• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Laktasi yang Diberi Ekstrak dan Fraksi Sauropus androgynus (L.) Merr Sejak Bunting Sampai 10 Hari Postpartus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Laktasi yang Diberi Ekstrak dan Fraksi Sauropus androgynus (L.) Merr Sejak Bunting Sampai 10 Hari Postpartus"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL TIKUS

LAKTASI SETELAH MENGKONSUMSI EKSTRAK DAN

FRAKSI

SAUROPUS ANDROGYNUS

(L.) MERR SEJAK

BUNTING SAMPAI 10 HARI POSTPARTUS

ARISA MAZIDAH ERAWATI

FAKULTASKEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

ABSTRACT

ARISA MAZIDAH ERAWATI. Histopathological View Of The Liver and

Kidney’s Lactating Rat After Consuming Sauropus androgynus (L.) Merr Leaf Extract and Fraction From Pregnancy Upto 10 Days Postpartum. Under the supervision of AGIK SUPRAYOGI and HERNOMOADI HUMINTO.

This study was aimed to obtain the information about the possibility of side effects (toxic) from consuming of katuk (Sauropus androgynus) leaf extract and fractions using rats as experimental animals. Fifteen pregnant female rats were divided into 5 treatment groups; control (K), ethanol crude exstract (E-EtOH), hexan fraction (F-H), ethylacetate fraction (F-EtAc), and water fraction (-FH2O). The katuk leaf extract and fraction were fed from the beginning of pregnancy until 10 days postpartus. Histopathological assay was conducted to investigate the effect of treatment to the liver and kidneys at 10 days postpartus.

Histopathology of liver showed that the katuk leaves extract group F-H2O, F-EtAc, and E-EtOH are able to protect the hepatocyts of the liver from apoptosis, but the katuk leaves extract or their metabolites tended to increase the number of apoptosis on renal tubular epithelium of the kidneys. For both organs, the result indicated that the group of katuk leaves water fraction (F-H2O) treatment cause the minimal damage among the others.

(4)

RINGKASAN

ARISA MAZIDAH ERAWATI. Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Laktasi Setelah Mengkonsumsi Ekstrak dan Fraksi Sauropus androgynus (L.)

Merr Sejak Bunting Sampai 10 Hari Postpartus. Dibimbing oleh AGIK

SUPRAYOGI dan HERNOMOADI HUMINTO.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang

kemungkinan efek samping (toksik) dari mengkonsumsi ekstrak dan fraksi daun katuk (Sauropus androgynus) dengan menggunakan tikus putih sebagai hewan coba. Lima belas tikus betina bunting dibagi menjagi lima kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol (K), kelompok ekstrak etanol (E-EtOH), kelompok fraksi heksan H), kelompok fraksi etilasetat EtAc), dan kelompok fraksi air (F-H2O). Kelompok-kelompok tersebut diberi dosis ekstrak dan fraksi daun katuk (DK) sebesar 297,5 mg/hari/ekor untuk kelompok E-EtOH; 57,5 mg/hari/ekor untuk F-H; 209 mg/hari/ekor untuk F-H2O; dan 40 mg/hari/ekor untuk F-EtAc. Setelah 10 hari postpartus, dilakukan pengambilan sampel organ hati dan ginjal dari induk tikus, kemudian dibuat preparat histologi dan diamati adanya perubahan-perubahan lesio histopatologinya. Evaluasi histopatologi dilakukan berdasarkan rasio apoptosis sel yang terjadi pada masing-masing organ yaitu hati dan ginjal.

Gambaran histopatologi hati menunjukkan bahwa kelompok fraksi air, fraksi etil asetat, dan ekstrak etanol DK memiliki potensi sebagai penghambat kematian sel hati atau dapat disebut sebagai hepatoprotektor. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak dan fraksi tersebut mampu menghambat kematian sel hati. Ada kemungkinan beberapa senyawa aktif yang terdapat dalam daun katuk seperti flavonol, yaitu O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-kaempferol, O-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl kaempferol, dan 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol mempunyai

peran penting dalam menghambat kematian hepatosit. Penelitian juga

menunjukkan kemungkinan adanya efek samping kematian sel epitel tubuli kontorti pada ginjal yang lebih cepat pada kelompok ekstrak dan fraksi DK dibanding kontrol. Hal ini dikarenakan adanya proses biotransformasi senyawa aktif DK di hati yang menghasilkan senyawa metabolit, yang kemudian diekskresikan di ginjal. Kematian sel epitel tersebut masih bersifat apoptosis.

(5)
(6)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL TIKUS

LAKTASI SETELAH MENGKONSUMSI EKSTRAK DAN

FRAKSI

SAUROPUS ANDROGYNUS

(L.) MERR SEJAK

BUNTING SAMPAI 10 HARI POSTPARTUS

ARISA MAZIDAH ERAWATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTASKEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

PERNYATAANMENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Laktasi Setelah Mengkonsumsi Ekstrak dan Fraksi Sauropus androgynus (L.) Merr Sejak Bunting Sampai 10 Hari Postpartus” adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Arisa Mazidah Erawati

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(9)

Judul Penelitian : Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Laktasi yang Diberi Ekstrak dan FraksiSauropus androgynus(L.) Merr Sejak Bunting Sampai 10 Hari Postpartus

Nama Mahasiswa : Arisa Mazidah Erawati

NRP : B04070071

Disetujui,

Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc. AIF Pembimbing I

drh. Hernomoadi Huminto, MVS. Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini, AIF Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Laktasi yang Diberi Ekstrak dan Fraksi Sauropus androgynus (L.) Merr Sejak Bunting Sampai 10 Hari Postpartus. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat terwujud dengan baik atas dukungan Proyek Penelitian Hibah Kompetitif DIKTI Departemen Pendidikan Nasional tahun 2009 yang diketuai oleh Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi dengan nomor kontrak : 343/SP2H/PP/AP2H/VI/2009.

Selama penyusunan skripsi ini penulis telah mendapatkan berbagai bantuan baik materi, informasi, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, MSc. AIF dan Bapak drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, masukan serta waktu selama masa pelaksanaan penelitian sampai tahap penyelesaian skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Nastiti Kusumorini, AIF, beserta staf Fisiologi dan Patologi FKH IPB, serta drh. Supriyono yang telah membantu penulis selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Oktober 2011

(11)

RIWAYATHIDUP

Penulis dilahirkan di Gresik pada tanggal 10 Februari 1989, sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Mubin A. Hasan dan Ibu Fatmawati.

Pada tahun 2001 penulis lulus dari SD Negeri Gumeno, tahun 2004 penulis lulus dari SLTPN 1 Ciawi, dan tahun 2007 lulus dari SMAN 3 Bogor. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifat Botani Tanaman Katuk 5

2.2 Manfaat Daun Katuk 5

2.3 Komposisi Nutrien dan Senyawa Aktif Daun Katuk 7

2.4 Ekstraksi 10

2.5 Anatomi, Fisiologis, dan Patologis Organ Hati dan Ginjal 12

2.5.1 Hati 12

2.5.1.1 Anatomi Hati 12

2.5.1.2 Histologi Hati 12

2.5.1.3 Fisiologi Hati 13

2.5.1.4 Patologi Hati 13

2.5.1.5 Kematian Sel Hati 14

2.5.2 Ginjal 15

2.5.2.1 Anatomi Ginjal 15

2.5.2.2 Fisiologi Ginjal 18

2.3.2.3 Patologi Ginjal 18

2.6 Efek Samping Setelah Mengkonsumsi Daun Katuk 19

2.7 Karakteristik dan Data Biologis Tikus Sebagai Hewan Percobaan 21

2.7.1 Karakteristik Tikus Putih (Rattus sp.) 21

2.7.2 Data Biologis Tikus Putih (Rattus sp.) 22

BAB 3 BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 23

3.2 Hewan Coba dan Pemeliharaannya 23

3.3 Alat dan Bahan Penelitian 23

3.4 Metode Penelitian 23

(13)

3.4.2 Pembuatan Ekstrak Kasar Etanol 24

3.4.3 Pembuatan Fraksi Heksan 24

3.4.4 Pembuatan Fraksi Air dan Fraksi Etil Asetat 24

3.4.5 Pembuatan Bubuk Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Daun Katuk 25

3.4.6 Pembuatan dan Pemberian Pakan 25

3.5 Pelaksanaan Penelitian 26

3.5.1 Pengelompokan Hewan Coba 26

3.5.2 Pemberian Pakan Perlakuan 26

3.5.3 Pembuatan Sediaan Histopatologi 27

3.5.4 Evaluasi Histopatologi Hati dan Ginjal 29

3.5.5 Analisis Data 29

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Organ Hati 30

4.2 Organ Ginjal 32

4.3 Diskusi Umum 34

BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan 36

5.2 Saran 36

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi nutrien daun katuk per 100 gram daun katuk segar 8

2 Tujuh senyawa aktif utama tanaman katuk dan pengaruhnya terhadap

fungsi fisiologis jaringan 9

3 Komposisi nutrisi dan konsentrasi ekstrak daun katuk dalam pakan 26 4 Rasio apoptosis hepatosit pada daerah portal dan vena sentralis hati

tikus yang diberi berbagai fraksi ekstrak DK sejak bunting sampai 10 hari postpartus………... 30 5 Rasio apoptosis epitel tubuli kontorti ginjal tikus yang diberi berbagai

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman katuk 4

2 Nefron memperlihatkan bagian-bagiannya, fungsi, serta pembuluh

darahnya 15

3 Korpuskulus ginjal, sel-sel mesangial (diantara kapiler) dan apparatus JG

(macula densa dan sel JG………. 17

4 Tikus putih (Rattus sp.) 21

5 Prosedur Fraksinasi Ekstrak Daun Katuk 25

6 Tehnik Pembuatan Sediaan Histopatologi 28

7 Apoptosis hepatosit pada daerah vena sentralis ditandai dengan inti

karyolisis (panah putih) H&E 31

8 Apoptosis hepatosit pada daerah portal ditandai dengan inti karyolisis

(panah putih) H&E 31

9 Apoptosis epitel tubuli kontorti ginjal yang ditandai dengan inti

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman katuk (Sauropus androgynus (L).Merr) merupakan salah satu tanaman yang mempunyai khasiat obat dengan kandungan utama daunnya adalah karbohidrat, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, Vitamin A, B, dan C (Depkes RI 2007). Menurut Suprayogi (2002), khasiat daun katuk (DK) adalah sebagai pemicu produksi air susu ibu (ASI), meningkatkan fungsi pencernaan, meningkatkan pertambahan berat badan, pemicu peningkatan jumlah darah, mengatasi kelelahan, dan perbaikan metabolisme tubuh. Beberapa senyawa aktif yang terdapat dalam DK sudah banyak diketahui. Wang dan Lee (1997) melaporkan terdapat 6 senyawa aktif DK yang ditemukan dengan menggunakan pelarut etanol (EtOH), yaitu 3 senyawa flavonol, yaitu O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-kaempferol, O-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl kaempferol, dan 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol.Tiga Senyawa lain yang juga ditemukan yaitu senyawa 5’-deoxy5”methylsulphinyl-adenosine three nucleotides-adenosine, dan uridine. Suprayogi (2004) menguatkan temuan tersebut, bahwa dengan menggunakan pelarut etilasetat (EtAc) juga ditemukan senyawa-senyawa tersebut yaitukaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol, dan kaempferol. Senyawa kaempferol ini diketahui sebagai antioksidan kuat.

Suprayogi (2000) mengemukakan bahwa daun katuk mengandung 5

senyawa aktif utama yaitu Octadecanoic acid, 9-ecosine,

5,8,11-heptadekatrienoicacid, 9,12,15- Octadekatrienoicacid, dan 11,14,17-eicosatrienoicacid yang berperan sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis senyawa eicosanoid. Senyawa lain yang juga ditemukan oleh Suprayogi (2010) yaitu androstan-17-one-3-ethyl-3 hydroxy 5 alpha berfungsi sebagai prekursor atau intermediet-step dalam sintesis senyawa hormon-hormon steroid (progesteron, estradiol, testosteron, dan glukokortikoid), dan senyawa 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid, yang dapat berfungsi sebagai eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs.

(17)

keguguran, menghambat absorbsi kalsium di saluran pencernaan, gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan pada pernafasan (Suprayogi 2000 dan Changet al. 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk (EDK) sebesar 18 g/kg ransum menghasilkan warna daging dada yang lebih pucat (Santoso et al. 2002). Selain itu, daun katuk mengandung banyak kristal kalsium oksalat bentuk roset, sehingga bagi penderita penyakit batu ginjal daun katuk berbahaya dikonsumsi sebagai sayuran (Laiet al. 1996). Bender dan Ismail 1975, dalam Suprayogi 2000) juga melaporkan adanya senyawa kimia alkaloid papaverin dalam daun katuk yang diduga mempunyai efek fisiologis dalam tubuh. Senyawa papaverin tersebut jika dikonsumsi akan dioksidasi dalam hati, yang

kemudian menghasilkan metabolit. Pengaruh metabolik papaverin dan

metabolitnya terutama adalah menghambat sistem neural. Metabolit papaverin ini dimungkinkan juga mengganggu organ ginjal, walaupun sampai saat ini belum diketahui.

Organ hati merupakan organ parenkim yang ukurannya terbesar, dan memiliki fungsi banyak dan kompleks, salah satunya sebagai pusat detoksifikasi zat beracun di dalam tubuh. Selain itu hati juga memiliki peranan penting dalam proses metabolisme tubuh, bila organ ini mengalami gangguan, maka fungsi kerja tubuh akan menurun (degenerasi) dan yang paling fatal dapat menyebabkan kematian (Harada et al 1996). Ginjal juga merupakan organ utama yang terkena efek toksisitas jika tubuh terpapar zat toksik (Dellman dan Brown 1992). Hati dan Ginjal dapat mengalami kematian apoptosis, yaitu suatu kematian yang secara fisiologis dapat terjadi pada setiap sel dalam tubuh. Kematian ini dapat diperlihatkan dengan adanya apoptosis, yang berupa karyopiknosis, karyolisis, dan karyoreksis (Harrison 1999).

Gambaran histopatologi memberikan informasi seluler tentang kerusakan yang terjadi di jaringan organ. Suprayogi (2000) melaporkan terjadi peningkatan sel epitel bronkhiolus yang mengalami metaplasia menjadi sel goblet penghasil mucous, dengan pemberian ekstrak etanol daun katuk sebesar 1,89 g/hari/ekor dan suspensi daun katuk kering giling sebesar 7,44 g/hari/ekor. Namun demikian selama ini belum banyak penelitian yang fokus pada studi tentang gambaran kerusakan pada hati dan ginjal akibat mengkonsumsi daun katuk.

(18)

pada studi kemungkinan efek samping akibat mengkonsumsi ekstrak dan fraksi DK sejak bunting sampai 10 hari postpartus, melalui pengamatan histopatologi organ hati dan ginjal tikus.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan informasi tentang kemungkinan adanya efek samping (toksik) dari mengkonsumsi daun katuk melalui pengamatan gambaran histopatologi hati dan ginjal.

2. Mengetahui gambaran histopatologi organ hati dan ginjal pada tikus yang mengkonsumsi ekstrak etanol (EtOH), fraksi hexan (FH), fraksi etil asetat (FEtc), dan fraksi air (FH2O) DK.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman katuk (Sauropus androgynus (L).Merr.) merupakan salah satu tanaman yang banyak dimanfaatkan penggunaannya sebagai tanaman obat di Indonesia dan Malaysia (Wang dan Lee 1997). Tanaman ini juga dapat tumbuh di negara-negara seperti Cina, Vietnam, Philipina, dan juga Malaysia (Setyowati 1997 dan Suprayogi 2000). Tanaman ini juga digunakan sebagai sayur-mayur oleh masyarakat bagian Asia Barat dan Asia Tenggara (Bender dan Ismail 1975, dalam Suprayogi 2000). Selain untuk sayur-mayur, tanaman katuk juga dimanfaatkan sebagi obat tradisional pada masyarakat India (Padma Vathi dan Rao 1990). Bebeda dengan negara Taiwan, tanaman katuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pengobatan pada penyakit hipertensi, hiperlipidemia, konstipasi, dan pengontrol berat badan (Geret al. 1997). Tanaman katuk tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

(20)

1.1Sifat Botani Tanaman Katuk (Sauropus androgynus(L).Merr)

Menurut Tjitrosoepomo (2007) katuk dalam taksonomi tumbuhan termasuk dalam golongan :

Divisi : Spermatophyta

Anak Divisi : Angiospermae

Kelas : Dycotiledonae

Anak kelas : Monoclamydae (Apetalae)

Bangsa : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Sauropus

Spesies :Sauropus androgynus

Di daerah Jawa, tanaman katuk sering disebut babing, katuken, sedangkan di sunda disebut katuk. Berbeda dengan di Madura, tanaman katuk disebut kerakur (Anonim 1992). Ada 3 jenis sauropus yang dikenal di daerah Jawa yaitu (Sauropus androgynus (L).Merr) atau katuk, Sauropus rhammoide B1atau katuk badak, dan Sauropus machrantus hassk (Prajogo dan Santa 1997). Beberapa laporan menyebutkan kandungan nutrisi yang terdapat dalam tanaman katuk yaitu energi 59 kal%, protein 4,8%, lemak 1,0%, Ca 204 mg%, fosfor 83 mg%, besi 7,0%, vitamin A 10,370 SI%, Vitamin B 0,10 mg%, Vitamin C 239 mg%, dan air 81,0% (Depkes 2007).

(21)

1.2 Manfaat Daun Katuk

Katuk merupakan tanaman yang banyak dikonsumsi sebagai sayuran oleh masyarakat di pulau Jawa. Daun berikut bagian pucuk batang termasuk salah satu sayuran yang sangat digemari dan sangat dianjurkan untuk dikonsumsi oleh kaum ibu yang sedang menyusui karena mengandung nutrisi yang berguna bagi tubuh. Mengkonsumsi daun katuk dapat meningkatkan produksi ASI (Suprayogi 2000).

Tanaman katuk telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Bali sebagai tanaman obat keluarga (TOGA), pelancar Asi, bahan makanan, dan tanaman hias (Sumantera 1997). Sebagai bahan makanan, katuk dikenal sebagai sumber vitamin A dalam bentuk karoten sebanyak 10 mg/100 g daun segar, vitami C sebanyak 164 mg/100 g daun segar, protein 6,4 mg/100 g daun segar, dan thiamin 0,1 mg/100 g daun segar (Yuliani dan Marwati 1997).

Mahyudin (1986) mengatakan bahwa tanaman katuk juga dikenal sebagai jamu atau obat tradisional, sehingga dipercaya orang bahwa daya tahan tubuh selama sakit dapat meningkat dengan pemberian daun katuk. Selain itu daun katuk juga terbukti memiliki khasiat antara lain sebagai obat bisul dan borok dan juga mampu memperbaiki fungsi pencernaan serta metabolisme tubuh (Suprayogi 1995). Air rebusan dari akar tanaman ini dapat menurunkan panas tubuh pada saat demam dan juga melancarkan air seni, sedangkan akar tanaman yang digiling digunakan sebagai obat luar untuk frambusia (Heyne 1987).

Pemberian sediaan infusium daun katuk sebesar 10% dan 15% secara oral dapat meningkatkan produksi air susu mencit pada percobaaan secara nyata. Diduga kandungan senyawa aktif dari daun katuk serupa dengan hormon steroid diantaranya prolaktin dan oksitosin (Agil 1991, dalam Suprayogi 2000).

Suprayogi (1995) telah membuktikan bahwa pemberian suspensi daun katuk mampu meningkatkan kecernaan terhadap pakan, diantaranya bahan kering, protein, dan lemak serta dapat menyebabkan terjadinya metabolisme glukosa di hati dan peningkatan absorbsi glukosa di dalam saluran pencernaan. Santoso dan Sartini (2001) juga mengemukakan, dengan pemberian daun katuk dalam pakan ayam broiler sebagai tambahan mampu mengurangi akumulasi lemak tubuh sehingga kadar kolesterol karkas semakin berkurang. Lebih lanjut diketahui bahwa pemberian daun katuk juga dapat mempercepat usia dewasa kelamin pada ayam dan rataan konversi pakan yang dapat mempengaruhi peningkatan produksi telur.

(22)

dalam pakan ayam petelur memperlihatkan efek positif bagi peningkatan kualitas karkas, peningkatan berat kuning telur, dan vitamin A serta menurunkan kadar kolesterol pada kuning telur hingga mencapai 16,82% serta peningkatan hormon ekstradiol. Suprayogi (2000) juga melakukan pengamatan efek farmakologis dan toksisitas ekstrak alkohol daun katuk pada kambing laktasi. Pemberian ekstrak alkohol daun katuk selama 14 hari dengan dosis 1,89 g/hari mampu meningkatkan produksi air susu kambing laktasi yang diikuti dengan kualitas air susu yang tetap stabil. Suprayogi (2002) juga mengungkapkan dalam pengujian toksisitas akut pada tikus putih (Wistar) terhadap penentuan nilai LD50 menggunakan sediaan teh katuk sebesar 36,68 gram/kg bb dengan kisaran dosis lethal antara 28,14 -58,12 gram/kg bb menunjukkan efek non toksik.

Suprayogi (2000) melaporkan bahwa dengan pemberian secara oral sediaan daun katuk kering giling sebanyak 7,44 g/hari pada kambing laktasi selama 35 hari mampu meningkatkan produksi air susu sebanyak 7,75%. Peningkatan yang kecil terjadi pada pemberian secara oral sediaan ekstrak alkohol daun katuk, yaitu hanya sebesar 0,89%. Peningkatan produksi air susu tersebut diduga karena senyawa aktif daun katuk mampu menigkatkan populasi sel-sel sekretoris kelenjar ambing (diindikasikan oleh total DNA) yang diikuti oleh peningkatan aktifitas sintesis sel-sel sekretoris tersebut (diindikasikan oleh total RNA). Disamping itu pada saat yang sama senyawa aktif daun katuk mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi didalam darah yang menuju ke kelenjar ambing (prekursor air susu).

1.3 Komposisi Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk

Suprayogi (2000) mengemukakan bahwa terdapat komponen yang menyerupai papaverin dalam daun katuk. Komponen tersebut dikenal sebagai

Papaverine Like-Compound yang kemungkinan mempunyai efek kimia, farmakologi, dan efek biologi yang menyerupai papaverin. Penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian sebelumnya oleh Bender dan Ismail (1975) dalam Suprayogi (2000), yang melaporkan adanya senyawa alkaloid (papverin) sebesar 5,8 PPV/Kg daun katuk segar yang diduga mempunyai efek fisiologis dalam tubuh. Kandungan nutrisi daun katuk bervariasi, hal ini tergantung dari tipe tanah dimana katuk tumbuh, umur, dan bagian tanaman yang dianalisis (Puspaningtyas

et al.1997).

(23)

nutrisi yang terdapat dalam daun katuk, terdapat beberapa komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar) yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar).

Nutrisi Anonymous (1992) Padma Vathi and Rao (1990) Depkes RI (1972) Kadar air - 69,9 g 81,0 g

Protein 6,4 g 7,4 g 4,8 g

Lemak 1,0 g 1,1 g 1,0 g

Karbohidrat 9,9 g - 11,0 g Serat kasar 1,5 g 1,8 g

-Karoten 10020 µg 5600,0 µg 10020,0 µg Tiamin 0,1 mg 0,50 mg 0,1 mg Riboflavin - 0,21 bmg -Vitamin C 164 mg 244,0 mg 204,0 mg

Kalsium - 771,0 mg 204,0 mg Posphor 98 mg 543,0 mg 83,0 mg

Besi 3,5 mg 8,8 mg 3,0 mg

Abu 1,7 mg -

-Suprayogi (1995) mengemukakan bahwa dengan pemberian papaverin cenderung mengurangi kecernaan lemak kasar. Hal ini disebabkan adanya efek penghambatan terhadap sintesis cairan empedu yang mengakibatkan sekresi cairan empedu menurun. Andriyanto (2004) juga menemukan adanya penurunan kadar lemak kasar dan berat karkas akibat penambahan tepung daun katuk pada pakan ayam broiler.

Agusta et al. (1997) melaporkan bahwa terdapat 6 komponen kimia yang terdapat dalam daun katuk, yaitu: Monomethyl succinate (C5H8O4),

2-phenilmalonicacid (C9H8O4), 2-methyl-cyclopentanol acetate (C8H14O2), benzoid

acid (C7H6O2), 2-pyrrolidinone(C4H7NO), dan methylpyroglutamate (C6H9NO3). Empat senyawa dari enam senyawa ini yaitu monomethyl succinate, 2-phenyl malonic acid, 2-methyl cyclopentanolacetate, dan methyl pyroglutamate dapat dihidrolisis melalui reaksi kimia tertentu didalam saluran pencernaan menjadi produk metabolik yang berbentuk succinate, mallonate, acetate, dan glutamic acid. Keempat senyawa tersebut dapat berperan sebagai senyawa eksogenous yang berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Agustaet al. 1997).

(24)

senyawa eicosanoid dan 2 senyawa lain yaituandrostan-17-one-3-ethyl-3 hydroxy 5 alpha berfungsi sebagai prekursor atauintermediet-step dalam sintesis senyawa hormon-hormon steroid (progesteron, estradiol, testosteron, dan glukokortikoid) dan senyawa3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid,yang dapat berfungsi sebagai eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs.

Suprayogi (2000) melaporkan bahwa daun katuk mampu meningkatkan metabolisme glukosa di hati dengan menunjukkan efek surplus glukosa fluks. Suprayogi (2000) juga melaporkan dengan menggunakan analisa GC-MS, daun katuk mempunyai tujuh senyawa aktif utama. Senyawa aktif yang terkandung dalam daun katuk tersebut dapat mempengaruhi fungsi fisiologis dalam tubuh, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Tujuh senyawa aktif utama tanaman katuk dan pengaruhya terhadap fungsi fisiologis jaringan.

No. Senyawa Fungsi fisiologis

1. 2. 3. 4. 5. Octadecanoic acid 9-Ecosine 5,8,11-heptadekatrienoicacid 9,12,15-octadekatrienoicacid 11,14,17-eicosatrienoicacid

Sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis senya wa eicosanoids (prostaglandin, prostacycline, thrombo xane, lipoxanes, dan leukotrienes)

6. Androstan-17-one

-3-ethyl-3 hydroxy 5 alpha

Sebagai prekursor/ intermediet-step dalam sintesis hor mon steroid (progesteron, estradiol, testosteron, dan gl ukokortikoids)

Senyawa 1-6 secara bersamaan Memodulasi hormon-hormon mammogenesis dan lakt ogenesis serta aktifitas fisiologis yang lain

7. 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid

Sebagi eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs

Senyawa 1-7 secara bersamaan Berkhasiat sebagai:

a) Pemacu produksi ASI

b) Peningkatan fungsi pencernaan

c) Peningkatan pertumbuhan badan

d) Pemicu jumlah darah

e) Mengatasi kelelahan

f) Mengatasi penyakit pembuluh darah

g) Mengatasi gangguan reproduksi pada pria maupu n wanita

(Sumber: Suprayogi 2000)

(25)

ditemukan dengan menggunakan pelarut etanol (EtOH), yaitu 3 senyawa flavonol, yaitu 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl kaempferol, dan 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol. Selain 3 senyawa diatas, 3 senyawa lain yang juga

ditemukan yaitu senyawa 5’-deoxy5”methylsulphinyl-adenosine, three

nucleotides-adenosine, dan uridine. Suprayogi (2004) menguatkan temuan tersebut, bahwa dengan menggunakan pelarut etilasetat (EtAc) juga ditemukan senyawa-senyawa flavonol tersebut yaitu D-glucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol, dan kaempferol. Senyawakaempferol

tersebut dapat diketahui sebagai antioksidan kuat.

2.4 Ekstraksi

Ekstraksi bahan obat merupakan penarikan zat pokok (senyawa) yang diinginkan dari bahan mentah obat (simplisia) dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana senyawa yang diinginkan dapat larut. Bahan mentah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan tidak perlu diproses lebih lanjut kecuali dikumpulkan dan kemudian dikeringkan. Ekstrak tidak mengandung hanya satu senyawa saja tetapi berbagai macam senyawa, tergantung pada bahan obat yang digunakan dan kondisi ekstraksi (Ansel 1989). Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar senyawa berkhasiat yang terdapat di dalam simplisia terdapat dalam bentuk yang menpunyai kadar yang tinggi dan hal ini memudahkan senyawa berkhasiat tersebut dapat diatur dosisnya. Dalam sediaan ekstrak dapat distandardisasikan kadar senyawa berkhasiat, sedangkan kadar senyawa berkhasiat dalam simplisia sukar didapat yang sama untuk setiap penggunaan. Kandungan bahan aktif yang tersari dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain derajat kehalusan bahan yang disari, cara penyarian, jenis cairan penyari, lama penyarian, dan perbandingan jumlah simplisia dengan cairan penyari serta suhu penyarian (Ansel 1989).

Simplisia merupakan suatu bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan, biasanya berupa bahan yang dikeringkan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam ekstraksi, yaitu jumlah simplisia, derajat kehalusan, cara pemanasan, cara penyaringan, penambahan air ekstrak, dan perhitungan dosis pemakaian. Pada dasarnya metode ekstraksi terdapat beberapa macam, diantaranya yaitu maserasi (perendaman), perkolasi, digesti, infusi, dan dekoksi (Wientarsih dan Prasetyo 2006)

(26)

ikatan suatu persenyawaan untuk selanjutnya membentuk suatu larutan. Energi yang dibutuhkan untuk memecahkan ikatan-ikatan ini diambil dari energi yang dilepaskan karena terbentuknya ikatan antara partikel yang dilarutkan dengan partikel pelarut. Untuk memecahkan ikatan persenyawaan dibutuhkan energi yang cukup besar, karena persenyawaan yang berikatan ion hanya larut di dalam air atau pelarut sangat polar lainnya. Begitu juga persenyawaan kovalen polar hanya larut didalam pelarut polar dan persenyawaan kovalen non-polar yang hanya larut didalam persenyawaan non-polar (Winarnoet al.1973).

Pelarut yang digunakan dapat berupa etanol, heksan, etilasetat, dan air. Air dalam farmakope Indonesia ditetapkan sebagai salah satu cairan penyari. Air dapat melarutkan garam glikosida, tanin, minyak, alkaloid, dan gula. Air dipertimbangkan sebagai penyari karena stabil, tidak beracun, alamiah, tidak mudah menguap, mudah diperoleh, murah, dan tidak mudah terbakar (Depkes RI 1995). Air memiliki daya ekstraksi yang menonjol sebagai bahan untuk jamu yang aktif secara terapeutik dan juga mampu mengekstraksi sejumlah besar bahan dasar (simplisia). Disamping itu, penggunaan air sebagai bahan penyari juga mempunyai kerugian, yaitu tidak selektif. Hal ini dikarenakan air sebagai tempat tumbuhnya kapang, mikroba, dan kamir, sehingga dalam penggunaannya perlu ditambahkan pengawet. Air dapat melarutkan enzim sehingga menyebabkan reaksi enzimatis yang mengakibatkan penurunan mutu (Depkes RI 1995).

(27)

1995).

Pelarut organik lain yaitu etilasetat. Etilasetat merupakan cairan tidak berwarna dengan bau khas, rasa aneh, seperti aseton, dan membakar. Etilasetat didapat secara destilasi lambat campuran asam asetat, etil alkohol, dan asam sulfat. Berdasarkan kelarutannya, etilasetat dapat larut dalam eter, alkohol, minyak atsiri, dan minyak lemak (Depkes RI 1995).

Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan yang bertujuan memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari golongan utama kandungan yang lain. Pemisahan jumlah dan jenis senyawanya menjadi fraksi yang berbeda tergantung pada jenis tumbuhan maupun simplisianya. Senyawa-senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar dan senyawa yang bersifat non-polar akan masuk ke pelarut non-polar (Harborne 1987).

2.5 Anatomi, Fisiologi, dan Patologis Organ Hati dan Ginjal 2.5.1 Hati

2.5.1.1 Anatomi Hati

Hati tikus terdiri dari empat lobus utama, separuh bergabung satu sama lain. Lobus bagian dorsal dibagi menjadi bagian lobus kanan dan lobus kiri. Lobus lateral kiri tidak terbagi dan lobus lateral kanan yang dibagi menjadi bagian anterior dan posterior. Lobus caudal terdiri dari dua lobus yaitu lobus dorsal dan ventral (Haradaet al.1996).

(28)

untuk berbagai mikroorganisme dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau juga disimpan. Sebanyak 75-80 % darah pada organ hati tikus berasal dari vena porta. Sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar 20-25 % darah yang kaya akan oksigen (Mac Lachan dan Cullen 1995).

2.5.1.2 Histologi Hati

Gambaran histologi hati tikus normal saat lahir masih mengandung cukup banyak jaringan hematopoietik. Fokus hematopoietik menghilang antara 9 dan 13 hari pasca persalinan. Untuk minggu pertama, lobulus hati tidak dapat dibedakan, tetapi pada postpartum 9 hari, hubungan dari pembuluh darah dan lobulus menjadi jelas (Haradaet al.1996).

2.5.1.3 Fisiologis Hati

Secara fisiologis, hati merupakan kelenjar terbesar yang memiliki fungsi kompleks yang meliputi: fungsi eksokrin (sintesis dan sekresi empedu dan kolesterol), fungsi endokrin (sintesis dan sekresi glukosa dan protein seperti albumin, globulin, fibrinogen, lipoprotein, dan prothrombin ke dalam darah); metabolisme (protein, karbohidrat, lemak, hemoglobin, obat, steroid, deiodination dari triiodothyronine, dan tiroksin); glikogenolisis (katabolisme glikogen menjadi glukosa) dan glyconeogenesis (pemeliharaan dari konsentrasi glukosa normal dalam darah); konjugasi (zat beracun, hormon steroid); esterifikasi (asam lemak bebas untuk trigliserida); penyimpanan (glikogen, lemak, zat besi, dan vitamin); detoksifikasi (berbagai racun); hematopoiesis (di dalam embrio dan saat dewasa), dan fagositosis (benda asing) (Haradaet al.1996).

(29)

et al.1996).

2.5.1.4 Patologi Hati

Fungsi hati yang utama adalah melakukan detoksifikasi untuk menghindari terjadinya kerusakan seluler akibat adanya racun. Hal ini disebabkan hati menerima suplai darah sekitar 80 %, dari vena porta yang mengalir dari saluran pencernaan. Bahan-bahan toksik dari saluran cerna seperti yang berasal dari tumbuhan, fungi, dan produk bakteri akan diabsorbsi kedalam pembuluh darah portal dan ditransfer ke hati (Mac Lachlan dan Cullen 1995).

Hati dapat mengalami beberapa perubahan. Kerusakan pada hati dapat bersifat irreversible (tetap) dan reversible (sementara) (Mac Lachlan dan Cullen 1995). Degenerasi merupakan kerusakan yang reversible, dimana sel mengalami perubahan dari struktur normalnya. Penyebab degenerasi sel bermacam-macam antara lain gangguan metabolisme, toksin, dan trauma. Apabila degenerasi sel berlangsung terus-menerus, maka dapat menyebabkan kematian sel (nekrosa) (Mac Lachlan dan Cullen 1995).

2.5.1.5 Kematian Sel Hati

Nekrosis hepatoseluler dapat ditemukan pada hati tikus yang mengalami penuaan. Morfologi yang khas adalah nekrosis koagulasi dengan sitoplasma eosinofilik dan inti karyopyknosis, karyorhexis atau karyolysis. Etiologi dari nekrosis sebagian besar tidak jelas tetapi dapat disebabkan oleh iskemia, racun, infeksi virus atau bakteri (Herada et al. 1996). Secara histopatologi, nekrosis ditandai dengan adanya sel radang (leukosit). Kematian sel nekrosis dikarenakan adanya kerusakan sistem membran sel yang menyebabkan lisis dan kematian sel. Pola nekrosis hati memiliki beberapa jenis, seperti sentrilobular, midzonal atau periportal. Jika nekrosis parah dan terus-menerus, dapat menyebabkan fibrosis dan hiperplasia hepatoseluler. Hati yang demikian telah mengalami chirrosis (Haradaet al.1996).

Bentuk sel lain dapat berupa apoptosis. Apoptosis adalah bentuk kematian sel yang telah mengalami suatu proses aktif kehancuran seluler secara spontan, dapat disebut sebagai programmed cell death (kematian sel terprogram) (Harada

(30)

caspase kemudian akan mengaktifasi apoptosis pada sel (Green 2007). Secara histopatologi, apoptosis ditandai dengan bentuk inti sel yang mengalami karyopiknosis, karyorexis, dan karyolysis (inti menghilang). Fragmentasi selnya membentuk badan apoptotik dengan kromatin gelap dan tidak mengundang akumulasi sel radang (leukosit). Induksi apoptosis dapat dirangsang oleh rangsangan fisiologis atau patologis. Bentuk perluasan apoptosis yaitu meningkatnya jumlah individu sel di suatu area jaringan; bersifat individual dan tidak membentuk kelompok yang padat. Kematian sel apoptosis melalui mekanisme kerusakan genetik (fragmentasi kromosom atau DNA) sehingga membran sel tetap utuh (Haradaet al.1996).

2.5.2 Ginjal

2.5.2.1 Anatomi Ginjal

[image:30.595.225.403.481.696.2]

Ginjal tikus mempunyai permukaan halus, berwarna merah kecoklatan, dan terdapat di dalam ruang abdominal, di daerah lumbar bagian atas. Pada umumnya ginjal berbentuk seperti kacang dengan hillus renalis, yaitu tempat masuknya pembuluh darah dan keluarnya ureter. Ginjal tikus terbagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medulla, dengan perbandingan rata-rata 1 banding 2-3 (Seely 1996).

Gambar 2 Nefron memperlihatkan bagian-bagiannya, fungsi, serta pembuluh darahnya (Louis 1988).

(31)

dan pars decendens, tubulus kontortus distal, dan tubulus kolektivus (lihat pada Gambar 2) .

Glomerulus adalah massa kapiler yang membentuk kumparan berawal dari arteriol aferen dan keluar dari glomerulus menjadi arteriol eferen. Tekanan darah pada arteriol aferen relatif cukup tinggi sedangkan pada arteriol eferen relatif lebih rendah, sehingga memungkinkan terjadinya filtrasi glomerulus. Sel-sel darah dan molekul-molekul yang besar, seperti protein secara efektif tertahan oleh pori-pori membran filtrasi sedangkan air, kristaloid, dan pada protein berat molekul rendah dapat lewat dari saringan glomerulus dengan mudah (Wilson 1997).

Setelah darah dfiltrasi oleh glomerulus, terjadi proses reabsorbsi selektif oleh epitel tubuli di tubulus proksimalis. Fungsi tubulus proksimal ialah mengurangi isi filtrat glomerulus sebanyak 80 sampai 85 persen melalui transport dan pompa natrium aktif. Glukosa, asam amino, protein, dan bikarbonat direabsorbsi (lihat Gambar 1). Pada umumnya semua glukosa direabsorbsi, akan tetapi bila kadar dalam darah sangat tinggi (misalnya pada diabetes) kemampuan reabsorbsi terlampaui dan glukosa terdapat dalam kemih. Sehingga dapat menyebabkan glukosuria (Wilson 1997).

Pada disfungsi glomerulus dimana terlihat glomerulus yang bocor, dan bahan-bahan toksik tiba di tubulus dalam kadar yang berlebihan melalui ruang Bowman. Hal ini menyebabkan sel epitel tubulus mengalami degenerasi bahkan kematian jika terlalu banyak bahan-bahan yang harus direabsorbsi kembali.

Dalam lengkung Henle, Cl- ditranspor secara aktif keluar dari bagian ascendens dan diikuti secara pasif oleh Na+. NaCl selanjutnya secara pasif berdifusi masuk bagian descendens lengkung. Saat filtrat bergerak ke bawah melalui bagian descendens, konsentrasi filtrat mencapai maksimum pada ujung lengkung. Proses ini penting dalam pemekatan kemih. Kemudian saat filtrat bergerak keatas melalui bagian ascendens, konsentrasi makin lama makin encer sehingga menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung. Mekanisme ini merupakan suatu mekanisme aliran balik (countercurrent) yang terpusat pada lengkung Henle (Wilson 1997).

(32)

sebagai kemih (Wilson 1997).

[image:32.595.154.493.255.573.2]

Berdekatan dengan glomerulus, sel-sel otot polos dalam tunika media arteriol aferen bersifat epiteloid, berinti bulat dan sitoplasma bergranula. Sel-sel ini adalah sel Jugsta-Glomerular (JG). Dalam arteriol aferen, sel JG berdekatan dengan endotel dan berhubungan erat dengan macula densa (suatu bagian khusus tubulus distal yang terdapat diantara arteriol aferen dan eferen) (lihat Gambar 3). Sel JG menghasilkan enzim yang disebut rennin (Wilson 1997).

Gambar 3 Korpuskulus ginjal, sel-sel mesangial (diantara kapiler) dan apparatus JG (macula densa dan sel JG) (Berne dan Levy 1988).

(33)

sehingga meningkatkan pengeluaran rennin (Wilson 1997).

Pengeluaran rennin mempengaruhi angiotensinogen (suatu protein plasma untuk menghasilkan angiotensin 1). Kemudian angiotensin 1 diubah menjadi angiotensin II yang menyebabkan peningkatan tekanan darah melalui efek vasokonstriksi perifer dan dilepasnya aldosteron. Peningkatan kadar aldosteron akan merangsang reabsorbsi Na+dan H

2O. Sehingga terjadi peningkatkan volume plasma. Peningkatan volume plasma ikut berperat dalam peningkatan tekanan darah yang selanjutnya akan mengurangi iskemia ginjal (Wilson 1997).

Eritropoietin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh se-sel interstitium peritubulus ginjal sebagai respon terhadap anemia. Hal ini dapat merangsang pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang (Corwin 2009).

2.5.2.2 Fisiologis Ginjal

Ginjal merupakan organ utama yang berperan terhadap homeostatis cairan tubuh dan elektrolit. Ginjal juga merupakan organ utama yang terkena efek toksisitas jika tubuh terpapar zat toksik. Fungsi utama ginjal adalah mengeluarkan limbah metabolisme, memusnahkan bahan toksik, mengatur cairan, garam, keseimbangan asam basa, serta mengatur tekanan darah (Dellman dan Brown 1992). Selain itu ginjal berfungsi menyaring filtrat dan membawanya melalui tubulus. Ginjal juga memiliki fungsi sebagai penyingkir buangan metabolisme normal dan mengekskresikan xenobiotik serta metabolitnya (Lu 1995).

2.5.2.3 Patologi Ginjal

Ginjal merupakan organ yang mempunyai fungsi utama dalam

mengekskresikan nitrogenous wastes seperti ureum, uric acid, kreatinin, dan ammoniak. Pada studi toksisitas, fungsi ginjal dapat dievaluasi melalui urinalisis dan serum darah. Serum darah yang diperiksa adalah kreatinin dan ureum (Seely 1996). Ureum disintesis dari ammonia selama proses katabolisme protein. Kadar ureum yang tinggi menunjukkan adanya gangguan fungsi ginjal (Meyer 1992).

(34)

Kerusakan yang terjadi pada ginjal dapat bersifat akut atau kronis karena kerusakan yang berlangsung lama. Hilangnya fungsi ginjal pada gagal ginjal akut

dan kronis tersebut mengakibatkan ketidakmampuan tubuh dalam

mempertahankan homeostasis cairan, elektrolit, dan asam-basa. Sehingga terjadi akumulasi adanya bahan toksik. Gangguan pada ginjal seperti nephrotoxin (racun, polutan, dan obat-obatan yang merusak ginjal) dapat menyebabkan terhambatnya proses pembentukan urin. Gangguan yang paling jelas pada kasus gagal fungsi ginjal adalah kemampuan filtrasi glomerulus yang menurun. Akibatnya jumlah urin berkurang, tekanan darah menurun, dan timbul racun metabolisme dalam darah, terutama limbah metabolisme nitrogen seperti urea dan kreatinin (Corwin 2009)

Salah satu bagian ginjal yang sering mengalami kelainan adalah glomerulus. Menurut Confer dan Panciera (1995), kerusakan yang terjadi sering disebabkan oleh adanya deposisi imun kompleks, thrombosis, emboli, dan infeksi virus pada komponen glomerulus. Kerusakan dapat menyebabkan berbagai dampak secara morfologi maupun fungsional. Secara morfologis, kerusakan glomerulus ditandai dengan terjadinya nekrosa, proliferasi sel membran, dan infiltrasi leukosit. Rusaknya glomerulus secara fungsional ditandai dengan berkurangnya perfusi aliran darah. Jika aliran darah berkurang dapat mengurangi laju filtrasi glomerulus, proses reabsorbsi, serta sekresi tubulus. Hal ini mengakibatkan aliran dalam tubulus tersumbat dan menghambat aliran urin. Jika berlanjut mengakibatkan retensi cairan dan elektrolit. Rusaknya glomerulus juga dapat ditandai dengan lolosnya protein dan makromolekul dalam jumlah besar.

Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan ekskresi urin, udema,

hiperlipidemia, dan proteinuria. Kejadian proteinuria menyebabkan

hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dalam darah, yang mengakibatkan udema pada paru-paru. Hal ini mengakibatkan difusi O2 menjadi terganggu. Jika berlanjut tubuh menjadi hipoksia yang kemudian gagal nafas. Pada akhirnya dapat menyebabkan kematian pada hewan (Sowden dan Betz 2009). Epitel tubuli ginjal dapat mengalami degenerasi dan nekrosa. Kematian epitel tubuli ginjal dapat menyebabkan nekrosa maupun apoptosis. Seperti di hati, epitel tubuli ginjal juga mengalami apoptosis (Harrison 1999).

2.6 Efek Samping Setelah Mengkonsumsi Daun Katuk

(35)
(36)

bukan disebabkan oleh daun katuk karena tidak ditemukan kerusakan pada saluran pernafasan, tetapi ada peningkatan epitel sel bronkhiolus yang mengalami metaplasia menjadi sel goblet.

Di Amerika, sejak tahun 1995 daun katuk goreng, salad daun katuk, dan minuman banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai obat antiobesitas (pelangsing tubuh). Penelitian dilakukan terhadap 115 kasus bronkiolitis obliterasi (110 perempuan dan 5 pria), berumur antara 22-66 tahun yang sebelumnya mengkonsumsi daun katuk. Pada uji fungsi paru terlihat obstruksi sedang sampai parah. Pengobatan dengan campuran kortikosteroid, bronkodilatasi, eritromisin, dan zat imunosupresi hampir tidak berkhasiat. Setelah 2 tahun bronkiolitis obliterasi berkembang menjadi parah dan terjadi kematian pada 6 pasien (6,1 %). Di Taiwan 44 orang mengkonsumsi jus daun katuk mentah (150 g) selama 2 minggu - 7 bulan, terjadi efek samping dengan gejala sukar tidur, tidak enak makan dan sesak nafas. Gejala hilang setelah 40-44 hari menghentikan konsumsi jus daun katuk. Hasil biopsi dari 12 pasien menunjukkan bronkiolitis obliterasi.(9) Sejumlah 178 pasien mengkonsumsi jus daun katuk mentah dengan dosis 150 g / hari (60.7 %), digoreng (16.9 %), campuran (20.8 %), dan digodok (1.7 %), selama 7 bulan - 24 bulan. Terdapat efek samping setelah penggunaaan selama 7 bulan berupa gejala obstruksi bronkiolitis sedang sampai parah. Konsumsi selama 22 bulan atau lebih menyebabkan gejala bronkiolitis obliterasi yang permanen (Ger dan Yanget al. 1997). Pemberian ekstrak daun katuk kering dan katuk hijau dengan dosis 1.68 g/kg/BB pada mencit selama kebuntingan menimbulkan degenerasi lemak pada organ hati dan ginjal. Hal ini merupakan efek samping yang tidak diinginkan walaupun kejadiannya hanya bersifat sementara (reversible) dan tergolong masih dalam tingkat rendah (Hendarsari 2005).

2.7 Karakteristik dan Data Biologis Tikus Sebagai Hewan Percobaan 2.7.1 Karakteristik Tikus Putih (Rattus sp.)

Robinson (1979) mengklasifikasikan tikus putih sebagai hewan percobaan dengan taksonomi sebagai berikut: kelas Mamalia, ordo Rodentia, subordo Myomorpha, famili Muridae, subfamili Murinae, genus Rattus, spesiesRattus sp.

(37)
[image:37.595.185.433.87.274.2]

Gambar 4 Tikus putih (Rattus sp.).

Tikus merupakan mamalia yang umum digunakan sebagai hewan percobaan. Tikus putih (Rattus sp.) galur Sprague Dawley yang merupakan jenis outbred tikus albino serbaguna yang digunakan secara ekstensif dalam beberapa riset medis, termasuk dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan ketenangan dan kemudahan dalam penanganannya (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus merupakan hewan laboratorium yang memiliki banyak keunggulan. Hal ini dikarenakan banyak gen tikus relatif mirip dengan manusia, dalam binatang menyusui (mamalia), kemampuan berkembangbiak tikus sangat tinggi, dan relatif cocok untuk digunakan dalam eksperimen massal. Selain itu, tipe bentuk badan tikus kecil, mudah dipelihara, dan obat yang digunakan di badannya dapat relatif cepat terdistribusi (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Melihat kenyataan diatas, tikus sering digunakan sebagai hewan pengujian obat sebelum diberikan kepada manusia.

2.7.2 Data Biologis Tikus Putih (Rattus sp.)

Sebagai hewan percobaan, data biologis tikus penting dalam membantu menyeragamkan hasil penelitian dunia medis. Berikut ini terdapat data biologis tikus putih (Rattus sp.), yaitu diantaranya:

Konsumsi pakan perhari : 5 gram/100 gram BB

Konsumsi air minum perhari : 8-11 mL/ 100 gram BB

Diet Protein : 12 %

Ekskresi Urin Perhari : 5,5 mL/ 100 gram BB

Lama hidup : 2,5-3 tahun

(38)

Bobot badan dewasa betina : 250-300 gram

Bobot lahir : 5-6 gram

Dewasa kelamin : 50 ± 10 hari

Siklus estrus : 21 hari

Rasio Kawin : 1 jantan dengan 3 atau 4 betina

Jumlah kromosom : 42

Suhu rektal : 37,5º C

Laju respirasi : 87 x/menit

Denyut jantung : 300-500x/ menit

(Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Februari 2010.

3.2 Hewan Coba dan Pemeliharaannya

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina bunting, galur Sprague Dawley. Tikus dikandangkan secara individu dalam bak plastik yang berukuran 40x30x15 cm3 dengan menggunakan kawat untuk menutupi bagian atas kandang. Kandang dialasi dengan sekam yang diganti 3 hari sekali untuk menjaga kebersihan dan kesehatan. Pemberian minum pada tikus dilakukanad libitumdan pemberian pakan sesuai perlakuan.

3.3 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu peralatan destilasi (mesin pencampur otomatis, vacuum flas, rotary-evaporator), gelas separasi, gelas erlenmeyer, penggiling, peralatan bedah, dan timbangan digital.

(39)

tepung jagung, bungkil kedelai, garam, minyak kelapa, tepung ikan, premix, dan CaCO3.

3.4 Metode Penelitian

Metode pembuatan fraksi estraksi DK dan pemberian pakan menggunakan prosedur Suprayogiet al. (2009), dapat diuraikan seperti berikut:

3.4.1 Pembuatan Simplisia

Daun katuk segar yang digunakan, diperoleh di daerah sekitar

Cinangneng, Ciampea Kabupaten Bogor. Daun tersebut dicuci dengan air bersih, kemudian dijemur di bawah sinar matahari sampai layu. Pengeringan dilanjutkan dengan menggunakan oven pada suhu 60ºC selama 12 jam. Simplisia yang diperoleh diekstraksi dengan teknik maserasi.

3.4.2 Pembuatan Ekstrak Etanol

Simplisia daun katuk sebanyak 2 Kg dilarutkan dengan pelarut etanol (EtOH) sebanyak 13 L. Campuran tersebut diaduk secara manual selama 30 menit, kemudian didiamkan selama 24 jam dan diulangi 3-4 kali sampai jernih. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan menggunakanvacuum flash. Filtrat dari

penyaringan ini kemudian dievaporasikan dengan menggunakan

rotary-evaporatorpada temperatur 400C. Dari hasil ekstraksi ini diperoleh ekstrak etanol. Ekstrak etanol (E-EtOH) ini kemudian dihaluskan hingga menjadi bubuk.

3.4.3 Pembuatan Fraksi Heksan

(40)

Daun Katuk Kering Giling

Ekstrak Etanol Daun Katuk

Fraksi Etanol Fraksi Hexan

Fraksi Air Fraksi Etilasetat

kemudian dihaluskan hingga menjadi bubuk. Sedangkan ekstrak etanol akan digunakan untuk membuat fraksi air dan fraksi etilasetat.

3.4.4 Pembuatan Fraksi Air dan Fraksi Etilasetat

Sebanyak 20 g fraksi ekstrak etanol dilarutkan dengan air sedikit demi sedikit hingga membentuk larutan fraksi ekstrak etanol sebanyak 500 mL. Larutan ini dimasukkan dalam gelas separasi yang kemudian dicampurkan dengan 500 mL pelarut etilasetat. Larutan tersebut kemudian dikocok hingga tercampur sempurna, kemudian didiamkan selama beberapa menit sampai terjadi pemisahan yaitu larutan etilasetat pada bagian atas dan larutan air pada bagian bawah. Pencampuran dan pengocokan dilakukan berulang hingga didapat larutan yang menggunakan pelarut etilasetat yang jernih. Larutan kemudian dipisah dan ditempatkan pada gelas erlenmeyer yang berbeda. Filtrat yang didapat kemudian dievaporasikan sehingga didapat fraksi etilasetat (F-EtAc) dan fraksi air (F-H2O). Hasil dari evaporasi ini kemudian dihaluskan hingga menjadi bubuk. Prosedur fraksinasi ekstrak daun katuk dapat dilihat pada Gambar 5.

EtOH 500 ml Evaporasi

Hexan 500 ml EtOH 500 ml

Evaporasi Evaporasi

Etilasetat 500 ml Aquades 500 ml

[image:40.595.128.509.430.597.2]

Evaporasi Evaporasi

Gambar 5 Prosedur fraksinasi ekstrak daun katuk.

3.4.5 Pembuatan Bubuk Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Daun Katuk

(41)

3.4.6 Pembuatan dan Pemberian Pakan

Pembuatan pakan perlakuan dilakukan menurut prosedur Suprayogi et al. (2009). Pakan yang diberikan berupa pelet yang dibuat secara manual dengan komposisi terdiri atas tepung jagung, tepung ikan, bungkil kedelai, premiks, garam, CaCO3, minyak kelapa dan terigu yang disisipi dengan fraksi heksan, air, etilasetat, dan ekstrak etanol sesuai pakan perlakuan yang akan dibuat. Penambahan dan pencampuran fraksi ekstrak pada daun katuk dilakukan untuk

mendapatkan pakan yang mengandung E-EtOH 4,53%, F-H 0,87%, F-H2O

[image:41.595.116.518.441.523.2]

3,22%, dan F-EtAc 0,45%. Penambahan fraksi ekstrak kedalam pakan ini disesuaikan dengan proporsi fraksinasi dari fraksi-fraksi tersebut terhadap ekstrak kasarnya. Komposisi nutrisi pakan terdiri dari protein kasar, lemak kasar, dan energi. Hasil analisis proksimat pakan kontrol, E-EtOH, F-H, F-H2O, dan F-EtAc serta persentase fraksi ekstrak yang ada di dalam pakan tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi nutrisi dan konsentrasi ekstrak daun katuk dalam pakan.

Kelompok Konsentrasi ekstrak D

aun Katuk (%)

Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Energi (Kal/100 g)

Kontrol 0 20,01 6,55 3499

E-EtOH 4,53 20,06 6,54 3497

F-H 0,87 20,03 6,55 3498

F-H2O 3,22 20,04 6,54 3498

F-EtAc 0,45 20,02 6,55 3499

Suprayogiet al.2009

3.5 Pelaksanaan Penelitian

3.5.1 Pengelompokan Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan adalah 15 ekor tikus betina bunting umur 1 hari kebuntingan (H1). Sebanyak 15 ekor tikus betina bunting dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol (K), kelompok fraksi air (F-H2O), kelompok fraksi heksan (F-H), kelompok fraksi etilasetat (F-EtAc), dan kelompok ekstrak etanol (E-EtOH) dengan masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor tikus betina bunting. Waktu pengambilan sampel tiap kelompok yaitu pada 10 hari postpartus.

3.5.2 Pemberian Pakan Perlakuan

(42)

postpartus. Tikus diberi makan 2 kali sehari (pagi dan sore). Berdasarkan penghitungan penelitian serupa yang dilakukan Suprayogiet al. (2009), diketahui rataan dosis fraksi ekstrak yang dikonsumsi oleh tikus pada setiap perlakuan adalah 297,5 mg/hari/ekor untuk kelompok E-EtOH; 57,5 mg/hari/ekor untuk F-H; 209 mg/hari/ekor untuk F-H2O; dan 40 mg/hari/ekor untuk F-EtAc.

Setelah 10 hari postpartus, dilakukan pengambilan sampel organ dari induk tikus. Pengambilan sampel dilakukan pada lima kelompok perlakuan dan kontrol. Induk yang akan diambil sampel organnya yaitu hati dan ginjal terlebih dahulu dieutanasi dengan eter. Organ tersebut lalu dimasukkan dalam larutan formalin buffer fosfat 10% dan dibuat sediaan histopatologinya.

1.1.1 Pembuatan Sediaan Histopatologi

(43)

Pengambilan Sample hati dan ginjal

Ttrimmingsetelah BNF 10% 48 jam Pengamatan sediaan histopalogi

Dehidrasidengan alkohol bertahap Mountingdengan Entellan® danclearingdengan cylol

(44)

Embeddingmenjadi blok paraffin Pemotongan 4-5 mikron dengan mikrotom Gambar 6 Tehnik pembuatan sediaan histopatologi.

3.5.4 Evaluasi Histopatologi Hati dan Ginjal

Evaluasi histopatologi dilakukan berdasarkan rasio apoptosis sel yang terjadi pada masing-masing organ yaitu hati dan ginjal. Penghitungan rasio diperoleh dengan cara

Rasio= Xy1+ Xy2+Xy3+ ..., dengan, ∑ (y1-3)

X= Sel apoptosis

Y= Vena sentralis/ portal di hati/ epitel tubuli di ginjal

Angka menunjukkan jumlah vena sentralis /portal di hati/ epitel tubuli ginjal yang ditemukan di semua lapang pandang.

Penghitungan jumlah apoptosis hepatosit di vena sentralis dan portal hati berdasarkan karyolisis inti hepatosit dihitung tiap ekor tikus di tiap perlakuan. Berbeda dengan ginjal, penghitungan jumlah apoptosis hepatosit di epitel tubuli kontorti berdasarkan karyopiknosis inti tubuli kontorti dihitung untuk tikus di tiap perlakuan.

3.5.5 Analisis Data

(45)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pemberian ekstrak dan fraksi DK pada tikus putih menunjukkan adanya perubahan gambaran histopatologi organ hati dan ginjal. Perubahan histopatologi terjadi terhadap kedua organ tersebut, pada pemberian dosis ekstrak dan fraksi DK yaitu fraksi heksan (F-H), fraksi etilasetat (F-EtAc), fraksi air (F-H2O), dan ekstrak etanol (E-EtOH), yang secara berurutan sebesar 57,5 mg/hari/ekor, 40 mg/hari/ekor, 209 mg/hari/ekor, dan 297,5 mg/hari/ekor.

4.1 Organ Hati

[image:45.595.120.529.577.744.2]

Pengamatan histopatologi organ hati menunjukkan adanya kematian seluler hati (hepatosit) dengan terlihatnya ciri inti sel yang mengalami karyolisis. Kematian hepatosit tersebut berupa apoptosis. Hal ini dikarenakan tidak adanya infiltrasi sel radang (limfosit) yang membentuk kelompok padat. Apoptosis hepatosit ini terlihat pada sekitar daerah portal dan vena sentralis. Pengamatan apoptosis hepatosit dilakukan dengan cara menghitung rasio dari hasil skoring lesio pada kedua daerah tersebut. Rasio apoptosis hepatosit pada daerah portal dan vena sentralis dapat dilihat pada Tabel 4 dan gambaran histopatologi kedua daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

Tabel 4 Rasio apoptosis hepatosit pada daerah portal dan vena sentralis hati tikus yang diberi berbagai ekstrak dan fraksi DK sejak bunting sampai 10 hari postpartus.

Kelompok Ekstrak dan Fraksi DK

Rasio Apoptosi Hepatosit Pada Daerah Portal

Rasio Apoptosis Hepatosit Pada Daerah Vena Sentralis

Kontrol 38.937 ± 13.94b 54.191 ± 72.34a

F-H 27.233 ± 9.25b 20.500 ± 4.61a

E-EtOH 11.689 ± 6.48a 14.122 ± 9.40a

F-EtAc 9.950 ± 3.68a 9.796 ± 5.95a

F-H2O 8.055 ± 8.12a 4.364 ± 1.13a

(46)
[image:46.595.177.447.82.300.2] [image:46.595.177.447.374.590.2]

Gambar 7 Apoptosi hepatosit pada daerah vena sentralis ditandai dengan inti karyolisis (panah putih) H&E.

Gambar 8 Apoptosis hepatosit pada daerah portal ditandai dengan inti karyolisis (panah putih) H&E.

(47)

normal dapat mengalami proses penuaan dan kematian sel secara fisiologis (apoptosis).

Semua kelompok ekstrak dan fraksi DK (F-H2O, EtAc, E-EtOH, dan F-H) menyebabkan rasio kematian hepatosit yang lebih sedikit dari pada kelompok kontrol, terutama F-H2O, F-EtAc, dan E-EtOH menunjukkan penurunan yang nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini kemungkinan adanya senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak dan fraksi tersebut yang mampu melindungi sel, yang menyebabkan jumlah apoptosis berkurang. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti senyawa apa yang bertanggung jawab terhadap penghambatan kematian sel tersebut. Ada kemungkinan beberapa senyawa seperti flavonol, yaitu 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl kaempferol mempunyai peran penting dalam melindungi terhadap percepatan kematian hepatosit (Wang dan Lee 1997). Hal ini diperkuat juga oleh temuan Suprayogi (2004) bahwa senyawa aktif kaempferol

merupakan antioksidan kuat. Oleh karena itu, dengan adanya penambahan antioksidan yang terkandung dalam daun katuk dapat menurunkan jumlah kerusakan (Moskauget al.2004).

Bila melihat rasio apoptosis hepatosit di daerah vena sentrali dengan rasio apoptosis hepatosit di daerah portal, ada kemiripan pola penurunan rasio yaitu terutama pada fraksi air, fraksi etilasetat, dan ekstrak etanol dibandingkan dengan kelompok kontrolnya. Hal ini dikarenakan adanya senyawa aktif yang mampu menghambat kematian seluler hati, seperti telah diuraikan diatas walaupun terlihat adanya rasio kerusakan hepatosit dari vena sentralis tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05).

4.2 Organ Ginjal

(48)
[image:48.595.118.535.200.322.2]

Tabel 5 Rasio apoptosi epitel tubuli kontorti ginjal tikus yang diberi berbagai ekstrak dan fraksi DK sejak bunting sampai 10 hari postpartus.

 Kelompok Ekstrak dan Fraksi DK Rasio Apoptosis Epitel Tubuli Kontorti Ginjal Kontrol 1.99 ± 1.32a

F-H 5.57 ± 0.87a

E-EtOH 5.16 ± 4.29a

F-EtAc 9.22 ± 8.60a

F-H2O 4.34 ± 2.73a

Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05).

Gambar 9 Apoptosis epitel tubuli kontorti ginjal yang ditandai dengan inti piknotis (panah putih) H&E.

[image:48.595.172.454.345.574.2]
(49)

Kematian sel epitel tubuli tersebut tidak berbeda nyata. Oleh karena itu ada kemungkinan kematian sel tersebut masih bersifat apoptosis. Proses kematian sel apoptosis ini secara fisiologis dialami oleh semua sel normal setiap sel dalam tubuh yang mengalami penuaan yang diakhiri dengan kematian sel, dan akan digantikan oleh sel baru melalui proses regernerasi (Mitchel dan Cotran 2007).

4.3 Diskusi Umum

Pengamatan histopatologi organ hati menunjukkan adanya kematian seluler hati (hepatosit) yang berupa apoptosis. Apoptosis hepatosit ini terlihat pada sekitar daerah portal dan vena sentralis. Hal ini juga terjadi pada ginjal. Pengamatan histopatologi organ ginjal menunjukkan adanya apoptosis yang terjadi pada inti epitel tubuli kontorti ginjal.

Bila melihat rasio apoptosis hepatosit di daerah vena sentrali dan di daerah portal, terlihat ada kemiripan pola penurunan rasio apoptosis. Keseluruhan perlakuan (F-H2O, F-EtAc, E-EtOH, dan F-H) dalam penelitian menunjukkan rasio apoptosis yang lebih rendah dibanding dengan kelompok kontrol. Secara berurutan penurunan rasio apoptosis tersebut yaitu dari kelompok kontrol menurun terus menuju perlakuan F-H, E-EtOH, F-EtAc, dan F-H2O. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak dan fraksi ekstrak DK yang mampu melindungi sel, sehingga kematian seluler di hati dapat dihambat. Namun, sampai saat ini belum diketahui secara pasti senyawa apa yang bertanggung jawab terhadap penghambatan kematian sel tersebut. Ada kemungkinan beberapa senyawa aktif yang ditemukan seperti flavonol, yaitu 3-O-β-D-glucosyl (1-6)-β-D-glucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol, dan 3-O-β-D-glucosyl (1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol mempunyai peran penting dalam menghambat kematian hepatosit (Wang dan Lee 1997). Hal ini diperkuat juga oleh temuan Suprayogi (2004) bahwa senyawa aktifkaempferolmerupakan antioksidan kuat.

(50)
(51)

BAB 5

PENUTUP

1.1

Kesimpulan

1. Gambaran histopatologi hati menunjukkan bahwa fraksi air, etilasetat, dan ekstrak etanol memiliki potensi sebagai penghambat kematian sel hati atau dapat disebut sebagai hepatoprotektor, namun perlu kehati-hatian terhadap kemungkinan efek samping yang terjadi di ginjal.

2. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian fraksi air yang lebih baik, karena sifat hepatoprotektornya yang relatif tinggi dengan efek samping yang relatif rendah.

1.2

Saran

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis efektif

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Agusta A, Harapin M, Chairul. 1997. Analisis kandungan kimia ekstrak daunkatuk (Sauropus androgynus (L.)Merr.) dengan GCMS. Jou Ind Med Plants3(3): 31-33

Andriyanto. 2004. Pengaruh Penambahan Tepung Daun Katuk (Sauropus

Androgynus (L).Merr) Dalam Pakan Ayam Broiler Terhadap Kecernaan Pakan Dan Produksi Cairan Empedu.[Skripsi]. FKH. IPB

Anonim. 2004. Konsep teori involusi uteri. Terhubung berkala

http://www.scribd.com/doc/48414666/jtptunimus-gdl-idadianani-5194-3-bab2

[19 September 2011].

Anonim. 1992. Tumbuhan yang Berkhasiat Memperlancar ASI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. pp: 1,1-1,3

Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke-4. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI press)

Backer CA, Brink RBC. 1963. Plants of taksonomi. Flora of Java

Vol.I.N.V.P.Noordhoff. Groningen: The Netherlands

Berne RM, Levy MN. 1988. Physiology 2nd Ed. From figure 47.4, p786. In: Hadley ME. 2000. Endocrinology 5th Ed. Prentice Hall. New York: Upper Sadle River Press

Burkitt HG, Young B, Heath JW. 1995. Weather’s fuctional histology. A Text and Colour Atlas. Jakarta: EGC

Carlton WW, Gavin MMD. 1995. Special Veterinary Pathology. 2nd Edition Mosby. Year Book. Inc St. Louis. Missouri

Chang H, Wang JS, Tseng HH, Lai RS, Su JM. 1997. Histopathological study of

Sauropous androgynus-Associated constrictive Bronchiolitis obliterans.

Am. J. Surg. Pathol21(1):35-42

Chang YL, Yao YT, Wang NS, Lee YC. 1998. Segmental necrosis of small bronchi after prolonged intake of Sauropus androgynus (L).Merr) In Taiwan.Respir. Crit. Care Med157:594-598

Churchill J. 1990. Pet sense. Caring For Pets and Native Fauna.Australia

(53)

Louis :249-246

Corwin EJ. 2009.Handbook of Pathophysiology 3rdEd. Jakarta: EGC

Dellman, Brown. 1992.Buku Teks Histologi Veteriner II.Jakarta : UI-Press

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi ke-4

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Daftar Komposisi Dari Bahan Makanan. Jakarta: Bharata

Desni TR. 2005. Daun Katuk Dalam Ransum Ayam Petelur Dan Pengaruhnya Terhadap Kandungan Vitamin A, Kolesterol Pada Telur Dan Karkas, Serta Ekstradiol Darah.[Tesis]. IPB

Djojosoebagio S. 1965. Pengaruh Sauropus Androgynus (L).Merr) Terhadap Fungsi Fisiologis Dan Produksi Air Susu. Makalah Dalam Seminar Nasional Penggalian Sumber Alam Indonesia Untuk Farmasi. Yogyakarta. Ganong WF. 2003.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC

Ger LP, Chiang AA, Lai RS, Chien SM, Tseng CJ. 1997. Association ofSauropus androgynus dan bronchiolitis obliterans syndrome. American Journal Of Epidemiology145:842-849

Guyton 1995.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Green DR. 2007. Apoptosis. In: Cells. Lewin B, Cassimeris L, Lingapa VR, Plopper J. Inc. United States of America. hlm 533-538

Harada T, Enomoto A, Boorman GA, Maronpot RR. 1996. Liver and gallbladder. In: Pathology of the Mouse. Maronpot RR, Boorman GA, Gaul BW (eds). New York: Cache River Press. hlm 119-135

Harborne JB. 1987.Metode Fitokimia. Bandumg: Penerbit ITB

Harrison. 1999.Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC. hlm 450 Hendarsari B. 2005. Histopatologi Hati, Ginjal, dan Paru Mencit Bunting Akibat

Pemberian Ekstrak Daun Katuk. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

Heyne K. 1987.Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Yayasan Wana Jaya Hoskins HP, Lacroix JV, Mayer K. 1964. Canine Medicine. Second Editions,

Revised. California. American Veterinary Publicatios, Inc

Lai RS, Chiang AA, Wu MT, Wang JS, Lai NS, Lu JY, Ger LP. 1996. Outbreak of bronchiolitis obliterans associated with consumption of Sauropus androgynusin Taiwan.Lancet348: 83-85

(54)

Lu FC. 1995.Toksikologi Dasar. Ed ke-2. Jakarta. Universitas Indonesia Press MacLachan NJ, Cullen JM. 1995. Liver, Billiary System, and Exocrine Pancreas.

In: Carlton WW, McGavin MD, Thompson. Special Veterinary Pathology 2nd Ed. Mosby-Year Book Inc. USA. hlm 80-123

Mahyudin H. 1986.Katuk Tanaman Bermanfaat. Jakarta: Sinar Tani

Mayer RE.(1992). Their Historic Meeting Within Educational Psychology

Educational Psychology84:405-412

Mitchell RN, Cotran RS. 2007.Jejas, Adaptasi, dan Kematian Sel. Jakarta: EGC. hlm: 26-27

Moskaug JO, Carlsen H, Myhrstad M, Blomhoff R. 2004. Molecular imaging of the biological effect of quercetin and quercetin rich food: Mechanism of Ageiing and Development125:315-324

Padmavathi P, Rao MP. 1990. Nutritive value of Sauropus androgynus leaves. Plant Foods For Human Nutrition

Prajogo BEW, Santa IGP. 1997. Studi taksonomiSauropus androgynus (L).Merr. Warta Tumbuhan Obat3:34-35

Pujiyati S. 1999. Pengaruh Pemberian Daun Katuk (Sauropus Androgynus (L).Merr) Pada Domba Laktasi Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Dan Alveoli Paru-Paru. Skripsi]. FKH. IPB

Puspaningtyas, Sutrisno, Susetyo SB. 1997. Usaha tani katuk di desa Cilebut barat kabupaten Bogor.Warta Tumbuhan Obat3. hlm 5

Ressang AA.1984.Patologi Khusus Veteriner Ed Ke-2. Denpasar: Percetakan Bali Robinson R. 1979. Taxonomy and genetic in the laboratory rat. Biology and

Disease1: 38

Rutherford A. 2001. Introducing ANOVA and ANCOVA. Great Britain:

Athenaeum Press.

Santoso SO, Hasanah M, Yuliani S, Setiawati A, Mariana Y, Handoko T, Risfaheri, Anggraeni, Suprayogi A, Kusumorini N, Winarno N. 1997.

Produuction Of A Medicine Product From Katuk’s Leaves (Sauropus Androgynus (L).Merr) To Increase The Secretion And Quality Of Breast Milk Integrated Priorities Research (Riset Unggulan Terpadu 11).

Santoso U. 2001. Effect ofSauropus androgynusextract on organ weight, toxicity and number ofSalmonella spand Escherichia coliof broiler meat. B I P P. 7 (2): 162-169

Santoso U dan Sartini. 2001. Reduction of fat deposition in broiler chickens by

Sauropus androgynous (Katuk) leaf meal supplementation. Asian-Aust. J. Anim. Sci

(55)

Seely JC. 1996. Kidney. In:Pathology of the Mouse. Maronpot RR, Boorman GA, Gaul BW (eds). New York: Cache River Press. hlm 207-212

Setyowati FM. 1997. Arti katuk bagi masyarakat dayak kenyah kalimantan timur.

Obat Tumbuhan Indonesia3:54

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988.Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.V11.1

Sowden AL, Betz LC. 2009.Buku Saku Keperawatan Pediatric. Jakarta: EGC Sukendar. 1997. Pengenalan morfologi katuk.Tumbuhan Obat3: 53

Sumantera IW. 1997. Etnobotani katuk di Bali. J Medic Plants3: 53

Suprayogi A. 1995. The effect of Sauropus androgynus (L.)Merr. Leaves on the feed digestibiliti, glucose absorption and glucose metabolism in the liver (a study on a tropical medical plant). Master-Thesis of Gottingen University, Germany

Suprayogi A. 2000. Studies Of The Biological Effect Of Sauropus Androgynus (L).Merr: Effect Of Milk Production And The Possibilities Of Induced Pulmonary Disorder In Lactating Sheep. ISBN : 3-89712-941-8. Cuvillier Verlag Gottingen, Germany

Suprayogi A. 2002. Proses Produksi Dan Formulasi Daun Katuk Sebagai Bahan Minuman Berkhasiat. Pusat Studi Ilmu Hayati. IPB

Suprayogi A. 2004. Identification of active compounds in sauropus androgynus leaves. Research-study report, Re-Invitation Program-DAAD Germany (February-April 2004). Institut fur Pharmazeutische Biologie, Heinrich-Heine-Universitat Dusseldorf, Germany

Suprayogi A, Kusumorini N, Setiadi MA, Murti YB. 2009. Produksi fraksi ekstrak daun katuk terstandar sebagai bahan baku obat perbaikan gizi, fungsi reproduksi, dan laktasi. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, IPB

Tjitrosoepomo G. 2007. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta)-Cetakan ke-9. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm 46

The United States Pharmacopeia. 1950. Prepared By The Committee Of Revision By The Board Of Trustees. 14th Revision. Mack Printing Co., Easton. PA. pp. 418-420

Underwood J. 1996.Patologi Umum dan Sistemik. Jakarta: EGC. Hlm 75-77. Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Gajah Mada

University Press

Wang PH, Lee SS. 1997. Active chemical constituents from Sauropous

androgynus.J. Chin. Chem. Soc44(2):145-149

(56)

Kedokteran Hewa

Gambar

Gambar 1 Tanaman katuk (Anonim 2004).
Tabel 1 Komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar).
Tabel 2 Tujuh senyawa aktif utama tanaman katuk dan pengaruhya terhadap
Gambar 2 Nefron memperlihatkan bagian-bagiannya, fungsi, serta pembuluhdarahnya (Louis 1988).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya kesenjangan yang penulis temukan adalah dalam hal penentuan faktor predisposisi hiperemesis gravidarum, teori menyatakan bahwa salah satu faktor

Berdasarkan studi pustaka, ketidakpastian yang bersumber pada permintaan konsumen dan yang berkaitan dengan lead time, baik lead time dari pemasok maupun lead time ke pelanggan

Pada metode pembelajaran sebanyak 19 mahasiswa atau 20 persen mengatakan Dosen Pembimbing selalu memberikan saran mengenai metode yang sesuai dengan materi yang

Desiminasi hasil penelitian model pelatihan komunikasi pembelajaran berbasis multimedia untuk pengembangan kompetensi mudarris pondok pesantren dilakukan pada

Bersama ini kami sampaikan usul pemberian Surat Penugasan (SP) studi lanjut (tugas belajar) dari Sekretariat Negara Republik Indonesia bagi staf pengajar/tenaga kependidikan *)

Gambar : Ekspresi fashion Ingrid saat bersama teman Keterangan : Ingrid yang memakai baju warna hijau.. Gambar : Ekspresi fahion saat Fani saat

Komisi yang diberikan kepada pialang asuransi, agen dan perusahaan asuransi lain sehubungan dengan penutupan pertanggungan dicatat sebagai beban komisi, sedangkan komisi yang

[r]