Zainal Abidin
ABSTRAK
PELAKSANAAN PERKAWINAN USIA MUDA SECARA ADAT DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM
(Studi di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Lampung Barat)
Oleh
Zainal Abidin
Perkawinan merupakan jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa, batas usia yang paling ideal melangsungkan
perkawinan menurut Badan Kesehatan Keluarga Berencana Nasional “ 25 (dua puluh
lima) tahun bagi pria dan 20 (dua puluh) tahun bagi wanita karena dianggap sudah
dewasa secara fisik juga mental” Berdasarkan tinjauan penulis pada tempat penelitian
(Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat) mayoritas penduduk pada wilayah ini 94% merupakan penganut Agama Islam hanya 6% merupakan penganut non Islam yang merupakan penduduk pendatang. Sehingga perkawinan usia muda yang di laksanakan secara adat jika di tinjau dari hukum Islam sangat menarik untuk dikaji. Penelitian ini membahas tentang pokok permasalahan yaitu: “Bagaimanakah pelaksanaan perkawinan usia muda secara adat ditinjau dari hukum Islam di kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Lampung Barat?”,dan “Bagaimanakah akibat hukum perkawinan usia muda secara adat ditinjau dari hukum Islam di kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Lampung Barat?”. Tujuan penelitian ini adalah Untuk memahami pelaksaana pekawinan di usia muda secara adat di jika di lihat dari hukum Islam di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bangkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat, dan Untuk memahami akibat hukum dari perkawinan usia muda berdasarkan ketentuan hukum Islam (sah atau tidak sah).
Zainal Abidin
data, dan sistematika data. Setelah diolah, data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu data di uraikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang jelas agar dapat di ambil suatu kesimpulan.Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Pelaksanaan perkawinan yang di lakukan secara adat saibatin di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat, jika dilihat dari hukum Islam adalah sah karena telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, meskipun dalam pelaksanaannya secara adat terkesaan rumit. Akibat hukum dari adanya perkawinan secara adat dalam hukum adat perkawinan yang mengenal sistem pembayaran jujur, maka yang di pertahankan yaitu garis keturunan kebapakaan (laki-laki) dimana istri setelah perkawinan masuk dalam kerabat suami, maka hak dan kewajiban suami dan istri berbeda, hak dan kedudukan istri lebih rendah daripada hak dan kedudukan suami. Istri harus tunduk dan patuh terhadap suami dan kerabatnya, segala sesuatunya di selesaikan dengan cara musyawarah keluarga/kerabatnya. Namun seiring perkembangan zaman hukum adat yang berlaku lebih konsekuen mengikuti hukum nasional yaitu hukum Islam sehingga hak dan kewajiban suami istri menjadi seimbang dan diatur dalam prundang-undangan..
PELAKSANAAN PERKAWINAN USIA MUDA SECARA ADAT DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
(Studi Di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Lampung Barat)
(Skripsi)
Oleh
ZAINAL ABIDIN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
PELAKSANAAN PERKAWINAN USIA MUDA SECARA ADAT DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM
(Studi Di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Lampung Barat)
Oleh
ZAINAL ABIDIN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
Judul Skripsi : PELAKSANAAN PERKAWINAN USIA MUDA SECARA ADAT DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Lampung Barat)
Nama Mahasiswa : Zainal Abidin No. Pokok Mahasiswa : 0712011368 Program Studi : Ilmu Hukum
Jurusan : Hukum Perdata
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Hj. Marindowati, S.H., M.H. Hj. Nilla Nargis, S.H., M.Hum. NIP. 19491114 1980003 2 001 NIP. 19570125 198503 2 002
2. Ketua Jurusan Hukum Perdata
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Hj. Marindowati, S.H., M.H. ...
Sekretaris : Hj. Nilla Nargis, S.H., M.Hum. ...
Penguji
Bukan Pembimbing : Hj. Wati Rahmi Ria, S.H., M.Hum. ...
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Penyandingan Bangkunat Belimbing Lampung Barat pada tanggal 04 Oktober 1989. Anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan bapak Al-Hapis dan ibu Rumaini.
Penulis menyelesaikan pendidkan di Sekolah Dasar Negeri 2 Penyandingan, Kelurahan Penyadingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat pada tahun 2001, kemudian penulis malanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjut Tingkat Pertama Negeri 8 Bandar Lampung pada tahun 2004. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menegah Atas Negeri 13 Bandar Lampung pada tahun 2007.
MOTTO
“Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (Adz Dzariyaat 49)
“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk”
(Al-Isra 32)
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula)” (An-Nur 26)
“Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”
( An Nisaa : 4)
“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa
Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia
(HR Muttafaq Alaihi dan Imam Lima)
“Jika datang (melamar) kepadamu orang yang engkau senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu). Jika kamu tidak menerima
(lamaran)-nya niscaya terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan yang luas” ( H.R. At-Turmidzi)
Berdiam diri tak akan membawamu menuju sukses maka bergeraklah karena diam berarti mati.
(anonim)
Tidak ada kata terlambat bagi kita untuk menjadi yang baik selama keinginan dan tekat tetap kita kobarkan dalam diri kita demi masa depan yang terbaik.
PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur kepada Allah SWT dan dengan segala ketulusan juga kerendahan hati, kupersembahkan karya ini kepada Abak (Al-Hapis) dan Amak (Rumaini) tercinta, tiada kata yang mampu mewakili ucapan terimakasih ku atas segala bentuk kasih sayang, do’a dan dukungan yang tiada henti untukku, semoga
Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa baik Abak dan Amak dan meringankan segala bentuk kesusahan abak dan amak. Aamiin... Ya... Rabbal’alamin
SANWANCANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan begitu banyak kenikmatan kepada umat manusia. Berkat nikmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perkawinan Usia Muda Secara Adat Ditinjau Dari Hukum Islam (studi di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat)”. Penulisan skripsi
ini dimaksud sebagai salah syarat untuk mencapai atau memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Skripsi ini ditulis atas dasar keingintahuan penulis mengenai pelaksanaan, dan dampak hukum perkawinan usia muda secara adat di tinjau dari hukum Islam. Pada penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan pengalaman terutama dari segi keilmuan yang penulis dapatkan dilapangan ketika penulis mengadakan penelitian.
1. Bapak Drs. Heryandi, S.H., M.S. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum. Ketua bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Ibu Aprilianti, S.H., M.H. Sebagai Sekertaris Bagian Hukum Keperdataan dan sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung. 4. Ibu Hj. Marindowati, S.H., M.H. Sebagai Dosen Pembimbing I yang
dengan sabar memberikan pengarahan dan bimbingannya serta meluangkan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Ibu Hj. Nilla Nargis, S. H., M.Hum. Sebagai Dosen Pembimbing II yang
telah dengan sabar memberikan saran dan bimbingannya serta meluangkan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Hj. Wati Rahmi Ria, S.H., M.H. Sebagai Dosen Pembahas I yang telah memberikan pengarahan, saran dan kritiknya demi kesempurnaan skripsi ini.
7. Ibu Kasmawati, S.H., M.H. Sebagai Dosen Pembahas II yang telah memberikan, saran dan kritiknya demi kesempurnaan skripsi ini.
8. Bapak dan ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang selama ini membimbing penulis dari awal sampai akhir Pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
10.Bapak Sahril Indra Bangsawan, S. E. (Alm), selaku Saibatin Marga Bangkunat Belimbing, yang telah banyak memberikan informasi yang diperlukan penulis pada penulisan skripsi ini.
11.Bapak Irhamsyah, S.Th. I. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Lamapung Barat yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh informasi dan data-data demi kelancaran penulisan skripsi ini.
12.Bapak Das’at selaku Lurah/Peratin di Kelurahan Penyadingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat, yang telah banyak membirikan data-data yang diperlukan penulis pada penulisan skripsi ini. 13.Bapak Maryan sebagi Pejabat Pembantu Nikah (PPN) di Kelurahan
Penyadingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Bengkunat Belimbing Lampung Barat, yang telah banyak membirikan informasi dan data-data yang diperlukan penulis pada penulisan skripsi ini.
14.Kakak dan adik-adikku: Wo Herlina Wati A beserta Suami Al-Fajri, Deli Saputra, Tiara Agustinna, Marya Suri Handayani terimakasih atas kebersamaannya dan motivasinya untuk keberhasilanku.
17.Saudara seperjuangan LDK FOSSI FH, BEM FH, PSBH yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, generasi penerus bangsa, teruslah berjuang saudaraku.
18. Saudara sealmamaterku tersayang Fakultas Hukum Universitas Lampung, tetap semangat dan jaga slalu tali persaudaan.
19.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan maupun dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini
Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan kepada Allah SWT, semoga segala
kebaikan serta apa yang telah diberikan oleh banyak pihak kepada penulis mendapatkan balasan yang stimpal dari Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Aamiin… Ya Rabbal’alamin.
Bandar Lampung, Feruari 2013 Penulis
DAFTAR ISI
B.Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 4
C.Pembatasan Masalh ... 5
D.Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelutian ... 6
II.TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan Umum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan a. Pengertian menurut Perundang-undangan ... 7
b. Pengertian Menurut Hukum Adat ... 7
c. Pengertian Menurut Hukum Islam ... 8
2. Tujuan Perkawinan a. Tujuan Menurut Perundang-undangan ... 9
b. Tujuan Menurut Hukum Adat ... 10
c. Tujuan Menurut Hukum Islam ... 10
B.Azas-azas Perkawina ... 10
C.Syarat Sahnya Perkawinan 1. Syarat Menurut Perundang-undangan ... 13
2. Syarat Menurut Hukum Adat ... 14
3. Syarat MenurutHukum Islam ... 14
D.Sistem Perkawinan Menurut Hukum Adat ... 15
F. Larangan Perkawinan
1. Larangan Menurut Perundang-undangan ... 18
2. Larangan Menurut Hukum Adat ... 18
3. Larangan Menurut Hukum Islam ... 19
G.Pembatalan Perkawinan 1. Pembatalan Dalam Perundanag-undangan ... 20
2. Pembatalan Menurut Hukum Adat ... 21
3. Pembatalan Menurut Hukum Islam ... 22
H.Pemberihuan Kehendak Nikah ... 22
I. Pencatatan Perkawinan ... 23
J. Akibat Hukum Adanya Perkawinan ... 23
K.Kerangka Pikir ... 25
III. METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian ... 26
B.Pendekatan Masalah ... 27
C. Lokasi Penelitian, Populasi, dan Sampel Penelitian ... 27
D.Data dan Sumber Data ... 28
E. Metode Pengumpulan, Penglolaan, dan Analisis Data 1. Metode Pengumpulan ... 29
2. Metode Pengelolaan Data ... 30
3. Metode Analisis Data ... 30
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Perkawinan Usia Muda Secara Adat Ditinjau Dari Hukum Islam ... 31
DAFTAR TABEL
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai mahluk sosial manusia tidak dipungkiri bahwa tidak bisa hidup secara tunggal atau sendiri tanpa bantuan orang lain, salah satunya dengan melangsungkan perkawinan sehingga ia mampu bertahan dan mempertahankan kelangsungan hidupnya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seoramg wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)”. Perkawinan merupakan jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal. Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Azas kematangan jiwa tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu “Perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah berusia 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah berumur 16 (enam belas) tahun”.
2
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan ini menunjukan bahwa batas usia perkawinan dalam Undang-undang ini tidak konsisten1.
Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa, batas usia yang paling ideal melangsungkan perkawinan menurut Badan Kesehatan Keluarga Berencana Nasional “ 25 (dua puluh lima) tahun bagi pria dan 20 (dua puluh) tahun bagi
wanita karena dianggap sudah dewasa secara fisik juga mental”2. Batas usia dalam melangsungkan perkawinan sangatlah penting. Begitu memutuskan untuk menikah, mereka harus siap menanggung segala beban yang timbul akibat adanya pernikahan, baik yang menyangkut pemberian nafkah, pendidikan anak, maupun yang berkait dengan perlindungan, pendidikan, serta pergaulan yang baik.
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi masih banyak orang tua yang menikahkan anaknya pada usia yang relative masih muda atau perkawinan di bawah umur, hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam factor yaitu rendahnya tingkat pendidikan mereka sangat mempengaruhi pola pikir mereka dalam memahami dan mengerti tentang hakekat dan tujuan perkawinan, faktor ekonomi maupun lingkungan tempat mereka tinggal juga bisa menjadi penyebab terjadinya perkawinan di usia muda.
1
Dedi sepriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Al-Fikriis,
2009), Hal. 50
2
3
Berdasarkan data dari Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Lampung Barat jumlah Kepala Keluarga 437 KK dan 12 pasangan suami istri melaksanakan perkawinan di bawah umur.
Tabel 1 : Data terjadi pada tahun 2008-2011
Sumber: Dokumen Kantor Urusan Agama Kecamatan Bengkunat Belimbing. Berdasarkan tinjauan penulis pada tempat penelitian (Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat) mayoritas penduduk pada wilayah ini 94% merupakan penganut Agama Islam hanya 6% merupakan penganut non Islam yang merupakan penduduk pendatang. Sehingga perkawinan usia muda yang di laksanakan secara adat jika di tinjau dari hukum Islam sangat menarik untuk dikaji terutama dalam hal proses pelaksanaan dan
No Nama Jejaka Usia Nama Gadis Usia Tanggal Pernikahan
4
akibat hukum yang timbul akibat berlangsungnya perkawinan. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan dan menyusunnya dalam skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN PERKAWINAN USIA MUDA SECARA ADAT DI TINJAU DARI HUKUM
ISLAM” (Studi Di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing
Lampung Barat)
B.Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
2. Bagaimanakah pelaksanaan perkawinan usia muda secara adat ditinjau dari hukum Islam di kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Lampung Barat?
3. Bagaimanakah akibat hukum perkawinan usia muda secara adat ditinjau dari hukum Islam di kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Lampung Barat?
2. Ruang Lingkup
5
1. Ruang lingkup bidang ilmu
Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang hukum perdata teentang hukum adat dan hukum Islam mengnai perkawinan berkaitan dengan hukum keperdataan, antara lain prosedur pelaksanaan, syarat dan rukun nikah, hak dan keajiban masing-masing pihaka suami istri.
2. Ruang lingkup kajian
Ruang lingkup kajian pada penelitian ini adalah:
1. Syarat dan rukun nikah, prosedur pelaksanaan perkawinan, mengurai tentang syarat dan rukun, prosedur pelaksananaan perkawinan berdasarkan Undang-undang, Hukum Adat dan Hukum Islam.
2. Mebahas akibat hukum yang timbul akibat adanya perkawianan yaitu mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
C.Pembatasan Masalah
Pembatadasan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Pelaku perkawinan usia muda yang dilakukan secara adat minimal salah satu atau
keduanya masih dibawah umur.
2. Akinak hukum yang timbul yaitu menganai hak dan kewajiban masing-masing
6
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Bedasarkan pada permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memahami secara lengkap dan jelas mengenai hal-hal berikut :
a.Pelaksanaan pekawinan di usia muda secara adat di jika di lihat dari hukum Islam di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bangkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat;
b.Akibat hukum dari perkawinan usia muda berdasarkan ketentuan hukum Islam. 2. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini mempunyai dua aspek kegunaan yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:
a. Kegunaan Teoritis
Untuk memahami prosedur pelaksanaan perkawinan usia muda secara adat
jika ditinjau dari hukum Islam
Untuk memperoleh data dan informasi secara lebih jelas mengenai akibar
hukum dari adanya perkawinan secara adat ditinjau dari hukum Isalam b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum khususnya tentang perkawinan.
Sebagai bahan kepustakaan bagi penelitian yang berkaitan dengan judul
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Tinjauan Umum perkawinan 1. Pengertian Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan Menurut Perundang-undangan
Pengertian perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di nyatakan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Pengetian perkawinan menurut hukum adat
Perkawinan menurut hukum adat di Indonesia umumnya bukan saja sebagai „perikatan perdata’ tetapi juga merupakan „perikatan adat’ dan sekaligus merupakan „perikatan kekerabatan dan ketetanggaan’, jadi terjadinya suatu ikatan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukumnya telah ada sebelum perkawinan terjadi misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan „rasan sanak (hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan „rasan tuha’ (hubungan keluarga dari calon suami istri). Perkawinan dapat dibentuk dan bersistem antara lain1:
1. Perkawianan jujurYaitu pelamaran di lakukan oleh pihak pria terhadap pihak wanita dan kemudian setelah perkawinan istri mengikuti kedudukan dan kediaman suami.
2. Perkawinan semanda yaitu pelamaran dilakukan oleh pihak wanita terhadap laki-laki dan setelah perkawinan suami mengikuti kedudukan dan kediaman istri.
3. Perkawinan „perda cocok’ yaitu pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap wanita dan kemudian setelah perkawinan kedua suami-istri bebas menentukan kediaman mereka, yang terahir ini banyak berlaku dikalangan keluarga yang telah maju (madern).
c. Pengertian perkawinan menurut hukum Islam
Istilah yang digunakan dalam bahasa arab pada istilah-istilah fikih tentang perkawinan munakahat/nikah, sedangkan dalam bahasa arab pada perundang-undangan tentang perkawinan yaitu ahkam Al-Zawaj atau ahkam izwaj. Perkawinan adalah akad atau persetujuan antara calon suami dan calon istri karenanya berlangsung melalui ijab dan qobul atau serah terima. Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk membentuk suatu rumah
1
tangga,maka hendaknya keduanya melakukan akad nikah terlebih dahulu2. Perkawian merupakan perikatan antara wali perempuan (calon istri) dengan suami perempuan itu, bukan hanya perikantan anatara seorang perian dan wanita saja menjadi tujuan perkawinan suami istri adalah untuk membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan bahwa perkawinan memiliki hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagian suami istri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat pariental (ke-orangtua-an).4 b. Tujuan Menurut Hukum Adat
Tujuan perkawinan menurut hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan, keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk
2
MR. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesi, (Indonesia Legal Center Publishing, 2011), hlm. 11.
3
memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan untuk mempertahankan kewarisan5.
c. Tujuan Menurut Hukum Islam
Tujuan perkawinan menurut hukum agama tidak sama antara agama yang satu dengan yang lainnya. Menurut hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk menegakkan agama, untuk memperoleh keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina rumah tangga yang damai dan teratur6. Menurut hukum Islam ialah selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat7.
B.Asas-asas perkawinan
1. Asas-asas perkawinan terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu8 :
b. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin, berdasarkan persatuan kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan;
d. Untuk sahnya perkawinan harus di lakukan berdasarkan agama dan kepercayaan yang akan melangsungkan perkawinan;
5
Hilman Hadikesuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Mandar Maju, 2007), hlm. 21,22
6
Ibid. Hal. 23
7
Mardani, Hukum Perkawinan Islam,(Graha Ilmu,2011), hlm. 11
8
e. Peristiwa perkawinan harus di lakukan pencatatan berdasarkan peraturan yang ada;
f. Kedudukan suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum;
g. Berdasarka alasan serta syarat-syarat tertentu juga izin pengadilan seorang pria boleh beristri lebih dari satu asas monogami9;
h. Untuk dapat melangsungkan perkawinan ditentukan batas umur serendah-rendahnya bagi pria 19 (sembilan belas) tahun dan bagi wanita 16 (enam belas) tahun dan izin orang tua masih diperlukan sampai yang akan melangsungkan perkawinan mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun.
2. Asas-asas perkawinan menurut hukum adat
a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
b. Perkawinan tidak saja harus sah dilakukan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari anggota kekerabatan.
c. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa orang wanita sebagai istri yang kedudukan di tentukan hukum adat setempat. d. Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota
kerabat masyarakat adat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak di akui oleh masyarakat adat.
9
e. Perkawinan dapat di lakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak, begitu pula sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan atas izin orang tua atau keluarga dan kerabat.
f. Perceraian ada yang boleh dan ada yang tidak di bolehkan. Perceraian suami istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan kedua belah pihak. g. Keseimbangan kedudukan antara suami dan isri berdasarkan ketentuan
hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.10
3. Asas dan prinsip perkawinan dalam bahasa sederhana yaitu; a. Asas sukarela.
b. Partisipasi Keluarga. c. Perceraian dipersulit.
d. Poligami dibatasi secara ketat. e. Kematangan calon mempelai. f. Memperbaiki derajat kaum wanita11.
C. Syarat-syarat Perkawinan 1. Menurut Perundang-undangan
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syarat perkawinan menurut KUHPdt ada dua yaitu syarat materil dan syarat formal;
1. Syarat materil terdiri dari;
10
Hilman Hadikesuma, Hukum Perkawinan Adat, (Citra Aditya BAkti, 2003), hlm. 71
11
a. Syarat materil absolut yaitu syarat yang menyangkut pribadi seseorang yang
terdiri dari; Monogami, Persetujuan antar kedua calon suami istri, Memenuhi
syarat umur minimal. Izin dari orang tertentu di dalam melakukan perkawinan.
b. Syarat materil relative yaitu larangan melakukan perkawinan dengan orang-orang tertentu misal;
Larangan perkawinan dengan seorang yang memiliki hubungan dekat
di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan;
Larangan perkawinan dengan orang siapa tersebut pernah berbuat
zina;
Memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, apabila belum
lewat waktu satu tahun, dilarang.
2. Syarat formal yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawian dilangsungkan
yaitu; Pemberitahuan, Pengumuman tetang maksud untuk kawin12.
b. Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan13:
Syarat sahnya perkawinan menurut UU ini adalah sebagai berikut;
1. Perkawinan didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak sehingga perkawinan tidak boleh di dasarkan atas dasar paksaan.
2. Calom mempelai laki-laki harus sudah berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan calon mempelai wanita hasrus berumur 16 (enam belas) tahun.
3. Apabila calon suami atau calon istri belum berumur seperti ketentuan diatas, maka calon pengantin tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tua atau walinya karena mereka di anggap belum
12
Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. (Jakarta: Rineka Cipta,2005),hlm. 4 13
dewasa secara hukum. Apabila izin dari orang tuanya tidak didapat maka calon pengantin tersebut dapat meminta izin dari pengadilan.
2. Menurut Hukum Adat
Sahnya perkawinan menurut hukum adat pada masyarakat pada umumnya tergantung
pada agama yang di anut masyarakat adat yang bersangkutan. Maksudnya jika telah
dilaksanakan dengan tatatertib agamanya makan perkawinan itu telah sah seacara adat.
Perkawinan menurut hukum adat perkawinan adalah sah apabila di lakukan menurut
Agama dan Kepercayaannya14.
3. Menurut Hukum Islam
Menurut hukum Islam syarat-syarat sahnya suatu perkawinan meliputi dua syarat atau kondisi yaitu rukun perkawinan dan syarat perkawinan. Kedua hal ini merupakan suatu kondisi atau condition cine quanon yang harus adasebagai brikut15;
a. Adanya calon suami. b. Adanya calon istri.
c. Adanya wali nikah calon istri.
d. Adanya 2 (dua) orang saksi laki-laki. e. Adanya mahar.
f. Adanya ijab Kabul.
14
Hilman Hadi Kesuma, Hukum Perkawianan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2003), hlm. 19
15
D.Sistem Perkawinan Menurut Hukum Adat
Dalam masyarakat hukum adat terdapat 3 (tiga) sistem perkawinan yang berlaku di kalangan masyarat hukum adat Indonesia asli;
1. Sistem Endogami
Sistem ini hanya memperbolehkan seorang menikah dengan orang-orang dari keluarganya sendiri, contoh di daerah Toraja.
2. Sistem Eksogami
Dalam sistem ini seorang hanya diperbolehkan melakukan suatu perkawinan dengan orang lain di luar suku keluarganya, contoh adat pada masyarakat Lampung, Batak.\
3. Sistem Eleutherogami
Dalam sistem perkawinan ini tidak ada larangan seperti kedua laranga di atas, oleh sebab itu elitherogami banyak terdapat pada masyarakat Indonesia16.
E.Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat 1. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur adalah kediaman suami, suatu bentuk perkawinan yang terdapat dalam masyarakat patrilinial, maksud bentuknya jujur tersebut adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis yang terganggu sebagai akibat hukum dari perkawinan itu, akibat dari pemberian jujur adalah istri wajib bertempat tinggal
16
dikediaman suami dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut itu menjadi penerus keturunan atau anggota kerabat ayahnya.
Perkawinan jujur merupakan perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran”jujur” dari pihak pria kepada pihak wanita , sebagaimana terdapat di
daerah Lampung, Batak, Nias, Bali dan Sunda, dengan diterimanaya uang atau barang jujur oleh wanita, akan mengalihkan kedudukan dari keanggotaan kerabat suami untuk selama ia mengikatkan diri dalam perkawinan itu, sebagai mana berlaku di daerah Lampung dan Batak17, dalam hal ini masyarakat Adat Lampung Saibatin di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat menggunakan bentuk perkawinan jujur.
2. Perkawinan Semanda
Bentuk perkawinan semanda biasanya terdapat di daerah yang susunan kekerabatannya matrilineal (garis keturunannya di tari dari ibu), sedangkan perkawinan semanda pada masyarakat adat lainnya itu karena kepentingan demi meneruskan keturunan atau agar terpelihara harta warisan.
Perkawinan semanda ini adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran uang jujur dari pihak laki-laki kepada pihak wanita. Setelah perkawinan berlangsung si suami harus menetap di tempat kediaman atau kekerabatan istri dan melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri.
3. Perkawinan Tanpa Lamaran (Kawin Lari atau Sebambangan)
Perkawinan tanpa lamaran biasanya terjadi disuatu lingkungan masyarakat adat, tetapi yang terbanyak berlaku adalah dikalangan masyarakat adat Lampung, Batak, Bali, Bugis atau Makasar, dan Maluku. Didaerah tersebut walaupun kawin
17
lari merupakan pelanggaran adat namun dibenarkan dengan catatan terdapat tata tertib cara penyelesaiannya.
Sistem perkawinan lari di bedakan atas “Kawin lari bersama” dan “kawin lari paksaan”. Perkawinan lari bersama adalah perbuatan berlarian untuk
melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis, cara melakukan berlarian tersebut yaitu si bujang sepakat melakukan kawin lari dan pada waktu yang sudah di tentukan melakukan lari bersama, atau si gadis secara diam-diam di ambil kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya.
Perkawinan lari paksaan yaitu perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu, atau dengan paksaan, atau menggunakan kekerasan, tidak dengan persetujuan si gadis, dan tidak menurut tatatertib adat berlarian. sistem perkawinan lari paksaan ini jika terjadi seringkali diteruskan oleh kerabat yang merasa kehormatannya terganggu kepada pihak Kepolisian dengan menggunakan Pasal 332 KUHP sebagai dasar pengaduan18.
F. Larangan Perkawinan
1. Larangan Dalam Perundang-undangan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyangkut beberapa larangan yaitu:
b) Larangan terhadap yang ada hubungan darah. c) Larangan terhadap yang ada hubungan semanda. d) Larangan terhadap yang ada hubungan susuan.
18
e) Larangan terhadap yang ada hubungan periparan dan yang ada hubungan dengan larangan agama.
Namun tidak disebutkan adanya larangan menurut hukum adat kekerabatan.
2. Larangan Dalam Hukum Adat
a. Karena adanya hubungan kekerabatan yaitu larangan perkawinan bagi seorang pria melakukan perkawinan dengan anak saudara laki-laki bibi (kelama) dan juga larang mengambil wanita untuk kawin dari pihak kelama dari ayah.
b. Karena adanya perbedaan kedudukan yaitu larangan perkawinan bagi pria golongan penyimbang dengan wanita golongan di bawahnya.
c. Karena pertalian sepersusuan yaitu larangan perkawinan bagi sepersusuan. d. Karena Larangan hukum agama yaitu larangan seorang pria dan wanita
melakukan perkawinan karena perbedaan agama atau kepercayaan.
Pada umumnya larangan perkawinan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidaklah banyak bertentangan dengan hukum adat yang ada di Indonesia , hal-hal yang berlainan karena pengaruh struktur masyarakat adat yang unilateral, apakah menurut garis patrilinial ataupun matrilineal, dan ada pula masyarakat yang di pedalaman. Istilah larangan dalam hukum adat yaitu; Sumbang, Pantang, Pamalik, Tulah19.
3. Larangan perkawinan menurut hukum Islam
Yang dilarang dalam perkawininann ini adalah perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini yaitu ada bersifat selamanya dan ada yang tidakselamanya20;
19
Ibid, hlm. 29
20
a. Larangan yang bersifat mu’abbad yaitu Perkawinan yang dilarang selamanya
1. Disebabkan oleh adanya hubungan nasab.
2. Disebabkan adanya pertalian sesusuan
3. Disebabkan karena adanya hubungan kerabat semenda. Yang dalam istilah fikqih disebut hubungan mushaharah.
b. Larangan yang bersifat ghairu mu’abbad (tidak selamanya)
1. Mengawini dua orang saudara dalam satu masa.
2. Poligami diluar batas.
3. Larangan karena ikatan perkawinan.
4. Larangan karena talaq tiga.
5. Larangan karena ihram.
6. Larangan karena perzinahan.
7. Larangan karena beda agama.
G. Pembatalan Perkawinan
1. Pembatalan Dalam Perundanag-undangan
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakana bahwa „Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan’. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri.
Ada dua sebab pembatalan perkawinan, alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan sebagai berikut;
a. Pelanggaran procedural perkawinan;
2. Wali nikah tidak sah.
3. Perkawinan tanpa dihadiri 2 (dua) orang saksi. b. Pelanggaran materi perkawiann
1. Perkawinan di langsungkan di bawah ancaman. 2. Terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri21
Undang-Undang perkawinan Indonesia menganut sistem pembatalan relative. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan ialah pihak keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami dan istri, suami atau istri pejabat yang berwenang dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung dalam perkawinan tersebut22. Pembatalan perkawinan juga diatur dalam Pasal 37-38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Pembatalan Dalam Hukum Adat
Pada umumnya masyarakat hukum adat di Indonesia tidak mengenal lembaga pembatalan perkawinan, oleh sebab itu pada dasarnya hukum adat itu tidak berpegang pada persyaratan perkawinan yang memerlukan perstujuan kedua calon mempelai, batas umur, larangan poligami, cerai kawin berulang dan juga waktu tunggu untuk melangsungkan perkawinan23, hal ini dikenal dalam hukum adat hanya karena agama yang dianut (larangan perkawinan yang berhubungan darah, hubungan susuan, dan hubungan kekerabatan).
21
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Indonesia Legal Center Publishing, 2011), hlm. 23
22
Ibid, hlm. 24
23
Telah membudaya bagi masyarakat hukum adat apabila telah terjadi perkawinan pantang untuk dibatalkan. Apabila terjadi pembatalan perkawinan berarti telah mecoreng nama baik keluarga/kerabat, di daerah Lampung apabila terjadi perkawinan kemudian di batalkan maka kedudukan si gadis bukan gadis lagi meskipun belum pernah bercampur dengan suaminya, namun ia sudah berstatus janda. Nilai status janda jauh lebih rendah dari pada kedudukan gadis.
3. Pembatalan Dalam Hukum Islam
Hukum Islam menganut azas monogami terbuka menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal ini di jelaskan bahwa suami boleh mempunyai istri lebih dari seorang jika memperoleh izin dari istrinya24, jika dalam keluarga suami atau istri tidak dapat rukun dalam berumah tangga maka bukan di ajukan permohan pembatalan perkawinan tetapi langsung menjatuhkan talak, jika istri tidak menemukan kecocokan pada suami maka ia menuntut perceraian dan sebaliknya jika suami tidak menemukan kecocokan terhadap istrinya maka ia akan menjatuhkan talak, bukan menempuh pembatalan perkawinan karena lembaga tersebut memang tidak ada dalam hukum Islam.
H. Pemberitahuan Kehendak Nikah
2. Akta kelahiran atau surat keterangan asal usul; 3. Surat keterangan tentang orang tua;
4. Surat keterangan untuk menikah;
5. Surat dispensasi, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut ketentuan Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan25.
I. Pencatatan Perkawinan
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa „pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama islam, di lakukan oleh pegawai pencacatan nikah yang diangkat oleh Mentri Agama atau oleh pegawai yang di angkat olehnya, sebagai mana yang di atur dalam Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk26.
J. Akibat Hukum Adanya Perkawinan
Akibat hukum adanya perkawinan terbagi dua, yaitu:
1. Perkawinan yang sah, perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang di nyatakan senbagai perkawinan yang sah. Akibat perkawinan yang sah timbul hubungan hukum yaitu:
a. Hubungan hukum antara suami dan istri yang mencakup hak dan kewajiban diantara keduanya;
25
Mardani, Hukum Perkawinan Islam,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2011), hlm. 19
26
b. Hubungan hukum antara anak dan orang tua yang mencakup hak dan kewajiban keduanya;
c. Hubungan hukum antara wali dan anak, anak yang belum berusia 18 tahun atau belum menikah di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian; d. Hubungan hukum terhadap harta benda dalam perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta benda yang di bawa masing suami dan istri menjadi hak masing-masing selama keduanya tidak menentukan lain.
Usia Muda
Peninjauan Dari Hukum Islam
Pelaksanaan Perkawinan Secara Adat Perkawinan
K.Kerangka Pemikiran
Pejelasan.
Terjadinya perkawinan dimana salah satu atau kedua calon mempelainya masih dibawah umur atau belum memenuhi ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah berumur 16 (enam belas) tahun”. Perkawinan ini dilakukan secara adat saibatin, namun pelaku perkawianan yang ada merupakan penganut agama Islam sehingga perlu ditinjau mengenau pelaksanaan dan akibat hukum yang timbul berdasarkan tinjauan dari segi hukum Islam .
III. METODE PENELITIAN
Metode adalah proses, prinsip-prinsip, tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun, dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia.metode penelitian dapat diartikan sebagai proses, prinsip-prinsip, dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan suatu penelitian1. Metode penelitian hukum itu sendiri adalah ilmu tentang cara melakukan penelitian hukum secara teratur/sistematis2.
A. Jenis Penelitian
Dalam penulisan ini jenis penelitian yang digunakan bersifat Deskriptif Terapan, yaitu penelitian yangt bertujuan menggambarkan secara tepat dan terperinci mengenai suatu gejala yang terjadi pada masyakat dengan maksud memperdalam pengtahuan mengenai permasalahan yang diteliti. Penelitian tersebut dapat dilakukan (terutama) terhadap bahan hukum perimer dan bahan hukum sekunder,
1
Soerjono Seokamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1986) hlm. 6
2
sepanjang bahan-bahan tadi mengandung kaidah hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan3.
.
B. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Normatif Terapan yaitu pendekatan yang berdasarkan pada ilmu tentang kaedah yang membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan rumusan masalah-masalah kaedah hukum, sehingga berpedoman pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang N0m0r 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan literatu-literatur yang berkaitan dengan pokok bahasan pada skripsi ini.
C. Lokasi Penelitian, Populasi, dan Sampel Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Lampung, Kelurakan Penyandingan Kecamata Bengkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat.
Pemilihan lokasi ini dikarenakan di daerah ini masih di temukan perkawinan usia muda secara adat.
Berdasarkan data terahir tahun 2011 di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat, jumlah kepala keluarga di Kelurahan 437 KK dan terdapat 12 pasangan suami istri (populasi) yang melakukan perkawinan usia muda.
3
D. Data dan Sumber Data
Belimbing, bapak Dus’at selaku Lurah/Peratin kelurahan Penyandinagn.
2. Data sekunder adalah data yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,
literatur yang terkait dan dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
Data sekunder terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu :
Bahan hukum perimer adalah bahan hukum yang mengikat4 berupa undang-undang,
dokumen yang membahas tentang perkawinan..
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt).
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Undang-Undang Peradilan Agama Nomar 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
4. Peraturan Perundang-undangan No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
5. Peraturan Menri Agama Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang
b. Bahan hukum sekunder, yaitu sumerdata yang secara tidak langsung dapat memberikan keterangan yang bersifat mendukungsumberdata perimer5, berupa buku-buku, artikel dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan skripsi ini.
E. Metode Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data pada penelitian ini ialah:
a. Studi pustaka, dilakukan dengan cara mempelajari, membaca, mencatat dan
mengutup datayar di perolah dari bebrapa literatur berupa buku-buku dan peraturan
hukum yang berkaitan dengan pokok pembahasan.
b. Studi dokumen, dilakukan dengan membaca, menelaah, mencatat dan mengutip dokumen-dokumen dan surat-surat yang berhubungan dengan perkawinan.
c. Wawancara, dilakukan secara terbuka kepada bapak Sahril indra bangsawan, S.E. selaku saibatin (kepala adat), bapak Irhamsyah, S. Th. I. Selaku kepala Kantor Urusan Agama Bengkunat Belimbing, bapak Dus’at selaku
Lurah/Peratin Penyandingan, yang dilakukan dengan cara tanya jawab secara lansung dimana semua pertanayatelah disiapkan seacar sistematis, jelas dan terarah sesuai dengan isu hukum yang diangkat dalam penelitian, sebagai pendukung data sekunder.
2. Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul, pengolahan data dilakukan dengan cara:
5
a) Identifikasi data, yaitu mengidentifikasi dan memeriksa data yang akan digunakan.
b) Seleksi data, yaitu pemeriksaan terhadap kebenaran, kelengkapan dan ketetapan data yang digunkan dalam penelitian.
c) Klasifikasi data, yaitu menempatkan data menurut kelompok-kelompok tertentu.
d) Sistematisasi data, yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data yang telah ditentukan, dan sesuai dengan pokok bahasan.
3. Analisis Data
1
V. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian pada pembahsan di atas, maka dapat di simpulkan hal-hal sebagai berikut;
1. Pelaksanaan perkawinan yang di lakukan secara adat saibatin di Kelurahan Penyandingan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Lampung Barat, jika dilihat dari hukum Islam adalah sah karena telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, walau demikian ada hal yang perlu dibenahi dalam pelaksanaan perkawinan usia muda yang di lakukan secara adat ini.
2
memberikan pernyataan secara tertulis bahwa ia menyetujui atau memberikan izin kepada anaknya untuk menikah pada usia muda.
2. Akibat hukum dari adanya perkawinan secara adat dalam hukum adat perkawinan yang mengenal pembayaran jujur maka yang di pertahankan yaitu garis keturunan kebapakaan (laki-laki) dimana istri setelah perkawinan masuk dalam kerabat suami, maka hak dan kewajiban suami dan istri berbeda, hak dan kedudukan istri lebih rendah daripada hak dan kedudukan suami. Istri harus tunduk dan patuh terhadap suami dan kerabatnya, segala sesuatunya di selesaikan dengan cara musyawarah keluarga/kerabatnya. Namun seiring perkembangan zaman hukum adat yang berlaku lebih konsekuen mengikuti hukum nasional yaitu hukum Islam sehingga hak dan kewajiban suami istri menjadi seimbang dan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
B. SARAN
Kepada pemerintah sebaiknya sosialisasi keberadaan peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan, harus terus menerus dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga yang berwenang. Sosialisasi ini dapat dilakukan melalui berbagai media yaitu: penyuluhan-penyuluhan secara langsung terhadap masyarakat, khotbah jum’at, audio visual, brosur, surat kabar, majalah, dan sebagainya, agar
3
terhadap lembaga sehingga masyarakat bisa taat dan patuh terhadap peratura-peraturan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku:
Amnawati, Wati Rahmi Ria. 2008, Hukum dan Hukum Islam, Bandar Lampung: Unuversitas Lampung.
Busharn, Muhammad. 2003, Azaz-azaz Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta: Paradya Paramita.
Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju.
---, 2003, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Perkawinan Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Mohammad, M. Dlori. 2005. jeratan nikah dini, wabah pergaulan. Jogjakarta: Media Abadi.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mustofa. Sepriadi, Dedi. 2009. Perbandingan Hukum Peerkawinan di Dunia Islam. Bandung: Al-Fikriis.
Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Prodjohamidjojo, Martiman. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: CV. Karya Gemilang.
B. Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Peradilan Agama Nomar 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Mentri Agama RI Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah.