Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S, Th.i)
Bahrudin
106034001221
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Juni 2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan segala nikmat Iman Islam karena atas kehendak dan kuasanya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Salat Sunnah Istikharah Dalam Perspektif Hadis” dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammmad SAW, suri tauladan dalam aktivitas kehidupan, serta kepada para keluarga dan sahabatnya.
Dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil.
Karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Sebagai rasa syukur penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Prof. Dr. Zainul Kamaluddin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Bustamin, M.Si, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
kesabaran telah banyak memberi semangat dan dorongan serta arahan dalam membimbing di tengah kesibukan Beliau, sehingga pada akhirnya skripsi ini menjadi lebih baik dan sempurna.
4. Seluruh Dosen Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah banyak memberikan ilmu dan pembelajaran kepada penulis.
5. Pimpinan dan Seluruh Staf Karyawan Perpusatakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas berupa sumber-sumber yang berkaitan dengan skripsi penulis.
6. Ayahanda Drs. Mustafa dan Ibunda Komariah, terima kasih atas segala kasih
sayang, perhatian, pengertian dan motivasinya yang sangat berperan dalam hidup, semoga Ayahanda dan Ibunda selalu diberi kesehatan, kebahagiaan dan umur panjang sehingga ananda diberi kesempatan untuk menunjukkan besarnya cinta ananda pada kalian.
7. Yang tak lupa kekasih tercinta, yang selalu hadir dan mendampingi penulis
Makasih atas kebersamaannya kita saling mengenal, berbagi dan menjalin persahabatan bahkan persaudaraan.
Mudah-mudahan segala bantuan serta budi baik yang penulis terima selama menjalani pendidikan mendapatkan ridha dari Allah SWT. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif agar lebih baik lagi.
Akhirnya penulis menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Mudah-mudahan dapat balasan yang lebih baik. Harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan fikiran dan saran untuk perkembangan dalam pendidikan khususnya bidang tafsir dan hadis
.
Jakarta, 15 Juni 2011
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ع ‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
ه h ha
ء ‘ apostrof
KATA PENGANTAR ………. v
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ………….. 8
D. Metodologi Penelitian ……….. 9
E. Kajian Pustaka ………... 10
F. Sistematika Penulisan ……….. 11
4. Syarat-syarat Sebelum Salat Istikharah ………… 34
5. Hikmah Salat Sunnah Istikharah ……….. 37
BAB III ANALISA KANDUNGAN HADIS TENTANG SALAT SUNNAH ISTIKHARAH
A. Teks-teks Hadis dalam Al-Kutub Al-Sittah ………… 40
B. Syarah Hadis ………... 44
C. Pandangan ulama hadis tentang salat Istikharah ……. 56
D. Kandungan Hadis ……… 60
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ………. 62
B. Saran-saran ……... 63
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibadah dalam Islam bukan semata-mata melaksanakan ritus yang diwajibkan, tetapi lebih jauh lagi adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT, melaksanakan kehendak-Nya melalui jalan dan cara yang ditetapkan-Nya. Ibadah mencakup sekaligus makna sepenuh hati dan penyembahan yakni, seseorang tidak hanya melaksanakan ritusnya saja,
tetapi juga memahami dan melaksanakan yang terkandung di dalamnya.1
Al-Qur‟an dan hadis sehubungan dengan itu, telah menggambarkan
kepada seluruh umat Islam mengenai taat ibadah kepada Allah SWT, hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak-Nya. Salat adalah salah satu ibadah yang dimaksudkan, yang tata cara dan ketentuannya telah digariskan lewat syariat. Ibadah salat memiliki keistimewaan tersendiri sehingga posisinya tidak kalah penting dengan syahadat. Oleh karenanya, tidak heran bila salat memiliki
konsep yang jelas, tegas dan baik dalam al-Qur‟an maupun hadis, yang
Salat adalah ibadah yang paling awal diwajibkan langsung, yang diwahyukan oleh Allah SWT, dan diwajibkan tanpa melalui malaikat Jibril.
Salat diwajibkan pada waktu Mi‟raj Nabi Muhammad SAW, berbeda dengan
perintah-perintah yang lain, ketika Allah SWT memerintahkan puasa cukup dengan menurunkan ayatnya, saat memerintahkan orang yang mampu untuk melaksanakan haji cukup dengan firman-Nya, waktu Allah SWT memerintahkan untuk kita membayar zakat juga sekedar menurunkan
wahyu-Nya. Itulah salah satu keistemewaan dari salat.2
Salat bukanlah semata-mata gerakan badan dan bacaan yang hampa dari makna esensinya, melainkan simbol ajaran hidup dalam kehidupan manusia, misalnya tentang hakekat keutamaan salat tepat pada waktunya, mengerjakan bagaimana pentingnya waktu dalam kehidupan, salat dikerjakan dengan
khusyu‟, disini ada pesan tersendiri dalam kesungguhan atau melatih
konsentrasi dalam pekerjaan.
Tak ada satupun yang lebih dipentingkan oleh al-Qur‟an selain salat, al
-Qur‟an mengatakan kewajiban salat dengan berbagai susunan kata-kata
dengan perintah yang tegas, memuji-muji orang salat dan mencela orang yang meninggalkannya. Supaya kita dapat memahami bahwa salat itu tiang
agama.3
Salat Tiang Agama, (Malaysia : Percetakan Ja‟far sdn,
Salat merupakan ibadah paling utama yang membuktikan ke-Islaman seseorang, dan untuk mengukur keimanan seseorang dapat dilihat dari kerajinan dan keikhlasan dalam mengerjakan salat. Islam memandang salat sebagai tiang agama dan intisari Islam terletak dalam salat. Sebab dalam salat terkumpul seluruh rukun agama. Didalam salat terdapat ucapan
“syahậdataỉn”, kesucian hati terhadap Allah SWT, agama dan manusia.
Salat merupakan rukun Islam yang terbesar dan absolute. Karena
besarnya kedudukan dan posisi salat, maka ia tidak boleh ditinggalkan oleh seorang Muslim bagaimanapun kondisinya, kecuali bagi mereka yang kewajiban salatnya telah gugur, seperti orang hilang akal, serta wanita haid dan nifas. Salat wajib dilakukan baik orang sakit, sehat, fakir, kaya dalam kondisi takut, aman dan lain-lain.
Selain salat fardu Nabi Muhammad SAW. juga melakukan salat sunnah, salat itu dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan mengharapkan tambahan pahala. Salat sunnah banyak macamnya, diantaranya ada yang disunnahkan berjamaah dan ada pula yang tidak disunnahkan berjamaah. Salat sunnah dianjurkan dalam
beribadah kepada Allah SWT,4 sebagaimana di bawah ini :
4 Muhammad Rifa‟i
, Fiqih Islam lengkap, (Kuala Lumpur : Pustaka Jiwa, 1996),
“Menceritakan kepada kami „Alȋ bin Nasir bin „Alȋ al-Juhdamȋ menceritakan kepada kami Sahl bin Hammâd menceritakan kepada kami Hammâm berkata : menceritakan kepada kami Qatâdah dari al-Hasan dari
Huraĩts bin Qobȋ sah berkata : Aku mendengar Abȋ Huraȋ rah berkata :
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya amalan-amalan manusia yang mula-mula dihisab pada hari kiamat ialah salat. Jika salatnya sempurna dicatatlah beruntung dan lulus, dan jika terdapat sesuatu kekurangan Allah berfirman pula : periksalah, apakah hamba-Ku mempunyai amalan salat sunnah? Jika ia mempunyai amalan salat sunnah lalu Allah berfirman : sempurnakan salat fardu hamba-Ku yang kurang dengan salat sunnahnya kemudian diperhitungkan amalan-amalan itu
dengan cara demikian”. (HR. al-Tirmidzȋ )
Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah, mereka
sangat membutuhkan bantuan dari Allah Ta‟ala dalam semua urusan mereka.
Hal itu karena dia tidak mengetahui hal yang ghaib sehingga dia tidak bisa mengetahui mana amalan yang akan mendatangkan kebaikan dan mana yang akan mendatangkan kejelekan bagi dirinya. Karenanya, terkadang seseorang hendak mengerjakan suatu perkara dalam keadaan ia tidak mengetahui akibat yang akan lahir dari perkara tersebut atau hasilnya mungkin akan meleset dari perkiraannya. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW mensyariatkan adanya
5Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûsậ bin al-Dahhak al-Sulam̭ ȋ al-Bugȋ al-Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Kitab al-Salah, bab MậJa’a anna awwalu mâ yuhasabu
Istikhậrah yaitu permintaan kepada Allah agar berkenan memberikan
hidayah kepadanya menuju kepada kebaikan. Yang mana doa Istikhậrah ini
dipanjatkan kepada Allah setelah dia mengerjakan salat sunnah dua rakaat. Allah berfirman dalam surat al-Qashash ayat 68-70
memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan Hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (Q.S. al-Qasas:68-70)
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubî berkata, “Sebagian ulama
mengatakan ”Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk mengerjakan sesuatu
urusan dari urusan dunia kecuali setelah dia meminta pilihan kepada Allah
dalam urusan tersebut”. Yaitu dengan salat dua rakaat salat Istikhârah.
Menurut Abû Ubaidah Masyhûr ibn Hasan Mahmûd ibn Salmân menyatakan bahwa para ulama sepakat sesungguhnya orang yang beristikhârah melakukan apa yang menjadi kelapangan atau kemantapan
berdo‟a kepada Allah melalui salat, sedangkan salat itu sendiri adalah do‟a
yang dengannya Allah memilihkan sebuah kebaikan dari setiap urusan,
kemudian menyempurnakannya.6
Jika Allah memberikan kelapangan dada dan kemantapan hati maka Allah memberikan pula kemudahan untuk mendapatkan kebaikan, yang akhirnya berbuah ridha dan bahagia. Akan tetapi, jika hal itu adalah hal yang tidak dikehendaki, ketahuilah bahwa sesungguhnya itu juga sebuah kebaikan,
dia harus ridha dengan setiap ketentuan-Nya.7
Yang selama ini yang kita tahu bahwa jika seseorang mengalami kegundahan dalam memilih sesuatu antara dua hal, yang mana kita ingin mengetahui diantara kedua hal ini, yang lebih baik kita kerjakan terlebih dahulu, maka dengan adanya hal tersebut masyarakat meyakini bahwa
dengan Istikhậrah kita akan mendapatkan yang lebih baik.
Salat Istikhậrah akan memberikan kita inspirasi untuk sampai kepada
keputusan yang membahagiakan itu. Kecemasan dan kegalauan akan
dikendurkan melalui istikhậrah. Rupanya, salat ini diciptakan agar kita
mengalami flow dari masalah yang sedang meruwetkan. Begitu pikiran
6Masyhûr ibn Hasan Mahmûd ibn Salmân, Al-Qaulu al-Mubĭn Akhtâ’I al
-Muslim, (Bandung: Pustaka Azzam, 2000), h. 63 7 Muhammad Abu Ayyash,
Keajaiban Salat Istikhậrah, (Jakarta: Qultum Media,
dipenuhi kebimbangan akan satu masalah atau kebingungan memilih jalan ini atau itu .8
Dalam salat Istikhârah terdapat perbedaan mengenai jumlah rakaatnya
dikemukakan para ulama hadis dan fiqh tentang pendapatnya berdasarkan nash yang sama. Sehingga timbul perbedaan mengenai salat Istikhârah dalam perspektif hadis dan fiqh.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji sebuah
penelitian dengan judul “SALAT SUNNAH ISTIKHÂRAH DALAM
PERSPEKTIF HADIS”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengkaji atau meneliti suatu permasalahan tentunya tidak terlepas dari pembatasan dalam berbagai aspek terkait dengan permasalahan tersebut. Untuk lebih mengarahkan penulisan dalam skripsi ini, penulis perlu
memberikan pembatasan dalam penelitian, yaitu :
1. Hadis yang akan penulis teliti adalah hadis-hadis yang termaktub dalam
al-Kutub al-Sittah tentang salat sunnah istikhậrah.
2. Syarah hadis Ibnu Hajar al-Asqalânî
3. Pandangan ulama hadis tentang salat sunnah istikharah
Dengan adanya pembatasan di atas, penulis mengarahkan pembahasan ini dengan rumusan masalah yang akan menjadi bahasan dalam skripsi adalah Bagaimana pemahaman Ibnu Hajar al-Asqalânî
8 Qomaruzzaman Awwab
, Istikhậrah for Muslimah, (Bandung: DAR! Mizan, 2008),
tentang salat sunnah istikhậrah dalam kehidupan sehari-hari menurut hadis
Nabi SAW?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian dari skripsi ini di bagi pada dua hal yaitu:
a. Tujuan Akademis
Secara akademis tujuan penelitian ini adalah sebagai syarat meraih gelar sarjana (S1), serta pengembangan dan sumbangan terhadap hazanah perkembangan ilmu hadis khususnya di Indonesia.
b. Tujuan Umum
Adapun secara umum ialah menjadi bahan wacana terhadap pengembangan hazanah keilmuan di bidang hadis, juga untuk mengetahui bagaimana pemahaman Îbnu Hajar al-Asqalânî tentang
salat sunnah istikhậrah dalam kehidupan sehari-hari.
2. Manfaat penelitian ialah memberikan pemahaman tentang maksud
hadis-hadis yang membahas salat Istikhậrah serta menggambarkan pemahaman
tentang salat Istikhậrah itu sendiri dari sudut pandang hadis dan
ungkapan para ulama fiqih. Agar tidak terjebak dalam pemahaman yang salah karena kurangnya pengetahuan akan hadis.
D. Metodologi Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data
Penulis memakai metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode
penelitian pustakaan (library research) artinya data-datanya berasal dari
sebagainya, termasuk juga data primer seperti kitab-kitab hadis, maupun data sekunder, seperti data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini.
2. Metode Pembahasan
Pembahasan ini pada dasarnya adalah analisa hadis, yaitu studi objek kajiannya adalah hadis-hadis Nabi SAW. Yang dalam hal ini berkaitan erat
dengan masalah salat sunnah istikharah sebagai studi hadis, studi ini
menggunakan metode pencarian hadis, artinya pembahasan ini berupaya mencari hadis-hadis yang berkaitan dengan salat sunnah istikharah, kemudian mengemukakan hadis-hadis yang berkaitan dengan salat sunnah dan macamnya, setelah itu baru dianalisis kandungan hadis-hadis tersebut.
3. Metode penulisan
Adapun penulisan skripsi merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang disusun oleh Tim UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta9 dengan beberapa pengecualian:
9 Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah(Skripsi, Tesis dan
E. Kajian Pustaka
Berdasarkan hasil pengamatan dan studi di Perpustakaan telah ditemukan beberapa penelitian sebelumnya. Adapun review studi terdahulu yang penulis telah kaji adalah:
1. Salat Fajar dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Kajian Tematik Hadis, ditulis
Oleh Bambang Triatmojo Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
Skripsi diatas menjelaskan waktu dan di anjurkannya salat fajar.
2. Fadilah Salat Sunnah Rawatib dalam Perspektif Hadis, ditulis Oleh
Fitriyah Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006.
Tema tentang salat banyak dibahas, namun dalam judul berbeda-beda diantaranya tentang salat sunnah rawatib, dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang fadilah salat sunnah rawatib dan fungsinya. Skripsi tersebut didapat dari perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Keajaiban Salat Istikhârah, ditulis oleh Muhammad Abu Ayyash
diterbitkan oleh Qultum Media Tahun 2008.
Salat Istikharah ditulis oleh Moh. Rifa‟i.
Secara khusus penulis berbeda dengan skripsi dan buku di atas, karena
skripsi ini lebih menjelaskan akan kaîfiyah salat Istikharah daripada fadilah
-nya.
F. Sistematika Penulisan
Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi dalam penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika penulisan.
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari empat bab. Setiap bab dibagi menjadi sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yang antara satu dan lainnya saling berkaitan.
Pada bab pertama, merupakan pendahuluan yang di dalamnya dijelaskan tentang latar belakang munculnya permasalahan penelitian ini. Setelah itu permasalahan yang muncul dibatasi dan menetapkan permasalahan yang menjadi masalah utama serta arti penting dan manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini bagi studi Islam.
Karena penelitian ini bersifat ilmiah maka diadakan tinjauan pustaka dengan tujuan untuk memposisikan studi ini diantara studi-studi terkait lainnya yang pernah dilakukan atau searah dengan penelitian ini. Kemudian diuraikan metode penelitian yang akan penulis pakai untuk menyelesaikan penelitian ini. Dan pada pembahasan terakhir dari bab pertama ini, penjelasan mengenai sistematika pembahasan.
adalah termasuk salat sunnah. Dan juga untuk mengetahui pandangan dari para ulama hadis dan ulama fiqh akan letak perbedaan kedua pendapat tersebut.
BAB II
SALAT
SUNNAH ISTIKHÂRAHA. Salat Sunnah
1. Pengertian Salat Sunnah
Sesungguhnya salat sunnah itu merupakan saham pelaburan-pelaburan yang akan mendatangkan keuntungan yang banyak kepada
pengamalnya di samping salat wajib yang merupakan simpanan tetap.10
Diantara sejumlah keutamaan umat Nabi Muhammad SAW, bahwa Allah SWT menganugerahkan pahala yang besar kepada orang yang
mengamalkan salat-salat nafilah di rumah, bahkan oleh Rasulullah SAW itu
disebut sebagai nur (cahaya). Mengenai hal itu beliau mengatakan bahwa
salat nafilah yang dilakukan orang di rumahnya adalah cahaya terang. Karena
itu hendaklah rumah kalian dengan cahaya itu.
Yang dinamakan cahaya terang ialah cahaya yang menerangi hati agar
dalam khalwat-nya (kesendiriannya di rumah) hati orang yang bersangkutan
lebih merasa tunduk dan khusu’ terhadap Allah SWT, dengan demikian ia
tidak menjadi lengah bahkan lebih mesra hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya, ia dapat mengutarakan bisikan hatinya kepada Allah SWT hingga ia benar-benar merasakan betapa agungnya kebesaran Allah SWT. Ia akan merasa betapa rendah dan hinanya ia berada di hadapan Allah SWT.
10
Menganjurkan agar orang mengamalkan salat-salat nafilah di rumah dengan
maksud agar rahmat Allah SWT melambai-lambai di atasnya lalu meratakan cahaya iman terang benderang. Selain itu juga dimaksudkan agar orang seisi
rumah itu merasakan kedekatan terhadap Allah SWT. Semua fadĩlah yang
diberikan Allah SWT itu patut dipuji dan disyukuri sebagai nikmat yang dilimpahkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya. Seseorang dari kalian jika telah menunaikan salatnya di masjid hendaknya ia mengamalkan
salat-salat nafilahnya agar di rumahnya memperoleh bagian dari salatnya. Allah
akan menjadikan sebagian dari salatnya itu sebagai kebajikan rumahnya.11
Allah akan merahmati rumah yang di dalamnya terdapat ketaatan
kepada Allah SWT. Zikir, ibadah, tasbih dan membaca al-Qur‟an sama
dengan tempat bernaungnya orang-orang yang salat. Rumah yang suasananya demikian itu penuh kesejahteraan dan keridhaan. Sedangkan rumah yang kosong dari zikir dan tidak mengingat Allah SWT, maka rumah itu akan tandus, gersang dan bobrok. Rumah yang penghuninya seperti itu jauh dari suasana tentram, bahkan penuh dengan hawa nafsu amarah yang diliputi dengan kedengkian dan kedurhakaan. Di dalam rumah seperti itu setan-setan berpesta pora, lain halnya dengan rumah yang di dalamnya disebut-sebut
keagungan Allah SWT (zikrullah).
Disamping itu juga terdapat fadilah dalam mengerjakan salat sunnah
yang dilakukan di rumah dibandingkan melakukan salat sunnah di depan orang banyak. Seseorang yang melakukan salat sunnah di rumah lebih
11
banyak mendatangkan rahmat Allah SWT dan terhindar dari kemungkinan timbulnya kemunafikan dan jauh dari mata orang-orang yang memujinya, sedangkan jika kita melaksanakan salat sunnah di depan banyak orang dapat
membangkitkan perasaan riya dan pujian orang lain.
2. Macam-macam Salat Snnah
Salat sunnah terbagi dua macam, yaitu :12
1. Salat Mutlaq
Dalam salat sunnah mutlaq ini, cukuplah seseorang berniat saja.
Jika ia melakukan salat sunnah dan tidak menyebutnya berapa raka‟at
yang akan dikerjakan dalam salatnya itu, ia boleh mengucapkan salam
pada satu raka‟at atau lebih, berapapun jumlahnya baik pada raka‟at
ganjil atau pada raka‟at genap.
2. Salat Muqayyậd
Salat muqayyậd terbagi menjadi dua macam :
a. Yang disyariatkan sebagai salat-salat sunnah yang mengikuti salat
fardu yang disebut salat sunnah rawatib. Seperti salat sunnah zuhur
dan sebagainya.
Beberapa pendapat tentang salat sunnah rawatib menurut para
ulama, yaitu :
Menurut Mazhab Syafi’iyah, salat sunnah rawatib ada sebelas
raka‟at, yaitu dua raka‟at sebelum subuh, dua raka‟at sebelum zuhur dan
12 Muhammad Jawad Mugniyah,
al-Fiqh ‘alâ al-Madzahib al-Khamsah, (Beirut :
dua raka‟at sesudahnya. Dua raka‟at setelah maghrib dan dua raka‟at
setelah isya‟.
Menurut Mazhab Hanbali, sepuluh raka‟at, yaitu dua raka‟at
sebelum dan sesudah zuhur, dua raka‟at sesudah maghrib, dua raka‟at
setelah isya‟ dan dua raka‟at sebelum salat subuh.
Menurut Mazhab Hanafiyah, salat rawatib itu terbagi menjadi
kepada sunnah masnunah dan salat sunnah mandudah.13 Salat
masnunah ada lima salat, yaitu: dua raka‟at sebelum subuh, empat raka‟at sebelum zuhur dan dua raka‟at setelahnya selain hari jum‟at, dua
raka‟at setelah maghrib dan empat raka‟at setelah isya‟. Sedangkan
salat-salat yang mandudahada empat salat, yaitu empat raka‟at sebelum
aşar, dan kalau mau dua raka‟at saja, enam raka‟at setelah maghrib,
empat raka‟at sebelum isya‟ dan empat raka‟at setelahnya.
Menurut Mazhab Mâlikiyah, untuk salat-salat sunnah rawatib
tidak ada batas tertentu dan tidak ada pula jumlah khusus, hanya yang
paling utama adalah empat raka‟at sebelum zuhur dan enam raka‟at
setelah maghrib.
13 Mazhab Hanafiyah mempunyai istilah-istilah tentang apa yang wajib dikerjakannya dan yang tidak boleh ditinggalkannya, yang sama dibagi dua, yaitu : fardu
apabila perbuatan itu ditetapkan berdasarkan dalil qat’I (pasti), seperti al-Qur‟an, hadis yang mutawattir dan ijma‟. Kedua, wajib apabila ditetapkan berdasarkan dalil Danni (perkiraan), seperti qiyas dan hadis yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan perbuatan yang lebih baik (kuat) untuk dikerjakannya dari pada ditinggalkan di bagi kedalam dua bagian juga, yaitu masnun : perbuatan yang dilakukan oleh Nabi,
Khulafa’ur Rasyidîn, yang kedua mandud, perbuatan yang diperintahkan oleh Nabi tetapi
tidak bisa dilakukan oleh beliau sendiri. Juga perbuatan yang wajib ditinggalkannya dan tidak boleh dilakukannya, kalau ia ditetapkan berdasarkan dalil qat’I (pasti), maka perbuatan yang dilarang itu adalah haram. Bila perbuatan yang ditetapkan berdasarkan
Menurut Mazhab Imâmiyah, salat rawatib itu setiap hari ada tiga
puluh empat raka‟at, yaitu : delapan raka‟at sebelum zuhur, delapan
raka‟at sebelum aŝar, empat raka‟at sesudah maghrib dan dua raka‟at
sesudah isya‟, tetapi dua raka‟at yang terakhir ini (dua raka‟at sesudah
isya‟) dilakukan sambil duduk, dan ia hitung satu raka‟at serta
dinamakan salat witir, dan delapan raka‟at salat malam, dua raka‟at
untuk meminta syafa’at, satu raka‟at untuk witir14dan dua raka‟at untuk
salat subuh, yang dinamakan salat fajar.
Salat sunnah rawatib terbagi menjadi dua macam, yaitu : 1. Salat Sunnah Muakkad (sangat dianjurkan)
Salat sunnah muakkad adalah salat sunnah yang sering
dikerjakan Rasulullah dan jarang sekali ditinggalkan. Salat sunnah
rawatib yang muakkad terdiri dari sepuluh raka‟at, yaitu: dua raka‟at sebelum subuh, dua raka‟at sebelum dan sesudah zuhur, dua
raka‟at sesudah maghrib dan dua raka‟at sesudah isya‟.
2. Salat Sunnah Ghairu Muakkad
Salat sunnah ghairu muakkad adalah salat sunnah yang
jarang dikerjakan dan yang sering ditinggalkan. Yaitu dua raka‟at
sebelum salat zuhur dan raka‟at sesudahnya. Jadi, salat sunnah
zuhur yaitu empat raka‟at sebelumnya dan empat raka‟at
sesudahnya ; dua raka‟at penting, sedangkan dua raka‟at lagi kurang
14 Salat
witir menurut Hanafiah ada tiga rakaat dengan satu salam. Waktunya
penting. Empat raka‟at sebelum Asar dan dua raka‟at sebelum
maghrib.15
Sabda Rasulullah SAW :
“Menceritakan kepada kami Abû Bakar Muhammad bin Ishaq
al-Baghdâdȋ , menceritakan kepada kami „Abdullâh bin Yûsuf al-Tinĭsĭ
al-Sya‟mĭ, menceritakan kepada kami al-Hārits bin Humȋ d,
memberitahukan kepadaku al-„Alậ yaitu Ibn al-Hârits dari al-Qâsim
Abĭ „Abdurrahmân dari „Anbasah bin Abĭ Sufyân, berkata : Aku
mendengar saudara perempuanku Ummî Habîbah istri Rasulullah
SAW berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :”Siapa
orang yang mengerjakan salat empat raka‟at sebelum zuhur dan empat
raka‟at sesudahnya, Allah mengharamkan api neraka baginya”.(HR.
al-Tirmidzĭ).
Sabda Rasulullah SAW :
15 Sulaiman Rasjid,
Fiqhul Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2006), Cet.
Ke-36, h. 144-145
16
“Menceritakan kepada kami Yahâya bin Mûsậ dan Mahmûd bin
Ghaȋ lận dan Ahmad bin Ibrahîm al-Dauraqĭ, mereka berkata :
Menceritakan kepada kami Abû Dâwud al-Tayalisî menceritakan kepada kami Muhammad bin Muslim bin Mihran kakeknya mendengar
dari Ibn „Umar, Nabi SAW bersabda:“Allah memberi rahmat kepada
seorang manusia yang salat empat raka‟at sebelum asar”.(HR.
al-Tirmidzĭ)
b. Yang terkait dengan waktu tertentu, seperti : salat sunnah duha, witir dan
lain sebagainya.
Salat sunnah tatawwu adalah salat duha yang hukumnya sunnah. Waktunya dimulai sejak matahari sudah naik kira-kira sepenggalah sampai dengan tergelincir. Tetapi yang lebih utama ialah dikerjakan sesudah lewat seperempat siang hari.
Zaîd bin Arqam meriwayatkan yang artinya :
“Rasulullah keluar menuju penduduk Qubâ yang sedang
mengerjakan salat duhâ, lalu katanya : salat Awwabin (salat yang kembali kepada Allah) ialah salat yang dilakukan di waktu
17 Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûsậ bin al-Dahhak al-Sulam̭ ȋ al-Bugȋ al-Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Juz.2, h.276
anak unta bangkit Karena kepanasan waktu duha. (HR.
al-Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abŭ Basrah :
“Menceritakan kepada kami „Alĭ bin Ishâq menceritakan kepada kami „Abdullah- yaitu „Ibn al-Mubārak- memberitahukan kepada kami Sa‟ĭd bin Yazĭd menceritakan kepadaku Ibn Hubairah dari Abĭ Tamĭm al-Jaisyānî, „Umar bin al-„As berkata : sesungguhnya Ayah Basrah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW bersabda :”Allah telah menambahkan kepadamu suatu salat, yakni witir. Karena itu, kerjakanlah salat itu di antara salat isya‟ sampai dengan salat fajar”. (HR. Ahmad)
3. Fadilah Salat Sunnah
Salat sunnah memiliki banyak fadĭlah atau keutamaan. Berbagai
keutamaan tersebut merupakan bagian dari ungkapan kasih sayang Allah
terhadap hamba-hamba-Nya yang gemar beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan mendirikan salat-salat sunnah selain salar fardu. Diantara
keutaman-keutamaan salat sunnah adalah :20
1. Menyempurnakan Nilai Salat Fardu
Untuk memperbaiki nilai salat fardu yang dilaksanakan kurang sempurna, maka Allah SWT memberikan solusi yakni salat sunnah. Salat sunnah ini, khususnya salat sunnah rawatib dapat menjadi penyempurna salat fardu kita.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Menceritakan kepada kami „Alĭ bin Nasĭr bin „Alĭ al-Juhdamî
menceritakan kepada kami Sahl bin Hammâd menceritakan kepada kami Hammâm berkata : menceritakan kepada kami Qatâdah dari
al-Hasan dari Harĭts bin Qubaidah berkata: Aku mendengar Abĭ Hurairah berkata Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya
amalan manusia yang mula-mula dihisab pada hari kiamat ialah salat.
Jika salatnya sempurna dicatatlah sempurna, dan jika terdapat sesuatu kekurangan Allah berfirman pula : periksalah, apakah hamba ku mempunyai amalan salat sunnah? Jika ia mempunyai amalan salat sunnah lalu Allah berfirman : sempurnakanlah salat fardu hambaku dengan salat sunnahnya. Kemudian diperhitungkan amalan-amalan itu
dengan cara demikian. (HR. Al-Tirmidzĭ)
2. Mengurangi Dosa yang Telah Lalu
Banyak dosa-dosa kecil yang tidak sengaja kita lakukan dalam aktivitas kita sehari-hari. Dengan membiasakan diri untuk melaksanakan salat sunnah maka dosa-dosa tersebut dapat dikurangi. Hal ini
diinformasikan melalui hadis Nabi Muhammad SAW :
“Menceritakan kepada kami Abŭ „Âmir menceritakan kepada kami
Hisyâm yaitu Ibn Sa‟ad dari Zaĭd yaitu Ibn Aslam dari „Atâ bin Yasâr
dari Zaĭd bin Khâlid al-Juhanî bahwa Rasulullah SAW bersabda: siapa
yang berwudu dan ia membaguskan wudunya kemudian salat (sunnah)
dua raka‟at ia tidak lupa/lalai akan keduanya maka Allah ampuni dosa
-dosanya yang telah lalu”.(HR. Ahmad)
22 Abdullâh Ibn Muhammad Ibn Hanbâl,
3. Mengangkat Derajat
Allah SWT mengangkat derajat hamba-hamba-Nya yang melaksanakan salat-salat sunnah dengan rutin disertai niat ikhlas
beribadah kepada Allah.23
4. Mendapatkan Rumah di Surga
Dalam sebuah hadis dikatakan :
“Menceritakan kepada kami Muhammad bin „Abdullâh bin Numaîr,
menceritakan kepada kami Abû Khâlid yaitu Sulaîmân bin Hayyân dari
Dâwud bin Abî Hindi dari al- Nu‟mân bin Sâlim dari „Amr bin Aûs,
berkata : Menceritakan kepadaku „Anbasah bin Abĭ Sufyân ketika
beliau dalam keadaan sakit, berkata : aku mendengar Ummi Habîbah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda Ummu Habîbah berkata : aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : siapa yang salat
12 raka‟at dalam sehari semalam akan dibangun baginya sebuah rumah
di surga”.(HR. al-Bukhârî)
Adapun manfaat salat sunnah secara umum untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjadikan sipelakunya sebagai orang-orang yang dicintai-Nya. Meningkatkan derajat dan martabat serta menjernihkan akal
23 Firdaus Wajdi, Salat Sunnah Favorit Nabi, h. 5
pikiran dan untuk mencegah dari perbuatan yang keji dan munkar.
Kitab (Al-Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Ankabut : 45)
Allah SWT memberi petunjuk kepada kita terutama kepada umatnya kepada jalan yang lurus bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang lebih tawar atau manis bagi seorang manusia melebihi dari bermunajat kepada Tuhannya berdiri dihadapan-Nya dan dekat dengan Tuhannya.
Seorang manusia ketika melanggengkan makan dengan satu menu makanan maka dengan segera ia merasakan bosan meskipun kenikmatan makanan itu sangatlah nikmat. Adapun jika berganti-ganti dari satu menu ke menu yang lainnya, maka ia akan menemukan kenikmatan menyantap tanpa
ada rasa bosan, inilah sesuatu yang hampir menjadi tabi‟at bagi semua
Ada hikmah yang lain lagi yaitu bahwa salat wajib yang telah ditetapkan kepada manusia untuk dikerjakan pada saat melakukannya hati diharuskan untuk dapat menjadi seperti cermin yang tercetak di dalamnya hal-hal yang dapat dilihat sesuai dengan gambar alaminya. Sedangkan salat sunnah yang dilakukan sebelum salat wajib itu menjadi seperti kemengkilapan bagi hati sampai ia mengerjakan salat fardu. Setelah melakukan salat sunnah kotoran-kotoran dan noda was-was serta segala urusan dunia yang mengganggu pada hatinya itu akan hilang. Ia pun akan dapat sepenuhnya menghadapkan untuk bermunajat kepada Tuhannya dan bersih hatinya dari semua yang selainnya.
B. Salat Istikharah
1. Pengertian, Waktu dan Hukum Salat Istikhârah a. Pengertian Salat Istikharah
Istikharah secara bahasa dari kata راخ – ريخت - هراتخا artinya
“memilih” atau “ minta dipilihkan”. Ketika ada tambahan huruf Alif, Sĩn
dan Ta menjadi ةريخلا بلط – راختسا maka dalam tata bahasa Arab berubah
menjadi mencari pilihan.25
Menurut istilah salat sunnah Istikhârah ialah salat sunnah dua
raka‟at untuk memohon kepada Allah ketentuan pilihan yang lebih baik
diantara dua hal atau lebih yang belum jelas ketentuan baik buruknya.26
25 Ahmad Marson Munawwir,
Kamus Lengkap al-Munawwir Arab Indonesia,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, h. 32
Arti Istikhârah menurut syariat Islam, disebutkan ada dua makna
Istikhârah, yaitu meminta kepada Allah suatu kebaikan, sedangkan yang
kedua meminta pilihan yang terbaik kepada Allah.27
Yakni apabila seseorang berhajat atau bercita-cita akan mengerjakan sesuatu maksud, sedang ia ragu-ragu dalam pekerjaan atau maksud itu, apakah dilakukan terus atau tidak. Maka memilih salah satu
dari dua hal diteruskan atau tidak, disunahkan salat Istikhârah dua
raka‟at.28
Rasulullah SAW memberitahukan kepada umat Islam tentang tanda-tanda kebahagiaan, jalan menuju kebaikan serta keselamatan dengan menyandarkan dan menyerahkan segala persoalan kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda beliau:
“Sa‟ad Ibn Abî Waqqâs ra. Berkata, Rasulullah bersabda: “ salah satu dari
kebahagian anak Adam adalah menyerahkan pilihannya kepada Allah
„Azza wa Jalla”. (HR. Ahmad)
Salat sunnah Istikhârah bukan berarti mencari mimpi, yakni sesudah salat Istikhârah kemudian tidur untuk mendapatkan impian yang
27 Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikhârah, h. 16
28 Mawardi Labay El-Sulthani, Zikir dan Do’a Mendirikan Salat yang Khusyu
Mencegah Manusia dari Perbuatan Keji dan Mungkar, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,
1999), cet. Ke-2, h. 217
memberikan alamat tentang maksud hajat itu. Salat Istikhârah ialah mencari kebaikan, artinya kalau kita mempunyai hajat, lalu melaksanakan salat Istikhârah, maka jika maksud hajat itu dilaksanakan kita akan memperoleh barakah dan jika tidak dilaksanakan juga akan
kedua, maka alangkah baiknya jika kita meneladani Rasulullah SAW. Imam Al-Nawâwî menjelaskan, Ia membaca pada rakaat pertama
sesudah al-Fâtihah adalah al-Kâfirûn dan rakaat kedua al-Ikhlâs. Beliau
bahkan menegaskan, Jika berhalangan mendirikan salat, maka boleh
ber-Istikhârahdengan berdo‟a saja. Dan disunnahkan memulai do‟a tersebut
dan menutupnya dengan Alhamdulillah, shalawat dan salam. Untuk
Rasulullah SAW Istikhârah itu disunnahkan dalam segala urusan,
sebagaimana diterangkan oleh nas hadis diatas yang shahih. Dan jika
telah ber-Istikhârah, lakukanlah menurut yang kuat dorongannya di
dalam hati.31
30 T.A. Lathief Rousydiy, Salat-Salat Sunnah Rasulullah SAW, Cet. 1, (Medan:
Firma “Rimbou” Medan, 1984), hal. 208
31 Zaîd Huseîn al-Hamîd, Terjemahan al-Adzkâr al-Nawâwî: Intisari Ibadah dan
Dalam mengerjakan salat Istikhârah tidak terdapat suatu bacaan
tertentu sebagaimana juga tidak perlu dikerjakan berulang-ulang. Salat
Istikhârah dilakukan seperti halnya kita melakukan salat sunnah lainnya,
yaitu dengan niat cukup di dalam hati untuk melakukan Istikhârah.
Dalam salat, niat cukup dilafalkan dalam hati seperti halnya Rasulullah SAW mengajarkan. Dalam Islam, setiap amalan ibadah seperti salat tidak ada pelafalan niat kecuali pada ibadah-ibadah tertentu yang sudah
ada nasnya.32
Demikian seorang mu‟min yang tidak pernah putus hubungannya
dengan Allah SWT yang Maha Mengetahui segala sesuatu, maka setiap kali ia menghadapi sesuatu persoalan dan setiap kali ia melakukan
sesuatu tindakan atau perbuatan, terlebih dahulu ia beristikhârah
(meminta pilihan) kepada Allah SWT, apakah yang harusnya dan bagaimana sebaiknya langkah yang harus diambil. Sampai-sampai ketika hendak melakukan sesuatu perjalanan untuk mencari rezeki dan karunia
Allah di muka bumi, ia tetap melakukan istikhârah terlebih dahulu.
Bukan seperti orang-orang zaman jahiliyah dahulu yang selalu mengundi nasib atau meminta tolong dengan mendatangi tukang tenun dan tukang sihir.33
Allah menamakan sebagai perbuatan fasik karena beralih kepada orang yang mengaku-ngaku mengetahui barang yang ghaib. Mereka
32 Muhammad Abu Ayyash,
Keajaiban Salat Istikhârah, h. 51
33 Latief Rousydi,
menempuh jalan Kahanah atau tenung, mereka meminta petunjuk
kepada tukang ramal.
Rasulullah SAW bersabda:
“Menceritakan kepada kami Muhammad Ibn al-Mutsannâ al-„Anazî,
Menceritakan kepada kami Yahyâ yaitu Ibn Saîd dari „Ubaîdillah dari
Nâfi‟ dari Safiyyah dari salah satu istri Nabi SAW bersabda : “Barang
siapa yang mendatangi tukang ramal dan meminta sesuatu kepadanya,
maka salatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari”. (HR.
Muslim)
b. Waktu Salat Istikhârah
Rasulullah SAW bersabda:
34
“Menceritakan kepada kami Yahyâ Ibn Abî Katsĭr dari Abî Salamah dari
Abî Huraîrah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila telah lewat
sebagian malam atau dua sepertiganya (tinggal yang sepertiga) Allah yang Maha Tinggi akan turun ke langit dunia, lalu berfirman: Tiada seorang pun yang meminta, pasti akan kuberi. Tiada seorang pun yang
berdo‟a. pasti akan Ku kabulkan do‟anya dan tiada seorang pun yang
memohon ampun pasti Ku ampuni, sehingga datang waktu subuh”. (HR.
al-Bukhârî)
Sedangkan menurut al-Nawawi, do‟a istikharah itu disunnahkan
meskipun setelah salat fardu maupun salat sunnah lainnya. Yang jelas,
ketika mendapatkan masalah atau ingin melakukan sesuatu maka beristikhârahlah.
Sedangkan menurut al-„Iraqî menyebutkan jika perkaranya datang
sebelum salat sunnah yang lain maka jangan melakukannya, akan tetapi
lakukanlah istikhârah itu setelah melakukan salat sunnah tersebut.
Dalam riwayat al-Tirmidzî disebutkan bahwa di suatu hari ada
seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah,
do‟a manakah yang sangat didengar oleh Allah? Beliau menjawab:
34 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî,
35
“Menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Yahyâ al-Tsaqafĭ al
-Marwazî, menceritakan kepada kami Hafs Ibn Ghiyâts dari Ibn Juraîj
dari „Abdurrahmân Ibn Sâbit dari Abî Umâmah berkata: Rasulullah
bersabda: “Pada waktu tengah malam dan sesudah salat fardu”. (HR. Al
-Tirmidzî )
Melihat kedudukan salat Istikhârah begitu penting, Rasulullah mengajarkan para sahabat dan kepada kita untuk tidak meninggalkannya, ketika datang sebuah masalah, pilihan atau akan melakukan sesuatu. Karena itu, merupakan bentuk penyerahan kepada Allah, agar Dia menuntun langkah kita dan memilihkan yang terbaik untuk dunia dan akhirat kita.36
c. Hukum Salat Istikhârah
Hukum salat sunnah istikhârah ialah Sunnah Mu‟akkad bagi yang
sedang menghajatkan petunjuk itu. Anjuran sunnah istikharah, itu sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
35 Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûsậ bin al-Dahhak al-Sulam̭ ȋ al-Bugȋ al-Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Juz.2, hal. 256
36
“Tidak akan kecewa bagi orang yang melaksanakan salat istikhârah, dan
tidak akan menyesal bagi orang yang suka bermusyawarah, dan tidak
akan kekurangan bagi orang yang suka berhemat”. (HR. Al-Tabrânî)
Dalam Kitab Sahih al-Bukhâri dimuat hadis yang menganjurkan salat istikhârah jika menghadapi sesuatu hal, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. Sebagai berikut:
Anjuran beliau dinyatakan dalam hadis sebagai berikut yang
artinya: “Jika kamu menghendaki sesuatu perkara, hendaklah kamu salat
dua raka‟at (bukan salat fardhu) lalu berdo‟alah ……….”.
37Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî,
2. Hajat yang di Istikhârahkan
Hajat yang dimaksud dalam istikharah ialah sesuatu yang bersifat
mubah. Sedang urusan-urusan yang wajib atau sunnah, kita disuruh mengerjakannya, sedangkan yang haram atau makruh, kita disuruh meninggalkannya. Andaikata kita memenuhi syarat diwajibkannya mengerjakan ibadah haji, maka untuk melaksanakan kewajiban ini kita juga
disunnahkan beristikharah, tetapi bukan untuk memilih apakah jadi
melaksanakan atau tidak, akan tetapi istikharah yang dimaksud ialah untuk
memperoleh barakah dan ketenangan dalam menunaikannya.38
3. Anjuran Salat Istikharah
Salat istikharah dianjurkan berdasarkan hadis riwayat Bukhâri yang
bersumber dari Jâbir Ibn Abdullah r.a. bahwa ia berkata:
38Moh. Rifa‟I, Salat Istikharah: Arti Salat Istikharah, Waktunya, Dasar Hukumnya,
Hajat apa yang dimaksud, Hasilnya serta Tata Caranya dan Do’a-do’anya, hal. 8
39 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî,
“Adalah Rasulullah SAW mengajarkan salat istikharah kepada kami dalam
beberapa perkara yang penting, beliau bersabda: “Apabila salah seorang
diantara kalian ragu terhadap sesuatu perkara, maka hendaklah ia salat
istikharah dua raka‟at, kemudian berdo‟a: Wahai Tuhanku, Sesungguhnya
aku memohon kepada-Mu memilih mana yang baik menurut pengetahuan-Mu dan aku memohon kepada-pengetahuan-Mu untuk memberi ketentuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon anugerah-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau Yang Berkuasa dan aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui akan hal yang ghaib. Wahai Tuhanku
……” (HR. Bukhârî)
4. Syarat-syarat sebelum di Istikhârahkan
Ada dua hal yang mendasarkan mengapa kita melakukan salat
istikharah, yaitu ketika menghadapi masalah berupa pilihan dan ketika akan
melakukan sesuatu hal. Maka, hendaknya setiap kita memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:40
1) Yang pertama ketika masalah yang kita hadapi berupa pilihan maka
syaratnya antara lain:
a. Ketika ada pilihan maka dipastikan sebelum melakukan salat
istikhârah kedua pilihan tersebut sudah melewati proses analisis
terkait dengan baik dan buruk kedua hal tersebut, efek negatif dan positifnya dan besarnya prosentase antara maslahat dan mudaratnya.
b. Ketika kebaikan lebih banyak dari pada keburukannya, ketika efek
positif lebih banyak dari pada efek negatifnya, dan maslahat lebih banyak dari pada mudaratnya, hal yang harus dilakukan adalah memilih yang lebih baik tadi. Berarti dianjurkan baginya untuk beristikhârah ketika akan melakukan sesuatu. Tinggal bagaimana ia
40Moh. Rifa‟I, Salat Istikharah: Arti Salat Istikharah, Waktunya, Dasar Hukumnya,
bertekad, setelah bertekad tinggal meningkatkan ketawakalannya
Artinya:“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S. al-„Imran (2): 159,)
c. Ketika akan melakukan salat istikhârah dan sudah melewati proses
analisis, dipastikan keduanya mempunyai poin fifty-fifty, tidak ada
kecenderungan pada salah satu dari keduanya. Karena dikhawatirkan jika hal ini terjadi, hawa nafsunyalah yang memilih. Imam
al-Nawawi menyampaikan, “Hendaknya seseorang itu melakukan apa
yang sudah menjadi kemantapan hatinya setelah Istikharah, bukan
berdasarkan atas pilihan pada salah satu diantara keduanya sebelum
2) Yang kedua, Istikhârah dilakukan ketika kita akan melakukan sesuatu
maka syarat yang harus dilakukan sebagai berikut:42
a. Niatkan segala sesuatunya kepada Allah, karena segala sesuatu itu
tergantung niatnya, seperti dalam sebuah hadis yang sering kita
dengar, diriwayatkan dari Amîr al-Mu‟minîn Abû Hafs Umar Ibn
Khattâb r.a. berkata, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung dari niatnya dan
setiap-setiap orang berada pada apa yang ia niatkan, barangsiapa yang hijrahnya pada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan diperolehnya atau kepada wanita
yang akan dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.”
(HR. Mutafaq ‘Alaih)
b. Sudah mengalami proses penilaian dan manajemen yang baik.
maksudnya adalah mengambil pilihan yang terbaik ketika ada beberapa pilihan. Contohnya adalah ketika seseorang mau menikah, kemudian dihadapkan pada sebuah pilihan terhadap beberapa calon
42Nasruddin Razak, Ibadah Salat Menurut Sunnah Rasulullah, (Bandung: PT.
pendamping hidupnya43. Maka, perlu jika suatu diantara mereka lebih baik agama dan akhlaknya berarti lebih baik menjatuhkan pilihan padanya. Berbeda halnya jika keduanya mempunyai potensi yang sama bagi agama dan akhlaknya maka perlu untuk melakukan
Istikharah.
c. Bukan suatu kekurangan jika kita meminta pendapat orang lain yang
lebih berpengalaman untuk memberikan masukan tentang baik
buruknya sesuatu.44
5. Hikmah Salat Istikhârah
Hikmah kenapa kita harus beristikharah kepada Allah,45 diantaranya sebagai berikut:
a. Keridhaan46 Terhadap Apa pun yang Allah Berikan47
Menurut Syaikh Muhammad Ibn Salih al-Utsaimin dalam kitabnya
al-Qaulul Mufia „ala Kitab al-Tauhih, membagi sabar menjadi tiga
bagian:
43 Al-Ghazali, Rahasia-rahasia Salat, Penerjemah: Moh. Al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1984), hal. 79
Keridhaan merupakan buah dari kesabaran yang bertahta di dada. Bersabar atas segala ketentuan Allah SWT.
47 Muhammad Abu Ayyash,
1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah
Bersabar dalam menjalankan segala ketaatan, bersabar menjalankan semua kewajiban yang telah dibebankan kepada kita. Seperti dalam firman-Nya pada surat Taha: 132
2. Bersabar terhadap kemaksiatan
Bersabar untuk tidak melakukan kemaksiatan, seperti halnya kesabaran Nabi Yusuf terhadap godaan Zulaikha, permaisuri tuannya. Seperti dalam firman-Nya pada surat Yusuf : 33.
3. Bersabar dan beriman terhadap takdir Allah
Beriman terhadap takdir Allah merupakan urutan keenam dalam rukun iman. Sedangkan faidahnya diantaranya sebagai berikut :
1) Merupakan ciri kenabian
2) Akan membuat hati menjadi tenang
3) Menghilangkan kesedihan jika musibah datang
4) Sesungguhnya Allah tidak menciptakan takdir, melainkan atas
sebab yang dilakukan manusia itu sendiri.
b. Mendapatkan jiwa yang tenang48
Ketika semua persoalan dan pilihan sudah kita serahkan kepada Allah, akan ada ketenangan dalam jiwa. Karena itulah sebuah pilihan terbaik yang Allah pilihkan kepada kita. Di sinilah pentingnya percaya kepada Allah, percaya terhadap setiap skenario Allah. Setidaknya, keteladanan ibu Nabi Musa mengajarkan kita tentang hal ini.
48
c.Akan di lapangkan dada kita terhadap pilihan yang Allah pilihkan49
Itulah buah Istikhârah kepada Allah. Salah satu ciri yang diberikan
adalah dilapangkan dada dan dimantapkan hati terhadap pilihan kita
setelah melakukan Istikhârah. Seperti dalam firman-Nya pada surat
al-Takwir :29
d.Tidak menyesal dengan pilihan yang Allah berikan kepada Kita
49 Muhammad Abu Ayyash,
BAB III
ANALISA KANDUNGAN HADIS TENTANG SALAT SUNNAH ISTIKHÂRAH
A. Teks-teks Hadis dalam Al-Kutub Al-Sittah Hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari
Sahîh al-Bukhârî hadis ke-1096
Sahîh al-Bukhârî Hadis ke- 5903
51
Sahîh al-Bukhârî Hadis ke- 6841
52
51 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, Juz 4, hal. 480
52 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî,
Hadis yang diriwayatkan Abû Dâud
Sunan Abû Dâud hadis ke-1315
53
Hadis yang diriwayatkan al-Tirmidzî
Sunan Al-Tirmidzî hadis ke-442
54
Hadis yang diriwayatkan Al-Nasâi
Sunan Al-Nasâi hadis ke-3201
54 Moh. Zuhri,
Tarjamah Sunan al-Tirmidzî, (Semarang: CV As-syifa), juz 2, hal
55
Hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah
Sunan Ibnu Mâjah hadis ke-1373
56
B. Syarah Hadis
55 Ahmad Ibn Syu‟aib Abû „Abdurrahmân al-Nasâî, Sunan Al-Nasâî, (Beîrut: Dâr al-Fikr, t.th), juz 10, hal 368
Dari Jabir ra, dia berkata, “ Nabi SAW mengajarkan Istikhârah kepada
kami dalam segala urusan sebagaimana beliau mengajarkan sûrah
al-Qur‟an kepada kami. (Beliau bersabda), “Apabila seseorang di antara
kalian hendak mengerjakan suatu urusan, maka hendaklah dia shalat dua
rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa, „Ya Allah, sesungguhnya
aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan dari-Mu dengan kekuasaan-Mu. Aku memohon kepada-Mu dari anugerah-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkau Mengetahui hal-hal yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini adalah baik bagiku dalam agamaku dan kehidupanku serta akibatnya terhadap diriku atau beliau
menyebutkan : di dunia atau di akhirat – maka mudahkanlah untukku.
Akan tetapi jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagiku dalam agamaku, kehidupanku serta akibatnya terhadap diriku. Atau
beliau menyebutkan : di dunia atau di akhirat – maka palingkanlah
perkara itu dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan mudahkanlah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian
ridhakanlah aku dengannya‟. Kemudian menyebutkan hajatnya”.
Imam al-Tirmidzî mengatakan, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadis Ibnu Abî al-Mawwal. Dia orang Madinah, dan lebih dari satu orang yang meriwayatkan darinya. Mengenai masalah ini ada juga riwayat Ibnu
Mas‟ûd dan Abû Ayyûb.
Ibnu Hajar mengatakan, ada juga riwayat dari Abû Sa‟îd, Abû
Huraîrah, Ibnu „Abbâs dan Ibnu Umar. Hadis Ibnu Mas‟ûd dinukil al
-Tabarânî dan dinyatakan sahih oleh al-Hâkim. Hadis Abû Ayyûb dinukil oleh al-Tabarânî dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Hibbân dan al-Hâkim. Hadis Abû
57 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî,
Sa‟îd dan Abû Huraîrah dinukil Ibnu Hibbân dalam kitab sahih-nya. Hadis Ibnu Umar dan Ibnu Abbâs adalah sama, yang dinukil al-Tabarânî dari jalur
Ibrâhîm bin Abî Albah, dari Ata‟ dari keduanya. Dari hadis ini tidak
menyebutkan salat kecuali pada hadis Jâbir, hanya saja redaksi riwayat Abû
Ayyûb adalah, ل ها ت ّص ث ء ض لا ح ف ًض ت ط لا ت ا (Sembunyikan
lamaran dan berwudhulah, lalu baguskanlah wudhu-mu, kemudian laksanakanlah salat yang telah Allah wajibkan kepada kamu). Disebutkannya
dua raka‟at adalah khusus dalam hadis Jabir. Penyebutan Istikhârah
dicantumkan dalam hadis Sa‟ad secara marfu’ ,ها ت تسا ا ا س (Di
antara kebahagiaan anak Adam adalah beristikhârah [meminta pilihan yang
terbaik] kepada Allah), dinukil Imam Ahmad dan Sanad-nya hasan. Asalnya
terdapat dalam riwayat al-Tirmidzî namun dengan menyebutkan “keridhaan
dan kemurkaan”, bukan “Istikhârah”. Disebutkan dalam hadis Abû Bakar al
-Siddiq, ل تخا ل خ لأ :ل ق اً ا ا أ ا س ها ص لا أ (bahwa
Nabi SAW apabila menghendaki sesuatu perkara, Beliau mengucapkan, Ya Allah baikkanlah untukku dan pilihkanlah yang baik untukku), yang dinukil
al-Tirmidzi dengan sanad yang lemah. Disebutkan dalam hadis Anas secara
marfu’, تسا خ (tidak akan kecewa orang yang beristikhârah), hadis
ini dinukil al-Tabarânî dalam al-Mu‟jam al-Saghîr dengan sanad yang
lemah.58
58 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009),
تس لا س لا ص لا ل س (Nabi SAW mengajarkan
Istikhârah kepada kami), Dalam riwayat Ma‟an disebutkan dengan redaksi,
حصا (mengajarkan kepada sahabatnya). Demikian juga dalam jalur
Bisyr bin Umar.
ألا ف (Dalam segala urusan). Ibnu Abî Hamzah mengatakan, “
ini redaksi umum tapi yang dimaksud adalah khusus, karena untuk perkara
yang wajib dan sunnah tidak perlu Istikhârah untuk melakukannya, demikian
juga yang haram dan makruh tidak perlu Istikhârah untuk meninggalkannya.
Jadi masalahnya terbatas pada hal-hal yang mubah saja, yaitu bila ada dua perkara mubah dan ingin menetapkan mana yang harus dilakukan terlebih
dahulu atau mana yang dipilih.59
آ لا ل (sebagaimana halnya [beliau mengajarkan] sûrah
al-Qur‟an). Disebutkan dalam riwayat Qutaîbah dari „Abdurrahmân yang telah
dikemukakan pada bab salat malam, آ لا لا (sebagaimana beliau
mengajarkan surah al-Qur‟an kepada kami). Ada pendapat menyebutkan
bahwa letak keserupaannya adalah perlunya segala urusan terhadap
Istikhârah seperti perlunya salat terhadap al-Qur‟an.
حأ ا (apabila seseorang di antara kalian hendak). Pada kalimat ini
ada kalimat yang tidak disebutkan secara redaksional, حأ ا :ائ ق
(mengajarkan kepada kami dengan mengatakan, apabila seseorang di antara
seseorang hendak). Redaksi ini disebutkan dalam riwayat Qutaibah, ا
59 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
ل
: (Beliau bersabda, “Apabila hendak"). Dalam riwayat Abû Dâud dari
Qutaîbah ada tambahan, ل (kepada kami).60
Ibnu Abî Jamrah mengatakan, “Urutan yang terbesit dalam hati adalah
di mulai dari kehendak, langkah, pikiran, niat, keinginan dan tekad. Tiga yang pertama tidak diperhitungkan, beda halnya dengan tiga yang lainnya.
Jadi sabda beliau, ا (apabila hendak) mengisyaratkan untuk Istikhârah
pada proses pertama yang terbesit dalam hati, sehingga dengan keberkahan
salat dan do‟a tersebut akan tampak yang baik baginya. Beda halnya dengan
suatu perkara sudah mantap dalam hatinya, keinginannya sudah kuat dan tekadnya pun telah bulat, sehingga petunjuk yang telah tergambar
dikhawatirkan akan samar karena didominasi oleh kecenderungannya”.61
ت ف (Maka hendaklah ia salat dua raka‟at). Kalimat ini
membatasi hadis Abu Ayyub yang menyebutkan, ل ها ت ّص
(Laksanakanlah salat yang diwajibkan Allah kepadamu). Bisa juga
dipadukan, bahwa yang dimaksud adalah tidak hanya satu raka‟at, karena
nashnya menyebutkan dua raka‟at, sehingga penyebutan dua raka‟at ini
sebagai pemberitahuan tentang jumlah minimal. Seandainya melaksanakan
lebih dari dua raka‟at, maka itu diperbolehkan. Secara zhahir disyaratkan
salam pada setiap dua raka‟at sehingga tercapailah sebutan dua raka‟at.
60 Al-Nawawi, Syarah Sahih al-Muslim, Penerjemah Hazim Muhammad, (Jakarta: Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 149
61 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
Dengan begitu, tidak sah jika salat empat raka‟at – misalnya - dengan satu salam. Namun, pendapat al-Nawâwî menunjukan itu sah.
ض فلا غ (Selain salat Fardu). Ini mengeluarkannya dari salat
Subuh. Kemungkinan juga bahwa yang dimaksud dengan faridah adalah yang fardu dan yang terkait dengannya, sehingga tidak termasuk salat sunnah
rawatib, seperti dua raka‟at salat fajar. Tampaknya yang lebih tepat adalah
jika seseorang meniatkan salat tersebut (salat sunnah tersebut) dan salat
Istikhârah bersamaan, maka itu sah. Ini berbeda halnya jika tidak diniatkan
demikian. Hal ini juga dibedakan dari salat Tahiyatul Masjid, karena
maksudnya adalah mengisi tempat dengan do‟a, sedangkan yang dimaksud
dengan salat Istikhârah adalah menempatkan do‟a setelahnya atau di
dalamnya. Jika melaksanakan salat sebelum adanya perkara yang dimaksud,
maka tidak sah, karena konteks kalimatnya menunjukan bahwa salat dan do‟a
itu setelah adanya perkara yang dimaksud.
Al-Nawâwî menyatakan bahwa pada dua raka‟at salat Istikhârah
dibacakan surat Al-Kâfirûn dan surat al-Ikhlâs. Guru kami mengatakan dalam
Syarh Al-Tirmidzî, “Aku tidak menemukan dalilnya. Kemudian
mengaitkannya dengan dua raka‟at fajar dan dua raka‟at setelah maghrib”.
Al-Nawâwî mengatakan, “Kedua surat itu sangat cocok dengan kondisinya
karena mengandung keikhlasan dan tauhid, sementara orang yang
beristikharah memang memerlukan hal itu”. Guru kami mengatakan,
“Cocoknya adalah dengan membaca misalnya surah Al-Qasas ayat 68, ٓ ٓ ٓ
memilihnya) dan surah Al-Ahzâb ayat 36, لا ضق ا ٳ ل ل
ٲ اً ٲ ل س (Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain])”62.
Saya (Ibnu Hajar) katakan, yang lebih sempurna adalah membaca surah dan
ayat pertama tadi pada raka‟at pertama dan yang lainnya pada raka‟at
kedua.63
Disimpulkan dari sabda beliau, ض فلا غ (selain yang fardu),
bahwa perintah melaksanakan dua raka‟at salat Istikhârah adalah tidak wajib.
Guru kami mengatakan dalam Syarh Al-Tirmidzî, “Saya belum pernah
melihat orang yang menyatakan wajibnya Istikhârah dengan alasan adanya
perintah untuk melakukannya diserupakannya dengan mengajarkan surah
al-Qur‟an, sebagaimana dia berdalil yang seperti itu dalam mewajibkan
tasyahhud dalam salat karena adanya perintah ungkapan, ّ ف (hendaklah
mengucapkan) yang juga diserupakan dengan mengajarkan surah al-Qur‟an.
Jika ada yang mengatakan bahwa perintah tersebut terikat dengan syarat
(condition), yaitu ucapan beliau, أل حأ ا ٳ (Apabila seseorang dari
kalian hendak [melakukan] suatu perkara), maka kami katakana, Demikian
juga tasyahhud, karena itu juga diperintahkan bagi orang yang salat. Jadi
62
Muhyiddin Abî Zakariyyâ Yahya Ibn Syaraf al-Nawâwî, Al-Adzkâr, (Surabaya:
al-Hidayah, 1995), h. 111
63 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
walaupun keduanya serupa tapi bisa dibedakan, karena tasyahhud merupakan
bagian dari salat, maka landasan yang mewajibkannya adalah sabda beliau
SAW, صٲ ت أ ا ص (Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku
salat), sedangkan yang menunjukan tidak wajibnya salat Istikharah adalah
dalil yang menunjukan tidak wajibnya salat selain yang lima waktu, yaitu
yang disebutkan dalam hadis, طت أ ل , :ل ق ؟ غ ّ (Adakah yang
wajib atasku selain itu? Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau mau
bertatawwu”). Walaupun dapat menggunakan dalil tersebut untuk
menyatakan tidak wajibnya dua raka‟at Istikhârah, namun tidak menghalangi
untuk dijadikan dalil akan wajibnya doa Istikhârah.64 Tampaknya yang
mereka pahami bahwa perintah itu sebagai anjuran sehingga mereka mengalihkannya dari status wajib, tetapi karena mengandung zikir kepada Allah dan menyerahkan perkara kepada-Nya, maka itu menjadi sunnah.
Kami katakan, secara zhahir menunjukan untuk berdo‟a setelah salat,
tapi bila do‟a itu di tengah, maka itu pun sah. Jadi kemungkinan maksud
pengurutannya adalah memulai salat sebelum do‟a, karena letak do‟a setelah
salat adalah saat sujud atau tasyahhud. Ibnu Abî Jamrah mengatakan,
“Hikmah mendahulukan salat daripada do‟a, adalah karena tujuan Istikhârah
adalah tercapainya kebaikan dunia dan akhirat, maka perlu mengetuk pintu Yang Maha Raja. Untuk itu, tidak ada yang lebih manjur daripada salat yang
64 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih