• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salat sunnah istikharah dalam perspektif hadis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Salat sunnah istikharah dalam perspektif hadis"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S, Th.i)

Bahrudin

106034001221

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Juni 2011

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan segala nikmat Iman Islam karena atas kehendak dan kuasanya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Salat Sunnah Istikharah Dalam Perspektif Hadis dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammmad SAW, suri tauladan dalam aktivitas kehidupan, serta kepada para keluarga dan sahabatnya.

Dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil.

Karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Sebagai rasa syukur penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Prof. Dr. Zainul Kamaluddin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Bustamin, M.Si, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin

(6)

kesabaran telah banyak memberi semangat dan dorongan serta arahan dalam membimbing di tengah kesibukan Beliau, sehingga pada akhirnya skripsi ini menjadi lebih baik dan sempurna.

4. Seluruh Dosen Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah banyak memberikan ilmu dan pembelajaran kepada penulis.

5. Pimpinan dan Seluruh Staf Karyawan Perpusatakaan Utama dan Perpustakaan

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas berupa sumber-sumber yang berkaitan dengan skripsi penulis.

6. Ayahanda Drs. Mustafa dan Ibunda Komariah, terima kasih atas segala kasih

sayang, perhatian, pengertian dan motivasinya yang sangat berperan dalam hidup, semoga Ayahanda dan Ibunda selalu diberi kesehatan, kebahagiaan dan umur panjang sehingga ananda diberi kesempatan untuk menunjukkan besarnya cinta ananda pada kalian.

7. Yang tak lupa kekasih tercinta, yang selalu hadir dan mendampingi penulis

(7)

Makasih atas kebersamaannya kita saling mengenal, berbagi dan menjalin persahabatan bahkan persaudaraan.

Mudah-mudahan segala bantuan serta budi baik yang penulis terima selama menjalani pendidikan mendapatkan ridha dari Allah SWT. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif agar lebih baik lagi.

Akhirnya penulis menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Mudah-mudahan dapat balasan yang lebih baik. Harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan fikiran dan saran untuk perkembangan dalam pendidikan khususnya bidang tafsir dan hadis

.

Jakarta, 15 Juni 2011

(8)

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ع ‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

(9)

ه h ha

ء ‘ apostrof

(10)

KATA PENGANTAR ………. v

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ………….. 8

D. Metodologi Penelitian ……….. 9

E. Kajian Pustaka ………... 10

F. Sistematika Penulisan ……….. 11

(11)

4. Syarat-syarat Sebelum Salat Istikharah ………… 34

5. Hikmah Salat Sunnah Istikharah ……….. 37

BAB III ANALISA KANDUNGAN HADIS TENTANG SALAT SUNNAH ISTIKHARAH

A. Teks-teks Hadis dalam Al-Kutub Al-Sittah ………… 40

B. Syarah Hadis ………... 44

C. Pandangan ulama hadis tentang salat Istikharah ……. 56

D. Kandungan Hadis ……… 60

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ………. 62

B. Saran-saran ……... 63

(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ibadah dalam Islam bukan semata-mata melaksanakan ritus yang diwajibkan, tetapi lebih jauh lagi adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT, melaksanakan kehendak-Nya melalui jalan dan cara yang ditetapkan-Nya. Ibadah mencakup sekaligus makna sepenuh hati dan penyembahan yakni, seseorang tidak hanya melaksanakan ritusnya saja,

tetapi juga memahami dan melaksanakan yang terkandung di dalamnya.1

Al-Qur‟an dan hadis sehubungan dengan itu, telah menggambarkan

kepada seluruh umat Islam mengenai taat ibadah kepada Allah SWT, hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak-Nya. Salat adalah salah satu ibadah yang dimaksudkan, yang tata cara dan ketentuannya telah digariskan lewat syariat. Ibadah salat memiliki keistimewaan tersendiri sehingga posisinya tidak kalah penting dengan syahadat. Oleh karenanya, tidak heran bila salat memiliki

konsep yang jelas, tegas dan baik dalam al-Qur‟an maupun hadis, yang

(13)

Salat adalah ibadah yang paling awal diwajibkan langsung, yang diwahyukan oleh Allah SWT, dan diwajibkan tanpa melalui malaikat Jibril.

Salat diwajibkan pada waktu Mi‟raj Nabi Muhammad SAW, berbeda dengan

perintah-perintah yang lain, ketika Allah SWT memerintahkan puasa cukup dengan menurunkan ayatnya, saat memerintahkan orang yang mampu untuk melaksanakan haji cukup dengan firman-Nya, waktu Allah SWT memerintahkan untuk kita membayar zakat juga sekedar menurunkan

wahyu-Nya. Itulah salah satu keistemewaan dari salat.2

Salat bukanlah semata-mata gerakan badan dan bacaan yang hampa dari makna esensinya, melainkan simbol ajaran hidup dalam kehidupan manusia, misalnya tentang hakekat keutamaan salat tepat pada waktunya, mengerjakan bagaimana pentingnya waktu dalam kehidupan, salat dikerjakan dengan

khusyu‟, disini ada pesan tersendiri dalam kesungguhan atau melatih

konsentrasi dalam pekerjaan.

Tak ada satupun yang lebih dipentingkan oleh al-Qur‟an selain salat, al

-Qur‟an mengatakan kewajiban salat dengan berbagai susunan kata-kata

dengan perintah yang tegas, memuji-muji orang salat dan mencela orang yang meninggalkannya. Supaya kita dapat memahami bahwa salat itu tiang

agama.3

Salat Tiang Agama, (Malaysia : Percetakan Ja‟far sdn,

(14)

Salat merupakan ibadah paling utama yang membuktikan ke-Islaman seseorang, dan untuk mengukur keimanan seseorang dapat dilihat dari kerajinan dan keikhlasan dalam mengerjakan salat. Islam memandang salat sebagai tiang agama dan intisari Islam terletak dalam salat. Sebab dalam salat terkumpul seluruh rukun agama. Didalam salat terdapat ucapan

“syahậdataỉn”, kesucian hati terhadap Allah SWT, agama dan manusia.

Salat merupakan rukun Islam yang terbesar dan absolute. Karena

besarnya kedudukan dan posisi salat, maka ia tidak boleh ditinggalkan oleh seorang Muslim bagaimanapun kondisinya, kecuali bagi mereka yang kewajiban salatnya telah gugur, seperti orang hilang akal, serta wanita haid dan nifas. Salat wajib dilakukan baik orang sakit, sehat, fakir, kaya dalam kondisi takut, aman dan lain-lain.

Selain salat fardu Nabi Muhammad SAW. juga melakukan salat sunnah, salat itu dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan mengharapkan tambahan pahala. Salat sunnah banyak macamnya, diantaranya ada yang disunnahkan berjamaah dan ada pula yang tidak disunnahkan berjamaah. Salat sunnah dianjurkan dalam

beribadah kepada Allah SWT,4 sebagaimana di bawah ini :

4 Muhammad Rifa‟i

, Fiqih Islam lengkap, (Kuala Lumpur : Pustaka Jiwa, 1996),

(15)

“Menceritakan kepada kami „Alȋ bin Nasir bin „Alȋ al-Juhdamȋ menceritakan kepada kami Sahl bin Hammâd menceritakan kepada kami Hammâm berkata : menceritakan kepada kami Qatâdah dari al-Hasan dari

Huraĩts bin Qobȋ sah berkata : Aku mendengar Abȋ Huraȋ rah berkata :

Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya amalan-amalan manusia yang mula-mula dihisab pada hari kiamat ialah salat. Jika salatnya sempurna dicatatlah beruntung dan lulus, dan jika terdapat sesuatu kekurangan Allah berfirman pula : periksalah, apakah hamba-Ku mempunyai amalan salat sunnah? Jika ia mempunyai amalan salat sunnah lalu Allah berfirman : sempurnakan salat fardu hamba-Ku yang kurang dengan salat sunnahnya kemudian diperhitungkan amalan-amalan itu

dengan cara demikian”. (HR. al-Tirmidzȋ )

Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah, mereka

sangat membutuhkan bantuan dari Allah Ta‟ala dalam semua urusan mereka.

Hal itu karena dia tidak mengetahui hal yang ghaib sehingga dia tidak bisa mengetahui mana amalan yang akan mendatangkan kebaikan dan mana yang akan mendatangkan kejelekan bagi dirinya. Karenanya, terkadang seseorang hendak mengerjakan suatu perkara dalam keadaan ia tidak mengetahui akibat yang akan lahir dari perkara tersebut atau hasilnya mungkin akan meleset dari perkiraannya. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW mensyariatkan adanya

5Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûs bin al-Dahhak al-Sulam̭ ȋ al-Bugȋ al-Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Kitab al-Salah, bab MậJa’a anna awwalu mâ yuhasabu

(16)

Istikhậrah yaitu permintaan kepada Allah agar berkenan memberikan

hidayah kepadanya menuju kepada kebaikan. Yang mana doa Istikhậrah ini

dipanjatkan kepada Allah setelah dia mengerjakan salat sunnah dua rakaat. Allah berfirman dalam surat al-Qashash ayat 68-70



memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan Hanya

kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (Q.S. al-Qasas:68-70)

Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubî berkata, “Sebagian ulama

mengatakan ”Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk mengerjakan sesuatu

urusan dari urusan dunia kecuali setelah dia meminta pilihan kepada Allah

dalam urusan tersebut”. Yaitu dengan salat dua rakaat salat Istikhârah.

Menurut Abû Ubaidah Masyhûr ibn Hasan Mahmûd ibn Salmân menyatakan bahwa para ulama sepakat sesungguhnya orang yang beristikhârah melakukan apa yang menjadi kelapangan atau kemantapan

(17)

berdo‟a kepada Allah melalui salat, sedangkan salat itu sendiri adalah do‟a

yang dengannya Allah memilihkan sebuah kebaikan dari setiap urusan,

kemudian menyempurnakannya.6

Jika Allah memberikan kelapangan dada dan kemantapan hati maka Allah memberikan pula kemudahan untuk mendapatkan kebaikan, yang akhirnya berbuah ridha dan bahagia. Akan tetapi, jika hal itu adalah hal yang tidak dikehendaki, ketahuilah bahwa sesungguhnya itu juga sebuah kebaikan,

dia harus ridha dengan setiap ketentuan-Nya.7

Yang selama ini yang kita tahu bahwa jika seseorang mengalami kegundahan dalam memilih sesuatu antara dua hal, yang mana kita ingin mengetahui diantara kedua hal ini, yang lebih baik kita kerjakan terlebih dahulu, maka dengan adanya hal tersebut masyarakat meyakini bahwa

dengan Istikhậrah kita akan mendapatkan yang lebih baik.

Salat Istikhậrah akan memberikan kita inspirasi untuk sampai kepada

keputusan yang membahagiakan itu. Kecemasan dan kegalauan akan

dikendurkan melalui istikhậrah. Rupanya, salat ini diciptakan agar kita

mengalami flow dari masalah yang sedang meruwetkan. Begitu pikiran

6Masyhûr ibn Hasan Mahmûd ibn Salmân, Al-Qaulu al-Mubĭn Akhtâ’I al

-Muslim, (Bandung: Pustaka Azzam, 2000), h. 63 7 Muhammad Abu Ayyash,

Keajaiban Salat Istikhậrah, (Jakarta: Qultum Media,

(18)

dipenuhi kebimbangan akan satu masalah atau kebingungan memilih jalan ini atau itu .8

Dalam salat Istikhârah terdapat perbedaan mengenai jumlah rakaatnya

dikemukakan para ulama hadis dan fiqh tentang pendapatnya berdasarkan nash yang sama. Sehingga timbul perbedaan mengenai salat Istikhârah dalam perspektif hadis dan fiqh.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji sebuah

penelitian dengan judul “SALAT SUNNAH ISTIKHÂRAH DALAM

PERSPEKTIF HADIS”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengkaji atau meneliti suatu permasalahan tentunya tidak terlepas dari pembatasan dalam berbagai aspek terkait dengan permasalahan tersebut. Untuk lebih mengarahkan penulisan dalam skripsi ini, penulis perlu

memberikan pembatasan dalam penelitian, yaitu :

1. Hadis yang akan penulis teliti adalah hadis-hadis yang termaktub dalam

al-Kutub al-Sittah tentang salat sunnah istikhậrah.

2. Syarah hadis Ibnu Hajar al-Asqalânî

3. Pandangan ulama hadis tentang salat sunnah istikharah

Dengan adanya pembatasan di atas, penulis mengarahkan pembahasan ini dengan rumusan masalah yang akan menjadi bahasan dalam skripsi adalah Bagaimana pemahaman Ibnu Hajar al-Asqalânî

8 Qomaruzzaman Awwab

, Istikhậrah for Muslimah, (Bandung: DAR! Mizan, 2008),

(19)

tentang salat sunnah istikhậrah dalam kehidupan sehari-hari menurut hadis

Nabi SAW?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian dari skripsi ini di bagi pada dua hal yaitu:

a. Tujuan Akademis

Secara akademis tujuan penelitian ini adalah sebagai syarat meraih gelar sarjana (S1), serta pengembangan dan sumbangan terhadap hazanah perkembangan ilmu hadis khususnya di Indonesia.

b. Tujuan Umum

Adapun secara umum ialah menjadi bahan wacana terhadap pengembangan hazanah keilmuan di bidang hadis, juga untuk mengetahui bagaimana pemahaman Îbnu Hajar al-Asqalânî tentang

salat sunnah istikhậrah dalam kehidupan sehari-hari.

2. Manfaat penelitian ialah memberikan pemahaman tentang maksud

hadis-hadis yang membahas salat Istikhậrah serta menggambarkan pemahaman

tentang salat Istikhậrah itu sendiri dari sudut pandang hadis dan

ungkapan para ulama fiqih. Agar tidak terjebak dalam pemahaman yang salah karena kurangnya pengetahuan akan hadis.

D. Metodologi Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data

Penulis memakai metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode

penelitian pustakaan (library research) artinya data-datanya berasal dari

(20)

sebagainya, termasuk juga data primer seperti kitab-kitab hadis, maupun data sekunder, seperti data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini.

2. Metode Pembahasan

Pembahasan ini pada dasarnya adalah analisa hadis, yaitu studi objek kajiannya adalah hadis-hadis Nabi SAW. Yang dalam hal ini berkaitan erat

dengan masalah salat sunnah istikharah sebagai studi hadis, studi ini

menggunakan metode pencarian hadis, artinya pembahasan ini berupaya mencari hadis-hadis yang berkaitan dengan salat sunnah istikharah, kemudian mengemukakan hadis-hadis yang berkaitan dengan salat sunnah dan macamnya, setelah itu baru dianalisis kandungan hadis-hadis tersebut.

3. Metode penulisan

Adapun penulisan skripsi merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan

Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang disusun oleh Tim UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta9 dengan beberapa pengecualian:

9 Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah(Skripsi, Tesis dan

(21)

E. Kajian Pustaka

Berdasarkan hasil pengamatan dan studi di Perpustakaan telah ditemukan beberapa penelitian sebelumnya. Adapun review studi terdahulu yang penulis telah kaji adalah:

1. Salat Fajar dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Kajian Tematik Hadis, ditulis

Oleh Bambang Triatmojo Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

Skripsi diatas menjelaskan waktu dan di anjurkannya salat fajar.

2. Fadilah Salat Sunnah Rawatib dalam Perspektif Hadis, ditulis Oleh

Fitriyah Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006.

Tema tentang salat banyak dibahas, namun dalam judul berbeda-beda diantaranya tentang salat sunnah rawatib, dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang fadilah salat sunnah rawatib dan fungsinya. Skripsi tersebut didapat dari perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Keajaiban Salat Istikhârah, ditulis oleh Muhammad Abu Ayyash

diterbitkan oleh Qultum Media Tahun 2008.

Salat Istikharah ditulis oleh Moh. Rifa‟i.

(22)

Secara khusus penulis berbeda dengan skripsi dan buku di atas, karena

skripsi ini lebih menjelaskan akan kaîfiyah salat Istikharah daripada fadilah

-nya.

F. Sistematika Penulisan

Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi dalam penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika penulisan.

Secara garis besar skripsi ini terdiri dari empat bab. Setiap bab dibagi menjadi sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yang antara satu dan lainnya saling berkaitan.

Pada bab pertama, merupakan pendahuluan yang di dalamnya dijelaskan tentang latar belakang munculnya permasalahan penelitian ini. Setelah itu permasalahan yang muncul dibatasi dan menetapkan permasalahan yang menjadi masalah utama serta arti penting dan manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini bagi studi Islam.

Karena penelitian ini bersifat ilmiah maka diadakan tinjauan pustaka dengan tujuan untuk memposisikan studi ini diantara studi-studi terkait lainnya yang pernah dilakukan atau searah dengan penelitian ini. Kemudian diuraikan metode penelitian yang akan penulis pakai untuk menyelesaikan penelitian ini. Dan pada pembahasan terakhir dari bab pertama ini, penjelasan mengenai sistematika pembahasan.

(23)

adalah termasuk salat sunnah. Dan juga untuk mengetahui pandangan dari para ulama hadis dan ulama fiqh akan letak perbedaan kedua pendapat tersebut.

(24)

BAB II

SALAT

SUNNAH ISTIKHÂRAH

A. Salat Sunnah

1. Pengertian Salat Sunnah

Sesungguhnya salat sunnah itu merupakan saham pelaburan-pelaburan yang akan mendatangkan keuntungan yang banyak kepada

pengamalnya di samping salat wajib yang merupakan simpanan tetap.10

Diantara sejumlah keutamaan umat Nabi Muhammad SAW, bahwa Allah SWT menganugerahkan pahala yang besar kepada orang yang

mengamalkan salat-salat nafilah di rumah, bahkan oleh Rasulullah SAW itu

disebut sebagai nur (cahaya). Mengenai hal itu beliau mengatakan bahwa

salat nafilah yang dilakukan orang di rumahnya adalah cahaya terang. Karena

itu hendaklah rumah kalian dengan cahaya itu.

Yang dinamakan cahaya terang ialah cahaya yang menerangi hati agar

dalam khalwat-nya (kesendiriannya di rumah) hati orang yang bersangkutan

lebih merasa tunduk dan khusu’ terhadap Allah SWT, dengan demikian ia

tidak menjadi lengah bahkan lebih mesra hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya, ia dapat mengutarakan bisikan hatinya kepada Allah SWT hingga ia benar-benar merasakan betapa agungnya kebesaran Allah SWT. Ia akan merasa betapa rendah dan hinanya ia berada di hadapan Allah SWT.

10

(25)

Menganjurkan agar orang mengamalkan salat-salat nafilah di rumah dengan

maksud agar rahmat Allah SWT melambai-lambai di atasnya lalu meratakan cahaya iman terang benderang. Selain itu juga dimaksudkan agar orang seisi

rumah itu merasakan kedekatan terhadap Allah SWT. Semua fadĩlah yang

diberikan Allah SWT itu patut dipuji dan disyukuri sebagai nikmat yang dilimpahkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya. Seseorang dari kalian jika telah menunaikan salatnya di masjid hendaknya ia mengamalkan

salat-salat nafilahnya agar di rumahnya memperoleh bagian dari salatnya. Allah

akan menjadikan sebagian dari salatnya itu sebagai kebajikan rumahnya.11

Allah akan merahmati rumah yang di dalamnya terdapat ketaatan

kepada Allah SWT. Zikir, ibadah, tasbih dan membaca al-Qur‟an sama

dengan tempat bernaungnya orang-orang yang salat. Rumah yang suasananya demikian itu penuh kesejahteraan dan keridhaan. Sedangkan rumah yang kosong dari zikir dan tidak mengingat Allah SWT, maka rumah itu akan tandus, gersang dan bobrok. Rumah yang penghuninya seperti itu jauh dari suasana tentram, bahkan penuh dengan hawa nafsu amarah yang diliputi dengan kedengkian dan kedurhakaan. Di dalam rumah seperti itu setan-setan berpesta pora, lain halnya dengan rumah yang di dalamnya disebut-sebut

keagungan Allah SWT (zikrullah).

Disamping itu juga terdapat fadilah dalam mengerjakan salat sunnah

yang dilakukan di rumah dibandingkan melakukan salat sunnah di depan orang banyak. Seseorang yang melakukan salat sunnah di rumah lebih

11

(26)

banyak mendatangkan rahmat Allah SWT dan terhindar dari kemungkinan timbulnya kemunafikan dan jauh dari mata orang-orang yang memujinya, sedangkan jika kita melaksanakan salat sunnah di depan banyak orang dapat

membangkitkan perasaan riya dan pujian orang lain.

2. Macam-macam Salat Snnah

Salat sunnah terbagi dua macam, yaitu :12

1. Salat Mutlaq

Dalam salat sunnah mutlaq ini, cukuplah seseorang berniat saja.

Jika ia melakukan salat sunnah dan tidak menyebutnya berapa raka‟at

yang akan dikerjakan dalam salatnya itu, ia boleh mengucapkan salam

pada satu raka‟at atau lebih, berapapun jumlahnya baik pada raka‟at

ganjil atau pada raka‟at genap.

2. Salat Muqayyậd

Salat muqayyậd terbagi menjadi dua macam :

a. Yang disyariatkan sebagai salat-salat sunnah yang mengikuti salat

fardu yang disebut salat sunnah rawatib. Seperti salat sunnah zuhur

dan sebagainya.

Beberapa pendapat tentang salat sunnah rawatib menurut para

ulama, yaitu :

Menurut Mazhab Syafi’iyah, salat sunnah rawatib ada sebelas

raka‟at, yaitu dua raka‟at sebelum subuh, dua raka‟at sebelum zuhur dan

12 Muhammad Jawad Mugniyah,

al-Fiqh ‘alâ al-Madzahib al-Khamsah, (Beirut :

(27)

dua raka‟at sesudahnya. Dua raka‟at setelah maghrib dan dua raka‟at

setelah isya‟.

Menurut Mazhab Hanbali, sepuluh raka‟at, yaitu dua raka‟at

sebelum dan sesudah zuhur, dua raka‟at sesudah maghrib, dua raka‟at

setelah isya‟ dan dua raka‟at sebelum salat subuh.

Menurut Mazhab Hanafiyah, salat rawatib itu terbagi menjadi

kepada sunnah masnunah dan salat sunnah mandudah.13 Salat

masnunah ada lima salat, yaitu: dua raka‟at sebelum subuh, empat raka‟at sebelum zuhur dan dua raka‟at setelahnya selain hari jum‟at, dua

raka‟at setelah maghrib dan empat raka‟at setelah isya‟. Sedangkan

salat-salat yang mandudahada empat salat, yaitu empat raka‟at sebelum

aşar, dan kalau mau dua raka‟at saja, enam raka‟at setelah maghrib,

empat raka‟at sebelum isya‟ dan empat raka‟at setelahnya.

Menurut Mazhab Mâlikiyah, untuk salat-salat sunnah rawatib

tidak ada batas tertentu dan tidak ada pula jumlah khusus, hanya yang

paling utama adalah empat raka‟at sebelum zuhur dan enam raka‟at

setelah maghrib.

13 Mazhab Hanafiyah mempunyai istilah-istilah tentang apa yang wajib dikerjakannya dan yang tidak boleh ditinggalkannya, yang sama dibagi dua, yaitu : fardu

apabila perbuatan itu ditetapkan berdasarkan dalil qat’I (pasti), seperti al-Qur‟an, hadis yang mutawattir dan ijma‟. Kedua, wajib apabila ditetapkan berdasarkan dalil Danni (perkiraan), seperti qiyas dan hadis yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan perbuatan yang lebih baik (kuat) untuk dikerjakannya dari pada ditinggalkan di bagi kedalam dua bagian juga, yaitu masnun : perbuatan yang dilakukan oleh Nabi,

Khulafa’ur Rasyidîn, yang kedua mandud, perbuatan yang diperintahkan oleh Nabi tetapi

tidak bisa dilakukan oleh beliau sendiri. Juga perbuatan yang wajib ditinggalkannya dan tidak boleh dilakukannya, kalau ia ditetapkan berdasarkan dalil qat’I (pasti), maka perbuatan yang dilarang itu adalah haram. Bila perbuatan yang ditetapkan berdasarkan

(28)

Menurut Mazhab Imâmiyah, salat rawatib itu setiap hari ada tiga

puluh empat raka‟at, yaitu : delapan raka‟at sebelum zuhur, delapan

raka‟at sebelum aŝar, empat raka‟at sesudah maghrib dan dua raka‟at

sesudah isya‟, tetapi dua raka‟at yang terakhir ini (dua raka‟at sesudah

isya‟) dilakukan sambil duduk, dan ia hitung satu raka‟at serta

dinamakan salat witir, dan delapan raka‟at salat malam, dua raka‟at

untuk meminta syafa’at, satu raka‟at untuk witir14dan dua raka‟at untuk

salat subuh, yang dinamakan salat fajar.

Salat sunnah rawatib terbagi menjadi dua macam, yaitu : 1. Salat Sunnah Muakkad (sangat dianjurkan)

Salat sunnah muakkad adalah salat sunnah yang sering

dikerjakan Rasulullah dan jarang sekali ditinggalkan. Salat sunnah

rawatib yang muakkad terdiri dari sepuluh raka‟at, yaitu: dua raka‟at sebelum subuh, dua raka‟at sebelum dan sesudah zuhur, dua

raka‟at sesudah maghrib dan dua raka‟at sesudah isya‟.

2. Salat Sunnah Ghairu Muakkad

Salat sunnah ghairu muakkad adalah salat sunnah yang

jarang dikerjakan dan yang sering ditinggalkan. Yaitu dua raka‟at

sebelum salat zuhur dan raka‟at sesudahnya. Jadi, salat sunnah

zuhur yaitu empat raka‟at sebelumnya dan empat raka‟at

sesudahnya ; dua raka‟at penting, sedangkan dua raka‟at lagi kurang

14 Salat

witir menurut Hanafiah ada tiga rakaat dengan satu salam. Waktunya

(29)

penting. Empat raka‟at sebelum Asar dan dua raka‟at sebelum

maghrib.15

Sabda Rasulullah SAW :

“Menceritakan kepada kami Abû Bakar Muhammad bin Ishaq

al-Baghdâdȋ , menceritakan kepada kami „Abdullâh bin Yûsuf al-Tinĭsĭ

al-Sya‟mĭ, menceritakan kepada kami al-Hārits bin Humȋ d,

memberitahukan kepadaku al-„Alậ yaitu Ibn al-Hârits dari al-Qâsim

Abĭ „Abdurrahmân dari „Anbasah bin Abĭ Sufyân, berkata : Aku

mendengar saudara perempuanku Ummî Habîbah istri Rasulullah

SAW berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :”Siapa

orang yang mengerjakan salat empat raka‟at sebelum zuhur dan empat

raka‟at sesudahnya, Allah mengharamkan api neraka baginya”.(HR.

al-Tirmidzĭ).

Sabda Rasulullah SAW :

15 Sulaiman Rasjid,

Fiqhul Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2006), Cet.

Ke-36, h. 144-145

16

(30)

“Menceritakan kepada kami Yahâya bin Mûsậ dan Mahmûd bin

Ghaȋ lận dan Ahmad bin Ibrahîm al-Dauraqĭ, mereka berkata :

Menceritakan kepada kami Abû Dâwud al-Tayalisî menceritakan kepada kami Muhammad bin Muslim bin Mihran kakeknya mendengar

dari Ibn „Umar, Nabi SAW bersabda:“Allah memberi rahmat kepada

seorang manusia yang salat empat raka‟at sebelum asar”.(HR.

al-Tirmidzĭ)

b. Yang terkait dengan waktu tertentu, seperti : salat sunnah duha, witir dan

lain sebagainya.

Salat sunnah tatawwu adalah salat duha yang hukumnya sunnah. Waktunya dimulai sejak matahari sudah naik kira-kira sepenggalah sampai dengan tergelincir. Tetapi yang lebih utama ialah dikerjakan sesudah lewat seperempat siang hari.

Zaîd bin Arqam meriwayatkan yang artinya :

“Rasulullah keluar menuju penduduk Qubâ yang sedang

mengerjakan salat duhâ, lalu katanya : salat Awwabin (salat yang kembali kepada Allah) ialah salat yang dilakukan di waktu

17 Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûs bin al-Dahhak al-Sulam̭ ȋ al-Bugȋ al-Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Juz.2, h.276

(31)

anak unta bangkit Karena kepanasan waktu duha. (HR.

al-Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abŭ Basrah :

“Menceritakan kepada kami „Alĭ bin Ishâq menceritakan kepada kami „Abdullah- yaitu „Ibn al-Mubārak- memberitahukan kepada kami Sa‟ĭd bin Yazĭd menceritakan kepadaku Ibn Hubairah dari Abĭ Tamĭm al-Jaisyānî, „Umar bin al-„As berkata : sesungguhnya Ayah Basrah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW bersabda :”Allah telah menambahkan kepadamu suatu salat, yakni witir. Karena itu, kerjakanlah salat itu di antara salat isya‟ sampai dengan salat fajar”. (HR. Ahmad)

3. Fadilah Salat Sunnah

Salat sunnah memiliki banyak fadĭlah atau keutamaan. Berbagai

keutamaan tersebut merupakan bagian dari ungkapan kasih sayang Allah

(32)

terhadap hamba-hamba-Nya yang gemar beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan mendirikan salat-salat sunnah selain salar fardu. Diantara

keutaman-keutamaan salat sunnah adalah :20

1. Menyempurnakan Nilai Salat Fardu

Untuk memperbaiki nilai salat fardu yang dilaksanakan kurang sempurna, maka Allah SWT memberikan solusi yakni salat sunnah. Salat sunnah ini, khususnya salat sunnah rawatib dapat menjadi penyempurna salat fardu kita.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Menceritakan kepada kami „Alĭ bin Nasĭr bin „Alĭ al-Juhdamî

menceritakan kepada kami Sahl bin Hammâd menceritakan kepada kami Hammâm berkata : menceritakan kepada kami Qatâdah dari

al-Hasan dari Harĭts bin Qubaidah berkata: Aku mendengar Abĭ Hurairah berkata Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya

amalan manusia yang mula-mula dihisab pada hari kiamat ialah salat.

(33)

Jika salatnya sempurna dicatatlah sempurna, dan jika terdapat sesuatu kekurangan Allah berfirman pula : periksalah, apakah hamba ku mempunyai amalan salat sunnah? Jika ia mempunyai amalan salat sunnah lalu Allah berfirman : sempurnakanlah salat fardu hambaku dengan salat sunnahnya. Kemudian diperhitungkan amalan-amalan itu

dengan cara demikian. (HR. Al-Tirmidzĭ)

2. Mengurangi Dosa yang Telah Lalu

Banyak dosa-dosa kecil yang tidak sengaja kita lakukan dalam aktivitas kita sehari-hari. Dengan membiasakan diri untuk melaksanakan salat sunnah maka dosa-dosa tersebut dapat dikurangi. Hal ini

diinformasikan melalui hadis Nabi Muhammad SAW :

“Menceritakan kepada kami Abŭ „Âmir menceritakan kepada kami

Hisyâm yaitu Ibn Sa‟ad dari Zaĭd yaitu Ibn Aslam dari „Atâ bin Yasâr

dari Zaĭd bin Khâlid al-Juhanî bahwa Rasulullah SAW bersabda: siapa

yang berwudu dan ia membaguskan wudunya kemudian salat (sunnah)

dua raka‟at ia tidak lupa/lalai akan keduanya maka Allah ampuni dosa

-dosanya yang telah lalu”.(HR. Ahmad)

22 Abdullâh Ibn Muhammad Ibn Hanbâl,

(34)

3. Mengangkat Derajat

Allah SWT mengangkat derajat hamba-hamba-Nya yang melaksanakan salat-salat sunnah dengan rutin disertai niat ikhlas

beribadah kepada Allah.23

4. Mendapatkan Rumah di Surga

Dalam sebuah hadis dikatakan :

“Menceritakan kepada kami Muhammad bin „Abdullâh bin Numaîr,

menceritakan kepada kami Abû Khâlid yaitu Sulaîmân bin Hayyân dari

Dâwud bin Abî Hindi dari al- Nu‟mân bin Sâlim dari „Amr bin Aûs,

berkata : Menceritakan kepadaku „Anbasah bin Abĭ Sufyân ketika

beliau dalam keadaan sakit, berkata : aku mendengar Ummi Habîbah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda Ummu Habîbah berkata : aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : siapa yang salat

12 raka‟at dalam sehari semalam akan dibangun baginya sebuah rumah

di surga”.(HR. al-Bukhârî)

Adapun manfaat salat sunnah secara umum untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjadikan sipelakunya sebagai orang-orang yang dicintai-Nya. Meningkatkan derajat dan martabat serta menjernihkan akal

23 Firdaus Wajdi, Salat Sunnah Favorit Nabi, h. 5

(35)

pikiran dan untuk mencegah dari perbuatan yang keji dan munkar.

Kitab (Al-Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah

mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Ankabut : 45)

Allah SWT memberi petunjuk kepada kita terutama kepada umatnya kepada jalan yang lurus bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang lebih tawar atau manis bagi seorang manusia melebihi dari bermunajat kepada Tuhannya berdiri dihadapan-Nya dan dekat dengan Tuhannya.

Seorang manusia ketika melanggengkan makan dengan satu menu makanan maka dengan segera ia merasakan bosan meskipun kenikmatan makanan itu sangatlah nikmat. Adapun jika berganti-ganti dari satu menu ke menu yang lainnya, maka ia akan menemukan kenikmatan menyantap tanpa

ada rasa bosan, inilah sesuatu yang hampir menjadi tabi‟at bagi semua

(36)

Ada hikmah yang lain lagi yaitu bahwa salat wajib yang telah ditetapkan kepada manusia untuk dikerjakan pada saat melakukannya hati diharuskan untuk dapat menjadi seperti cermin yang tercetak di dalamnya hal-hal yang dapat dilihat sesuai dengan gambar alaminya. Sedangkan salat sunnah yang dilakukan sebelum salat wajib itu menjadi seperti kemengkilapan bagi hati sampai ia mengerjakan salat fardu. Setelah melakukan salat sunnah kotoran-kotoran dan noda was-was serta segala urusan dunia yang mengganggu pada hatinya itu akan hilang. Ia pun akan dapat sepenuhnya menghadapkan untuk bermunajat kepada Tuhannya dan bersih hatinya dari semua yang selainnya.

B. Salat Istikharah

1. Pengertian, Waktu dan Hukum Salat Istikhârah a. Pengertian Salat Istikharah

Istikharah secara bahasa dari kata راخ – ريخت - هراتخا artinya

“memilih” atau “ minta dipilihkan”. Ketika ada tambahan huruf Alif, Sĩn

dan Ta menjadi ةريخلا بلط – راختسا maka dalam tata bahasa Arab berubah

menjadi mencari pilihan.25

Menurut istilah salat sunnah Istikhârah ialah salat sunnah dua

raka‟at untuk memohon kepada Allah ketentuan pilihan yang lebih baik

diantara dua hal atau lebih yang belum jelas ketentuan baik buruknya.26

25 Ahmad Marson Munawwir,

Kamus Lengkap al-Munawwir Arab Indonesia,

(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, h. 32

(37)

Arti Istikhârah menurut syariat Islam, disebutkan ada dua makna

Istikhârah, yaitu meminta kepada Allah suatu kebaikan, sedangkan yang

kedua meminta pilihan yang terbaik kepada Allah.27

Yakni apabila seseorang berhajat atau bercita-cita akan mengerjakan sesuatu maksud, sedang ia ragu-ragu dalam pekerjaan atau maksud itu, apakah dilakukan terus atau tidak. Maka memilih salah satu

dari dua hal diteruskan atau tidak, disunahkan salat Istikhârah dua

raka‟at.28

Rasulullah SAW memberitahukan kepada umat Islam tentang tanda-tanda kebahagiaan, jalan menuju kebaikan serta keselamatan dengan menyandarkan dan menyerahkan segala persoalan kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda beliau:

“Sa‟ad Ibn Abî Waqqâs ra. Berkata, Rasulullah bersabda: “ salah satu dari

kebahagian anak Adam adalah menyerahkan pilihannya kepada Allah

„Azza wa Jalla”. (HR. Ahmad)

Salat sunnah Istikhârah bukan berarti mencari mimpi, yakni sesudah salat Istikhârah kemudian tidur untuk mendapatkan impian yang

27 Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikhârah, h. 16

28 Mawardi Labay El-Sulthani, Zikir dan Do’a Mendirikan Salat yang Khusyu

Mencegah Manusia dari Perbuatan Keji dan Mungkar, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,

1999), cet. Ke-2, h. 217

(38)

memberikan alamat tentang maksud hajat itu. Salat Istikhârah ialah mencari kebaikan, artinya kalau kita mempunyai hajat, lalu melaksanakan salat Istikhârah, maka jika maksud hajat itu dilaksanakan kita akan memperoleh barakah dan jika tidak dilaksanakan juga akan

kedua, maka alangkah baiknya jika kita meneladani Rasulullah SAW. Imam Al-Nawâwî menjelaskan, Ia membaca pada rakaat pertama

sesudah al-Fâtihah adalah al-Kâfirûn dan rakaat kedua al-Ikhlâs. Beliau

bahkan menegaskan, Jika berhalangan mendirikan salat, maka boleh

ber-Istikhârahdengan berdo‟a saja. Dan disunnahkan memulai do‟a tersebut

dan menutupnya dengan Alhamdulillah, shalawat dan salam. Untuk

Rasulullah SAW Istikhârah itu disunnahkan dalam segala urusan,

sebagaimana diterangkan oleh nas hadis diatas yang shahih. Dan jika

telah ber-Istikhârah, lakukanlah menurut yang kuat dorongannya di

dalam hati.31

30 T.A. Lathief Rousydiy, Salat-Salat Sunnah Rasulullah SAW, Cet. 1, (Medan:

Firma “Rimbou” Medan, 1984), hal. 208

31 Zaîd Huseîn al-Hamîd, Terjemahan al-Adzkâr al-Nawâwî: Intisari Ibadah dan

(39)

Dalam mengerjakan salat Istikhârah tidak terdapat suatu bacaan

tertentu sebagaimana juga tidak perlu dikerjakan berulang-ulang. Salat

Istikhârah dilakukan seperti halnya kita melakukan salat sunnah lainnya,

yaitu dengan niat cukup di dalam hati untuk melakukan Istikhârah.

Dalam salat, niat cukup dilafalkan dalam hati seperti halnya Rasulullah SAW mengajarkan. Dalam Islam, setiap amalan ibadah seperti salat tidak ada pelafalan niat kecuali pada ibadah-ibadah tertentu yang sudah

ada nasnya.32

Demikian seorang mu‟min yang tidak pernah putus hubungannya

dengan Allah SWT yang Maha Mengetahui segala sesuatu, maka setiap kali ia menghadapi sesuatu persoalan dan setiap kali ia melakukan

sesuatu tindakan atau perbuatan, terlebih dahulu ia beristikhârah

(meminta pilihan) kepada Allah SWT, apakah yang harusnya dan bagaimana sebaiknya langkah yang harus diambil. Sampai-sampai ketika hendak melakukan sesuatu perjalanan untuk mencari rezeki dan karunia

Allah di muka bumi, ia tetap melakukan istikhârah terlebih dahulu.

Bukan seperti orang-orang zaman jahiliyah dahulu yang selalu mengundi nasib atau meminta tolong dengan mendatangi tukang tenun dan tukang sihir.33

Allah menamakan sebagai perbuatan fasik karena beralih kepada orang yang mengaku-ngaku mengetahui barang yang ghaib. Mereka

32 Muhammad Abu Ayyash,

Keajaiban Salat Istikhârah, h. 51

33 Latief Rousydi,

(40)

menempuh jalan Kahanah atau tenung, mereka meminta petunjuk

kepada tukang ramal.

Rasulullah SAW bersabda:

“Menceritakan kepada kami Muhammad Ibn al-Mutsannâ al-„Anazî,

Menceritakan kepada kami Yahyâ yaitu Ibn Saîd dari „Ubaîdillah dari

Nâfi‟ dari Safiyyah dari salah satu istri Nabi SAW bersabda : “Barang

siapa yang mendatangi tukang ramal dan meminta sesuatu kepadanya,

maka salatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari”. (HR.

Muslim)

b. Waktu Salat Istikhârah

(41)

Rasulullah SAW bersabda:

34

“Menceritakan kepada kami Yahyâ Ibn Abî Katsĭr dari Abî Salamah dari

Abî Huraîrah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila telah lewat

sebagian malam atau dua sepertiganya (tinggal yang sepertiga) Allah yang Maha Tinggi akan turun ke langit dunia, lalu berfirman: Tiada seorang pun yang meminta, pasti akan kuberi. Tiada seorang pun yang

berdo‟a. pasti akan Ku kabulkan do‟anya dan tiada seorang pun yang

memohon ampun pasti Ku ampuni, sehingga datang waktu subuh”. (HR.

al-Bukhârî)

Sedangkan menurut al-Nawawi, do‟a istikharah itu disunnahkan

meskipun setelah salat fardu maupun salat sunnah lainnya. Yang jelas,

ketika mendapatkan masalah atau ingin melakukan sesuatu maka beristikhârahlah.

Sedangkan menurut al-„Iraqî menyebutkan jika perkaranya datang

sebelum salat sunnah yang lain maka jangan melakukannya, akan tetapi

lakukanlah istikhârah itu setelah melakukan salat sunnah tersebut.

Dalam riwayat al-Tirmidzî disebutkan bahwa di suatu hari ada

seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah,

do‟a manakah yang sangat didengar oleh Allah? Beliau menjawab:

34 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî,

(42)

35

“Menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Yahyâ al-Tsaqafĭ al

-Marwazî, menceritakan kepada kami Hafs Ibn Ghiyâts dari Ibn Juraîj

dari „Abdurrahmân Ibn Sâbit dari Abî Umâmah berkata: Rasulullah

bersabda: “Pada waktu tengah malam dan sesudah salat fardu”. (HR. Al

-Tirmidzî )

Melihat kedudukan salat Istikhârah begitu penting, Rasulullah mengajarkan para sahabat dan kepada kita untuk tidak meninggalkannya, ketika datang sebuah masalah, pilihan atau akan melakukan sesuatu. Karena itu, merupakan bentuk penyerahan kepada Allah, agar Dia menuntun langkah kita dan memilihkan yang terbaik untuk dunia dan akhirat kita.36

c. Hukum Salat Istikhârah

Hukum salat sunnah istikhârah ialah Sunnah Mu‟akkad bagi yang

sedang menghajatkan petunjuk itu. Anjuran sunnah istikharah, itu sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

35 Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûs bin al-Dahhak al-Sulam̭ ȋ al-Bugȋ al-Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Juz.2, hal. 256

36

(43)

“Tidak akan kecewa bagi orang yang melaksanakan salat istikhârah, dan

tidak akan menyesal bagi orang yang suka bermusyawarah, dan tidak

akan kekurangan bagi orang yang suka berhemat”. (HR. Al-Tabrânî)

Dalam Kitab Sahih al-Bukhâri dimuat hadis yang menganjurkan salat istikhârah jika menghadapi sesuatu hal, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. Sebagai berikut:

Anjuran beliau dinyatakan dalam hadis sebagai berikut yang

artinya: “Jika kamu menghendaki sesuatu perkara, hendaklah kamu salat

dua raka‟at (bukan salat fardhu) lalu berdo‟alah ……….”.

37Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî,

(44)

2. Hajat yang di Istikhârahkan

Hajat yang dimaksud dalam istikharah ialah sesuatu yang bersifat

mubah. Sedang urusan-urusan yang wajib atau sunnah, kita disuruh mengerjakannya, sedangkan yang haram atau makruh, kita disuruh meninggalkannya. Andaikata kita memenuhi syarat diwajibkannya mengerjakan ibadah haji, maka untuk melaksanakan kewajiban ini kita juga

disunnahkan beristikharah, tetapi bukan untuk memilih apakah jadi

melaksanakan atau tidak, akan tetapi istikharah yang dimaksud ialah untuk

memperoleh barakah dan ketenangan dalam menunaikannya.38

3. Anjuran Salat Istikharah

Salat istikharah dianjurkan berdasarkan hadis riwayat Bukhâri yang

bersumber dari Jâbir Ibn Abdullah r.a. bahwa ia berkata:

38Moh. Rifa‟I, Salat Istikharah: Arti Salat Istikharah, Waktunya, Dasar Hukumnya,

Hajat apa yang dimaksud, Hasilnya serta Tata Caranya dan Do’a-do’anya, hal. 8

39 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî,

(45)

“Adalah Rasulullah SAW mengajarkan salat istikharah kepada kami dalam

beberapa perkara yang penting, beliau bersabda: “Apabila salah seorang

diantara kalian ragu terhadap sesuatu perkara, maka hendaklah ia salat

istikharah dua raka‟at, kemudian berdo‟a: Wahai Tuhanku, Sesungguhnya

aku memohon kepada-Mu memilih mana yang baik menurut pengetahuan-Mu dan aku memohon kepada-pengetahuan-Mu untuk memberi ketentuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon anugerah-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau Yang Berkuasa dan aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui akan hal yang ghaib. Wahai Tuhanku

……” (HR. Bukhârî)

4. Syarat-syarat sebelum di Istikhârahkan

Ada dua hal yang mendasarkan mengapa kita melakukan salat

istikharah, yaitu ketika menghadapi masalah berupa pilihan dan ketika akan

melakukan sesuatu hal. Maka, hendaknya setiap kita memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:40

1) Yang pertama ketika masalah yang kita hadapi berupa pilihan maka

syaratnya antara lain:

a. Ketika ada pilihan maka dipastikan sebelum melakukan salat

istikhârah kedua pilihan tersebut sudah melewati proses analisis

terkait dengan baik dan buruk kedua hal tersebut, efek negatif dan positifnya dan besarnya prosentase antara maslahat dan mudaratnya.

b. Ketika kebaikan lebih banyak dari pada keburukannya, ketika efek

positif lebih banyak dari pada efek negatifnya, dan maslahat lebih banyak dari pada mudaratnya, hal yang harus dilakukan adalah memilih yang lebih baik tadi. Berarti dianjurkan baginya untuk beristikhârah ketika akan melakukan sesuatu. Tinggal bagaimana ia

40Moh. Rifa‟I, Salat Istikharah: Arti Salat Istikharah, Waktunya, Dasar Hukumnya,

(46)

bertekad, setelah bertekad tinggal meningkatkan ketawakalannya

Artinya:“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku

lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S. al-„Imran (2): 159,)

c. Ketika akan melakukan salat istikhârah dan sudah melewati proses

analisis, dipastikan keduanya mempunyai poin fifty-fifty, tidak ada

kecenderungan pada salah satu dari keduanya. Karena dikhawatirkan jika hal ini terjadi, hawa nafsunyalah yang memilih. Imam

al-Nawawi menyampaikan, “Hendaknya seseorang itu melakukan apa

yang sudah menjadi kemantapan hatinya setelah Istikharah, bukan

berdasarkan atas pilihan pada salah satu diantara keduanya sebelum

(47)

2) Yang kedua, Istikhârah dilakukan ketika kita akan melakukan sesuatu

maka syarat yang harus dilakukan sebagai berikut:42

a. Niatkan segala sesuatunya kepada Allah, karena segala sesuatu itu

tergantung niatnya, seperti dalam sebuah hadis yang sering kita

dengar, diriwayatkan dari Amîr al-Mu‟minîn Abû Hafs Umar Ibn

Khattâb r.a. berkata, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung dari niatnya dan

setiap-setiap orang berada pada apa yang ia niatkan, barangsiapa yang hijrahnya pada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan diperolehnya atau kepada wanita

yang akan dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.”

(HR. Mutafaq ‘Alaih)

b. Sudah mengalami proses penilaian dan manajemen yang baik.

maksudnya adalah mengambil pilihan yang terbaik ketika ada beberapa pilihan. Contohnya adalah ketika seseorang mau menikah, kemudian dihadapkan pada sebuah pilihan terhadap beberapa calon

42Nasruddin Razak, Ibadah Salat Menurut Sunnah Rasulullah, (Bandung: PT.

(48)

pendamping hidupnya43. Maka, perlu jika suatu diantara mereka lebih baik agama dan akhlaknya berarti lebih baik menjatuhkan pilihan padanya. Berbeda halnya jika keduanya mempunyai potensi yang sama bagi agama dan akhlaknya maka perlu untuk melakukan

Istikharah.

c. Bukan suatu kekurangan jika kita meminta pendapat orang lain yang

lebih berpengalaman untuk memberikan masukan tentang baik

buruknya sesuatu.44

5. Hikmah Salat Istikhârah

Hikmah kenapa kita harus beristikharah kepada Allah,45 diantaranya sebagai berikut:

a. Keridhaan46 Terhadap Apa pun yang Allah Berikan47

Menurut Syaikh Muhammad Ibn Salih al-Utsaimin dalam kitabnya

al-Qaulul Mufia „ala Kitab al-Tauhih, membagi sabar menjadi tiga

bagian:

43 Al-Ghazali, Rahasia-rahasia Salat, Penerjemah: Moh. Al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1984), hal. 79

Keridhaan merupakan buah dari kesabaran yang bertahta di dada. Bersabar atas segala ketentuan Allah SWT.

47 Muhammad Abu Ayyash,

(49)

1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah

Bersabar dalam menjalankan segala ketaatan, bersabar menjalankan semua kewajiban yang telah dibebankan kepada kita. Seperti dalam firman-Nya pada surat Taha: 132

2. Bersabar terhadap kemaksiatan

Bersabar untuk tidak melakukan kemaksiatan, seperti halnya kesabaran Nabi Yusuf terhadap godaan Zulaikha, permaisuri tuannya. Seperti dalam firman-Nya pada surat Yusuf : 33.

3. Bersabar dan beriman terhadap takdir Allah

Beriman terhadap takdir Allah merupakan urutan keenam dalam rukun iman. Sedangkan faidahnya diantaranya sebagai berikut :

1) Merupakan ciri kenabian

2) Akan membuat hati menjadi tenang

3) Menghilangkan kesedihan jika musibah datang

4) Sesungguhnya Allah tidak menciptakan takdir, melainkan atas

sebab yang dilakukan manusia itu sendiri.

b. Mendapatkan jiwa yang tenang48

Ketika semua persoalan dan pilihan sudah kita serahkan kepada Allah, akan ada ketenangan dalam jiwa. Karena itulah sebuah pilihan terbaik yang Allah pilihkan kepada kita. Di sinilah pentingnya percaya kepada Allah, percaya terhadap setiap skenario Allah. Setidaknya, keteladanan ibu Nabi Musa mengajarkan kita tentang hal ini.

48

(50)

c.Akan di lapangkan dada kita terhadap pilihan yang Allah pilihkan49

Itulah buah Istikhârah kepada Allah. Salah satu ciri yang diberikan

adalah dilapangkan dada dan dimantapkan hati terhadap pilihan kita

setelah melakukan Istikhârah. Seperti dalam firman-Nya pada surat

al-Takwir :29

d.Tidak menyesal dengan pilihan yang Allah berikan kepada Kita

49 Muhammad Abu Ayyash,

(51)

BAB III

ANALISA KANDUNGAN HADIS TENTANG SALAT SUNNAH ISTIKHÂRAH

A. Teks-teks Hadis dalam Al-Kutub Al-Sittah Hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari

Sahîh al-Bukhârî hadis ke-1096

Sahîh al-Bukhârî Hadis ke- 5903

(52)

51

Sahîh al-Bukhârî Hadis ke- 6841

52

51 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, Juz 4, hal. 480

52 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî,

(53)

Hadis yang diriwayatkan Abû Dâud

Sunan Abû Dâud hadis ke-1315

53

Hadis yang diriwayatkan al-Tirmidzî

Sunan Al-Tirmidzî hadis ke-442

(54)

54

Hadis yang diriwayatkan Al-Nasâi

Sunan Al-Nasâi hadis ke-3201

54 Moh. Zuhri,

Tarjamah Sunan al-Tirmidzî, (Semarang: CV As-syifa), juz 2, hal

(55)

55

Hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah

Sunan Ibnu Mâjah hadis ke-1373

56

B. Syarah Hadis

55 Ahmad Ibn Syu‟aib Abû Abdurrahmân al-Nasâî, Sunan Al-Nasâî, (Beîrut: Dâr al-Fikr, t.th), juz 10, hal 368

(56)

Dari Jabir ra, dia berkata, “ Nabi SAW mengajarkan Istikhârah kepada

kami dalam segala urusan sebagaimana beliau mengajarkan sûrah

al-Qur‟an kepada kami. (Beliau bersabda), “Apabila seseorang di antara

kalian hendak mengerjakan suatu urusan, maka hendaklah dia shalat dua

rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa, „Ya Allah, sesungguhnya

aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan dari-Mu dengan kekuasaan-Mu. Aku memohon kepada-Mu dari anugerah-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkau Mengetahui hal-hal yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini adalah baik bagiku dalam agamaku dan kehidupanku serta akibatnya terhadap diriku atau beliau

menyebutkan : di dunia atau di akhirat – maka mudahkanlah untukku.

Akan tetapi jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagiku dalam agamaku, kehidupanku serta akibatnya terhadap diriku. Atau

beliau menyebutkan : di dunia atau di akhirat – maka palingkanlah

perkara itu dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan mudahkanlah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian

ridhakanlah aku dengannya‟. Kemudian menyebutkan hajatnya”.

Imam al-Tirmidzî mengatakan, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadis Ibnu Abî al-Mawwal. Dia orang Madinah, dan lebih dari satu orang yang meriwayatkan darinya. Mengenai masalah ini ada juga riwayat Ibnu

Mas‟ûd dan Abû Ayyûb.

Ibnu Hajar mengatakan, ada juga riwayat dari Abû Sa‟îd, Abû

Huraîrah, Ibnu „Abbâs dan Ibnu Umar. Hadis Ibnu Mas‟ûd dinukil al

-Tabarânî dan dinyatakan sahih oleh al-Hâkim. Hadis Abû Ayyûb dinukil oleh al-Tabarânî dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Hibbân dan al-Hâkim. Hadis Abû

57 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî,

(57)

Sa‟îd dan Abû Huraîrah dinukil Ibnu Hibbân dalam kitab sahih-nya. Hadis Ibnu Umar dan Ibnu Abbâs adalah sama, yang dinukil al-Tabarânî dari jalur

Ibrâhîm bin Abî Albah, dari Ata‟ dari keduanya. Dari hadis ini tidak

menyebutkan salat kecuali pada hadis Jâbir, hanya saja redaksi riwayat Abû

Ayyûb adalah, ل ها ت ّص ث ء ض لا ح ف ًض ت ط لا ت ا (Sembunyikan

lamaran dan berwudhulah, lalu baguskanlah wudhu-mu, kemudian laksanakanlah salat yang telah Allah wajibkan kepada kamu). Disebutkannya

dua raka‟at adalah khusus dalam hadis Jabir. Penyebutan Istikhârah

dicantumkan dalam hadis Sa‟ad secara marfu’ ,ها ت تسا ا ا س (Di

antara kebahagiaan anak Adam adalah beristikhârah [meminta pilihan yang

terbaik] kepada Allah), dinukil Imam Ahmad dan Sanad-nya hasan. Asalnya

terdapat dalam riwayat al-Tirmidzî namun dengan menyebutkan “keridhaan

dan kemurkaan”, bukan “Istikhârah”. Disebutkan dalam hadis Abû Bakar al

-Siddiq, ل تخا ل خ لأ :ل ق اً ا ا أ ا س ها ص لا أ (bahwa

Nabi SAW apabila menghendaki sesuatu perkara, Beliau mengucapkan, Ya Allah baikkanlah untukku dan pilihkanlah yang baik untukku), yang dinukil

al-Tirmidzi dengan sanad yang lemah. Disebutkan dalam hadis Anas secara

marfu’, تسا خ (tidak akan kecewa orang yang beristikhârah), hadis

ini dinukil al-Tabarânî dalam al-Mu‟jam al-Saghîr dengan sanad yang

lemah.58

58 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih

al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009),

(58)

تس لا س لا ص لا ل س (Nabi SAW mengajarkan

Istikhârah kepada kami), Dalam riwayat Ma‟an disebutkan dengan redaksi,

حصا (mengajarkan kepada sahabatnya). Demikian juga dalam jalur

Bisyr bin Umar.

ألا ف (Dalam segala urusan). Ibnu Abî Hamzah mengatakan, “

ini redaksi umum tapi yang dimaksud adalah khusus, karena untuk perkara

yang wajib dan sunnah tidak perlu Istikhârah untuk melakukannya, demikian

juga yang haram dan makruh tidak perlu Istikhârah untuk meninggalkannya.

Jadi masalahnya terbatas pada hal-hal yang mubah saja, yaitu bila ada dua perkara mubah dan ingin menetapkan mana yang harus dilakukan terlebih

dahulu atau mana yang dipilih.59

آ لا ل (sebagaimana halnya [beliau mengajarkan] sûrah

al-Qur‟an). Disebutkan dalam riwayat Qutaîbah dari „Abdurrahmân yang telah

dikemukakan pada bab salat malam, آ لا لا (sebagaimana beliau

mengajarkan surah al-Qur‟an kepada kami). Ada pendapat menyebutkan

bahwa letak keserupaannya adalah perlunya segala urusan terhadap

Istikhârah seperti perlunya salat terhadap al-Qur‟an.

حأ ا (apabila seseorang di antara kalian hendak). Pada kalimat ini

ada kalimat yang tidak disebutkan secara redaksional, حأ ا :ائ ق

(mengajarkan kepada kami dengan mengatakan, apabila seseorang di antara

seseorang hendak). Redaksi ini disebutkan dalam riwayat Qutaibah, ا

59 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih

(59)

ل

: (Beliau bersabda, “Apabila hendak"). Dalam riwayat Abû Dâud dari

Qutaîbah ada tambahan, ل (kepada kami).60

Ibnu Abî Jamrah mengatakan, “Urutan yang terbesit dalam hati adalah

di mulai dari kehendak, langkah, pikiran, niat, keinginan dan tekad. Tiga yang pertama tidak diperhitungkan, beda halnya dengan tiga yang lainnya.

Jadi sabda beliau, ا (apabila hendak) mengisyaratkan untuk Istikhârah

pada proses pertama yang terbesit dalam hati, sehingga dengan keberkahan

salat dan do‟a tersebut akan tampak yang baik baginya. Beda halnya dengan

suatu perkara sudah mantap dalam hatinya, keinginannya sudah kuat dan tekadnya pun telah bulat, sehingga petunjuk yang telah tergambar

dikhawatirkan akan samar karena didominasi oleh kecenderungannya”.61

ت ف (Maka hendaklah ia salat dua raka‟at). Kalimat ini

membatasi hadis Abu Ayyub yang menyebutkan, ل ها ت ّص

(Laksanakanlah salat yang diwajibkan Allah kepadamu). Bisa juga

dipadukan, bahwa yang dimaksud adalah tidak hanya satu raka‟at, karena

nashnya menyebutkan dua raka‟at, sehingga penyebutan dua raka‟at ini

sebagai pemberitahuan tentang jumlah minimal. Seandainya melaksanakan

lebih dari dua raka‟at, maka itu diperbolehkan. Secara zhahir disyaratkan

salam pada setiap dua raka‟at sehingga tercapailah sebutan dua raka‟at.

60 Al-Nawawi, Syarah Sahih al-Muslim, Penerjemah Hazim Muhammad, (Jakarta: Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 149

61 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih

(60)

Dengan begitu, tidak sah jika salat empat raka‟at – misalnya - dengan satu salam. Namun, pendapat al-Nawâwî menunjukan itu sah.

ض فلا غ (Selain salat Fardu). Ini mengeluarkannya dari salat

Subuh. Kemungkinan juga bahwa yang dimaksud dengan faridah adalah yang fardu dan yang terkait dengannya, sehingga tidak termasuk salat sunnah

rawatib, seperti dua raka‟at salat fajar. Tampaknya yang lebih tepat adalah

jika seseorang meniatkan salat tersebut (salat sunnah tersebut) dan salat

Istikhârah bersamaan, maka itu sah. Ini berbeda halnya jika tidak diniatkan

demikian. Hal ini juga dibedakan dari salat Tahiyatul Masjid, karena

maksudnya adalah mengisi tempat dengan do‟a, sedangkan yang dimaksud

dengan salat Istikhârah adalah menempatkan do‟a setelahnya atau di

dalamnya. Jika melaksanakan salat sebelum adanya perkara yang dimaksud,

maka tidak sah, karena konteks kalimatnya menunjukan bahwa salat dan do‟a

itu setelah adanya perkara yang dimaksud.

Al-Nawâwî menyatakan bahwa pada dua raka‟at salat Istikhârah

dibacakan surat Al-Kâfirûn dan surat al-Ikhlâs. Guru kami mengatakan dalam

Syarh Al-Tirmidzî, “Aku tidak menemukan dalilnya. Kemudian

mengaitkannya dengan dua raka‟at fajar dan dua raka‟at setelah maghrib”.

Al-Nawâwî mengatakan, “Kedua surat itu sangat cocok dengan kondisinya

karena mengandung keikhlasan dan tauhid, sementara orang yang

beristikharah memang memerlukan hal itu”. Guru kami mengatakan,

“Cocoknya adalah dengan membaca misalnya surah Al-Qasas ayat 68, ٓ ٓ ٓ

(61)

memilihnya) dan surah Al-Ahzâb ayat 36, لا ضق ا ٳ ل ل

ٲ اً ٲ ل س (Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak

(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah

menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain])”62.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, yang lebih sempurna adalah membaca surah dan

ayat pertama tadi pada raka‟at pertama dan yang lainnya pada raka‟at

kedua.63

Disimpulkan dari sabda beliau, ض فلا غ (selain yang fardu),

bahwa perintah melaksanakan dua raka‟at salat Istikhârah adalah tidak wajib.

Guru kami mengatakan dalam Syarh Al-Tirmidzî, “Saya belum pernah

melihat orang yang menyatakan wajibnya Istikhârah dengan alasan adanya

perintah untuk melakukannya diserupakannya dengan mengajarkan surah

al-Qur‟an, sebagaimana dia berdalil yang seperti itu dalam mewajibkan

tasyahhud dalam salat karena adanya perintah ungkapan, ّ ف (hendaklah

mengucapkan) yang juga diserupakan dengan mengajarkan surah al-Qur‟an.

Jika ada yang mengatakan bahwa perintah tersebut terikat dengan syarat

(condition), yaitu ucapan beliau, أل حأ ا ٳ (Apabila seseorang dari

kalian hendak [melakukan] suatu perkara), maka kami katakana, Demikian

juga tasyahhud, karena itu juga diperintahkan bagi orang yang salat. Jadi

62

Muhyiddin Abî Zakariyyâ Yahya Ibn Syaraf al-Nawâwî, Al-Adzkâr, (Surabaya:

al-Hidayah, 1995), h. 111

63 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih

(62)

walaupun keduanya serupa tapi bisa dibedakan, karena tasyahhud merupakan

bagian dari salat, maka landasan yang mewajibkannya adalah sabda beliau

SAW, صٲ ت أ ا ص (Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku

salat), sedangkan yang menunjukan tidak wajibnya salat Istikharah adalah

dalil yang menunjukan tidak wajibnya salat selain yang lima waktu, yaitu

yang disebutkan dalam hadis, طت أ ل , :ل ق ؟ غ ّ (Adakah yang

wajib atasku selain itu? Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau mau

bertatawwu”). Walaupun dapat menggunakan dalil tersebut untuk

menyatakan tidak wajibnya dua raka‟at Istikhârah, namun tidak menghalangi

untuk dijadikan dalil akan wajibnya doa Istikhârah.64 Tampaknya yang

mereka pahami bahwa perintah itu sebagai anjuran sehingga mereka mengalihkannya dari status wajib, tetapi karena mengandung zikir kepada Allah dan menyerahkan perkara kepada-Nya, maka itu menjadi sunnah.

Kami katakan, secara zhahir menunjukan untuk berdo‟a setelah salat,

tapi bila do‟a itu di tengah, maka itu pun sah. Jadi kemungkinan maksud

pengurutannya adalah memulai salat sebelum do‟a, karena letak do‟a setelah

salat adalah saat sujud atau tasyahhud. Ibnu Abî Jamrah mengatakan,

“Hikmah mendahulukan salat daripada do‟a, adalah karena tujuan Istikhârah

adalah tercapainya kebaikan dunia dan akhirat, maka perlu mengetuk pintu Yang Maha Raja. Untuk itu, tidak ada yang lebih manjur daripada salat yang

64 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih

Referensi

Dokumen terkait