Laporan Pengantar Tugas Akhir
PERANCANGAN BUKU INFORMASI UPACARA RITUAL LABUHAN DAN BEDHAYA
DK 38315/ TUGAS AKHIR Semester II 2013/2014
Oleh :
Dave Yehezkiel Rogi 51908186
Program Studi Desain Komunikasi Visual
FAKULTAS DESAIN
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
vii
DAFTAR ISI
SAMPUL MUKA
LEMBAR PENGESAHAN ... i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS. ... ii
ABSTRAK. ... iii
BAB II BUKU INFORMASI UPACARA RITUAL LABUHAN DAN BEDHAYA ... 4
II.1 Masyarakat Yogyakarta dan Kanjeng Ratu Kidul ... 4
II.2 Sejarah Kanjeng Ratu Kidul ... 4
II.3 Kisah Senopati Menikah Dengan Kanjeng Ratu Kidul ... 5
II.4 Upacara Labuhan ... 6
II.4.1 Upacara Labuhan Pantai Parangkusumo ... 7
II.4.2 Upacara Labuhan Merapi ... ... 13
II.4.2.1 Sejarah Upacara Labuhan Merapi ... 14
viii
II.4.2.3 Prosesi Upacara Labuhan Merapi ... 16
II.4.2.4 Labuhan Merapi dan Masyarakat Yogyakarta ... 21
II.5 Tari Bedhaya Semang ... 22
II.5.1 Komposisi Tari Bedhaya Semang ... 26
II.6 Media Informasi ... 34
II.7 Perihal Buku ... 35
II.8 Analisa Masalah ... 38
II.9 Solusi Permasalahan ... 39
BAB III STRATEGI PERANCANGAN DAN KONSEP VISUAL ... 40
III.1 Target Audiens ... 40
III.2.1.2 Pendekatan Verbal ... 41
III.2.2 Strategi Kreatif ... 41
III.2.2 Strategi Media ... 42
III.3 Konsep Visual ... 42
III.3.1 Format Desain ... 43
ix
BAB IV TEKNIS PRODUKSI MEDIA ... 48
IV.1 Buku ... 48
IV.1.1 Tampilan Buku ... 48
IV.1.1.1 Sampul Buku ... 50
IV.1.1.2 Isi Buku ... 51
IV.2 Media Pendukung ... 52
IV.2.1 Poster ... 52
IV.2.2 Iklan Majalah ... 53
IV.2.3 Banner Website ... 54
IV.2.4 Pembatas Buku ... 55
IV.2.5 Mini x-banner ... 56
IV.2.6 Notes ... 57
IV.2.7 Kartu Pos ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 60
LAMPIRAN. ... 64
60
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Badudu, J.S. (1996). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Davis, Gordon. (1974). Management Information System : Conceptual Foundations, Stucture and Development. Tokyo : LTD.
Iyan, Wb. (2007). Anatomi Buku. Bandung : Mutiara Qolbu Salim.
Olthof, W. L & Sumarsono, H. R. (2008), Babad Tanah Jawi mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647, Yogyakarta : Narasi.
Rustan, S. (2008). Layout Dasar dan Penerapannya. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Soekardi, Y & Syahbudin, U. (2007), Ratu Pantai Selatan : Nyi Blorong dan Nyi Roro Kidul, Bandung : Pustaka Setia.
Soekardi, Y & Syahbudin, U. (2007), Ratu Pantai Selatan, Bandung : Pustaka Setia.
Sularto, Bambang & Proyek Media Kebudayaan Jakarta (Indonesia). (1981), Upacara Labuhan Kesultanan Yogyakarta, Jakarta : Proyek Media Kebudayaan Jakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
61
Media dan Jurnal online
Dinas Kebudayaan Yogyakarta. (April, 2012). Upacara Labuhan di Parangkusumo. Tersedia di :
http://www.tasteofjogja.org/contentdetil.php?kat=artk&id=MTUx&fle=Y2FyaS5 waHA=&lback=Y2FyaT1sYWJ1aGFuJmNyS2F0PWFsbCZzYkNhcmk9JUJC [2 Maret 2014]
Dinas Kebudayaan Yogyakarta. (April, 2012). Upacara Labuhan Merapi. Tersedia di :
http://www.tasteofjogja.org/contentdetil.php?kat=artk&id=MTUx&fle=Y2FyaS5 waHA=&lback=Y2FyaT1sYWJ1aGFuJmNyS2F0PWFsbCZzYkNhcmk9JUJC [2 Maret 2014]
Dinas Kebudayaan Yogyakarta. (April, 2012). Tari Bedhaya. Tersedia di : http://www.tasteofjogja.org/contentdetil.php?kat=artk&id=MTUx&fle=Y2FyaS5 waHA=&lback=Y2FyaT1sYWJ1aGFuJmNyS2F0PWFsbCZzYkNhcmk9JUJC [2 Maret 2014]
Haryani, Linda Sari. (November, 2011). Sistem Kercayaan pada Mitos Ratu Kidul Yang Diyakini Oleh Masyarakat Yogyakarta. Tersedia di :
http://linda-sari- h.blog.ugm.ac.id/2011/11/09/sistem-kepercayaan-pada-mitos-ratu-kidul-yang-diyakini-oleh-masyarakat-yogyakarta/ [11 Januari 2014]
Korlena. (Agustus, 2013). Labuhan Merapi : Perjuangan Mendaki Lereng Merapi. Tersedia di : http://corlena.wordpress.com/yogya-corner/labuhan-merapi-perjuangan-mendaki-lereng-merapi/ [9 Juli 2014]
Kusumastuti, E. (2005). Makna Filosofis Dalam Pelembagaan Tari Bedhaya Bedhah Madiun di Keraton Yogyakarta. Tersedia di :
62
Lokerseni. (Juli, 2011). Sebuah Mitologi Kebudayaan Masyarakat Jawa. Tersedia di :
http://www.lokerseni.web.id/2011/07/mitologi-kebudayaan-masyarakat-jawa.html [9 Januari 2014]
Parwito. (Mei, 2012). Mbah Asih, Kuncen Merapi Titisan Mbah Maridjan. Merdeka. Tersedia di : http://www.merdeka.com/peristiwa/mbah-asih-kuncen-merapi-titisan-mbah-maridjan.html [2 Maret 2014]
Ponwage. (Mei, 2013). Kanjeng Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul. Tersedia di : http://ponwage.wordpress.com//?s=kanjeng+senopati&search=Lanjut [28 Desember 2013]
Pramesti, Olivia. (Juli, 2011). Upacara Labuhan Alit di Pantai Parangkusumo Yogyakarta. Tersedia di : http://nationalgeographic.co.id/berita/2011/07/upacara-labuhan-alit-di-pantai-parangkusumo-yogyakarta [2 Maret 2014]
v KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan perlindungan yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir yang berjudul “Perancangan Buku Informasi Upacara Ritual Labuhan dan Bedhaya”. Laporan Tugas Akhir ini dirancang untuk memenuhi syarat kelulusan Program Studi Desain Komunikasi Visual Universitas Komputer Indonesia.
Dalam perancangan Tugas Akhir ini tentunya banyak pihak yang memberikan bantuan dan tuntunan. Oleh karena itu, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.Dr. Primadi Tabrani selaku Dekan Fakultas Desain dan Taufan Hidayatullah, S.Sn., M.Ds selaku Ketua Program Studi S1 Desain Komunikasi Visual.
Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pembimbing Asep Kadarisman, M.Sn, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama penulisan Laporan Tugas Akhir ini. Seluruh staff dosen Program Studi S1 Desain Komunikasi Visual yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis selama mengikuti pendidikan, Dina Fatimah, M.Ds, Deni Albar, M.Ds, Ambarsih Ekawardhani, M.Sn, Dodi Nursaiman, S.Ds, Wantoro, M.Ds, Irwan Tarmawan, M.Ds, Rini Maulina, M.Sn, Ivan Kurniawan, S.Sn., M.Ds, Kankan Kasmana, M.Ds, M. Syahril Iskandar, M.Ds, Gema Ariprahara, S.Sn., M.Ds.
vi Akhirnya, Laporan Tugas Akhir ini dapat diselesaikan pada waktunya. Semoga laporan Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua pada umumnya dan bagi penulis khususnya.
Bandung, Agustus 2014
1 BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan era globalisasi sekarang ini, keberadaan mitologi Kanjeng
Ratu Kidul masih bertahan dan terus berkembang di dalam masyarakat
Yogyakarta. Kanjeng Ratu Kidul dipercaya sebagai penguasa lautan selatan.
Menurut salah seorang abdi dalem Keraton, saat ini terdapat sekitar 80% dari
masyarakat yang hidup di Yogyakarta mempercayai sosok Kanjeng Ratu Kidul.
Kanjeng Ratu sendiri telah dikenal sejak jaman Kerajaan Mataram kuno sampai
Kesultanan Yogyakarta sekarang ini. Sejak dahulu sampai sekarang, sosok
Kanjeng Ratu Kidul mendapatkan tempat khusus dalam kepercayaan masyarakat
jawa, oleh karena itu Kanjeng Ratu sangat dihormati dan dimuliakan. Sebagai
wujud dari penghormatan tersebut, maka diadakannya berbagai macam ritual
untuk menghormati Kanjeng Ratu Kidul. Upacara-upacara ritual tersebut
dilaksanakan didalam maupun diluar Keraton Yogyakarta itu sendiri.
Menurut Soelarto (1981) Ritual yang dilakukan tidak hanya untuk sekedar
menghormati sosok Kanjeng Ratu saja, tetapi juga untuk mencegah nasib buruk
yang akan menimpa masyarakat yang akan melaut selain untuk keselamatan, hal
ini juga dipercaya akan membantu perbaikan penghasilan.
Upacara ritual tersebut adalah antara lain, upacara Labuhan dan tari Bedhaya
Ketawang. Untuk upacara Labuhan sendiri, dilaksanakan di dua tempat yaitu
pantai Parangkusumo dan gunung Merapi. Sedangkan untuk tari Bedhaya
Ketawang dilaksanakan didalam wilayah keraton Yogyakarta. Upacara-upacara
ini dilakukan setiap 1 tahun sekali setiap hari ulang tahun penobatan Sultan.
Rangkaian upacara ritual ini menarik untuk diketahui, mengingat kota Yogyakarta
merupakan salah satu kota tujuan wisata di pulau Jawa. Kuliner dan budaya yang
2 datang dari berbagai kota besar di Indonesia. Bagi wisatawan, kota Yogyakarta
kerap kali dikunjungi saat liburan tiba. Namun, untuk upacara Labuhan dan tari
Bedhaya Semang sendiri masih kurang diketahui oleh para wisatawan. Hal ini
disebabkan oleh minimnya informasi mengenai rangkaian upacara ritual Labuhan
dan tari Bedhaya itu sendiri.
Oleh karena itu, media informasi perlu dibuat untuk mengenalkan dan
menginformasikan upacara ritual Kanjeng Ratu Kidul, mengingat peran
masyarakat yang juga penting untuk mengetahui dan paham akan kebudayaannya
sendiri dan juga dapat menjadi lebih peduli akan budaya-budaya tersebut.
I.2 Identifikasi Masalah
Dari penjabaran latar belakang di atas, maka hal-hal yang dapat diidentifikasikan
sebagai permasalahan adalah antara lain ;
1. Bagaimana sistem kepercayaan terhadap mitologi Kanjeng Ratu Kidul
dapat dipahami oleh masyarakat luas dan bertahan ditengah era
perkembangan globalisasi.
2. Bagaimana prosesi upacara ritual Labuhan dan tari Bedhaya yang
dilakukan untuk menghormati dan memuliakan Kanjeng Ratu Kidul.
3. Minimnya informasi mengenai upacara ritual Labuhan dan tari Bedhaya
yang menyebabkan wisatawan kurang paham mengenai adanya upacara
3 I.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian identifikasi masalah tersebut, maka dapat ditetapkan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Kurangnya pemahaman wisatawan mengenai upacara ritual Labuhan dan
tari Bedhaya di kota Yogyakarta.
2. Bagaimana cara penyampaian informasi yang baik dan dapat menjadi
menarik bagi masyarakat tersebut sehingga wisatawan menjadi ingin
menyaksikan rangkaian upacara ritual Labuhan dan tari Bedhaya secara
langsung.
I.4 Batasan Masalah
Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, maka dapat ditetapkan
pembatasan masalah seputar prosesi upacara ritual Labuhan dan tari Bedhaya
untuk wisatawan nusantara.
I.5 Maksud dan Tujuan Perancangan
Adapun yang menjadi tujuan dalam perancangan buku informasi adalah sebagai
berikut :
1. Memberikan wawasan dan pemahaman tentang upacara ritual Labuhan
dan tari Bedhaya di Kota Yogyakarta melalui media buku.
2. Menjadikan masyarakat lebih peduli dengan kebudayaan yang dimiliki
4
BAB II
BUKU INFORMASI UPACARA RITUAL LABUHAN DAN BEDHAYA
II.1 Masyarakat Yogyakarta dan Kanjeng Ratu Kidul
Dalam perkembangan era globalisasi sekarang ini, keberadaan mitologi Kanjeng
Ratu Kidul masih bertahan dan terus berkembang di dalam masyarakat
Yogyakarta. Kanjeng Ratu Kidul dipercaya sebagai penguasa lautan selatan.
Menurut salah seorang abdi dalem Keraton, saat ini terdapat sekitar 80% dari masyarakat yang hidup di Yogyakarta mempercayai sosok Kanjeng Ratu Kidul.
Kanjeng Ratu sendiri telah dikenal sejak jaman Kerajaan Mataram kuno sampai
Kesultanan Yogyakarta sekarang ini. Sejak dahulu sampai sekarang, sosok
Kanjeng Ratu Kidul mendapatkan tempat khusus dalam kepercayaan masyarakat
jawa, oleh karena itu Kanjeng Ratu sangat dihormati dan dimuliakan. Sebagai
wujud dari penghormatan tersebut, maka diadakannya berbagai macam ritual
untuk menghormati Kanjeng Ratu Kidul. Upacara-upacara ritual tersebut
dilaksanakan didalam maupun diluar Keraton Yogyakarta itu sendiri.
Menurut Soelarto (1981) Ritual yang dilakukan tidak hanya untuk sekedar
menghormati sosok Kanjeng Ratu saja, tetapi juga untuk mencegah nasib buruk
yang akan menimpa masyarakat yang akan melaut selain untuk keselamatan, hal
ini juga dipercaya akan membantu perbaikan penghasilan.
II.2 Sejarah Kanjeng Ratu Kidul
K.H Muhammad S (2009) mengatakan bahwa Kanjeng Ratu Kidul adalah sosok
makhluk halus yang hidup di alam gaib. Bagi masyarakat Yogyakarta, sosok
Kanjeng Ratu Kidul merupakan simbol yang hidup ditengah-tengah budaya.
5 Berbusana adat Jawa dan berwarna hijau, juga selalu dihiasi dengan mahkota dan
perhiasan yang megah. Riwayat kisahnya diteruskan dari generasi ke generasi
seiring dengan perkembangan sejarah dan budaya Jawa. Pada umumnya,
kisah-kisahnya selalu diceritakan dengan lisan. Seperti kisah perkawinan gaib Kanjeng
Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati hingga keturunan-keturunannya.
Gambar II.1 Kanjeng Ratu Kidul
sumber :
http://4.bp.blogspot.com/_3EuCGSZXpKA/S2jjyEBR8xI/AAAAAAAADso/eQKe6UaOZ1
M/s320/ratu.jpg (Desember, 2013)
II.3 Kisah Senopati Menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul
W.L Olthof & Sumarsono (2008) Senopati menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Sebelum Panembahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau melakukan
tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli. Pada saat itu, beliau selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi rakyatnya
sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur. Pada waktu Panembahan
Senopati melakukan tapa ngeli, sampai di tempuran atau tempat bertemunya
6 dengan Parangkusumo, tiba-tiba terjadi badai yang dahsyat sehingga pohon-pohon
di pesisir pantai tercabut beserta akarnya, ikan-ikan terlempar ke darat dan
menjadikan air laut menjadi panas seolah-olah mendidih. Bencana alam ini
menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul yang kemudian muncul di permukaan laut
mencari penyebab terjadinya bencana alam tersebut.
Dalam pencariannya, Kanjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria sedang
bertapa di tempuran Sungai Opak dan Sungai Gajah Wong, yang tidak lain adalah
Sang Panembahan Senopati. Pada waktu Kanjeng Ratu Kidul melihat ketampanan
Senopati, ia jatuh cinta. Selanjutnya Kanjeng Ratu Kidul menanyakan apa yang
menjadi keinginan Panembahan Senopati sehingga melakukan tapabrata yang
sangat berat dan menimbulkan bencana alam di laut selatan, kemudian
Panembahan menjelaskan keinginannya.
Kanjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai ratu di Laut Selatan dengan
segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kanjeng Ratu Kidul menyanggupi untuk
membantu Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang diinginkan dengan
syarat, bila terkabul keinginannya maka Panembahan Senopati beserta raja-raja
keturunannya bersedia menjadi suami Kanjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati
menyanggupi persyaratan Kanjeng Ratu Kidul, namun dengan ketentuan bahwa
perkawinan antara Panembahan Senopati dan keturunannya tidak menghasilkan
anak. Setelah terjadi kesepakatan itu, maka alam kembali tenang dan ikan-ikan
yang setengah mati hidup kembali. Adanya perkawinan itu konon mengandung
makna simbolis bersatunya air (laut) dengan bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul
dilambangkan dengan air, sedangkan raja Mataram dilambangkan dengan bumi.
Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan bumi, maka akan membawa
kesuburan bagi kehidupan Kerajaan Mataram yang akan datang.
II.4 Upacara Labuhan
Dalam website resmi pemerintahan Yogyakarta, Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung yaitu membuang sesuatu ke dalam air (sungai
7 Gunung Merapi. Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa
tempat-tempat tersebut pada zaman dahulu dipakai oleh raja-raja Mataram (terutama
Panembahan Senopati) untuk bertapa dan berhubungan dengan roh halus. Dengan
demikian, maksud dan tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk
keselamatan pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta dan Rakyat Yogyakarta.
II.4.1 Upacara Labuhan Pantai Parangkusumo
Pantai Parangkusumo merupakan objek wisata alam yang terletak di Kabupaten
Bantul, Provinsi DIY, sekitar tiga puluh kilometer di sebelah selatan kota
Yogyakarta. Pantai ini juga berdampingan dengan Pantai Parangtritis dan Pantai
Depok. Pada tahap awal, upacara dilaksanakan di dalam komplek kraton,
dilakukan oleh kerabat raja dibantu oleh abdi dalem. Mereka mempersiapkan ubo rampe seperti potongan kuku dan rambut Sultan, baju-baju dan berbagai perlengkapan pribadi Sultan serta sesaji. Setelah semua siap dan Sultan telah
menitahkan untuk melarung barang-barang tersebut, upacara labuhan dimulai. Barang-barang tersebut dibawa keluar kraton dan diberangkatkan ke
tempat-tempat yang telah ditentukan.
Gambar II.2 : Perjalanan dari keraton menuju pantai Parangkusumo
8 Untuk upacara labuhan di pantai Parangkusumo, sesudah keluar gerbang kraton,
barang-barang diangkut menuju pantai selatan. Iring-iringan ini akan berhenti di
pendopo kecamatan Kretek sebagai pemangku wilayah pantai Parangkusumo. Di
sini dilakukan upacara pasrah penampi uba rampe (serah terima) oleh utusan Sri Sultan Hamengkubuwono X kepada wakil pemerintah kabupaten Bantul. Di
tempat ini barang-barang dibuka dan diperiksa satu-persatu. Setelah acara selesai,
barang-barang diangkut kembali menuju pendopo Parangkusumo untuk
diserahkan kepada juru kunci. Di sini, barang-barang kembali dibuka dan
diperiksa. Setelah semua lengkap diperiksa, barang-barang tersebut kemudian
didoakan bersama-sama, agar menjadi berkah bagi warga.
Gambar II.3 : Iring-iringan menuju pantai Parangkusumo
Sumber : Dokumen pribadi
Seusai memanjatkan doa, prosesi dilanjutkan dengan arak-arakan menuju pinggir
laut. Di tempat itu juru kunci kembali membakar kemenyan sebagai pertanda
9 Gambar II.4 : Proses pembacaan doa dan pembakaran kemenyan
Sumber : Dokumen pribadi
Namun pada saat sebelum semua ubo rampe itu dihanyutkan ke laut, warga sudah berbondong-bondong menuju ke laut untuk ngalap berkah. Mereka rela sekujur badannya basah kuyup terkena ombak. Berbagai sesaji yang dilarung sebagai
bentuk permohonan untuk mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan. Seusai
memanjatkan doa, prosesi dilanjutkan dengan arak-arakan menuju pinggir laut. Di
tempat itu juru kunci kembali membakar kemenyan sebagai pertanda dimulainya
10 Gambar II.5 : Abdi dalem dan tim SAR menuju ke arah laut
Sumber : Dokumen pribadi
11 Gambar II.7 : Warga dan wisatawan berbondong-bondong menuju ke arah laut
Sumber : Dokumen pribadi
Pada proses ini, banyak masyarakat yang turut masuk ke air dan berusaha
mendapatkan barang-barang yang telah dilarung. Rakyat Yogyakarta yang hadir
menjadi saksi, dengan suka cita berebut sesajen yang terbawa ombak.
Berdasarkan kepercayaan, mereka yang berebut sesajen itu disebut ngalap berkah
(mencari berkah keselamatan dan keberuntungan). Selanjutnya para abdi dalem
menuju Gunung Merapi. Sebelum Labuhan, ubo rampe wilujengan yang berupa sembilan tumpeng dan satu gunungan uluwetu, dikirab dari rumah Dukuh Pelemsari, menuju rumah juru kunci Merapi. Sesajen itu kemudian didoakan dan
diinapkan di pendopo rumahnya. Upacara Labuhan merupakan salah satu bentuk
dari kayanya budaya negara Indonesia. Budaya yang masih dipertahankan dan
12 Gambar II.8 : Seorang ibu memungut bunga sisa dari sesaji yang dilabuh
Sumber : Dokumen pribadi
Berkumpulnya para abdi dalem dengan warga dari berbagai lapisan dalam setiap
upacara tradisi di Yogyakarta memiliki satu pesan yang penting. Manunggaling
kawulo gusti dalam konteks spiritual-vertikal dan sosial-horisontal. Secara
historis, upacara Labuhan Alit merupakan bentuk syukur karena takhta Kerajaan
Mataram masih bisa berjalan dan langgeng memimpin rakyat. Pertama, dalam
upacara Labuhan, manusia harus menghilangkan egosentris, untuk menyatu
dengan Tuhan. Manusia itu sejatinya tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan Yang
Wujud. Kekuasaan, kekayaan, dan kemegahan duniawi itu tidak berarti apa-apa
kalau tidak mampu memberikan makna spiritual untuk menyatu dalam
kemaujudan Tuhan. Kedua, makna manunggaling kawulo gusti dalam konteks sosial-horisontal. Antara penguasa dan rakyat harus memiliki keterpaduan hati
dan jiwa. Penguasa harus mampu merasakan penderitaan dan kegelisahan
13 Demikian juga rakyat harus mampu menerjemahkan kehendak raja. Upacara
Labuhan yang menjadi medium berkumpulnya masyarakat dari berbagai lapisan
masyarakat, beragam profesi, dengan abdi dalem dan orang-orang keraton diharapkan menjadi ruang untuk saling menyatu, manunggal, satu hati satu jiwa.
II.4.2 Upacara Labuhan Merapi
Sama halnya dengan uapacara Labuhan di Pantai Parangkusumo, upacara
Labuhan Merapi ini digelar sebagai momentum untuk memperingati Jumenengan Dalem (penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X yang diberikan oleh
Panembahan Senopati (Raja pertama Kerajaan Mataram). Upacara Labuhan
Merapi ini juga digelar dipenghujung bulan Rajab dalam kalender Jawa dan
biasanya digelar setelah Labuhan di Pantai Parangkusumo dilakukan karena ini
adalah sebuah rangkaian.
Gambar II.9 : Gunung Merapi
14
II.4.2.1 Sejarah Upacara Labuhan Merapi
S Muhammad, K. H. (2009), jika pada Labuhan Parangkusumo memiliki awal
cerita tentang perjanjian antara Panembahan Senopati dengan Ratu Laut Selatan
maka tidak jauh berbeda dengan awal kisah dengan Labuhan Merapi ini.
“ Pada saat itu Sang Ratu Laut Selatan memberikan sebuah hadiah kepada kepada Panembahan Senopati berupa tiga butir endog jagad (telur dunia) yang diberikan
kepada juru taman di Keraton Kota Gede. Pemberian hadiah tersebut memang
sempat dicurigai oleh Ki Ageng Pamanahan sebagai ayah Panembahan Senopati
dan juga pamannya. Tidak lama kemudian. Setelah sang juru taman memakan
telur tersebut, badannya semakin membesar dan wajahnyapun berubah bentuk
seperti raksasa serta wataknyapun berubah tidak seperti manusia biasa lagi.
Bahkan sang juru taman itu menyerang Panembahan Senopati. Perkelahian pun
tidak bisa dihindari. Tetapi dengan kesaktian yang dimiliki Panembahan Senopati
akhirnya sang juru taman dapat dikalahkan. Seusai memanjatkan doa, prosesi
dilanjutkan dengan arak-arakan menuju pinggir laut. Di tempat itu
Suraksotarwono kembali membakar kemenyan sebagai pertanda dimulainya
labuhan. Setelah itu, semua dilarung ke laut oleh tim SAR Parangtritis. Namun
belum sempat semua ubo rampe itu dihanyutkan ke laut sudah keburu dirayah
warga yang ngalap berkah. Mereka rela sekujur badanya basah kuyup terkena
ombak. Seusai acara, Suraksotarwono kepada wartawan mengatakan, upacara
labuhan alit setiap tahun yang jatuh tiap tanggal 30 Rajab itu untuk memperingati
bertahtanya Sri Sultan HB X. Berbagai sesaji yang dilarung sebagai bentuk permohonan untuk mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan. ”
II.4.2.2 Juru Kunci Merapi
Eksistensi Gunung Merapi bagi masyarakat Yogyakarta tidak lepas dari adanya
mitos terdapat hubungan khusus antara "penunggu" Merapi dengan lingkungan
Kraton Yogyakarta. Kondisi ini diperkuat dengan adanya utusan dari Kraton
15 Gambar II.10 : Juru kunci gunung Merapi
Sumber : Dokumen pribadi
Parwito (2012) mengatakan, Mbah Maridjan adalah sosok juru kunci merapi yang
setia selama 30 tahun menjadi juru kunci merapi ini. Setelah almarhum Mbah
Maridjan tiada, ritual ini tak semata-mata berhenti. Kegiatan itu kini diteruskan
oleh sang juru kunci pengganti yaitu Mbah Asih yang juga putra Mbah Maridjan.
Mbah Asih dinobatkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X pada tahun 2011.
Tugas juru kunci adalah sebagai pemimpin atau pemuka dalam ritual-ritual
seputar gunung merapi, ritual itu ditujukan untuk membuat keseimbangan antara
kerajaan Jawa & kekuatan besar kerajaan ghaib di Gunung Merapi, jadi mendiang Mbah Marijan sama juga seperti mediator dari kerajaan Jawa. Selain itu juru
kunci memberi arti yang sangat penting bagi para pendaki Gunung Merapi. Juru
kunci biasanya memberitahukan apa yang saja pantangan saat mendaki, jalur
pendakian dan jalur penyelamatan serta memberi informasi kepada penduduk
16 juru kunci Gunung Merapi penting karena keraton Yogyakarta dibangun atas dua
astral yaitu Gunung Merapi dan Pantai Laut Selatan.
Gambar II.11 : Juru kunci Merapi beserta Abdi dalem keraton Sumber : Dokumen pribadi
II.4.2.3 Prosesi Upacara Labuhan Merapi
Labuhan Merapi merupakan upacara adat yang disakralkan masyarakat
Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi. Kesakralan upacara ini terletak pada
pranata keraton yang harus dilakukan secara khusus, khidmat dan tidak boleh
dilakukan sembarang orang. Pranata keraton merupakan manifestasi budaya yang
bermakna membuang, menjatuhkan atau menghanyutkan benda-benda yang telah
17 Gambar II.12 : Perjalanan menuju lokasi Labuhan Merapi
Sumber : Dokumen pribadi
Gambar II.13 : Perjalanan menuju lokasi Labuhan Merapi (2)
18 Bagi warga Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi, ketika upacara adat ini
diselenggarakan, ribuan warga akan berbondong-bondong menapaki setiap
prosesi. Mereka berjalan mengiringi para abdi keraton dengan membawa
benda-benda labuhan untuk diserahkan kepada leluhur mereka, yaitu Kyai Sapu Jagad.
Gambar II.14 : Proses penyerahan ubo rampe Sumber : Dokumen pribadi
Dengan berpakaian khas Yogyakarta, juru kunci dan semua abdi dalem keraton
menjalankan semua prosesi Upacara Adat Labuhan Merapi. Rangkaian upacara
Labuhan Merapi dimulai dengan penerimaan uba rampe (perlengkapan) labuhan
dari Keraton Yogyakarta di Pendopo Kecamatan Cangkringan. Berikutnya
dilanjutkan prosesi serah terima uba rampe labuhan dari pihak kraton kepada juru
kunci Merapi. Prosesi uba rampe labuhan terdiri atas sembilan macam sesaji,
yaitu: sinjang kawung, sinjang kawung kemplang, desthar daramuluk, desthar
udaraga, semekan gadung mlati, semekan gadung, seswangen, arta tindih, dan
kampuh paleng. Kemudian uba rampe akan diarak menuju Gunung Merapi dan
19 Pada malam harinya bertempat di Mushola Pelemsari Huntara Plosokerep
dilakukan kenduri wilujengan yang dipimpin juru kunci Gunung Merapi oleh
masyarakat Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi. Kemudian mereka berangkat
menuju Masjid Kinahrejo dan ke lokasi bekas rumah almarhum Mbah Maridjan
(Mantan Juru kunci Gunung Merapi) untuk melakukan malam renungan dan doa
yang dipimpin juru kunci Gunung Merapi diikuti para abdi dalem kraton dan
warga. Berikutnya, rombongan akan kembali ke huntara Plosokerep, di sini
rombongan dihibur kesenian uyon-uyon oleh paguyuban kesenian Desa
Umbulharjo dan dilanjutkan pembacaan doa dan tahlil malam tirakatan yang
dipimpin Juru Kunci Gunung Merapi dan para abdi dalem kraton.
Gambar II.15 : Juru kunci, abdi dalem, dan warga menuju lokasi upacara Labuhan Sumber : Dokumen pribadi
Prosesi Labuhan Merapi kemudian dilanjutkan perjalanan menuju Alas Bedengan
sebagai lokasi Labuhan Merapi yang didahului dengan napak tilas di bekas rumah
Mbah Maridjan. Berikutnya menjelang akhir, di Alas Bedengan Rampe Labuhan
20 menjadi acara puncak sekaligus penutup upacara Labuhan Merapi. Setelah prosesi
selesai, kemudian rampe labuhan tersebut diperebutkan oleh masyarakat. Mereka
percaya bahwa dengan mendapatkan salah satu dari Rampe Labuhan Sri Sultan
Hamengkubuwono X maka mereka akan mendapatkan tidak hanya berkat tetapi
juga keselamatan dalam hidup.
Gambar II.16 : Perjalanan menuju lokasi Labuhan Merapi (3)
Sumber : Dokumen pribadi
Gambar II.17 : Proses pembakaran kemenyan oleh juru kunci
21
II.4.2.4 Labuhan Merapi dan Masyarakat Yogyakarta
Korlena (2013) mengatakan bahwa labuhan Merapi sebagai upacara adat tahunan
membawa berkah bagi masyarakat setempat dan Yogyakarta. Upacara ini sebagai
bentuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Alam dihormati
keberadaannya dengan menjaga kelestariannya yang pada gilirannya alam dapat
memberi dampak positif bagai manusia. Pengunjung yang datang sedikit banyak
membantu menggerakkan ekonomi setempat. Daya tarik wisata dari upacara ini
terutama Gunung Merapi juga mengharumkan nama Yogyakarta sebagai kota
wisata. Satu sisi lain, sebagai komponen dari garis imajiner Yogyakarta yang
meliputi Laut Selatan, Keraton dan Gunung Merapi, dari masa ke masa terbukti
Merapi memang menjadi bagian penting bagi kehidupan Yogyakarta.
Pembangunan di Yogyakarta tidak akan pernah lepas dari geliat Merapi. Di kala
aktif maupun di kala istirahatnya.
22
II.5 Tari Bedhaya Semang
Tari Bedaya Semang adalah Salah satu tari putri klasik di Istana Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I
dan dianggap sebagai pusaka. Hal ini dapat dibuktikan pada saat awal
pertunjukannya para penari keluar dari Bangsal Prabayeksa, yaitu tempat untuk
menyimpan pusaka-pusaka Kraton menuju Bangsal Kencono.
Gambar II. 19 Bangsal Prabayeksa Keraton Yogyakarta
sumber : http://kratonwedding.com/wp-content/uploads/2013/10/Bangsal-Prabayeksa.jpg
Gambar II. 20 Penari memasuki Bangsal Prabayeksa
23 Tari Bedhaya Semang yang sangat disakralkan oleh Keraton merupakan
reaktualisasi hubungan mistis antara keturunan Panembahan Senopati sebagai
Raja Mataram Islam dengan penguasa Laut Selatan atau Ratu Laut Selatan, yaitu
Kanjeng Ratu Kidul. Menurut Babad Nitik, Bedhaya adalah gubahan Kanjeng Ratu Kidul, sedangkan nama semang (Bedhaya semang) diberikan oleh Sultan
Agung. Tari bedhaya semang tersebut dipagelarkan untuk kepentingan ritual
istana, seperti peristiwa jumenengan. Berdasarkan tradisi yang telah ada, jumlah penari bedhaya terdiri dari sembilan orang.
Gambar II. 21 Tari Bedhaya Semang
Sumber : Dokumen pribadi
Jumlah penari sembilan orang dipahami sebagai lambang arah mata angin, arah
kedudukan bintang-bintang (planet-planet) dalam kehidupan alam semesta, dan
lambang lubang hawa sebagai kelengkapan jasmaniah manusia (babadan hawa sanga, Jawa), yakni dua lubang hidung, dua lubang mata, dua lubang telinga, satu
lubang kemaluan. Satu lubang mulut dan satu lubang dubur. Penari Bedhaya
24 Hal itu merupakan simbolisasi bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan dan
wujud yang sama. Namun demikian tata busana yang dipakai para penari
mengalami perubahan sesuai dengan kehendak sultan yang sedang memerintah.
Busana yang dikenakan para penari bedhaya semang pada masa Sultan Hamengku
Buwono I tidak diketahui bagaimana bentuknya karena tidak diketemukan gambar
atau dukumen lainnya. Baru pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwono V
diperoleh gambaran secara rinci. Busana dan tata rias Tari Bedhaya semang mirip
dengan busana dan rias mempelai istana. Busana tari Bedhaya semang mirip
dengan hyusana dan rias mempelai istana. Busana Tari Bedhaya semang pada
masa Sultan Hamengku Buwana VI adalah sebagai berikut : mekak (kemben, kain
penutup badan atau dada), kain batik motif paranmg rusak sereden, udher cindhe,
slepe dan keris sebagai lambang keprabon , hiasan kepala :rambut gelung bokor
pakai klewer bunga melati, dikerik dipaes layaknya pengantin, cundhuk mentul,
kelat bahu dan gelang yang kesemuanya menyerupaui pengantin istana.
Gambar II. 22 Tari Bedhaya Semang (2)
Sumber : Dokumen pribadi
Pada masa pemerintahan Sultan Hamenku Buwano VII secara garis besar, busana
25 Sultan Hamengku Buwano VI) yaitu menggunakan baju tanpa lengan yang diberi
gombyok, kain seredan, udhet cindhe, rambut digelung bokor dengan klewer di balut dengan bunga melati, cunduk mentul, dipaes juga seperti halnya pengantin, memakai gelang, slepe dan keris. Pada masa Sultan Hamengku Buwano VIII pakaian penari Bedhaya semang sudah agak berbeda, tidak kerikan, tetapi
menggunakan hiasan kepala jamang dan bulu-bulu, gelung bokor, ron kalung
sung-sun, kelat bahu, gelang, baju tanpa lengan seperti pada masa Hamengku
Buwana VII, kain seredan motif prang rusak, udhet cindhe. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwano IX dan X yang dikenakan penari sama
dengan yang digunakan pada masa Sultan Hamengku Buwana VIII. Properti yang
digunakan pada Tari Bedhaya Semangi dalam adegan peperangan dipergunakan
senjata, yaitu : keris.
Gambar II. 23 Tari Bedhaya Semang (3)
26 Gambar II. 24 Tari Bedhaya Semang (4)
Sumber : Dokumen pribadi
II.5.1 Komposisi Tari Bedhaya Semang
Kusumastuti (2005) menjelaskan komposisi tari Bedhaya yang berjumlah
sembilan juga diasosiasikan dengan struktur tubuh manusia yang terdiri dari satu
hati, satu kepala, satu leher, dua lengan, satu dada, dua tungkai, dan satu organ
seks.
Jumlah angka sembilan melambangkan jumlah bilangan terbesar dan mempunyai
arti yang sangat penting dalam pemikiran-pemikiran metafisika maupun
kepercayaan orang Jawa. Selain itu jumlah sembilan dapat juga dipahami sebagai
lambang mikroskopis (jagading manusia), yang dapat dilihat dalam peran yang yang dibawakan pada seiap penari yaitu :
1. Peran penari batak merupakan simbol akal pikiran dalam setiap jiwa manusia.
27 3. Peran dhadha, merupakan perwujudan hati manusia , tempat
mengendalikan diri.
4. Peran jangga, merupakan perwujudan leher manusia.
5. Peran apit ngajeng merupakan perwujudan lengan kanan manusia. 6. Peran apit wingking, merupakan perwujudan lengan kiri manusia.
7. Peran endhel wedalan ngajeng merupakan perwujudan tungkai kanan manusia.
8. Peran endhel wedalan wingking merupakan perwujudan tungkai kiri manusia.
9. Peran buntil merupakan perwujudan alat kelamin (organ seks).
Dalam tari Bedhaya semang, batak merupakan peran utama. Sedangkan endhel
merupakan simbol kehendak di dalam setiap diri manusia. Peperangan terjadi
antara peranan batak melawan endhel dalam posisi jengkang. Gerakan-gerakan tari Bedhaya semang bersifat kaku dan tidak boleh dilanggar, karena dalam setiap
gerakan memiliki makna dan menyimbolkan maksud- maksud tertentu. Dalam
tari Bedhaya semang, batak merupakan peran utama. Sedangkan endhel
merupakan simbol kehendak di dalam setiap diri manusia. Peperangan terjadi
antara peranan batak melawan endhel dalam posisi jengkang. Gerakan-gerakan tari Bedhaya semang bersifat kaku dan tidak boleh dilanggar, karena dalam setiap
gerakan memiliki makna dan menyimbolkan maksud- maksud tertentu.
Gending yang dipergunakan untuk mengurangi tari bedhaya semang merupakan gending khusus dan perangkat gamelan khusus pula. Iringan yang dipakai dalam
tari Bedhaya semang merupakan perpaduan antara instrumen musik jawa dengan
instrumen musik Barat meliputi : alat tiup (trombone), dan instrumen musik gesek. Tercatat Serat Babad Nut Semang Bedhaya merupakan acuan dalam
mengiringi tari Bedhaya semang. Lirik yang ada pada tari Bedhaya semang
mengisahkan percintaan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu
Kencono sari atau Ratu Kidul. Pada perkembangan selanjutnya tari Bedhaya
Semang menjadi induk dari beksan Budhaya di Kraton Yogyakarta.
28 kehendak untuk berebut kemenangan. Pertentangan tersebut adalah hal yang wajar
sebab di dunia ini pasti ada dua hal yang bertentangan yaitu baik dan buruk, benar
dan salah, tinggi dan rendah dan lain-lain. Untuk itu maka seandainya sampai
terjadi hal yang baik itu terkalahkan oleh yang buruk, maka akan rusak juga
kebaikan itu dan sebaliknya jika yang buruk bisa dikalahkan oleh yang baik, di
situlah tempat kebajikan, keluhuran serta kemuliaan. Hal tersebut bertalian
dengan konsep curiga manjing warangka atau manunggaling kawula gusti yang maksudnya merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan Tuhan.
Dilihat dari tata rakit, ada beberapa rakit yang melambangkan maksud-maksud
tertentu, yaitu :
1. Rakit lajur
Gam
bar II. 25 Formasi rakit lajur tari Bedhaya Semang
29 Gambar II. 26 Formasi Rakit Lajur
Sumber : Dokumen pribadi
Rakit ini menggambarkan wujud jasmaniah manusia yang terdiri dari kepala yang
dilambangkan (1) endhel pajeg, (2) batak, (3) jangga; kemudian badan dilambangkan (4) dhadha dan (5) buntil; serta anggota badan dilambangkan (6) apit ngajeng, (7) apit wingking; tangan dilambangkan (8) endhel wedalan ngajeng dan kaki dilambangkan (9) endhel wedalan wingking. Rakit lajur ini menggambarkan perwujudan manusia, sedangkan rakit yang lainnya merupakan
30 2. Rakit ajeng-ajengan
Gambar II. 27 Formasi rakit ajeng-ajengan tari Bedhaya Semang
(Sumber : http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/imajinasi/article/view/1391)
Gambar II. 28 Formasi rakit ajeng-ajengan
Sumber : Dokumen pribadi
Rakit ini menggambarkan adanya perselisihan antara jiwa, raga, dan karsa
31 3. Rakit tiga-tiga
Gambar II. 29 Formasi Rakit tiga-tiga Tari Bedhaya Semang
(Sumber : http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/imajinasi/article/view/1391)
Gambar II. 30 Formasi rakit tiga-tiga
32 Dalam keseluruhan komposisi Bedhaya, formasi ini muncul dua kali, biasanya
menjelang rakit gelar dan sesudahnya atau mengakhiri seluruh proses
pertunjukkan Bedhaya dengan iringan gendhing Ladrangan. Dalam struktur Bedhaya, rakit tiga-tiga dihadirkan menjelang rakit gelar yang memberi makna
menyatukan tekad (telu-teluning atunggal) untuk menghadapi atau mempersiapkan apa yang akan terjadi; kemudian dihadirkan kembali sesudah
rakit gelar dan memberi makna kesempurnaan yang telah terjadi (Hadi 2001:87).
Rakit tiga-tiga ini mempunyai makna nilai tiga yang dapat dipahami kaitannya
dengan konsep Tri Tunggal sebagai simbol manifestasi Tri Murti (Brahma,
Wishnu, Shiwa) dalam ajaran Hindu, yaitu melambangkan kemanunggalan “ dari awal keberadaan dan segala yang ada” (utpeti atau Brahma); “hidup dari yang ada” (sthiti atau Wishnu); kemudian “akhir dari segala yang ada” (pralina atau Shiwa). Di samping itu, ajaran mistik Jawa menunjukkan pula kaitannya dengan
kesatuan ketiga inti anasir kehidupan yakni sari maruta, sari tirta kamandanu dan sari bagaskara yang melahirkan sembilan warna kehidupan dan akan mampu mempengaruhi sifat kodrati manusia (Pudjasworo1984:28-37).
4. Rakit gelar
Gambar II. 31 Formasi Rakit gelar Tari Bedhaya Semang
33 Gambar II. 32 Formasi rakit gelar
Sumber : Dokumen pribadi
Rakit ini merupakan rakit yang terletak di bagian akhir dari proses tari Bedhaya.
Menurut Pudjasworo (dalam Hadi 2001:85-86) dikatakan bahwa di dalam rakit
gelar ini mengandung makna nilai dua yang dapat dipahami sebagai simbol
Rwa-Binedha yaitu kesatuan antara peran (1) endhel pajeg dan peran (2) batak, sementara peran-peran yang lain hanya bersifat figuratif. Dalam proses komposisi
(rakit gelar), keduanya menggambarkan percintaan, akhirnya tampak bersatu yang
sering disebut loro-loroning atunggal. Kesatuan antara perempuan dan laki-laki dalam ajaran Hindu sering disimbolkan dalam wujud lingga (laki-laki) dan yoni
(perempuan) juga sebagai simbol kesejahteraan.
Sehubungan dengan hal tersebut, di dalam Bedhaya , makna nilai dua
menggambarkan pula adanya hubungan dengan berlangsungnya upacara
kesuburan maupun kesejahteraan raja dan istana. Penggambaran Bedhaya sebagai
yoni dan raja sebagai lingga, karena pada hakikatnya dalam penampilan Bedhaya,
raja merupakan saksi tunggal yang tidak dapat dipisahkan dalam kesatuan
pertunjukan itu. Oleh karena itu, tradisi mengusahakan pelembagaan Bedhaya
34 raja yang akan menambah kekuatan dan kekuasaan demi kesuburan, kemakmuran
dan kesejahteraan bagi seluruh kawula-nya.
Makna keseluruhan proses tari Bedhaya adalah sebagai lambang keberadaan
manusia dalam pengertian totalitas yang dimulai dari lahir sampai mati.
Keseluruhan proses itu, senantiasa terikat dengan tiga dimensi waktu di dalam
suatu wadah yang tunggal, yaitu manusia lahir, mengalami hidup dan akhirnya
mati. Ketiganya sering disebut telu-teluning atunggal dalam menuju kesempurnaan dari seluruh proses kehidupan (Pudjasworo 1984:36).
II.6 Media Informasi
Demikian pentingnya media informasi pada masa ini, dikarenakan melalui media
informasi manusia dapat mengetahui informasi dan dapat bertukar pikiran serta
berinteraksi satu samalainnya. Kata media merupakan bentuk jamak dari kata
medium. Medium dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya
komunikasi dari pengirim menuju penerima (Heinich et.al., 2002; Ibrahim, 1997;
Ibrahim et.al., 2001). Media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu
sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan (Criticos, 1996).
Sedangkan pengertian dari informasi secara umum informasi adalah data yang
sudah diolah menjadi suatu bentuk lain yang lebih berguna yaitu pengetahuan atau
keterangan yang ditujukan bagi penerima dalam pengambilan keputusan, baik
masa sekarang atau yang akan datang (Gordon B. Davis 1990; 11). Maka
pengertian dari media informasi dapat disimpulkan sebagai alat untuk
mengumpulkan dan menyusun kembali sebuah informasi sehingga menjadi bahan
35 Jenis-jenis media informasi dibagi menjadi dua yaitu (Setyowati, 2006):
1. Media non cetak
Media non cetak merupakan media berupa radio, TV, internet, dan
film.
2. Media cetak
Media cetak antara lain buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain.
II.7 Perihal Buku
Menurut Iyan, Wb (2007) buku merupakan kumpulan kertas yang dijilid menjadi
satu. Dan setiap sisi dari sebuah lembaran kertas disebut halaman. Buku dengan
menggunakan konten, gaya, format, desain dan urutan dari berbagai komponen
dapat menjadi sumber informasi yang mudah dan praktis. Berisi tentang
penjelasan singkat berupa text dan didukung gambar visual. Ada beberapa
kategori jenis buku yang berisi informasi murni menurut Iyan, Wb. (2007) antara
lain:
Ensiklopedia
Ensiklopedia adalah serangkaian buku yang menghimpun uraian tentang
berbagai cabang ilmu tertentu dalam artikel terpisah dan biasanya tersusun
sesuai abjad atau menurut kategori secara singkat dan padat.
Biografi
Biografi adalah kisah atau keterangan tentang kehidupan seseorang.
Sebuah biografi lebih kompleks daripada sekedar daftar tanggal lahir atau
mati dan data-data pekerjaan seseorang, biografi juga bercerita tentang
36
Panduan
Disebut juga sebagai buku petunjuk. Buku ini berisi tenang tahapan
cara/proses misalnya membuat kue, kiat sukses, beternak ayam dan
lain-lain.
Tafsir
Tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al- Qur’an agar
maksudnya lebih mudah dipahami.
Buku merupakan media informasi yang sistematis oleh karena itu dalam
pembuatan buku perlu memperhatikan anatominya. Pada bukunya Iyan Wb. juga
menjelaskan tentang anatomi buku terdiri dari:
Cover Buku
Cover buku merupakan salah satu saranan untuk memikat perhatian
pembaca. Cover buku bisa berupa ilustrasi maupun tipografi yang
dilengkapi dengan judul buku, penulis dan penerbit.
Nomor Halaman
Nomor halaman berfungsi untuk mempermudah pembaca mencari
halaman yang dibutuhkan dalam sebuah buku.
Halaman Judul Utama
Halaman judul utama adalah sebuah halaman buku yang memuat
nama penulis, judul buku, subjudul buku, dan logo penerbit.
Halaman Hak Cipta
Halaman hak cipta adalah halaman buku yang berisi keterangan
atau data singkat buku yang diterbitkan, baik data buku, tim
37
Prakata
Prakata adalah sebuah pengantar dari penulis yang berisi ulasan tentang
maksud dan metode yang digunakan penulis dalam penulisan bukunya.
Daftar Isi
Daftar isi adalah tampilan semua judul bagian yang terdapat di dalam buku
untuk memberikan gambaran umum pada pembaca mengenai struktur dan
materi yang terdapat didalam buku sehingga mudah untuk menemukan
pembahasan yang diperlukan.
Ilustrasi
Ilustrasi merupakan tambahan penjelasan teks yang diwujudkan dalam
bentuk visual. Fungsi ilustrasi bagi suatu buku adalah menjelaskan dan
mendukung teks yang tidak dapat digantikan dengan kata-kata
Teks
Teks merupakan kumpulan tulisan yang berisi tentang penjelasan dari isi
buku.
Daftar Pustaka
Daftar pustaka digunakan untuk mencari referensi atau bahan bacaan
lanjutan yang disarankan penulis untuk mendukung pembahasan yang
terdapat di dalam bukunya.
Biografi Penulis
Biografi penulis menjelaskan tentang penulis, riwayat pendidikan,
pekerjaan, dan daftar karya tulis yang telah dihasilkan.
Sinopsis
Sinopsis berisi tentang ringkasan dari isi sebuah buku agar memberikan
gambaran pada pembaca tentang isi yang terkandung pada buku yang akan
38
II.8 Analisa Masalah
Untuk mengetahui apakah tujuan masyarakat khususnya para wisatawan yang
mengunjungi kota Yogyakarta dan juga tentang pemahaman mereka mengenai
upacara Labuhan dan tari Bedhaya. Maka dilakukan penelitian dengan cara
memberikan kuisioner masyarakat seputar pertanyaan yang berhubungan dengan
kota Yogyakarta juga upacara Labuhan dan tari Bedhaya. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa :
1. Keseluruhan responden (50 orang) mengatakan mereka sudah pernah ke
Yogyakarta.
2. Terdapat 25 responden yang mengunjungi kota Yogyakarta karena tertarik
akan seni dan budayanya. Dan 10 responden yang mengunjungi kota
Yogyakarta karena biayanya murah. Dan 10 responden mengunjungi kota
Yogyakarta karena kulinernya, sedangkan 5 responden mengunjungi kota
Yogyakarta hanya karena spontanitas tanpa adanya rencana.
3. Keseluruhan responden (50 orang) senang berkunjung ke kota Yogyakarta,
dan berencana mengunjungi kembali.
4. Terdapat 35 responden yang mengetahui hubungan kota Yogyakarta
dengan Kanjeng Ratu Kidul. sedangkan 15 responden menjawab kota lain
yang memiliki hubungan dengan Kanjeng Ratu Kidul.
5. Terdapat 10 orang yang tahu mengenai upacara Labuhan maupun tari
Bedhaya berhubungan dengan mitologi Kanjeng Ratu Kidul. dan 40 orang
tidak tahu mengenai hal tersebut.
6. Keseluruhan responden (50 orang) tidak tahu kapan waktu berjalannya
upacara tradisi Labuhan dan tari Bedhaya tersebut.
7. Keseluruhan responden (50 orang) tidak pernah melihat media informasi
berupa buku yang secara khusus menjelaskan tentang upacara Labuhan
dan tari Bedhaya.
8. Terdapat 35 orang responden yang tertarik dengan upacara ritual Labuhan
39 Jadi, dapat disimpulkan bahwa seluruh responden pernah mengunjungi kota
Yogyakarta tetapi hanya sedikit yang mengetahui mengenai upacara Labuhan dan
tari Bedhaya.
Selain itu, dari sisi media informasi yang telah dilakukan survey lapangan bahwa
belum ada buku tentang upacara Labuhan dan tari Bedhaya yang menjelaskan
secara khusus mengenai rangkaian upacara ini.
II.9 Solusi Permasalahan
Dalam permasalahan yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumya, maka solusi
yang akan diambil adalah membuat buku informasi tentang upacara ritual
Labuhan dan tari Bedhaya di kota Yogyakarta agar diketahui oleh para wisatawan
dan menjadi paham juga menjadi lebih peduli akan budaya yang dimiliki oleh
40
BAB III
STRATEGI PERANCANGAN DAN KONSEP VISUAL
III.1 Target Audiens
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan wisata di pulau Jawa. Kuliner dan budaya yang dimiliki kota Yogyakarta adalah salah satu tujuan dari pada wisatawan yang datang dari berbagai kota besar di Indonesia. Bagi para wisatawan, kota Yogyakarta kerap kali dikunjungi saat libur tiba. Oleh karena itu, maka proyek tugas akhir ini akan berkonsentrasi pada segmentasi sebagai berikut ;
III.1.1 Geografis
Secara geografis target audiens dikhususkan pada masyarakat yang tinggal di kota besar di Indonesia.
III.1.2 Demografis
Jenis Kelamin : Laki-laki dan perempuan. Usia : 18-30.
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas, Perguruan tinggi. Pekerjaan : Pelajar, Mahasiswa, Pekerja kantoran.
III.1.3 Psikografis
41
III.2 Strategi Perancangan
Strategi perancangan yang akan dibuat mengenai upacara ritual Labuhan dan tari Bedhaya adalah dengan merancang buku informasi yang dapat menarik perhatian dan memberikan informasi dengan baik tentang upacara ritual tersebut. Buku informasi ini diharapkan dapat mempermudah target untuk mendapatkan informasi tentang upacara ritual Labuhan dan tari Bedhaya.
III.2.1 Pendekatan Komunikasi
III.2.1.1 Pendekatan Verbal
Dalam pendekatan komunikasi verbal, perancangan media informasi ini akan memadukan antara kesan budaya tradisional dengan kesan modern yang mewakili dari sifat target yang mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi, masa kini dan bersemangat. Dikemas dengan bahasa Indonesia yang baik, sehingga target menjadi lebih tertarik dengan media informasi ini. juga ditampilkan dengan menggunakan kata-kata yang sederhana dan ringan agar dapat dipahami dengan mudah.
III. 2.1.2 Pendekatan Visual
Pendekatan visual yang digunakan dalam perancangan media informasi ini adalah dengan menggunakan fotografi dan juga digital imaging serta menggunakan vector yang di tampilkan atau disusun secara menarik agar dapat memberikan informasi secara nyata agar mudah dipahami.
III. 2.2 Strategi Kreatif
42
III. 2.3 Strategi Media
Strategi media adalah sebuah alat untuk menyampaikan isi pesan kepada target sasaran. Agar pesan yang ingin disampaikan mudah dimengerti. Untuk menyampaikan isi pesan tersebut kepada sasaran dan mencapai tujuan seperti yang diinginkan, haruslah mempertimbangkan sistem strategi komunikasi yang tepat. Media dapat dibedakan menjadi dua, yaitu media utama dan media pendukung.
a. Media Utama
Untuk menyampaikan informasi dalama perancangan ini akan digunakan buku berupa buku yang berisi tentang rangkaian upacara ritual Labuhan dan tari Bedhaya. Hal ini dikarenakan buku informasi adalah media yang tepat untuk memberikan informasi tentang upacara tersebut. Buku dapat menjadi mudah disimpan dan dibawa serta dapat dibaca kapan saja.
b. Media Penunjang
Yang dimaksud dengan media penunjang adalah media yang berfungsi untuk memperkenalkan media utama. Media ini antara lain: banner, iklan majalah, iklan pada media online, poster, kalender, kartu pos, pembatas buku dan notes.
III.3 Konsep Visual
43
III.3.1 Format Desain
Format desain adalah berbentuk sebuah buku informasi upacara ritual Labuhan dan Bedhaya dengan ukuran 21cm x 14,8cm.
III.3.2 Fotografi
Dalam proses fotografi, foto-foto yang ditampilkan dapat dikategorikan ke dalam fotografi jurnalistik karena foto ini menangkap sebuah momen upacara labuhan dan bedhaya. Pada proses editing sebagian foto dirubah menjadi hitam putih. Penggunaan warna monokrom dimaksudkan untuk membuat momen lebih sakral, elegan, kuat, menonjol serta dramatis. Dan terdapat foto dengan warna natural yang menampilkan momen dan suasana saat berlangsungnya upacara ritual tersebut.
Gambar III.1 : Contoh tampilan foto pada isi buku
III.3.3 Tata Letak (Layout)
44
Gambar III.2 : Contoh tampilan layout isi buku
III.3.4 Tipografi
Untuk bagian judul cover, jenis font yang digunakan adalah font Wishes Script Caps Display. Jenis huruf berkaki ini digunakan untuk memunculkan kesan agung, juga berkarisma.
Gambar III.3 : Tampilan dari font Wishes Script Caps Display
45
Gambar III.4 : Tampilan dari font Rawengulk Light
Sementara untuk isi teks, huruf yang dipilih adalah Oriya Sangam MN. Jenis huruf ini dipilih karena huruf ini ringan juga untuk dibaca, dan tingkat keterbacaannya cukup baik dan tidak kaku.
Gambar III.5 : Tampilan dari font Oriya Sangam MN
III.3.5 Ilustrasi
46
Gambar III.6 : Penyederhanaan bentuk foto dalam bentuk vector
III.3.6 Warna
Gambar III.7 : Daftar warna pada buku
47
III.4 Strategi Distribusi
48
BAB IV
TEKNIS PRODUKSI MEDIA
IV.1 Buku
IV.1.1 Tampilan Buku
Dalam perancangan buku informasi upacara ritual Labuhan dan Bedhaya,
pembuatan buku diawalai dengan proses mencari dan merangkum informasi dari
berbagai media, baik itu langsung maupun tidak langsung. Informasi ini kemudian
dicatat untuk menentukan apa saja informasi mengenai upacara-upacara tersebut.
Setelah merangkum informasi seputar rangkaian upacara tersebut, proses
dilanjutkan dengan membuat story line dan alur cerita dari buku yang terdiri atas prakata, daftar isi, dan berita utama serta informasi mengenai upacara tersebut.
Selesai menentukan isi dari buku, proses selanjutnya pengambilan gambar yang
sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk dimasukkan kedalam buku.
49
Gambar IV.1 : Proses editing dari upacara labuhan Merapi.
Proses pengeditan gambar di adobe photoshop juga melalui proses koreksi warna dan menyeleksi setiap gambar menjadi bentuk-bentuk terpisah yang kemudian
disesuaikan dengan layout dan storyboard yang telah dibuat. Keperluan cropping pada gambar foto bangunan bersejarah dilakukan dengan perhatian agar bangunan
dan nuansa sejarahnya dapat lebih terlihat dengan jelas.
50
IV.1.1.2 Sampul Buku
Pada sampul buku, terdapat gambar dari salah satu prosesi upacara Labuhan
Merapi ditambahkan dengan tulisan judul, nama penulis, penerbit, sinopsis yang
menerangkan isi dari buku tersebut.
Ukuran : 21cm x 15cm
Material : Kertas art paper 210gram
Teknis : Cetak offset separasi, laminasi doff
51
IV.1.1.3 Isi Buku
Pada bagian isi buku terdapat nomor halaman, juga keterangan judul buku pada
bagian bawah.
Ukuran : 21cm x 14,8cm
Material : Kertas art paper 120gram
Teknis : Cetak offset separasi
52
IV.2 Media Pendukung
IV.2.1 Poster
Poster digunakan untuk mengiklankan buku dengan cara diletakan pada toko
buku, perguruan tinggi, tempat-tempat umum seperti mall, tempat hang out , taman kota, juga dibagikan saat acara-acara di hari tertentu dengan tujuan agar
media promosi pendukung ini dapat menyampaikan pesan promo.
Ukuran : 42 cm x 29,7cm (berlaku sesuai kelipatan)
Material : Kertas art paper
Teknis : Cetak offset separasi
53
IV.2.2 Iklan Majalah
Media ini menjadi media publikasi yang dipasang pada majalah-majalah.
Khususnya pada majalah gaya hidup atau travelling. Menggunakan satu halaman penuh pada majalah tentunya dapat menjadi media promosi yang cukup baik.
Ukuran : 21cm x 29,7cm.
Material : Kertas art paper.
Teknis : Cetak offset separasi
54
IV.2.2 Banner Website
Media ini menjadi media publikasi yang dipasang pada halaman website tertentu. Gambar akan langsung terhubung dengan website penjualan apabila di klik.
Ukuran : disesuaikan
Teknis : editing menggunakan adobe photoshop
55
Gambar IV. 8 : Aplikasi Banner website
IV.2.4 Pembatas Buku
Media pendukung ini berguna membatasi buku, untuk mempermudah menandai
halaman pada buku. Pembatas buku dapat didapatkan secara gratis apabila
membeli buku.
Ukuran : 18cm x 4cm
Material : Kertas art paper
56
Gambar IV. 9 : Pembatas buku
IV.2.3 Mini X-Banner
Media ini menjadi media publikasi yang ditempatkan di toko buku untuk menjadi
media promosi untuk para penyuka wisata, khususnya juga para mahasiswa untuk
dapat mengetahui bahwa ada buku yang menjelaskan mengenai upacara Labuhan
dan Bedhaya.
Ukuran : 40cm x 25cm
Material : Kertas art paper
57
Gambar IV. 10 : Mini X-Banner
IV.2.6 Notes
Media ini menjadi salah satu media pengingat yang didapat saat pembelian buku.
Notes yang berguna untuk mencatat hal-hsl yang dirasa penting. Ukuran yang
kecil memudahkan untuk dibawa kapan saja.
Ukuran : 10,5cm x 14,8cm
Material : Kertas art paper dan kertas daur ulang
58
Gambar IV. 11 : Notes
IV.2.6 Kartu Pos
Media ini berguna sebagai media yang mengingatkan terhadap buku. Walaupun
kartu pos sudah jarang digunakan, namun kartu pos adalah salah satu benda yang
dapat dikoleksi.
Ukuran : 42 cm x 29,7cm (berlaku sesuai kelipatan)
Material : Kertas art paper
59
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Dave Yehezkiel Rogi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 01 Oktober 1990
Kewarganegaraan : Indonesia
Status Perkawinan : Belum Menikah
Tinggi, Berat Badan : 165 cm, 66 Kg
Kesehatan : Baik
Alamat Lengkap : Jl. Borromeus I no 2, Komplek Cimindi Raya,
kecamatan cibabat, Cimahi
Telepon / Hp : 089656614581 - 089613746678
Email : yehezkieldave@gmail.com
Pendidikan
1995 – 1996 : TK Pamekar Budhi Cimahi
1996 – 2002 : SD Prasistha Bandung
2002 – 2005 : SLTPK Trimulia Bandung
2005 – 2008 : SMAK Dago Bandung