HUBUNGAN PEMBERIAN EKSTRAK DAUN SENDOK
(Plantago major L.) TERHADAP HITUNG EOSINOFIL
DARAH TEPI PADA MENCIT Balb/C
MODEL ASMA ALERGI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
SISILIA FITRIA PURNANINGRUM
G 0007158
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul: Hubungan Pemberian Ekstrak Daun Sendok
(Plantago major L.) Terhadap Hitung Eosinofil Darah Tepi
pada Mencit Balb/C Model Asma Alergi
Sisilia Fitria Purnaningrum, G0007158, Tahun 2010
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari Selasa, Tanggal 13 Juli, Tahun 2010
Pembimbing Utama
Nama : RP. Andri Putranto, dr., M.Si. ……… NIP : 19630525 199603 1 001
Pembimbing Pendamping
Nama : Martini, Dra., M.Si. ……… NIP : 19571113 198601 2 001
Penguji Utama
Nama : Sri Hartati H, Dra., Apt., SU . ……… NIP : 19490709 197903 2 001
Anggota Penguji
Nama :Ipop Syarifah, Dra., M.Si. ……… NIP : 19560328 198503 2 001
Surakarta, ……….
Ketua Tim Skripsi
Muthmainah, dr., M. Kes. NIP. 19660702 199802 2 001
Dekan FK UNS
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, Juli 2010
ABSTRAK
Sisilia Fitria Purnaningrum, G0007158, 2010. Hubungan Pemberian Ekstrak
Daun Sendok (Plantago major L.) terhadap Hitung Eosinofil Darah Tepi pada Mencit Balb/C Model Asma Alergi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tujuan Penelitian: Mengetahui hubungan pemberian ekstrak daun sendok terhadap hitung eosinofil darah tepi pada mencit Balb/C model asma alergi. Metode Penelitian: Eksperimental laboratorik dengan post test only control group design menggunakan 40 ekor mencit Balb/C jantan, dibagi dalam 5 kelompok. Sensitisasi hewan coba hari ke-0 dan 10 dengan 0,15 cc ovalbumin (OVA) dalam Al(OH)3 secara intraperitonial, dilanjutkan hari ke-15, 17, 19, 21 dan 23 dengan OVA secara aerosol selama 20 menit serta hari ke-16, 18, 20, 22 dan 24 dengan sigaret secara aerosol. Hari ke-25 mencit diambil darahnya dari ekor, kemudian dilakukan penghitungan eosinofil dengan apusan darah perwarnaan Wright Giemsa pada 5 lapang pandang. Data dianalisis dengan Uji
Kruskal Wallis menggunakan program SPSS for Window Release 16.0. Tingkat kemaknaan digunakan p<0,05.
Hasil Penelitian: Hitung eosinofil darah tepi kelompok kontrol 3,25 ± 1,83 sel,
asma alergi 5,5 ± 3,74 sel, antihistamin 2,25 ± 1,98 sel,daun sendok 1 mg/mencit 5,25 ± 4,2 sel dan daun sendok 2 mg/mencit 3 ± 2,56 sel. Tidak ada perbedaan hitung eosinofil kelompok kontrol dengan daun sendok 1 mg/mencit (p=0,457), begitu juga antara hitung eosinofil kelompok daun sendok 1 mg/mencit dengan antihistamin (p=0,200).
Simpulan Penelitian: Tidak ada hubungan pemberian ekstrak daun sendok
terhadap hitung eosinofil darah tepi pada mencit Balb/C model asma alergi (p>0,05).
ABSTARCT
Sisilia Fitria Purnaningrum, G0007158, 2010. Corellation between Daun
Sendok (Plantago major L.) Extract with Eosinophyll Peripheral Blood Count on Balb/C Mice Asthma Allergic Model, Faculty of Medicine, Sebelas Maret Univesity, Surakarta.
Objective: To understand relationship between daun sendok extract with eosinophyll peripheral blood count on Balb/C mice asthma allergic model.
Methods: Experimental laboratoric with post-test only control group design using
40 Balb/C male mice, divided into five groups. Sample was sensitized by 0,15 cc ovalbumin (OVA) in Al(OH)3 on day-0 and day-10 intraperitoneally, continued in day-15, 17, 19, 21 and 23 with OVA aerosolly in 20 minutes, also continued in day-16, 18, 20, 22 and 24 with cigaret aerosolly. In day-25, blood sample was collected from tail , the eosinophyll count was conducted using cell counter after staining a blood smear using Wright Giemsa in 5 view fields. Data analyzed using
SPSS for Window Release 16.0. Statistically significant p<0,05.
Results: Eosinophyll peripheral blood count in control group 3,25 ± 1,83 cells, asthma allergic 5,5 ± 3,74 cells, anti-histamine 2,25 ± 1,98 cells, 1 mg/mice daun sendok extract 5,25 ± 4,2 cells, and 2 mg/mice daun sendok extract 3 ± 2,56 cells. There is no significant difference between control group with daun sendok 1 mg/mice group in eosinophyll count (p=0,457), same as in eosinophyll count between daun sendok 1 mg/mice group with anti-histamine (p=0,200) .
Conclusion: There is no corellation between daun sendok (Plantago major L.)
extract with eosinophyll peripheral blood count on Balb/C mice asthma allergic model (p>0,05).
PRAKATA
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Pemberian Ekstrak Daun Sendok terhadap Hitung Eosinofil Darah Tepi pada mencit Balb /C Model Asma Alergi”
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. A.A. Subiyanto, dr., MS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M. Kes. selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
3. RP. Andri Putranto, dr., M.Si. selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu dalam membimbing penulis dalam rangka penyelesaian skripsi ini.
4. Martini, Dra., M.Si. selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan banyak bimbingan dan masukan kepada penulis.
5. Sri Hartati H, Dra., Apt., SU. selaku Penguji Utama yang telah berkenan menguji sekaligus memberikan banyak saran dan koreksi bagi penulisan skripsi ini.
6. Ipop Syarifah, Drs., M.Si. selaku Penguji Pendamping yang telah berkenan menguji dan memberikan saran yang berarti bagi penulis.
7. Diding. H. Prasetyo, dr., M.Si. selaku Koordinator Tim Penelitian yang dengan penuh kesabaran meluangkan waktu dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, mengkoreksi, memberi saran, dan nasehat kepada penulis dalam penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung sehingga terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Surakarta, Juli 2010
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang Masalah ...
D. Manfaat Penelitian
...
4
BAB II LANDASAN TEORI ...
5
A. Tinjauan Pustaka
3. Eosinofil
B. Kerangka Pemikiran
...
19
1. Kerangka Berpikir Konseptual ...
19
2. Kerangka Berpikir Teoritis ...
A. Jenis penelitian
... B. Lokasi Penelitian
... C. Subjek Penelitian
... D. Teknik Sampling
... E. Identifikasi Variabel Penelitian
... F. Skala Variabel
... G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
...
H. Penentuan Dosis Perlakuan ... I. Rancangan Penelitian
... J. Alat dan Bahan Penelitian
... K. Alur Kerja Penelitian
... L. Teknik Analisis Data
... BAB IV HASIL PENELITIAN
...
31
A. Hasil Penelitian
... B. Interpretasi Hasil
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kandungan Kimia dan Efek Farmakologi Daun Sendok ... 14 Tabel 4.1. Rata-rata Hitung Eosinofil Darah Tepi (sel/5 lp) pada Mencit
Balb/C masing-masing Kelompok Perlakuan ... 32 Tabel 4.2.Hasil Perhitungan UjiMann-Whitney(a=0,05) antar Kelompok.. 34
Formatted: Font: I talic
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Tanaman Daun Sendok (Plantago major L.)... 12
Gambar 2.2. Skema kerangka berpikir ….…………... 19
Gambar 3.1. Eosinofil. …..………... 25
Gambar 3.2. Sensitisasi Hewan Model Asma…... 26 Gambar 3.3. Skema Rancangan Penelitian………..………...
Gambar 3.4. Alur Kerja Penelitian...
27 29 Gambar 4.1. Eosinofil dengan perbesaran 400x pada K1...
Gambar 4.2. Eosinofil dengan perbesaran 400x pada K2... Gambar 4.3. Eosinofil dengan perbesaran 400x pada K3... Gambar 4.4. Eosinofil dengan perbesaran 1000x pada K3... Gambar 4.5. Eosinofil dengan perbesaran 1000x pada K4... Gambar 4.6. Eosinofil dengan perbesaran 1000x pada K5... Gambar 4.7. Histogram hitung eosinofil darah tepi mencit Balb/C ... .
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Sampel (Ethical Clearance)
Lampiran 2. Surat Keterangan Hasil Ekstraksi
Lampiran 3. Analisis Data
Lampiran 4. Nilai Konversi Dosis Manusia ke Hewan
Lampiran 5. Foto Alat dan Bahan dalam Penelitian
Lampiran 6. Foto Kegiatan Penelitian
Lampiran 7. Jadwal Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah alergi pertama kali dikemukakan oleh Von Pirquet pada tahun 1906, yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan (Kresno, 2001) sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Baratawidjaja, 2000). Dalam 20-30 tahun terakhir terjadi peningkatan dalam angka kejadian alergi (Kresno, 2001). Bahan yang menyebabkan alergi biasa dikenal sebagai alergen.
Alergen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel T helper 2 (Th2). Sel Th2 akan melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk imunoglobulin E (IgE). Imunoglobulin E akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor untuk IgE seperti sel mast, basofil dan eosinofil. Bila tubuh terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE pada permukaan sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin, prostaglandin dan leukotrien (Baratawidjaja, 2007; Abbas and Litchman, 2009) Apabila reaksi alergi terlokalisasi di bronkiolus maka akan timbul asma (Sherwood, 2001).
hingga saat ini jumlah pasien asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025. Sementara di Indonesia, penyakit ini masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian. Hasil penelitian
International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia (DAI, 2009).
Asma adalah suatu kondisi inflamasi kronis di saluran pernapasan yang ditandai dengan terjadinya kesulitan bernafas. Gejala asma antara lain adalah sesak nafas, mengi, dada terasa berat dan batuk. Penyakit saluran pernafasan ini mengganggu kualitas hidup penderitanya (GINA, 2008). Sel yang muncul pada proses inflamasi adalah limfosit, sel plasma, eosinofil dan sel mast. Eosinofil banyak ditemukan disekitar tempat terjadinya reaksi imun yang diperantarai IgE, yang berkaitan dengan alergi (Mitchell dan Cotran, 2007; Shin et al., 2009). Banyaknya eosinofil serta produknya berhubungan dengan keparahan reaktifitas saluran nafas (Rahardjo et al., 2009).
Penggunaan bahan alam sebagai obat cenderung mengalami peningkatan dengan adanya isu back to nature dan krisis berkepanjangan yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat terhadap obat-obat modern yang relatif lebih mahal harganya. Obat bahan alam juga dianggap hampir tidak memiliki efek samping yang membahayakan. Pendapat itu belum tentu benar karena untuk mengetahui manfaat dan efek samping obat tersebut secara pasti perlu dilakukan penelitian dan uji praklinis dan uji klinis. Salah satu jenis tanaman obat yang banyak dimanfaatkan masyarakat adalah daun sendok (Plantago major L.), daun urat atau ki urat (Sugiyarto et al., 2006 ; Panggabean et al., 2001).
Ekstrak daun sendok (Plantago mayor L.) memiliki berberapa aktivitas biologi seperti antihistamin, antialergi, antiinflamasi, antiasma, penghambat lipooksigenase, antagonis kalsium, NF-kB-Inhibitor, penghambat sintesis prostaglandin, imunomodulator, dan vasodilator (Duke, 2010). Berbagai kegunaan ini menyebabkan daun sendokdigunakan dalam berbagai obat tradisional (Sugiyarto et al., 2006).
Dengan mempertimbangkan bahwa pemberian ekstrak daun sendok memiliki efek antialergi, antihistamin, dan antiinflamasi penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai fungsi anti alergi yang terkandung dalam ekstrak daun sendok pada mencit Balb/C model asma alergi terhadap jumlah eosinofil darah tepi sebagai petandanya.
B. Perumusan Masalah
Adakah hubungan pemberian ekstrak daun sendok terhadap hitung eosinofil darah tepi pada mencit Balb/C model asma alergi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian ekstrak daun sendok terhadap hitung eosinofil darah tepi pada mencit Balb/C model asma alergi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah mengenai pengaruh pemberian ekstrak herba daun sendok terhadap hitung eosinofil darah tepi pada mencit Balb/C model asma alergi. 2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan ekstrak herba daun sendok sebagai obat anti asma alergi.
BAB II
Formatted: I ndent: Hanging: 0,95 cm, Numbered + Level: 1
Formatted: I ndent: Hanging: 0,95 cm, Numbered + Level: 1
Formatted: I ndent: Left: 0,95 cm, Hanging: 0,32 cm,
5
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Imunologi Asma Alergi
Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan terhadap suatu antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya (Dorland, 2002). Alergi merupakan akuisisi reaktivitas imun spesifik yang tidak sesuai terhadap bahan-bahan lingkungan yang dalam keadaan normal tidak berbahaya (Sherwood, 2001). Reaksi alergi diperantarai oleh IgE, tetapi sel B dan sel T memerankan peranan yang penting dalam perkembangan dari antibodi (Anand, 2010). Alergi dapat menyerang setiap organ tubuh terutama kulit, saluran pencernaan, dan saluran pernafasan (Tanjung dan Yunihastuti, 2006). Apabila reaksi alergi terlokalisasi di bronkiolus maka akan timbul asma (Sherwood, 2001). Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf (Rahmawati, 2003).
Respon awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit setelah terpajan oleh suatu alergen dan menghilang
setelah 60 menit. Kedua, reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya pada jaringan dan disertai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan epitel mukosa (Mitchell dan Cotran, 2007).
Reaksi dimulai dengan pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergen) yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC), diproses lalu dipresentasikan ke sel T CD4+. Sel T CD4+ dapat berdiferensiasi menjadi dua sel efektor, yaitu sel CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2. Ketidakseimbangan antara sel CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2 merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit imunologi, termasuk penyakit alergi (Baratawidjaja, 2004). Sel CD4+ Th1 menghasilkan interleukin-2 (IL-2), interferon-g ( IFN-g ), tumor-necrosis
factor (TNF), dan menghasil sel yang berperan dalam respon imunitas tipe lambat (Anand, 2010; Kresno, 2001).
yang terdapat pada sel mast dan basofil bersiap untuk menimbulkan hipersensitivitas pada pajanan berikutnya (Abbas and Litchman, 2009).
Pajanan ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator (Mitchell dan Cotran, 2007).
Mediator fase awal mencakup leukotrien (C4, D4, dan E4), prostaglandin (D2, E2, dan F2α), histamin, platelet-activating factor, dan
triptase sel mast. Leukotrien merupakan produk inflamasi yang dihasilkan dari jalur lipoksigenase. Leukotrien C4, D4, dan E4 merupakan mediator sangat kuat yang menyebabkan bronkokonstriksi berkepanjangan, peningkatan permeabilitas vaskular, dan peningkatan sekresi musin. Dua kejadian yang pertama juga diperparah dengan adanya histamin serta prostaglandin D2, E2, dan F2α yang dihasilkan dari
jalur siklooksigenase (Mitchell dan Cotran, 2007). Platelet-activating factor berperan dalam menyebabkan agregasi trombosit dan pembebasan histamin dari granula. Triptase sel mast menginaktifkan peptida yang menyebabkan bronkodilatasi normal (Maitra dan Kumar, 2007).
dan IL-5, yang berfungsi untuk memperkuat respons sel CD4+ Th2 dengan meningkatkan sintesis IgE serta kemotaksis dan proliferasi eosinofil. Platelet-activating factor yang merupakan faktor kemotaktik kuat untuk eosinofil bila terdapat IL-6. Faktor nekrosis tumor berperan dalam meningkatkan molekul perekat (adhesion molecules) di endotel vaskuler serta di sel radang (Maitra dan Kumar, 2007).
Kedatangan leukosit ditempat degranulasi sel mast menimbulkan dua efek : (1) sel ini kembali mengeluarkan serangkaian mediator yang mengaktifkan sel mast dan memperkuat respon awal, dan (2) sel ini menyebabkan kerusakan epitel yang khas pada serangan asma (Maitra dan Kumar, 2007).
Eosinofil sangat penting pada fase lanjut. Selain faktor kemotaksis sel mast terdapat peran kemokin lain dalam kemotaksis eosinofil yang dihasilkan oleh sel epitel bronkus aktif, makrofag dan otot polos jalan nafas. Eosinofil yang menumpuk menimbulkan beragam efek. Ragam mediator eosinofil sama banyaknya dengan yang dimiliki oleh sel mast dan meliputi major basic protein (MBP) dan protein kationik eosinofil (
peradangan tanpa pajanan lebih lanjut ke antigen pemicu (Maitra dan Kumar, 2007).
Prinsip pengobatan pada asma adalah dengan cara mencegah ikatan alergen dengan IgE, mencegah penglepasan mediator inflamasi oleh sel mast, dan mengurangi inflamasi (Sundaru dan Sukamto, 2007).
2. Daun Sendok (Plantago major L.)
a. Sinonim
Daun sendok dikenal dengan nama Plantago major L., tetapi juga disebut Plantago asiatika L. atau Plantagodepressa Willd
(IPTEKnet, 2010).
b. Klasifikasi
Dalam taksonomi tumbuhan, daun sendok diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae- Plants
Subkingdom : Tracheobionta – Vascular plants Superdivision : Spermatophyta – Seed plants Division : Magnoliophyta – Flowering plants Class : Magnoliopsida – Dicotyledons Subclass : Asrteridae
Ordo : Plantaginales
Genus : Plantago L. - Plantain Species : Plantago major L. (USDA, 2010).
c. Nama daerah
Sunda : Ki urat, ceuli, c. uncal
Jawa : Meloh kiloh, otot-ototan, sangkabuah, sangkuah, sembung otot, suri pandak
Sumatera : Daun urat, daun urat-urat, daun sendok, ekor angin, kuping menjangan
Minahasa : Torongoat (Panggabean et al., 2001)
d. Nama asing
China : Che qian cao Vietnam : Ma de, xa tien Belanda : Weegbree
Inggris : Plantain, greater plantain, broadleaf plantain, rat's tail plantain, waybread, white man's foot
e. Deskripsi 1). Habitus :
Daun sendok merupakan gulma di perkebunan teh dan karet, atau tumbuh liar di hutan, ladang, dan halaman berumput yang agak lembab, kadang ditanam dalam pot sebagai tumbuhan obat. Tumbuhan ini berasal dari daratan Asia dan Eropa, dapat ditemukan dari dataran rendah sampai ketinggian 3.300 m dpl. Tumbuhan obat ini tersebar luas di seluruh dunia.
2). Batang :
Tumbuh menahun, tumbuh tegak, tinggi 15 - 20 cm. 3). Daun :
Daun tunggal, bertangkai panjang, tersusun dalam roset akar. Bentuk daun bundar telur sampai lanset melebar, tepi rata atau bergerigi kasar tidak teratur, permukaan licin atau sedikit berambut, pertulangan melengkung, panjang 5 - 10 cm, lebar 4 - 9 cm, warnanya hijau. Daun muda bisa dimasak sebagai sayuran. 4). Bunga :
Perbungaan majemuk rapat tersusun dalam bulir yang panjangnya sekitar 30 cm, kecil-kecil, warna putih. Berbunga dari bulan Mei sampai September. Bunga-bunga hermaprodit. 5). Buah :
6). Biji :
Bentuk biji elips, panjang 1-1,5 mm, coklat tua hingga hitam. Biji matang dari bulan Juli hingga Oktober.
7). Akar :
Akar serabut, warna putih f. Perbanyakan dan penanaman
Perbanyakan dapat dilakukan secara vegetatif dan melalui biji. Benih dapat tetap hidup selama 60 tahun di dalam tanah. Mereka memiliki periode dormansi satu sampai beberapa bulan, yang dapat rusak oleh penyimpanan kering pada suhu 5 °C selama beberapa minggu atau pada 20 °C selama beberapa bulan. Perkecambahan yang terbaik pada temperatur 25-30 °C, dan fotoperiodik panjang (16 jam) (Sugiyarto et al., 2006).
Gambar 2.1. Tanaman Daun Sendok (Plantago mayor L.)
g. Kandungan kima dan efek farmakologi
Daun Plantago mayor L. mengandung 3,4 dihydroaucubin, 6’-0-beta-glukosylaucubin, apigenin, apigenin-7-glukoside, aucubin,
baicalein, benzoic-acid, catalpol, fumaric-acid,
hydroxycinnamic-acid, hispidulin, luteolin, neo-chlorogenic-hydroxycinnamic-acid, nepetin,
oleanolic-acid, plantagoside, dan scutellarin, sedangkan bijinya mengandung
9-hydroxy-cis-11-octadecanoic-acid, aucubin, choline, fat, fiber,
lignoceric-acid, linoleic-acid, linolenic-acid, oleic-acid, plantease,
dan protein. Bunganya mengandung asperuloside. Untuk seluruh bagian dari tumbuhan daun sendok mengandung allantoin, acetoside, adenine, alkaloid, ascorbic-acid, aucubin, baicalin, cafeic-acid,
chlorogenic-acid, cinnamic-acid, citric-acid, d-glukose, emulsin,
ferulic-acid, geniposidic-acid, glucoraphenine, indicaine, invertin,
l-fructose, loliolid, glucoside,
luteolin-7-0-beta-d-glucuronide, mucilage, p-coumaric-acid, p-hydroxy-benzoic-acid,
phenolcarbonic-acid, plantagic-acid, plantagonine, planteolic-acid,
potassium-salts, resin, rhamnose, saccharose, salicylic-acid,
sitosterol, sorbitol, succinic-acid, sulforaphene, syringic-acid,
syringin, tannin, tyrosine, tyrosol, ursolic-acid,dan vanillic-acid
(Duke, 2010). Dalam daun sendok kandungan yang paling banyak adalah mucilage (88%), tanic acid (44%), aucubin (66%), allantoin
Efek farmakologi dari beberapa kandungan kimia daun sendok dapat dilihat pada tabel di bawah ini,
Tabel 2.1. Kandungan Kimia dan Efek Farmakologi Daun Sendok
No. Kandungan kimia Efek farmakologi
1. allantoin antiinflamasi, Immunostimulant
2. ascorbic-acid antialergi, antiasma, antihistamin, antiinflamasi, antispasmodik, asthma preventive, antagonis kalsium Analgesic, angiotensin-receptor-blocker , beta-adrenergic receptor blocker
3. adenine antigranulositopeni, diuretik, vasodilator
4. ferulic-acid antiinflamasi, penghambat sintesis prostaglandin, immunostimulant
5. aucubin antiedemik, antiinflamasi 6. apigenin antialergi, antihistamin,
antiinflamasi, antagonis kalsium, penghambat IL-6, penghambat protein kinase C, penghambat TNF-alpha, penghambat NF-kB-, vasodilator
7. baicalein penghambat lipoksigenase,
antialergi, antiasthma, antihistamin, antiinflamasi, penghambat
siklooksigenase, 17-beta-hydroxysteroid dehydrogenase-Inhibitor
8. baicalin antiagregan, antialergi, antianafilaksis, antiasma, antihistamin, antiinflamasi 9. cafeic-acid antihistamin, antagonis kalsium,
antiinflamasi, antiprostaglandin, penghambat lipoksigenase, antispasmodik, antileukotrin 10. chlorogenic-acid antihistamin, antiinflamasi,
antileukotrien, Immunostimulant, penghambat leukotrien, penghambat lipooksigenase
11. linolenic-acid antiinflamasi, anthistamin, antialergi, penghambat lipooksigenase,
12. mucilage cancer-preventive, hypocholesterolemic
13. oleanolic-acid antiPGE2, antiinflamasi, antileukotriene, penghambat siklooksigenase, immunomodulator, NF-kB-Inhibitor, penghambat sintesis prostaglandin
14. oleic-acid antiinflamasi, antileukotriene-D4
15. tannin penghambat siklooksigenase,
penghambat lipooksigenase 16. ursolic-acid antihistamin, antiinflamasi, penghambat siklooksigenase,
Immunomodulator, penghambat lipooksigenase
(Duke, 2010)
3. Eosinofil
Eosinofil adalah granulosit dengan nukleus berlobus dua dan granula reflaktil yang cukup besar yang berwarna merah tua dengan pewarnaan asam eosin. Eosinofil mengandung beberapa enzim menginaktifkan mediator-mediator peradangan, juga mengandung histaminase. Jumlah normal eosinofil adalah 0 sampai 700 sel permikroliter (Sacher, 2004).
4. Hewan Coba Model Asma
Penelitian epidemiologi dan penyelidikan klinis sangat penting demi majunya pengetahuan dan manajemen penyakit. Namun, isu-isu etik sering menjadi pembatas dalam melakukan studi klinis. Akibatnya, hewan model telah dikembangkan untuk mempelajari patogenesis penyakit, termasuk faktor genetik, untuk menentukan jalur patogenesis penyakit dan menyarankan terapi yang tepat. Hewan model dari asma telah banyak digunakan untuk menguji mekanisme penyakit, aktivitas berbagai gen dan jalur seluler, dan untuk memprediksi keselamatan obat baru atau bahan kimia sebelum digunakan dalam studi klinis. Mencit model asma meniru banyak kejadian yang terjadi pada manusia dengan asma, termasuk hiperreaktivitas jalan napas, dan radang saluran nafas (Shin et al., 2009; Nials and Uddin, 2008).
kehamilan pendek juga menjadi keuntungan tambahan (Shin et al., 2009).
Mencit model Balb/C adalah jenis yang paling banyak digunakan karena kemampuannya dalam menunjukkan respon imunologi, terutama respon akibat dominasi Th2, IgE, AHR dan eosinofilia saluran nafas (Shin et al., 2009). Terdapat dua jenis model mencit asma alergi, yaitu model asma akut dan asma kronis (Nials and Uddin, 2008).
a. Model asma alergi akut
b. Model asma alergi kronis
B. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Berpikir Konseptual
2. Kerangka Berpikir Teoritis
Alergen yang berupa ovalbumin masuk ke dalam tubuh mencit kemudian ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC). Antigen tersebut diproses dan dipresentasikan ke sel Th0 CD4+ yang kemudian akan berdeferensiasi menjadi sel CD4+ Th2 dan CD4+ Th1. Aktivasi dari sel CD4+ Th2 akan mensekresikan IL- 3, IL-5, dan GM-CSF yang akan mengaktifkan eosinofil dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Interleukin-13 yang dihasilkan sel CD4+ Th2 juga akan merangsang pematangan sel B menjadi sel plasma yang menghasilkan Ig E. Imunoglobulin E tersebut akan berikatan dengan sel mast. Jika ada paparan ulang antigen yang sama maka akan terjadi pertautan silang pada Ig E yang terikat sel mast. Hal ini akan memicu suatu kaskade sinyal intrasel dan infulks Ca2+ sehingga terjadi proses degranulasi dari sel mast yang akan melepaskan mediator inflamasi. Mediator tersebut antara lain histamin, faktor kemotaksis untuk eosinofil, triptase sel mast, sitokin (IL-1, IL-4, IL-5, IL-6, dan TNF), dan mediator lipid (leukotrien C4, D4, dan E; prostaglandin D2 dan PAF). Mediator-mediator tersebut akan menyebabkan reaksi inflamasi yang disebut sebagai asma. Reaksi inflamasi yang terjadi pada asma antara lain bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan perekrutan sel-sel radang, salah satunya eosinofil.
penghambat lipooksigenase, penghambat sintesis prostaglandin, antagonis kalsium dan penghambat IL-6. Berikut tabel beberapa kandungan kimia daun sendok dengan efek farmakologis yang ditimbulkannya:
No. Efek farmakologi Kandungan kimia
1. antagonis kalsium linolenic-acid, ascorbic-acid, apigenin, cafeic-acid
2. antiinflamasi allantoin , ascorbic-acid, ferulic-acid, aucubin, baicalein, baicalin, chlorogenic-acid, linolenic-acid, ursolic-acid, cafeic-acid, oleanolic-acid, oleic-acid
3. antihistamin ascorbic-acid, apigenin, baicalein, baicalin, chlorogenic-acid, linolenic-acid, ursolic-linolenic-acid, tannin, baicalein, chlorogenic-acid
6. penghambat IL-6 apigenin
Dengan efek tersebut diharapkan daun sendok mampu memperbaiki keadaan pada peristiwa asma alergi yang ditandai dengan penurunan eosinofil darah tepi.
C. Hipotesis
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik, dengan post test only control group design.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian berupa 40 ekor mencit Balb/C jantan dengan berat badan + 20 gram, dan berumur 6-8 minggu.
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Sampel merupakan data numerik. Besar sampel indipenden (tidak berpasangan) untuk menaksir perbedaan rerata antara 2 populasi ditentukan berdasarkan rumus:
Keterangan:
n1 : besar sampel kelompok 1 n2 : besar sampel kelompok 2
Zα : nilai pada distribusi normal standar untuk uji dua sisi pada tingkat kemaknaan α. Misalnya 1,96 untuk α = 0,05
Dalam penelitian ini, subjek dibagi menjadi 5 kelompok. Karena insiden asma yang belum diketahui maka dianggap s = d. Berdasarkan rumus di atas, didapatkan jumlah subjek masing-masing kelompok sebagai berikut:
n1 = n2 = 2 [Zα]2
n1 = n2 = 2 [1,96 ]2 n1 = n2 = 2 [ 3,8418] n1 = n2 = 7,6832 ó n = 8
Jadi tiap kelompok minimal terdiri dari 8 ekor mencit Balb/C. Pada penelitian kali ini kami menggunakan 8 ekor mencit Balb/C jantan.
E. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : ekstrak daun sendok 2. Variabel terikat : hitung eosinofil darah tepi 3. Variabel perancu
a. Dapat dikendalikan : Genetika, umur, makanan, berat badan b. Tidak dapat dikendalikan : Variasi kepekaan mencit terhadap
suatu zat
F. Skala Variabel
1. Ekstrak daun sendok : skala nominal 2. Hitung eosinofil darah tepi : skala rasio
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel bebas: ekstrak daun sendok
menggunakan cairan penyari etanol 70 %. Daun sendok kering diperoleh dari Merapi Farma, Jl. Kaliurang Km. 21,5 Desa Hargobinangun, Pakem, Yogyakarta. Ekstraksi dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gajah Mada (LPPT-UGM) dengan menggunakan metode perkolasi.
Dosis ekstrak daun sendok yang aman bagi manusia adalah 50 mg/KgBB/hari - 100 mg/kgBB/hari. Sehingga dosis ekstrak daun sendok yang diberikan pada mencit dengan berat 20 gram adalah
50 mg/KgBB/hari = 0,05 mg/gr BB/hari
500 mg/KgBB/hari = 1 mg/20grBB/hari
100 mg/KgBB/hari = 0,15 mg/gr BB/hari
500 mg/KgBB/hari = 2 mg/20grBB/hari
2. Variabel terikat : hitung eosinofil darah tepi
Darah mencit diambil dari ekor mencit, kemudian dilakukan hitung jumlah sel eosinofil secara manual menggunakan hapusan darah dengan metode pan-optic stainning “Wright Giemsa”. Hapusan darah dicat dengan Wright dan sebagai pengganti buffer dipakai cat Giemsa yang telah diencerkan dengan larutan penyangga, lalu diperiksa tiap zona hapusan darah dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x (Gandasoebrata, 2001). Jumlah eosinofil dihitung per 5 lapang pandang. Penghitungan dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Berikut gambar eosinofil di bawah mikroskop.
Gambar 3.1. Eosinofil
Gambar diambil dari : (Anonim, 2010) kiri dan (Stern, 2001) kanan
H. Penentuan Dosis Perlakuan
1. Pemberian anti histamin generasi III
berat badan ± 20 gr) adalah 0,0026 (Suhardjono, 1995). Sehingga dosis yang diberikan kepada mencit
120 x 0,0026 = 0,312 mg ≈ 0,3 mg
Dalam penelitian ini dosis anti histamin yang diberikan ialah 0,1 ml/mencit/hari, sehingga pelarut yang diperlukan:
120/0,3 x 0,1 = 40 ml 2. Sensitisasi hewan model asma
Langkah kerja untuk membuat mencit model asma alergi dilakukan sesuai skema berikut:
Gambar 3.2. Sensitisasi hewan model asma
aerosol merek Lodjie (50 mg tembakau rokok dalam 5 ml aquades) selama 20 menit diberikan pada hari ke-16, 18, 20, 22 dan 24. Mencit diterminasi pada hari ke-25.
I. Rancangan Penelitian
Gambar 3.3. Skema Rancangan Penelitian
Keterangan :
S = jumlah mencit yang digunakan sebagai sampel K1 = kelompok kontrol
K2 = kelompok asma alergi
K3 = kelompok asma alergi + antihistamin generasi III dosis 0,3 mg/ mencit / hari
K4 = kelompok asma alergi + ekstrak daun sendok dosis 1 mg/ mencit/ hari
K5 = kelompok asma alergi + ekstrak daun sendok dosis 2 mg / mencit / hari
E1 = Jumlah eosinofil darah tepi kelompok kontrol E2 = Jumlah eosinofil darah tepi kelompok asma alergi
E3 = Jumlah eosinofil darah tepi kelompok asma alergi + antihistamin generasi III dosis 0,3 mg/ mencit / oral / hari E4 = Jumlah eosinofil darah tepi kelompok asma alergi + ekstrak
daun sendok dosis 1 mg / mencit / oral / hari
J. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
a. Kandang hewan coba dengan ukuran 30x20x10 cm b. Sonde
c. Spuit injeksi 1 ml d. Nebulizer e. Mortir
f. Pengaduk larutan
g. Tabung ukur dengan volume 10 ml dan 40 ml h. Timbangan elektrik Mettler Toledo
i. Gelas objek j. Deck glass
k. Mikroskop cahaya Olympus 2. Bahan penelitian
a. Ovalbumin
b. Ekstrak herba daun sendok
c. Antihistamin III Telfast® (Fexofenadine dosis @ 120mg) d. Rokok Lodjie
e. Al (OH)3 f. Aquades
g. Pakan mencit BR 1
K. Alur Kerja Penelitian
1. Kandang mencit disiapkan. Setiap satu kandang berisi 1 kelompok mencit.
2. Mencit diadaptasikan dengan lingkungan selama 7 hari.
3. Empat puluh ekor mencit dikelompokkan secara acak menjadi 5 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 8 ekor mencit.
4. Setelah 24 jam pada akhir pemaparan, semua mencit dideterminasi untuk dilakukan pengambilan sampel darah dari ekor mencit. Darah dibuat apusan darah. Selanjutnya apusan darah dicat menggunakan Wright Giemsa, kemudian diamati di bawah mikroskop.
Gambar 3.4. Alur Kerja Penelitian
K1
Adaptasi mencit (7 hari)
L. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji ANOVA dan dilanjutkan dengan LSD Post Hoc Test menggunakan program
Gambar 4.1. Eosinofil dengan perbesaran 400x pada K1
Gambar 4.2. Eosinofil dengan
perbesaran 400x pada K2
Gambar 4.4. Eosinofil dengan
perbesaran 1000x pada K3
Gambar 4.3. Eosinofil dengan
perbesaran 400x pada K3
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Preparat apusan darah tepi dari masing-masing mencit Balb/C dibuat menggunakan pengecatan Wright Giemsa. Darah diambil dari ekor mencit. Preparat diamati dengan mikroskop cahaya menggunakan perbesaran 400 kali. Eosinofil dihitung jumlahnya setiap 5 lapang pandang. Hasil pengamatan preparat diperlihatkan pada gambar berikut :
Formatted: I ndent: Left: 0 cm, Hanging: 0,95 cm,
Gambar 4.5. Eosinofil dengan perbesaran 1000x pada K4
Gambar 4.6. Eosinofil dengan
perbesaran 1000x pada K5 31
Setelah dilakukan penelitian hitung eosinofil darah tepi pada mencit Balb/C didapatkan peningkatan rata-rata hitung eosinofil pada kelompok asmaalergi. Pemberian antihistamin menurunkan hitung eosinofil darah tepi begitu juga pada kelompok daun sendok dosis 1 mg/mencit dan kelompok daun sendok dosis 2 mg/mencit. Data hitung eosinofil masing-masing kelompok ditunjukkan pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rata-rata Hitung Eosinofil Darah Tepi (sel/5 LP) pada Mencit
Balb/C masing-masing Kelompok Perlakuan
Kelompok Rata – rata ± SD (Sumber : Data Primer, 2010)
Keterangan:
K1 : Kelompok kontrol
K2 : Kelompok asma alergi
K3 : Kelompok asma alergi + antihistamin generasi III
K4 : Kelompok asma alergi + daun sendokdosis 1mg/mencit/hari
Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian
Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian
Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian
Formatted: Font: Bold, I ndonesian
Formatted: I ndent: Left: 0,96 cm, Hanging: 2,06 cm, Line spacing: single, Tabs: Not at 0,95 cm
Formatted: I ndent: Left: 0,95 cm, First line: 0,04 cm, Line spacing: single
Formatted: Left
rata-rata hitung eosinofil
K5 : Kelompok asma alergi + daun sendokdosis 2 mg/mencit/hari Histogram rata-rata hitung eosinofil darah tepi mencit Balb/C pada tiap-tiap kelompok perlakuan ditunjukkan pada gambar 4.3.
Gambar 4.7. Histogram Rata – Rata Hitung Eosinofil Darah Tepi
Masing-masing Kelompok Perlakuan
B. Intepretasi Hasil
Data yang diperoleh kemudian diuji menggunakan software
program SPSS for Windows Release 16.0. Perhitungan menggunakan
uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rerata
lebih dari dua kelompok. Hasil uji Kruskall-Wallis menunjukan p =
0,297 yang berarti tidak didapatkan perbedaan yang bermakna (p >
0,05) pada kelompok perlakuan. Untuk mengetahui perbedaan
kelompok perlakuan
Formatted: Left, I ndent: Left: 1,9 cm, Hanging: 0,63 cm, Line spacing: Double
Formatted: I ndent: First line: 0 cm
Formatted: Centered
Formatted: I ndent: Left: 0,95 cm, Hanging: 2,54 cm, Line spacing: single
Formatted: Font: Not Bold, Font color: Auto, I ndonesian
Formatted: Font: 12 pt, Not Bold, I ndonesian
kemaknaan masing-masing kelompok, maka analisis dilanjutkan
dengan Post Hoc Test yaitu uji Mann-Whitney.
Dari Uji Post Hoc didapatkan perbedaan yang bermakna hanya pada kelompok I dengan kelompok III (p = 0,049). Sedangkan untuk kelompok yang lain tidak bermakna.
Hasil analisis statistik antar kelompok perlakuan dapat diringkas dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.2. Hasil Perhitungan Uji Mann-Whitney(a=0,05) antar Kelompok
Kelompok P Kemaknaan
K1-K2 0.243 Tidak Bermakna
K2-K3 0.049 Bermakna
K2-K4 0.791 Tidak Bermakna
K2-K5 0.184 Tidak Bermakna
K3-K4 (Sumber : Data Primer, 2010)
Formatted: Font: I talic, I ndonesian
Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian
Formatted Table
Formatted: I ndonesian
BAB V
PEMBAHASAN
Asma adalah suatu kondisi inflamasi kronis di saluran pernapasan yang ditandai dengan terjadinya kesulitan bernafas. Gejala asma antara lain adalah sesak nafas, mengi, dada terasa berat, dan batuk (GINA, 2008). Sel yang muncul pada proses inflamasi adalah limfosit, sel plasma, eosinofil dan sel mast. Eosinofil banyak ditemukan di sekitar tempat terjadinya reaksi imun yang diperantarai IgE, yang berkaitan dengan alergi (Mitchell dan Cotran, 2007; Shin et al., 2009). Bahan yang menyebabkan alergi biasa dikenal sebagai alergen. Alergen yang digunakan berupa OVA yang dipaparkan secara inhalasi. Menurut Baratawidjaja (2004) alergen yang masuk akan didegradasi oleh APC menjadi peptida – peptida untuk selanjutnya dipresentasikan pada sel limfosit T CD4+.
Pada penelitian ini didapatkan peningkatan jumlah eosinofil darah tepi pada kelompok asma (Tabel 4.1), meskipun secara statistik tidak bermakna jika dibandingkan kelompok kontrol (p=0.243) (tabel 4.2), sedangkan pada penelitian Meidawati (2010) dengan petanda asma hitung eosinofil bronkus didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan asma (p=0,000). Hal ini terjadi karena petanda asma alergi tidak hanya hitung eosinofil darah tepi saja. Hasil penelitian Meidawati (2010) dapat dimungkinkan karena reaksi alergi sering bersifat lokal dan jarang bereaksi sistemik. Hal ini didukung oleh pendapat
Formatted: Centered, I ndent: Left: 0 cm, First line: 0 cm, Line spacing: Double, Tabs: 0 cm, Left + Not at 0,16 cm + 1,59 cm
Sumadiono (2001) yang menyatakan bahwa eosinofil merupakan sel yang terutama terdapat di jaringan. Jumlah eosinofil pada darah merupakan refleksi keseimbangan antara produksi dari sumsum tulang dan rekruitmen ke jaringan dan bukan jumlah total pada tubuh. Eosinofil berada pada darah tepi hanya sementara dengan waktu yang relatif pendek (Egesten and Malm, 2001). Distribusi dan pelepasan eosinofil dipengaruhi oleh beberapa sistem kontrol. Eosinofil diproduksi oleh sumsum tulang, kemudian setelah 2-6 hari eosinofil yang matang akan meninggalkan sumsum tulang dan berada di sirkulasi darah tepi selama 6-12 jam, kemudian akan menuju jaringan selama beberapa hari. Untuk setiap sel eosinofil yang ditemukan di darah tepi terdapat sekitar 100-1000 eosinofil pada jaringan yang berbeda (Sumadiono, 2001).
Daun Sendok (Plantago major L.) berpotensi untuk dikembangkan sebagai antiasma jika ditinjau dari kandungan yang terdapat di dalamnya seperti ascorbic-acid, apigenin, baicalein, baicalin, chlorogenic-ascorbic-acid, linolenic-ascorbic-acid, ursolic-ascorbic-acid,
Selain itu di dalam daun sendok terdapat linolenic-acid, oleanolic-acid, ursolic-acid, dan tannin yang mampu menghambat proses lipooksigenase dan siklooksigenase. Allantoin, ferulic-acid, aucubin, baicalein, baicalin, chlorogenic-acid, dan oleic-acid yang trekandung di dalamnya juga diketahui mempunyai efek anti inflamasi (Duke, 2009). Hal tersebut menyebabkan jumlah eosinofil darah menurun.
Pada kelompok perlakuan dengan antihistamin generasi III (fexofenadine) menunjukkan adanya penurunan rata-rata hitung eosinofil darah tepi (tabel 4.1) yang bermakna dibandingkan kelompok asma alergi (p = 0.049) (tabel 4.2). Dewoto (2007) menyatakan antihistamin bekerja melalui kompetisi dengan histamin untuk menduduki reseptor histamin pada sel. Dengan kompetisi histamin ini menyebabkan perekrutan eosinofil dapat dihambat sehingga terjadi penurunan jumlah eosinofil darah tepi. Jumlah eosinofil kelompok yang diberikan antihistamin lebih sedikit (tabel 4.1) dibandingan kelompok yang diberi ekstrak daun sendok dosis 1 mg/mencit, tetapi pebedaan ini tidak bermakna (p = 0.200) (tabel 4.2). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun sendok dapat menurunkan hitung eosinofil darah tepi sebanding dengan antihistamin generasi III (fexofenadine).
kelompok asma alergi dengan daun sendok dosis 2 mg/mencit lebih rendah jika dibandingkan jumlah eosinofil pada kelompok asma alergi dengan daun sendok dosis 1 mg/mencit sehingga masih diperlukan uji dosis yang lebih besar untuk mendapatkan dosis daun sendok yang bermakna dalam menurunkan eosinofil darah tepi pada asma alergi model akut.
Proses asma akut yang terjadi pada mencit Balb/C penelitian ini kemungkinan menjadi salah satu faktor penyebab diperolehnya hasil yang tidak bermakna . Peningkatan jumlah eosinofil sistemik yang cukup bermakna biasanya didapatkan pada penyakit asma yang sudah berjalan kronis (Bosquet, 1990). Disamping itu perlu dipertimbangkan adanya keterbatasan dan kelemahan dalam cara penghitungan eosinofil yang dilakukan secara manual dan hanya menggunakan 5 lapangan pandang saja.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Tidak ada hubungan pemberian ekstrak daun sendok terhadap hitung eosinofil darah tepi pada mencit Balb/C model asma alergi (p>0,05).
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan petanda asma alergi yang lain.
2. Perlu dilakukan uji dosis daun sendok yang lebih besar untuk mengetahui dosis yang bermakna dalam menurunkan eosinofil darah tepi pada mencit model asma akut.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan mencit model asma kronis.
Formatted: Left
Formatted: Justified, I ndent: Hanging: 0,95 cm, Numbered + Level: 1 + Numbering Style: A, B, C, … + Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 0,32 cm + Tab after: 0 cm + I ndent at: 0,95 cm, Tabs: 0,95 cm, Left + Not at 0 cm
Formatted: Font: Not Bold, I ndonesian