• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas pengelolaan terumbu karang di dua daerah perlindungan laut Kecamatan Lahewa Nias Provinsi Sumatera Utara:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas pengelolaan terumbu karang di dua daerah perlindungan laut Kecamatan Lahewa Nias Provinsi Sumatera Utara:"

Copied!
250
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

DI DUA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT

KECAMATAN LAHEWA KABUPATEN NIAS

PROVINSI SUMATERA UTARA

TEMA’ARO HULU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Pengelolaan Terumbu Karang di Dua Daerah Perlindungan Laut Kecamatan Lahewa Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2009

(3)

TEMA’ARO HULU. Effectiveness of Coral Reef Management in Two Marine Protected Areas, Lahewa Sub District, Nias Regency, North Sumatera Province. Under direction of LUKY ADRIANTO and AGUSTINUS SAMOSIR.

Research about Effectiveness of Coral Reef Management in Two Marine Protected Areas, Lahewa Sub District, Nias Regency, North Sumatera Province has done in the middle of 2009. Purpose of this research are 1) To see effectiveness of Marine Protected Area management Lahewa Sub District is based on biophysical and social economic parameters, 2) To see factor which influences success/failure of two Marine Protected Areas management in Lahewa Sub District. In this research, be observed some biophysical and social economic indicator that related to coral reef management. For biophysical observation be carried out survey which is based on six line transect, each have length 70 m. For survey of social economic of community be used questionnaire with stratified sampling method and 35 sample total which represent organizer, fisherman, and non-fisherman. To see effectiveness of management in two Marine Protected Area be carried out combination analysis with Amoeba technic, where as to reduct factors which influence management of Marine Protected Area be used prime component analysis. Be based on result of Amoeba technic analysis of Marine Protected Area management Mo’awo Village more effective than Marine Protected Area in Pasar Lahewa Village. Analysis result shows that coral reef condition in Marine Protected Area Mo’awo Village and Pasar Lahewa Village have been rising from 2006 to 2009 with rising percentage of life coral cover each 4.07% and 5.53%, both of them included medium category. In Mo’awo Village, a number of coral fish species rise from 28 to 35 species, while a number of megabenthos species rise from 4 to 10 species. In Pasar Lahewa Village, most found coral genus are Non-Acropora. Existence of coral fish is found rise from 35 to 41 species, megabenthos is found rise from 4 to 9 species. Some factor which are regarded influence effectiveness of coral reef management in two Marine Protected Area are a) education, b) income, c) perception.

(4)

TEMA’ARO HULU. Efektivitas Pengelolaan Terumbu Karang di Dua Daerah Perlindungan Laut Kecamatan Lahewa Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan AGUSTINUS SAMOSIR.

Penelitian tentang Efektivitas Pengelolaan Terumbu Karang di Dua Daerah Perlindungan Laut Kecamatan Lahewa Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara

dilaksanakan pada pertengahan tahun 2009. Tujuan penelitian ini adalah 1) Melihat efektivitas pengelolaan daerah perlindungan laut Kecamatan Lahewa

berdasarkan parameter biofisik dan sosial ekonomi masyarakat, 2) Melihat faktor yang mempengaruhi keberhasilan/kegagalan pengelolaan kedua daerah perlindungan laut Kecamatan Lahewa.

Pada penelitian ini diamati beberapa indikator biofisik dan sosial ekonomi yang berhubungan dengan pengelolaan terumbu karang. Untuk pengamatan biofisik dilakukan survey berdasarkan 6 transek garis, masing-masing dengan panjang 70 m. Untuk survey sosial ekonomi masyarakat digunakan kuisioner dengan metode pengambilan contoh berlapis dan total contoh 70 orang yang mewakili pengelola, nelayan, dan bukan nelayan. Untuk mengetahui efektivitas pengelolaan di dua daerah perlindungan laut dilakukan analisis gabungan dengan teknik Amoeba, sedangkan untuk mereduksi faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan daerah perlindungan laut digunakan Analisis Komponen Utama.

Berdasarkan hasil analisis teknik Amoeba pengelolaan daerah perlindungan laut Desa Mo’awo lebih efektif dibandingkan dengan daerah perlindungan laut Kelurahan Pasar Lahewa. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi tutupan karang hidup di daerah perlindungan laut Desa Mo’awo dan Kelurahan Pasar meningkat dari tahun 2006 hingga 2009. Tutupan karang hidup di daerah perlindungan laut Desa Mo’awo tahun 2006 sebesar 32.80% meningkat menjadi 37.50% pada tahun 2009 atau peningkatan tutupan karang hidup dari tahun 2006 sampai tahun 2009 sebesar 4.07%. Tutupan karang hidup di daerah perlindungan laut Kelurahan Pasar Lahewa tahun 2006 sebesar 39.31% meningkat pada tahun 2009 sebesar 44.84% atau peningkatan tutupan karang hidup dari tahun 2006 sampai tahun 2009 sebesar 5.53%, keduanya termasuk kategori sedang. Pada Desa Mo’awo jumlah jenis ikan karang meningkat dari 28 menjadi 35 spesies, indeks struktur keseragaman jenis ikan karang pada tahun 2006 sebesar 55% (0.508) meningkat pada tahun 2009 menjadi 77% (0.770). Jumlah jenis megabentos meningkat dari 4 menjadi 10 spesies, indeks struktur keseragaman jenis biota megabentos tahun 2006 sebesar 52% (0.522) meningkat pada tahun 2009 menjadi 64% (0.640). Tingkat pendapatan masyarakat pada tahun 2006 rata-rata sebesar Rp. 400.000/bulan (30.7%), meningkat tahun 2009 sebesar Rp. 1.352.000/bulan (58.7%). Jadi peningkatan pendapatan masyarakat dari tahun 2006 sampai tahun 2009 sebesar Rp. 952.000 (28%).

(5)

menjadi 87.4% (0.874). Tingkat pendapatan rata-rata masyarakat pada tahun 2006 sekitar Rp. 500.000/bulan (33.3%) mengalami peningkatan pada tahun 2009 menjadi Rp. 1.461.428/bulan (48.7%). Jadi peningkatan pendapatan masyarakat dari tahun 2006 sampai tahun 2009 sebesar Rp. 961.428 (15.4%).

Dari hasil pengukuran indikator di dua daerah perlindungan laut di atas, perubahan yang terjadi pada setiap indikator dalam pengelolaan daerah perlindungan laut Kelurahan Pasar Lahewa lebih rendah jika dibandingkan perubahan indikator pada pengelolaan daerah perlindungan laut Desa Mo’awo. Perubahan yang terjadi pada indikator daerah perlindungan laut Desa Mo’awo jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perubahan pada indikator pengelolaan daerah perlindungan laut Kelurahan Pasar Lahewa. Salah satu indikator sosial ekonomi masyarakat di Kelurahan Pasar Lahewa yaitu persepsi masyarakat mengalami penurunan pada tahun 2009. Sedangkan hasil pengukuran delapan indikator dalam pengelolaan daerah perlindungan laut Desa Mo’awo mengalami perubahan pada tahun 2009 dibandingkan dengan kondisi tahun 2006.

Hasil pengukuran kualitas perairan di daerah perlindungan laut menunjukkan kondisi perairan masih normal dan sangat sesuai untuk pertumbuhan terumbu karang dan untuk biota lainnya yang berasosiasi didalamnya. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi efektifitas pengelolaan terumbu karang di daerah perlindungan laut adalah a) pendidikan, b) pendapatan, dan c) persepsi.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

DI DUA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT

KECAMATAN LAHEWA KABUPATEN NIAS

PROVINSI SUMATERA UTARA

TEMA’ARO HULU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Efektivitas Pengelolaan Terumbu Karang di Dua Daerah Perlindungan Laut Kecamatan Lahewa Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara

Nama : Tema’aro Hulu NRP : C252070224

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ir. Agustinus Samosir, M.Phil K e t u a Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS

(10)

Penulis dilahirkan di Ombolata pada tanggal 23 Pebruari 1973 dari ayah F. Hulu (Alm.) dan ibu Samida Zalukhu. Penulis merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara.

Tahun 1992 penulis lulus dari STM Pembda Nias dan pada tahun yang sama diterima di Institut Teknologi Medan (ITM). Penulis memilih jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri.

(11)

DAFTAR ISI

2.1.1 Pengelolaan Berbasis Ekosistem ....……… 7

2.1.2 Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat …..……. 9

2.1.3 Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Ko-Manajemen ..….. 12

2.1.4 Efektivitas Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang ………. 14

2.1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pengelolaan… 16 2.2 Terumbu Karang ………….…..……… 18

2.2.1 Pembentukan Terumbu Karang ..……… 18

2.2.2 Tipologi Ekosistem Terumbu Karang ....……… 19

2.2.3 Parameter Lingkungan Utama yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekosistem Terumbu Karang ………. 19

2.3 Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang …..………….……… 21

2.3.1 Fungsi dan Manfaat Ekologi Terumbu Karang ... 22

2.3.2 Fungsi dan Manfaat Ekonomi Terumbu Karang ... 23

2.4 Karakteristik Masyarakat Pesisir ………..…………. 24

3 METODOLOGI PENELITIAN …...……….……… 26

3.5.1 Metode Pengambilan Contoh Biofisik ……… 29

3.5.2 Metode Pengambilan Contoh Sosial Ekonomi ……… 34

3.6 Analisis Data ..……..………. 37

3.6.1 Analisis Persentase Tutupan Karang .……….. 37

3.6.2 Analisis Struktur Komunitas Karang ...………. 37

3.6.3 Analisis Kelimpahan Ikan Karang ..……… 39

(12)

3.6.6 Analisis Hubungan antara Karakteristik Masyarakat ……….. 42

3.6.7 Analisis Gabungan Efektivitas Pengelolaan ... 43

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN …….………. 46

4.1 Kondisi Umum Kecamatan Lahewa ……..……… 46

4.1.1 Letak Geografis dan Wilayah Administrasi ……… 46

4.1.2 Topografi ....……… 46

4.2 Kondisi Biofisik ……….…..……….. 47

4.2.1 Kondisi Terumbu Karang ..……….. 47

4.2.2 Kualitas Perairan .……… 48

4.3 Karakteristik Sosial dan Ekonomi Masyarakat ……….. 48

4.3.1 Kependudukan ....……… 48

4.3.2 Perekonomian ….………. 49

4.4 Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut ... 52

4.4.1 Kelembagaan Pengelola Daerah Perlindungan Laut ... 54

4.4.2 Visi dan Misi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut ... 57

4.4.3 Strategi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut ... 57

4.4.4 Monitoring/Pemantauan dan Evaluasi ... 58

4.4.5 Larangan dan Sanksi terhadap Pelanggaran ... 59

5 HASIL PENELITIAN ... 60

5.1 Kondisi Terumbu Karang di Dua Daerah Perlindungan Laut Kecamatan Lahewa ………..………. 60

5.1.1 Kondisi TutupanKarang Hidup………….……….………..… 60

5.1.2 Komunitas Ikan Karang …….………. 65

5.1.9 Analisis Efektivitas Pengelolaan Terumbu Karang di Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Mo’awo ……… 78

5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pengelolaan di Daerah Perlindungan Laut ………. 83

6 PEMBAHASAN ... 88

6.1 Efektivitas Pengelolaan Terumbu Karang di Daerah Perlindungan Laut Kelurahahan Pasar Lahewa …….………. 88

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis dan sumber data primer ……… 28

2 Jenis dan sumber data sekunder ..………. 29

3 Parameter kualitas perairan ….……….. 31

4 Daftar penggolongan komponen dasar komunitas karang berdasarkan

bentuk pertumbuhan (lifeform) karang dan kodenya …..….………. 32 5 Jumlah responden …………...……….. 35

6 Matriks analisis karakteristik masyarakat ……….……… 43

7 Penduduk berdasarkan jenis kelamin dan usia di Kelurahan Pasar

Lahewa dan Desa Mo’awo ... 49

8 Komposisi penduduk menurut pendidikan di Kelurahan Pasar Lahewa

dan Desa Mo’awo ... 49 9 Komposisi mata pencaharian penduduk Kelurahan Pasar Lahewa dan

Desa Mo’awo………. 50

10 Klasifikasi perahu nelayan Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Mo’awo berdasarkan penggunaan mesin ………. 50

11 Komposisi alat penangkapan yang digunakan nelayan ..……….. 51

12 Batasan pengelolaan zona inti Daerah Perlindungan Laut Kelurahan

Pasar Lahewa dan Desa Mo’awo ... 52

13 Persentase rata-rata tutupan karang hidup dan biota lainnya di Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Mo’awo (2009) dengan kondisi tutupan karang hidup di perairan Kelurahan Pasar

Lahewa dan Desa Mo’awo (2006) ……… 65

14 Hasil sensus kelompok ikan karang menurut family, spesies dan jumlah individu di Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa dan

Desa Mo’awo (2009) dengan data penelitian tahun (2006) ..……… 75

15 Hasil pengamatan komunitas megabentos di Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Mo’awo (2009) dengan hasil

penelitian tahun (2006) ………. 69

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan kerangka pemikiran penelitian ..……… 6

2 Ko-Manajemen sumberdaya akuatik (Adrianto, 2007) ...….………. 13 3 Peta lokasi Penelitian ..……….. 27

4 Peta pengambilan contoh komponen biofisik Daerah Perlindungan

Laut Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Mo’awo ... 30

5 Peta pengambilan contoh komponen sosial ekonomi masyarakat

Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Mo’awo ... 36

6 Pengukuran indikator efektifitas pengelolaan (diadopsi dari

Glaser, 2001; diacu dalam Adrianto, 2007) …..………. 44

7 Hasil pengukuran indikator dengan Teknik Amoeba (diadopsi dari

Glaser, 2001; diacu dalam Adrianto, 2007) ..………..….…………. 45

8 Struktur organisasi pengelola Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa dan Daerah Perlindungan Laut Desa Mo’awo di

Kecamatan Lahewa ... 54

9 Penutupan karang hidup dan biota lainnya (life form) di Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa dan Daerah Perlindungan

Laut Desa Mo’awo ... 64

10 Kelimpahan ikan karang di Daerah Perlindungan Laut Kelurahan

Pasar Lahewa dan Desa Mo’awo ... 68

11 Kelimpahan biota megabentos di Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Mo’awo ... 72

12 Tingkat partisipasi responden terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang di Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa dan

Desa Mo’awo ... 74

13 Tingkat persepsi responden terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang di Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa dan

Desa Mo’awo ... 75

14 Tingkat pendapatan responden ... 77

15 Pengukuran indikator biofisik dan sosial ekonomi masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang di Daerah Perlindungan Laut Kelurahan

Pasar Lahewa... 79

16 Pengukuran indikator biofisik dan sosial ekonomi masyarakat dalam

pengelolaan terumbu karang di Daerah Perlindungan Laut Desa Mo’awo 79

(15)

19 Korelasi antar variabel dan sumbu utama (F1 dan F2) karakteristik

masyarakat di Desa Mo’awo ... 86

20 Sebaran individu pada sumbu faktorial utama (F1 dan F2) Desa

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Rekapitulasi benthiclife form seluruh stasiun penelitian ..……… 110

2 Benthic life form setiap stasiun Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa ……… 111

3 Benthic life form setiap stasiun Daerah Perlindungan Laut Desa Mo’awo 114 4 Struktur komunitas karang hidup (benthic life form hard corals) Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa ……… 117

5 Struktur komunitas karang hidup (benthic life form hard corals) Daerah Perlindungan Laut Desa Mo’awo ………...….. 120

6 Stuktur komunitas ikan karang Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa ………..……….. 123

7 Stuktur komunitas ikan karang Daerah Perlindungan Laut Desa Mo’awo 126 8 Struktur komunitas megabentos Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar Lahewa ………..……... 129

9 Struktur komunitas megabentos Daerah Perlindungan Laut Desa Mo’awo ………....……...………. 130

10 Data responden Kelurahan Pasar Lahewa……….. 131

11 Data responden Desa Mo’awo ..……… 132

(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,

memiliki sumberdaya alam yang sangat potensial. Salah satunya adalah

sumberdaya terumbu karang yang tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian Coremap-LIPI (1998); luas terumbu karang

Indonesia adalah 42.000 km2 atau 16.50% dari luasan terumbu karang dunia. Dengan estimasi tersebut, Indonesia menduduki peringkat terluas ke-2 di dunia

setelah Australia yang mempunyai luasan terumbu karang sebesar 48.000 km2. Apabila dilihat dari sisi keanekaragaman hayati, terumbu karang Indonesia

merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 genera dan 450 spesies

(Veron, 1995). Namun keberadaan terumbu karang dari tahun ke tahun

mengalami kemunduran, yaitu terjadi kerusakan yang mengkhawatirkan, sehingga

menimbulkan penyusutan dalam jumlah nominal (kuantitas) dan kualitas.

Menurut hasil penelitian P2O-LIPI (2006) menunjukkan bahwa 39.50% terumbu

karang di Indonesia dalam keadaan rusak, 33.50% dalam keadaan sedang, 21.70%

dalam keadaan baik, dan hanya 3.50% keadaan sangat baik.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang antara

lain : (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, jalan, dan hiasan, (2)

penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan bahan

peledak, racun/sianida, dan alat tangkap ikan tertentu, (3) pencemaran perairan

oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, (4) pengendapan dan

peningkatan kekeruhan perairan akibat erosi tanah di darat, (5) eksploitasi

berlebihan sumber daya perikanan, (6) pembuangan jangkar kapal pada areal

terumbu karang, (7) over populasi bintang laut berduri, bulu babi pemakan karang;

(8) gempa bumi, tsunami, dan naiknya suhu perairan (Coremap-LIPI, 2004).

Untuk menyelamatkan ekosistem terumbu karang dari kerusakan perlu

dilakukan perlindungan, antara lain dengan menjadikan sebagian kawasan

(18)

didalamnya. Kawasan ini dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan

pemanfaatan, kecuali kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam).

Menurut Wiryawan dan Dermawan (2006) yang mengacu pada pengamatan

para ahli, menunjukkan bahwa pengelolaan terumbu karang melalui DPL akan

memberikan manfaat kepada perikanan yang ada di sekitar kawasan sekitar

3-5 tahun, sedang DPL akan menunjukkan perubahan kepadatan ikan dan terumbu

karang hidup setelah setahun DPL ditetapkan. Kajian lain menyatakan bahwa

satu kilometer persegi DPL dapat menghasilkan 20-30 ton ikan per tahun

(Tulungen et al., 2002).

Dengan demikian DPL diyakini sebagai salah satu upaya efektif dalam

mengurangi kerusakan ekosistem pesisir, yaitu dengan melindungi habitat penting

di wilayah pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang. Selain itu DPL juga

penting bagi masyarakat setempat sebagai salah satu cara memelihara produksi

perikanan terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang, memperoleh

pendapatan tambahan melalui kegiatan penyelaman wisata bahari, dan

pemberdayaan pada masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya

mereka.

Salah satu program perlindungan ekosistem terumbu karang yang ada di

Kecamatan Lahewa yaitu program Coremap-II. Program ini telah dimulai sejak

tahun 2004. Tujuan dari program ini adalah melakukan perlindungan terhadap

sumberdaya ekosistem terumbu karang beserta biota yang ada didalamnya dan

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Upaya perlindungan

sumberdaya laut ini dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di dua DPL di

Kecamatan Lahewa. Pengelolaan ekosistem terumbu karang di dua DPL ini telah

dimulai sejak awal tahun 2007 yang lalu.

Namun efektivitas pengelolaan terumbu karang di dua DPL Kecamatan

Lahewa menjadi permasalahan dan masih menjadi pertanyaan, seperti apakah

(19)

apakah telah dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable).

Untuk mengetahui sejaumana keberhasilan program pengelolaan ekosistem

terumbu karang di dua DPL di Kecamatan Lahewa, perlu dilakukan penelitian.

1.2 Perumusan Masalah

Kerusakan ekosistem terumbu karang umumnya disebabkan oleh aktivitas

manusia, walaupun tak bisa dipungkiri alam juga memiliki peran yang cukup

besar dalam hal ini. Kerusakan tersebut akan menyebabkan berkurangnya atau

bahkan menghilangnya fungsi dan manfaat terumbu karang bagi masyarakat dan

lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan kondisi terumbu karang yang rusak

maka diperlukan upaya pengelolaan melalui daerah perlindungan laut.

Keberhasilan upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang yang

berkelanjutan ditentukan oleh banyak faktor dimana partisipasi dan peran aktif

masyarakat setempat menjadi salah satu faktor utamanya. Pengelolan yang

melibatkan masyarakat diharapkan akan lebih efektif karena masyarakat lokal

dapat diberdayakan dan merasa terlibat, sehingga pada saatnya nanti akan tumbuh

rasa tanggung jawab untuk mengelola lingkungan mereka sendiri.

Program daerah perlindungan laut merupakan salah satu upaya

pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sekaligus melindungi ekosistem

terumbu karang beserta keanekaragaman biota yang terkandung didalamnya.

Berdasarkan uraian di atas maka untuk melihat efektivitas pengelolaan

terumbu karang di dua daerah perlindungan laut Kecamatan Lahewa dapat

didekati melalui pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut :

1. Sejauhmana efektivitas pengelolaan terumbu karang di dua DPL Kecamatan

Lahewa dalam mengakomodasi kepentingan lokal.

2. Faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan/kegagalan pengelolaan kedua

(20)

Tujuan dilakukan penelitian tentang efektivitas pengelolaan terumbu karang

di dua DPL Kecamatan Lahewa adalah :

1. Melihat efektivitas pengelolaan DPL Kecamatan Lahewa berdasarkan

parameter biofisik dan sosial ekonomi masyarakat.

2. Melihat faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pengelolaan

kedua DPL Kecamatan Lahewa.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dasar bagi

upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang di dua DPL Kecamatan Lahewa dan

bagi pemerintah agar dapat terwujud pengelolaan ekosistem terumbu karang

secara terpadu dan berkelanjutan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Ekosistem terumbu karang sebagai sumber mata pencaharian bagi

masyarakat sekitar merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap tekanan

baik secara fisik maupun biologis. Akan tetapi kemiskinan dan ketiadaan mata

pencaharian alternatif membuat masyarakat mengeksploitasi ekosistem tersebut

tanpa memikirkan kelestariannya lagi. Akibatnya, degradasi ekosistem terumbu

karang tidak bisa dihindarkan lagi. Maryunani (1999) mengemukakan empat hal

pokok yang merupakan akar permasalahan kerusakan terumbu karang, yaitu: (1)

kemiskinan penduduk lokal dan ketiadaan mata pencaharian alternatif, (2)

ketidaktahuan penduduk lokal, (3) lemahnya penegakan hukum (law enforcement), dan (4) desakan pihak luar (Maryunani, 1999).

Kelestarian terumbu karang sepenuhnya ditentukan oleh kepedulian

masyarakat setempat untuk mengelolanya dengan tetap menjamin

bekerlanjutannya. Oleh kesadaran dan partisipasi aktif dalam setiap program

pengelolaan yang seimbang antara pemanfaatan dan perlindungan menjadi sangat

penting.

Kecamatan Lahewa memiliki sumberdaya pesisir dan lautan salah satunya

(21)

perlindungan untuk menyelamatkan dari kerusakan terutama kerusakan yang

diakibatkan oleh manusia. Salah satu cara untuk menyelamatkan sumberdaya

terumbu karang ini dengan membentuk DPL di dua Kecamatan Lahewa. Tujuan

dari pembentukan DPL ini untuk membatasi pemanfaatan berlebihan dan

mengurangi pemanfaatan sumberdaya yang bersifat merusak agar sumberdaya ini

dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Melalui Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang

(Coremap-II) telah menjadikan sebagian kawasan ekosistem terumbu karang di Kecamatan

Lahewa sebagai daerah perlindungan atau di tingkat desa dikenal dengan nama

Daerah Perlindungan Laut. DPL dibentuk pada awal tahun 2007 dengan dukungan

dari masyarakat yang tinggal di sekitar DPL, dukungan masyarakat tersebut dalam

bentuk partisipasi mereka untuk terlibat dalam pengelolaan DPL.

Hampir tiga tahun pengelolaan terumbu karang di dua DPL Kecamatan

Lahewa telah berjalan, perubahan yang terjadi masih belum diketahui, apakah

pengelolaan kedua DPL dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik

atau sebaliknya terjadi penurunan kondisi ekologi dan menurunnya tingkat sosial

ekonomi masyarakat sekitar.

Untuk mengetahui perubahan dalam pengelolaan terumbu karang di dua

DPL Kecamatan Lahewa, dilakukan penelitian terhadap dua indikator. Indikator

tersebut adalah (1) indikator biofisik dan indikator sosial ekonomi masyarakat.

Hasil dari penelitian kedua indikator tersebut dilakukan analisis dengan

menggunakan analisis komponen utama dan analisis efektivitas pengelolaan.

Analisis komponen utama bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi pengelolaan terumbu karang di kedua DPL Kecamatan Lahewa,

sedangkan analisis efektivitas pengelolaan bertujuan untuk mengetahui

perubahan, keberhasilan atau kegagalan pengelolaan terumbu karang di dua DPL

Kecamatan Lahewa. Dari hasil kedua analisis di atas menghasilkan beberapa

revisi atau saran yang diperlukan agar pengelolaan terumbu karang di dua DPL

Kecamatan Lahewa sesuai dengan tujuan pembentukan DPL itu sendiri, sehingga

(22)

pemikiran penelitian efektivitas pengelolaan terumbu karang di dua DPL

Kecamatan Lahewa digambarkan seperti Gambar 1 di bawah ini:

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran KAWASAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DI KECAMATAN LAHEWA

INDIKATOR SOSIAL DAN EKONOMI

MASYARAKAT

Um

p

an Ba

li

k

INDIKATOR BIOFISIK

PENETAPAN

DAERAH PERLINDUNGAN LAUT KECAMATAN LAHEWA

IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT

ANALISIS KOMPONEN PENGELOLAAN

ANALISIS EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

REVISI PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

(23)

2.1 Pengelolaan Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir

yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya

seperti hutan mangrove, dan padang lamun. Oleh karena itu, pengelolaan terumbu

karang harus memperhatikan dan menggunakan pendekatan menyeluruh dan

terpadu. Berikut ini beberapa model pengelolaan terumbu karang di Indonesia

(DKP RI, 2004).

2.1.1 Pengelolaan Berbasis Ekosistem

Pengelolaan berbasis ekosistem adalah salah satu konsep pengelolaan

modern sumber daya alam. Pengelolaan ekosistem mendefinisikan sebuah

paradigma bahwa biofisik dan sosial sebagai objek yang harus diperhatikan dari

keindahan, kesehatan, dan keberlanjutan ekosistem itu sendiri. Baik sosial dan

ekologi dalam dinamika yang fleksibel dan proses adaptif. Pengelolaan ekosistem

adalah kesadaran dalam pikiran kita dengan harapan untuk masa depan (Cornett,

1994).

Pengelolaan berbasis ekosistem di suatu kawasan, minimal ada dukungan

hukum dalam melindungi lingkungan, mempertahankan kesehatan ekosistem agar

keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya dapat dimanfaatkan secara

berkelanjutan dan tetap lestari. Pengelolaan sebagai sebuah konsep yang sering

diperdebatkan dan setidaknya ada tiga alasan penggunaan konsep pengelolaan

berbasis ekosistem : pertama, konsep ini telah banyak digunakan oleh politisi dan

pejabat. Setidaknya dapat menyimpulkan apakah pengelolaan ekosistem berhasil

atau tidak, kedua, mungkin saja menjadi konsep baru sangat berbeda dan lebih

tepat dalam pengelolaan ekosistem, dan ketiga, kebutuhan masyarakat pesisir

sangat dipengaruhi oleh keberadaan ekosistem yang ada di pesisir, maka konsep

yang diterapkan harus sesuai dengan kondisi setempat.

Masalah dalam pengelolaan ekosistem memiliki beberapa karakteristik

umum: (1) secara umum dan mendasar pada nilai-nilai prioritas yang

(24)

secara signifikan dalam kebijakan publik; (3) dengan biaya cukup besar dan resiko

tinggi mengakibatkan kerugian; (4) fakta-fakta teknis, ekologis dan sosiologis,

sangat pasti; (5) ekosistem dan masalah kebijakan yang besar dalam kerangka

keputusan kebijakan akan menimbulkan efek permasalahan.

Pengelolaan berbasis ekosistem yang luas, populer dan profesional sebagai

pilihan terkini dan cara pengelolaan sumber daya alam dan ekosistem. Dengan

semangat menganjurkan pengelolaan berbasis ekosistem sebagai salah satu

pendekatan untuk melindungi lingkungan, menjaga kesehatan ekosistem,

melestarikan keanekaragaman hayati yang berinteraksi di dalamnya, dan

pengelolaan yang berkelanjutan. Ada 7 (tujuh) prinsip-prinsip atau pilar yang

ditetapkan dalam pengelolaan berbasis ekosistem yaitu :

1) Nilai-nilai dan prioritas.

Pengelolaan ekosistem yang menggambarkan tahapan dalam melanjutkan

perubahan dari nilai-nilai sosial dan ekonomi, dan merupakan prioritas utama

dari pilar ini (Lackey, 1994; Stanley, 1995).

2) Daerah perbatasan.

Pengelolaan berbasis ekosistem, kawasan dan batas-batas harus jelas dan

ditetapkan secara resmi.

3) Kesehatan Ekosistem.

Pengelolaan ekosistem harus memelihara ekosistem dalam kondisi yang sesuai

untuk mencapai tujuan dan manfaat sosial yang ditetapkan oleh masyarakat,

bukan ilmuwan (Rapport, 1989; Costanza et al., 1992; Norton, 1992; Grumbine, 1994).

4) Stabilitas Ekosistem.

Pengelolaan ekosistem dapat mengambil keuntungan dari kemampuan

ekosistem untuk menanggapi berbagai tekanan alam dan tekanan manusia,

dengan batas-batas kemampuan untuk menampung semua tekanan di kawasan

ekosistem tersebut (Kaurfman, 1993).

(25)

tekanan pada keanekaragaman hayati (Goodman, 1975;Shrader-Frechette and

McCoy, 1993).

6) Kesinambungan.

Istilah kesinambungan, jika digunakan di dalam pengelolaan ekosistem, harus

jelas defenisinya, waktu, kerangka pengelolaan, manfaat biaya, dan prioritas

(Norton, 1991; Goodland et al., 1993). 7) Informasi Ilmiah.

Informasi ilmiah penting untuk pengelolaan ekosistem agar lebih efektif,

namun salah satu unsur dalam proses pengambilan keputusan adalah penentuan

pilihan antara masyarakat umum atau pihak swasta (Ludwig et al., 1993).

2.1.2 Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat

Pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat adalah suatu

proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat

untuk mengelola sumberdaya terumbu karang-nya sendiri dengan terlebih dahulu

mendefenisikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya. Pengelolaan ini

menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka

dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh

pada kesejahteraan hidup mereka (Nikijuluw, 2002).

Dalam masyarakat terjadi interaksi antara individu dan interaksi ini

mengakibatkan terjadinya kompetisi. Saling berkompetisi dalam memanfaatkan

sumberdaya terumbu karang akan mengakibatkan terjadinya kegagalan

pengelolaan terumbu karang yang ditunjukkan dengan rusaknya sumberdaya dan

kemiskinan. Namun demikian, saling kompetisi antara individu dapat juga

dipandang sebagai potensi yang dapat dikembangkan untuk merumuskan suatu

pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang efektif.

Keinginan masyarakat yang saling berkompetisi merupakan sifat alamiah.

Namun sifat ini merupakan alasan perlunya dikembangkan mekanisme

(26)

menentukan cara-cara pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang ditujukan

untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan sendiri. Memberikan tanggung jawab

kepada masyarakat dalam mengelola sumberdaya terumbu karang adalah upaya

mendekatkan masyarakat dengan sumberdaya yang dimanfaatkan bagi

kelangsungan hidup mereka sendiri-sendiri.

Salah satu bentuk kepedulian masyarakat pesisir dalam melestarikan

ekosistem terumbu karang, dengan menjadikan sebagian kawasan ekosistem

terumbu sebagai kawasan konservasi dalam bentuk Daerah Perlindungan Laut.

Salah satu model pendekatan yang dilakukan dalam upaya pelestarian

ekosistem terumbu karang adalah melalui penetapan suatu kawasan perlindungan

alam dalam bentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah. Melalui otonomi Daerah

sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah

diberi kewenangan yang tidak lain adalah tanggung jawab yang lebih besar dalam

pengelolaan pesisir dan laut di wilayah kewenangannya. Pemerintah daerah

memiliki kewenangan dalam memilih dan menentukan cara yang lebih baik dalam

mengelola potensi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut sesuai dengan

kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat dan kapasitas yang dimilikinya.

Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) merupakan suatu

alternatif pengelolaan kawasan konservasi yang terdesentralisasi dalam usaha

mengatasi permasalahan degradasi lingkungan yang terjadi di daerah. Sementara

itu di wilayah desa dapat ditetapkan suatu Daerah Perlindungan Laut (DPL)

berdasarkan kesepakatan yang dihasilkan dari musyawarah desa. DPL (marine sanctuary) tidak jauh berbeda dengan “lubuk larangan” atau hutan desa maupun hutan adat.

Menurut Tulungen dkk. (2002) fungsi dari DPL adalah sebagai berikut: (1)

meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan di sekitar DPL; (2)

menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut seperti

(27)

(4) meningkatkan pendapatan/kesejahteraan masyarakat setempat.

Dasar penetapan DPL sebaiknya melalui suatu mekanisme musyawarah

desa yang kemudian dituangkan melalui suatu Peraturan Desa. Di dalam peraturan

mengenai DPL ini berisi tentang pengaturan, pembatasan dan larangan aktivitas

yang bersifat ekstraktif, sekaligus sanksi yang disepakati bagi pelanggar aturan

serta mekanisme pengawasan dan penetapan sanksi tersebut.

Penetapan lokasi dan ukuran ideal suatu DPL merupakan gabungan antara

prinsip-prinsip ekologis dan pertimbangan efektivitas pengelolaan di tingkat lokal.

Lokasi atau kawasan yang ditetapkan sebagai DPL ditentukan dan ditetapkan

sendiri oleh kesanggupan masyarakat desa itu sendiri dalam pengelolaannya.

Mengacu pada (Pedum Coremap-II, 2004), zona dalam DPL paling tidak

terdiri 3 (tiga) zona sebagai berikut:

1) Zona Inti

Zona Inti adalah suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan

dan aktivitas pengambilan sumberdaya alam laut lainnya sama sekali tidak

diperbolehkan. Begitu pula kegiatan yang merusak terumbu karang, seperti

pengambilan karang, pelepasan jangkar serta penggunaan galah untuk mendorong

perahu juga tidak diperbolehkan. Sedang kegiatan yang tidak ekstraktif, seperti

berenang, snorkling dan menyelam untuk tujuan rekreasi masih diperbolehkan. Namun demikian perlu kesepakatan dengan masyarakat kegiatan apa saja yang

boleh dilakukan di zona inti, sehingga fungsi zona tersebut dapat optimal.

Zona inti merupakan kawasan yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup

secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya. Kunci

utamanya adalah adanya suatu kawasan yang ditetapkan sebagai zona inti yaitu

zona larang ambil permanen. Hal ini berarti bahwa zona inti ini segala aktifitas

perikanan tidak diperbolehkan dan ditutup secara permanen dari kegiatan

perikanan atau usaha pengambilan sumberdaya lainnya (Tulungen dkk., 2002).

Zona inti penekanan pengelolaannya di konsentrasikan pada upaya

(28)

kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

2) Zona Penyangga

Zona penyangga berada di luar kawasan DPL yang berfungsi untuk

menyangga keberadaan jenis biota laut beserta ekosistem yang terdapat di

dalamnya terhadap adanya gangguan dari luar yang dapat membahayakan

keberadaan potensinya.

Selain fungsi pengamanan juga berfungsi sebagai kawasan pengembangan

budidaya maupun pelaksanaan pembangunan dalam bentuk pengembangan

pemanfaatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang berada di sekitarnya.

3) Zona Pemanfaatan Tradisional

Zona pemanfaatan tradisonal berada di luar zona penyangga yang

dialokasikan untuk pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional oleh

masyarakat setempat dalam upaya mendukung pembangunan sosial, ekonominya.

Di samping pemanfaatan secara tradisional zona ini dapat dimanfaatkan untuk

pengembangan dan pembangunan sarana prasarana rekreasi dan pariwisata secara

lestari.

2.1.3 Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Ko-Manajemen

Defenisi ko-manajemen adalah sebuah situasi di mana lebih dari satu pihak

(stakeholder) bernegosiasi, mendefinisikan dan menjamin pembagian peran dalam pengelolaan dan tanggung jawab di antara mereka terhadap sebuah area atau

sistem (Borrini-Feyabarend, et al, 2001; diacu dalam Adrianto, 2007). Ko-manajemen ini juga menyiratkan bahwa kerjasama antar Pemerintah dan

masyarakat merupakan inti ko-manajemen seperti terlihat pada Gambar 2 di

(29)

Gambar 2 Ko-Manajemen sumberdaya akuatik (Adrianto, 2007)

Menurut Adrianto (2007) karakteristik dari masing-masing tipe proses dalam ko-manajemen dideskripsikan secara singkat berikut ini :

Instruktif

Tipe ini terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara Pemerintah dan pelaku perikanan. Tipe ini berbeda dengan rejim sentralisasi dalam hal dimana terdapat mekanisme dialog antara Pemerintah dan pelaku perikanan namun tetap dalam konteks intruksi informasi dari apa yang telah diputuskan oleh Pemerintah.

Konsultatif

Terdapat mekanisme dialog antara Pemerintah dan pelaku perikanan tetapi pengambilan keputusan masih dilakukan oleh Pemerintah.

Kooperatif

Dalam level ini, Pemerintah dan pelaku perikanan bekerja sama dalam

mengambil keputusan sebagai partner yang memiliki posisi tawar yang sama

(equal partner). Pendampingan

Dalam kerangka ini, pelaku perikanan memberikan input bagi pengambilan

keputusan tentang perikanan kemudian Pemerintah menetapkan keputusan

tersebut.

(30)

perikanan untuk kemudian diinformasikan kembali kepada Pemerintah.

Pengelolaan sumberdaya ko-manajemen ini bekerja dengan cara mengubah

hubungan pelaku pembangunan perikanan, utamanya antara Pemerintah dan

masyarakat, tetapi juga antara nelayan dengan kelompoknya. Pada hakikatnya

dengan cara memperkenalkan dan melembagakan sistem pengambilan keputusan

secara bersama-sama antara pelaku pembangunan perikanan, pengelolaan

sumberdaya kelautan ko-manajemen menciptakan suatu aturan main atau

kebijakan dimana hasil dari suatu kerjasama lebih besar artinya dari kondisi

oposisi atau kompetisi.

Arena main ini adalah tempat para pelaku pembangunan perikanan dapat

belajar untuk mengoptimasi tujuan bersama. Arena permainan ini juga merupakan

wadah bagi para pelaku untuk secara bersama menentukan visi jangka panjang

pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan kelautan.

Melalui ko-manajemen, pemerintah memiliki kesempatan untuk

membuktikan bahwa keputusan yang diambilnya ternyata bisa secara efektif

dilaksanakan. Dengan cara ini maka harga diri dan kepercayaan rakyat terhadap

pemerintah menjadi bertambah. Demikian juga tantangan dari pihak oposisi dalam

konteks pembangunan sumberdaya terumbu karang dan lautan akan semakin

berkurang. Di mata masyarakat, ko-manajemen membawa manfaat kepada

nelayan melalui partisipasi atau keikutsertaan dalam proses pengambilan

keputusan. Tentu saja, prioritas tujuan Pemerintah bisa berbeda dengan tujuan

masyarakat.

2.1.4 Efektivitas Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang

Pengelolaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan, iteratif, adaptif dan

partisipatif yang terdiri dari sebuah set tugas yang saling terkait satu sama lain dan

harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Pomeroy and

Rivera-Guieb, 2006;dalam Adrianto, 2007). Dalam konteks ini, proses perencanaan harus

dimonitor agar sistem yang sudah direncanakan dapat berjalan sesuai dengan

rencana, dan harus dievaluasi dalam konteks bahwa perlu proses pembelajaran dari

(31)

Seperti yang dijelaskan oleh Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), rencana

monitoring dilakukan untuk menjamin bahwa program yang dijalankan sesuai dengan rencana. Ada dua alasan mengapa perlu rencana monitoring yaitu pertama,

untuk meyakinkan kepada stakeholders bahwa apa yang direncanakan memang diimplementasikan dan diukur secara sistematik. Kedua, untuk mempelajari apakah

aksi yang telah diambil sesuai dengan tujuan dilakukan oleh aksi tersebut. Dengan

demikian, tindakan korektif dapat diambil apabila aksi yang telah ditetapkan tidak

sesuai dengan rencana.

Prinsip-prinsip yang digunakan untuk pengembangan sistem pengelolaan

pada kawasan DPL harus melalui keterpaduan, partisipasi, multi stakeholders, dengan fokus pada pengelolaan sumberdaya laut secara berkelanjutan.

Adapun tujuan pengelolaan terumbu karang pada kawasan DPL meliputi :

1) Untuk melestarikan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, terutama biota

yang ada didalamnya. Ini merupakan aktifitas untuk menjamin ketersediaan

sumberdaya alam dan biota ekonomis untuk jangka panjang.

2) Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir pada khususnya,

melalui pengefektifan cara pengelolaan sumberdaya alam pada kawasan ini.

Ini erat kaitannya dengan usaha pelestarian sumberdaya alam di atas.

3) Peningkatan pendapatan daerah melalui pengembangan dan pengelolaan

pariwisata bahari didalam kawasan ini, pemanfataan keutuhan dan menjaga

kelestarian ekosistem terumbu karang serta biotanya. Usaha ini sangat

tergantung pada usaha pelestarian sumberdaya alam oleh masyarakat

setempat.

Pengelolaan yang efektif untuk kawasan DPL adalah salah satu kontribusi

untuk mencapai tujuan konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan

berkelanjutan sumber daya kelautan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat

pesisir. Untuk mencapai tujuan ini, tujuan spesifik harus terukur dan didefinisikan

dalam hal keluaran dan hasil apa yang sudah dicapai.

Berdasarkan kerangka efektivitas pengelolaan kawasan konservasi IUCN

(Hockings et al., 2004), evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi

(32)

pengelolaan kawasan melalui pembelajaran, adaptasi, dan diagnosis

masalah-masalah khusus yang mempengaruhi tujuan dan sasaran yang telah dicapai. Juga

salah satu cara untuk menunjukkan akuntabilitas bagi pengelolaan sebuah

kawasan konservasi laut.

Menurut Pameroy., et. al., (2000) untuk mengukur efektifitas pengelolaan pada kawasan konservasi laut dilakukan pengukuran terhadap beberapa indikator,

indikator dimaksud antara lain :

1) Indikator Biofisik terdiri dari : a) kelimpahan spesies, b) struktur populasi

spesies, c) distribusi kompleksitas habitat, d) komposisi dan struktur

komunitas, e) keberhasilan dalam pengelolaan komunitas, f) integritas

jaringan makanan, g) jenis usaha perikanan, h) kualitas air, i) daerah

menunjukkan tanda-tanda pemulihan, j) kawasan yang dampaknya berkurang

oleh kegiatan manusia.

2) Indikator sosial ekonomi masyarakat terdiri dari : a) pola penggunaan

sumberdaya laut, b) nilai-nilai masyarakat lokal dan keyakinan tentang sumber

daya laut, c) tingkat pemahaman dampak sumberdaya manusia, d) persepsi

terhadap ketersediaan makanan laut, e) persepsi hasil sumberdaya laut,

f) persepsi tentang pasar, g) sumber pendapatan rumah tangga, h) struktur

pekerjaan rumah tangga, i) prasarana dan usaha masyarakat, j) tingkat

pengetahuan formal masyarakat.

Indikator biofisik dan indikator sosial ekonomi diatas merupakan indikator

yang di ukur dengan tujuan untuk menilai secara keseluruhan capaian pengelolaan

DPL apakah program dapat memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan.

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pengelolaan

Namun demikian berbagai kebijakan, produk hukum, kelembagaan maupun

program-program yang ada ternyata tidak menunjukkan atau memberikan hasil

yang signifikan berupa terlindunginya berbagai kawasan konservasi beserta

berbagai keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Dengan harapan agar

(33)

eksploitasi di kawasan-kawasan konservasi tampaknya belum optimal dan tidak

mampu mencegah laju perusakan ataupun upaya eksploitasi berbagai

keanekaragaman hayati. Pemerintah tampaknya menghadapi kesulitan untuk

melaksanakan upaya-upaya konservasi, yang disebabkan oleh :

1) Luasnya cakupan kawasan konservasi

2) Minimnya dana konservasi

3) Terbatasnya sumber daya manusia yang tersedia, baik dari sudut kuantitas

maupun kualitas.

4) Kuatnya ego dinas sektoral (seperti Dinas Pertambangan atau Dinas Pertanian) untuk melakukan eksploitasi di kawasan konservasi, yang memunculkan

konflik inter dinas, disamping intra dinas kehutanan sendiri. 5) Lemahnya penegakan hukum

Penyebab lainnya, yang justru memperparah keberadaan berbagai kawasan

konservasi maupun sumber daya alam yang ada adalah pola pengelolaan

sumber daya alam yang sentralistik atau terpusat dan tidak dikembangkannya

peran serta masyarakat.

Beberapa penilaian terhadap keberhasilan kawasan perlindungan laut

apabila pengelolaannya secara bersama-sama dengan keterlibatan masyarakat

setempat (Brechin 1991; Borrini-Feyerabend 1993; White et al. 1994; Pollnac et

al. 2001), di mana keberhasilan yang lebih baik jika masyarakat memiliki

partisipasi yang tinggi dalam pengelolaan suatu kawasan (Newmark et al. 1992;

Picard 2003) dan hasil dari pengelolaan itu, masyarakat merasakan manfaatnya

(Mehta & Heinen 2001; Bauer 2003). Dengan ikut berpartisipasi dalam

pengelolaan kawasan konservasi, dirasakan manfaatnya terutama bagi pengguna

atau pemanfaat dari sumberdaya tersebut (Jacobson & Marynowski 1997).

Pengelolaan harus di fasilitasi oleh pemerintah jika dirasakan bermanfaat

dan persepsi para pemangku kepentingan terkait harus lebih baik, terutama

pengguna sumberdaya itu sediri, dan secara berkala faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi ini harus dievaluasi. Survei sosial-ekonomi menekankan

bahwa para pemangku kepentingan utama yang tinggal berdekatan dengan

(34)

Naughton-Treves 2001).

2.2 Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas yang terdapat di wilayah

pesisir daerah tropis. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan

masif dari kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang

pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria. Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Bengen,

2000 a).

2.2.1 Pembentukan Terumbu Karang

Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks.

Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang terbagi atas dua kelompok yaitu

karang yang membentuk terumbu (hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (ahermatipik). Kelompok pertama dalam prosesnya bersimbiosis dengan zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari untuk

membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal dengan reef building corals, sedangkan kelompok kedua tidak dapat membentuk bangunan kapur sehingga dikenal dengan non–reef building corals yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron, 1986).

Pembentukan terumbu karang hermatipik dimulai adanya individu karang (polip) yang dapat hidup berkelompok (koloni) ataupun menyendiri (soliter). Karang yang hidup berkoloni membangun rangka kapur dengan berbagai bentuk,

sedangkan karang yang hidup sendiri hanya membangun satu bentuk rangka

kapur, gabungan beberapa bentuk rangka kapur tersebut disebut terumbu.

2.2.2 Tipologi Ekosistem Terumbu Karang

Nybakken (1988) mengelompokkan terumbu karang menjadi empat tipe, yaitu:

(35)

karang yang ada di Pulau Nias, Mentawai, Lombok.

2) Terumbu karang penghalang (barrier reef) adalah serupa dengan karang tepi, dengan kekecualian jarak antara terumbu karang dengan garis pantai atau daratan cukup jauh, dan umumnya dipisahkan perairan yang dalam, pada

umumnya terumbu karang ini hidup sampai kedalaman 40-70 m dari atas permukaan laut. Contoh terumbu karang penghalang ditemukan di Kep. Togean, Sulawesi Tengah, dan di Kalimantan Timur.

3) Terumbu karang cincin (atoll) adalah terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan ditengahnya terdapat goba (danau) dengan kedalaman mencapai 45 meter. Contoh terumbu karang cincin ditemukan di Takabonerate di Sulawesi Selatan.

4) Terumbu karang datar/takat terumbu (patch reef).

Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau datar (flat island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Contoh:

Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh).

2.2.3 Parameter Lingkungan Utama yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap

gangguan akibat kegiatan manusia, dan pemulihannya memerlukan waktu yang

lama. Berbagai pendapat menyatakan hal yang sebaliknya, bahwa ekosistem

terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang dinamis, tidak mapan dan

mampu memperbaiki dirinya sendiri dari gangguan alami. Menurut

Nybakken (1988) distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang

tergantung beberapa faktor, yaitu 1) kecerahan, 2) temperatur, 3) salinitas, 4)

sirkulasi arus dan sedimentasi dan 5) substrat.

1) Kecerahan

Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh

dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang

terjadinya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan

(36)

(CaCO3) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang

dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang

sangat berkurang saat tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya

(zona kompensasi) yaitu kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya

berkurang sekitar 15-20 persen dari intensitas cahaya lapisan permukaan air.

2) Temperatur

Pada umumnya, terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu

perairan laut rata-rata tahunan antara 25oC - 29oC, namun suhu di luar kisaran tersebut masih bisa di tolerir oleh spesies tertentu dari jenis karang hermatipik untuk dapat berkembang dengan baik. Karang hermatipik dapat bertahan pada suhu di bawah 20oC selama beberapa waktu, dan dapat mentolerir suhu sampai 36oC dalam waktu yang singkat. Nontji (1987) menyatakan bahwa buangan air panas dari industri gas alam cair (LPG) di Bontang, Kalimantan

Timur yang mencapai suhu 37oC telah menyebabkan kematian terumbu karang di sekitarnya.

3) Salinitas

Banyak spesies karang peka terhadap perubahan salinitas yang besar.

Umumnya, terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar wilayah pesisir

pada salinitas 30-35o/oo. Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas di luar kisaran tersebut, pertumbuhannya menjadi kurang baik bila

dibandingkan pada salinitas normal. Namun demikian, ada juga terumbu

karang yang mampu berkembang di kawasan perairan dengan salinitas 42o/oo, seperti di wilayah Timur Tengah.

4) Sirkulasi arus dan Sedimentasi

Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai

makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses

pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang

berasal dari laut lepas. Oleh karena itu, sirkulasi arus sangat berperan penting

dalam proses transfer energi.

(37)

Substrat yang disukai larva karang (planula) untuk melakukan penempelan

dalam membentuk koloni baru seperti batu keras, bangkai kapal yang

tenggelam. Sedangkan substrat pasir tidak disukai oleh larva karang (planula)

untuk melakukan penempelan.

2.3 Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang

Menurut Bengen (2000), terumbu karang khususnya terumbu karang tepi

dan terumbu karang penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari

hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Dan fungsi lain ekosistem

terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan di laut.

Menurut Supriharyono, 2000) manfaat terumbu karang bagi masyarakat

adalah sebagai bahan baku pembuatan kapur, bahan konstruksi bangunan, sebagai

sumber bahan makanan, sebagai hiasan, sebagai pembersih alat dapur, sebagai

bahan dempul, sebagai bahan obat-obatan (antibiotik, anti kanker, anti bakteri dan

lain-lain), dan secara tidak langsung menyumbangkan peningkatan ekonomi bagi

masyarakat sekitar. Menyediakan lapangan kerja melalui perikanan dan pariwisata

air yang jernih merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk

mendapatkan keuntungan untuk kegiatan pariwisata seperti snorkling, scuba diving serta kegiatan fotografi bawah air atau pengumpulan kerang-kerangan untuk cinderamata, juga dimanfaatkan untuk rumah/pelindung ikan, (Terangi The Indonesian Coral Reef Foundation, 2002).

2.3.1 Fungsi Ekologi Terumbu Karang

Keanekaragaman jenis terumbu karang, memiliki manfaat secara ekologi

dalam mendukung kehidupan masyarakat. Manfaat yang dihasilkan harus

dipertahankan agar ekosistem terumbu karang di berbagai wilayah di dunia dapat

berkembang. Pengelolaan ekosistem terumbu karang bukan tugas yang sederhana,

karena ekosistem terumbu karang salah satu sistem yang paling kompleks dari

(38)

yang ditemukan di terumbu karang (McAllister, 1991) dan hasil tangkapan dari

daerah terumbu karang diperkirakan 10% dari ikan yang dikonsumsi oleh manusia

(Smith, 1978). Lebih dari 100 negara berada di garis pantai dengan ekosistem

terumbu karang. Negara-negara ini setidaknya puluhan juta orang bergantung

pada terumbu karang untuk bagian dari kehidupan mereka dari asupan protein

(Salvat, 1992). Misalnya Jennings dan Polunin (1996) menghitung bahwa 1 km2 karang yang tumbuh secara aktif dapat mendukung sumber protein untuk lebih

dari 300 orang.

Terkadang, manusia tidak selalu menyadari ketergantungan mereka terhadap

sumberdaya ekosistem terumbu karang yang hampir kritis. Dan bahkan mereka

memanfaatkan sumberdaya ekosistem ini dengan tidak memperhatikan

keberlanjutan secara ekologis, manusia selalu terkait dengan kegiatan-kegiatan

destruktif. Kami berpendapat di tempat lain bahwa ada banyak manfaat ekologi

untuk memenuhi kriteria ekonomi yang memiliki nilai untuk berkontribusi demi

kesejahteraan manusia (Costanza and Folke, 1997).

Tanpa adanya terumbu karang yang melindungi garis pantai dari arus,

ombak, dan badai akan ada banyak daratan yang terkikis oleh erosi. Di Indonesia,

(Cesar, 1996) memperkirakan bahwa nilai garis pantai yang hilang akibat

menurunnya perlindungan terumbu karang sebagai konsekuensi dari kerusakan

terumbu karang adalah sebesar US$ 820-1.000.000 per km (berdasarkan asumsi

bahwa erosi pantai sebesar 0,2 m per tahun). Di Maldives, pemecah ombak buatan

seharga US$12.000.000 sepanjang 1 km dibangun untuk menggantikan fungsi

terumbu karang sebagai pemecah ombak. Terumbu karang membentuk daratan,

banyak negara di wilayah Samudera Hindia dan Pasifik dengan jumlah populasi

manusia yang besar menempati pulau yang terbentuk dari terumbu karang.

Kapasitas terumbu karang untuk meredam energi ombak membentuk laguna dan

lingkungan bersedimen. Secara fisik, terumbu karang membentuk kondisi yang

menguntungkan untuk pertumbuhan ekosistem lamun dan mangrove (Birkeland,

1985); (Ogden, 1988). Di daerah tropis, terumbu karang menghasilkan karang

pasir yang mensuplai pantai dengan karakteristik pasir putih yang merupakan

(39)

daerah asuhan, dan daerah mencari makan bagi berbagai jenis organisme. Sebagai salah satu habitat dengan kekayaan spesies yang tinggi, terumbu karang penting dalam memelihara keanekaragaman hayati yang luas dan sebagai sumber genetik untuk generasi yang akan datang. Sampai saat ini, lebih dari 60.000 hewan dan

tumbuhan karang telah dideskripsikan (Reaka-Kudla, 1994).

Terumbu karang tidak hanya menyediakan perlindungan fisik tetapi juga mendukung secara biologi kepada padang lamun, mangrove dan laut terbuka. Terumbu karang juga mendukung jejaring makanan pelagis melalui penyaluran

sisa proses produksi organik seperti lendir, wax ester, dan bahan organik terlarut, juga bakteri plankton, fitoplankton dan zooplankton (Hatcher, 1988); (Sorokin, 1990).

2.3.2 Manfaat Ekonomi Terumbu Karang

Bagi manusia, terumbu karang bermanfaat sebagai : (a) sumber bahan baku untuk berbagai macam kegiatan, seperti karang batu dan pasir sebagai bahan bangunan, karang hitam (black coral) sebagai bahan perhiasan, dan karang atau molusca sebagai bahan perhiasan rumah, (b) penghasil protein bagi penduduk, (c) objek wisata, (d) penangkal ombak atau pelindung usaha perikanan laguna, (e) pelindung pelabuhan kecil dari badai dan hempasan air laut (Dahuri, 2000).

Sedangkan untuk mendukung fungsi rekreasi, nilai rekreasi terumbu karang diindikasikan dari pemasukan pariwisata bernilai tinggi. Nilai uang dari kegiatan pariwisata di Great Barrier Reef diperkirakan sebesar AUS$ 82.000.000 per tahun (Driml, 1994).

Terumbu karang menjaga kehidupan komunitas lokal, sebagai contoh,

kerusakan karang di Filipina yang disebabkan over fishing dan polusi telah mengakibatkan sedikitnya 100.000 nelayan kehilangan pekerjaan (McAllister,

1988).

Fungsi penting, namun sering dilupakan adalah sebagai pendukung nilai

budaya dan spiritual. Contohnya ritual keagamaan di Kenya Selatan

mengembangkan ritualnya di sekitar terumbu karang. Dimana pengelolaan

tradisional yang awalnya bertujuan untuk mengontrol roh-roh di laut, digunakan

(40)

Masyarakat pesisir adalah orang atau sekelompok orang yang bermukim di

wilayah pesisir dan atau memliki mata pencaharian yang berasal dari sumberdaya

alam atau jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan. Dibedakan berdasarkan basis

tempat tinggal yaitu setiap orang yang tinggal di wilayah pesisir.

Definisi masyarakat pesisir menurut Departemen Kelautan dan Perikanan

Republik Indonesia adalah 1) orang atau sekelompok orang yang bermukim di

wilayah pesisir dan atau memiliki mata pencaharian yang berasal dari sumberdaya

alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan; 2) basis tempat tinggal di

wilayah pesisir, dan 3) mata pencahariannya adalah nelayan, petani ikan, pemilik

atau pekerja perusahaan perhubungan laut, pemilik atau pekerja pertambangan

energi, pemilik atau pekerja industri maritim, dan lain-lain.

Menurut Satria et al., (2002) masyarakat pesisir pada dasarnya adalah masyarakat nelayan karena sebagian besar mata pencahariannya sebagai nelayan.

Nelayan menghadapi sumberdaya alam yang bersifat open acces, sehingga karakteristik sumberdaya seperti ini menyebabkan nelayan berpindah-pindah

untuk memperoleh hasil maksimal dengan demikian resiko dan ketidakpastian

menjadi tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko ini menyebabkan nelayan

memliki karakter keras, tegas dan terbuka.

Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang khas dan unik. Sifat ini

sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan yang merupakan

mata pencaharian utama. Karena usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor

lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Dahuri 2000).

Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakteristik masyarakat

pesisir adalah sebagai berikut :

a) Ketergantungan pada kondisi lingkungan

Kehidupan masyarakat pesisir menjadi sangat tergantung pada kondisi

lingkungan dan sangat rentan terhadap kondisi lingkungan khususnya

pencemaran, karena dapat mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat

pesisir. Ketersediaan air tawar juga merupakan faktor penting yang akan

(41)

Musim sangat menentukan kondisi ekonomi masyarakat nelayan (nelayan

kecil), karena nelayan yang melaut tergantung pada musim. Pada musim

penangkapan ikan para nelayan sangat sibuk melaut sedangkan pada musim

paceklik kegiatan melaut berkurang sehingga mengakibatkan banyaknya

pengangguran. Kondisi ini akan sangat berpengaruh pada kegiatan sosial

ekonomi masyarakat pantai secara umum dan masyarakat nelayan khususnya.

c) Ketergantungan pada pasar

Kondisi masyarakat pesisir sangat tergantung pada keadaan pasar dimana

mereka sangat peka terhadap harga, sehingga perubahan harga produk

perikanan sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan.

Ketergantungan terhadap musim merupakan karakteristik yang menonjol di

masyarakat pesisir, terutama bagi para nelayan kecil. Pada musim penangkapan

para nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya pada musim peceklik kegiatan

melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur.

Kondisi mempunyai implikasi besar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat

pesisir secara umum dan kaum nelayan khususnya.

Berbeda dari petani, pedagang, para nelayan dan pembudidaya ikan sangat

tergantung pada keadaan pasar. Hal ini disebabkan komoditas yang mereka

hasilkan harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi keperluan

(42)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Daerah Perlindungan Laut Kelurahan Pasar

Lahewa dan Daerah Perlindungan Laut Desa Mo’awo Kecamatan Lahewa

Kabupaten Nias. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan mulai bulan Mei

sampai dengan bulan Juni 2009. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar

3 di bawah ini.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei yaitu suatu

penelitian yang berusaha untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara

tepat mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Nazir,

1999). Melalui pendekatan ini diharapkan dapat diperoleh gambaran yang

komprehensif dan mendalam tentang obyek yang diteliti.

Dalam pengumpulan data metode yang digunakan adalah metode survei

yang bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu

kelompok masyarakat melalui wawancara langsung dengan berpedoman pada

daftar kuesioner yang telah dirancang dan disiapkan sebelumnya (Singarimbun,

1995).

3.3 Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah :

1) Peta lokasi penelitian.

2) Kapal bermotor.

3) Pita bersekala (roll meter).

4) Peralatan scuba diving. 5) Camera under water.

6) Global Positioning System(GPS). 7) Paku beton ukuran besar.

8) Palu (martil).

(43)
(44)

3.4 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah : data primer dan data sekunder. Untuk

lebih jelas jenis data dan metode pengumpulannya diuraikan sebagai berikut :

3.4.1 Data Primer

Data primer untuk komponen biofisik diperoleh dari 6 stasiun penelitian

yaitu 3 stasiun di DPL Kelurahan Pasar Lahewa dan 3 stasiun di DPL Desa

Mo’awo, sedangkan data untuk komponen sosial dan ekonomi masyarakat

diperoleh dari hasil wawancara langsung di lapangan dengan berpedoman pada

kuisioner yang telah dirancang. Secara lengkap data primer yang dikumpulkan

dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Jenis dan sumber data primer

No. Komponen Jenis Data Sumber Data

1. Biofisik 1.1.Fisika :

- Kedalaman perairan - Kecerahan perairan

- Kekuatan arus (oseanografi) - Suhu perairan

1.2.Kimia :

- Salinitas perairan - Oksigen terlarut 1.3.Biologi :

- Tutupan karang hidup - Kelimpahan ikan karang - Kelimpahan megabentos 2.5. Profesi/Mata Pencaharian 2.6. Sikap

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder yang akan dikumpulkan berupa kondisi umum biofisik

perairan (terumbu karang) di Kecamatan Lahewa seperti persentase tutupan

karang hidup, kondisi kualitas perairan. Data kondisi sosial ekonomi masyarakat

(45)

kelamin, sarana dan prasarana perekonomian, mata pencaharian, kondisi

demografi dan data-data lain yang bersumber dari hasil penelitian sebelumnya.

Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Nias, Coremap II-LIPI Jakarta, Kantor

BAKOSURTANAL-LIPI-Cibinong, Kantor Kepala Desa Mo’awo, Kantor Kelurahan Pasar Lahewa, dan

Kantor Lembaga Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK)

masing-masing lokasi penelitian. Secara lengkap data sekunder yang dikumpulkan dapat

dilihat pada Tabel 2 di bawah ini :

Tabel 2 Jenis dan sumber data sekunder

No. Komponen Jenis Data Sumber Data/Tahun 1. Biofisik 1.1.Fisika :

- Kedalaman perairan - Kecerahan perairan

- Kekuatan arus (oseanografi) - Suhu perairan

1.2.Kimia :

- Salinitas perairan - Oksigen terlarut 1.3.Biologi :

- Tutupan karang hidup - Kelimpahan ikan karang - Kelimpahan megabentos 2.2. Mata Pencaharian 2.3. Kondisi Demografi

3.5 Metode Pengambilan Contoh

Metode pengambilan contoh untuk komponen biofisik dan komponen sosial

ekonomi masyarakat dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

3.5.1 Metode Pengambilan Contoh Komponen Biofisik

Pengambilan data biofisik dalam penelitian ini akan dikumpulkan di dua

lokasi penelitian. Untuk lebih jelas, dapat dilihat peta titik-titik pengambilan

(46)
(47)

Untuk mengetahui kondisi terumbu karang di DPL Kelurahan Pasar Lahewa

dan DPL Desa Mo’awo Kecamatan Lahewa, dilakukan pengambilan contoh pada

6 stasiun penelitian, dengan pengambilan contoh ini diharapkan dapat mewakili

kondisi ke dua DPL Kelurahan Pasar Lahewa dan DPL Desa Mo’awo.

Komponen-komponen utama yang diteliti adalah sebagai berikut :

1) Kualitas Perairan

Kualitas perairan pada suatu kawasan ekosistem terumbu karang merupakan

salah satu faktor utama yang menentukan keberlangsungan hidup organisme di

kawasan tersebut. Untuk mengetahui kondisi kualitas perairan di DPL Kelurahan

Pasar Lahewa dan DPL Desa Mo’awo, dilakukan pengukuran terhadap parameter

kualitas perairan. Beberapa parameter yang diukur dalam penelitian ini dapat

dilihat pada Tabel 3 berikut ini :

Tabel 3 Parameter kualitas perairan

Parameter Alat Ukur Satuan Ambang Batas

Oseanografi

Kecepaten arus Floating drough cm/detik - Fisika

Kecerahan perairan Secchi disk % 15-100%

Kedalaman perairan Tali dan Meteran meter < 50 meter Suhu perairan Thermometer OC 25-30oC Kimia

Salinitas perairan Refraktometer o/oo 32-35 o/oo Oksigen terlarut (DO) meter ppm 5.7-8.5 ppm

2) Bentuk Pertumbuhan (Life Form) Komunitas Karang

Dalam melakukan identifikasi bentuk pertumbuhan (life form) komunitas karang atau tutupan karang, pengukuran dilakukan dengan metode transek garis

menyinggung (Line Intercept Transec/LIT) mengikuti English et al., (1997). Identifikasi dilakukan pada 6 stasiun penelitian di dua DPL, dengan harapan agar

hasil pengukuran dapat mewakili keseluruhan kawasan tersebut. Teknis

pelaksanaan di lapangan yaitu seorang penyelam meletakkan roll meter sepanjang

70 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam.

Kemudian LIT ditentukan pada garis transek dengan tiga kali ulangan yaitu :

0-10 meter, 30-40 meter, 60-70 meter. Titik stasiun penelitian diusahakan tetap

berpedoman pada stasiun penelitian permanen yang telah ditetapkan CRITC-LIPI

Gambar

Gambar 3  Lokasi Penelitian
Tabel 1  Jenis dan sumber data primer
Tabel 2  Jenis dan sumber data sekunder
Gambar 4  Stasiun pengambilan contoh komponen biofisik di DPL Kelurahan Pasar Lahewa dan DPL Desa Mo’awo
+7

Referensi

Dokumen terkait

Artinya website UIN Ar-Raniry belum mudah untuk diakses oleh kalangan mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi hal ini dikarenakan masih terdapat beberapa

Dörnyei and associates argued that integrative and instrumental orientations are unable to capture learners’ fluctuations and complexity of motivation as the

The goals of this research are (1) to know what students’ responses toward WH question tehnique; (2) to know whether the WH Question can improve students’ math in English..

Peningkatan pendapatan bersih ini disebabkan oleh kinerja yang lebih baik dari seluruh lini bisnis milik Perseroan.. Pada segmen usaha mesin konstruksi, volume

The positive politeness strategies divided into three type: claim common ground, convey that S &amp; H are cooperators, Fulfill H’s want for some X and then divided into

Perseroan menargetkan volume penjualan semen dapat tumbuh 54% menjadi 2.75 juta ton sehingga proyeksi pendapatan tahun 2018 dapat mencapai Rp2.57 triliun atau naik 66% dari

Peraturan ini dipertegas pada Pasal 87 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa “Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDes” juncto Pasal

Populasi dalam penelitian ini adalah semua produk alas kaki yang dihasilkan di Koperasi Kerajinan Keparakan Mandiri Sejahtera