• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan informasi tentang kemungkinan adanya efek samping (toksik) dari mengkonsumsi daun katuk melalui pengamatan gambaran histopatologi hati dan ginjal.

2. Mengetahui gambaran histopatologi organ hati dan ginjal pada tikus yang mengkonsumsi ekstrak etanol (EtOH), fraksi hexan (FH), fraksi etil asetat (FEtc), dan fraksi air (FH2O) DK.

3. Menentukan kemungkinan ekstrak atau fraksi yang menimbulkan efek samping rendah terkait dosisnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman katuk (Sauropus androgynus (L).Merr.) merupakan salah satu tanaman yang banyak dimanfaatkan penggunaannya sebagai tanaman obat di Indonesia dan Malaysia (Wang dan Lee 1997). Tanaman ini juga dapat tumbuh di negara-negara seperti Cina, Vietnam, Philipina, dan juga Malaysia (Setyowati 1997 dan Suprayogi 2000). Tanaman ini juga digunakan sebagai sayur-mayur oleh masyarakat bagian Asia Barat dan Asia Tenggara (Bender dan Ismail 1975, dalam Suprayogi 2000). Selain untuk sayur-mayur, tanaman katuk juga dimanfaatkan sebagi obat tradisional pada masyarakat India (Padma Vathi dan Rao 1990). Bebeda dengan negara Taiwan, tanaman katuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pengobatan pada penyakit hipertensi, hiperlipidemia, konstipasi, dan pengontrol berat badan (Geret al. 1997). Tanaman katuk tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

1.1Sifat Botani Tanaman Katuk (Sauropus androgynus(L).Merr)

Menurut Tjitrosoepomo (2007) katuk dalam taksonomi tumbuhan termasuk dalam golongan :

Divisi : Spermatophyta

Anak Divisi : Angiospermae

Kelas : Dycotiledonae

Anak kelas : Monoclamydae (Apetalae)

Bangsa : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Sauropus

Spesies :Sauropus androgynus

Di daerah Jawa, tanaman katuk sering disebut babing, katuken, sedangkan di sunda disebut katuk. Berbeda dengan di Madura, tanaman katuk disebut kerakur (Anonim 1992). Ada 3 jenis sauropus yang dikenal di daerah Jawa yaitu (Sauropus androgynus (L).Merr) atau katuk, Sauropus rhammoide B1atau katuk badak, dan Sauropus machrantus hassk (Prajogo dan Santa 1997). Beberapa laporan menyebutkan kandungan nutrisi yang terdapat dalam tanaman katuk yaitu energi 59 kal%, protein 4,8%, lemak 1,0%, Ca 204 mg%, fosfor 83 mg%, besi 7,0%, vitamin A 10,370 SI%, Vitamin B 0,10 mg%, Vitamin C 239 mg%, dan air 81,0% (Depkes 2007).

Menurut Sukendar (1997), daun katuk merupakan daun tunggal yang diketiaknya terdapat bunga, memiliki daun tunggal, dengan jumlah daun bercabang 11-21 helai. Warna pada permukaan atas daun hijau dengan bercak putih dan permukaan bawah berwarna hijau muda. Tepi daun rata, pangkal tumpul, dan ujungnya lancip. Bunga jantan seperti iwang dengan kelopak dan mahkota masing-masing berjumlah 3, berwarna hijau kemerahan, saling berlekatan, tebal dan berdaging. Benang sari 6 buah dengan serbuk sari berwarna putih kekuningan. Bunga jantan mempunyai kelopak dan mahkota serupa, masing-masing berjumlah 3, berwarna merah kecoklatan, berlepasan, tidak mudah luruh, dan menempel pada buah.

1.2 Manfaat Daun Katuk

Katuk merupakan tanaman yang banyak dikonsumsi sebagai sayuran oleh masyarakat di pulau Jawa. Daun berikut bagian pucuk batang termasuk salah satu sayuran yang sangat digemari dan sangat dianjurkan untuk dikonsumsi oleh kaum ibu yang sedang menyusui karena mengandung nutrisi yang berguna bagi tubuh. Mengkonsumsi daun katuk dapat meningkatkan produksi ASI (Suprayogi 2000).

Tanaman katuk telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Bali sebagai tanaman obat keluarga (TOGA), pelancar Asi, bahan makanan, dan tanaman hias (Sumantera 1997). Sebagai bahan makanan, katuk dikenal sebagai sumber vitamin A dalam bentuk karoten sebanyak 10 mg/100 g daun segar, vitami C sebanyak 164 mg/100 g daun segar, protein 6,4 mg/100 g daun segar, dan thiamin 0,1 mg/100 g daun segar (Yuliani dan Marwati 1997).

Mahyudin (1986) mengatakan bahwa tanaman katuk juga dikenal sebagai jamu atau obat tradisional, sehingga dipercaya orang bahwa daya tahan tubuh selama sakit dapat meningkat dengan pemberian daun katuk. Selain itu daun katuk juga terbukti memiliki khasiat antara lain sebagai obat bisul dan borok dan juga mampu memperbaiki fungsi pencernaan serta metabolisme tubuh (Suprayogi 1995). Air rebusan dari akar tanaman ini dapat menurunkan panas tubuh pada saat demam dan juga melancarkan air seni, sedangkan akar tanaman yang digiling digunakan sebagai obat luar untuk frambusia (Heyne 1987).

Pemberian sediaan infusium daun katuk sebesar 10% dan 15% secara oral dapat meningkatkan produksi air susu mencit pada percobaaan secara nyata. Diduga kandungan senyawa aktif dari daun katuk serupa dengan hormon steroid diantaranya prolaktin dan oksitosin (Agil 1991, dalam Suprayogi 2000).

Suprayogi (1995) telah membuktikan bahwa pemberian suspensi daun katuk mampu meningkatkan kecernaan terhadap pakan, diantaranya bahan kering, protein, dan lemak serta dapat menyebabkan terjadinya metabolisme glukosa di hati dan peningkatan absorbsi glukosa di dalam saluran pencernaan. Santoso dan Sartini (2001) juga mengemukakan, dengan pemberian daun katuk dalam pakan ayam broiler sebagai tambahan mampu mengurangi akumulasi lemak tubuh sehingga kadar kolesterol karkas semakin berkurang. Lebih lanjut diketahui bahwa pemberian daun katuk juga dapat mempercepat usia dewasa kelamin pada ayam dan rataan konversi pakan yang dapat mempengaruhi peningkatan produksi telur.

dalam pakan ayam petelur memperlihatkan efek positif bagi peningkatan kualitas karkas, peningkatan berat kuning telur, dan vitamin A serta menurunkan kadar kolesterol pada kuning telur hingga mencapai 16,82% serta peningkatan hormon ekstradiol. Suprayogi (2000) juga melakukan pengamatan efek farmakologis dan toksisitas ekstrak alkohol daun katuk pada kambing laktasi. Pemberian ekstrak alkohol daun katuk selama 14 hari dengan dosis 1,89 g/hari mampu meningkatkan produksi air susu kambing laktasi yang diikuti dengan kualitas air susu yang tetap stabil. Suprayogi (2002) juga mengungkapkan dalam pengujian toksisitas akut pada tikus putih (Wistar) terhadap penentuan nilai LD50 menggunakan sediaan teh katuk sebesar 36,68 gram/kg bb dengan kisaran dosis lethal antara 28,14 - 58,12 gram/kg bb menunjukkan efek non toksik.

Suprayogi (2000) melaporkan bahwa dengan pemberian secara oral sediaan daun katuk kering giling sebanyak 7,44 g/hari pada kambing laktasi selama 35 hari mampu meningkatkan produksi air susu sebanyak 7,75%. Peningkatan yang kecil terjadi pada pemberian secara oral sediaan ekstrak alkohol daun katuk, yaitu hanya sebesar 0,89%. Peningkatan produksi air susu tersebut diduga karena senyawa aktif daun katuk mampu menigkatkan populasi sel-sel sekretoris kelenjar ambing (diindikasikan oleh total DNA) yang diikuti oleh peningkatan aktifitas sintesis sel-sel sekretoris tersebut (diindikasikan oleh total RNA). Disamping itu pada saat yang sama senyawa aktif daun katuk mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi didalam darah yang menuju ke kelenjar ambing (prekursor air susu).

1.3 Komposisi Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk

Suprayogi (2000) mengemukakan bahwa terdapat komponen yang menyerupai papaverin dalam daun katuk. Komponen tersebut dikenal sebagai

Papaverine Like-Compound yang kemungkinan mempunyai efek kimia, farmakologi, dan efek biologi yang menyerupai papaverin. Penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian sebelumnya oleh Bender dan Ismail (1975) dalam Suprayogi (2000), yang melaporkan adanya senyawa alkaloid (papverin) sebesar 5,8 PPV/Kg daun katuk segar yang diduga mempunyai efek fisiologis dalam tubuh. Kandungan nutrisi daun katuk bervariasi, hal ini tergantung dari tipe tanah dimana katuk tumbuh, umur, dan bagian tanaman yang dianalisis (Puspaningtyas

et al.1997).

nutrisi yang terdapat dalam daun katuk, terdapat beberapa komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar) yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar).

Nutrisi Anonymous (1992) Padma Vathi and Rao (1990) Depkes RI (1972) Kadar air - 69,9 g 81,0 g Protein 6,4 g 7,4 g 4,8 g Lemak 1,0 g 1,1 g 1,0 g Karbohidrat 9,9 g - 11,0 g Serat kasar 1,5 g 1,8 g - Karoten 10020 µg 5600,0 µg 10020,0 µg Tiamin 0,1 mg 0,50 mg 0,1 mg Riboflavin - 0,21 bmg - Vitamin C 164 mg 244,0 mg 204,0 mg Kalsium - 771,0 mg 204,0 mg Posphor 98 mg 543,0 mg 83,0 mg Besi 3,5 mg 8,8 mg 3,0 mg Abu 1,7 mg - -

Suprayogi (1995) mengemukakan bahwa dengan pemberian papaverin cenderung mengurangi kecernaan lemak kasar. Hal ini disebabkan adanya efek penghambatan terhadap sintesis cairan empedu yang mengakibatkan sekresi cairan empedu menurun. Andriyanto (2004) juga menemukan adanya penurunan kadar lemak kasar dan berat karkas akibat penambahan tepung daun katuk pada pakan ayam broiler.

Agusta et al. (1997) melaporkan bahwa terdapat 6 komponen kimia yang terdapat dalam daun katuk, yaitu: Monomethyl succinate (C5H8O4), 2-

phenilmalonicacid (C9H8O4), 2-methyl-cyclopentanol acetate (C8H14O2), benzoid

acid (C7H6O2), 2-pyrrolidinone(C4H7NO), dan methylpyroglutamate (C6H9NO3). Empat senyawa dari enam senyawa ini yaitu monomethyl succinate, 2-phenyl malonic acid, 2-methyl cyclopentanolacetate, dan methyl pyroglutamate dapat dihidrolisis melalui reaksi kimia tertentu didalam saluran pencernaan menjadi produk metabolik yang berbentuk succinate, mallonate, acetate, dan glutamic acid. Keempat senyawa tersebut dapat berperan sebagai senyawa eksogenous yang berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Agustaet al. 1997).

Suprayogi (2000) mengemukakan bahwa dengan menggunakan alat GC- MS (Gas Chromatography-Mass. Spectrometry), diperkirakan daun katuk mengandung 5 senyawa aktif utama yaitu Octadecanoic acid; 9-ecosine; 5,8,11- heptadekatrienoicacid; 9,12,15- Octadekatrienoicacid dan 11,14,17- eicosatrienoicacid yang berperan sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis

senyawa eicosanoid dan 2 senyawa lain yaituandrostan-17-one-3-ethyl-3 hydroxy 5 alpha berfungsi sebagai prekursor atauintermediet-step dalam sintesis senyawa hormon-hormon steroid (progesteron, estradiol, testosteron, dan glukokortikoid) dan senyawa3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid,yang dapat berfungsi sebagai eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs.

Suprayogi (2000) melaporkan bahwa daun katuk mampu meningkatkan metabolisme glukosa di hati dengan menunjukkan efek surplus glukosa fluks. Suprayogi (2000) juga melaporkan dengan menggunakan analisa GC-MS, daun katuk mempunyai tujuh senyawa aktif utama. Senyawa aktif yang terkandung dalam daun katuk tersebut dapat mempengaruhi fungsi fisiologis dalam tubuh, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Tujuh senyawa aktif utama tanaman katuk dan pengaruhya terhadap fungsi fisiologis jaringan.

No. Senyawa Fungsi fisiologis

1. 2. 3. 4. 5. Octadecanoic acid 9-Ecosine 5,8,11-heptadekatrienoicacid 9,12,15-octadekatrienoicacid 11,14,17-eicosatrienoicacid

Sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis senya wa eicosanoids (prostaglandin, prostacycline, thrombo xane, lipoxanes, dan leukotrienes)

6. Androstan-17-one

-3-ethyl-3 hydroxy 5 alpha

Sebagai prekursor/ intermediet-step dalam sintesis hor mon steroid (progesteron, estradiol, testosteron, dan gl ukokortikoids)

Senyawa 1-6 secara bersamaan Memodulasi hormon-hormon mammogenesis dan lakt ogenesis serta aktifitas fisiologis yang lain

7. 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid

Sebagi eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs

Senyawa 1-7 secara bersamaan Berkhasiat sebagai:

a) Pemacu produksi ASI

b) Peningkatan fungsi pencernaan

c) Peningkatan pertumbuhan badan

d) Pemicu jumlah darah

e) Mengatasi kelelahan

f) Mengatasi penyakit pembuluh darah

g) Mengatasi gangguan reproduksi pada pria maupu n wanita

(Sumber: Suprayogi 2000)

ditemukan dengan menggunakan pelarut etanol (EtOH), yaitu 3 senyawa flavonol, yaitu 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-α- L-rhamnosyl kaempferol, dan 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-L- rhamnosyl-kaempferol. Selain 3 senyawa diatas, 3 senyawa lain yang juga

ditemukan yaitu senyawa 5’-deoxy5”methylsulphinyl-adenosine, three

nucleotides-adenosine, dan uridine. Suprayogi (2004) menguatkan temuan tersebut, bahwa dengan menggunakan pelarut etilasetat (EtAc) juga ditemukan senyawa-senyawa flavonol tersebut yaitu 3-O-β-D-glucosyl-kaempferol, 3-O-β- D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol, dan kaempferol. Senyawakaempferol

tersebut dapat diketahui sebagai antioksidan kuat.

2.4 Ekstraksi

Ekstraksi bahan obat merupakan penarikan zat pokok (senyawa) yang diinginkan dari bahan mentah obat (simplisia) dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana senyawa yang diinginkan dapat larut. Bahan mentah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan tidak perlu diproses lebih lanjut kecuali dikumpulkan dan kemudian dikeringkan. Ekstrak tidak mengandung hanya satu senyawa saja tetapi berbagai macam senyawa, tergantung pada bahan obat yang digunakan dan kondisi ekstraksi (Ansel 1989). Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar senyawa berkhasiat yang terdapat di dalam simplisia terdapat dalam bentuk yang menpunyai kadar yang tinggi dan hal ini memudahkan senyawa berkhasiat tersebut dapat diatur dosisnya. Dalam sediaan ekstrak dapat distandardisasikan kadar senyawa berkhasiat, sedangkan kadar senyawa berkhasiat dalam simplisia sukar didapat yang sama untuk setiap penggunaan. Kandungan bahan aktif yang tersari dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain derajat kehalusan bahan yang disari, cara penyarian, jenis cairan penyari, lama penyarian, dan perbandingan jumlah simplisia dengan cairan penyari serta suhu penyarian (Ansel 1989).

Simplisia merupakan suatu bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan, biasanya berupa bahan yang dikeringkan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam ekstraksi, yaitu jumlah simplisia, derajat kehalusan, cara pemanasan, cara penyaringan, penambahan air ekstrak, dan perhitungan dosis pemakaian. Pada dasarnya metode ekstraksi terdapat beberapa macam, diantaranya yaitu maserasi (perendaman), perkolasi, digesti, infusi, dan dekoksi (Wientarsih dan Prasetyo 2006)

ikatan suatu persenyawaan untuk selanjutnya membentuk suatu larutan. Energi yang dibutuhkan untuk memecahkan ikatan-ikatan ini diambil dari energi yang dilepaskan karena terbentuknya ikatan antara partikel yang dilarutkan dengan partikel pelarut. Untuk memecahkan ikatan persenyawaan dibutuhkan energi yang cukup besar, karena persenyawaan yang berikatan ion hanya larut di dalam air atau pelarut sangat polar lainnya. Begitu juga persenyawaan kovalen polar hanya larut didalam pelarut polar dan persenyawaan kovalen non-polar yang hanya larut didalam persenyawaan non-polar (Winarnoet al.1973).

Pelarut yang digunakan dapat berupa etanol, heksan, etilasetat, dan air. Air dalam farmakope Indonesia ditetapkan sebagai salah satu cairan penyari. Air dapat melarutkan garam glikosida, tanin, minyak, alkaloid, dan gula. Air dipertimbangkan sebagai penyari karena stabil, tidak beracun, alamiah, tidak mudah menguap, mudah diperoleh, murah, dan tidak mudah terbakar (Depkes RI 1995). Air memiliki daya ekstraksi yang menonjol sebagai bahan untuk jamu yang aktif secara terapeutik dan juga mampu mengekstraksi sejumlah besar bahan dasar (simplisia). Disamping itu, penggunaan air sebagai bahan penyari juga mempunyai kerugian, yaitu tidak selektif. Hal ini dikarenakan air sebagai tempat tumbuhnya kapang, mikroba, dan kamir, sehingga dalam penggunaannya perlu ditambahkan pengawet. Air dapat melarutkan enzim sehingga menyebabkan reaksi enzimatis yang mengakibatkan penurunan mutu (Depkes RI 1995).

Sebaliknya etanol merupakan penyari yang lebih selektif dibandingkan air. Hal ini dikarenakan kapang dan mikroba sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas. Etanol bersifat netral, tidak beracun, dan daya absorbsinya baik, karena dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan sekaligus memperbaiki stabilitas bahan obat yang terlarut. Bobot jenis etanol tidak lebih dari 0,7964. Etanol merupakan senyawa yang jernih (tidak berwarna), mudah menguap, berbau khas, dapat meyebabkan rasa terbakar pada lidah, dan mudah menguap walaupun pada suhu rendah dan mendidih pada suhu 78oC serta mudah terbakar. Sifat lain dari etanol yaitu dapat mengendapkan bahan putih telur dan menghambat kerja enzim. Etanol 80 % sering digunakan dan dapat menghasilkan bahan aktif yang optimal (Voight 1994). Lain halnya dengan heksan, yaitu merupakan senyawa yang mengandung 98,0% sampai dengan 100,5% C13H6Cl6O2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan, berwarna putih agak cokelat, tidak berbau, dan agak berbau fenol. Heksan juga tidak larut dalam air, namun mudah larut dalam etanol, aseton, eter, kloroform, dan larutan encer alkali hidroksida tertentu (Depkes RI

1995).

Pelarut organik lain yaitu etilasetat. Etilasetat merupakan cairan tidak berwarna dengan bau khas, rasa aneh, seperti aseton, dan membakar. Etilasetat didapat secara destilasi lambat campuran asam asetat, etil alkohol, dan asam sulfat. Berdasarkan kelarutannya, etilasetat dapat larut dalam eter, alkohol, minyak atsiri, dan minyak lemak (Depkes RI 1995).

Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan yang bertujuan memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari golongan utama kandungan yang lain. Pemisahan jumlah dan jenis senyawanya menjadi fraksi yang berbeda tergantung pada jenis tumbuhan maupun simplisianya. Senyawa-senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar dan senyawa yang bersifat non-polar akan masuk ke pelarut non-polar (Harborne 1987).

2.5 Anatomi, Fisiologi, dan Patologis Organ Hati dan Ginjal 2.5.1 Hati

2.5.1.1 Anatomi Hati

Hati tikus terdiri dari empat lobus utama, separuh bergabung satu sama lain. Lobus bagian dorsal dibagi menjadi bagian lobus kanan dan lobus kiri. Lobus lateral kiri tidak terbagi dan lobus lateral kanan yang dibagi menjadi bagian anterior dan posterior. Lobus caudal terdiri dari dua lobus yaitu lobus dorsal dan ventral (Haradaet al.1996).

Permukaan hati tikus dilapisi oleh lapisan jaringan ikat yang liat dan tembus pandang. Hati tersusun dalam lobulus yang didalamnya mengalir darah melewati deret sel-sel hati melalui sinusoid dari daerah porta hepatika kedalam vena sentralis tiap lobulus. Darah yang lewat sinusoid adalah campuran darah dari cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika. Setiap lobulus hati terbangun dari berbagai komponen, yaitu sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kuppfer dan kanalikuli biliaris. Sel-sel Kuppfer yang berada di dalam lumen sinusoid bertindak sebagai makrofag yang memiliki fungsi fagositik (Ganong 2003). Hati mendapat vaskularisasi ganda, yaitu melalui vena porta dan arteri hepatika. Darah yang berasal dari saluran pencernaan dan organ abdomen termasuk limpa, pankreas, dan kantung empedu masuk melalui vena porta. Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap dan siap untuk diproses lebih lanjut oleh hati. Selain nutrisi, pembuluh darah porta dapat menjadi jalan masuk

untuk berbagai mikroorganisme dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau juga disimpan. Sebanyak 75-80 % darah pada organ hati tikus berasal dari vena porta. Sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar 20-25 % darah yang kaya akan oksigen (Mac Lachan dan Cullen 1995).

2.5.1.2 Histologi Hati

Gambaran histologi hati tikus normal saat lahir masih mengandung cukup banyak jaringan hematopoietik. Fokus hematopoietik menghilang antara 9 dan 13 hari pasca persalinan. Untuk minggu pertama, lobulus hati tidak dapat dibedakan, tetapi pada postpartum 9 hari, hubungan dari pembuluh darah dan lobulus menjadi jelas (Haradaet al.1996).

2.5.1.3 Fisiologis Hati

Secara fisiologis, hati merupakan kelenjar terbesar yang memiliki fungsi kompleks yang meliputi: fungsi eksokrin (sintesis dan sekresi empedu dan kolesterol), fungsi endokrin (sintesis dan sekresi glukosa dan protein seperti albumin, globulin, fibrinogen, lipoprotein, dan prothrombin ke dalam darah); metabolisme (protein, karbohidrat, lemak, hemoglobin, obat, steroid, deiodination dari triiodothyronine, dan tiroksin); glikogenolisis (katabolisme glikogen menjadi glukosa) dan glyconeogenesis (pemeliharaan dari konsentrasi glukosa normal dalam darah); konjugasi (zat beracun, hormon steroid); esterifikasi (asam lemak bebas untuk trigliserida); penyimpanan (glikogen, lemak, zat besi, dan vitamin); detoksifikasi (berbagai racun); hematopoiesis (di dalam embrio dan saat dewasa), dan fagositosis (benda asing) (Haradaet al.1996).

Hepatosit pertama kontak dengan banyak asam amino, lipida, karbohidrat, vitamin, mineral, dan xenobiotik yang masuk ke hati dari hasil penyerapan bahan- bahan tersebut di saluran pencernaan. Bahan-bahan nutrisi tersebut kemudian dimetabolisme dan akhirnya didistribusikan ke darah dan sebagian ke cairan empedu. Glukosa dan asam asetoasetat adalah sumber energi utama di hati. Namun, hati juga mensintesis lipid untuk penyimpanannya. Hati memainkan peran penting di dalam metabolisme dan penyimpanan vitamin dan mineral, terutama besi, tembaga, dan zink. Hati menjadi pusat metabolisme asam empedu, mengkonversi kolesterol menjadi asam empedu, menghasilkan empedu, dan mengalirkan empedu dari hati ke usus dua belas jari. Pembentukan empedu oleh hati penting dalam membantu penyerapan dan pencernaan nutrisi di usus (Harada

et al.1996).

2.5.1.4 Patologi Hati

Fungsi hati yang utama adalah melakukan detoksifikasi untuk menghindari terjadinya kerusakan seluler akibat adanya racun. Hal ini disebabkan hati menerima suplai darah sekitar 80 %, dari vena porta yang mengalir dari saluran pencernaan. Bahan-bahan toksik dari saluran cerna seperti yang berasal dari tumbuhan, fungi, dan produk bakteri akan diabsorbsi kedalam pembuluh darah portal dan ditransfer ke hati (Mac Lachlan dan Cullen 1995).

Hati dapat mengalami beberapa perubahan. Kerusakan pada hati dapat bersifat irreversible (tetap) dan reversible (sementara) (Mac Lachlan dan Cullen 1995). Degenerasi merupakan kerusakan yang reversible, dimana sel mengalami perubahan dari struktur normalnya. Penyebab degenerasi sel bermacam-macam antara lain gangguan metabolisme, toksin, dan trauma. Apabila degenerasi sel berlangsung terus-menerus, maka dapat menyebabkan kematian sel (nekrosa) (Mac Lachlan dan Cullen 1995).

2.5.1.5 Kematian Sel Hati

Nekrosis hepatoseluler dapat ditemukan pada hati tikus yang mengalami penuaan. Morfologi yang khas adalah nekrosis koagulasi dengan sitoplasma eosinofilik dan inti karyopyknosis, karyorhexis atau karyolysis. Etiologi dari nekrosis sebagian besar tidak jelas tetapi dapat disebabkan oleh iskemia, racun, infeksi virus atau bakteri (Herada et al. 1996). Secara histopatologi, nekrosis ditandai dengan adanya sel radang (leukosit). Kematian sel nekrosis dikarenakan adanya kerusakan sistem membran sel yang menyebabkan lisis dan kematian sel. Pola nekrosis hati memiliki beberapa jenis, seperti sentrilobular, midzonal atau periportal. Jika nekrosis parah dan terus-menerus, dapat menyebabkan fibrosis dan hiperplasia hepatoseluler. Hati yang demikian telah mengalami chirrosis (Haradaet al.1996).

Bentuk sel lain dapat berupa apoptosis. Apoptosis adalah bentuk kematian sel yang telah mengalami suatu proses aktif kehancuran seluler secara spontan, dapat disebut sebagai programmed cell death (kematian sel terprogram) (Harada

et al.1996). Kunci dari program ini adalah sebuah protein yang bernamacaspase, tanpa protein ini apoptosis tidaklah mungkin terjadi. Caspase disekresikan oleh mitokondria suatu sel, dan dengan bantuan beberapa mediator kimiawi, protein

caspase kemudian akan mengaktifasi apoptosis pada sel (Green 2007). Secara histopatologi, apoptosis ditandai dengan bentuk inti sel yang mengalami karyopiknosis, karyorexis, dan karyolysis (inti menghilang). Fragmentasi selnya membentuk badan apoptotik dengan kromatin gelap dan tidak mengundang akumulasi sel radang (leukosit). Induksi apoptosis dapat dirangsang oleh rangsangan fisiologis atau patologis. Bentuk perluasan apoptosis yaitu meningkatnya jumlah individu sel di suatu area jaringan; bersifat individual dan tidak membentuk kelompok yang padat. Kematian sel apoptosis melalui mekanisme kerusakan genetik (fragmentasi kromosom atau DNA) sehingga membran sel tetap utuh (Haradaet al.1996).

2.5.2 Ginjal

2.5.2.1 Anatomi Ginjal

Ginjal tikus mempunyai permukaan halus, berwarna merah kecoklatan, dan terdapat di dalam ruang abdominal, di daerah lumbar bagian atas. Pada umumnya ginjal berbentuk seperti kacang dengan hillus renalis, yaitu tempat masuknya pembuluh darah dan keluarnya ureter. Ginjal tikus terbagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medulla, dengan perbandingan rata-rata 1 banding 2-3 (Seely 1996).

Gambar 2 Nefron memperlihatkan bagian-bagiannya, fungsi, serta pembuluh

Dokumen terkait