SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS:
Studi Kasus di Kabupaten Belu
Provinsi Nusa Tenggara Timur
LORENSIA KALI
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
iii ABSTRAK
Lorensia Kali. Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh Andry Indrawan dan I Nengah Surati Jaya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan produksi CO2, serta untuk mengidentifikasi potensi dan distribusi spasial pengembangan hutan kota. Prediksi luas hutan kota dilakukan hingga tahun 2020 dengan basis data tahun 2003. Metode untuk memprediksi luas hutan kota meggunakan analisis spasial. Anaysis Hierarchy Process (AHP) pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui skala alternatif yang harus dilakukan. Wawancara dilakukan terhadap stakeholder yang berkompoten yaitu: Pemerintah, masyarakat, LSM, dan Perguruan Tinggi.
iv Study in Kabupaten Belu province of NTT.
The aim of this research was to predict and identify need of urban forest based on production of Carbon Dioxide (CO2), also to identify spatial distribution and potent of developed urban forest. Prediction of urban forest carried out until 2020 with data base in 2003. This research used spatial analysis. The use of Analysis Hierarchy Process (AHP) to know alternatif scale what to do. Filled of cuisener on stackeholder such as; government, community, LSM, and the university.
v
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
v
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS:
Studi Kasus di Kabupaten Belu
Provinsi Nusa Tenggara Timur
LORENSIA KALI
TESIS
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii Dengan ini saya menyampaikan bahwa Tesis Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sisitem Informasi Geografis : Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang terbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2006
vii
PRAKATA
Puji syukur penulis menyampaikan kehadirat tuhan yang maha esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis penelitian ini yang berjudul Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar master sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (PSL) Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Untuk itu penulis perlu menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian usulan penelitian ini, diantaranya yaitu:
1. Buat pendampingku dan buah kasihku yang selalu setia dan tabah mengikuti seluruh rankaian kegiatan perkulihanku.dengan penuh kasih sayang.
2. Bapak, mama , kakak serta adik- adikku yang tercinta, atas segala dorongan, dukungan dan perhatian yang sangat berarti dan tak ternilaikan
3. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. I. Nengah Surati Jaya, M.Agr sebagai anggota komisi pembimbing yang tidak hanya memberikan bmbingan tetapi juga pendidikan yang sangat berarti. 4. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana IPB.
5. Bapak Bupati Belu Drs. Yoakim lopez yang memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di IPB.
6. Instansi-instansi Pemerintah Kabupaten Belu di antaranya yaitu Bappeda, Bappedala, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Kehutanan, Dinas Kimpraswil, Dinas Perhubungan, Dinas Perindag, Kesbanglimas, Badan Pertanahan, dan Badan Pusat Statistik yang telah memberi bantuan berupa data-data yang diperlukan dalam pennyusunan usulan penelitian ini.
7. Bapak camat kota atambua,bapak camat kakuluk mesak dan Ibu Camat Tasbar serta para lurah dan seluruh masyarakat yang telah memberikan data-data yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini.
8. Bapak Uus Saeful M dan Adik Edwin atas segala bantuannya.
viii 10. Kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan
satu persatu.
Penulis berharap, semoga usulan penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2006
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Belu pada tanggal 21 Pebruari 1967 sebagai anak ke tiga dari sembilan bersaudara dari Bapak I. J. Kali Mau dan Ibu Rosa Delima Motu.
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS:
Studi Kasus di Kabupaten Belu
Provinsi Nusa Tenggara Timur
LORENSIA KALI
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
iii ABSTRAK
Lorensia Kali. Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh Andry Indrawan dan I Nengah Surati Jaya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan produksi CO2, serta untuk mengidentifikasi potensi dan distribusi spasial pengembangan hutan kota. Prediksi luas hutan kota dilakukan hingga tahun 2020 dengan basis data tahun 2003. Metode untuk memprediksi luas hutan kota meggunakan analisis spasial. Anaysis Hierarchy Process (AHP) pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui skala alternatif yang harus dilakukan. Wawancara dilakukan terhadap stakeholder yang berkompoten yaitu: Pemerintah, masyarakat, LSM, dan Perguruan Tinggi.
iv Study in Kabupaten Belu province of NTT.
The aim of this research was to predict and identify need of urban forest based on production of Carbon Dioxide (CO2), also to identify spatial distribution and potent of developed urban forest. Prediction of urban forest carried out until 2020 with data base in 2003. This research used spatial analysis. The use of Analysis Hierarchy Process (AHP) to know alternatif scale what to do. Filled of cuisener on stackeholder such as; government, community, LSM, and the university.
v
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
v
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS:
Studi Kasus di Kabupaten Belu
Provinsi Nusa Tenggara Timur
LORENSIA KALI
TESIS
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii Dengan ini saya menyampaikan bahwa Tesis Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sisitem Informasi Geografis : Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang terbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2006
vii
PRAKATA
Puji syukur penulis menyampaikan kehadirat tuhan yang maha esa yang telah
memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
penelitian ini yang berjudul Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten
Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dibuat dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
master sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Hidup (PSL) Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Untuk itu penulis perlu menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak
yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian usulan penelitian
ini, diantaranya yaitu:
1. Buat pendampingku dan buah kasihku yang selalu setia dan tabah mengikuti
seluruh rankaian kegiatan perkulihanku.dengan penuh kasih sayang.
2. Bapak, mama , kakak serta adik- adikku yang tercinta, atas segala dorongan,
dukungan dan perhatian yang sangat berarti dan tak ternilaikan
3. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir.
I. Nengah Surati Jaya, M.Agr sebagai anggota komisi pembimbing yang tidak
hanya memberikan bmbingan tetapi juga pendidikan yang sangat berarti.
4. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana IPB.
5. Bapak Bupati Belu Drs. Yoakim lopez yang memberikan kesempatan untuk
mengenyam pendidikan di IPB.
6. Instansi-instansi Pemerintah Kabupaten Belu di antaranya yaitu Bappeda,
Bappedala, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Kehutanan, Dinas
Kimpraswil, Dinas Perhubungan, Dinas Perindag, Kesbanglimas, Badan
Pertanahan, dan Badan Pusat Statistik yang telah memberi bantuan berupa
data-data yang diperlukan dalam pennyusunan usulan penelitian ini.
7. Bapak camat kota atambua,bapak camat kakuluk mesak dan Ibu Camat
Tasbar serta para lurah dan seluruh masyarakat yang telah memberikan
data-data yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini.
8. Bapak Uus Saeful M dan Adik Edwin atas segala bantuannya.
9. Rekan- rekan mahasiswa Program studi PSL khususnya adik-adiku yang
kubanggakan yang telah memberikan dukungan dan perhatian yang sangat
viii 10. Kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan
satu persatu.
Penulis berharap, semoga usulan penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan
ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2006
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Belu pada tanggal 21 Pebruari 1967 sebagai anak ke tiga dari sembilan bersaudara dari Bapak I. J. Kali Mau dan Ibu Rosa Delima Motu.
x
Halaman
DAFTAR TABEL ……… xii
DAFTAR GAMBAR ……….……….. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……… xv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1
1.2. Kerangka Pemikiran ……… 3
1.3. Perumusan Masalah ………... 4
1.4. Tujuan Penelitian ………. 5
1.5. Manfaat Penelitian ……….. 5
1.6. Hipotesis ………... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kota ... 6
2.2. Pengaruh Perkembangan Kota Terhadap Lingkungan ... 6
2.3. Pencemaran Lingkungan Hidup Perkotaan 7 2.4. Produksi Karbondioksida dari Kendaraan Bermotor, Kegiatan Produksi dan Penduduk ... 8
2.5. Perlunya Pengembangan hutan Kota ... 10
2.6. Pengertian Hutan Kota ... 12
2.7. Tipe-tipe Hutan Kota ... 14
2.8. Peranan Hutan Kota ... 16
2.9. Kriteria dan Bentuk Hutan Kota ... 18
2.10 Pengelolaan Hutan Kota ... 19
2.11 Pemilihan Jenis Hutan ... 21
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25
3.2. Bahan dan Alat ... 25
3.3. Metode Penelitian ... 26
3.3.1. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 26
3.3.1.1. Data Primer ... 26
3.3.1.2. Data Sekunder ... 27
3.3.2. Pengolahan Data ... 28
xi
Halaman
3.3.2.4.1. Pembangunan Basis
Data ……….
30 3.3.2.4.2. Pengolahan Digital Data
Landsat ...
30 3.3.2.5. Analisis Hierarchy Process (AHP) ... 33
IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN BELU
4.1. Letak dan Luas ……….. 39 4.2. Hidrologi ………. 40 4.3. Iklim ………. 41 4.4. Vegetasi ……….. 41 4.5. Kondisi Sosial Ekonomi Budaya ………. 42 4.3.1. Penduduk ……… 42 4.3.2. Budaya Masyarakat ………... 43 4.6. Kondisi Hutan Kota ………... 43
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Luas Hutan Kota Berdasarkan Inmendgri No. 14 Tahun 1988 dan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 ...
49 5.2. Estimasi CO2 Penduduk di Kabupaten Belu ... 49
5.2.1. Karbondioksida yang dihasilkan Pendudun Tahun 2003 ……….
49 5.2.2. Perkiraan Karbondioksida yang dihasilkan
Penduduk Tahun 2006, 2010. 2015, dan 2020 ...
50 5.2.3. Estimasi CO2 Kendaraan Bermotor ……… 52
5.2.4. Estimasi karbondioksida yang dihasilkan dari
industri ...
56 5.3. Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah CO2 ... 60
5.3.1. Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun 2003 60 5.3.2. Estimasi Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun 2006,
2010, 2015, dan 2020
62 5.4. Analisa Pengembangan Hutan Kota 66 5.4.1. Analisis Analiytical Hierarchy Proses 70 5.4.1.1. Aktor ... 70 5.4.1.2. Aspek ... 71 5.4.1.3. Alternatif ... 72 5.4.1.4. Sintesis Strategi menurut Aktor ... 73 5.4.2. Bentuk dan Tipe Hutan Kota ... 77
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan ... 82 6.2. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA .... 83
xii Halaman
1. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk …………..…. 9 2. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor .… 9 3. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri ………. 9 4. Kriteria dan Bentuk Hutan Kota ………. 18 5. Tipe Hujan Menurut Schmidt dan Ferguson ... 22 6. Skala Banding Secara berpasangan dalam AHP ... 35 7. Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Belu Perkecamatan
tahun 2001 dan tahun 2002 ...
42 8. Prediksi Jumlah Penduduk di Kabupaten Belu Perkecamatan
Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020 ...
50 9. Jumlah kendaraan bermotor di Kabupaten Belu, Tahun
2001-2005 ...
53 10. Luas Ruang Terbuka Hijau dan Hutan kota di Kabupaten Belu .. 66 11. Bobot untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu
Berdasarkan Aktor ...
71 12. Skala Prioritas Aspek ……….. 71
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan Alir Kerangka Penelitian ………. 4 2. Bagan Organisasi Pengelolaan Hutan Kota (Sumber: Dahlan
2004) ………..
21 3. Lokasi Penelitian ... 25 4. Diagram Alir Analisis Spasial Prediksi Neraca Ketersediaan
RTH dan kebutuhan Hutan Kota ...
32 5. Hirarki Proses Pengembangan Hutan Kota di Kabupaten Belu
Provinsi NTT ...
34 6. Taman Makam Pahlawan Seroja Haliwen 44 7. Jalur Hijau Tugu Gerbades 45 8. Jalur menuju Rumah Jabatan Bupati 45 9. Jalur Hijau menuju Bandara 46 10. Grafik peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Belu Tahun
2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ………..
48 11. Peta Penyebaran Penduduk Kabupaten Belu Tahun 2003 …….. 49 12. Peta Penyebaran Karbondioksida yang Dihasilkan Penduduk di
Kabupaten Belu Tahun 2003 ………
49 13 Grafik peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Belu Tahun
2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ………...
51 14. Grafik jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk di
Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020……..
52 15. Peta Penyebaran Kendaraan Bermotor Kabupaten Belu Tahun
2003 ………...
54 16. Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Kendaraan
Bermotor di Kabupaten Belu Tahun 2003 ………
54 17. Grafik Perkiraan jumlah kendaraan bermotor Per Kecamatan
di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ....
55 18. Grafik Perkiraan Jumlah karbondioksida yang dihasilkan
kendaraan bermotor per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ...
56 19. Peta Penyebaran Industri Kabupaten Belu Tahun 2003 ... 57 20. Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Industri di
Kabupaten Belu Tahun 2003 ...
58 21. Grafik Perkiraan peningkatan jumlah industri per Kecamatan di
Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ...
59 22. Grafik Perkiraan jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri
di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ....
59 23. Peta Penyebaran Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu
Tahun 2003 ...
xiv Tahun 2006 ... 63 26. Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu
Tahun 2010 ...
63 27. Peta perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu
Tahun 2015 ...
64 28. Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di kabupaten Belu Tahun
2020 ...
64 29. Grafik perkiraan kebutuhan hutan kota perkecamatan di
Kabupaten Belu tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020...
65 30. Peta Jaringan Jalan Kabupaten Belu ... 69 31. Peta Aliran Sungai Kabupaten Belu ………. 70 32. Bobot alternative untuk pengembangan hutan kota di
Kabupaten Belu ...
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuisioner AHP 85
2. Jenis- jenis Tanaman yang ada di RTH Kabupaten Belu 89 3. Jumlah Kendaraan Sepeda Motor Kabupaten Belu Per
Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005
90 4. Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Bensin
Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
91 5. Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Solar
Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
92 6. Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Minyak Tanah
Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
93 7. Jumlah dan Karbondioksida yang dihasilkan oleh Penduduk Per
Kecamatan Tahun 2003
94 8. Perkiraan Jumlah Total Kendaraan Bermotor Kabupaten Belu
Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
95 9. Perkiraan Jumlah Penduduk kabupaten Belu Per Kecamatan
Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020
96 10. Perkiraan Karbondioksida yang dihasilkan Penduduk Per
Kecamatan Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020
97 11. Perkiraan Jumlah Karbondioksida yang dihasilkan Kendaraan
Bermotor Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
98 12. Perkiraan Jumlah Karbondioksida yang dihasilkan Industri
Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
99 13. Jumlah Prediksi Total Karbondioksida di Kabupaten Belu Per
Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020.
100 14. Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Per
Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
101 15. Jumlah Rasio Hutan Kota di Kabupaten Belu Per Kecamatan
Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
102 16. Jenis- jenis Tanaman yang dapat Dikembangkan di Taman Kota 103 17. Jenis- jenis Tanaman yang dapat Dikembangkan di RTH
Pekarangan
104 18. Jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Jalur Hijau 105 19. Jenis- jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Taman
Hutan
106 20. Ruang Terbuka Hijau yang Dikelola Dinas Kebersihan dan
Pertamanan
xvi Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005 109 23. Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Bensin
Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
110 24. Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Solar
Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kota merupakan pusat berbagai aktifitas manusia baik penduduk
setempat ataupun pendatang. Sebuah kota mempunyai fungsi majemuk
diantaranya sebagai pusat pemukiman, populasi, perdagangan, pemerintahan,
industri, maupun pusat budaya. Pesatnya pembangunan ditandai dengan
meningkatnya jumlah sarana transportasi baik untuk ruas jalan maupun
peningkatan jumlah kendaraan bermotor.
Perkembangan kota yang demikian melalui pembangunan berbagai
sarana dan prasarana fisik disatu sisi merupakan simbol kemajuan peradaban
manusia terutama penduduk kota yang cenderung mengikuti perkembangan
zaman. Namun disisi lain menimbulkan berbagai dampak negatif yang akhirnya
dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Kondisi ini dapat
dilihat dengan semakin banyaknya persoalan lingkungan di perkotaan seperti
peningkatan suhu dan tingkat polusi udara berupa produksi karbondioksida (CO2)
dan menurunnya produksi oksigen (O2) di udara.
Dampak lain dari perkembangan kegiatan pembangunan kota adalah
semakin berkurangnya lahan terbuka hijau yang keberadaannya menyusut dari
waktu ke waktu. Penurunan lahan terbuka hijau akan berdampak pada fungsi
tumbuhan sebagai penghasil oksigen semakin berkurang sejalan dengan
menurunnya proses fotosintesis dari vegetasi. Sebaliknya kandungan gas CO2
semakin tinggi karena asap kendaran bermotor dan aktifitas lainnya dari
penduduk kota semakin meningkat.
Sehubungan dengan kondisi diatas maka diperlukan suatu strategi yang
mampu mengakomodir beragam persoalan sebagaimana diuraikan pada bagian
terdahulu namun tetap menpertimbangkan relevansinya terhadap proses
kegiatan kota. Oleh karena itu strategi yang dapat dikembangkan adalah melalui
penerapan konsep hutan kota dalam perencanaan tata ruang kota. Konsep
pengembangan hutan kota berangkat dari sebuah keprihatinan terhadap dampak
buruk yang ditimbulkan oleh sejumlah kegiatan pembangunan di kota berupa
pembangunan gedung, pusat-pusat industri serta peningkatan sarana dan
prasarana transportasi. Sementara pada saat yang bersamaan ruang untuk
untuk mengimbangi pesatnya pembangunan fisik kota, dimana dengan adanya
komponen hutan kota berupa jalur hijau, taman kota, tanaman perkarangan, dan
keberadaan ruang terbuka hijau lainnya diharapkan dapat meningkatkan
produksi oksigen di udara, menjaring partikel debu dan partikel pencemar lainnya
sehingga akan meningkatkan kualitas lingkungan di perkotaan.
Hutan kota juga memiliki peranan penting dalam mengurangi CO2 dari
atmosfer yang terlihat dari banyaknya karbon yang berada pada biomassa hutan.
Hal tersebut disebabkan karena melalui serangkaian fotosiontetis selain
memproduksi oksigen tumbuhan juga dapat menghasilkan cadangan karbon
yang cukup potensial yang tersimpan pada bagian tumbuhan seperti akar, daun
dan bagian tumbuhan lainnya.
Menurut Grey dan Deneke (1978); Ronette (1983) dalam Dahlan (2004)
menjelaskan bahwa hutan kota dapat berperan secara alamiah dalam
pengelolaan lingkungan perkotaan yakni berfungsi menyangkut hal-hal berikut:
1) Sebagai penahan panas disiang hari akibat pertambahan ruas jalan,
gedung-gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, televisi, radio,
menara, dan sarana fisik lainnya.
2) Sementara dimalam hari dapat menciptakan kondisi lebih hangat, hal ini
berkaitan dengan kemampuan tajuk pepohonan dalam menahan radiasi
balik (radiasi) dari bumi.
Peranan lain dari hutan kota terkait dengan jumlah radiasi surya yang
dipantulkan ke hutan sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang jenis tanaman,
umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca, posisi lintang
(Dahlan 2004).
Kabupaten Belu merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Secara geografi Kabupaten Belu terletak pada 124o-126o BTS,
dan 0,9o – 10o LS dengan luas wilayah 244.557 km2 yang terdiri dari 12
kecamatan. 12 kelurahan, 154 Desa. Kondisi wilayah merupakan daerah datar
berbukit hingga pegunungan dengan sungai yang mengalir ke utara dan selatan
mengikuti arah kemiringan lerengnya. Dalam rangka pengembangan hutan kota
di Kabupaten Belu dijumpai sejumlah persoalan yang menempatkannya sebagai
salah satu kota yang pantas untuk dikembangkan konsep hutan kota. Persoalan
yang dimaksudkan disini adalah dari aspek populasi penduduk. Bahkan
permasalahan penduduk ini telah menjadi problema klasik di Kabupaten Belu,
3
pengungsian. Faktor pengungsian menjadi pemicu tersendiri sebagai implikasi
dari proses pembangunan jajak pendapat pada tahun 1999 dengan hasil akhir
terbentuknya suatu negara baru yaitu Republik Democratic of Timor Leste yang
dideklarasikan pada tanggal 20 Mei 2002 (Pemerintah Kabupaten Belu 2003).
Kota-kota yang berada di Kabupaten Belu mengalami perubahan
secara fisik berupa penyusutan lahan terbuka hijau yang dikonversi menjadi
kawasan bangunan (Pemerintah Kabupaten Belu 2004). Fenomena ini
dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup.
Sejumlah parameter untuk menilai menurunnya kualitas udara antara lain
dicirikan oleh menurunnya produksi oksigen, meningkatnya suhu udara,
menurunnya kelembaban udara, meningkatnya kadar CO2, terjadinya
pencemaran udara, dan merebaknya wabah penyakit.
1.2. Kerangka Pemikiran
Ketersediaan sarana dan prasarana di kawasan perkotaan diperlukan
sebagai tuntutan dalam mendukung aktivitas kehidupan kota sebagai bagian dari
kegiatan pembangunan yang terus dilancarkan. Kegiatan pembangunan selain
menimbulkan dampak strategis dari aspek ekonomi juga berimplikasi negatif bagi
lingkungan. Salah satunya adalah penyusutan lahan bervegetasi karena terjadi
alih fungsi menjadi kawasan pemukiman, industri dan kepentingan ekonomi
lainnya. Kenyataan ini akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan
hidup yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga
diperlukan suatu pengelolaan kawasan bervegetasi di perkotaan guna menjamin
kelestarian lingkungan. Penerapan konsep hutan kota dapat diterapkan untuk
menjawab tantangan tersebut, namun mesti disesuaikan dengan karakteristik
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
1.3. Perumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang memerlukan kajian penelitian dalam
rangka pengembangan hutan kota yaitu:
1) Apakah perencanaan hutan kota yang telah dan sedang berjalan dapat
mengoptimalisasi fungsi hutan kota
2) Apakah hutan kota yang ada di Kabupaten Belu telah dapat mencukupi
kebutuhan kota baik untuk masa sekarang maupun untuk beberapa tahun
yang akan datang sehingga diperlukan suatu pengembangan hutan kota. Penurunan kualitas
lingkungan hidup perkotaan
Dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat kota
Diperlukan suatu pengelolaan lingkungan hidup perkotaan
Penerapan konsep hutan kota Kota sebagai pusat
aktifitas perekonomian Fasilitas dan sarana prasarana kota
Meningkatnya jumlah penduduk
Pembangunan yang terus meningkat
Perencanaan pengembangan hutan kota Berkurangnya lahan
bervegetasi
5
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Untuk mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan luas hutan kota
berdasarkan produksi CO2;
2) Mengidentifikasi potensi dan distribusi spasial pengembangan hutan kota.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:
1) Dapat memberikan suatu landasan untuk pembangunan hutan kota bagi
para perencana dan pengambil keputusan pembangunan kota;
2) Sebagai penelitian tahap awal bagi pengembangan hutan kota di Kabupaten
Belu dan dapat dijadikan sebagai landasan bagi para pemerhati di bidang
pengembanagan hutan kota khususnya para peneliti yang tertarik untuk
memperoleh informasi lebih lanjut (kajian lanjutan).
1.6. Hipotesis
Hipotesa penelitian sebagai berikut:
2. Perkembangan fisik Kota-kota di Kabupaten Belu akan menyebabkan
peningkatan produksi CO2
3. Perencanaan pengembangan hutan kota yang dapat menwujudkan kualitas
2.1. Pengertian Kota
Kota merupakan satu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat
aktivitas ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan terletak pada posisi geografis
tetentu dan merupakan otak dari daerah sekelilingnya (Richarson 1997 dalam
Affandi 1994). Kota adalah suatu permukiman dengan kepadatan penduduk yang
lebih besar dari kepadatan penduduk nasional, dengan struktur mata
pencaharian non agraris dan tata guna yang beraneka serta kerapatan
pembangunan yang tinggi. Kota juga merupakan suatu kebulatan tatanan dari
lingkungan sistem fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang saling berintegrasi
secara sederhana. Soeriaatmaja (1977) mengemukakan bahwa kota merupakan
suatu system yang sifatnya sementara dan sewaktu-waktu sulit untuk dikontrol.
Kota dipandang sebagai suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan
pusat aktifitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta mempunyai otoritas
tertentu dalam suatu Negara, terletak pada posisi geografis tetap dan merupakan
pusat dari daerah sekitarnya. Kota dapat dipelajari melalui berbagai fungsinya
yang terorganisir dalam skala waktu dan ruang tertentu dalam alam. Kota yang
baik merupakan kesatuan organis yang diterapkan sesuai dengan keadaan
kondisi teknologi dan cita-cita serta didasarkan pada masa lalu dan berorientasi
ke masa depan. Kota pada akhirnya akan mati atau mundur apabila tidak
merupakan suatu organisasi yang dapat berfungsi dan berkembang serta dapat
menyediakan kebutuhan sumberdaya alam seperti air minum, listrik, sarana
transportasi, sistem pembuangan sampah serta regenerasi kota bagi
kesejahteraan penduduk kota.
2.2. Pengaruh Perkembangan Kota terhadap Lingkungan
Perkembangan kota tidak merata dengan laju pertambahan penduduk
antara satu kota dengan kota yang lainnya. Perkembangan kota terutama
dipengaruhi oleh sektor jasa perdagangan, pemerintahan dan lain sebagainya
yang menimbulkan krisis permukiman, air minum, kesehatan, limbah karena
berhubungan dengan pemusatan banyaknya manusia dalam kurun waktu yang
relatif pendek dalam ruang yang terbatas (Anonymous 1987). Selanjutnya
7
perkembangan kebudayaannya menambah beban daya dukung lingkungan yang
relatif tetap yang sementara memang masih dapat diatasi dengan teknologi,
namun akibat sampingan akan berlipat ganda.
Menurut Richardson (1977) dalam Affandi (1994), perkembangan kota
yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, industri, pelayanan dan sebagainya
menyebabkan homogennya perekonomian ruang. Perekonomian di daerah
terdapat kawasan yang penduduknya lebih padat, bagian dalam kegiatan industri
lebih besar dan pandangannya lebih kosmopolitan daripada daerah-daerah
sekitarnya. Gejala yang terjadi di suatu daerah terjadi pemusatan penduduk dan
industri, barang-barang dan jasa, komunikasi dan lalu lintas, juga
kegiatan-kegiatan bisnis komersil. Terjadinya pemusatan kegiatan-kegiatan atau aglomerasi ini
selain memberikan keuntungan ekonomi juga memberikan dampak negatif yaitu
semakin semakin meningkatnya jasa-jasa transportasi di daerah-daerah pusat
kegiatan maka pencemaran pun meningkat.
Perkembangan kota yang semakin pesat ditandai dengan semakin
meningkatnya aktifitas manusia seperti pengolahan lahan, permukiman,
perindustrian dan sebagainya, menyebabkan kualitas lingkungan hidup di
perkotaan cenderung menurun. Menurunnya kualitas lingkungan merupakan
perubahan lingkungan yang menyebabkan terganggunya kenyamanan penduduk
perkotaan (Tarsoen, 1991 dalam Affandi 1994).
2.3. Pencemaran Lingkungan Hidup Perkotaan
Fasilitas di kawasan perkotaan seperti aliran listrik, air minum,
perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain serba terbatas dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan pertambahan penduduk yang cepat. Pesatnya kemajuan
teknologi dan pembangunan kota secara terus menerus, menyebabkan kualitas
lingkungan hidup kota cepat menurun.
Salim (1986) menjelaskan bahwa pengaruh pembangunan kota
terhadap lingkungan adalah lebih besar dari pada pengaruh pembangunan desa.
Pengaruh itu meliputi: (1) Perubahan keadaan fisik lingkungan alam menjadi
lingkungan buatan manusia, (2) Perubahan lingkungan sosial masyarakat yang
hidup dalam kota.
Pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang tidak
menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan
dan jumlah organisme. Kondisi ini dapat mempengaruhi manusia secara
langsung ataupun tidak langsung melalui air, hasil pertanian, peternakan,
benda-benda dan perilaku dalam apresiasi dan rekreasi di alam bebas (Soerjanegara
dan Indrawan1998). Sedangkan menurut Undang-Undang No.23 Tahun 1997
tentang Pengolahan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan adalah
massuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen
lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi
lagi sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Grey dan Deneke (1978), bahan pencemar lingkungan dapat
digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu bahan pencemar fisika (physical
pollutans), bahan pencemar kimiawi (chemical pollutans) dan bahan pencemar
fisiologi (physiology pollutans). Ada 9 jenis zat pencemar udara yang paling
utama, yaitu: sulfur oksida (SO2), ozon (O3), senyawa flour ethylene, oksigen
nitrogen, ammonia, chlorine, hidrogen clorida, partikel-partikel dan herbisida.
Bentuk pencemaran yang terjadi di perkotaan dapat dibedakan menjadi
empat, yaitu: pencemaran dalam bentuk padat, bentuk cair, bentuk gas, dan
kebisingan. Bentuk-bentuk pencemaran tersebut lebih sering disebut sebagai
pencemaran tanah, air, udara dan kebisingan. Pencemaran udara terjadi akibat
meningkatnya jumlah pemakaian kendaraan bermotor serta asap yang dihasilkan
pabrik-pabrik yang berada di perkotaan.
2.4. Produksi Karbondiksida dari Kendaraan Bermotor, Kegiatan Industri, dan Penduduk.
Pertumbuhan populasi manusia yang terus meningkat berimplikasi pada
peningkatan aktivitas yaitu; industri, kendaraan bermotor serta dari sisi manusia
itu sendiri. Sejauh ini di Kabupaten Belu belum terdapat penelitian menyangkut
kontribusi dari masing-masing kegiatan dalam menghasilkan karbondioksida.
Hasil penelitian Marianah (2006) di Kota Depok tentang jumlah emisi
karbondioksida per hari dari penduduk, kendaraan bermotor, dan industri
9
Tabel 1. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk No. Kecamatan Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr)
1 Sawangan 147260.29 180974.74 238228.86 335903.78 473625.86 2 Pancoran Mas 190338.04 203369.83 222143.91 248067.16 277015.54 3 Sukmajaya 290471.02 344220.41 431666.50 572846.17 760199.67 4 Cimanggis 360235.79 470041.98 670197.85 1044205.59 1626930.48 5 Beji 127046.47 168456.00 245387.06 392697.50 628441.15 6 Limo 96996.21 122361.60 166788.33 245649.73 361798.64 7 Cibinong 151880.66 161201.54 174525.19 192738.86 212853.34 8 Bojonggede 169689.95 178161.83 190119.24 206200.78 223642.61 9 Gunung Sindur 62986.56 67012.05 72782.38 80698.95 89476.62 10 Parung 68883.96 73241.25 79482.70 88037.70 97513.50 11 Gunung Putri 118809.93 131321.71 150077.28 177332.34 209537.12
Total 1784598.8 2100362.9 2641399.2 3584378.5 4961034.5
Tabel 2. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor No. Kecamatan Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr)
1 Sawangan 122199.76 134523.70 157200.28 187277.18 217049.02 2 Pancoran
Mas 145653.24 192407.28 257723.72 339826.38 420992.50 3 Sukmajaya 102919.56 129899.42 166051.22 214394.82 261880.92 4 Cimanggis 1631858.1 2620205.7 3968908.1 5678115.8 7376758.9 5 Beji 579837.04 906009.82 1385816.8 1985700.9 2585284.0 6 Limo 193289.02 204073.14 266220.90 343956.10 421539.46 7 Cibinong 92572.04 101560.50 113173.12 128113.52 142615.58 8 Bojonggede 17970.34 19643.26 21876.80 24766.42 27328.34 9 Gunung
Sindur 20831.46 18398.84 15390.96 11984.48 9588.78 10 Parung 53361.28 53392.56 53481.48 53581.28 53679.72 11 Gunung Putri 16265.24 22633.30 31168.02 42159.96 52388.70 Total 2976757.1 4402747.5 6437011.3 9009876.8 11569105.9
Keterangan : *) Berdasarkan estimasi laju kendaraan bermotor dari tahun 1999 s/d tahun 2002
Tabel 3. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri
No. Kecamatan Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr)
1 Sawangan 8577.81 14276.47 22087.08 42414.90 55237.66 2 Pancoran Mas 6671.63 39534.84 9094.68 13881.24 19600.46 3 Sukmajaya 24780.34 28552.94 33780.24 40101.36 46328.36 4 Cimanggis 49560.68 58204.07 71458.20 90999.24 112257.18 5 Beji 5718.54 9883.71 16890.12 29304.84 40982.78 6 Limo 18108.71 31847.51 55867.32 97168.68 140766.94 7 Cibinong 79106.47 106524.43 154609.56 226726.92 306479.92 8 Bojonggede 5718.54 6589.14 7795.44 9254.16 10691.16 9 Gunung Sindur 13343.26 16472.85 24685.56 38559.00 53455.80 10 Parung 3812.36 5490.95 7795.44 12338.88 16036.74 11 Gunung Putri 120089.34 146059.27 183192.84 232896.36 286879.46 Total 335487.68 463436.18 587256.48 833645.58 1088716.46
2.5. Perlunya Pengembangan Hutan Kota
Kegiatan di perkotaan yang memberikan limbah dalam bentuk padat, cair,
gas maupun debu yang mencemarkan udara menyebabkan kualitas lingkungan
hidup di kota semakim lama semakin menurun. Pembangunan jalan dan
permukiman yang memberikan dampak penuruman kemampuan tanah untuk
menyerap dan menampung air, transportasi yang memberikan gas
karbodioksida, sulfurdioksida serta kebisingan udara. Untuk memperbaiki dan
mutu lingkungan hidup di kota dapat dilakukan dengan efisiensi dan efektif
melalui pengembangan hutan kota.
Faktor-faktor dasar lingkungan alami dalam wilayah perkotaan yang harus
diperhatikan (Purnomohadi, 1987) antara lain:
1) Kualitas udara yagn sangat dipengaruhi oleh pola lalu lintas kota, adanya
ruang terbuka yang relatif luas sehingga memungkinkan adanya sirkulasi
udara bagi setiap kelompok bangunan. Aliran udara berupa hembusan
angin akan melindungi kualitas air.
2) Perlunya pengelolaan air, terutama air permukaan pada daerah-daerah
penampungan air, sungai, kanal, waduk dan rawa dalam satu sistem,
termasuk penyediaan air bersih, penampungan air buangan yang kemudian
dapat diproses melalui instalasi pemurnian air buangan.
3) Pengelolaan limbah padat di tempat yang khusus dan harus
dipertimbangkan pula yang dapat menjadi sumber bahan mentah dari
buangan-buangan tadi.
4) Diharapkan terciptanya derajat kebisingan yang serendah mungkin dengan
mengenali faktor yang mempengaruhinya, seperti lalu lintas, penghijauan,
kepadatan penduduk serta penumpukan fasilitas kota.
5) Adanya kehidupan alami dalam habitat ciptaan maupun alami bagi berbagai
jenis satwa yang tidak berbahaya.
6) Adanya berbagai fasilitas umum seperti peninggalan sejarah kejayaan kota,
energi listrik, sarana kesehatan, pendidikan, transportasi, perdagangan,
peristirahatan, rekreasi dan sebagainya.
Interaksi antara klorofil dan bantuan sinar matahari, tumbuhan mampu
mengubah zat karbondioksida dari udara dan air dari tanah menjadi karbohidrat
dan oksigen. Proses ini dikenal dengan nama fotosintesis (Anonymous 1987:
Bernatzky 1978: Soekotjo 1976). Proses tersebut sering dinyatakan sebagai
11
sinar matahari
6CO2 + 12 H2O C6H12O6 + 6H2O + 6O2
klorofil
Satu hal yang paling esensial dari proses fotosintesis selain pembentukan
karbohidrat adalah pembentukan oksigen yang diperlukan dalam proses
pernapasan (respirasi) semua makhlik hidup. Agar proses respirasi dan
fotosintesis bejalan lancar, maka adanya keseimbangan antara produsen
oksigen dan konsumen oksigen mutlak diperlukan. Kota-kota besar dan daerah
yang padat penduduknya keseimbangan tersebut harus konstan, karena
perubahan dalam waktu yang singkat atau perubahan sedikit saja akan dapat
dirasakan akibatnya. Keberadaan pereduksi yang bersifat permanen sangat
dibutuhkan pada kondisi demikian. Pereduksi yang dipandang permanen adalah
vegetasi pohon, mengingat pohon memiliki daur yang cukup panjang dan dapat
memproduksi oksigen yang cukup banyak (Anonymous 1987).
Faktor lain yang dapat menunjang perlunya pengembangan hutan kota
adalah adanya kecenderungan penduduk kota yang mendambakan suasana
alami. Hal ini bias ditunjukkan dengan semakin banyaknya penduduk kota yang
pergi ke luar kota untuk mencari kenyamanan dan keindahan alam terbuka baik
di waktu libur maupun di waktu senggang (Anonymous 1987). Pengembangan
hutan kota memerlukan penyediaan lahan sebagai faktor yang paling penting
karena hutan kota diperuntukkan untuk masyarakat luas, maka tentu saja
penyediaan lahan tersebut menjadi kewajiban penduduk kota dan pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut, maka lahan hutan kota dapat dikategorikan
dalam 2 kelompok berdasarkan status pemiliknya (Fakuara 1987), yaitu:
1) Lahan hutan kota harus disediakan pada lokasi-lokasi atau tempat-tempat
umum, seperti tempat komunitas (pertokoan, pasar dan lain-lain), jalan raya
serta tempat-tempat umum lainnya. Untuk keperluan ini, lahan harus
disediakan oleh pemerintah yang dapat berasal dari tanah negara maupun
tanah milik.
2) Lahan hutan kota yang harus disediakan pada tempat-tempat perorangan,
termasuk dalam kelompok ini seperti pemukiman, industri dan
tempat-tempat lainnya yang dibebani hak milik. Untuk keperluan ini, lahan harus
disediakan oleh masyarakat baik secara individu maupun badan hukum
Perencanaan tata ruang bertujuan untuk memanfaatkan ruang/lahan
secara optimal dan tidak merusak lingkungan. Agar kegiatan dalam rangka
pemanfaatan ruang dengan sumber-sumber yang terdapat di dalamnya dapat
memberikan hasil yang optimal, maka perlu diatur ketetapan lokasi agar kegiatan
tersebut senantiasa saling menguntungakan dan sedikit mungkin menimbulkan
dampak yang negatif melalui perencanaan tata ruang.
Penataan ruang diharapkan dapat terwujud kehidupan dan penghidupan
yang aman, tertib, lancar, sehat dan efisien dalam lingkungan yang serasi dan
daya dukung yang selaras, seimbang dan serasi. Oleh karena itu, pembangunan
dan pengembangan hutan kota harus berpedoman pada perencanaan tata ruang
kota (Fakuara, 1987). Rencana penetapan lokasi hutan kota harus didasarkan
pada Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK). Lokasi hutan kota tersebut
harus dibangun pada tempat yang tepat dengan luas yang cukup, sehingga daya
dukung wilayah dapat memenuhi kebutuhan terhadap hutan kota tersebut.
Beberapa komponen pendukung yang diperlukan untuk pembangunan
dan pengembangan hutan kota antara lain (Dahlan 2004):
1) Tersedianya kebun pembibitan yang dapat menyediakan bibit secara
massal;
2) Ilmu dan teknologi yang memadai;
3) Pelayanan jasa konsultasi untuk umum;
4) Dukungan dari penentu kebijakan;
5) Peraturan–perundangan;
6) Dukungan masyarakat;
7) Tenaga Ahli.
2.6. Pengertian Hutan Kota
Definisi hutan kota menurut Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan
bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1987) adalah
lapangan yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang
memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota
dalam kegunaan-kegunaan proteksi, rekreasi dan kegunaan khusus. Menurut
Suwardi (1987) hutan kota adalah suatu hutan yang keberadaannya ada di
dalam kota, di sekitar pinggiran kota atau di dalam daerah-daerah pusat
permukiman yang berkembang karena proses urbanisasi. Hutan kota merupakan
13
dan dikembangkan secara intensif di dalam daerah perkotaan untuk keuntungan
dan kepentingan warga kota.
Hutan kota merupakan suatu pendekatan dan penerapan salah satu atau
beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai
tujuan proteksi, rekreasi, estetika dan kegunaan khusus lainnya bagi kepentingan
penduduk perkotaan. Oleh karena itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan
(menurut Undang-Undang Pokok Kehutanan, UUPK No. 5 Tahun 1967 yaitu
lapangan yang ditumbuhi pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan
persekutuan hidup dengan alam lingkungannya dan mempunyai luas areal
minimal 0,25 ha berada di kota dapat tersusun dari komponen hutan dan
kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota sepert taman, jalur hijau serta
kebun dan pekarangan (Fakuara 1987).
Haeruman (1987) mengemukakan bahwa hutan kota juga terletak jauh di
luar batas kota, sepanjang interaksi yang intensif antara penduduk sebuah kota
dengan hutan tersebut berlangsung terus menerus. Sebagai contoh, Taman
Hutan Raya Ir. H. Juanda di Bandung, Taman Hutan Raya Muh. Hatta di Padang
dan di Bengkulu sedang dalam taraf pembangunan. Ekosistem hutan kota
tumbuh secara ekologis sesuai dengan lingkungan perkotaan, artinya terdiri dari
tegakan yang berlapis-lapis di mana masing-masing fungsinya meniru hutan
alami. Pemeliharaan relatif sedikit dibandingkan misalnya dengan lapangan oleh
raga, taman-taman umum dalam skala luas yang sama. Secara rinci, komposisi
tegakan dalan hutan kota dijabarkan secara teknis sesuai dengan fungsinya,
antara lain: biologis, estetis, rekreatif, ekologis, fisis, sosial, sebagai cadangan
untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dalam pembangunan
kota jangka panjang (Purnomohadi 1987).
Perbedaan yang nyata dengan unsur terbuka hijau yang lain adalah
bahwa tegakan pepohonan dan semak belukar dalam hutan kota dikelola sesuai
dengan sifat hutan yaitu tidak berdiri sendiri sehingga satu kelompok tegakan
dengan yang lainnya terjadi dalam satu komunitas yang sesuai atau paling tidak
mirip dengan ekosistem hutan alami. Namun sesuai dengan nilai-nilai ”urbanity”
maka ada keterbatasan dalam pembentukan hutan kota tersebut seirama pula
dengan perkembangan kota yang terjadi serta berbagai aspek kehidupan yang
menyangkut kehidupan penduduk kota. Kalau hanya berupa kumpulan pohon
yang sejejer tidaklah dapat dikatakan hutan kota. Tanaman yang ada harus
kesimbangan. Oleh karena itu, perlu ditentukan beberapa jenis minumum
vegetasi yang tumbuh baru disebut hutan kota. Tanaman dalam pot tidak dapat
dikatakan hutan kota, karena jika tidak ada manusia tanaman pot itu akan mati.
Hutan kota harus berinteraksi langsung dengan lingkungannya, yaitu tanah, air,
dan air tanah (Haeruman 1987).
2.7. Tipe-tipe Hutan Kota
Fakuara (1986) menyatakan bahwa tipe-tipe hutan kota yang
dikembangkan terdiri dari:
1) Hutan Kota Permukinan, bentuknya antara lain:
a) Taman bermain untuk anak-anak, tanaman yang ditaman di dalamnya
ialah dari kombinasi yang ketinggiannya berbeda, disusun sedemikian
rupa untuk memenuhi fungsi keindahan, meredam suara, produksi
oksigen dan meningkatkan kenyamanan;
b) Tanaman Tepi Jalan, dibuat untuk tujuan meredam suara, menguapkan
air genangan, meningkatkan kenyamanan serta menahan silau sinar
kendaraan di malam hari. Jenis pohon yang di pakai untuk tujuan ini
adalah jenis pohon yang tidak terlalu tinggi, tajuknya rimbun serta tingkat
transpirasinya relatif tinggi;
c) Tanaman Pekarangan, tanaman yang dipakai untuk pekarangan adalah
paling sedikit untuk tujuan menghasilkan oksigen yang diperlukan untuk
pernapasan manusia. Tujuan penanamannya sangat tergantung kepada
pemilik pekarangan;
d) Tanaman Pelengkap Gedung Bertingkat. Karena terbatasnya lahan
yang tersedia di perkantoran, maka pemukiman pada gedung bertingkat
sudah mulai dulaksanakan oleh Perumnas. Suasana pemukiman seperti
ini sangat monoton dan kaku. Oleh karena itu, pada setiap lantai dan
pada lokasi tertentu dari lantai tersebut harus tersedia tanaman yang
membawa ke arah alami serta nyaman. Jenis tanaman yang dipakai
untuk kepentingan ini ialah jenis tanaman yang berdaun rindang tetapi
ringan serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga
diharapkan produksi oksigennya tinggi;
2) Hutan Kota Kawasan Industri, bentuk-bentuknya antara lain:
a) Tanaman Kawasan Industri, dibuat dengan tujaun untuk istirahat para
15
debu dan gas buangan industri. Untuk dapat meredam debu udara,
maka dipilih tanaman yang dapat menggugurkan daun, mempunyai tajuk
yang rimbun dan rapat serta berdaya tahan tinggi. Untuk menyerap gas,
maka dipilih tanaman yang mempunyai stomata yang banyak, serta
mempunyai ketahanan yang baik terhadap gas tertentu, mempunyai
tingkat pertumbuhan yang cepat, dan tahan terhadap serangan angin.
Jika digunakan untuk meredam kebisingan maka dipilih tanaman yang
rimbun daunnya, sedangkan untuk penghasil oksigen ialah yang
mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat;
b) Tanaman penyangga. Pada umumnya kawasan indusri merupakan
kawasan yang tidak terlepas dari kawasan berpenduduk, baik dalam
bentuk pemukiman, pertokoan, pertanian dan sebagainya. Tanaman
penyangga ini dibuat berdasarkan perhitungan gerakan angin yang bisa
bergerak di sekitar kawasan. Oleh karena itu penanaman pohon ini
harus memperhatikan tinggi gerakan angin serta jarak dari daerah yang
perlu dilindungi;
3) Hutan Kota Rekreasi/Wisata. Hutan kota rekreasi mempunyai peranan
sebagai tempat bermain anak-anak, tempat istirahat orang dewasa,
perlindungan dari gas dan debu, serta sebagai produsen oksigen. Lokasi
dari hutan kota rekreasi ini diusahakan dapat memenuhi fungsi sebagai
rekreasi ‘jam’ artinya dapat didatangi dan dinikmati tidak lebih dari satu jam
dari ujung daerah pemukiman dengan kendaraan bermotor;
4) Hutan Kota Konservasi. Hutan konservasi mengandung arti untuk
mencegah kerusakan, perlindungan dan pengawetan terhadap objek
tertentu dalam alam. Hutan kota konservasi tentunya juga bermaksud untuk
mencegah kerusakan, melindungi dan melestarikan sumberdaya alam
tertentu di perkotaan. Suatu kota seringkali mempunyai kekhasan pada
satwa tertentu yang perlu dipertahankan kelestariannya. Oleh karena itu
perlu adanya tindakan konservasi dengan pembuatan hutan kota
konservasi. Jenis tanaman yang ditanam tentunya disesuaikan dengan
kebutuhan satwa, misalnya untuk keperluan bersarang, bermain, mencari
makan, ataupun untuk bertelur. Ciri khas lain suatu kota juga dapat juga
berupa tebing-tebing yang curam ataupun tepi-tepi sungai yang perlu dijaga
supaya tidak terjadi longsor yang bisa membahayakan pemukiman.
tol ataupun jalan raya biasa, di terminal, dan di pusat perbelanjaan serta tepi
rel kereta api;
5) Hutan Kota Pusat Komunitas Sosial/Kegiatan. Kota juga mempunyai
pusat-pusat komunitas sosial/kegiatan seperti pusat-pusat pertokoan, gedung-gedung
pertemuan, perkantoran dan lain-lain. Hutan kota yang berada di wilayah ini
bertujuan untuk memberikan sentuhan estetika, sebagai pelindung, produsen
oksigen dan lain-lain. Di dalam pusat komunitas, hutan kota juga dapat
dijadikan sebagai alat sosialisasi penduduk kota.
2.8. Peranan Hutan Kota
Hijaunya kota tidak hanya menjadikan kota itu indah dan sejuk, namun
aspek kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan sumberdaya
alam, yang selanjutnya akan membaktikan jasa-jasa berupa kenyamanan,
kesegaran, terbebasnya kota dari polusi dan kebisingan serta sehat dan
cerdasnya warga kota tersebut (Dahlan 2005). Hutan kota selain dapat memberi
keteduhan dan keindahan, juga dapat memberi manfaat dalam mengurangi
dampak negatif pencemaran udara, dan mengatasi masalah erosi tanah
(Robinette 1972 dalam Supriadi, M. Ichsan, Sri L. D., Handari W. 1991).
Menurut Dahlan (2005), hutan kota mempunyai peranan sebagai berikut:
(1) Indentitas kota, (2) Pelestarian plasma nutfah, (3) Penahan dan penyaring
partikel padat dari udara, (4) Penyerap dan penjerap partikel timbal, (5) Penyerap
dan penjerap debu semen, (6) Peredam kebisingan, (7) Mengurangi bahaya
hujan asam, (8) Penyerap karbonmonoksida (9) Penyerap karbondioksida dan
penghasil oksigen, (10) Penahan angin, (11) Penyerap dan penepis bau, (12)
Mengatasi penggenangan, (13) Mengatasi intrusi air laut, (14) Produkti terbatas,
(15) Ameliorasi iklim, (16) Pengelolaan sampah, (17) Pelestarian air tanah, (18)
Penapis cahaya silau, (19) Meningkatkan keindahan, (20) Sebagai habitat
burung, (21) Mengurangi stress, (22) Mengamankan pantai terhadap abrasi, (23)
Meningkatkan industri pariwisata, dan (24) Sebagai hobi dan pengisi waktu
luang.
Menurut Grey dan Denake (1978), bahwa dengan menerapkan konsep
hutan kota akan memberikan 4 jenis manfaat, yaitu:
1) Perbaikan Iklim. Kehidupan manusia akan dipengaruhi oleh unsur-unsur
iklim seperti, radiasi matahari, temperatur udara, angin dan kelembaban.
17
bagi kehidupan manusia seperti, penyesuaian suhu lingkungan dan
penurunan kecepatan angin;
2) Pemanfaatan Bidang Keteknikan. Pemanfaatan bidang keteknikan ini
berupa, perlindungan terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS), pengendalian
terhadap erosi, pengendalian air buangan, meredam kebisingan, menyaring
polusi udara, pengendalian sinar langsung dan pantulan serta pengendalian
lalu lintas;
3) Pemanfaatan di Bidang Arsitektur. Pengaturan struktur pohon-pohon hutan
kota di sekitar gedung atau bangunan akan memberikan hasil yang lebih
baik, terutama apabila dipandang dari sudut seni dan keindahan;
4) Pemanfaatan di Bidang Estetika. Keberadaan tanaman hutan kota dalam
berbagai bentuk, struktur dan warna akan mempercantik dan memperindah
wajah kota.
Kota identik dengan kepadatan penduduk, sehingga seringkali kondisi
lingkungan hidupnya kurang terpelihara dengan baik yang berakibat terjadinya
penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Untuk meningkatkan kualitas
lingkungan hidup di kawasan pemukiman kota perlu diterapkan prinsip-prinsip
hutan kota dalam bentuk (Fakuara 1987):
1) Membuat taman bermain untuk anak-anak. Jenis tanaman yang dapat
ditanam di taman ini bervariasi dengan ketinggian yang berbeda, disusun
sedemikian rupa untuk memenuhi keindahan, meredam suara, produksi
oksigen dan meningkatkan kenyamanan;
2) Membuat tanaman tepi jalan atau jalur hijau. Tanaman ini bertujuan untuk
meredam suara, menyerap genangan air, meningkatkan kenyamanan serta
menahan sinar silau pada malam hari;
3) Tanaman pekarangan. Tanaman ini bertujuan untuk produksi oksigen,
keindahan serta beberapa tujuan lain berdasarkan keinginan pemiliknya;
4) Tanaman pelengkap gedung bertingkat. Tanaman ini bertujuan untuk
produksi oksigen dan untuk memberikan kondisi yang alami dan nyaman.
Hutan kota juga dapat dimodifikasi untuk memberikan pelayanan rekreasi
bagi penduduk kota. lokasi hutan kota rekreasi diusahakan merupakan “rekreasi
jam”, yang artinya dapat didatangi dan dinikmati tidak lebih dari satu jam
perjalanan dari ujung daerah pemukiman dengan kendaraan bermotor.
Pohon-pohon yang dapat ditanam untuk kawasan rekreasi yaitu pohon
keteduhan yang besar. Sedangkan menurut Grey dan Denake (1978),
pohon-pohon yang dapat ditanam untuk hutan kota dapat diklasifikasikan menjadi 3,
yaitu: (a) pohon-pohon kecil dengan tinggi kurang dari 9.14 m, (b) pohon-pohon
sedang dengan tinggi 9,14-18,28 m dan (c) pohon-pohon tinggi dengan tinggi
lebih dari 18,28 m.
2.9. Kriteria dan Bentuk Hutan Kota
Kriteria hutan kota terdiri dari sasasran dan fungsi penting, vegetasi,
intensitas manajemen serta status. Berdasarkan kriteria tersebut, maka bentuk
hutan kota dapat dikelompokkan menjadi 4 bentuk, yaitu Taman Kota,
Kebun/Pekarangan, Jalur Hijau dan Hutan (Fakultas Kehutanan IPB 1987).
Secara terinci kriteria untuk masing-masing bentuk tersebut dapat dilihat pada
Tabel 4. Sedangkan menurut Dahlan (2005) bentuk hutan kota dikelompokkan
menjadi; a) Jalur Hijau, b) Taman Kota, c) Kebun dan Halaman, d) Kebun Raya,
Hutan Raya dan Kebun Binatang, e). Hutan Lindung.
Taman kota dibangun tidak sekedar untuk tujuan keindahan saja
melainkan dapat pula berfungsi sebagai produsen oksigen. Luas taman dapat
bervariasi dari beberapa m2 sampai puluhan hektar. Kebun/pekarangan juga
harus ditanami jenis tanaman yang mampu mendukung paling tidak kebutuhan
oksigen penduduk kota, tetapi disamping itu juga dapat untuk tujuan yang
bernilai ekonomis. Jalur hijau yang dibangun untuk menyusun hutan kota dapat
berupa jalur beberapa meter sampai puluhan kilometer. Jenis tanaman yang
akan ditanam tergantung pada tujuan dan fungsi tertentu, misalnya peredam
kebisingan, pengendali pencemaran udara, penangkal angin dan produksi
oksigen.
Tabel 4. Kriteria dan Bentuk Hutan Kota
Bentuk No. Kriteria
Taman Kota Kebun/
Pekarangan Jalur Hijau Hutan 1. Sasaran Kawasan
industri,
pemukinan dan pusat kegiatan
Pemukiman, daerah subur
Jalan dan kawasan konservasi
19
Lanjutan Tabel 4
Bentuk No. Kriteria
Taman Kota Kebun/
Pekarangan Jalur Hijau Hutan 2. Fungsi
yang penting
Ameliorasi iklim, estetika, produksi O2,
rekreasi dan peredam polusi
Produksi O2 dan
atas tujuan ekonomi, ameliorasi iklim, estetika Ameliorasi iklim,
produksi O2,
peredam kebisingan, peredam bau Hidro-orologis, ameliorasi iklim, produksi O2, fungsi
konservasi lain. 3. Vegetasi Tanaman
hias Buah-buahan, tanaman hias, pohon lainnya. Tumbuhan dari semua strata(perdu, semak, pohon) Pohon dengan tajuk lebar dan perakaran intensif. 4 Intensitas
manajemen
Tinggi Sedang Sedang Rendah
5 Status Pemilikan
Umum dan perorangan
Perorangan Umum Umum
6 Pengelola Dinas
Pertamanan/ Perorangan
Perorangan Dinas Pertamanan
Dinas Kehutanan/ Perorangan Sumber: Fakultas Kehutanan IPB, 1987.
2.10. Pengelolaan Hutan Kota
Program hutan kota adalah kegiatan khusus kehutanan yang bertujuan
mengelola vegetasi kayu (pohon) bagi kepentingan kesejahteraan fisiologik,
sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan. Tercakup ke dalam rumusan tersebut
di atas ialah program komprehensif untuk mendidik penduduk kota tentang
peranan vegetasi berkayu (pohon) di dalam lingkungan perkotaan. Dalam
pengertian yang lebih luas lagi, program tersebut merupakan sistem pengelolaan
dan kegunaan yang mencakup daerah-daerah perkotaan, sylvikultur dan
umumnya dan produksi kayu serat.
Hutan kota memerlukan suatu pengelolaan yang tertib agar keberadaan
dan fungsinya terpelihara sepanjang masa. Pengelolaan hutan kota melibatkan 3
unsur, yaitu individu, masyarakat dan pemerintah kota. Pemerintah yang dalam
hal ini dapat berupaya Dinas Pertamanan Kota atau Dinas Kehutanan, harus
membuat perencanaan hutan kota untuk lahan yang tersedia di lahan milik
pemerintah maupun lahan milik masyarakat dan juga milik individu. Setiap unit
pemerintah, kemudian jika lahan itu milik pemerintah pelaksanaannya dilakukan
oleh pemerintah, tetapi jika lahan itu milik masyarakat dilaksanakan oleh
masyarakat, dan jika lahan itu milik individu masyarakat maka pelaksanaannya
dilakukan oleh individu masyarakat dengan bimbingan teknis dari pemerintah
supaya benar pelaksanaannya (Fakuara 1986).
Menurut Grey dan Denake (1978) ada tiga macam kegiatan di dalam
pengelolaan hutan kota, yaitu:
1) Penanaman. Penanaman harus mempunyai prioritas tertinggi, terutama
kegiatan penebangan pohon-pohon yang sudah tua/mati. Kegiatan
penanaman ini harus memperhatikan komposisi jenis, lokasi dan desain;
2) Pemeliharaan. Pemeliharaan hutan kota dapat didefinisikan sebagai
penerapan kebutuhan-kebutuhan praktis bagi kesehatan yang layak,
kekuatan, dan sesuai dengan lingkungan perkotaan. Kegiatan pemeliharaan
meliputi pengendalian pertumbuhan, perusakan, serta serangga dan
penyakit;
3) Pembersihan. Kegiatan pembersihan meliputi penyingkiran pohon-pohon
yang mati, pohon-pohon yang membahayakan baik secara fisik berupa
posisi yang tidak menguntungkan, maupun karena merupakan sumber
penyakit, serta pohon-pohon yang terlalu berdesakan.
Studi kajian perencanaan aspek yang dapat diteliti meliputi: lokasi, fungsi
dan pemanfaatan, aspek teknik silvikultur, arsitektur lansekap, sarana dan
prasarana, teknik pengelolaan lingkungan. Bahan informasi yang dibutuhkan
dalam studi meliputi: (1) Data fisik (letak, wilayah, tanah, iklim, dan lain-lain); (2)
Sosial ekonomi (aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya); (3) Keadaan
lingkungan (lokasi dan sekitarnya); (4) Rencana pembangunan wilayah (RUTR,
RTK, RTH), serta (5) Bahan-bahan penunjang lainnya (Dahlan 2005).
Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota yang terdiri dari
tiga bagian, yakni (Dahlan 2005):
1) Rencana jangka panjang, yang memuat gambaran tentang hutan kota yang
dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya.
2) Rencana detail yang memuat desain fisik atau rancang bangun untuk
masing-masing komponen fisik hutan kota yang hendak dibangun serta tata
letaknya.
21
Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung
kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistem pengorganisasian di
suatu daerah mungkin berbeda dengan daerah lainnya. Salah satu bentuk
[image:48.595.113.512.357.616.2]pengorganisasian pembangunan dan pengelolaan hutan kota dapat dilihat pada
Gambar 2. Walikota dan Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas
pembangunan dan pengembangan hutan kota di wilayahnya. Bidang
perencanaan pengendalian dipegang oleh Bappeda Tingkat II. Untuk
pelaksaannya dapat ditunjuk dinas-dinas yang berada di wilayahnya (Gambar 2).
Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan
kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan
petunjuk dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar
pelaksanaannya perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan
oleh pemerintah kepada yang bersangkutan.
Gambar 2. Bagan Organisasi Pengelolaan Hutan Kota (Sumber: Dahlan 2004)
2.11. Pemilihan Jenis Pohon
Tinjauan dari segi ekologi, jenis tanaman yang baik ditanam untuk
reboisasi maupun penghijauan suatu kota adalah jenis-jenis tanaman asli daerah
setempat. Sedangkan jenis-jenis exot baik dari luar daerah harus menyesuaikan Bappeda Tk II
Penanggung Jawab
Kepala Wilayah (Walikota/Bupati)
Pelaksana Perencana
Dinas Kehutanan Dinas Tata Kota Dinas Pertanian Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Dinas Perkebunan Perusahaan Negara Swasta
Kampus/Sekolah
diri dengan iklim dan lingkungan hidup yang baru. Kalau jenis-jenis asli tidak
memungkinkan untuk ditanam misalnya tidak tersedianya biji yang cukup untuk
jenis-jenis asli, atau tidak sesuai dengan pola perencanaan industri daerah yang
bersangkutan dan sebagainya, maka dipilih jenis yang cocok baik dalam arti
ekonomi maupun arti ekologi. Aspek ekologis menyangkut kecocokan dengan
daerah yang bersangkutan harus diperhatikan persyaratan tumbuh daerah dalam
hubungannya dengan faktor iklim, tanah, tinggi tempat dari permukaan laut,
toleransi jenis tersebut akan cahaya matahari, keadaan lapangan dan vegetasi
yang ada (Ishemat dan Andry 1998 dalam Septriana 2005).
Keadaan ekologis yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis pohon
(Ishemat dan Andry 1998 dalam Septriana 2005) adalah sebagai berikut:
1) Iklim. Tiap jenis pohon mempunyai persyaratan tumbuh yang berhubungan
erat dengan iklim. Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan pohon
adalah hujan. Untuk daerah-daerah dengan musim kering yang sedang
sampai kuat, pemilihan jenis dibatasi oleh ketahanan pohon akan
kekurangan air;
2) Klasifikasi yang sesuai dan dipergunakan secara luas di Indonesia adalah
tipe hujan menurut Schmidt dan Ferguson, yaitu:
100%
x
100mm)
(
basah
bulan
rata
rata
Jumlah
60mm)
(
kering
bulan
rata
rata
Jumlah
Q
>
−
<
−
=
Perhitungan Q maka setiap tipe iklim mempunyai sifat hujan yang dapat
dilihat pada Tabel 5, berikut:
Tabel 5. Tipe Hujan Menurut Schmidt dan Ferguson
Tipe Iklim Nilai Q Keadaan Iklim
A 0 – 0,413 Tanpa musim kering hutan hujan tropika yang selalu hijau
B 0,413 – 0,333 Tanpa musim kering hutan hujan tropika yang selalu hijau
C 0,333 – 0,600 Musim kering nyata, merupakan peralihan hutan hujan tropika ke hutan musim.
D 0,600 – 1,000 Musim kering agak keras. Merupakan hutan musim yang pohon-pohonnya menggugurkan daun.
23
Lanjutan Tabel 5
Tipe Iklim Nilai Q Keadaan Iklim
G 3,000 – 7,000 Daerah kering. Padang pasir H 7,000 Daerah kering. Padang pasir
1) Tanah. Kesuburan dari tanah sangat penting untuk diperhatikan karena
setiap jenis tanaman membutuhkan kesuburan yang berbeda-beda untuk
dapat mencapai hasil yang maksimal. Pohon menurut habitat tertentu
untuk tumbuh dengan baik, misalnya Tectona grandis baik tumbuhnya di
tanah-tanah kapur yang bersifat alkalis (jenis tanah grumusol) dengan
bonita yang cukup tinggi dan baik untuk tanaman ini. Pinus merkusii d