukan pertumbuhan bakteri Escherichia coli. Hal yang sama juga terjadi pada sampel daging RPH B dan C. Jumlah bakteri Escherichia coli tersebut semuanya memenuhi persyaratan SNI (2008), yaitu kurang dari 1 x 101

Setelah disimpan selama 4 minggu pada suhu beku (-17° C), jumlah bakteri

Escherichia coli dalam sampel daging kontrol RPH A dan B, sudah tidak tumbuh lagi.

Jumlah bakteri Escherichia coli pada daging RPH A dan B memenuhi persyaratan SNI (2008) karena kurang dari 1 x 10

CFU/g.

1

CFU/g. Sebaliknya, jumlah bakteri Escherichia coli

dalam sampel daging kontrol RPH C, setelah selama 4 minggu mengalami penurunan sebanyak 1 desimal menjadi 2,0 x 102 CFU/g dibandingkan dengan penyimpanan 0 minggu. Jumlah bakteri Escherichia coli pada daging RPH C tersebut semuanya tidak memenuhi persyaratan SNI (2008), yaitu lebih dari 1 x 101

Pada penyimpanan 0 minggu, jumlah bakteri Escherichia coli dalam sampel daging kontrol ketiga RPH terlihat berbeda nyata terhadap jumlah bakteri Escherichia coli

dalam sampel daging kontrol ketiga RPH di penyimpanan 4 minggu (p<0,05). Pada minggu ke 0 jumlah bakteri Escherichia coli

dalam daging yang berasal dari RPH A, B, dan C menunjukkan perbedaan yang nyata antara kontrol dengan yang diiradiasi. Pada minggu keempat, tidak ada perbedaan nyata

(11)

jumlah bakteri Escherichia coli dalam kontrol dengan sampel daging ketiga RPH yang

diiradiasi (p>0,05).

Tabel 5 Hasil Perhitungan Rata-rata Jumlah Bakteri Escherichia coli dalam Daging yang Berasal dari RPH A, B dan C yang Diiradiasi dan Disimpan pada Suhu Beku (-17° C)

Jumlah Koloni Bakteri (CFU/g) SNI (2008)

Minggu Dosis (kGy) RPH A RPH B RPH C (CFU/g)

0 0 2,1 x104 a(a) 7,7 x 103 a(b) 2,6 x 103 a(c)

3 0 d(a) 0 b(a) 0 d(a)

5 0 d(a) 0 b(a) 0 d(a)

1 0 2,3 x 103 b(a) 6,7 x 101 b(b) 1,3 x 103 b(a)

3 0 d(a) 0 b(a) 0 d(a)

5 0 d(a) 0 b(a) 0 d(a)

2 0 3,3 x 102 dc(a) 3,3 x 101 b(a) 4,3 x 102 c(a)

3 0 d(a) 0 b(a) 0 d(a) < 1 x 101

5 0 d(a) 0 b(a) 0 d(a)

3 0 3,7 x 102 c(a) 0 b(b) 5,0 x 102 c(a)

3 0 d(a) 0 b(a) 0 d(a)

5 0 d(a) 0 b(a) 0 d(a)

4 0 0 d(a) 0 b(a) 2,0 x 102 d(b)

3 0 d(a) 0 b(a) 0 d(a)

5 0 d(a) 0 b(a) 0 d(a)

Keterangan: ( ) = huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata antar baris

tanpa ( ) = huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata antar kolom

Jumlah Bakteri Staphylococcus spp. Jumlah bakteri Staphylococcus spp. dalam sampel daging kontrol RPH B lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah bakteri Staphylococcus spp. pada sampel daging kontrol RPH A serta C (minggu ke 0). Jumlah bakteri Staphylococcus spp. tersebut semuanya tidak memenuhi persyaratan SNI (2008), karena melebihi dari 1 x 102 CFU/g. Pada sampel daging RPH A dan B yang diiradiasi dengan dosis 3 serta 5 kGy pada penyimpanan 0 sampai 4 minggu, tidak terjadi pertumbuhan bakteri Staphylococcus spp. Jumlah bakteri Staphylococcus spp. tersebut semuanya memenuhi persyaratan SNI (2008), karena kurang dari 1 x 102

Setelah disimpan selama 4 minggu pada suhu beku (-17° C), jumlah bakteri

Staphylococcus spp. dalam sampel daging kontrol RPH B dan C, masing-masing menurun sebanyak 1 desimal menjadi 1,7 x 10

CFU/g.

2

dan 1,7 x 102 CFU/g bila dibandingkan dengan penyimpanan 0 minggu, sedangkan pada RPH A sudah tidak ditemukan lagi bakteri Staphylococcus spp yang tumbuh. Jumlah bakteri Staphylococcus spp. pada

daging RPH B dan C di minggu ke 4 tidak memenuhi persyaratan SNI (2008) karena melebihi dari 1 x 102 CFU/g.

Pada penyimpanan 0 minggu, jumlah bakteri Staphylococcus spp. dalam sampel daging kontrol ketiga RPH terlihat berbeda nyata terhadap jumlah bakteri Staphylococcus

(12)

Tabel 6 Hasil Perhitungan Rata-rata Jumlah Bakteri Staphylococcus spp.dalam Daging yang Berasal dari RPH A, B dan C yang Diiradiasi dan Disimpan pada Suhu Beku (-17° C)

Jumlah Koloni Bakteri (CFU/g) SNI (2008)

Minggu Dosis (kGy) RPH A RPH B RPH C (CFU/g)

0 0 4,6 x 103 a(a) 9,5 x 103 a(b) 5,2 x 103 a(a)

3 0 b(a) 0 c(a) 0 c(a)

5 0 b(a) 0 c(a) 0 c(a)

1 0 1,3 x 103 a(a) 2,6 x 103 b(a) 3,7 x 102 cb(b)

3 0 b(a) 0 c(a) 0 c(a)

5 0 b(a) 0 c(a) 0 c(a)

2 0 1,7 x 102 b(a) 3,3 x 101 c(b) 1,1 x 103 b(c)

3 0 b(a) 0 c(a) 5,3 x 102 cb(b) < 1 x 102 5 0 b(a) 0 c(a) 3,3 x 101 c(a)

3 0 0 b(a) 7,0 x 102 c(b) 3,0 x 102 cb(ab)

3 0 b(a) 0 c(a) 0 c(a)

5 0 b(a) 0 c(a) 0 c(a)

4 0 0 b(a) 1,7 x 102 c(ab) 1,7 x 102 c(ab)

3 0 b(a) 0 c(a) 0 c(a)

5 0 b(a) 0 c(a) 0 c(a)

Keterangan: ( ) = huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata antar baris tanpa ( ) = huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata antar kolom

PEMBAHASAN

Penentuan Kadar Protein dan Kadar Air Daging mudah sekali mengalami kerusakan karena kandungan gizi dan kadar airnya yang tinggi, serta banyak mengandung vitamin dan mineral. Kerusakan pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk. Bakteri tersebut akan mengubah rasa daging menjadi asam serta memecah atau mengoksidasi lemak sehingga daging akan mengalami ketengikan (Depkes 1998). Kadar air dalam bahan pangan dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri dan kapang. Kadar air bahan makanan sangat berperan dalam pertumbuhan mikroba, sehingga sangat menentukan kualitas dan masa simpan (Supardi dan Sukamto 1999). Daging juga mengandung protein yang tinggi sehingga daging dapat mengalami kebusukan selama penyimpanan karena bakteri memecah protein menjadi senyawa yang lebih sederhana, kemudian menjadi polipeptida dan asam-asam amino, dan dengan proses deaminasi terbentuk amonia, indol, skatol, merkaptan dan H2

Pada penelitian ini diperoleh kadar protein serta kadar air yang cukup tinggi dalam ketiga sampel daging. Hal tersebut dapat menjadi penyebab terjadinya perbedaan jumlah cemaran awal bakteri aerob, koliform,

S (Suradi 2009).

Staphylococcus spp. dan Escherichia coli

dalam ketiga sampel daging.

Daging yang mulai busuk akan berlendir dan memiliki tekstur yang terasa lengket di tangan. Selain itu permukaan daging berwarna kusam, kotor, dan terdapat noda merah, hitam, biru, dan putih kehijauan akibat kegiatan mikroba (BPTP 2001). Mikroba pembusuk juga dapat menghasilkan toksin yang tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan atau kerusakan fisik (bau busuk kurang nyata), sehingga pangan tetap dikonsumsi (Djafaar dan Rahayu 2007).

Identifikasi Bakteri Salmonella

Hasil uji negatif pada identifikasi

Salmonella menunjukkan bahwa sampel yang berasal dari ketiga RPH memenuhi persyaratan SNI (2008). Akan tetapi hal tersebut tidak menjamin bahwa sampel aman untuk dikonsumsi, karena terdapat berbagai cemaran bakteri lainnya yang tidak memenuhi persyaratan SNI (2008).

Penentuan Jumlah Total Bakteri Aerob, Koliform, Escherichia coli dan Staphylococcus spp.

(13)

kelompok bahan pangan yang mudah rusak. Salah satu penyebab kerusakan bahan pangan tersebut adalah adanya pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Depkes 1998). Cemaran mikroba pada daging dapat terjadi saat penyembelihan. Menurut Buckle et al. (1987) adanya cemaran bakteri dalam proses pemotongan ternak sangat mungkin terjadi, khususnya pengulitan dan pengeluaran jerohan merupakan titik paling rentan terhadap terjadinya cemaran dari bagian luar kulit dan isi saluran pencernaan. Cemaran bakteri, di samping berasal dari bagian tubuh ternak sewaktu masih hidup, juga dapat berasal dari lingkungan sekitar tempat pemotongan. Sumber pencemaran mikroba diantaranya juga melalui lalat yang berasal dari tempat penyembelihan daging serta tanah/lantai pada ruang penyembelihan. Karkas daging dapat tercemar Salmonella

yang berasal dari kotoran dalam usus pada saat penyembelihan (WHO 1976). Menurut Harsojo dkk. (2005) dan Arifin dkk. (2008) sumber cemaran Staphylococcus spp. dapat bersumber dari para pekerja RPH yang kurang higienis. Selain itu, alat-alat yang dipergunakan selama proses mempersiapkan karkas dan air yang digunakan untuk mencuci karkas atau untuk membersihkan lantai juga dapat menjadi sumber cemaran (Lawrie 2003). Jumlah cemaran awal bakteri koliform,

Escherichia coli dan Staphylococcus spp. yang melebihi ambang batas SNI (2008) dalam ketiga sampel daging dapat disebabkan oleh kondisi sanitasi yang kurang memadai pada ketiga RPH.

Dasar pengawetan makanan adalah melindungi makanan dari pembusukan terutama oleh bakteri dan kapang (Harsojo dan Andini 2008). Pembekuan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut. Pembekuan atau dengan terbentuknya es (ketersediaan air menurun), maka kegiatan enzim dan mikroba dapat dihambat atau dihentikan serta mencegah reaksi-reaksi kimia sehingga dapat mempertahankan mutu (rasa dan nilai gizi) bahan pangan. Walaupun pembekuan dapat mereduksi jumlah mikroba yang sangat nyata tetapi tidak dapat mensterilkan makanan dari mikroba (Rohana 2002). Hal ini terlihat dari masih adanya pertumbuhan bakteri aerob, koliform, Staphylococcus spp. dan

Escherichia coli pada sampel daging kontrol dari ketiga RPH secara umum, walaupun sudah disimpan selama 4 minggu di dalam

freezer.

Proses pembekuan terjadi secara bertahap dari permukaan sampai pusat bahan. Pada pemukaan bahan, pembekuan berlangsung cepat sedangkan pada bagian yang lebih dalam, proses pembekuan berlangsung lambat. Pada awal proses pembekuan, terjadi fase precooling yang menyebabkan suhu bahan diturunkan dari suhu awal ke suhu titik beku. Pada tahap ini semua kandungan air bahan berada pada keadaan cair. Setelah tahap

precooling terjadi tahap perubahan fase, pada tahap ini terjadi pembentukan kristal es. Pembentukan kristal akan mengurangi kadar air bahan dalam fase cair di dalam bahan pangan tersebut sehingga menghambat pertumbuhan mikroba. Jika sel mikroba yang rusak tersebut mendapat kesempatan menyembuhkan dirinya, maka pertumbuhan mikroba yang cepat akan terjadi jika lingkungan sekitarnya memungkinkan (Rohana 2002). Menurut Yuliatin (2008)

pembekuan akan meningkatkan konsentrasi elektrolit di dalam sel mikroba karena air bebas membeku membentuk kristal es dan merusak sistem koloidal dari protoplasma (misalnya sistem koloid protein). Pembekuan juga menyebabkan denaturasi protein di dalam sel mikroba.

Fardiaz (1990) menyatakan bahwa proses pembekuan dapat menyebabkan kematian atau kerusakan subletal pada sebagian sel. Sel disebut mengalami kerusakan subletal dan tidak mati jika sel tersebut mengalami kerusakan tetapi masih mempunyai kemampuan untuk melakukan metabolisme pada kondisi yang tidak menghambat dan kemudian kembali ke keadaan fisiologi yang normal sehingga akhirnya dapat tumbuh secara normal dan berkembang biak. Sel yang mengalami kerusakan subletal dapat tumbuh secara normal dan dapat berkembang biak jika ditumbuhkan dalam medium yang kaya akan nutrisi. Turun naiknya jumlah bakteri aerob, koliform, Staphylococcus spp., dan

Escherichia coli pada sampel daging kontrol dari RPH A, B dan C secara umum, disebabkan oleh adanya kerusakan subletal pada bakteri-bakteri tersebut selama penyimpanan pada suhu beku. Namun, kerusakan tersebut masih dapat diperbaiki karena bakteri-bakteri tersebut masih dapat memanfaatkan nutrisi yang terdapat dalam daging dan media pertumbuhan agar.

(14)

mengakibatkan sel mengalami dehidrasi selama pembekuan (Yuliatin 2008). Menurut Lund (2000) ketahanan mikroba selama pembekuan juga dipengaruhi oleh jenis mikroba, komposisi medium pembekuan, status nutrisi, fase pertumbuhan sebelum mikroba dibekukan, suhu pembekuan, kecepatan pembekuan, lama pembekuan, kecepatan thawing, metode yang digunakan untuk menentukan jumlah sel yang hidup, dan media yang digunakan.

Pengaruh Iradiasi Gamma Terhadap Pertumbuhan Bakteri

Menurut Maha (1985) iradiasi adalah teknik penggunaan energi untuk penyinaran bahan dengan menggunakan sumber iradiasi buatan. Iradiasi termasuk salah satu cara fisika dalam pengawetan makanan seperti halnya pemanasan, pendinginan dan pembekuan. Sumber iradiasi yang dapat digunakan untuk proses pengawetan bahan pangan terdiri atas 4 macam yaitu ; Co-60, Cs-137 masing-masing menghasilkan sinar gamma, mesin berkas elektron, dan mesin generator sinar X (Irawati, 2006). Sinar gamma yang dipancarkan oleh radionuklida 60Co (kobalt-60) dan 137Cs (caesium-37) merupakan sumber iradiasi pengion yang telah banyak digunakan untuk aplikasi komersial pengawetan makanan (Irawati 2007). 60Co lebih banyak digunakan dalam iradiasi pangan karena memiliki energi radiasi yang lebih besar sehingga mempunyai daya tembus yang besar dan tersedia di pasaran. Cobalt-60 memancarkan sinar gamma dengan energi sebesar 1.33 MeV. Iradiasi menggunakan energi kurang dari 5 MeV tidak akan menyebabkan bahan pangan menjadi radioaktif karena reaksinya tidak mencapai inti. Oleh karena itu ketiga sampel daging yang diiradiasi dengan sinar gamma yang berasal dari 60

Dosis iradiasi yaitu jumlah energi radiasi yang diserap ke dalam bahan. Satuan yang digunakan saat ini adalah Gray (Gy). Satu Gray = 1 Joule/kg (Wahyudi dkk. 2005). Radiasi pengion pada dosis sedang, yaitu 1-5 kGy sudah mampu untuk menekan dan sekaligus mengeliminasi pertumbuhan mikroba (Irawati 2007). Hal ini terlihat pada ketiga sampel yang diiradiasi dengan dosis 3 dan 5 kGy pada minggu ke 0 tidak terdapat bakteri yang tumbuh. Selanjutnya kombinasi perlakuan iradiasi dan penyimpanan dengan

freezer semakin menghambat pertumbuhan bakteri. Bahkan pada sampel yang berasal dari

RPH A dan B yang diiradiasi dengan dosis 3 dan 5 kGy sampai minggu keempat, tidak ditemukan lagi bakteri yang tumbuh.

Co tidak akan bersifat radioaktif.

Pengaruh iradiasi gamma terhadap mikroba memiliki efek secara langsung ataupun tidak langsung. Menurut Anang (1986), efek langsung terjadi akibat adanya tumbukan langsung energi radiasi atau elektron dalam mikroba. Beberapa perubahan sifat fisika kimia yang terjadi akibat iradiasi yaitu: perubahan dan hilangnya basa nitrogen, pemutusan ikatan hidrogen, pemutusan rantai gula fosfat dari masing-masing polinukleotida dari DNA, disebut single strand break,

pemutusan rantai yang berdekatan pada kedua polinukleotida dari DNA, disebut dengan

double strand break dan terbentuknya ikatan silang intramolekuler, disebut base damage. Kebanyakan mikroba mampu untuk memperbaiki kerusakan single strand break. Beberapa pustaka menyebutkan bahwa mikroba yang sensitif tidak dapat memperbaiki double strand break, sedangkan mikroba yang menunjukan resistensi yang lebih tinggi mempunyai kapasitas untuk memperbaiki double strand breaks. Namun hasil perbaikan atau penyusunan kembali DNA tersebut dapat sama atau berbeda dengan semula. Penyusunan ulang yang berbeda dapat berakibat pada kematian sel, mutasi atau transformasi (Tetriana dan Sugoro 2007).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 701/MENKES/PER/VII/2009 tentang Pangan Iradiasi (Lampiran 2), pada bahan pangan daging segar maupun beku dianjurkan untuk diiradiasi dengan dosis 3 kGy untuk memperpanjang masa simpan serta dosis 7 kGy untuk membunuh bakteri patogen. Pada penelitian ini digunakan dosis 3 dan 5 kGy, sehingga sampel masih dapat dikatakan aman.

(15)

dosis 3 kGy pada minggu ketiga sampai minggu keempat disebabkan adanya kondisi lingkungan fisik yang ekstrem yakni suhu pembekuan, nutrisi yang semakin sedikit, serta kompetisi dengan bakteri lainnya menyebabkan pertumbuhan menjadi terganggu dan kembali menurun. Hal yang sama juga terjadi terhadap kenaikan pertumbuhan bakteri koliform pada sampel daging RPH C yang diiradiasi dengan dosis 3 kGy di minggu kedua, serta kenaikan pertumbuhan bakteri Staphylococcus spp. pada sampel daging RPH C yang diradiasi dengan dosis 3 dan 5 kGy di minggu kedua.

Proses iradiasi pada bahan pangan juga memiliki beberapa keuntungan lainnya, diantaranya yaitu suhu awal bahan tetap (dikenal dengan proses "dingin"). Energi yang diserap oleh bahan pangan atau makanan dengan iradiasi jauh lebih rendah daripada energi yang diserap makanan pada saat dipanaskan, dengan demikian perubahan karakteristik kimia dari bahan pangan yang diawetkan dengan radiasi, secara kuantitatif lebih sedikit daripada yang dipanaskan (Irawati 2007). Selain itu proses iradiasi merupakan proses terkontrol, dapat dilakukan pada bahan pengemas yang sensitif terhadap panas, dan dapat menurunkan komponen alergi pada bahan pangan (Irawati 2006). Teknologi iradiasi pada bahan pangan dengan sinar gamma menurut Muchtadi (2010) memiliki daya penetrasi yang sangat kuat pada produk, tidak meninggalkan residu kimiawi pada produk, praktis, efektif, efisien, serta dapat memproses produk pada skala komersial. Penggunaan teknologi iradiasi dalam pengawetan makanan tidak merusak gizi bahan pangan.

Hasil penelitian menunjukkan iradiasi pada berbagai macam bahan pangan tidak ditemukan adanya senyawa toksik. Lebih jauh disebutkan bahwa dari hasil penelitian Dwiloka (1993) dalam Soedarto (2008) disebutkan dengan perlakuan iradiasi sampai dosis 9 kGy tidak berpengaruh terhadap kadar air, protein, lemak, abu total, dan karbohidrat pada udang segar beku. Berdasarkan penelitian terhadap bandeng asap yang diiradiasi pada dosis 5 dan 10 kGy, ternyata iradiasi tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan asam amino (Soedarto, 2008). Beberapa jenis vitamin seperti riboflavin, niacin dan vitamin D cukup tahan terhadap radiasi, tetapi vitamin A, B, C dan E sangat peka. Pada umumnya penurunan kadar vitamin bahan pangan akibar iradiasi tidak

berbeda dengan yang diawetkan dengan cara pemanasan (Irawati 2007).

SIMPULAN

Pada perlakuan kombinasi penyimpanan beku dan iradiasi secara statistik mampu menghambat pertumbuhan bakteri dari semua RPH. Cemaran awal bakteri koliform,

Staphylococcus spp., dan Escherichia coli

pada semua RPH tidak memenuhi persyaratan SNI. Secara umum, dosis 3 kGy mampu menghambat pertumbuhan bakteri aerob, koliform, Staphylococcus spp., dan

Escherichia coli pada semua RPH. Tidak ditemukan Salmonella pada semua RPH.

SARAN

Pada isolasi bakteri Salmonella sebaiknya digunakan metode sebar agar

Salmonella dapat terisolasi dengan baik. Perlu dilakukan frekuensi pengambilan sampel yang lebih banyak (di bebrapa kabupaten Bogor lainnya). Dosis iradiasi yang digunakan cukup menggunakan dosis dibawah 3 kGy karena dapat menghemat waktu dan biaya.

DAFTAR PUSTAKA

Anang H. 1986. Iradiasi makanan–prospek penggunaannya di ASEAN. Risalah

Seminar Nasional Pusat Aplikasi Isotop Radiasi BATAN. Jakarta, 13-14 Maret 1986. Jakarta: PATIR-BATAN.hlm 41-49.

Andini L.S., Harsojo, Anastasia S.D. dan Maha M. 1995. Efek iradiasi gamma pada

Salmonella spp yang diisolasi dari ayam segar. Risalah Pertemuan Ilmiah APISORA-BATAN; Jakarta, Desember 1995. Jakarta: PATIR-BATAN.hlm 165-171.

Anonim. 2003. Codex General Standard for Irradiated Foods (Codex Stan 106-1983 – Rev. 1-2003). Geneva: Codex

Allimentarius Commission.

(16)

dosis 3 kGy pada minggu ketiga sampai minggu keempat disebabkan adanya kondisi lingkungan fisik yang ekstrem yakni suhu pembekuan, nutrisi yang semakin sedikit, serta kompetisi dengan bakteri lainnya menyebabkan pertumbuhan menjadi terganggu dan kembali menurun. Hal yang sama juga terjadi terhadap kenaikan pertumbuhan bakteri koliform pada sampel daging RPH C yang diiradiasi dengan dosis 3 kGy di minggu kedua, serta kenaikan pertumbuhan bakteri Staphylococcus spp. pada sampel daging RPH C yang diradiasi dengan dosis 3 dan 5 kGy di minggu kedua.

Proses iradiasi pada bahan pangan juga memiliki beberapa keuntungan lainnya, diantaranya yaitu suhu awal bahan tetap (dikenal dengan proses "dingin"). Energi yang diserap oleh bahan pangan atau makanan dengan iradiasi jauh lebih rendah daripada energi yang diserap makanan pada saat dipanaskan, dengan demikian perubahan karakteristik kimia dari bahan pangan yang diawetkan dengan radiasi, secara kuantitatif lebih sedikit daripada yang dipanaskan (Irawati 2007). Selain itu proses iradiasi merupakan proses terkontrol, dapat dilakukan pada bahan pengemas yang sensitif terhadap panas, dan dapat menurunkan komponen alergi pada bahan pangan (Irawati 2006). Teknologi iradiasi pada bahan pangan dengan sinar gamma menurut Muchtadi (2010) memiliki daya penetrasi yang sangat kuat pada produk, tidak meninggalkan residu kimiawi pada produk, praktis, efektif, efisien, serta dapat memproses produk pada skala komersial. Penggunaan teknologi iradiasi dalam pengawetan makanan tidak merusak gizi bahan pangan.

Hasil penelitian menunjukkan iradiasi pada berbagai macam bahan pangan tidak ditemukan adanya senyawa toksik. Lebih jauh disebutkan bahwa dari hasil penelitian Dwiloka (1993) dalam Soedarto (2008) disebutkan dengan perlakuan iradiasi sampai dosis 9 kGy tidak berpengaruh terhadap kadar air, protein, lemak, abu total, dan karbohidrat pada udang segar beku. Berdasarkan penelitian terhadap bandeng asap yang diiradiasi pada dosis 5 dan 10 kGy, ternyata iradiasi tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan asam amino (Soedarto, 2008). Beberapa jenis vitamin seperti riboflavin, niacin dan vitamin D cukup tahan terhadap radiasi, tetapi vitamin A, B, C dan E sangat peka. Pada umumnya penurunan kadar vitamin bahan pangan akibar iradiasi tidak

berbeda dengan yang diawetkan dengan cara pemanasan (Irawati 2007).

SIMPULAN

Pada perlakuan kombinasi penyimpanan beku dan iradiasi secara statistik mampu menghambat pertumbuhan bakteri dari semua RPH. Cemaran awal bakteri koliform,

Staphylococcus spp., dan Escherichia coli

pada semua RPH tidak memenuhi persyaratan SNI. Secara umum, dosis 3 kGy mampu menghambat pertumbuhan bakteri aerob, koliform, Staphylococcus spp., dan

Escherichia coli pada semua RPH. Tidak ditemukan Salmonella pada semua RPH.

SARAN

Pada isolasi bakteri Salmonella sebaiknya digunakan metode sebar agar

Salmonella dapat terisolasi dengan baik. Perlu dilakukan frekuensi pengambilan sampel yang lebih banyak (di bebrapa kabupaten Bogor lainnya). Dosis iradiasi yang digunakan cukup menggunakan dosis dibawah 3 kGy karena dapat menghemat waktu dan biaya.

DAFTAR PUSTAKA

Anang H. 1986. Iradiasi makanan–prospek penggunaannya di ASEAN. Risalah

Seminar Nasional Pusat Aplikasi Isotop Radiasi BATAN. Jakarta, 13-14 Maret 1986. Jakarta: PATIR-BATAN.hlm 41-49.

Andini L.S., Harsojo, Anastasia S.D. dan Maha M. 1995. Efek iradiasi gamma pada

Salmonella spp yang diisolasi dari ayam segar. Risalah Pertemuan Ilmiah APISORA-BATAN; Jakarta, Desember 1995. Jakarta: PATIR-BATAN.hlm 165-171.

Anonim. 2003. Codex General Standard for Irradiated Foods (Codex Stan 106-1983 – Rev. 1-2003). Geneva: Codex

Allimentarius Commission.

(17)

BOGOR

ISNITA KHAIRUNNISA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

BOGOR

ISNITA KHAIRUNNISA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(19)

Kandungan Bakteri pada Daging Sapi Asal Rumah Potong Hewan di Kabupaten serta Kota Bogor. Dibimbing oleh ANJA MERYANDINI dan HARSOJO.

Daging sapi memiliki kandungan gizi seperti protein dan kadar air yang tinggi sehingga merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba. Keberadaan mikroba dapat menurunkan kualitas daging. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa usaha untuk memperlambat kerusakan oleh mikroba pada daging diantaranya dengan penyimpanan beku serta memanfaatkan teknologi iradiasi. Penelitian ini mengenai pengaruh penyimpanan beku dan iradiasi terhadap kandungan bakteri dalam daging sapi. Dilakukan juga penentuan kadar protein dan air serta identifikasi

Salmonella. Sampel daging diambil dari tiga Rumah Potong Hewan (RPH) di Kabupaten serta Kota Bogor. Penyimpanan dilakukan selama 4 minggu di dalam freezer dengan dosis iradiasi 0, 3 dan 5 kGy.

Hasil penelitian menunjukkan kadar protein dalam daging RPH A, B dan C yang diiradiasi dengan dosis 0 kGy pada minggu ke 0 masing-masing sebesar 67,95%, 61,13% dan 70,40% sedangkan kadar air daging RPH A, B dan C masing-masing sebesar 75,31%, 74,26% dan 73,91%. Tidak ada Salmonella yang didapatkan dari ketiga sampel daging. Secara umum dosis 3 kGy mampu mengeliminasi total bakteri aerob, koliform, Escherichia coli dan Staphylococcus

spp. yang memenuhi SNI (2008) dalam ketiga sampel daging dan terlihat berbeda nyata dengan yang tidak diiradiasi (p<0,05). Kombinasi perlakuan antara penyimpanan beku dengan iradiasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan jumlah total bakteri aerob, koliform,

Escherichia coli dan Staphylococcus spp.

Kata Kunci: Salmonella, iradiasi, dosis, pembekuan

ABSTRACT

ISNITA KHAIRUNNISA. Combination of Iradiation and Frozen Storage Toward The Content of Bacteria on The Origin of Beef Slaughter Houses in The Distric and The City of Bogor. Under the direction of ANJA MERYANDINI and HARSOJO.

Beef contains nutrients such as protein and water content is so high that suitable media for microbial growth. The presence of microbial can degrade beef’s quality. Therefore it needs to do some efforts to slow the damage by microbes on the beef with frozen storage and use of irradiation technology. This study on the effect of frozen storage and irradiation of the content of bacteria in beef. Also performed to determine the concentration of protein and water, and identification of

Salmonella. Meat samples taken from three Slaughter Houses (RPH) in the District and the City of Bogor. Storage carried out for 4 weeks in the freezer with irradiation doses of 0, 3 and 5 kGy.

The results showed levels of protein in meat slaughterhouses A, B and C were irradiated with 0 kGy dose at week 0, respectively 67.95%, 61.13% and 70.40%, while the water content of beef slaughterhouses A, B and C, each for 75.31%, 74.26% and 73.91%. No Salmonella obtained from three samples of beef. In general, the dose of 3 kGy could eliminate the total aerobic bacteria, coliform, Escherichia coli and Staphylococcus spp. that meet the SNI (2008) in all three samples of beef and looks significantly different to that are not irradiated (p <0.05). Combination treatment of frozen storage with irradiation provides a real impact on reducing the total count of aerobic bacteria, coliform, Escherichia coli and Staphylococcus spp.

(20)

ISNITA KHAIRUNNISA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(21)

Nama

: Isnita Khairunnisa

NIM

: G34061764

Menyetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Dra. Anja Meryandini, MS

Drs. Harsojo, APU

NIP. 19620327 198703 2001

NIP. 330-01092

Mengetahui

Kepala Departemen Biologi

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si

NIP: 19641002 198903 1002

(22)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala anugrah dan rahmatNya sehingga penulis berhasil menyelesaikan laporan skripsi ini. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret hingga September 2010 ini berjudul Kombinasi Iradiasi dan Penyimpanan pada Suhu Beku terhadap Kandungan Bakteri pada Daging Sapi Asal Rumah Potong Hewan di Kabupaten serta Kota Bogor yang dilaksanakan di Laboratorium Pangan Gedung 47 di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR-BATAN) Pasar Jumat, Jakarta Selatan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Dra. Anja Meryandini, MS selaku pembimbing I, Drs. Harsojo, APU selaku pembimbing II yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dukungan, saran, solusi serta kesabaran selama penelitian hingga penulisan skripsi ini dan kepada Dra. Hilda Akmal selaku penguji. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf dan karyawan PATIR-BATAN yang telah mengijinkan dan membantu penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian ini.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman seperjuangan biologi 43 yang terus memberikan semangat dan inspirasi kepada penulis, khususnya kepada Christine, Diana, Nining, Sarah, Risya serta Dwi Novita. Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman Gedung 47 PATIR-BATAN; Desi, Amel, Shara, Yoan, Tika, Keke, Nandes dan Dana atas dukungan dan bantuan selama ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada orang tua dan seluruh keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayang yang tiada henti.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat.

Jakarta, Maret 2010

(23)
(24)

DAFTAR TABEL……….. i

DAFTAR GAMBAR………. i

DAFTAR LAMPIRAN……….. i

PENDAHULUAN………. 1

Latar Belakang……… 1

Tujuan……… 1

BAHAN DAN METODE……….. 1

Tempat dan Waktu Penelitian………. 1

Bahan dan Alat……… 1

Sterilisasi Alat………. 2

Persiapan Sampel Percobaan……….. 2

Penentuan Kadar Protein dan Kadar Air………. 2

Identifikasi Bakteri Salmonella……….. 2

Perlakuan Kombinasi Iradiasi dan Penyimpanan Beku pada Daging Sapi………. 3

Penentuan Jumlah Bakteri………... 3

a. Jumlah Total Bakteri Aerob………. 3

b. Jumlah Bakteri Koliform dan Escherichia coli……… 3

c. Jumlah Bakteri Staphylococcus spp. ………... 3

HASIL……… 3

Kadar Protein dan Air………... 3

Identifikasi Bakteri Salmonella………... 4

Jumlah Total Bakteri Aerob……… 5

Jumlah Bakteri Koliform……… 6

Jumlah Bakteri Escherichia coli………. 7

Jumlah Bakteri Staphylococcus spp. ……….. 8

PEMBAHASAN………. 9

Penentuan Kadar Protein dan Air……… 9

Identifikasi Bakteri Salmonella……….. 9

Penentuan Jumlah Total Bakteri Aerob, Koliform, Escherichia coli dan Staphylococcus spp. ………… 9

Pengaruh Iradiasi Gamma Terhadap Pertumbuhan Bakteri……… 11

SIMPULAN……… 12

SARAN……….. 12

(25)

2. Uji Biokimiawi terhadap Koloni Bakteri yang diduga Salmonella pada Daging RPH A, B dan C di minggu ke 0 tanpa Iradiasi………... 5 3. Hasil Perhitungan Rata-Rata Jumlah Bakteri Aerob dalam Daging Asal RPH A, B dan C

yang diiradiasi dan Disimpan pada Suhu Beku……….. 6 4. Hasil Perhitungan Rata-Rata Jumlah Bakteri Koliform dalam Daging Asal RPH A, B dan C

yang diiradiasi dan Disimpan pada Suhu Beku……….. 7 5. Hasil Perhitungan Rata-Rata Jumlah Bakteri Escherichia coli dalam Daging Asal RPH A, B dan C yang diiradiasi dan Disimpan pada Suhu Beku……… 8 6. Hasil Perhitungan Rata-Rata Jumlah Bakteri Staphylococcus spp. dalam Daging Asal

RPH A, B dan C yang diiradiasi dan Disimpan pada Suhu Beku……….. 9

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Penanaman Bakteri dari Sampel Daging pada Media Salmonella Shigella Agar

yang Diinkubasi pada suhu 37 ° C selama 24 jam………. 5

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Skema Kerja Uji Salmonella ………. 15 2. PERMENKES No.701/MENKES/PER/VIII/2009 tentang Aplikasi Radiasi Pengion

untuk Keamanan, Pengawetan dan Meningkatkan Mutu Bahan Pangan Segar, Kering dan

(26)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang digemari oleh masyarakat (Subagyo 2009). Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan (Suryana 2009). Daging sapi merupakan bahan pangan yang kaya akan protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan kesehatan sehingga ketersediaan daging sapi memiliki arti yang sangat penting dalam ketahanan pangan (Arifin dkk. 2008, Yanti dkk. 2008).

Kandungan air dan gizi seperti lemak serta protein yang tinggi dalam daging sapi merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroba. Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan mengalami kerusakan seperti berlendir, daya simpannya menurun, berbau busuk dan rasa tidak enak. Kandungan mikroba pada daging sapi dapat berasal dari peternakan dan rumah potong hewan yang tidak higienis (Djafaar dan Rahayu 2007). Awal cemaran mikroba pada daging dapat terjadi pada saat penyembelihan, alat-alat yang dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak steril dan lain-lain. Cemaran berikutnya dapat terjadi pada saat persiapan daging seperti proses pembelahan karkas, pendinginan, pembekuan, penyegaran daging beku, pemotongan karkas atau daging, pembuatan produk daging, proses preservasi, pengepakan, penyimpanan dan distribusi (Harsojo dkk. 2005).

Masyarakat luas saat ini mulai menyadari akan perlunya daging yang berkualitas menyangkut aspek gizi dan kesehatan dalam arti produk daging yang dikonsumsi aman, bebas dari cemaran mikroba serta bahan kimia (Bahri dkk. 2002). Beberapa usaha yang dilakukan untuk memperlambat kerusakan oleh mikroba pada daging diantaranya adalah dengan penyimpanan refrigerasi pada suhu 5°C (Suradi 2009), pembekuan (Buckle et al.

1987) serta memanfaatkan teknologi iradiasi (Harsojo dkk. 2005).

Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku sehingga bahan pangan menjadi awet karena mikroba dihambat pertumbuhannya (Depkes 1998) serta dapat menghancurkan beberapa sel mikroba (WHO 1976). Iradiasi merupakan suatu proses fisika yang dapat digunakan untuk mengawetkan dan meningkatkan keamanan bahan pangan. Jenis iradiasi yang digunakan adalah iradiasi

berenergi tinggi yang disebut iradiasi pengion (Irawati 2006). Menurut Irawati (2007), dua jenis sumber iradiasi pengion yang umum digunakan untuk pengawetan makanan secara komersial adalah sinar gamma yang dipancarkan oleh radionuklida 60Co (kobalt-60) dan 137

The Joint Expert Committee on Wholesomeness of Irradiation Foods

(JECWIF) yang mewakili WHO, IAEA dan

FAO mendukung sepenuhnya penyusunan peraturan makan iradiasi yang berlaku di seluruh dunia yaitu CODEX General Standard for Irradiated Foods/CODEX Alimentarius 1984-Rev./-2003 (Anonim 2003). Aplikasi teknologi radiasi untuk bahan pangan juga telah diatur dan memiliki dasar hukum yang kuat ditingkat nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan dan dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 pasal 2 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan (Irawati 2006) serta Peraturan

Menteri Kesehatan No. 701/MENKES/PER/V111/2009 tentang Pangan Iradiasi.

Cs (caesium-37).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi perlakuan teknologi iradiasi dan penyimpanan beku terhadap jumlah kandungan bakteri pada daging sapi yang berasal dari tiga Rumah Potong Hewan di Kabupaten serta Kota Bogor.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan

Maret-September 2010. Iradiasi dilakukan di

Gedung Instalasi Fasilitas Iradiasi (IFI) dengan alat Iradiator Panorama Serba Guna (IPASENA). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Bahan Pangan, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR-BATAN), Jl. Lebak Bulus Raya No. 49 Jakarta Selatan

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini meliputi daging sapi bagian chuck yang berasal dari sapi BX umur <3 tahun, yang dibeli dari Rumah Potong Hewan (RPH) di Kabupaten serta Kota Bogor, larutan pepton 0,1%, media Nutrient Agar (Oxoid), media

Mac Conkey Agar (Oxoid), media Briliance E.coli Coliform Selective Medium, media

(27)

Yolk-Tellurite Emulsion (Oxoid), media

Tetrathionate Broth Base (Oxoid), media

Salmonella Shigella Agar (Oxoid), media

Triple Sugar Iron Agar (Oxoid), media Semi Solid, media Lysine Iron Agar (Oxoid), media

Simmon Citrate (Oxoid), media Urea Agar, larutan Iodine, akuades, alkohol 70%, es batu, asam sulfat pekat (H2SO4), selen, asam klorida (HCl 0,01N), asam Boraks (H3BO3

Alat-alat yang digunakan antara lain adalah cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer 500 ml, gelas piala 250 ml, gelas ukur, pipet volumetrik 1 ml dan 10 ml, spreade

Gambar

Tabel 1 Hasil Penentuan Kadar Protein dan
Tabel 1 Hasil Penentuan Kadar Protein dan
Gambar 1 Penanaman Bakteri dari Sampel Daging pada Media  Salmonella Shigella Agar yang Diinkubasi pada Suhu 37° C selama 24 jam
Tabel 3 Hasil Perhitungan Rata-rata Jumlah Bakteri Aerob dalam Daging yang Berasal dari RPH A, B dan C yang Diiradiasi dan Disimpan pada Suhu Beku (-17° C) (CFU/g)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun dalam proses pembelajaran hasil kajian menunjukkan bahwa walaupun mereka mudah beradaptasi dengan teknologi, namun perlu diberi arahan tentang sumber-sumber informasi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Treichel dan Scot (2006) menyatakan bahwa jumlah kredit yang ditolak pihak bank lebih banyak untuk pengusaha perempuan mikro

8 Fungsi untuk mengubah parameter administratif cloud portal meliputi : konfigurasi untuk account management, setting permission bagi setiap profile yang tercipta

Penelitian ini mempelajari karakteristik dan kinetika dekomposisi termal dari komposit CR/NR dengan berbagai jenis bahan pengisi menggunakan metode

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan pada prototype alat sistem control intensitas cahaya pada kandang puyuh diperoleh kesimpulan bahwa alat ini mampu bekerja

Kekerasan tidak langsung menyebabakan tulang patah di tempat yang.. jauh dari tempat terjadinya kecelakaan atau kekerasan,

Cassiavera ( Cinnamommum burmannii ) mutu rendah (grade B, C, KA , KB dan KC) merupakan cassiavera yang berasal dari kulit ranting dan dahan, sebagian besar tidak terkikis

Ciri khas masing-masing instar adalah: instar 1, permukaan kantong relatif lembut; instar 2, sedikit kecil dari instar 1 dan sekeliling potongan daun terikat dengan longgar