SYARAT-SYARAT KELAYAKAN HAKIM MAHKAMAH SYARIAH DAN MAHKAMAH SIVIL DALAM SISTEM PERADILAN TERENGGANU
MALAYSIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
UMMU NURUL AIMAN BT MAT JAMIL NIM : 108045200024
K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R I’ Y Y A H
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARAT-SYARAT KELAYAKAN HAKIM MAHKAMAH SYARIAH DAN MAHKAMAH SIVIL DALAM SISTEM PERADILAN TERENGGANU
MALAYSIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah,
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
UMMU NURUL AIMAN BT MAT JAMIL NIM : 108045200024
Pembimbing :
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH, MA, MM NIP : 19550505 198203 1 012
K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R I ’ Y Y A H
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “SYARAT-SYARAT KELAYAKAN HAKIM MAHKAMAH
SYARIAH DAN MAHKAMAH SIVIL DALAM SISTEM PERADILAN TERENGGANU MALAYSIA” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 8 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah,
Konsentrasi Siyasah Syari’yyah (Ketatanegaraan Islam)
Jakarta, 8 Maret 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM.
NIP. 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN
1.Ketua: Dr. Asmawi M.Ag.
(...)
NIP. 19721010 199703 1 008
2.Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag.
(...)
Nip: 19710215 199703 2 002
3.Pembimbing: Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. (...)
NIP. 19550505 198203 1 012
4.Penguji I : Dr. Asmawi M.Ag
(………...)
5.Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag.
(...)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 8 Maret 2010
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan
semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Salawat dan salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang telah memberikan dorongan serta
motivasi kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan dan
merampungkan skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan
Hukum Jurusan Siyasah Syariyyah (Ketatanegaraan Islam) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis amat berbangga akan hasil penulisan skripsi ini karena di buat dengan
semangat dan perjuangan yang tak kenal lelah. Penulis sangat mengharapkan
sekali masukan baik itu sifatnya saran maupun kritik selama dapat membangun
dan terus memotivasi penulis agar memperbaiki sehingga penyajian yang lebih
sempurna.
Pada kesempatan yang sangat berharga ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih dan rasa hormat kepada :
1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan kesempatan kami untuk menimba ilmu.
2. Kepada Republik Indonesia yang telah memberikan kami izin tinggal untuk
mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami.
4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum, juga merangkap dosen pembimbing saya dengan arahan beliau
penulis dapat memahami dengan mudah apa yang akan dikerjakan.
5. Dr. Asmawi, M.Ag. dan Sri Hidayati Ketua dan Sekretaris Program Studi
Jinayah Siyasah
6. Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum.
7. Seluruh pihak kedutaan Malaysia di Indonesia yang banyak membantu
penulis hingga tuntasnya skripsi ini
8. Kepada pihak Mahkamah Syariah Terengganu, Jabatan Hal Ehwal Agama
Terengganu yang banyak memberikan Kerjasama kepada penulis sehingga
dapat menulis karya ilmiah ini.
9. Ayahanda H. Mat Jamil Bin H. Abdullah dan Ibunda Rokiah Binti Darus yang
telah mencurahkan kasih dan sayang mereka serta berkorban apa saja untuk
anak tercinta. Sepenuh perhatian dan dorongan yang tak terhingga diberikan
amat penulis hargai.
10.Warga Kudqi yang telah memberikan dorongan dan motivasi terutama Dato’
Tuan Guru H. Harun bin Taib, Rektor Ustaz Mahmud Sulaiman, Ustaz Soud
Said, Ustaz Khalil, Ustaz Shaari, Ustaz Rezki dan seluruh Asatizah yang tak
dapat penulis sebutkan disini.
11.Kepada keluarga di Malaysia yang banyak memberikan dorongan dan
motivasi, Kekanda Abu Akasyah dan Adinda Ummu Nurul Amirah dan Abu
12.Buat teman-teman se-kost-an, Siti Aishah, Nur Suhaida yang sama-sama
mengharungi detik suka-duka bersama di Jln Sedap Malam. Kenangan
bersama akan ku ingati. Juga kepada teman-teman di Sedap Malam Kak Nur
dan Suami yang banyak membantu penulis.
13.Kepada teman-teman seangkatan dari KUDQI dari Fakultas Syariah dan
Usuluddin yang banyak membantu penulis, Suha, Yam, Yati, Zainab, Fakhri,
Pian, Ayah Su. Juga buat junior-junior yang banyak menghabiskan masa
bersama Shaidah, Najihah, Tn. Syazwani. Buat teman-teman Malaysia di
Universitas Trisakti, semoga perkenalan kita yang singkat membenihkan
ikatan ukhuwah islamiyyah dan berkekalan. Semoga kita sama-sama
mencapai kejayaan Dunia dan Akhirat.
14.Kepada teman-teman dari APID, IPA, KIDU. Semoga perkenalan tidak
sampai disini dan berpanjangan dalam naungan Ilahi. Kepada teman-teman
dari Malaysia yang banyak memberikan semangat, Hamizah, Laili, Wan
Khadijah. Junior-junior dari KUDQI, Awen, Zuriah, Anis, Nurul dan semua
yang mengenali penulis. Semoga kalian berjaya Dunia dan Akhirat
15.Kepada teman-teman Indonesia, Ade Rahmi, Nara, Khusnul Khatimah, Fitri,
Ayu Megawati, Dian dan teman-teman dari Konsentrasi Siyasah Syari’yyah
yang tak dapat penulis sebutkan. Moga kita bisa ketemu lagi.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang
lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis
khususnya dan kepada semua pihak pada umumnya. Penulis menyampaikan
sendiri dan pembaca sekalian. Semoga Allah SWT menjadikan penulisan skripsi
ini sebagai satu amal yang baik disisi-Nya.
Jakarta, 17 Maret 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI. ...iv
BAB I PENDAHULUAN. ...1
A. Latar Belakang Masalah...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...6
D. Tinjauan Pustaka...7
E. Metode Penelitian ...8
F. Sistematika Penulisan...10
BAB II KEDUDUKAN HAKIM DALAM HUKUM ISLAM...12
A. Definisi Hakim...12
B. Kedudukan Hakim ...17
C. Syarat-syarat Hakim...21
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG NEGERI TERENGGANU DAN WEWENANG PERADILAN. ...28
A. Gambaran Umum Tentang Negeri Terengganu...28
B. Mahkamah Syariah Dan Wewenangnya ...31
C. Mahkamah Sivil Dan Wewenangnya ...38
[image:10.612.111.517.155.525.2]A. Mahkamah Syariah ...45
B...Mahk amah Sivil...48
C...Anali sis Perbandingan Syarat Hakim Dalam Sistem Perundangan Islam ...50
BAB V PENUTUP ...54
A. Kesimpulan...54
B. Saran ...56
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Arab di zaman Jahiliyyah hidup di padang pasir (badwi) tanpa
kerajaan dan tanpa undang-undang. Mereka terbagi kepada beberapa suku kaum
yang terbagi kepada beberapa kelompok-kelompok keluarga dan keturunan.
Setiap suku kaum merupakan satu kesatuan yang kuat dan dialah yang menjadi
panglima di dalam peperangan, dialah yamg mewakili sukunya saling bantu
membantu. Setiap ketua suku kaum mempunyai kuasa tertinggi. Dalam urusan
dengan suku-suku lain, dan dialah yang menjadi hakim bagi menyelesaikan
pertikaian yang berlaku dikalangan anak buahnya.
Di dalam mengadili sesuatu perkara dan menjatuhkan hukuman, ketua suku
kaum itu senantiasa mengikut adat kebiasaan dan tradisi. Malahan ia memperoleh
kekuatannya dari suku kaumnya sendiri. Jika seorang anggota sukunya
menentang hukumannya, ia tidak dapat mengenakan sebarang hukuman keatas
penentang itu. Tetapi penentang tersebut akan menghadapi kemarahan dan
cemohan anggota-anggota suku yang lain sehingga mungkin menyebabkannya
meninggalkan sukunya dan menggabungkan diri dengan golongan penderhaka
yang menentang sistem suku itu.
Jika berlaku pertikaian diantara dua suku kaum, dan kedua-duanya bersetuju
supaya diadili, maka kedua belah pihak akan mendapatkan seorang yang
seperti Aktham bin Saifi dan ‘Amir bin Az-Zharb . Menurut sejarah, Akhtam bin
Saifi adalah seorang hakim berbangsa arab di zamannya. Sementara Amir
Az-Zharb pula merupakan salah seorang pendita Arab yang pandangan serta
keputusannya tetap dihormati dan diterima baik oleh orang-orang Arab.
Di Makkah yang merupakan sebuah negeri yang senantiasa di ziarahi oleh
orang luar karena di Makkah terdapat ka’abah rumah suci yang dibina nabi
Ibrahim A.S. penduduk Quraisy telah membuat suatu perjanjian yang dinamakan
“Hilful Fudhul”, kaum Quraisy telah sepakat berjanji tidak akan membenarkan
orang dagang atau kerabat, samada hamba sahaya atau bukan, dan mereka akan
tetap menyebelahi orang yang dianayai sehingga orang itu memperolehi semula
haknya selagi mana mereka berada di tanah suci itu. Penduduk Makkah
merasakan perlu melakukan itu karena penziarah yang datang membelanjakan
uang serta kemewahannya yang menyebabkan Makkah menjadi makmur dan
mewah. Orang yang berperan dalam menjatuhkan hukuman dizaman pra-Arab itu
adalah Abu Bakar as-Sidiq, dia menguruskan hal yang berkait dengan pengadilan
seperti menentukan bayaran sanksi dan ganti rugi.1
Didalam Islam jabatan hakim merupakan kedudukan yang berada dibawah
khalifah. Ia suatu lembaga yang tersedia untuk tujuan menyelesaikan gugatan
serta memutuskan perselisihan dan pertikaian. Bagaimanapun, ia tetap berjalan
sepanjang rel hukum syar’iyyah yang telah ditetapkan didalam al-Quran dan
as-Sunnah. Oleh karena itu, jabatan hakim merupakan bagian tugas khalifah, dan
secara umum berada di wilayahnya.
1
Meskipun pelaksanaan jabatan hakim merupakan tugas khalifah, namun
mereka mempercayakan kepada orang lain karena kesibukan urusan-urusan
pemerintahan, tugas tersebut tidak akan dilakukan sendirian , sedang tugas hakim
begitu pentingnya. Para khalifah berusaha mencari kemudahan dalam proses
pengadilan di antara manusia, dan oleh itu mereka mewakilkan diri untuk
perlaksanaan jabatan hakim demi meringankan beban mereka. Namun mereka
hanya mempercayakan jabatan hakim itu hanya kepada orang yang termasuk
solidaritas mereka, mereka tidak mempercayakan kepada orang yang sudah diluar
keluarga solidaritas mereka.
Menurut buku al-Muqaddimah karangan Ibn Khaldun, tugas hakim pada masa
khalifah terbatas hanya menyelesaikan gugatan antara penggugat. Lalu secara
bertahap masalah lain ditimpakan dan dilimpahkan kepadanya lebih banyak,
sesuai dengan kesibukan khalifah dan raja-raja. Akhirnya jabatan hakim
mencakup disamping menyelesaikan gugatan pemenuhan sebagian hak-hak
umum bagi kaum muslimin,juga mengurusi harta benda orang gila. Anak yatim,
orang pailit dan tidak mampu yang berada dibawah pengawasan para wali,
mengurusi surat wasiat, mengawinkan perempuan yang tidak mempunyai wali,
mengurusi jalan serta bangunan, menguji barang bukti, pengacara dan mengganti
tugas pengadilan, berusaha menyempurnakan pengetahuan dan pengalaman yang
berhubungan dengan tahan uji atau tidaknya mereka. Semua ini menjadi bagian
dari kedudukan dan tugas seorang hakim.2
2
Menurut buku Ensiklopedia Islam, dalam sejarah Islam, nabi SAW bertindak
sebagai hakim dalam menyelesaikan perkara, beliau juga pernah melantik
beberapa hakim dalam daripada kalangan sahabat, antaranya Ali bin abi Talib dan
Muaz bin Jabal, begitu juga halnya pada zaman Khulafa’ Rasyidun. Jika dalam
suatu masyarakat tidak terdapat imam atau kepala negara, maka pelantikan hakim
dilakukan oleh Ahl Hall wa al –Aqd.
Dalam konteks negara Malaysia, badan kehakiman merupakan salah satu
badan penting yang mengasingkan wewenang eksekutif dan legislatif. Bagi
negara bagian di Malaysia, kedudukan hakim Mahkamah Syari’ah berada
dibawah Jabatan Kehakiman Syari’ah bagian masing-masing.3 Dan kedudukan
hakim Mahkamah Sivil berada dibawah lembaga kehakiman negara.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa hakim dalam Mahkamah Syariah dan
Sivil mempunyai perbedaan. Apakah kedudukan hakim mempunyai persamaan
atau perbedaan antara dua badan peradilan? dan apakah sistem perundangan
tersebut mempunyai persamaan atau perbedaan dengan sistem perundangan
Islam?. Oleh karenanya hal ini sangat menarik untuk diteliti, sehingga penulis
menjadikan penelitian skripsi dengan judul: “SYARAT-SYARAT KELAYAKAN HAKIM MAHKAMAH SYARIAH DAN MAHKAMAH SIVIL DALAM SISTEM PERADILAN TERENGGANU MALAYSIA”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
3
Sejauh mengenai syarat-syarat kelayakan hakim Mahkamah Syaria’h dan
Sivil dalam sistem perundangan Terengganu, dapat diidentifikasikan sejumlah
masalah yang harus di teliti, antara lain, yaitu:
1. Bagaimanakah kedudukan hakim menurut hukum Islam?
2. Apakah syarat-syarat kelayakan hakim Mahkamah Syari’ah dan Hakim
Mahkamah Sivil Terengganu?
3. Apakah perbedaan atau persamaan kelayakan hakim dalam sistem
perundangan Terengganu dan perundangan Islam ?
Dengan mengacu kepada identifikasi masalah diatas, penelitian ini
menjadikan masalah yang terakhir sebagai fokus masalahnya, yakni apakah
perbedaan atau persamaan kelayakan hakim dalam sistem perundangan
Terengganu dan perundangan Islam ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin di capai diantara adalah:
1. Merumus dan menjelaskan secara utuh teori hakim dalam dinamika pemikiran
ulama’
2. Merumuskan dan menjelaskan secara utuh kedudukan hakim dalam
3. Merumuskan dan menjelaskan secara utuh perbandingan antara sistem
perundangan Islam dengan sistem perundangan Terengganu? Sedang manfaat
dari penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya transformasi hukum
ketatanegaraan Islam kedalam politik hukum perundang-undangan nasional;
2. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya pembaruan pemikiran
hukum ketatanegaraan Islam dalam konteks negara bagian Terengganu dan
kemoderan
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan kontribusi pemikiran bagi upaya mencari
formula yang tepat bagi tranformasi hukum ketatanegaraan Islam kedalam
hukum negara bagian Terengganu
D. Tinjauan Pustaka
Dalam kajian pustaka ini penulis berusaha mendata dan membaca beberapa
penelitian dengan bahasan pokok yang berkaitan dengan hakim dan lembaga
kehakiman, setidaknya ada beberapa penelitian tentang hakim yang penulis
temukan dalam bentuk skripsi, yaitu antara lain:
No Nama/Judul Dan
Tahun
1 Siti Hajar binti
Zainal/2009,
Kedudukan Mufti
Dalam
Pelaksanaan
Fatwa Sebagai
Sumber Hukum
Di Negeri Johor.
Penulis mengkaji
adakah fatwa
hanya sebatas
memberi naseha
yang dijadikan
petunjuk oleh
mustafti. Ia juga
mengkaji
bagaimanakah
proses fatwa
dijadikan sumber
hukum oleh
negara.
Perbedaan dengan yang
dibahas penulis amatlah
berbeda karena penulis
membahas syarat-syarat
kelayakan hakim dalam
sistem peradilan di
terengganu dan
membandingkan dengan
syarat-syarat hakim
dalam hukum Islam
2 Ruzian
Markom/2003,
Apa Itu
Undang-Undang Islam.
Buku ini membahas
pentingnya
syariah kepada
manusia,
sumber-sumber hukum
yang disepakati,
sejarah
pelaksanaan
undang-undang
Manakala perbedaan ini
adalah penulis tidak
hanya membahas
tentang Mahkamah
Syariah tetapi penulis
juga membahas tentang
Mahkamah Sivil. Dan
penulis mengkhususkan
Islam di Malaysia
dan Mahkamah
Syariah di
Malaysia.
bagian Terengganu.
E. Metode Penelitian Dan Teknik Penulisan
1. Jenis penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan
menelusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya sumber data yang
hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif disini di maksudkan dengan
membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data
secara kualitatif.
2. Sumber Data
a) Data Primer: berupa Enakmen Mahkamah Syari’ah Terengganu 2001, dan
lain-lain
b) Data Sekunder: merupakan sumber pendukung dari sumber primer yang
berasal dari data kepustakaan, seperti buku-buku yang membahas tentang
c) Data Tertier: yaitu kamus, jurnal dan artikel. Kemudian untuk menguatkan
data-data, penulis dapat melakukan wawancara dengan hakim Mahkamah
Syari’ah Terengganu.
3. Teknis Analisis Data
Untuk pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi atau bahan
tertulis. Analisis data yang dilakukan adalah analisis deskritif, yaitu menganalisis
data yang telah dikumpulkan yang berisi informasi, pendapat dan konsep, serta
analisis hukum yang bersifat yuridis normatif yang menggambarkan tentang
peradilan di negeri Terengganu
4. Teknik penulisan
Dalam teknik penulisan ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007
yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudahkan dan memperoleh gambaran yang utuh serta
menyeluruh, penelitian skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika
pembahasan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
BAB II Membahas tentang kedudukan hakim dalam hukum Islam, ia
mencakup definisi hakim menurut pandangan doktrin hukum Islam,
kedudukan hakim dalam hukum Islam serta syarat-syarat kelayakan
seorang hakim menurut hakim Islam.
BAB III Menerangkan latar belakang negeri Terengganu mencakup keadaan
geografis, struktur dan menerangkan wewenang peradilan di negara
bagian Terengganu.
BAB IV Merupakan bab inti yaitu analisis perbandingan kedudukan Hakim
Mahkamah Syariah dan Hakim Mahkamah Sivil dan juga analisis
Sistem Perundangan Terengganu dengan Sistem Perundangan Islam.
BAB II
KEDUDUKAN HAKIM DALAM HUKUM ISLAM
A. Definisi Hakim 1. Menurut Bahasa
Kata Hakim menurut bahasa, memiliki beberapa arti, di antaranya:
1. Al-Qadha’: Al-Faraagh, artinya: putus, selesai
Seperti firman Allah swt:
! "
# $%&
'( )
*+
,
- .
%/ 0 12345.%&
/
66
Artinya: “Maka tatkala Zaid putuskan kehendak daripada Zainab itu, kami kawinkan dia kepadamu.”(QS: Al-Ahzab:37/33)
2. Al-Qadha’:Al-Adaa’, artinya: menunaikan, membayar Seperti: qadha’
muhamadun dainahu, artinya:Muhamad telah membayar hutangnya.
3. Al-Qadha’: Al-Hukmu artinya: mencegah. Menghalang-halangi. Dan dari arti
inilah maka Hakim-Hakim disebut hukum, karena mencegah terjadinya
kezaliman orang yang mau berbuat zalim. Kemudian yang dimaksudkan
kata-kata hakamul haakimu bi kadzaa: hakim meletakkan hak kepada yang punya,
sedang al-qadha’ dengan arti al-hukmu inilah yang dimaksudkan disini.
Asal kata qadha’ adalah qadhlaayun dari fiil madhi qadha yaitu, hanya
karena ya’ apabila terletak sesudah alif di akhir kata, maka diganti dengan
Dan Hakim menurut bahasa artinya: orang yang memutuskan perkara dan
menetapkannya.4
Perkataan Hakim adalah berasal dari Bahasa Arab, di dalam Bahasa Melayu
dan hakim memberi pengertian yang sama. Perkataan Qadhi berasal dari qadha’
yang memberi arti hukuman yang diputuskan dan Hakim ialah orang yang
memutuskan hukuman, atau seseorang yang membuat putusan didalam sesuatu
perkara.5
Telah dijelaskan bahwa definisi hukum syar’i adalah: ‘Titah Allah yang
berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan
untuk berbuat dan ketentuan-ketentuan”.
Dapat difahami bahwa “pembuat hukum” dalam pengertian Islam adalah
Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang
menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya
dengan kepentingan hidup dunia maupun untuk kepentingan hidup dunia maupun
kepentingan hidup di akhirat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia
dengan Allah, maupun hubungan manusia sesamanya dan alam sekitarnya6.
Firman Allah:
78
9
:;<0=->
?@
9
A
Artinya: “Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah”. (QS: Al-An’am/6:57)
4
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam,(Surabaya: PT Bina Ilmu) h.2
5
Mahmud Saedon, Peranan Prinsip “Adabul Qadhi” Dalam Kehidupan Qadhi Dan Semasa
Bertugas Di Mahkamah, h.173
6
Tentang kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam
pandangan Islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat Islam.
Masalahnya adalah bahwa Allah sebagai pembuat hukum berada dalam alam
berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia
sendiri sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat
mengenalnya melalui perantara yang ditetapkan Allah untuk itu, dalam hal ini
adalah Rasul.7 Nabi Muhammad Sebagai Rasul pilihan Allah menjadi contoh
yang ulung dan unggul, tidak menyalahgunakan haknya menjadi ketua Negara
apabila berlaku pertelingkahan antara manusia dan dalam banyak peristiwa.
Baginda juga Berjaya memisahkan kedudukannya sebagai ketua Negara dan tidak
mempengaruhi kehakiman dengan melantik orang lain sebagai hakim.8 Dalam
perkara 23 Perlembagaan Madinah telah termaktub bahwa Rasulullah merupakan
Ketua Hakim Negara dan tempat untuk menyelesaikan hukuman. Justeru itu,
kelayakan Rasulullah SAW sebagai hakim adalah mutlak dan tidak boleh
dijadikan ukuran terhadap mana-mana manusia di dunia ini.9
Hakim ialah seorang yang dilantik oleh pemerintah (sultan) untuk
menyelesaikan tuntutan dan persengketaan. Rasulullah SAW sendiri telah
melantik hakim baginda untuk menyelesaikan tuntutan dan persengketaan di
7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I h.380
8
Abdul Hadi Awang, Islam Untuk Semua, (Selangor: PTS Islamika SDN BHD, 2009) h.59
9
wilayah-wilayah jauh. Ternyata hakim merupakan tunggak kepada sistem
kehakiman. 10
2. Menurut Syar’i
Kata Hakim menurut istilah syar’i
Ahli-ahli fiqh memberikan definisi qadha’ sebagai berikut:
Qadha’ yaitu suatu keputusan produk pemerintah, atau menyampaikan hukum
Syar’i dengan penetapan, maka kalau dikatakan qadhal qadhi, artinya hakim telah
menetapkan suatu hak kepada yang punya.
Maka berdasarkan definisi ini jelas, bahwa penetapan itu sifatnya
melaksanakan perintah agama dan bukan menciptakannya karena perintah seperti
itu tetap diperkirakan adanya, sedang penetapan itu sifatnya mentapkan secara
lahir, dan bukannya menetapkan sesuatu yang belum ada.
Dan ada yang berpendapat, bahwa qadha’ artinya mencampuri urusan antara
makhluk dengan khaliknya, untuk menyampaikan perintah-perintahNya dan
hukum-hukumNya kepada mereka, dengan perantaraan Al-Quran dan as-Sunnah,
dan dari pendapat ini, maka timbul pengertian, bahwa qadha’ adalah
menyelesaikan sengketa antara dua pihak dengan hukum Allah.11Hakim ialah
orang yang bertindak menyelesaikan perbalahan atau perselisihan yang berlaku
antara dua pihak atau lebih di dalam masyarakat dimana ianya dilantik. Hukuman
10
Mahmud Saedon, Institusi Pentadbiran undang-undang Dan Kehakiman Islam, (Selangor: Percetakan Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1996) h. 19
11
atau penyelesaian yang diberi oleh Hakim hendaklah berdasarkan hukuman syara’
dan ianya wajib diterima dan dilaksanakan dengan patuh.
Dengan ini jelaslah, bahwa Hakim bertugas untuk menzahirkan hukum syara’
yang wajib ditaati dan dilaksanakan didalam sesuatu kasus yang telah
diputuskannya.12
Qadhi adalah pejabat yang diserahi wewenang untuk memeriksa, mengadili
dan memberikan keputusan hukum yang berdasarkan syariat Islam yang
bersumberkan al-Quran dan as-Sunnah terhadap perkara yang diajukan kepadanya
di pengadilan. Qadhi juga disebut hakim dalam melaksanakan undang-undang.13
Juga terdapat beberapa ta’rif yang dikemukakan oleh ulama’tentang
al-qada’ ini, antaranya ialah menurut ibn Irfah, dari mazhab Maliki,
al-qadha’sebagai sifat kehakiman yang menyebabkan wajib dilaksanakan hukum
syara’ walaupun hukuman tersebut ta’dil dan tarjih, tetapi tidak yang berkaitan
dengan maslahah umum kaum muslimin.takrif Ibn Irfah ini menekankan tentang
sifat kehakiman yaitu keputusan atau hukuman yang diberikan oleh seseorang
hakim wajib dilaksanakan dan hukuman tersebut hendaklah berdasarkan hukum
syara’. Bermakna, jika sebaliknya ia tidak wajar dinamakan al-qadha.
Al-Qadha’ini mempunyai bidang kuasa yang luas yaitu bukan sahaja menyelesaikan
pertikaian malahan menentukan tarjih dan ta’dil. Dalam hal ini mahkamah boleh
memutuskan seseorang itu sama ada adil dan shahadahnya diterima, atau tidak
12
Mahmud Saedon, Peranan Prinsip “Adabul Qadhi” Dalam Kehidupan Qadhi Dan Semasa
Bertugas Di Mahkamah, h.173
adil (tarjih) maka shahadahnya ditolak. Bagaimanapun menurut Ibn Irfah
mentadbir maslahah umum seperti membahagikan harta rampasan, mentadbir
tentera, menyusun peperangan, memerangi penderhaka, membahagikan dan
mengurus harta baitul mal bukanlah dibawah bidang kuasa al-qadha’.14
B. Kedudukan Hakim Dalam Hukum Ketatanegaraan Islam 1. Jabatan Hakim
Jabatan Hakim adalah perkara yang penting bagi menegakkan keadilan
sebenar dalam masyarakat secara praktek. Undang-undang yang adil sekalipun
kadang-kadang menjadi tidak adil dengan sebab pelaksanaannya pincang. Hukum
Islam yang yang dinyatakan oleh Allah yang maha adil, dan contoh yang
ditunjukkan oleh Rasul yang bersifat adil, harus dilaksanakan dengan adil juga.
Islam menetapkan cara yang menjamin dan mengukuhkan tegaknya keadilan
dalam aspek kehakiman (Hakim). Antaranya menetapkan pemisahan kuasa
kehakiman daripada di pengaruhi oleh badan yang lain.
Badan kehakiman adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh al-Quran dan
as-Sunnah dan Ijma’. Ia termasuk dalam urusan ibadah, pemerintahan dan memikul
amanah besar dalam Islam. Walaupun hukumnya fardhu kifayah. Banyak
ayat-ayat al-Quran yang mewajibkan pelaksanaan hukum Allah dengan adil, disertakan
dengan amalan Nabi Muhammad dan para sahabat. Hukum yang berkait
dengannya dan adab-adabnya, menjadi fardhu ain kepada orang yang
melaksanakan yaitu hakim.
Di zaman Nabi SAW, Jabatan Hakim diberi hak mengendalikan pertelingkahan
dalam masyarakat dengan kebebasan yang tersendiri, tanpa diganggu oleh pihak
lain. Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul pilihan Allah menjadi contoh ulung
dan unggul, tidak menyalahgunakan haknya menjadi ketua negara apabila berlaku
pertelingkahan antara manusia dalam banyak peristiwa. Nabi Muhammad berjaya
memisahkan kedudukannya sebagai ketua negara dan tidak mempengaruhi
jabatan Hakim dengan melantik orang lain menjadi Hakim dengan perkara yang
melibatkan pribadinya tanpa apa-apa gangguan. Keadaan ini menyebabkan orang
Yahudi dan Musyrikin yang paling bermusuh dalam Islam berubah menjadi
penganut Islam dan sahabat yang setia. Mereka melihat keadilan Islam secara
langsung terhadap diri sendiri dan perkara ini tidak berlaku pada mereka sebelum
kedatangan Islam.15 Diantara butir perjanjian yang metrikan oleh Rasulullah
SAW diantara orang Muhajirin dengan pendududk Islam kota Madinah,
orang-orang Yahudi dan sebagainya, diantara butir tersebut itu ada menyebutkan
“sekiranya berlaku diantara pihak yang memetrikan perjanjian ini sesuatu
kejadian atau perbalahan yang di khawatirkan akan menyebabkan keburukan,
maka penyelesaiannya dipulangkan kepada Allah dan Rasulullah. Ini tegas
menunjukkan bahwa Rasullullah SAW merupakan hakim yang memutuskan
segala sesuatu diantara penduduk asli kota Madinah dengan orang Muhajirin yang
mendatang. Segala perbalahan dirujuk kepada Rasulullah SAW dan baginda
merupakan satu-satunya Hakim mereka dalam setiap perbalahan.16
15
2. Pengangkatan Hakim
Pengangkatan Hakim adalah menjadi keharusan bahwa setiap masyarakat
memerlukan penguasa yang menerbitkan (pergaulan diantara) mereka mengatur
urusan-urusan mereka, dan memelihara kemaslahatan-kemaslahatan mereka,
padahal penguasa umum pemerintahan tidak mungkin mampu menangani sendiri
seluruh urusan masyarakat, maka sudah pasti diperlukan pembantu-pembantu
yang akan melaksanakan berbagai urusan manusia, dan melaksanakan bidangnya
sendiri-sendiri, yang diantaranya yaitu bidang qadha’ (peradilan). Maka sudah
tentu diperlukan pejabat menanganinya dan diperlukan juga pengangkatannya,
karena itu mengangkat Hakim itu wajib, dan tidak dibedakan antara pemberian
wewenang kepada Hakim oleh pihak penguasa, atau dengan jalan pelimpahan
wewenang kepada pembantu-pembantu pemerintah untuk tugas-tugas khusus di
bidang peradilan, dan atas dasar ini, maka sebenarnya seorang hakim
menyandarkan putusan hukumnya atas pengangkatannya dari pihak penguasa.17
Para Hakim di zaman Nabi SAW dan Khulafa’ Rasyidun diangkat oleh
khalifah atau oleh pejabat daerah atas pelimpahan wewenang dari khalifah dan
masing-masing hakim berdiri sendiri (tidak ada hubungan administratif antara
satu hakim dengan hakim yang lain). Sehingga tidak ada kekuasaan seorang
hakim atas hakim yang lain, dan tidak ada keistimewaan seorang hakim melebihi
yang lain dihadapan khalifah, baik hakim daerah maupun hakim berkedudukan di
ibu kota negara. Keadaan ini berterusan sampai masa pemerintahan Bani
16
Subhi Saleh, Politik Dan Pentadbiran Didalam Islam, (Kuala Lumpur: Percetakan Sentosa SDN BHD, 1984) h.89.
17
Umayyah, hanya pada masa khalifah Bani Abbas dan khusunya pemerintahan
Harun ar-Rasyid, telah terdapat satu jabatan peradilan baru yaitu Qadhi Qudhat18,
yang diangkat oleh khalifah dan kepadanya diserahi urusan peradilan, dan diberi
hak mengangkat pejabat-pejabat peradilan bagi yang di pandang mampu, baik
yang jauh dari pusat pemerintahan maupun yang dekat. Dan satu pendapat
mengatakan bahwa, Qadhi qudhat tidak boleh mengangkat ayahnya sendiri atau
anaknya, dan ada yang berpendapat bahwa boleh apabila ayah atau anak yang
diangkat memenuhi syarat-syaratnya, karena hal wewenang mengangkat itu tidak
pernah ada pengecualiannya (umum). Dan Qadhi Qudhat juga diberi hak
memecat bawahannya, demikian juga kepada setiap Hakim diberi hak
mengundurkan dirinya dari jabatan yang dipangkunya apabila hal itu dipandang
membawa maslahat.19
3. Pemecatan Hakim
Pemerintah mempunyai hak memecat Hakim yang ia angkat apabila ada sebab
yang menghendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemecatan tanpa ada sebab,
demikian menurut mazhab syafie’, karena hal itu dikaitkan dengan kemaslahatan
kaum muslimin dan hak umat, maka tidak dibenarkan tindakan pemecatan
terhadap hakim yang tidak bersalah, karena hal itu disamakan dengan wakalah
(perwakilan) apabila ada hubungannya dengan hak orang lain.20
18
Sekarang dapat disamakan dengan ketua mahkamah agung
19
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000) h. 64
20
Dan kalau seorang hakim meninggal dunia atau dipecat oleh orang yang tidak
berhak memecatnya, maka tidak terpecat dan tidak diperlukan pengangkatan baru,
sebab pada dasarnya ia melaksanakan kekuasaan umum dibidang peradilan dari
umat dan mengadili atas namanya.21
C. Syarat-syarat Kelayakan Hakim Dalam Hukum Ketatanegaraan Islam
Islam menetapkan cara yang menjamin dan mengukuhkan tegaknya keadilan
dalam aspek kehakiman, antaranya menetapkan pemisahan kekuasaan hakim dari
dipengaruhi oleh jabatan-jabatan yang lain . Syarat hakim, saksi, keterangan dan
adab mahkamah dan hakim mestilah dengan cara yang jelas dan wajib22. Tidak
boleh diangkat menjadi hakim, kecuali orang-orang yang memiliki syarat-syarat
menjadi hakim. Jika seseorang mempunyai syarat-syarat untuk menjadi hakim, ia
berhak diangkat menjadi hakim, dan keputusannya diterapkan.23 Dan
pengangkatan penguasa pemerintahan umum atau wakilnya, terhadap orang yang
telah memenuhi syarat keahlian dan kepatutan, untuk jabatan hakim ini tidak
menghalangi hakim untuk bolehnya memeriksa persengketaan di antara
pihak-pihak yang di antara mereka terdapat pihak-pihak penguasa itu sendiri, dan mengadili
serta menjatuhkan putusan atas mereka sepanjang tuntutan keadilan dan
bukti-bukti.24
21
Ibid h. 64
22
Abdul Hadi Awang, Islam Adil Untuk Semua, (Selangor: PTS Islamika SDN BHD, 2009) h.58
23
Imam Mawardi,Al-Ahkam As-sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah, 2000) h.122
24
Ada tujuh syarat untuk bisa diangkat menjadi hakim;
1. laki-laki.
Syarat ini menghimpunkan syarat, tidak wanita.25
Syarat ini menjadi syarat sah menurut Mazhab Maliki, Syafie, dan Hanbali, sekiranya
dilantik perempuan menjadi hakim maka pelantikan itu tidak sah dan hukumanya
tidak diluluskan karena jawatan hakim termasuk dalam Wilayah Am yang tidak
layak diberi kepada perempuan karena sabda Rasulullah:
! "#$ $%$& ' ( ) $*+$ " & ,-. & /0$
#1/ ' ( 2
/. 3 &
4 $( $567ی $. ' ( 9$:# . ( ;$6<$:
' ( =*,> ?6@ $. A6 B 906& ! "6ﺹ ! '
)$D$* E A@$* $ $.$B
26Artinya: “ Daripada Khalid bin Harist telah berkata Humaid daripada al-Hasan daripada Abi Bakar aku telah mendengar Rasulullah SAW binasalah Raja Kisra yamg telah melantik anak perempuannya, sabda Nabi SAW lagi, tiada berjaya kaum yang melantik perempuan menjadi wali urusan mereka”.
Dan orang-orang perempuan mempunyai fitrah (sifat semulajadi) yang tidak
melayakkan mereka memegang jawatan Wilayah Am dan tidak dapat menjamin
melaksanakan tugas dengan sempurna dan sopan menurut Islam.
Mazhab Hanafi pula berpendapat bahwa boleh perempuan diangkat menjadi
hakim dalam urusan selain had dan qisas karena kesaksian perempuan dalam dua
perkara tersebut tidak dapat diterima.27
25
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam Sulthaniyyah Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam,(Jakarta: Darul Falah, 2000) h.
26
Kitab Sunan an-Nasai’, An-nahyu A’nil Isti’mali An-Nisa’ fiil hukmi, Juzu’ 16, h.224
27
2. Berakal.
Syarat ini menghimpunkan syarat baligh yang dikenali dengan mukallaf (yang
mempunyai tanggung jawab). Syarat ini disepakati dan tidak cukup hanya
dipandang sekadar mukallaf, karena berakal disini harus benar-benar sehat
pikiran, cerdas, dan dapat memecahkan masalah yang pelik dengan
kecerdasannya.28
B CDEF
.
G%
CD
>
5H%
I
9
J
CF
%%" 0
*K
8
L
HJM
N
J
E;O( )
*+
2#3PQR
S :B
E;(EU
9
E;W XY
>+.Z
F,#.
G
Artinya:“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurutmu pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah pada mereka hartanya.(QS: an-Nisa’: 4/6)
3. Merdeka.
Budak itu kekuasaan atas dirinya sendiri tidak sempurna, oleh karena itu ia
tidak bisa berkuasa atas yang orang lain. Selain itu, kesaksian budak dalam
kasus–kasus hukum tidak diterima, maka sangat logis kalau status budak juga
menghalangi penerapan hukum olehnya dan pengangkatan dirinya sebagai hakim.
28
Jika budak telah telah bebas, ia diperbolehkan untuk menjabat sebagai hakim,
kendati perwalian dirinya berada ditangan pemiliknya, karena nasab tidak
termasuk kriteria dalam kekuasaan hukum.
4. Islam
Karena Islam menjadi syarat diterimanya kesaksian, dan karena firman Allah
SWT:
'([#.\] C$
C^_
"P
:KC+
J
`@
.Ja
bcD d
C^_
e
0>
J
..Z
+
78.=
C^f
K
+
= >
F,#.
Artinya: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang- orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang mu’min”
Pandangan Imam al-Mawardi mengatakan bahwa orang kafir tidak boleh
dilantik menjadi hakim secara mutlak adalah pandangan kebanyakan ulama’.
Malahan keseluruhan ulama’ berpandangan bahwa orang kafir tidak boleh
dilantik menjadi hakim untuk menghakimi orang-orang Islam berdasarkan
ayat-ayat yang disebutkan di atas tadi .
Orang kafir tidak boleh diangkat menjadi hakim untuk kaum muslimin,
bahkan untuk orang-orang kafir
Abu Hanifah berkata: “Orang kafir boleh diangkat menjadi hakim untuk
Inilah kendati pengangkatan orang kafir tersebut terjadi dalam tradisi
penguasa, namun pengangkatannya adalah pengangkatan menjadi pejabat, dan
bukan pengangkatan menjadi hakim. Imam boleh tidak menerima keputusan
hakim tersebut. Jika orang-orang menolak membawa perkaranya kepada hakim
kafir, mereka tidak boleh dipaksa membawa perkaranya kepadanya, karena
hukum Islam lebih layak diterapkan terhadap mereka.
5. Adil.
Syarat adil ini berlaku dalam semua jabatan. Adil ialah berkata benar, jujur,
bersih dari hal-hal yang diharamkan, menjauhi dosa-dosa, jauh dari sifat
ragu-ragu, terkontrol ketika senang dan marah, serta menggunakan sifat muruah
(ksatria) dalam agamanya dan dunianya. Jika seseorang memiliki syarat diatas, ia
orang adil, kesaksiannya diterima dan kekuasaanya sah, jika syaratnya tidak
lengkap, kesaksian tidak diterima dan kekuasaanya tidak sah. Untuk itu,
ucapannya tidak perlu didengar, dan hukumnya tidak perlu diterapkan.
6. Sehat Pancaindera
Ia dapat membedakan antara pendakwa dengan terdakwa, membedakan pihak
yang mengaku dengan pihak yang tidak mengaku, membedakan kebenaran
dengan kebatilan, dan mengenali pihak yang benar dan pihak yang salah.
Jika ia buta, kekuasaanya batal, namun Imam Malik membolehkannya
sebagaimana ia mengesahkan kesaksiannya. Jika ia tuli, maka ada perbedaan
pendapat di dalamnya seperti perbedaan pendapat tentang tuli dalam jabatan
Sehat organ tubuh tidak termasuk syarat dalam jabatan hakim, kendati sehat
organ tubuh menjadi syarat dalam jabatan Imam (khalifah).
7. Mengetahui Hukum
Ia mengetahui hukum-hukum syariat; ilmu dasar, ushul dan
cabang-cabangnya furu’.
Ilmu-ilmu dasar dalam syari’at itu ada empat:
1. Mengetahui kitabullah Azza wa jalla dengan benar, hingga ia mengetahui
hukum-hukumnya yang nasikh (nas yang menghapus) dan mansukh (nas yang
dihapus), ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabihat, umum dan khusus.
2. Mengetahui Sunnah Rasulullah SAW yang eksis; ucapan beliau dan
tindakannya, tehnis penyampaiannya; mutawatir atau ahad, shahih atau
tidaknya, dan sebab-sebabnya.
3. Mengetahui penafsiran para generasi salaf dalam kesepakatan mereka dan
ketidaksepakatan mereka, agar ia bias berhujjah dengan ijma’ mereka dan
berijtihad dengan pendapatnya sendiri dalam masalah-masalah yang mereka
perselisihkan.
4. Mengetahui qiyas yang mengharuskannya mengembalikan masalah-masalah
yang tidak disebutkan dalam nash, hingga ia mendapatkan jalan untuk
mengetahui ilmu tentang kasus-kasus aktual dan membedakan antara yang
benar dengan yang batil.29
Islam juga mewajibkan seseorang hakim yang dilantik bukan sahaja
mempunyai ilmu dalam perundangan dan kehakiman, tetapi juga hendaklah
29
seorang Islam yang beriman, percaya kepada hukum Allah secara zahir dan batin,
yang nyata dan tersembunyi. Hakim juga wajib bersifat adil pada dirinya sendiri
dan tidak melakukan dosa besar dan dosa kecil secara berterusan serta tidak
melakukan perkara yang merendahkan maruahnya, walaupun tidak berdosa.
Hakim wajib memiliki ilmu dan mampu beramal dengan ilmunya secara
adil.30nabi Muhammad pernah menyebut:
' ( A6 B 906& ! "6ﺹ HI#. JD 90 & /ی* & /0I& /
&
KL.
#. "M N OM N P A6 M Q-. *0R S( TU V#W. "M X (B
#. "M J 0ﺽ ( V1Z1
V#W. "M ?.OM Q-. X ( X (B
#. "M [M \ #. ] L ?6@ M A6 ی
X (B
^
Artinya: “Dari Sa’ad bin Ubaidah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya, bahwa Nabi SAW telah bersabda: hakim itu tiga jenis, satu jenis masuk syurga, dua jenis lagi masuk neraka. Hakim yang jahil, lalu menjatuhkan hukuman secara jahil, dia masuk neraka. Hakim yang mengetahui perkara yang benar dan menjatuhkan hukuman dengan cara tidak benar, maka dia masuk neraka”31.
30
Abdul Hadi Awang, Islam Adil Untuk Semua, (Selangor: PTS Islamika SDN BHD, 2009) h.61
31
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG NEGERI TERENGGANU DAN WEWENANG PERADILAN TERENGGANU
A. Keadaan Geografi dan Demografi
Malaysia merupakan suatu negara yang luas wilayahnya sekitar 336.700
KM32, terdiri dari Semenanjung Malaysia, Sabah dan Sarawak yang dipisahkan
oleh laut Cina Selatan yang luasnya 1.036 KM, berbatasan dengan negara
Thailand di Utara dan Singapura di Selatan. Sementara Sabah dan Serawak
luasnya sekitar 202.020 KM yang berbatasan dengan wilayah Kalimantan
(Indonesia)33.
Negara Malaysia terbagi menjadi 13 negara bagian34, yaitu Melaka,
Negeri Sembilan, Selangor, Terengganu, Pahang, Johor, Kelantan, Kedah, Perak,
Perlis, Pulau Pinang, Sabah dan Serawak. semenanjung malaysia terbagi kepada
dua wilayah yaitu pantai barat yang terdiri daripada negeri Johor, Kedah, Melaka,
Negeri Sembilan, Perak, Perlis, Pulau Pinang dan Selangor, dan pantai timur yang
terdiri dari negeri Kelantan, Pahang, Terengganu.
Letak Malaysia hampir berada di garis katulistuwa antara 1˚ dan7˚ lintang
utara serta 100˚ dan 119˚ bujur timur. Iklim Malaysia di pengaruhi oleh laut dan
32 http://wikisource.org/wiki/Perlembagaan_Persekutuan_Malaysia#Bahagian_X_-Perkhidmatan-Perkhidmatan_Awam, Diakses : 10.35, 23 Juni 2009.
33 Abdullah Jusuh, Pengenalan Tamadun Islam Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), h.1.
perubahan sistem angin yang bertiup dari lautan Hindi dan laut China Selatan.
Biasanya iklim ini terbagi menjadi dua musim yaitu musim monson barat-daya
dan monsum timur-laut.suhu sehari-hari di seluruh malaysia rata-rata antara 70F
sampai 90f. kelembapannya dapat dikatakan tinggi35
Terengganu yang terletak di semenanjung pantai timur luasnya kira-kira
1.295.638.3 hektar. Pantainya membentang sepanjang 225 KM dari utara Besut
ke Selatan Kemaman. Terdapat tujuh daerah (kabupaten) di Terengganu, yaitu
Kuala Terengganu, Kemaman, Dungun, Marang, Hulu Terengganu dan Besut,
kemudian pada 1 januari 1985, sebuah daerah baru yaitu Setiu telah di bentuk dan
menjadi daerah yang ketujuh di negeri Terengganu. Tiap-tiap daerah ini di kepalai
oleh seorang pegawai daerah (bupati). Kota-kota utama di Terengganu adalah
bandar Kuala Terengganu (ibu kota negeri). Chukai (ibu kota Kemaman), Kuala
Besut (Besut), Dungun (Kuala Dungun), Hulu Terengganu (Kuala Berang).36
Terengganu terbatas dengan Kelantan di sebelah utara, Pahang di sebelah
selantan dan laut china selatan di sebelah timur. Iklim yang tropis membuat
daerah-daerah di Terengganu menjadi subur bagi lahan pertanian dan perkebunan,
sedangkan daerah persisir bagian pantai laut cina selatan merupakan sektor
perikanan dan parawisata.37
Dilihat dari segi sejarahnya, kedatangan Islam ke Terengganu sebelum
Inggeris menjajah Terengganu pada waktu itu Terengganu belum menyatu
menjadi Negara Persekutuan Malaysia sekitar abad ke-8 H atau abad ke-14 M.
35 Abdullah jusuh, Pengenalan Tamadun Islam Malaysia, h.xii. 36Ibid., h.7.
Sebagai buktinya adalah seperti yang tercatat dalam batu bersurat
Terengganu.yang bertuliskan: “Tuan mendudukan Tamra ini di Benua
Terengganu adi pertama ada jumaat di bulan Rajab di tahun saratan di
sasanakala Baginda Rasulullah telah lalu tujuh ratus dua”
Tulisan tersebut berdasarkan hitungan ilmu falak (astronomi), bahwa Batu
Bersurat itu telah di buat pada hari jumaat tanggal 6 rejab 702 H38 kerana pada
tanggal tersebut bulan sedang berada dan bergerak dalam buruj saratan.39
berdasarkan kalender hijri istilahi (0001 H-1500 H) yang di keluarkan oleh
kerajaan negeri Terengganu dalam menyebut tahun baru 1413 H, 6 Rajab 702 H
adalah bertepatan dengan 24 februari 1303M. Tanggal tersebut bukanlah tanggal
masuknya Islam ke Terengganu, tetapi itu adalah tanggal pengisytiharan
(pengumuman) titah di raja berlakunya hukum syara’ dan undang-undang Islam
di Terengganu.40
Ketika Terengganu di perintah oleh Sultan Zainal Abidin III (1881-1918),
undang-undang Islam di Terengganu telah dilaksanakan dan dijadikan sebagai
undang-undang negeri di mana Baginda Raja telah menyusun struktur organisasi
Mahkamah (lembaga peradilan), membuat undang-undang Mahkamah dan
perlembagaan negeri. Undang-undang ini di buat berdasarkan qawa’id
38 Hussin Hasnah Dan Nordin Mardiana, Pengajian Malaysia, (Selangor: Oxford Fajar Sdn.Bhd.,2007), Dan Lihat: http://ms. wikipedi.org/wiki/Batu Bersurat Terengganu, diakses 10:35, 23 June 2009.
39 Rumusan Kertas Kerja Yang Di Buat Oleh Tuan Haji Muhammad Khair Bin Haji Taib, Seorang Ahli Falak Yang Terkenal Di Negara Ini Dan Di Ulas Oleh Yang Berhormat Dato’ Perda Di Raja, Seorang Ahli Falak Terengganu Yang Terkenal, Di Seminar “Kedatangan Islam Ke Terengganu”, Yang Di Laksanakan Oleh Yayasan Islam Terengganu Pada 13-14 Rajab 1401 hijrah Bersama 17-18 Mei 1981 M.
syar’iah atau al-qawai’id al-fiqhiyyah, yang berisi tiga belas (13) bab, meliputi
tugas-tugas pejabat dan pegawai Mahkamah, hukuman dan dana operasional
Mahkamah, secara umum, undang-undang Mahkamah ini berdasarkan sistem
kehakiman Islam. Dapat dikatakan, bahwa pada masa itu undang-undang ini
ternyata begitu lengkap dan tersusus rapi serta pelaksanannya di seluruh
Terengganu sesuai dengan dasar-dasar dan prinsip-prinsip kehakiman Islam.41
B. Mahkamah Syariah Dan Wewenangnya
Mahkamah Syariah ialah institusi kehakiman yang menangani serta menjatuhkan
hukuman kepada orang yang beperkara perdata dan pidana Islam sesuai
kewenangan yang telah di tetapkan.pada tahun 1948, ordinan42. Kewenangan
yang diberikan kepada Mahkamah Syariah adalah seperti perkawinan, perceraian,
kekeluargaan serta penyelesaian harta pusaka kecil. Mahkamah Syariah pula
menjalankan tugas yang terpisah dengan Pejabat Agama. Pejabat Agama
menjalankan urusan dalam hal-hal yang bersangkut dengan masyarakat Islam
seperti urusan zakat, baitulmal, dakwah, pendidikan, dan sebagainya berdasarkan
kewenangan setiap negeri bagian di Malaysia. Terdapat negeri yang meletakkan
Mahkamah Syariah di bawah wewenang Pejabat Agama negeri di bidang kuasa
dan tugas yang berlainan.43
41 http://ms. wikipedia.org/wiki/Mahkamah Syariah Malaysia, diakses 14 june 2009, at 8:30 am.
42 Ordinan adalah istilah, Undang-Undang yang dibuat pada waktu Inggeris berkuasa, hingga saat ini hanya di gunakan oleh Negara bagian Sabah dan Serawak.
Kebanyakan negeri menjadikan majelis mesyuarat DUN sebagai institusi
yang tertinggi dan di ikuti majelis agama dan adat istiadat44. Terdapat di
bawahnya Mahkamah syariah dan jabatan agama Islam. Di setiap buah negeri di
bentuk sebuah jabatan agama Islam untuk menangani perkara-perkara yang
berkaitan dengan undang-undang syariah. Mahkamah Syariah juga di tubuhkan di
setiap daerah bagi kebanyakan negeri untuk memudahkan lagi menjalankan
pentadbiran agama Islam. Ketua bagi setiap daerah berkenaan di lantik seorang
kadi daerah.45
Mahkamah Syariah Terengganu ataupun Mahkamah di setiap negeri
mempunyai fungsi antara lain:46
1. Menerima dan menyelesaikan kasus-kasus yang di bawa di Mahkamah
syariah dengan adil dan saksama sesuai dengan hukum syarak dan ketentuan
undang-undang;
2. Melaksanakan sistem kehakiman Islam yang teratur dan berkesusan(baik);
3. Mengurus kasus-kasus rayuan (banding) syariah secara teratur;
4. Mengurus permohonan pembagian harta pusaka;
5. Membangun sumber daya manusia yang terlatih dan profesional;
6. Memberi pelayanan mediasi (perundingan pedamaian).
Pada tahun 2001 DUN Terengganu telah membuat suatu undang-undang
Mahkamah Syariah yaitu Enakmen no. 3 Tentang Mahkamah Syariah
Terengganu) 2001 dan Enakmen no. 6 Tentang Keterangan dan Penjelasan
44 Yang Dimaksudkan Dengan DUN ( Dewan Undangan Negeri), di Negara Rupablik Indonesia ialah DPRD, (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
45 Http://ms.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Syariah_di Malaysia,
Mahkamah Syariah (Terengganu) 2001. berdasarkan Enakmen Mahkamah ini,
Mahkamah Syariah di bentuk dalam tiga tingkat yaitu:
a. Mahkamah Rayuan Syariah
Mahkamah rayuan syariah merupakan lembaga peradilan agama yang
berdiri sendiri, terdiri dari tiga anggota yaitu mufti kerajaan negeri dan dua orang
yang telah di lantik oleh Duli Yang Maha Mulia Sultan. Hanya berwenang untuk
menerima dan memutuskan perkara-perkara yang telah di putuskan oleh
Mahkamah Tinggi Syariah dan tidak boleh meminta untuk mengadili. Mahkamah
Rayuan Syariah adalah peringkat kasasi dalam ruang lingkup Mahkamah Syariah.
Mahkamah Rayuan berkedudukan di ibu kota Kuala Terengganu.
Dalam pasal 17 Enakmen no.3 tentang Mahkamah Syariah (Terengganu)
2001 di sebutkan bahwa bidang kuasa Mahkamah Rayuan Syariah47:
1) Mahkamah Rayuan Syariah hendakalah mempunyai bidang kuasa untuk mendengar dan memutuskan apa-apa rayuan terhadap apa-apa keputusan yang di buat oleh Mahkamah Tinggi Syariah dalam menjalankan bidang kuasa asalnya,
2) Apabila suatu rayuan daripada sesuatu Mahkamah Rendah Syariah telah di putuskan oleh Mahkamah Tinggi Syariah, Mahkamah Rayuan Syariah boleh atas permohonan mana-mana pihak memberikan kebenaran untuk di putuskan olehnya sendiri apa-apa persoalan undang-undang berkepentingan awam yang timbul dalam perjalanan rayuan itu dan yang keputusannya oleh Mahkamah Tinggi Syariah telah menyentuhkan keputusan rayuan itu.
3) Apabila kebenaran telah diberikan oleh Mahkamah Rayuan Syariah, ia hendaklah mendengar dan memutuskan persoalan yang di benarkan di rujukan bagi keputusannya dan membuat apa-apa perintah yang boleh dibuat oleh Mahkamah Tinggi Syariah, dan yang di fikirkannya adil bagi pemberesan rayuan itu.
Kemudian dalam pasal 18 di sebutkan bahwa bidang kuasa pengawasan
dan peninjauan kembali oleh Mahkamah Rayuan Syariah 48;
1) Mahkamah Rayuan hendaklah mempunyai bidang kuasa pengawasan dan penyemakan ke atas Mahkamah Tinggi Syariah dan boleh, jika di dapati olehnya demi kepentingan keadilan, sama ada atas kehendaknya sendiri atau kehendak mana pihak atau orang yang berkepentingan, pada mana-mana peringkat dalam apa-apa perkara dan prosuding, sama ada mal dan jinayah, dalam Mahkamah Tinggi Syariah, memanggil dan memeriksa mana-mana rekod tentang perkara atau prosuding itu dan boleh memberikan apa-apa arahan yang di kehendaki demi keadilan.
2) Apabila Mahkamah Rayuan Syariah memanggil rekod tentang apa-apa perkara atau prosiding di bawah subseksyen (1), semua prosiding dalam Mahkamah Tinggi Syariah tentang perkara atau prosuding itu hendaklah di gantung sementera diganti perintah selanjutnya daripada Mahkamah Rayuan Syariah. 49
b. Mahkamah Tinggi Syariah
Mahkamah Tinggi Syariah merupakan lembaga Peradilan Tingkat Tinggi
yang berkedudukan di ibu kota Negara bagian (provinsi) yaitu di Kuala
Terengganu. Mahkamah ini diketuai oleh seorang Hakim Besar tugasnya
mengawasi dan mengatur semua Hakim yang ada di kabupaten (Mahkamah
Rendah Syariah). Sedangkan wewenangnya meliputi bidang jinayah (pidana) dan
perdata yang telah diputus oleh Mahkamah Rendah Syariah dengan kata lain
Mahkamah Tinggi Syariah adalah peradilan tingkat banding.
Berdasarkan pasal 11 Enakmen no.3 tentang Mahkamah Syariah
(Terengganu) 2001, kewenangan Mahkamah Tinggi Syariah:
1) Mahkamah Tinggi Syariah hendaklah mempunyai kuasa di seluruh negeri Terengganu dan hendaklah di ketuai oleh seorang hakim Mahkamah Tinggi Syariah.
2) Walau apa pun subseksyen (1), ketua hakim syariah boleh bersidang sebagai hakim Mahkamah Tinggi Syariah dan mengetuai Mahkamah itu. 3) Mahkamah Tinggi Syariah hendaklah ;
a) Dalam bidang kuasa jinayah, membicarakan apa-apa kesalahan yang di lakukan oleh seseorang orang Islam dan boleh di hukum di bahawa
48Ibid, h. 214
Enakmen ini atau mana-mana undang-undang bertulis lain yang sedang berkuatkuasa yang menetapkan kesalahan-kesalahan terhadap rukun-rukun agama Islam, dan boleh mengenakan apa-apa hukuman yang di peruntukkan bagi kesalahan itu; dan
b) Dalam bidang kuasa mal, mendengar dan memutus ;
c) Semua tindakan dan prosiding jika semua pihak dalam tindakan atau prosiding itu orang Islam dan tindakan prosiding itu adalah berhubungan dengan
i. Pertunagan, perkawinan, ruju’, perceraian , pembubaran perkawinan (fasakh), nusyuz , atau pemisahan kehakiman (faraq), atau apa-apa perkara yang berkaitan dengan hubungan antara suami isteri; ii. Apa-apa pelupusan atau tuntutan harta yang berbangkit daripada
mana-mana perkara yang di nyatakan dalam sub perenggan (i); iii. Nafkah orang-orang tanggungan, kesahtarafan, atau penjagaan
(hadhanah) budak-budak;
iv. Pembahgian dan tuntutan harta sepencarian; v. Wasiat atau alang semasa marad-al-maut;
vi. Alang semasa hidup, atau penyelesaian yang di buat tanpa balasan yang memadai dengan wang atau nilaiab wang, oleh seorang orang Islam;
vii. Wakaf dan nazar;
viii. Pembahagian dan pewarisan harta berwasiat atau tak berwasiat; ix. Penentuan orang-orang yang berhak kepada harta pusaka seseorang si
mati yang beragama Islam atau bahagian-bahagian yang kepadanya masing-masing orang itu berhak;
x. Pengisytiharaan bahwa seseorang itu bukan lagi orang Islam;
xi. Pengisytiharaan bahwa seseorang yang telah mati itu ialah seseorang Islam atau sebaliknya pada masa kematiannya; dan
xii. Perkara-perkara lain yang berkenaan dengannya bidang kuasa di berlakukan oleh mana-mana undang-undang bertulis.50
Selain menerima dan menyelesaikan kasus-kasus yang di bawa ke
Mahkamah ini dengan di adili dan saksama sesuai dengan
kewenangan, Mahkamah Tinggi Syariah juga mempunyai
wewenang
a. Dapat melakukan koreksi atau peninjauan terhadap
kasus-kasus yang telah diproses di Mahkamah Syariah daerah-daerah,
50Ibid,
b. Mendengar, meneliti atau memproses dan memutuskan
kasus-kasus yang di ajukan banding dari Mahkamah Rendah Syariah
daerah-daerah,
c. Menyediakan jurnal Mahkamah untuk di tertibkan (bagi
sesetengah negeri).
Dalam pasal 13 ayat(2) di sebutkan bahwa dalam menerima perkara
banding, Mahkamah Tinggi Syariah boleh51;
a. Dalam perkara jinayah, menolak rayuan, mensabitkan dan menghukum pihak yang merayu, memerintah Mahkamah perbicaraan memanggil pembelaan atau membuat saisatan lanjut, menambah atau meminda hukuman, memerintah pembicaraan semula apa perintah Mahkamah.
b. Dalam perkara mal, mengesahkan atau mengubahkan keputusan Mahkamah, menjalankan mana-mana kuasa yang boleh di jalankan oleh Mahkamah perbicaraan.
c. Mahkamah-Mahkamah Rendah Syariah
Mahkamah Rendah Syariah berkedudukan di setiap kabupaten yang
menangani perkara-perkara untuk wilayahnya saja sebagai pengadilan tingkat
pertama. Tiap-tiap Mahkamah Rendah Syariah Daerah diketuai oleh seorang
Hakim Mahkamah Rendah Syariah. Tugasnya adalah memproses kasus-kasus
yang menjadi kewenangannya, menerima dan memutuskan kasus-kasus tersebut,
dan menyediakan kertas-kertas keputusan dan laporan Mahkamah.52 Ada pun
51Ibid, h. 211
wewenangnya sebagaimana di sebutkan dalam pasal 12 Enakmen no. 3 tentang
Mahkamah Syariah (Terengganu) 2001, 53yaitu;
1. Sesuatu Mahkamah Rendah Syariah hendaklah mempunyai bidang kuasa di seluruh negeri Terengganu dan hendakalah di ketuai oleh seorang hakim, 2. Mahkamah Rendah Syariah hendaklah;
a. Dalam bidang kuasa jinayah, membicarakan apa-apa kesalahan atau mana-mana oleh seseorang orang Islam di bawah Enakmen ini atau mana-mana undang-undang bertulis lain yang menetapkan kesalahan-kesalahan terhadap rukun-rukun agama Islam yang baginya hukuman maksimun yang diperuntukan oleh Enakmen atau mana-mana undang-undang bertulis itu tidak melebihi tiga ribu ringgit54, atau memenjara selama tempoh dua tahun atua kedua-duanya, dan boleh mengenakan mana-mana hukuman yang di peruntukan bagi kesalahan itu;
b. Dalam bidang kuasa mal, mendengar dan memutuskan semua tindakan dan prosiding yang Mahkamah Tinggi Syariah diberikan kuasa untuk mendengar dan memutuskan, jika amaun atau nilai hal perkara yang di pertikaikan itu tidak melebihi seratus ribu ringgit atau tidak dapat di anggarkan dengan wang (tidak termasuk tuntutan hadhanah atau harta sepencarian).
C. Mahkamah Sivil Dan Wewenangnya
Setelah terbentuknya Malaysia pada tahun 1963, maka undang-undang Sivil
dan atucara jinayah telah diselaraskan antara negeri-negeri selat, negeri-negeri
Melayu bersekutu, negeri melayu tidak bersekutu, Sabah dan Sarawak.
Pada kesimpulannya, menunjukkan bahwa kedatangan Inggris ke Tanah
Melayu adalah bertujuan untuk menguasai ekonomi, politik, pentadbiran,
memperkenalkan undang-undang Inggris dan menyebarkan agama kristian.
Kenyataan inni terbukti apabila Inggris bertindak campurtangan dalam semua urusan
pentadbiran, terutamanya dalam sistem perundangan. Kesan dari itu munculnya
53Enakmen Mahkamah Syariah (Terengganu) 2001 h. 210
pemerintahan sekular di Tanah Melayu, penggunaan undang-undang Inggris
mengenepikan sebagian besar undang-undang Islam dilakukan melalui hakim-hakim
British, melalui pengenalan undang-undang Inggris dan penubuhan majelis negeri
yang berkuatkuasa membuat undang-undang yang berdasarkan undang-undang
Inggris. Negeri Melayu yang mempunyai Mahkamah Syariah Inggris bertindak
mengurangkan bidangkuasa Mahkamah tersebut. Dan membuatkan undang-undang
Inggris digunakan di setiap negeri.55
Tugas kehakiman dalam Mahkamah Sivil wewenangnya sangat luas tidak
terbatas kepada orang Islam saja bahkan merangkumi orang Islam dan bukan Islam
yang boleh memutuskan banyak perkara mengikut bidangkuasa yang telah ditetapkan
oleh undang-undang dan akta persekutuan disamping enakmen negeri yang terpakai
baginya dengan bersumberkan pada Perlembagaan Persekutuan dan juga
berpandukan kepada common law Inggris.56Yang termasuk dengan Mahkamah sivil
adalah Mahkamah atasan dan Mahkamah rendah, Mahkamah atasan termasuk
Mahkamah persekutuan, Mahkamah rayuan dan Mahkamah tinggi dan yang termasuk
dengan Mahkamah rendah adalah Mahkamah sesyen Mahkamah majistret. 57
a. Mahkamah Persekutuan
Terdapat satu sahaja kehakiman Persekutuan yang mentadbirkan
Undang-Undang Persekutuan dan Undang-Undang-Undang-Undang Negeri bagi semua Negeri-Negeri
55
Abu Bakar Abdullah, Kearah Pelaksanaan Undang-undang Islam Di Malaysia: Masalah
dan Penyelesaiannya, (Kuala Terengganu: Pustaka Damai, 1986) h. 132
56
Institut Kefahaman Islam Malaysia,Sistem Kehakiman Islam (Kuala Lumpur: Malindo Printers SDN BHD, 2001) h. 21
57
Persekutuan, oleh karena ketiadaan Mahkamah awam negeri, maka tidak timbul
masalah bidangkuasa Mahkamah Persekutuan.58
Mahkamah Persekutuan merupakan Mahkamah tertinggi di Malaysia.
Mahkamah Persekutuan boleh membicarakan semua rayuan kasus sivil yang
diputuskan oleh Mahkamah Rayuan jika Mahkamah Persekutuan memberikan
kebenaran untuk berbuat demikian. Mahkamah ini juga membicarakan rayuan-rayuan
kasus jinayah daripada Mahkamah Rayuan yang berkait dengan kasus yang
dibicarakan oleh Mahkamah Tinggi dalam bidang kuasa aslinya, yaitu kasus-kasus
yang bukan dirayu berdasarkan keputusan Mahkamah-Mahkamah Bawahan.
b. Mahkamah Rayuan
Mahkamah Rayuan umumnya membicarakan semua kasus rayuansivil terhadap
putusan Mahkamah Tinggi, kecuali perintah atau putusan Mahkamah yang dibuat
melalui persetujuan. Untuk kasus-kasus yang melibatkan:
1. Tuntutan yang kurang daripada RM250,000;
2. Putusan Mahkamah atau perintah yang berkait dengan biaya sahaja;
3. Rayuan yang berkenaan dengan keputusan hakim dalam kamar bicara
terhadap saman interplider tentang fakta-fakta yang tidak
dipertikaikan;kebenaran Mahkamah Rayuan harus diperoleh lebih dahulu.
Mahkamah Rayuan juga membicarakan rayuan-rayuan keputusan kasus jinayah
Mahkamah Tinggi.
58
c. Mahkamah Tinggi
Mahkamah Tinggi mempunyai bidang kuasa penyeliaan dan pengubahan
keputusan semua Mahkamah Bawahan, serta juga bidang kuasa untuk membicarakan
semua rayuan daripada Mahkamah Bawahan, baik kasus sivil mahupun kasus
jinayah.
Mahkamah Tinggi mempunyai bidang kuasa sivil yang tidak terhad, dan
umumnya membicarakan kasus-kasus yang tuntutannya melebihi RM250,000, selain
daripada kasus-kasus yang melibatkan kemalangankenderaan bermotor, penderitaan,
dan pertikaian antara tuan rumah dan penyewa. Mahkamah ini juga membicarakan
kasus-kasus yang berkait dengan:
1. Kesahan atau pembubaran perkahwinan (perceraian) dan perkara-perkara
suami isteri;
2. Kemuflisan dan perkara-perkara berkait dengan penggulungan syarikat;
3. Penjagaan kanak-kanak;
4. Pemberian kenyataan sah wasiat, wasiat, dan surat kuasa mentadbirestet;
5. Injunksi, pelaksanaan tertentu (specific performance), atau pembatalan
kontrak;
6. Kesahan individu.
Mahkamah Tinggi mempunyai bidang kuasa yang tidak terhad terhadap semua
kasus jinayah selain dari