• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007.

Skripsi

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Juni Irianti Sitinjak NIM : 030200187

Departemen/PK : Hukum Administrasi Negara/Hukum Agraria

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada PENUNTUTAN PENGEMBALIAN TANAH YANG TELAH DIGANTI RUGI

OLEH PT. KWALA GUNUNG KEPADA MASYARAKAT MARIAH HOMBANG

Skripsi

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Juni Irianti Sitinjak NIM : 030200187

Departemen/PK : Hukum Administrasi Negara/Hukum Agraria

Diketahui oleh :

Ketua Departemen,

(Dr. Pendastaren Tarigan, S.H. M.S.) NIP. 131 410 462

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

(Tampil Anshari Siregar, S.H. M.S.) (

MEDAN

Mariati Zendrato, S.H. M.H.) NIP. 130 250 421 NIP. 131 661 438

FAKULTAS HUKUM

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAK ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 3

D. Keaslian Penulisan ... 4

E. Tinjauan Kepustakaan ... 4

F. Metode Penelitian ... 12

a) Bahan atau Materi Penelitian... 12

b) Alat Penelitian ... 15

c) Variabel Penelitian ... 16

(4)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II : TUNTUTAN PENGEMBALIAN TANAH

OLEH MASYARAKAT MARIAH HOMBANG

KEPADA PT. KWALA GUNUNG ... 20

A. Keadaan Mayarakat Mariah Hombang dan PT. Kwala Gunung ... 20

B. Sengketa Hukum atas Tanah... 29

BAB III : ALASAN PENUNTUTAN PENGEMBALIAN TANAH ... 66

A. Sengketa Tanah di Desa Mariah Hombang ... 66

B. Alasan Penuntutan Pengembalian Tanah yang Dilakukan Masyarakat Mariah Hombang Kepada PT. Kwala Gunung ... 86

C. Alasan Penuntutan Pengembalian Tanah yang Ditentukan oleh Hukum ... 93

BAB IV : PELAKSANAAN PENUNTUTAN PENGEMBALIAN TANAH YANG TELAH DIGANTI RUGI OLEH PT. KWALA GUNUNG ... 100

A. Risalah Umum Desa Mariah Hombang... 100

1. Lokasi ... 100

2. Topografi ... 100

(5)

4. Iklim ... 101

5. Sosial Ekonomi ... 101

5.1.Penduduk ... 101

5.2.Mata Pencaharian ... 102

5.3.Agama ... 102

5.4.Perhubungan ... 102

5.5.Pendidikan dan Kesehatan ... 103

B. Pelaksanaan Penuntutan Pengembalian Tanah yang Telah Diganti Rugi oleh PT. Kwala Gunung kepada Masyarakat Mariah Hombang ... 103

C. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Penuntutan Pengembalian Tanah yang Telah Diganti Rugi oleh PT. Kwala Gunung ... 106

D. Penyelesaian Sengketa Tanah antara Masyarakat Mariah Hombang dengan PT. Kwala Gunung ... 108

BAB V : PENUTUP ... 119

A. Kesimpulan ... 119

B. Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA

(6)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

DAFTAR TABEL

1. Banyaknya curah hujan dan hari hujan menurut Stasiun Pengamat Cuaca Pusat Penelitian Marihat tahun 1989

2. Keadaan Penduduk berdasarkan jumlah dan jenis kelamin di Kabupaten Dati II Simalungun yang dirinci per kecamatan tahun 1989

3. Banyaknya penduduk menurut golongan agama di Kecamatan Tanah Jawa pada tahun 1989

4. Panjang jalan Negara dan propinsi di Kabupaten Simalungun dirinci menurut jenis permukaan, kondisi dan kelas jalan tahun 1989

(7)

DAFTAR GAMBAR

1. Sumatera Utara Kronik Perjuangan Petani Nagori Mariah Hombang

(Sumber :

2. Sumatera Utara 17 Petani Mariah Hombang Beb as Setelah Jalani Persidangan Selama 4 Bulan

(Sumber :

(8)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Riset yang ditujukan kepada BPN Simalungun

2. Surat Riset yang ditujukan kepada Dinas Kehutanan Simalungun

3. Surat Riset yang ditujukan kepada Kantor Kepala Desa Mariah Hombang

4. Surat Riset yang ditujukan kepada Dinas Kehutanan Kotamadya Medan

5. Surat Keterangan dari BPN Simalungun yang menyatakan bahwa benar penulis telah melakukan riset di BPN Simalungun

6. Surat Keterangan dari Dinas Kehutanan Simalungun yang menyatakan bahwa benar penulis telah melakukan riset di Dinas Kehutanan Simalungun

7. Surat Keterangan dari Kantor Kepala Desa Mariah Hombang yang menyatakan bahwa benar penulis telah melakukan riset di Kantor Kepala Desa Mariah Hombang

8. Surat Keterangan dari Dinas Kehutanan Kotamadya Medan yang menyatakan bahwa benar penulis telah melakukan riset di Dinas Kehutanan Kotamadya Medan

9. Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 593.41/2807/K Tahun 1991, tanggal 10 Oktober 1991 tentang Izin Lokasi/Penyediaan Tanah untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kwala Gunung

10. Surat PT. Kwala Gunung Nomor 60/KG/I/1992, tanggal 13 Januari 1992

11. Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, tanggal 8 Pebruari 1992 Nomor 275/II/Kwl-5/1992 tentang Pengukuran Lahan Inlijving/Areal Reboisasi

(9)

13. Berita Acara Hasil Pengukuran Areal Inlijving/Areal Reboisasi Komplek Bah Boluk/Bah Hapasuk

14. Daftar masyarakat yang telah melepaskan hak atas tanahnya kepada PT. Kwala Gunung dengan menerima ganti rugi

15. Daftar nama-nama orang yang menerima biaya ganti rugi tanah dan tanaman areal inlijving kehutanan oleh PT. Kwala Gunung di Desa Bosar Galugur dan Mariah Hombang, di Kecamatan Tanah Jawa dan Kecamatan Hutabayu Raja, Dati II Simalungun

16. Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh Muller Gultom, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, bahwa benar penulis telah melakukan wawancara

17. Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh W. Manurung, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, bahwa benar penulis telah melakukan wawancara

(10)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan alasan penuntutan pengembalian tanah yang dilakukan masyarakat Mariah Hombang maupun alasan penuntutan pengembalian tanah yang ditentukan oleh hukum. Penulisan ini juga bertujuan untuk menjelaskan wujud konkrit penuntutan pengembalian tanah yang dilakukan oleh masyarakat Mariah Hombang.

Penulis melakukan wawancara dengan warga Dusun Parsaguan dan melakukan riset pada Instansi Pemerintah. Wawancara dilakukan untuk mengetahui sengketa tanah antara masyarakat Mariah Hombang dengan PT. Kwala Gunung dan memastikan kebenaran data-data yang telah penulis peroleh dari pihak BPN Simalungun.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penulis memilih masalah penuntutan pengembalian tanah yang telah diganti

rugi oleh PT. Kwala Gunung kepada masyarakat Mariah Hombang sebagai bahan

penulisan karena masalah ganti rugi tanah sangat rentan terjadi dan berdampak

negatif, baik pada saat pelepasan tanah dilakukan maupun pada masa yang akan

datang, seperti terjadinya sengketa tanah antara masyarakat Mariah Hombang dengan

PT. Kwala Gunung dimana masyarakat Mariah Hombang menuntut agar tanah

mereka dikembalikan oleh PT. Kwala Gunung, padahal tanah tersebut telah diganti

rugi oleh PT. Kwala Gunung. Karena PT. Kwala Gunung telah memberikan ganti

rugi atas tanah tersebut sesuai dengan kesepakatan, maka PT. Kwala Gunung tidak

mau mengembalikan tanah tersebut, sementara masyarakat bersikeras menuntut

kembali tanah mereka dengan alasan bahwa PT. Kwala Gunung tidak memanfaatkan

atau menterlantarkan tanah tersebut. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan sengketa

(12)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Penulis memilih judul untuk dapat dijadikan sebagai bahan dalam penyusunan

skripsi ini, yaitu Penuntutan Pengembalian Tanah yang Telah Diganti Rugi oleh PT.

Kwala Gunung kepada Masyarakat Mariah Hombang karena penulis memandang

bahwa yang menjadi inti dari permasalahan ini adalah masyarakat Mariah Hombang

menuntut pengembalian tanah kepada PT. Kwala Gunung, sehingga dengan melihat

inti dari permasalahan tersebut, maka penulis mengangkat masalah ini sebagai judul

skripsi. Dengan mengangkat masalah ini, penulis berusaha untuk mencari solusi yang

tepat dan memaparkannya di dalam tulisan ini dimana sampai saat ini, masalah ini

masih dalam tahap pencarian solusi atau belum ada titik temu antara pihak-pihak

yang bersengketa.

B. Perumusan Masalah

Yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini yang kemudian akan menjadi

pembahasan adalah sebagai berikut :

1) Bagaimana penuntutan pengembalian tanah yang dilakukan masyarakat

Mariah Hombang?

2) Mengapa masyarakat Mariah Hombang menuntut pengembalian tanah

(13)

3) Sejauh mana tuntutan pengembalian tanah yang diajukan masyarakat Mariah Hombang dan hambatan-hambatan dalam melakukan penuntutan

tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah :

1) Untuk menjelaskan penuntutan pengembalian tanah yang dilakukan oleh

masyarakat Mariah Hombang.

2) Untuk menjelaskan alasan-alasan penuntutan pengembalian tanah yang

dilakukan oleh masyarakat Mariah Hombang, baik alasan-alasan yang

diajukan oleh masyarakat maupun alasan-alasan yang diperbolehkan oleh

hukum.

3) Untuk menjelaskan wujud konkrit penuntutan pengembalian tanah yang

dilakukan oleh masyarakat Mariah Hombang.

Selain menambah pengetahuan penulis dalam mengangkat permasalahan ini

menjadi bahan penulisan, penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk

mencari solusi atas permasalahan ini, yaitu membantu pihak-pihak yang terkait atau

yang berwenang menemukan alternatif kebijakan yang lebih baik, sehingga apabila

ada sengketa pertanahan yang inti permasalahannya sama dengan masalah yang

(14)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

atau kebijakan dengan mudah dan dalam waktu yang singkat untuk menyelesaikan

permasalahan tersebut.

D. Keaslian Penulisan

Penelitian ini merupakan hasil penelitian dari penulis sendiri yang mengangkat

masalah mengenai penuntutan pengembalian tanah yang telah di ganti rugi oleh PT.

Kwala Gunung kepada masyarakat Mariah Hombang dan objek ini belum pernah

diteliti oleh peneliti lain.

E. Tinjauan Kepustakaan

Menyangkut terminologi tanah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan

sebagai permukaan bumi atau lapisan bumi yang paling atas.1 Dalam Hukum Tanah,

pengertian tanah lebih kepada pengertian yang yuridis,2

1

Hasan Basri Nata Menggala, S.H., dan Sarjita, S.H., M.Hum., Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah, Edisi Revisi, Tugu Jogja Pustaka, Yogyakarta, 2005, Hal. 5.

2

Ibid.

yaitu sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA bahwa tanah adalah bagian dari permukaan

bumi dan karena itu, hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan

(15)

lain, tanah yang diberikan dan dipunyai oleh orang-orang dengan hak-hak yang

diberikan oleh UUPA adalah digunakan atau dimanfaatkan. Oleh karena itu, dalam

Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberi

wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang

bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan

air serta ruang yang ada di atasnya. Dengan demikian, maka yang dipunyai dengan

hak-hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan

bumi.3

Michael G. Kitay mengatakan, “Land is unique and limited; it is therefore

valuable. And whoever controls and the land controls a potentially profitable asset.”

Berdasarkan hal tersebut, tanah mempunyai nilai yang sangat strategis dan

berharga sebagai potensi modal yang menguntungkan. Akibatnya, harga tanah

cenderung meningkat dalam kehidupan masyarakat.

4

3

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan,

Artinya, “tanah merupakan hal yang unik dan terbatas; oleh karena itu ia berharga.

Barangsiapa yang menguasai tanah tersebut, juga menguasai potensi modal yang

menguntungkan.” Pendapat Michael G. Kitay tersebut sejalan pula dengan pendapat

Lawson da Rudden, yang mengatakan bahwa tanah adalah sesuatu yang unik dan

bersifat tetap dan hampir tidak dapat dihancurkan serta memiliki nilai pendapatan dan

penghasilan. Di samping itu, menurut Gray dan Symes, tanah bukanlah sekedar tanah

(16)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

tambang, mineral di bawahnya, dan bangunan-bangunan yang berdiri di

permukaannya.5 Peter Butt mengatakan “barangsiapa memiliki tanah (permukaan

bumi), dia juga memiliki segala apa yang ada di atasnya sampai surga/nirwana dan

segala yang ada di bawahnya sampai pusat bumi.” 6

Menurut Sulasi Rongiyati, tanah merupakan sumber daya penting dan strategis

karena menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar.

Tanah merupakan salah satu

komponen dari hak asasi manusia, maka setiap orang harus diberi akses untuk

memperoleh, memiliki, memanfaatkan, dan mempertahankan bidang tanah yang akan

atau yang sudah dimilikinya.

7

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh bangsa Indonesia dan

tidak semata-mata kepada individu-individu pemegang hak atas tanah.8 Sedangkan

sistem Pemerintahan masa Orde Baru menempatkan tanah sebagai benda komoditas

perdagangan, objek investasi para pemilik modal besar serta menjadi objek spekulan

tanah.9

4

Syafruddin Kalo, Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, Hal. 7.

5

Hasan Basri Nata Menggala, S.H., dan Sarjita, S.H., M.Hum., Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah, Edisi Revisi, Tugu Jogja Pustaka, Yogyakarta, 2005, Hal. 15.

9

Ibid.

Defenisi tanah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun

1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk

(17)

dan salah satu unsur utama dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat

adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Mengenai defenisi penuntutan, di dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,

tuntut atau menuntut adalah meminta dengan keras, mengharuskan supaya dipenuhi.

Tuntutan, yaitu sesuatu yang dituntut seperti permintaan keras, gugatan, dakwaan,

dan sebagainya. Menggugat artinya membawa atau mengadukan kepada pengadilan;

mempertahankan haknya atas sesuatu; berusaha atau berdaya upaya supaya mencapai

atau mendapat sesuatu; berusaha mendapat ilmu pengetahuan; menuju; berusaha

keras untuk mendapat (hak atas sesuatu). Gugatan adalah suatu cara untuk menuntut

hak melalui putusan pengadilan (perkara perdata).10 Claim is assertion of a legal

right; document used in the County Court to start a legal action; statement that

someone has a right to property held by another person; to start that something is a

fact.11 Claim of ownership, yaitu tuntutan untuk mengembalikan hak, terutama

mengenai tanah.12

10

Zainal Bahry, S.H., Kamus Umum Khususnya di Bidang Hukum dan Politik, Angkasa Bandung, Bandung, 1993, Hal. 80.

11

P.H. Collin, Dictionary of Law, Third Edition, Peter Collin Publishing, 2000, Hal. 60.

12

I.P.M. Ranuhandoko, B.A., Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal. 131.

Sedangkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,

pada Pasal 1 butir 7, yang dimaksud dengan penuntutan adalah tindakan penuntut

umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan

(18)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975

tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, yang dimaksud

dengan pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat

di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.

Menurut Sarjita S.H., M.Hum., pelepasan hak atas tanah adalah perbuatan hukum

melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah dan

benda-benda yang terdapat di atasnya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar

musyawarah, sehingga tanah yang bersangkutan menjadi tanah Negara dan kemudian

diberikan hak baru yang sesuai kepada pihak yang memerlukan tanah.13

Mengenai ganti rugi, dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut, yaitu : dari sudut Kitab

Undang-undang Hukum Perdata dan dari sudut Undang-undang Pokok Agraria.

Pembebasan tanah menurut Surat Edaran Dirjen Agraria Nomor: Ba

12/108/12/1975 adalah setiap perbuatan yang bermaksud langsung atau tidak

langsung melepaskan hubungan hukum yang ada di antara pemegang hak/penguasa

atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak/penguasa atas

tanah tersebut. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang sebelumnya disebut

pembebasan tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang

hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas

dasar musyawarah.

13

(19)

Pertama, menurut KUH Perdata, tinjauan tentang ganti rugi meliputi persoalan yang

menyangkut apa yang dimaksud dengan ganti rugi itu, bilamana ganti rugi itu timbul

dan apa ukuran dari ganti rugi itu serta bagaimana peraturannya dalam

undang-undang. Dalam Pasal 1243 KUH Perdata dirumuskan :

Penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu

perikatan mulai diwajibkan bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap

lalai untuk memenuhi perikatan itu atau jika sesuatu yang harus diberikan atau

dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang

melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan.

Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa ganti kerugian itu adalah karena tidak

terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah

dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetapi melalaikannya atau sesuatu yang

harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang

waktu yang telah dilampaukannya.14

Artinya, ganti rugi itu adalah kerugian yang

timbul karena debitur melakukan wanprestasi, kerugian itu wajib diganti oleh debitur

terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Bertolak dari pengertian ganti rugi tersebut, maka

dapat disimpulkan bahwa ganti rugi menurut Hukum Perdata adalah dikaitkan dengan

(20)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

ganti rugi berupa biaya (kosten), rugi (schaden), dan bunga (interesten) berupa

kehilangan keuntungan yang dapat diharapkan (winstderving).

Kedua, dalam Undang-undang Pokok Agraria yang berkaitan dengan

pencabutan hak atas tanah diatur dalam Pasal 18, yang berbunyi : ”Untuk

kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan

bersama dan rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti rugi

yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.”

Salah satu kunci yang kelihatannya juga cukup menentukan dalam perbuatan

hukum yang berkenaan dengan ganti rugi dalam pelepasan hak atau pembebasan

tanah itu merupakan imbalan sebagai pengganti nilai tanah yang diserahkan oleh

pemilik atau pemegang hak atas tanah. Mengenai pencabutan atau pelepasan hak

tanah, A.P. Parlindungan menyatakan :

“Orang yang dicabut haknya itu tidak berada dalam keadaan lebih miskin

setelah pencabutan hak tersebut, ataupun akan menjadi miskin kelak karena

uang pembayaran ganti rugi itu telah habis karena dikonsumsi. Minimal dia

harus dapat dalam situasi ekonomi yang sekurang-kurangnya sama seperti

dicabut haknya, syukur kalau bertambah lebih baik.”15

14

Syafruddin Kalo, Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, Hal. 86.

15

A.P.Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak atas Tanah, Suatu Perbandingan, Mandar Maju, Bandung, 1993, Hal. 5.

(21)

Sejalan dengan pendapat tersebut, Boedi Harsono merumuskan bahwa baik

dalam perolehan tanah atas dasar kata sepakat maupun cara pencabutan hak kepada

pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak,

sehingga sedemikian rupa keadaan sosial dan keadaan ekonominya tidak menjadi

mundur.16

Seperti diketahui bahwa dalam masyarakat sering terjadi kerancuan dalam

penggunaan istilah “ganti kerugian” dalam bentuk tuntutan/unjuk rasa apabila terjadi

pengosongan/pengusiran penghuni/penggarap liar. Berkaitan dengan hal ini, dalam

Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Pasal 15 menyebutkan bahwa dasar dan Dengan demikian, maka pemberian ganti rugi ini harus betul-betul mampu

mengantisipasi munculnya kemiskinan dalam masyarakat, bukan penyebab timbulnya

kemiskinan baru. Ganti kerugian adalah imbalan yang diterima oleh pemegang hak

atas tanah sebagai pengganti dari nilai tanah termasuk yang ada di atasnya, yang

telah dilepaskan atau diserahkan (Oloan Sitorus dan Carolina Sitepu dalam SKH

Sinar Indonesia Baru, 5 November 1994). Perlu ditegaskan bahwa dalam ganti

kerugian tidak boleh ada keinginan untuk menekan kepentingan pihak lain.

Sedangkan Pasal 1 butir 7 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 merumuskan ganti rugi

sebagai pengganti atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan/atau benda-benda

lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas

tanah.”

(22)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar harga tanah yang sebenarnya,

nilai jual bangunan dan nilai jual tanaman. Di samping itu, bentuk dan besarnya ganti

kerugian ditetapkan dalam musyawarah. Musyawarah dalam keppres tersebut

diartikan sebagai proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling

menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak

pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh

kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Dari ketentuan di atas,

dapat diketahui bahwa istilah ganti kerugian yang diberikan akan berkaitan dengan

pihak pemegang hak atas tanah yang tanahnya akan dipergunakan untuk

pembangunan. Dengan kata lain, ganti kerugian hanya diberikan kepada pihak

pemegang hak atas tanah.

F. Metode Penelitian

a) Bahan atau materi penelitian

Sebagai bahan atau materi penelitian, penulis menggunakan data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang

terkait dalam masalah ini, yaitu masyarakat Mariah Hombang yang berada di

Kecamatan Hutabayu Raja. Wawancara dilakukan untuk mengetahui asal mula

terjadinya sengketa tanah antara masyarakat Mariah Hombang dengan PT. Kwala

(23)

Mariah Hombang dengan pihak kepolisian yang memihak kepada PT. Kwala

Gunung. Namun, wawancara dilakukan dengan sebagian masyarakat Mariah

Hombang yang terlibat dalam masalah ini, menimbang bahwa penulis tidak

mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan wawancara dengan masyarakat

Mariah Hombang secara keseluruhan.

Penulis mewawancarai warga Dusun Parsaguan yang tergabung dalam Forum

Petani Nagori Mariah Hombang (FPNMH), dimana dari hasil wawancara, ada

beberapa warga Dusun Parsaguan yang telah menerima ganti rugi dari PT. Kwala

Gunung. Namun, ada juga salah seorang warga Dusun Parsaguan yang mengaku

tidak pernah menerima ganti rugi dalam bentuk apapun dan dari pihak manapun

meskipun telah melepaskan tanahnya kepada PT. Kwala Gunung. Binahar Gultom

mengatakan, ia tidak pernah menerima ganti rugi dalam bentuk apapun dan dari

pihak manapun, padahal ia telah melepaskan tanahnya seluas ± 3 Ha kepada PT.

Kwala Gunung.17

Penulis memandang bahwa dengan mewawancarai sebagian masyarakat Mariah

Hombang terutama yang telah menerima ganti rugi dari pihak PT. Kwala Gunung

sudah mewakili jumlah keseluruhan masyarakat Mariah Hombang yang telah

menerima ganti rugi tersebut. Dengan kata lain, dalam penelitian ini penulis

mempergunakan jenis sampel yang disebut sampel kuota (quota sample), yaitu

17

(24)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

peneliti menghubungi subjek yang memenuhi persyaratan ciri-ciri populasi tanpa

menghiraukan dari mana asalnya, atau bisa juga diartikan bahwa penarikan sampel

dari populasi didasarkan kepada terpenuhinya kualifikasi yang telah ditetapkan oleh

peneliti. Wawancara dengan masyarakat Mariah Hombang juga bertujuan untuk

memastikan kebenaran data-data yang telah penulis peroleh dari pihak BPN

Simalungun. Selain melakukan wawancara dengan masyarakat Mariah Hombang,

penulis juga melakukan wawancara dengan pihak BPN Simalungun, yaitu Drs. Hiskia

Simarmata selaku Kasi Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan dan juga pihak

Dinas Kehutanan Simalungun, yaitu Edward Pangaribuan selaku Staf Pegawai pada

Balai Pengukuran dan Perpetaan Dinas Kehutanan Wilayah II Pematang Siantar,

terkait dengan sengketa antara masyarakat Mariah Hombang dengan PT. Kwala

Gunung.

Sedangkan data sekunder diperoleh terutama dari pihak BPN Simalungun

dalam bentuk tertulis, dimana data-data tersebut berupa fotocopy Berita Acara yang

memuat bukti pelepasan hak atas tanah oleh masyarakat Mariah Hombang kepada

PT. Kwala Gunung dan pemberian ganti rugi oleh PT. Kwala Gunung kepada

masyarakat Mariah Hombang. Data sekunder juga diperoleh dari Dinas Kehutanan

Simalungun berupa foto copy Penjelasan tentang Areal Inlijving (Reboisasi)

Komplek Bah Hapasuk/Bah Boluk, dua (2) lembar foto copy tanda terima uang dari

PT. Kwala Gunung kepada Bendaharawan Rutin Kantor Wilayah Departemen

(25)

Kehutanan Sumatera Utara sebagai tanda bukti bahwa pihak PT. Kwala Gunung telah

memberikan kewajibannya mengganti dana pago-pago yang dikeluarkan Pemerintah

(Dinas Kehutanan) dalam proses inlijving dan satu (1) berkas foto copy Berita Acara

Hasil Pengukuran Batas Areal Inlijving (Reboisasi) Komplek Bah Boluk/Bah

Hapasuk sebagai tanda bukti telah dilakukan pengukuran letak dan luas lahan

sebenarnya di lapangan untuk penegasan/pendefinitifan.

Penulis juga memperoleh data sekunder dari Dinas Kehutanan Kotamadya

Medan, yaitu berupa Laporan Hasil Pengukuran Batas Areal Inlijving/Areal

Reboisasi Komplek Bah Boluk/Bah Hapasuk, dimana laporan tersebut disusun dan

diterbitkan dengan dana PT. Kwala Gunung. Di dalam Laporan itu dilampirkan Surat

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 593.41/2807/K

Tahun 1991, tanggal 10 Oktober 1991 tentang Izin Lokasi/Penyediaan Tanah untuk

Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kwala Gunung, Surat PT.

Kwala Gunung Nomor 6/KG/I/1992, tanggal 13 Januari 1992, Surat Kepala Kantor

Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sumatera Utara Nomor 275/II/Kwl-5/1992,

tanggal 8 Pebruari 1992 tentang Pengukuran Lahan Inlijving/Areal Reboisasi, Surat

Perintah Tugas dari Kepala Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Pematang

Siantar Nomor 2230/I/SUB.1-1/1992, tanggal 6 Maret 1992, Berita Acara Hasil

Pengukuran Areal Inlijving/Areal Reboisasi Komplek Bah Boluk/Bah Hapasuk, dan

Peta Hasil Pengukuran Areal Inlijving/Areal Reboisasi Komplek Bah Boluk/Bah

(26)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Selain itu, data sekunder juga diperoleh dari berbagai sumber bacaan, seperti

buku dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hukum Agraria

untuk membantu dalam menjelaskan konsep mengenai judul skripsi ini dan mencari

solusi atas kasus atau permasalahan ini. Penulis juga mempergunakan internet dalam

mencari berbagai informasi dan solusi yang berkaitan dengan permasalahan ini.

b) Alat Penelitian

Alat atau instrumen penelitian ini adalah wawancara karena dikaitkan dengan

jenis penelitian ini bahwa wawancara diperlukan dalam penelitian studi kasus, yang

bertujuan untuk mencari kebenaran atas kasus yang sedang diteliti dan mencari solusi

atas permasalahan yang diteliti. Wawancara merupakan data primer yang diperoleh

dari berbagai pihak yang terkait dengan masalah ini, yaitu masyarakat Mariah

Hombang, namun tidak secara keseluruhan, hanya beberapa warga Dusun Parsaguan

yang tergabung dalam Forum Petani Nagori Mariah Hombang (FPNMH), juga pihak

BPN Simalungun, Dinas Kehutanan Simalungun serta Dinas Kehutanan Kotamadya

Medan.

c) Variabel Penelitian

Variabel atau objek pokok yang diteliti lebih dari satu, yaitu penuntutan

(27)

karena PT. Kwala Gunung tidak memanfaatkan atau menterlantarkan tanah yang

telah dilepaskan oleh masyarakat Mariah Hombang kepada PT. Kwala Gunung.

Mengenai ganti rugi, masyarakat terpaksa menerima ganti rugi dari PT. Kwala

Gunung karena masyarakat merasa ditekan melalui umpasa Batak yang disampaikan

oleh Djabanten Damanik pada pertemuan di gereja HKBP Pokan Baru. Umpasanya

adalah sebagai berikut : “Baris-Baris ni gajah di rurah pangaloan, molo mangido

Raja Dae so oloan. Molo so ni oloan, tubu hamagoan; molo ni oloan, ro ma

pangolu-ngoluan.”18 Artinya, kalau raja yang meminta, rakyat harus memberinya; kalau

rakyat tidak mau menerima uang pago-pago (ganti rugi), maka rakyat akan tetap

kehilangan haknya atas tanah tersebut. Berkaitan dengan penuntutan yang dilakukan

masyarakat bahwa masyarakat menuntut kembali tanah mereka karena mereka tidak

mempunyai tanah lagi untuk dikelola/digarap.19

18

Wawancara dengan W. Manurung, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, tanggal 29 Agustus 2007.

19

Wawancara dengan Muller Gultom, warga Dusun Parsaguan, Kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, tanggal 29 Agustus 2007.

Mereka juga melihat bahwa tanah

yang telah dilepaskan itu tidak dimanfaatkan/diterlantarkan oleh PT. Kwala Gunung.

Penuntutan pengembalian tanah yang telah diganti tersebut akan menjadi bagian dari

penelitian ini, yaitu apakah perbuatan tersebut diperbolehkan oleh hukum.

(28)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan teknik analisis data secara

kualitatif, yaitu menggunakan analisis kualitatif atau non-statistik. Pada analisis ini,

penulis berfokus pada isi peraturan perundang-undangan (content analysis) atau

mengenai penggambaran (description analysis) objek penelitian dengan naratif,

sehingga penulis mudah menarik kesimpulan. Penelitian ini juga dilengkapi dengan

daftar tabel, yaitu tabel banyaknya curah hujan dan hari hujan menurut Stasiun

Pengamat Cuaca Pusat Penelitian Marihat tahun 1989, keadaan penduduk

berdasarkan jumlah dan jenis kelamin di Kabupaten Dati II Simalungun yang dirinci

per kecamatan tahun 1989, banyaknya penduduk menurut golongan agama di

Kecamatan Tanah Jawa pada tahun 1989, panjang jalan Negara di Kabupaten Dati II

Simalungun dirinci menurut jenis permukaan, dan kondisi dan kelas jalan tahun 1989

serta keadaan sepanjang rintis batas pada areal inlijving.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Judul

2. Halaman Pengesahan/Persetujuan

3. Kata Pengantar

4. Daftar Isi

(29)

6. Abstrak

7. Bab Pendahuluan, berisi :

Latar belakang

Perumusan Masalah

Tujuan dan Manfaat Penulisan

Keaslian Penulisan

Tinjauan Kepustakaan

Metode Penelitian

Sistematika Penulisan

8. Bab Pembahasan

9. Bab Penutup terdiri dari :

Kesimpulan

Saran

10. Daftar Pustaka

(30)
(31)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada Masyarakat Mariah Hombang, 2007.

MARIAH HOMBANG KEPADA PT. KWALA GUNUNG

A. Keadaan Masyarakat Mariah Hombang dan PT. Kwala Gunung

Jumlah penduduk tahun 1989 dalam wilayah Kecamatan Tanah Jawa tercatat

126.910 jiwa dan luas wilayah 714,50 Km2

. Dengan demikian, densitas penduduk

adalah rata-rata 178 jiwa/Km2. Penduduk asli daerah ini adalah suku Batak

Simalungun dan suku Batak Toba, sedangkan suku Jawa, Aceh dan suku Batak dari

Tapanuli Selatan adalah sebagai pendatang. Namun, bahasa Indonesia sudah dapat

dimengerti seluruh masyarakat, sehingga bahasa Indonesia dipergunakan sebagai

bahasa pengantar. Dan mengenai agama yang dianut oleh masyarakat Mariah

Hombang, berdasarkan data pada Buku Kabupaten Simalungun dalam angka tahun

1989, penduduk Kecamatan Tanah Jawa sebahagian besar memeluk agama Kristen

Protestan (47,49%).

Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah bertani, yaitu jenis tanaman

pangan, seperti padi dan palawija serta tanaman keras lainnya dari jenis buah-buahan

seperti durian, jeruk manis, dan lain sebagainya. Berdasarkan data produksi beras

(32)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Daerah Tingkat II Simalungun dengan angka produksi 83.134 ton, sedangkan

kebutuhan pada kecamatan tersebut adalah 22.244 ton, berarti surplus 6.089 ton.

Mengenai PT. Kwala Gunung sebagai perusahaan yang memohon izin lokasi,

penulis tidak mendapatkan data yang lengkap. Penulis hanya mengetahui data PT.

Kwala Gunung20

Produk Utama : Minyak Goreng Sawit sebagai berikut :

Nama Perusahaan : Kwala Gunung, PT.

Alamat Pabrik : Dusun V. Patumbak Kampung

Propinsi : Sumatera Utara

Kabupaten : Deli Serdang

Kecamatan : Petumbak

Telp. Pabrik : 061-525854

Alamat Kantor : Jl. Hos. Cokroaminoto No. 16 Medan

Kontak : Alwi

Jabatan : Direktur

No. KLUI : 15144

Uraian : Industri Minyak Goreng dari Minyak Kelapa Sawit

20

(33)

Selain data PT. Kwala Gunung di atas, penulis juga menemukan informasi

mengenai data detail PT. Kwala Gunung yang menurut penulis bahwa PT. Kwala

Gunung juga mempunyai cabang perusahaan. Data PT. Kwala Gunung21

21

yang juga

penulis peroleh adalah sebagai berikut :

Nama Perusahaan : Kwala Gunung, PT.

Alamat Pabrik : Ds. Pkb. Kwala Gunung

Propinsi : Sumatera Utara

Kabupaten : Asahan

Kecamatan : Limapuluh

Telp. Pabrik : 525854

Alamat Kantor : Jl. Hos. Cokroaminoto No. 16 Medan

Telp. Kantor : (061) 525854

Kontak : Toni Lumban Tobing

Jabatan : Administratur

No. KLUI : 15141

Uraian : Ind. Minyak Kasar (Minyak Makan) dari Nabati dan

Hewani

(34)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Produk Utama : CPO

PT. Kwala Gunung sebagai investor yang berniat membuka usaha di bidang

Perkebunan mengajukan permohonan kepada Pemerintah untuk usaha tersebut,

sehingga dikeluarkanlah Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera

Utara Nomor 593.41/2757/K/Tahun 1989, tanggal 27 September 1989. Berdasarkan

Bahan Rapat Tim Teknis Tetap tanggal 3 Desember 1990, permasalahan yang timbul

setelah dikeluarkannya Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara

Nomor 593.41/2757/K/Tahun 1989, yaitu : telah berakhir masa berlakunya, areal

telah dikuasai masyarakat, dan ada sebagian masyarakat yang tidak bersedia

melepaskan tanah dengan ganti rugi. Kemudian, dikeluarkan Keputusan Gubernur

Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 593.41/3785/K/90 Tahun 1990

tentang Izin Lokasi/Penyediaan Tanah untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan

Kelapa Sawit PT. Kwala Gunung.

Berdasarkan Izin Lokasi yang diberikan Gubernur pada tahun 1990, PT. Kuala

Gunung melakukan pembebasan lahan dengan memberikan ganti rugi atas tanah

garapan dan tanaman yang ada di atasnya dengan bukti penerimaan yang

ditandatangani oleh masing-masing pihak. Jumlah ganti rugi yang telah diberikan

oleh PT. Kwala Gunung atas pelepasan lahan masyarakat seluas 212,10 Ha untuk 70

orang masyarakat.

Berdasarkan Izin Lokasi yang diberikan Gubernur pada Tahun 1991, PT. Kwala

(35)

seluas 687,50 Ha yang mengakibatkan peralihan hak atas areal inliving yang semula

merupakan hak pemerintah melalui Dinas Kehutanan menjadi hak PT. Kwala

Gunung. Dari dokumen yang ada diketahui bahwa masyarakat yang pernah

menguasai dan menggarap lahan eks inliving oleh PT. Kwala Gunung telah diberikan

ganti rugi sebesar Rp. 103.283.100,- untuk 51 orang warga.

Berdasarkan Bahan Rapat Kelompok Kerja (Pokja), tanggal 7 Mei 1991, PT.

Kwala Gunung dengan Surat Nomor 60/KG/II/1991, tanggal 4 Maret 1991 memohon

untuk memperoleh Areal Inlijving Kehutanan seluas ± 687,50 Ha di Desa Bosar

Galugur dan Desa Mariah Hombang, Kecamatan Tanah Jawa, Dati II Simalungun

untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Bupati Kepala Daerah Tingkat II

Simalungun dengan Suratnya Nomor 593/2373/Pemum-91, tanggal 13 Maret 1991

menyatakan :

1. Areal inlijving kehutanan seluas ± 687,50 Ha berbatasan langsung dengan

areal izin lokasi/penyediaan tanah untuk perkebunan kelapa sawit PT.

Kwala Gunung, yang saat ini sedang dalam proses pembebasan atau ganti

rugi.

2. Sebagian besar areal tersebut ditumbuhi alang-alang dan sebagian lagi

telah digarap penduduk dengan tanaman palawija.

3. Areal tersebut telah pernah direboisasi oleh pihak Kehutanan dengan

(36)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

4. Pihak kami tidak merasa keberatan dan mendukung permohonan PT.

Kwala Gunung tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan

yang berlaku.

Setelah membaca Surat Permohonan PT. Kwala Gunung Nomor

60/KG/II/1991, tanggal 4 Maret 1991 tentang Permohonan Izin Lokasi/Penyediaan

Tanah pada Areal Inlijving Kehutanan seluas ± 687,50 Ha di Desa Bosar

Galugur/Mariah Hombang, Kecamatan Tanah Jawa, Dati II Simalungun untuk

Keperluan Perkebunan Kelapa Sawit dan Surat Bupati KDH Tk. II Simalungun

Nomor 593/2373/Pemum-91, tanggal 23 Maret 1991 menyatakan tidak merasa

keberatan dan mendukung permohonan PT. Kwala Gunung teersebut sepanjang tidak

bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, maka dikeluarkan Keputusan Gubernur

Nomor 593.41/2807/K/Tahun 1991, tanggal 10 Oktober 1991 tentang Izin

Lokasi/Penyediaan Tanah untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa

Sawit PT. Kwala Gunung, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

a. Bahwa sesuai dengan Pola Dasar Pembangunan Lima Tahun Tahap V

Propinsi Dati I Sumatera Utara guna meningkatkan laju pertumbuhan

ekonomi daerah perlu dikembangkan dan disertakan usaha-usaha swsta

(37)

b. Bahwa penetapan izin lokasi/penyediaan tanah untuk pembangunan pada

areal tanah di luar Kawasan Hutan Tata Guna Hutan Kesepakatan adalah

wewenang Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara.

c. Bahwa guna menjamin kepastian hukum tentang penetapan izin

lokasi/penyediaan tanah untuk pembangunan tersebut perlu dituangkan

dalam suatu Surat Keputusan.

Berdasarkan SK Gubernur KDH Tk. I Nomor 593.41/2807/K/Tahun 1991,

tanggal 10 Oktober 1991 tentang Izin Lokasi/Penyediaan Tanah untuk Keperluan

Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kwala Gunung, maka areal inlijving

seluas ± 2.000 Ha termasuk eks inlijving seluas 687,50 Ha. Oleh PT. Kwala Gunung,

ganti rugi kepada Departemen Kehutanan telah dipenuhi sesuai ketentuan yang

berlaku. Pada tanggal 25 Mei 2006, telah diadakan peninjauan lapangan terhadap

areal izin lokasi, termasuk pada areal inlijving oleh Pemkab Simalungun

bersama-sama dengan PT. Dita. Areal inlijving PT. Kwala Gunung yang di lapangan, sekarang

izinnya sudah beralih kepada PT. Dita, telah diusahai oleh masyarakat pada saat

kunjungan lapangan, tetapi ada masyarakat, yaitu Pak Gultom mengetahui bahwa

areal tersebut memang eks inlijving dan telah pernah menerima ganti rugi dari PT.

Kwala Gunung.

Adapun Izin Lokasi kepada PT. Dita dikeluarkan oleh Bupati Simalungun pada

(38)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

melakukan konsolidasi kepemilikan lahannya di lapangan. Hasil rapat tanggal 7 Juni

2006, akan dibentuk tim dari Kabupaten Simalungun untuk mendata ulang di

lapangan, terhadap areal-areal yang diklaim PT. Dita dan masyarakat. Apabila PT.

Dita memohon untuk rekonstruksi batas eks inlijving dimaksud, maka disarankan

untuk mengikutsertakan Balai Pengukuran dan Perpetaan Kehutanan Wilayah II

Pematang Siantar.

Dan mengenai izin lokasi dapat dijelaskan bahwa izin lokasi atau pencadangan

tanah ialah suatu keputusan izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Kepala Daerah

Tingkat I atau pejabat lain yang berwenang, yang diberikan kepada suatu badan

hukum misalnya, Perseroan Terbatas atau subjek hukum lainnya untuk menguasai

suatu bidang tanah dengan luasan tertentu di suatu lokasi untuk suatu peruntukan

penggunaan tanah yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana

pengembangan suatu wilayah.

Sasaran penerbitan izin lokasi/pencadangan tanah adalah dalam rangka

menunjang pelaksanaan pembangunan pada umumnya dan khususnya setiap tahapan

pelita, untuk menciptakan suatu suasana dan keadaan yang menguntungkan dan serasi

bagi kegiatan-kegiatan pembangunan.

Manfaat izin lokasi/pencadangan tanah, antara lain :

− Mencukupi kebutuhan pengusaha atau pihak lain akan tanah, sehingga

(39)

− Terselenggaranya tertib penguasaan dan penggunaan tanah berdasarkan

peraturan-peraturan perundangan yang berlaku, sehingga tanah yang

tersedia benar-benar dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsi sosialnya.

− Terciptanya tertib hukum dan administrasi pertanahan, sehingga tanah

dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan.

− Terciptanya perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang sinkron

dan terpadu antar satu sektor dengan sektor lainnya dan tidak terjadi

tumpang tindih atau sengketa kepentingan dan peruntukan.

− Terciptanya pengendalian peruntukan dan penggunaan tanah yang tidak

semestinya, sehingga terhindar adanya kerusakan tanah dan

lingkungannya.

Ketentuan-ketentuan mengenai penyediaan tanah untuk keperluan perusahaan

di atas diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974. Peraturan

Menteri Dalam Negeri tersebut mengatur tentang penyediaan dan pemberian tanah

untuk keperluan perusahaan, baik untuk perumahan (real estate) maupun industrial

estate, dan keperluan penyediaan industri dan untuk kepentingan lainnya. Lokasi

perusahaan ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dengan memperhatikan

planologi daerah. Syarat-syaratnya, antara lain :

menghindari areal pertanian subur

(40)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

dihindari pemindahan penduduk

dicegah adanya pencemaran

B. Sengketa Hukum atas Tanah

Timbulnya sengketa hukum atas tanah adalah bermula dari pengaduan suatu

pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik

terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat

memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan

yang berlaku.22

22

Rusmadi Murad, S.H., Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah, Alumni, Bandung, 1999, Hal. 22.

Akan tetapi, dari alasan-alasan tersebut di atas, sebenarnya tujuannya

akan berakhir kepada tuntutan bahwa ia adalah yang lebih berhak dari yang lain

(prioritas) atas tanah sengketa. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa hukum

terhadap sengketa tersebut tergantung dari sifat atau masalah yang diajukan, sehingga

prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu

keputusan.

Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam,

(41)

a. Masalah/persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan

sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas

tanah yang belum ada haknya.

b. Bantahan terhadap suatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai

dasar pemberian hak (perdata).

c. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan

peraturan yang kurang/tidak benar.

d. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis

(bersifat strategis).

Kita sering dibingungkan dengan istilah “masalah” di samping istilah

“sengketa”. Suatu masalah dapat bersifat teknis semata-mata yang penyelesaiannya

cukup berupa petunjuk-petunjuk teknis/instruksi dinas yang biasanya merupakan cara

pemecahan apabila suatu aparat pelaksana menemukan kesulitan teknis peraturan. Ini

adalah fungsi dari Bimbingan Teknis, akan tetapi apabila yang mengajukan usul

tersebut seorang warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh karena suatu

penetapan seorang pejabat, misalnya seorang pemohon hak milik ternyata hanya

dikabulkan dengan Hak Guna Bangunan atau hak lain, maka ini adalah tugas

Pelayanan Masyarakat yang merupakan fungsi penyelesaian sengketa hukum/masalah

(42)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Sengketa pertanahan mencakup jumlah yang cukup besar dan terjadi di seluruh

wilayah Indonesia. Jika dirinci, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa pertanahan

tersebut terdiri dari orang-perorangan, perorangan dengan badan hukum, badan

hukum dengan badan hukum, badan hukum dengan Instansi Pemerintah termasuk di

dalamnya TNI dan Polri serta masyarakat dengan masyarakat. Sedangkan sengketa

pertanahan tersebut dapat dikelompokkan dalam 8 (delapan) tipe, yakni : penguasaan

dan pemilikan tanah, penetapan hak dan pendaftaran tanah, batas/letak bidang tanah,

pembebasan/pengadaan tanah, tanah objek landreform, tuntutan ganti rugi tanah

partikelir, tanah ulayat dan pelaksanaan putusan pengadilan.

Rumitnya penyelesaian kasus pertanahan diakui Kepala BPN sebab sengketa

tanah bersifat sosial, sehingga penyelesaiannya harus ditangani tidak parsial, tetapi

sistematik antara aturan dan kelembagaan. Penyelesaian sengketa akan dilakukan

dengan program Reforma Agraria. Dalam penyelesaian kasus-kasus pertanahan

memang diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan konsisten serta

berkesinambungan. Penyelesaian atas sengketa tanah tidak bisa dilakukan secara

instan.

Sehubungan makin mencuatnya kasus-kasus pertanahan tersebut, Pakar Hukum

Agraria, Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, S.H. MLI., mengusulkan perlunya dibentuk

Pengadilan Ad-hoc (khusus) yang menangani kasus-kasus pertanahan.23 Ide itu sudah

(43)

Maria dari UGM. Menurut Guru Besar Hukum Agraria dari UI ini, kalau kasus

kepailitan bisa dibawa ke Pengadilan Niaga (dalam Pengadilan Negeri), kenapa tidak

bisa dibentuk adanya Pengadilan Khusus Tanah. Apalagi ini menyangkut perdata

khusus yang setengahnya masalah administrasi. Jika diadakan sendiri Pengadilan

Tanah dengan hakim-hakim yang benar-benar terdidik dan menguasai pertanahan,

maka akan lebih baik. Dengan demikian, nantinya tuntutan akan lebih ke materinya,

bukan ke formalitasnya saja. Dengan tuntutan itu pula, hakim-hakim nantinya perlu

ditraining melihat kasus-kasus tanah yang ada. Dalam banyak putusan kasus tanah,

sama sekali tidak mendasar pada substansi hukum tanah, melainkan lebih ke arah

pembuktian, prosedur dan masalah administrasi negara.

Pendapat serupa juga disampaikan anggota DPR, M. Nasir Djamil dan Ny.

Moestokoweni Moerdi, untuk menangani kasus-kasus pertanahan yang makin

meningkat dan kompleks, maka perlu dibentuk Pengadilan Khusus Pertanahan.24

Pasalnya, hampir 90% kasus pertanahan di Indonesia dimenangkan oleh pihak swasta

dan disinyalir hakim-hakim di pengadilan kurang menguasai masalah pertanahan.

Menurut Ny. Moestokoweni, adanya Pengadilan Khusus, maka bisa mempercepat

penyelesaian sengketa pertanahan. Di pihak BPN sendiri juga perlu melakukan

pembenahan-pembenahan, seperti memperbaiki administrasi pertanahan secara on

line system, mempercepat pemetaan tanah dan menghilangkan biaya tinggi, pungli

(44)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Pembentukan Pengadilan Pertanahan sebaiknya dengan dasar hukum keppres,

sifatnya sementara untuk mempercepat penyelesaian sengketa tanah. Dengan adanya

Pengadilan Khusus, maka sengketa bisa cepat diselesaikan sejalan dengan tekad

Pemerintah melakukan Reforma Agraria. Dengan Pengadilan khusus juga diharapkan

para mafia tanah yang selama ini membuat kisruh kasus pertanahan akan bisa

diberantas.

Terkait dengan banyaknya sengketa tanah ini, maka selain Pengadilan Khusus,

juga diperlukan Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA). Lembaga ini di Indonesia

belum ada, sehingga kasus tanah langsung diselesaikan lewat pengadilan. Padahal

dalam proses pengadilan banyak yang dikorbankan, baik waktu, tenaga, pikiran serta

biaya yang mahal, sementara eksekusi tidak bisa langsung dilaksanakan. Alternatif

penyelesaian lewat PSA ini, sebelum suatu kasus masuk ke pengadilan, perlu dibuat

mekanisme PSA. Di antaranya, membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase

pertanahan. Kalau lembaga mediasi mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa,

sedangkan arbitrase melakukan penyelesaian di luar pengadilan, tetapi berkas ada di

pengadilan.

Sebagaimana diketahui, masalah tanah memang merupakan masalah yang sarat

dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk Indonesia,

tanah juga mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis. Sifat

konstan tanah dan terus bertambahnya manusia yang membutuhkan tanah semakin

24

(45)

menambah tingginya nilai tanah. Dalam prakteknya, pengambilalihan tanah untuk

kepentingan umum, baik yang dilakukan Pemerintah maupun swasta sering kali

menjadi salah satu penyebab sengketa atas tanah yang terjadi di hampir seluruh

wilayah Indonesia, baik berupa konflik yang disebabkan oleh pengalihan hak milik

warga atau hak ulayat masyarakat adat untuk kegiatan pembangunan atau investasi

mapun sengketa tanah yang melibatkan pihak aparat seperti TNI dan kepolisian.

Potensi konflik yang diakibatkan sengketa tanah hingga sekarang masih kerap

terjadi. Sengketa tanah berawal dari sisi regulasi dan implementasi yang belum bisa

berjalan dengan semestinya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan suatu

pemikiran kritis dan konstruktif guna mengantisipasi persoalan dan perkembangan

hukum pertanahan. Melalui pemikiran konstruktif dan kritis, maka produk hukum

pertanahan yang dihasilkan diharapkan benar-benar bijak, bertanggung jawab dan

tidak memihak. Untuk menyelesaikan sengketa tanah diperlukan penanganan

menyeluruh dan sistematis.

Nasir Djamil menilai penyebab terjadinya sengketa pertanahan di Indonesia

karena masih lemahnya manajemen pengelolaan tanah. Menurutnya, semua aturan

yang terkait dengan pertanahan perlu ditinjau kembali supaya ke depan tidak terjadi

lagi konflik atau sengketa tanah di masyarakat. Manajemen pengelolaan tanah dan

sistem informasi pertanahan serta regulasi pertanahan (UUPA) masih lemah dan perlu

dilihat kembali. Menurutnya, dalam UUPA ada beberapa pasal yang sudah tidak

(46)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Tidak efektifnya UUPA untuk diterapkan disebabkan lamanya umur UUPA,

perubahan dinamika kehidupan manusia, perkembangan tanah dan besarnya

kepentingan orang akan tanah.

Guna meminimalisir sengketa pertanahan yang kemungkinan dapat terjadi di

kemudian hari, Nasir Djamil mendesak Pemerintah melalui BPN untuk melakukan

pembenahan. Pembenahan yang harus segera dilakukan BPN, yaitu pembenahan

politik dan hukum pertanahan serta pemetaan tanah. Pemetaan tanah menjadi urusan

dari BPN karena berkaitan dengan pengukuran dan menggunakan teknologi untuk

pemetaan tanah. Sementara, untuk pembenahan politik dan hukum, lebih kepada DPR

ikut membantu Pemerintah untuk membuat aturan-aturan agar permasalahan tanah

dapat terselesaikan. Jika dalam perjalanan, ada beberapa kelemahan yang timbul, itu

adalah konsekuensi dari lemahnya UUPA.

Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan

masyarakat, masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan Pemerintah

yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan

Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia, belum ada langkah

PSA. Selama ini, permasalahan sengketa pertanahan selalu diselesaikan di

pengadilan. Persoalan sengketa pertanahan di Indonesia harus sebisa mungkin

dihindari prosesnya di pengadilan. Untuk meningkatkan kinerja BPN, khususnya

dalam meminimalisir kasus sengketa pertanahan, BPN melakukan restrukturisasi

(47)

Pengukuran Tanah. Menurut Nasir Djamil, pengukuran tanah juga sering menjadi

salah satu faktor sengketa tanah.

Munculnya Keppres Nomor 65 Tahun 2006 adalah revisi dari Keppres Nomor

36 Tahun 2005. Keppres Nomor 36 Tahun 2005 mendapat penolakan dari berbagai

kalangan, khususnya para petani. Penolakan atas keppres itu bermunculan karena

dinilai tidak berpihak kepada petani. Alasannya, aturan itu tidak mengakomodasi

kepentingan rakyat. DPR pun memberi rekomendasi agar keppres itu ditunda dan

direvisi. Namun, bagi para petani dan pemerhati hak asasi manusia, revisi itu isinya

setali tiga uang. Sebagaimana pendahulunya, Keppres Nomor 65 Tahun 2006 tetap

dianggap berpihak pada kepentingan kapital, khususnya dunia infrastruktur. Koalisi

lembaga swadaya masyarakat seperti YLBHI, PBHI, KPA, dan FSPI dengan tegas

menolak keppres tersebut. Mereka, misalnya menunjuk Pasal 13 dalam keppres itu

sebagai salah satu contoh ketidakberpihakan Pemerintah terhadap rakyat, khususnya

petani. Pasal itu hanya menyatakan, untuk pelepasan tanah, ganti rugi yang diberikan

bisa berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, dan atau gabungan dari itu

atau bentuk ganti kerugian lain. Padahal, harusnya penggantian kerugian menjamin

mereka yang dirugikan untuk tidak mengalami penurunan kualitas hidup. Ganti

kerugian itu mestinya juga mempertimbangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pemerintah dianggap kurang peka terhadap tuntutan rakyat, khususnya petani

yang membutuhkan tanah. Koalisi LSM itu kemudian merujuk UUPA yang dianggap

(48)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengemukakan, dalam UUPA itu

hak petani untuk memperoleh dan memiliki tanah dijamin. Ada konsolidasi tanah

yang kemudian menjadi subjek Reforma Agraria.

Dalam Pasal 11 misalnya, disebutkan jaminan perlindungan terhadap

kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 13 juga disebutkan bahwa

Pemerintah berusaha agar usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian

rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat. Dalam ayat

berikutnya, bahkan Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan

agraria dari organisasi dan perorangan yang bersifat monopoli swasta.

Gunawan mengungkapkan, UUPA itu memang memberi jaminan kepada rakyat

kecil kepemilikan tanah dan mencegah munculnya tuan tanah.25

25

http://dpr.go.id/majalahparlementaria/index.php?option=com_content&task=view&id=24...

Namun, kelemahan

dari UUPA adalah idiom-idiom sosialisme Indonesia yang tentu saja tidak lagi

berlaku untuk saat ini. Namun, aturan itu dalam banyak hal, tetap cocok untuk saat ini

karena mampu meredam munculnya konflik agraria dan dapat menjadi dasar bagi

strategi pembangunan ekonomi yang lebih luas. Usep Setiawan mengatakan, Keppres

Nomor 65 Tahun 2006 jelas-jelas menjadi karpet merah bagi investor. Keppres

Nomor 65 Tahun 2006 dilihat dalam posisi yang lebih memihak pemilik modal.

Kebijakan itu dilihat sebagai komitmen Pemerintah yang berencana menggelar

(49)

Tahun 2006 itu tampak bahwa semua proyek yang disebutkan dalam pasal itu adalah

proyek-proyek dalam bidang infrastruktur.

Ada beberapa ketentuan peraturan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum

mengenai fungsi penyelesaian sengketa hukum, antara lain Pasal 29 Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan pada Pasal 12 dan 14 Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 serta dasar operasionalnya yang dapat kita

temukan di dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 1981

tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Agraria Propinsi dan Kantor

Agraria Kabupaten/Kotamadya, yaitu pada Pasal 35.

Mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa hukum ini belum diatur

secara konkrit, seperti mekanisme permohonan hak atas tanah (Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973). Oleh karena itu, penyelesaian kasus per kasus

tidak dilakukan dengan pola penyelesaian yang seragam. Akan tetapi, dari beberapa

pengalaman yang ada, pola penanganan ini telah kelihatan melembaga walaupun

masih samar-samar.

Mekanisme penanganan sengketa26

1. Pengaduan

tersebut lazimnya diselenggarakan dengan

pola sebagai berikut :

26

(50)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Dalam pengaduan ini biasanya berisi hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang

menggambarkan bahwa pemohon/pengadu adalah yang berhak atas tanah

sengketa dengan lampirannya bukti-bukti dan mohon penyelesaian

disertai harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya,

sehingga tidak merugikan dirinya.

2. Penelitian

Terhadap penanganan tersebut kemudian dilakukan penelitian, baik

berupa pengumpulan data/administratif maupun hasil penelitian fisik di

lapangan (mengenai penguasaannya). Dari hasil penelitian ini dapat

disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut beralasan atau tidak

untuk diproses lebih lanjut. Jika ternyata terdapat dugaan kuat bahwa

pengaduan tersebut dapat diproses, maka lebih lanjut diselesaikan melalui

tahap tentang kemungkinan dilakukan pencegahan mutatis mutandis

menyatakan tanah tersebut dalam keadaan sengketa. Namun, apabila

pengaduan tersebut mengandung alasan-alasan yang kuat atau

masalahnya terlalu prinsipil dan harus menempuh proses lembaga atau

(51)

tersebut dan ternyata dinyatakan bahwa pengaduan tidak atau belum

dapat dipertimbangkan.

3. Pencegahan Mutasi (Status Quo)

Sebagai tindak lanjut dari penyelesaian sengketa tersebut di atas,

kemudian baik atas dasar petunjuk atau perintah atasan maupun

berdasarkan prakarsa Kepala Kantor Agraria yang bersangkutan terhadap

tanah sengketa, dapat dilakukan langkah-langkah pengamanan berupa

pencegahan/penghentian untuk sementara terhadap segala bentuk

perubahan (mutasi). Maksud dari pencegahan adalah menghentikan untuk

sementara segala bentuk perubahan. Kegunaannya yang pertama adalah

untuk kepentingan penelitian di dalam penyelesaian sengketa (status quo).

Kalau tidak demikian, penyelesaian sengketa akan mengalami kesulitan

di dalam meletakkan keputusannya nanti. Misalnya, tanah yang dalam

keadaan sengketa diperjualbelikan, sehingga keputusannya akan

merugikan pihak pembeli yang beritikad baik. Kegunaan yang kedua

adalah untuk kepentingan pemohon sendiri. Sebab apabila tidak

dilakukan penghentian, sudah tentu pengaduan tersebut tidak akan ada

(52)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Istilah-istilah sehubungan dengan pencegahan kita mengenal istilah

“pembeslahan”, biasanya dalam kaitannya dengan proses di pengadilan.

“penyegelan” yang lazim dipergunakan oleh instansi kepolisian atau

kejaksaan untuk keperluan penyidikan dan istilah “pemblokiran”, yaitu

istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat umum, yang maksud dan

artinya adalah sama dengan pencegahan mutasi.

Yang berwenang untuk menyatakan atau memerintahkan pencegahan

mutasi menurut ketentuan peraturan yang berlaku adalah :

1. Menteri Dalam Negeri ic. Direktur Jenderal Agraria

2. Instansi pengadilan sehubungan dengan penetapan suatu sita terhadap

tanah (PP Nomor 10 Tahun 1961)

3. Secara tidak langsung instansi lain yang berkepentingan dengan

perizinan bangunan atau instansi penyidikan (kepolisian, kejaksaan).

Yang terakhir, di dalam menempatkan pemblokiran atau pembeslahan

seyogianya memberitahukan hal tersebut kepada Instansi Agraria, akan

tetapi sering hal itu jarang dilaksanakan, sehingga sering menimbulkan

kesulitan penyelesaian.

Syarat-syarat untuk dapat dilakukan pencegahan untuk menjamin

(53)

a. Terdapat alasan yang sah, misalnya si pemohon atau pengadu akan

terancam haknya, apabila tidak dilakukan pencegahan.

b. Demi kepentingan hukum perlu dilakukan pencegahan untuk

menjamin kelancaran pemeriksaan atau penelitian.

Apabila syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, misalnya si pengadu ternyata

tidak mempunyai kepentingan terhadap tanah yang bersangkutan, maka

pengaduan tersebut harus dijawab dengan memberikan pertimbangan

penolakan.

4. Musyawarah

Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa

sering berhasil di dalam usaha penyelesaian sengketa dengan jalan

musyawarah. Tindakan ini tidak jarang menempatkan pihak Instansi

Pemerintah ic. Direktur Jenderal Agraria untuk menempatkan dirinya

sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan.

Untuk itu, diperlukan sikap tidak memihak serta tidak melakukan

tekanan-tekanan, akan tetapi tidak berarti bahwa mediator tersebut harus

bersikap pasif. Pihak Agraria harus mengemukakan beberapa cara

penyelesaian, menunjukkan kelemahan-kelemahan serta

(54)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

Musyawarah ini apabila dilakukan, harus pula memperhatikan tata cara

formal seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta

atau pernyataan perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak

maupun pihak ketiga. Hal-hal semacam ini biasanya kita temukan dalam

akta perdamaian, baik yang dilakukan di muka hakim maupun di luar

pengadilan atau notaris.

5. Penyelesaian melalui Pengadilan

Apabila usaha-usaha musyawarah tersebut mengalami jalan buntu, atau

ternyata ada masalah-masalah prinsipil yang harus diselesaikan oleh

instansi lain yang berwenang misalnya pengadilan, maka kepada yang

bersangkutan disarankan untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan.

Hal tersebut di atas tidak menutup kemungkinan bagi Instansi Agraria

untuk dapat memutuskan sengketa dengan mengeluarkan suatu keputusan

administrasi sesuai dengan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan

peraturan perundangan yang berlaku. Jadi, pada umumnya sifat dari

sengketa ini adalah karena adanya pengaduan yang mengandung

pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu

kesempatan/prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan

(55)

Adakalanya pihak warga yang bersangkutan tidak dapat menerima suatu

keputusan/kebijaksanaan yang ditetapkan Pemerintah dengan alasan antara lain:

penetapan tersebut memiliki kekurangan dan dipandang tidak adil, sehingga sangat

merugikan dirinya. Dasar yang digunakan sebagai alasan gugatan di pengadilan

biasanya berupa dalil bahwa Pemerintah di dalam menerbitkan keputusan tersebut,

telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overhidsdaad). Gugatan

atau tuntutan warga masyarakat terhadap Pemerintah ini pada hakekatnya merupakan

salah satu jenis sengketa di bidang hukum administrasi.

Sering dipersoalkan, lembaga lembaga peradilan mana yang berwenang

memeriksa gugatan seperti tersebut di atas. Yurisprudensi menjawab masalah ini

dengan pendapat bahwa selama lembaga peradilan administrasi negara belum

dibentuk, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa gugatan-gugatan

tersebut, dengan menggunakan hukum acara yang berlaku bagi pengadilan tersebut

(Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 28/JS/1983G).

Sebagaimana diketahui, hukum acara bagi pemeriksaan sengketa-sengketa

perdata dengan berpedoman kepada HIR, R.bg dan RV (Surat Edaran Mahkamah

Agung Tahun 1963) timbul suatu keganjilan, yaitu terhadap materi gugatan yang

menyangkut hukum administrasi, akan tetapi diselenggarakan dengan menggunakan

ketentuan hukum acara perdata.

Di dalam Ilmu Hukum, yang dimaksud dengan hak pada hakekatnya adalah

(56)

Irianti Sitinjak : Penuntutan Pengembalian Tanah Yang Telah Diganti Rugi Oleh PT. Kwala Gunung Kepada

maupun orang, sehingga di antaranya menimbulkan hubungan hukum. Jadi, apabila

seseorang memperoleh hak atas tanah, maka terhadap orang tersebut telah melekat

kekuasaan atas tanah tersebut dengan dibatasi kewajiban yang diperintahkan oleh

hukum. Pembatalan pada dasarnya adalah suatu perbuatan yang bermaksud

memutuskan, menghentikan atau menghapuskan suatu hubungan hukum. Di dalam

hukum (peraturan) kita mengenal ajaran kebatalan (nietigheid, nulliteit), yaitu yang

membedakan antara pengertian :

1. Kebatalan mutlak dari suatu perbuatan atau juga disebut kebatalan demi

hukum, yaitu suatu perbuatan harus dianggap batal meskipun tidak

diminta oleh suatu pihak atau tidak perlu dituntut secara tegas. Ini disebut

absolute nietigheid.

2. Kebatalan nisbi adalah suatu kebatalan perbuatan yang terjadi apabila

diminta oleh orang tertentu. Jadi, ada syarat bagi orang tersebut untuk

memohon/menuntut secara tegas. Ini disebut relatif nietigheid.

Biasanya tuntutan yang diajukan oleh salah satu pihak karena cacat hukum

berupa paksaan, kekeliruan, penipuan, dan lain-lain. Pembatalan nisbi ini terbagi

menjadi dua macam, yaitu :

1. Batas atas kekuatan sendiri (nietig van rechtswege), dimana kepada

hakim dimintakan agar menyatakan batal (nietig verklaard) misalnya,

Gambar

Tabel deklinasi matahari

Referensi

Dokumen terkait