NEGERI KALAH BERSAING
PERSAINGAN telah menjadi bagian dari sejarah manusia sejak lampau. Di era kolonialisme, persaingan akan bahan rempah menciptakan tatanan dunia baru. Di era industri, negara-negara bersaing untuk mendapatkan sumber-sumber energi.
Sayangnya, dalam soal persaingan antarnegara itu Indonesia tidak bisa dibanggakan. Dari indeks daya saing global (global competitiveness index/GCI) yang diumumkan World Economic Forum beberapa hari lalu, posisi Indonesia turun empat
peringkat.
Dari urutan ke-46 pada tahun lalu kini kita di peringkat ke-50 dari 144 negara yang disurvei tahun ini. Kemerosotan itu bukan baru. Peringkat pada 2011 pun merupakan penurunan dua tingkat dari tahun sebelumnya.
Lebih menyedihkan, daya saing kita lemah tidak hanya jika dibandingkan dengan negara-negara Barat atau negara maju Asia, tetapi juga dengan negara tetangga.
Malaysia, meski juga turun empat peringkat, tetap 25 tingkat lebih berdaya saing jika dibandingkan dengan Indonesia. Negara kecil Brunei Darussalam pun bisa bangga duduk di posisi ke-28, sementara Thailand di posisi ke-38.
Peringkat GCI menggambarkan kondisi bisnis suatu negara. Negara dengan peringkat makin rendah berarti punya makin banyak faktor penghambat bisnis.
Bagi Indonesia, faktor utama penghambat bisnis itu telah
Setiap faktor penghambat bisnis itu diberi nilai 15,4 dan 14,2.
Faktor penghambat lain ialah infrastruktur yang buruk (8,7), etika kerja buruh yang rendah (7,4), regulasi buruh (6,8), dan akses ke lembaga keuangan (5,4).
Dengan segudang penyakit itu, negara kita ibarat atlet yang terseok-seok untuk mencapai finis. Penyakit itu semestinya
diobati saat ini juga. Tidak saja menjauhkan investor, daya saing yang lemah sesungguhnya juga bisa menggerogoti sendi-sendi dalam negeri sendiri.
Sejak zaman Adam Smith pun, tangan yang tidak terlihat
(invisible hands) dari pasar hanya bekerja jika produsen barang dan jasa bersaing. Persaingan itulah yang bisa menekan harga sekaligus memberikan insentif untuk inovasi.
Dalam hal korupsi, penindakan kasus tanpa tebang pilih harus dibuktikan lembaga penegak hukum. Pengusutan dan hukuman harus bisa menjerat para dalang korupsi, bukan sekadar pejabat kelas rendah dan menengah.
Dalam soal birokrasi, prosedur penyelesaian satu atap yang
sudah didirikan terbukti belum efektif. Birokrasi yang berbelit di Tanah Air merupakan buah pengadaan pegawai negeri yang tidak terencana baik.
Gemuknya jumlah pegawai negeri sipil yang tidak seimbang dengan jumlah pekerjaan akhirnya melahirkan lambannya kinerja pelayanan negara.
Distribusi barang dan jasa yang selama ini hanya lancar di Pulau Jawa sudah semestinya diperluas.