• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suatu Tinjauan Terhadap Disenting Opinion Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Suatu Tinjauan Terhadap Disenting Opinion Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya, Bandung, 1996.

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Mandar Maju, Bandung, 1999.

Edy Putra Tje ‘Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberti, 1985.

Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1995.

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditya Bakti, Bandung:, 1996.

Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, Alumni, Bandung, 2001.

(2)

____________, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Tentang Kepailitan, CV. Mandar Maju, Jakarta: 1999.

Mohammad Chaidir Ali, et al, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Mandar Maju, Bandung, 1995.

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum, Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii, Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri, Denpasar, 14 -18 Juli 2003.

Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, 2008.

Rudhy A. Lontoh, dkk, Penyelesaian Utang Piutang, Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.

Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Liberty, Yogyakarta, 1981.

Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991

(3)

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 1990.

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1991.

B. Internet:

Diani, Eksistensi Pengadilan Niaga Dan Perkembangannya Dalam Era Globalisasi, Direktorat Hukum Dan Hak Asasi Manusia, http\\www.google.com.dessendingopinion.

http://www.kompas.com/kompas-cetak, Selasa, 29 Mei 2001.

Kompas, Dissenting Opinion Masuk RUU Kepailitan Baru, Jakarta, Sabtu, 24 Juni 2000, http\\www.google.com.dessendingopinion.

M. Hadi Shubhan, Dissenting Opinion Putusan Akbar, http\\www.google. dissentingopinion.com.

Raymont Ali, Perlukah Disenting Opinion di MA, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Jakarta, 2010.

Sie Infokum – Ditama Binbangku, “Dissenting Opinion”,

Sunarmi, “Dissenting Opinion Sebagai Wujud Transparansi Dalam Putusan

(4)

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebagai perbaikan terhadap Undang-Undang Kepailitan sebelumnya membawa beberapa perubahan penting. Diantaranya adalah pembentukan pengadilan niaga sebagai wadah untuk menyelesaikan perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pembentukan pengadilan niaga merupakan terobosan fenomenal diantara berbagai upaya lainnya. Pembentukan pengadilan niaga merupakan suatu langkah awal bagi reformasi peradilan untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang perekonomian.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Pengadilan Niaga perlu dibentuk. Salah satunya adalah keadaan ekonomi Indonesia saat itu yang diperkirakan akan mengalami lonjakan besar kasus kepailitan. Pembentukan Pengadilan Niaga juga dimaksudkan sebagai model percontohan bagi Pengadilan Indonesia yang dapat bekerja secara baik dan tertib.27

Rencana untuk memiliki institusi sejenis Pengadilan Niaga telah bergulir sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 mengenai Kekuasaan Kehakiman. Selain membagi kekuasaan pengadilan di 4 (empat) lingkungan peradilan, menurut undang-undang ini juga tidak tertutup kemungkinan diadakannya suatu pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) di masing-masing lingkungan peradilan. Misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya sesuai dengan aturan dalam Undang Undang. Hal senada juga ditegaskan dalam Pasal 8 UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum mengenai Peradilan Umum yang menyebutkan bahwa dalam lingkungan peradilan umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dalam UU. Pengkhususan inilah yang kini diwujudkan dalam bentuk Pengadilan Niaga yang kita kenal saat ini.

27

Ibid, hal. 11.

(5)

Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa Pengadilan Niaga lebih diperlakukan sebagai pengkhususan pengadilan seperti yang dicontohkan oleh Pengadilan Anak daripada pengadilan pengkhususan seperti yang dicontohkan oleh Pengadilan Ekonomi di tahun 1955. Dengan demikian tak heran apabila sistem pendukung pengadilan seperti sistem kepegawaian hakim, sistem kepegawaian staf-staf pengadilan lainnya, dan sistem pengadaan infrastruktur pengadilan tunduk pada peraturan yang berlaku di Peradilan Umum.28

Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 pendirian Pengadilan Niaga diatur, yaitu dalam Pasal 1 angka 7 yang menjelaskan “Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalammlingkungan peradilan umum”. Pembentukan Pengadilan Niaga adalah dipisahkannya yurisdiksi untuk memeriksa permohonan pailit dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Niaga. Undang-undang mengatur bahwa dengan dibentuknya Pengadilan Niaga, maka permohonan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang hanya dapat diperiksa oleh Pengadilan Niaga.

Kecenderungan ini bukan saja diberlakukan pada Pengadilan Niaga saja tetapi juga pada semua Pengadilan baru lain yang merupakan pengkhususan dari 4 lingkup Pengadilan pada UU No. 48 Tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 diterjemahkan sebagai suatu pengkhususan pada prosedur suatu perkara tertentu saja tanpa kekhususan lain pada sistem pendukung Pengadilan tersebut. Keadaan ini dianggap telah melenceng dari tujuan awal semula yang memaksudkan Pengadilan Niaga untuk mendekati contoh pengkhususan Pengadilan Ekonomi, dengan segala perangkat istimewa untuk mengatasi perkara-perkara niaga yang dikhawatirkan dan diperkirakan akan membludak akibat krisis ekonomi di Indonesia pada saat itu.

28

(6)

F. Kompetensi Absolut Pengadilan Niaga

Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan yang dimiliki. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah Pengadilan umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan pendaftaran merek. Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara tersebut.

(7)

pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.

Debitor yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.29

G. Dissenting Opinion

Dissenting opinion adalah perbedaan pendapat hakim dalam memutus suatu perkara. Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih hakim yang memutus perkara, merupakan satu kesatuan dengan putusan itu karena hakim itu kalah suara atau merupakan suara minoritas hakim dalam sebuah majelis hakim.

Dissenting opinion ini merupakan hal baru dalam sejarah peradilan Indonesia. Setidak-tidaknya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. “Pertama kali

dissenting opinion diperkenalkan dalam peradilan niaga yang menangani kepailitan, kemudian diikuti Mahkamah Konstitusi, dan yang terakhir peradilan umum juga sudah mulai mengikuti dissenting opinion ini”.30

Dalam pengambilan putusan akhir, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di antara majelis hakim itu. Jika terjadi

Filosofi adanya lembaga hukum dissenting opinion adalah untuk memberikan akuntabilitas kepada masyarakat pencari keadilan (justiabelen) dari para hakim yang memutus perkara. Seperti diketahui, mayoritas perkara pengadilan diputus oleh sebuah majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim atau lebih.

29

Ibid., hal. 159. 30

(8)

perbedaan pendapat, maka putusan diambil berdasar suara terbanyak. Doktrin dissenting opinion lahir Jerman”,31

Kendati sudah ada beberapa putusan dengan dissenting opinion, hal ini relatif baru dalam sejarah peradilan di Indonesia dan merupakan lompatan besar dalam dunia hukum. Dikatakan baru karena di peradilan umum, yakni peradilan yang menangani perkara pidana dan perdata, baru ada dua putusan dengan

dissenting opinion dan itu baru terjadi tahun terakhir ini serta saat ini dalam putusan Tandjung. Yang menarik, dalam peradilan umum kini sudah ada dua putu-san hakim yang di dalamnya terdapat dissenting opinion, dan keduanya dalam kasus mega korupsi. Putusan yang pertama adalah kasus cessie Bank Bali dengan terdakwa Joko Chandra, hakim agung yang mengeluarkan

dissenting opinion adalah Artidjo Alkostar.

dan berkembang dalam negara-negara yang menggunakan sistem hukum Common Law, seperti di AS dan Inggris. “Doktrin itu lalu diadopsi negara-negara yang menganut sistem hukum kontinental, seperti Indonesia, Belanda, Perancis, dan

Sebagaimana terjadi saat ini, tidak jarang hakim yang mempunyai integritas tinggi selalu kalah dalam voting musyawarah majelis hakim. Terhadap hakim yang mempunyai perbedaan pendapat ini disediakan sarana untuk mengungkapkan perbedaan pendapatnya yang disertai argumentasi yuridisnya dan merupakan satu-kesatuan dengan putusan, yang istilah teknis yuridisnya disebut dissenting opinion. Pada masa sebelum adanya dissenting opinion ini, hakim yang mempunyai pendapat berbeda dengan majelis tidak dapat mengemukakan pendapatnya tersebut dalam putusan sehingga pihak luar tidak akan pernah tahu apakah ada perbedaan pendapat ataukah tidak.

Sejarah peradilan hukum di Indonesia, sebelum putusan Akbar Tandjung ini, setidaknya sudah ada tujuh putusan hakim yang di dalamnya terdapat dissenting opinion. Lima putusan dari peradilan niaga, satu putusan dari peradilan umum, dan yang terakhir satu putusan dari Mahkamah Konstitusi.

31

(9)

Putusan kedua adalah putusan Tandjung, di mana Hakim Agung Abdul Rachman Saleh membuat dissenting opinion yang intinya menganggap Tandjung melakukan perbuatan melawan hukum secara materiil. Dissenting opinion pertama kali lahir di Indonesia tidak mempunyai landasan yuridis formal. Ia lahir karena praktik hakim yang berkembang. Pertama kali lahirnya

dissenting opinion dalam pengadilan niaga. Sampai saat ini sudah ada lima putusan pengadilan niaga yang memuat dissenting opinion itu. Dalam peradilan niaga sekarang sudah ada landasan yuridis untuk adanya dissenting opinion itu, yakni diatur dalam sebuah Peraturan Mahkamah Agung.

Pada negara–negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika dan Inggris, Pendapat atau Opini di bidang hukum biasanya merupakan penjelasan tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis tersebut menyatakan peranan Para Hakim dalam menyelesaikan perkara. Penjelasan Tertulis tersebut dibuat berdasarkan pada rasionalitas dan prinsip hukum yang mengarahkan mereka kepada peraturan yang dibuat. Pendapat biasanya diterbitkan dengan arahan dari pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan tentang apa itu hukum dan bagaimana seharusnya hukum tersebut diinterpretasikan. Para Hakim Pengadilan tersebut biasanya kemudian melakukan penegakkan kembali, perubahan, dan penerbitan terhadap hal-hal yang dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan dalam hukum.

Pendapat atau Opini dalam hukum tersebut dikenal dengan istilah Legal Opinion. Legal Opinion dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai pendapat hukum. Pada negara–negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon,

Legal Opinion tersebut terdiri dari :

1. Judicial Opinion adalah pernyataan atau pendapat atau putusan hakim di dalam memutuskan perkara atau kasus, baik kasus perdata maupun pidana.

2. Majority Opinion adalah pendapat hakim yang disetujui oleh mayoritas dari para hakim pengadilan.

(10)

4. Plurality Opinion adalah pendapat yang berasal dari suatu kelompok dari lingkungan peradilan, yang kerapkali dalam pengadilan banding, dimana tidak terdapat pendapat tunggal yang diterima yang didukung oleh kelompok mayoritas di pengadilan.

5. Concuring Opinion adalah pendapat tertulis dari beberapa hakim pengadilan yang setuju dengan kelompok mayoritas di pengadilan tetapi menuangkannya dengan cara yang berbeda.

6. Memorandum Opinion adalah pendapat yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan tertinggi kepada lembaga peradilan yang lebih rendah berupa catatan atau memo.32

Namun, dalam kajian singkat ini akan dibahas lebih jauh tentang

Dissenting Opinion. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya Dissenting Opinion

adalah merupakan perbedaan pendapat yang terjadi antara Majelis Hakim yang menangani suatu kasus tertentu dengan Majelis Hakim lainnya yang menangani kasus tertentu lainnya. Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam hukum acara berjumlah 3 (tiga) orang, dari ketiga orang anggota majelis hakim ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan. Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia.

Dissenting Opinion itu sendiri lebih sering digunakan di negara-negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris. Pada Sistem Hukum tersebut Dissenting Opinion digunakan

32

(11)

jika terjadi perbedaan pendapat antara seorang Hakim dengan Hakim lain yang putusannya bersifat mayoritas. Pendapat Hakim yang berbeda dengan putusan tersebut akan ikut dilampirkan dalam putusan dan menjadi Dissenting Opinion. Di Amerika Serikat yang menjadi perdebatan oleh para hakim adalah kasus yang diperiksa. Hal tersebut dimaksudkan agar terciptanya suatu hukum baru karena secara prinsip para hakim tersebut berpegang teguh pada pemikiran

Judge Made Law. Dimana para hakim tersebut dituntut untuk senantiasa dapat menjawab dan memberikan kepastian hukum terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dalam masyarakat.

Berlainan halnya dengan sistem Eropa Kontinental yang bersifat tetap, dimana dalam proses peradilannya tidak menggunakan sistem juri tetapi segala sesuatunya kembali kepada ketentuan undang-undang, sehingga yang diperdebatkan oleh para hakim seharusnya adalah pasal-pasal dalam undang-undang yang didakwakan kepada terdakwa. Namun, sebenarnya pada negara– negara yang menganut sitem hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia dan Belanda, penerapan Dissenting Opinion sangatlah tidak mungkin untuk dilakukan karena tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dan juga terdapat ketentuan dalam Buku II MA yang melarang penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Walaupun demikian Dissenting Opinion itu sendiri bukan merupakan suatu hal yang baru khususnya dalam komunitas masyarakat hukum yang secara tatanan keilmuan telah mempelajari teori – teori maupun aplikasinya dalam bidang hukum. Meskipun bukan merupakan suatu hal yang baru dalam tatanan teori maupun praktek hukum, namun dirasakan sangatlah perlu untuk diberikan suatu perspektif yang jelas tentang penggunaan mekanisme Dissenting Opinion.

(12)

bisa disebut adil apabila setiap hakim bisa menggunakan haknya untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas, terbuka dan jujur dengan tentunya menggunakan pertimbangan hukum, sampai dihasilkan satu putusan yang bersifat kolektif.

Indonesia istilah Dissenting Opinion mulai mencuat dikarenakan kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh Mahkamah Agung (MA). Namun, sampai saat ini di negara kita belum ada aturan yang khusus mengatur tentang

Dissenting Opinion tersebut. Untuk itu diperlukan adanya peraturan tentang Pelaksanaan Dissenting Opinion dalam Hukum Acara Pidana. Hal ini dapat dilakukan dengan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP (UU. Nomor 8 Tahun 1981) yang didalamnya tidak mengatur tentang

Dissenting Opinion itu sendiri. Di negara Indonesia keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang berbeda dalam putusan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Kemudian pada ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan Dissenting Opinion pada Lembaga-Lembaga Yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencatuman Dissenting Opinion itu sendiri. Perbedaan tersebut dapat ditemukan pada Pengadilan Niaga dan pada Mahkamah Konstitusi :

1. Pada Pengadilan Niaga, model pencatuman Dissenting Opinion terpisah dari putusan.

2. Pada Mahkamah Konstitusi, Dissenting Opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.33

33

(13)

Diperlukan penyeragaman model pencatuman Dissenting Opinion dalam suatu peraturan yang khusus mengatur tentang Dissenting Opinion tersebut. Namun, sebelum memasukkan Dissenting Opinion dalam Peraturan Perundang-Undangan kita terlebih dahulu harus mengetahui adakah nilai-nilai positif atau manfaat yang dapat kita peroleh dari penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Apakah Dissenting Opinion dapat bermanfaat bagi perkembangan hukum negara kita. Pada Kenyataanya keinginan memasukan Dissenting Opinion

dalam KUHAP di latarbelakangi oleh karena Dissenting

Opinion dirasakan mempunyai manfaat dan nilai-nilai positif yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengontrol Hakim.

Nilai-nilai positif yang bisa diambil dari pelaksanaan Dissenting Opinion, yaitu :

1. dapat diketahui pendapat Hakim yang berbobot, dalam upaya hukum banding atau kasasi akan menjadi pertimbangan pendapat Hakim mana dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi tersebut.

2. sebagai indikator untuk menetukan jejang karir Hakim, karena dari sinilah dapat dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan, sehingga untuk mengukur prestasi Hakim tidak hanya dilihat dari segi usia dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi Hakim berdasarkan kualitas putusan Hakim.

3. sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat terhadap praktek Korupsi,Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan Mafia Peradilan.

4. dengan Dissenting Opinion dapat diketahui apakah putusan Hakim tersebut sesuai dengan Aspirasi Hukum yang berkembang dalam masyarakat.

5. Dissenting Opinion juga dapat dipakai untuk mengatur apakah suatu Peraturan Perundang-Undangan cukup responsif.

(14)

pengadilan. Karena jika tidak, maka Dissenting Opinion tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat karena masyarakat tidak dapat mengetahui dan menilai pendapat Hakim yang berbeda dengan putusan.

Di Indonesia terdapat 2 (dua) contoh penggunaan Dissenting Opinion

dalam sejarah peradilan ditingkat kasasi yaitu :

1. Dissenting Opinion yang dilakukan oleh Hakim Agung, Artidjo Alkostar pada kasus Bank Bali pada akhir Juni 2001. Putusan Majelis Kasasi yang membebaskan Joko S. Tjandra terdakwa tindak korupsi dalam kasus Bank Bali. Sebagai anggota Majelis, Artidjo mengeluarkan Dissenting Opinion atas putusan yang didukung dua anggota Majelis lain tersebut. Dissenting Opinion Artidjo sebenarnya tidak dicantumkan dalam berkas putusan, namun dengan inisiatif sendiri Hakim Agung nonkarier itu membeberkan isi perbedaan pendapat itu kepada masyarakat, khususnya pers.

2. Contoh lainnya terjadi sekitar April 2002. Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan kasasi yang disertai Dissenting Opinion yaitu menolak permohonan kepailitan oleh PT. Bank Niaga Tbk terhadap PT Barito Pacific Timber Tbk. Maju selangkah dibandingkan dengan perkara Bank Bali, putusan Majels untuk perkara kepailitan ini secara tegas mencantumkan pendapat seorang Hakim Agung yang berbeda sebagai Dissenting Opinion, namun sayangnya nama si Hakim Agung tidak disebutkan.34

Kedua contoh tersebut di atas, meski masih bersifat terobosan baru, namun dapat dijadikan titik awal untuk pemberlakuan sistem Dissenting Opinion di lingkungan peradilan MA. Dissenting Opinion itu sendiri sebenarnya merupakan satu aspek hukum yang juga perlu untuk dikritisi guna mencegah terbentuknya opini yang keliru di kalangan masyarakat. Hal tersebut

34

(15)

disebabkan karena dewasa ini sudah mulai terbentuk persepsi bahwa Dissenting Opinion adalah suatu rekayasa hukum, yang bukannya berupaya menegakkan supremasi hukum tetapi malah menjadi media yang memberi kesempatan bagi para terdakwa korupsi (bahkan para Koruptor-Koruptor Kakap) terlepas dari jeratan pidana. Misalnya kasus Korupsi Akbar Tandjung. Akbar Tandjung didakwa sebagai terdakwa utama dalam kasus penggelapan dana Bulog, tetapi justru dapat menghirup udara kebebasan, sedangkan pihak-pihak yang bukan merupakan terdakwa utama malah mendekam di dalam penjara. Hal tersebut dikarenakan kontribusi Majelis Hakim tingkat kasasi yang ternyata terdapat perbedaan pendapat. Oleh karena itu, dipandang sangatlah perlu untuk segera dirampungkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang salah satu pasalnya direncanakan mengatur tentang Dissenting Opinion. Dengan demikian, diharapkan agar Dissenting Opinion tersebut dapat diterapkan dengan baik oleh Para Hakim pada Lembaga-Lembaga Yudikatif, dalam rangka menegakkan supremasi hukum khususnya dalam menciptakan transparansi informasi di dunia peradilan di Indonesia.

H. Pengaturan Dissenting Opinion

Perkembangan selanjutnya diikuti peradilan lain, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi. Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 pada Pasal 45 angka 10) diatur secara eksplisit bahwa hakim konstitusi yang berbeda pendapat dapat menyertakan perbedaan pendapatnya dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Sejauh ini sudah ada dua putusan Mahkamah Konstitusi yang di dalamnya memuat dissenting opinion. Jadi dalam Mahkamah Konstitusi pun, doktrin dissenting opinion

sudah mendapat legalitas kuat dan tersurat.

(16)

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (yang baru) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang sudah disetujui DPR pada tanggal 18 Desember 2003, khususnya Pasal 19 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung , sudah diatur eksistensi

dissenting opinion itu. Kendati sudah diamanatkan UU, namun MA sampai saat ini belum mengeluarkan peraturan teknisnya.

Dianutnya lembaga dissenting opinion dalam beberapa putusan pengadilan menunjukkan perubahan yang cukup signifikan dalam proses hukum acara di Indonesia. Putusan-putusan pengadilan yang menerapkan

dissenting opinion antara lain dalam perkara kepailitan antara PT. Bank Niaga Tbk v. PT Barito Pacific Timber Tbk, kasus cessie di Bank Bali dengan terdakwa Joko Chandra, kasus Akbar Tanjung, kasus Thio Liong San alias San San (46) warga Jalan Niaga Jamblang Kabupaten Cirebon, akhirnya divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan, dalam persidangan yang digelar Pengadilan Negeri (PN) Cirebon.35

Selain itu dalam perkara kepailitan ada dijumpai beberapa perkara kepailitan yang mengandung dissenting opinion di antaranya yaitu Judicial Review UU Kepailitan dan PKPU (Putusan nomor 071/PUU-II/2004 tentang uji materiil (judicial review) UU Kepailitan.36

Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memuat pula: Di bidang hukum kepailitan, perkembangannya di Indonesia menunjukkan perubahan yang cukup signifikan sejak zaman Hindia Belanda sampai lahirnya UU No. 37 Tahun 2004. Salah satu perubahan yang diperkenalkan adalah lembaga “dissenting opinion” dalam penyelesaian perkara kepailitan. Pasal 8 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004 yang menentukan:

35

Sunarmi, “Dissenting Opinion Sebagai Wujud Transparansi Dalam Putusan Peradilan”,

36

(17)

1. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 2. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau

ketua majelis.

Ketentuan Pasal 8 ayat (6) secara tegas memuat Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis. Ketentuan Pasal 8 ayat (6) ini mengartikan bahwa dissenting opinion sebagai pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.

Di Indonesia, dissenting opinion pertama kali lahir tidak mempunyai landasan yuridis formal karena praktek hakim yang berkembang. Pertama kalinya dissenting opinion ini memiliki landasan yuridis di dalam UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998.

Sudah ada ada lima putusan pengadilan niaga yang memuat dissenting opinion. Selanjutnya terdapat dalam 2 (dua) Undang-undang bidang Kehakiman yaitu Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 19 ayat (4) dan ayat (5) mengatur tentang

dissenting opinion yaitu: Ayat (4): Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Ayat (5): Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

(18)

tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Bagaimanapun, sebuah putusan bisa disebut adil apabila setiap hakim bisa menggunakan haknya untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas, terbuka dan jujur dengan menggunakan pertimbangan hukum, sampai dihasilkan satu putusan kolektif.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan yaitu:

1. Raw in-put, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan suku, agama, pendidikan informal dan sebagainya.

2. Instrumental in-put, faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal.

3. Environmental in-put, faktor lingkungan, sosial budaya yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan seorang hakim, umpamanya lingkungan organisasi dan seterusnya.37

Apabila diperinci maka faktor-faktor tersebut dibagi atas faktor subjektif dan faktor objektif yaitu: Pertama, Faktor subjektif yaitu: (a) Sikap prilaku yang apriori, adanya sikap seorang hakim yang sejak semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana. (b) Sikap perilaku emosional, putusan pengadilan akan mempengaruhi sifat seorang hakim. Hakim yang mempunyai sifat mudah tersinggung akan berbeda dengan sifat seorang hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula dengan putusan dari seorang hakim yang mudah marah dan pendemdam akan berbeda dengan putusan seorang hakim yang sabar. (c) Sikap arrogance power, sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah kecongkakaan kekuasaan. Di sini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain (Jaksa, Pembela apalagi Terdakwa). (d) Moral, moral seorang hakim sangat berpengaruh karena bagaimanapun juga

37

(19)

pribadi seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut terlebih dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara.

Kedua, Faktor objektif yaitu: (a) Latar belakang budaya, Kebudayaan, agama, pendidikan seorang hakim tentu ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Meskipun latar belakang hidup budaya tidak bersifat determinis, tetapi faktor setidak-tidaknya mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu keputusan. (b) Profesionalisme, Kecerdasan serta profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi keputusannya. Perbedaan suatu pengadilan sering dipengaruhi oleh profesionalisme hakim tersebut

Dalam konteks peradilan kasasi, terutama pada perkara-perkara yang mendapat perhatian masyarakat, sistem dissenting opinion pada berkas putusan patut diterapkan, sebagai wujud transparansi informasi di dunia peradilan kasasi di Mahkamah Agung. Di pihak lain, masyarakat sepatutnya mau dan mampu menghargai apapun putusan yang diambil Majelis Kasasi, dan tidak perlu bersikap reaktif misalnya dengan membuat pandangan bersifat menyudutkan, yang tidak ada dasar hukumnya, kecuali menemukan kejanggalan pada putusan tersebut

Istilah dissenting opinion mulai berkembang sejak perkara-perkara kepailitan di Pengadilan Niaga menerapkan pendapat yang berbeda dalam menyelesaikan perkara. Selanjutnya dalam perkara Akbar Tanjung juga terdapat pendapat yang berbeda dari majelis hakim yang menangani perkara tersebut.

Mahkamah Konstitusi juga menerapkan dissenting opinion dalam

(20)

Dalam putusannya itu, MK mengabulkan sebagian permohonan, sedangkan sebagian lagi ditolak. Dalam putusan tersebut, ada seorang hakim MK mengajukan perbedaan pendapatnya (dissenting opinion). Undang-Undang yang diuji materiilkan adalah Undang Nomor 37 Tahun 2004. Undang-Undang itu mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Dalam pengujian materiil tersebut, Undang-Undang Kepailitan ini diuji terhadap UUD 1945. Permohonan uji materiil Undang-Undang Kepailitan ini disampaikan ke MK pada 22 Desember 2004. Para pemohon adalah Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia (YLKAI), Aryunia Candra Purnama dan Suharyanti.

Dari sembilan hakim Konstitusi, satu hakim berbeda pendapat. Ia adalah Laica Marzuki. Menurutnya, keterlibatan Menteri Keuangan dalam Pasal 2 ayat (5) itu bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata). Bahkan, secara konstitusional, Laica beranggapan, persyaratan prosedural tersebut mengandung perlakuan diskriminatif yang bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945. Menurut Laica, keterlibatan Menteri Keuangan dipandang sebagai upaya perlindungan tata usaha negara. Intervensi Menteri Keuangan dalam penundaan kewajiban pembayaran utang, menurutnya, dimaksudkan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian. Menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum dari para pemohon, Lucas menyatakan kekecewaannya. ''Putusan ini kami nilai jauh dari keadilan dan tidak memberikan perlindungan kepada masyarakat konsumen asuransi, orang-orang kecil untuk dapatkan keadilan lewat pengadilan niaga.38

Preseden lain yang tercipta di MA terjadi sekitar April 2002. MA mengeluarkan putusan kasasi yang disertai dissenting opinion yaitu menolak

38

(21)

permohonan kepailitan oleh PT. Bank Niaga, Tbk terhadap PT. Barito Pacific Timber, Tbk. Maju selangkah dibandingkan dengan perkara Bank Bali, putusan Majelis untuk perkara kepailitan ini secara tegas mencantumkan pendapat seorang Hakim Agung yang berbeda sebagai dissenting opinion, namun sayangnya nama si Hakim Agung tidak disebutkan. 39

BAB IV

KEBERADAAN DISSENTING OPINION DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN

Dari implementasi dissenting opinion diketahui bahwa sebelum putusan Akbar Tanjung, setidaknya sudah ada tujuh putusan hakim yang di dalamnya terdapat dissenting opinion. Lima dari pengadilan niaga, satu putusan dari peradilan umum, dan yang terakhir satu putusan dari Mahkamah Konstitusi.. Meskipun sudah ada beberapa putusan yang mengandung dissenting opinion, namun hal ini relatif baru dalam sejarah penyelesaian perkara di Indonesia dan merupakan suatu lompatan hukum.

C.Sebab Timbul Dissenting Opinion Dalam Perkara Kepailitan

Tentang sebab timbulnya dissenting opinion dalam perkara kepailitan

39

(22)

adalah sebagai berikut:

7. Adanya kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara dan dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berbicara tentang sebab timbulnya dissenting opinion dalam perkara kepailitan pada dasarnya lebih didasarkan kepada keberadaan kehakiman sebagai suatu fungsi penegakan hukum, dimana kepada hakim diberikan kebebasan berdasarkan ketentuan perundang-undangan dalam memutuskan suatu perkara yang diajukan untuk diperiksa.

Independensi Kekuasaan Kehakiman itu adalah suatu hal yang mandiri dan merdeka. Kebebasan tersebut bukanlah kebebarasan tanpa ada batasnya atau absolut. Sebab tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa di dunia ini maupun di akhirat.

Kekuasaan Kehakiman, yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa:

"Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary

manner”.40

Kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungan-Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial/materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan Kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak

"contra legem I (bertentangan dengan hukum).

40

Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum, Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii, Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri, Denpasar, 14 -18 Juli 2003, hal. 6.

(23)

jawab atau akuntabilitas, yang kedua-duanya itu, independensi dan akuntabilitas pada dasarnya merupakan kedua sisi koin mata uang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (Judicial accountability). Dalam memasuki era globalisalsi sekarang ini, menjadi kewajiban bagi kita semua yang bergerak di pemerintahan dan penegakan hukum, baik kalangan teoritisi / akademisi maupun praktisi untuk mengkaji secara serius dan mendalam mengenai pengertian "judicial accountability" tersebut sebagai pasangan dari “independency of judiciary".

Bentuk tanggung jawab ada dan bisa dalam mekanisme yang berbagai macam, dan salah satu yang perlu disadari adalah "social accountability” (pertanggungan jawab pada masyarakat), karena pada dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah melaksanakan public service di bidang memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Secara teoritis, di samping social atau public accountability tersebut dikenal pula: political accountability atau legal accountability of state, dan personal accountability of the judge. Sisi lain dari rambu-rambu akuntabilitas tersebut adalah adanya integritas dan sjfat transparansi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan tersebut, hal mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan-putusan badan pengadilan termasuk pengadilan niaga dalam memutuskan perkara kepailitan serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga karenanya putusan-putusan tersebut dapat menjadi obyek kajian hukum dalam komunitas hukum.

(24)

dissenting opinion" itulah independensi hakim sebagai penegak hukum dijamin dalam menyampaikan dan mempertahankan argu-mentasi yuridisnya masing-masing pada waktu musyawarah putusan.41

- Akuntabiltas

Contoh hal ini adalah diterimanya asas dissenting opinion dalam perundang-undangan termasuk dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang dan dipraktekkannya pula Pengadilan Niaga dalam perkara-perkara kepailitan.

Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas tersebut diatas, adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan sehingga dikawatirkan dapat menjadi " tirani Kekuasaan Kehakiman ". Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, dan salah satu bentuk adalah kontrol atau pengawasan melalui mass-media termasuk pers.

Dalam hubungan dengan tugasnya sebagai hakim, maka independensi Hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap impartialitas dan profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karenanya kebebasan Hakim sebagai penegak hukum haruslah dikaitkan dengan :

- Integritas moral dan etika - Transparansi

- Pengawasan (kontrol)

- Profesionalisme dan impartialitas.

Berdasarkan kenyataan tersebut maka tidaklah hal yang luar biasa jika dalam memutuskan suatu perkara termasuk perkara kepailitan hakim berbeda pen-dapat tentang putusan yang akan diambil.

41

(25)

8. Adanya perbedaan latar belakang hakim yang memeriksa perkara kepailitan Alasan sebagaimana timbulnya dissenting opinion dalam kajian di atas adalah pada dasarnya berlaku secara umum baik itu untuk pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga maupun juga pemeriksaan perkara-perkara lainnya di Pengadilan Umum. Tetapi apabila membicarakan “sebab timbulnya

dissenting opinion dalam lingkungan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan yang berwenang memeriksa perkara kepailitan pada dasarnya adalah ada perbedaan latar belakang hakim yang memeriksa suatu perkara kepailitan itu sendiri”.

Para hakim tersebut adalah Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya berdasarkan Keputusan Presiden dan Hakim Karir yang pengangkatanya melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Keberadaan kedua model hakim inilah yang sering memicu timbulnya dissenting opinion.

Salah satu isu penting setelah UU Kepailitan Tahun 1998 diundangkan dan kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang adalah dibentuknya Pengadilan Niaga dan diintrodusirnya hakim ad hoc sebagai bagian dari majelis hakim yang memeriksa suatu perkara di Pengadilan Niaga. Tujuannya adalah sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditor asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta.

Ide awal keterlibatan hakim ad hoc di Pengadilan Niaga didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa pihak bahwa pengetahuan hakim karir cenderung bersifat umum (generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada lingkup niaga diperlukan hakim dengan keahlian khusus, di luar dari hakim karir yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk menjadi hakim niaga.

(26)

sebagaimana tercantum dalam Pasal 302 ayat (3) UU Kepailitan 2004 maka bila tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka Hakim ad hoc tidak bertugas. Kondisi inilah yang antara lain mengakibatkan sistem hakim ad hoc tidak bekerja.

UU Kepailitan 1998 tidak mengatur mengenai tugas dan fungsi hakim ad hoc. Mahkamah Agung kemudian mengaturnya dengan mengeluarkan Perma No. 3 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Perma No. 2 Tahun 2000 yang hingga kini masih berlaku. Tugas dan wewenang Hakim Ad Hoc diatur dalam Pasal 3 dan 4. Perma No. 2 Tahun 2000. Pasal 3 menyatakan bahwa:

(1)Hakim Ad Hoc bertugas sebagai Hakim Anggota dalam suatu Majelis Hakim untuk memeriksa dan memutuskan perkara Niaga yang ditugaskan kepada Majelis yang bersangkutan.

(2)Dalam persidangan Hakim Ad Hoc mempunyai tugas dan wewenang yang sama dengan Anggota Majelis lainnya.42

Pasal 3 tersebut memberikan gambaran bahwa hakim ad hoc hanya dapat menjadi Hakim Anggota dan tidak dapat menjadi Hakim Ketua Majelis. Kondisi ini sesuai dengan keberadaannya yang hanya untuk tujuan khusus (

specific purpose).

Sementara Pasal 4 menyatakan bahwa,”Penugasan Hakim Ad Hoc ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung dalam Wilayah Pengadilan Niaga di seluruh Indonesia.” Hal tersebut berarti, cakupan wilayah tugas hakim ad hoc meliputi semua Pengadilan Niaga yang ada di Indonesia yaitu di Jakarta Pusat, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makasar.

Hakim ad hoc meskipun telah diangkat berdasarkan Keputusan Presiden, ia baru dapat berfungsi/bertugas sebagai hakim ad hoc setelah ditunjuk sebagai Anggota Majelis oleh Ketua Pengadilan Niaga salam suatu penetapan yaitu:

42

(27)

a. Atas inisiatif Ketua Pengadilan Niaga sendiri, atau

b. Atas permohonan salah satu pihak yang perkara (Pasal 7 Perma No. 2 Tahun 2000).

Dalam praktek selama ini penetapan penunjukan hakim ad hoc sebagai Anggota Majelis Hakim selalu didasarkan atas adanya permohonan dari salah satu pihak yang berperkara. Belum pernah ada penetapan penunjukan hakim ad hoc berdasarkan inisiatif sendiri dari Ketua Pengadilan Niaga. Praktiknya bila permohonan diajukan oleh pihak pemohon pernyataan pailit, permohonan diajukan dalam surat permohonan pernyataan pailit dalam suatu surat permohonan tersendiri yang di lampirkan pada surat permohonan pernyataan pailit dan diajukan pada saat pendaftaran perkara. Bila permohonan diajukan oleh termohon pailit maka permohonan diajukan setelah termohon menerima salinan permohonan pailit (permohonan diajukan oleh pengacaranya).

Sebelum seorang hakim ad hoc yang telah ditunjuk sebagai hakim anggota suatu Majelis Hakim melaksanakan tugasnya, ia akan mengucapkan sumpah dihadapkan Ketua Pengadilan Niaga yang lafalannya ditentukan dalam Pasal 6 Perma No. 2 Tahun 2000. Berita acara sumpah ditanda tangani oleh hakim ad hoc tersebut dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan bersamaan dengan surat penetapan penunjukan sebagai Hakim Anggota. Setiap sumpah hanya berlaku untuk 1 (satu) perkara. Meskipun mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan ketua majelis namun beberapa hakim ad hoc beranggapan bahwa keberadaan hakim ad hoc menjadi percuma bila mereka hanya diposisikan sebagai anggota. Sehingga pada pelaksanaan awal mereka yang dipilih sebagai hakim ad hoc meminta kepada MA untuk dapat membuat

dissenting opinion sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Hal tersebut adalah wajar karena sebagian dari mereka berasal dari mantan hakim. Guna membantu para hakim niaga dalam menganalisis perkara maka penempatan mereka yang “hanya” sebagai anggota dirasakan kurang tepat bila tidak disertai dengan kewenangan untuk membuat dissenting opinion.

(28)

ketentuan mengenai dissenting opinion menunjukkan kewenangan yang dimiliki hakim ad hoc telah cukup digariskan dalam Perma. Hanya saja, pada tahapan pelaksanaan menunjukkan bahwa dissenting opinion belum memuaskan sebagian pihak yang berperkara terutama pihak yang kalah, karena dissenting opinion belum maksimal dalam memberikan pertimbangan kepada majelis untuk memutus perkara.

Hal ini bisa terjadi karena komposisi hakim ad hoc dalam suatu majelis adalah minoritas, sehingga pertimbangan hakim yang lainnya dirasa cukup kuat dalam memberikan putusan akhir.

Mengenai fungsi, hakim ad hoc disamakan dengan hakim karir di Pengadilan Niaga. Hakim ad hoc mempunyai fungsi mengadili dalam perkara kepailitan/PKPU, dan fungsi untuk memberikan pertimbangan hukum berbeda (dissenting opinion) bila terjadi beda penafsiran antar sesama anggota seperti yang sudah diungkapkan di muka.

Hakim pada prinsipnya seperti halnya kelompok profesi tertentu memiliki suatu sensitivitas tertentu tentang spirit ”de corps” nya. Secara sosiologik klasik, identik dengan karir struktural di kepegawaian yang pada umumnya sangat sensitif terhadap kehadiran pejabat-pejabat drop-drop-an hanya karena terjadi perubahan struktur pejabat di atas. Hubungan kerja antara hakim karir dengan hakim ad hoc tampaknya tidak menimbulkan kendala. Hal ini seperti diungkap oleh Elijana. Kondisi tersebut bisa saja diakibatkan karena Elijana berasal dari kalangan hakim sebelumnya. Sehingga faktor senioritas dapat dijadikan landasan untuk saling menghormati sesama hakim. Namun, ada pendapat yang menyatakan bahwa akan sulit bila seseorang yang bukan berasal dari hakim sebelumnya untuk menangani perkara di pengadilan sebagai hakim ad hoc. Misalnya, mereka yang berasal dari kalangan akademisi, atau praktisi. Ada sementara pihak yang berpendapat bahwa tanpa harus mengikutsertakan hakim ad hoc, hakim karir sendiri mampu menangani perkara. Terlebih dalam penyusunan putusan, hakim karir lebih menguasai bentuk-bentuk secara formal.

(29)

dinilai karena baru 1 (satu) orang hakim ad hoc yang telah duduk dalam Majelis. Putusan yang dikeluarkan pada suatu perkara umumnya dicapai dari kesepakatan 3 (tiga) orang hakim yang duduk di Majelis. Untuk itu bila dinilai putusan hakim ad hoc maka tidak bisa dengan memperbandingkan kemampuan hakim karir dan hakim ad hoc. Permasalahan timbul, ketika hakim ad hoc dapat membuat pendapat yang berbeda dengan hakim lainnya dalam majelis ( dissenting opinion). Hal inilah yang kerapkali terjadi pada perkara-perkara yang mengikutsertakan hakim ad hoc dalam majelis. Dissenting opinion inilah yang tanpa disadari ikut mempengaruhi wacana publik mengenai suatu perkara. Dan, pada tingkat kasasi , hakim pada majelis kasasi cenderung membuat putusan yang sama dengan dissenting opinion yang dikeluarkan oleh hakim ad hoc. Misalnya, terjadi pada putusan Majelis Hakim Kasasi No.34/K/N/2000 mengenai kasus Muara Alas Prima yang dimohonkan pailit oleh BPPN. Majelis Hakim Kasasi selanjutnya sependapat dengan dissenting opinion yang diajukan oleh hakim ad hoc.

Permasalahan lain timbul, yaitu berkaitan dengan posisi hakim ad hoc yang minoritas dalam majelis Pengadilan Niaga. Hal ini mengakibatkan dissenting opinion yang dikeluarkan menjadi hanya sekedar wacana akademis, dan tidak berpengaruh pada putusan akhir suatu perkara. Kondisi ini disinggung juga oleh beberapa pihak dalam qolloquium yang menghendaki hakim ad hoc lebih diberi ruang kewenangan yang cukup besar dalam memberikan putusan akhir suatu perkara.

Nilai-nilai positif yang bisa diambil dari pelaksanaan Dissenting Opinion selain dapat digunakan masyarakat untuk mengontrol hakim adalah: 1) Akan diketahui pendapat hakim yang berbobot, dalam upaya hukum

banding atau kasasi akan menjadi pertimbangan pendapat hakim mana dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi tersebut;

(30)

sehingga untuk mengukur prestasi hakim tidak hanya dilihat dari segi usia dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi hakim berdasarkan kualitas putusan hakim;

3) Sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat terhadap praktek KKN dan mafia peradilan;

4) Bahwa dengan Dissenting Opinion, bisa diketahui apakah putusan hakim tersebut sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat; 5) Dissenting Opinion juga dapat dipakai mengukur apakah suatu Peraturan

Perundang-undangan cukup responsif.

Kebijakkan untuk memberlakukan dissenting opinion, harus didukung juga kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan, karena kalau saja masyarakat tetap kesulitan untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan seperti saat ini, kebijakkan untuk memberlakukan

Dissenting Opinion takkan berarti karena masyarakat tetap saja kesulitan untuk mengetahui pendapat hakim yang berbeda dengan putusan.

Dengan demikian maka ada dua sebab yang melatar belakang lahirnya dissenting opinion dalam memutuskan perkara kepailitan yaitu:

1. Adanya kebebasan bagi hakim dalam memutus suatu perkara kepailitan yang dilakukan berdasarkan undang-undang.

2. Latar belakang hakim itu sendiri, yaitu hakim ad hoc dan hakim karir.

D. Syarat-Syarat Yang Diperlukan Dalam Suatu Putusan Perkara Kepailitan Yang Terdapat Dissenting Opinion

Sebelum masuk kepada pembahasan tentang syarat-syarat yang diperlukan dalam suatu putusan perkara kepailitan yang terdapat dissenting opinion maka harus diketahui terlebih dahulu tentang hukum acara yang diterapkan dalam perkara kepailitan di Pengadilan Niaga Medan.

(31)

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. Hal ini didasarkan Pada Pasal 305 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang yang menjelaskan:

Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Kepailitan (Failissement-verordening Staatsblad 1905 : 217 junctp Staatsblad 1906 : 348) yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 pada saat undang-undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini.

Berdasarkan isi Pasal 305 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 di atas maka ketentuan hukum acara yang dipakai dalam perkara kepailitan di Pengadilan Niaga adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 284 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.

Pasal 284 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menyebutkan bahwa sepanjang tidak ditentukan dalam undang-undang ini, maka yang berlaku adalah hukum acara perdata (HIR/RBg). Pengaturan tentang kekhususan hukum acara Pengadilan Niaga sampai saat ini belum dilakukan secara tegas dan khusus. Hukum acara Pengadilan Niaga yang ada saat ini terpisah-pisah sesuai dengan obyek sengketa yang diajukan.

Sampai saat ini, ada dua masalah dan dua undang-undang yang mengatur tentang penunjukan Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu undang-undang tentang Kepailitan dan paket undang-undang tentang H atas Kekayaan Intelektual.

(32)

1. Pengadilan ini tidak mengenal banding, sehingga jika ada pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan upaya hokum dengan cara kasasi ke Mahkamah Agung;

2. Jangka waktu proses pendaftaran, pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada tingkat Pengadilan Niaga diatur secara tegas, yaitu 30 hari;

3. Jangka waktu Kasasi di Mahkamah Agung adalah selama 34 hari.

Dalam hukum acara perkara kepailitan terdapat terobosan waktu berperkara yang sangat cepat. Dari waktu yang biasanya dua sampai dengan empat tahun berperkara melalui Pengadilan Negeri (dari gugatan di Pengadilan Negeri sampai dengan upaya khusus Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung), turun drastis menjadi 154 hari. Dengan perincian, maksimal waktu 30 hari untuk memutuskan permohonan kepailitan di tingkat Pengadilan Niaga, maksimal waktu 30 hari untuk memutuskan permohonan Kasasi di tingkat Kasasi, dan maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan upaya hukum khusus Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Selebihnya adalah perhitungan waktu pendaftaran permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Namun dalam beberapa kasus, para hakim niaga, khususnya majelis hakim tingkat Mahkamah Agung tampaknya kurang memperhatikan jangka waktu tersebut, seperti dalam beberapa putusan, majelis hakim kasasi ataupun Peninjauan Kembali memberikan putusan pailit melebihi jangka waktu yang telah ditetapkan, tanpa akibat hukum apapun.

(33)

kasasi diucapkan melampaui jangka waktu 30 hari...”43

Sifat pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu

Tentu saja ketidakpatuhan terhadap ketentuan tersebut yang sesungguhnya diperintahkan Undang-Undang Kepailitan terhadap status pailit suatu debitor yang berupa Perseroan Terbatas akan mempengaruhi perdagangan sahamnya di Bursa Efek, baik Bursa Efek Jakarta maupun Surabaya. Sebab, saham perusahaan debitor yang dipailitkan tersebut, sampai saat jatuhnya putusan masih diperdagangkan di kedua Bursa Efek tersebut.

Dapat dikatakan bahwa sebagian besar isi Undang-Undang Kepailitan adalah khusus mengenai hukum acara Kepailitan. Untuk itu, perlu kejelasan mengenai ketentuan-ketentuan Hukum Acara tersebut, apakah harus diatur tersendiri, ataukah Bab ketiga tentang Pengadilan Niaga harus dikeluarkan dari sistematika Undang-Undang Kepailitan. Hal ini berkaitan erat dengan amanat perluasan kompetensi Pengadilan Niaga.

Lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhana. Untuk membuktikan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Pengadilan Niaga mendasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa debitor dapat dinyatakan pailit apabila telah terbukti bahwa debitor tersebut mempunyai paling tidak satu kreditor yang tagihannya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor lainnya.

43

(34)

bukan kewenangan Pengadilan Niaga, melainkan Pengadilan Perdata.

Sistem pembuktian yang sederhana pada perkara kepailitan dirasakan tidak dapat diterapkan pada Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa Hak atas Kekayaan Intelektual, sehingga jangka waktunya diperpanjang. Namun dalam kenyataannya, untuk beberapa kasus perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga, pembuktiannya pun tidak sesederhana seperti yang seharusnya.

Pada perkara kepailitan, yang dibuktikan hanyalah kebenaran tentang ada atau tidaknya suatu “utang” yang dapat dijadikan dasar untuk mengabulkan atau menolak permohonan pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga. Pada praktiknya, kebenaran yang akan dibuktikan pada beberapa kasus kepailitan adalah kebenaran tentang hubungan hukum yang menyebabkan terjadinya permasalahan hukum yang perlu diselesaikan secara adil, bukan untuk dipailitkan.

Dalam hukum acara perdata yang diterapkan dalam pemeriksaan perkara kepailitan ada syarat-syarat yang diperlukan dalam suatu keputusan.Setiap putusan hakim yang berupa putusan akhir, harus didahului oleh putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.44

44

Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya, Bandung, 1996, hal. 188.

(35)

Selanjutnya dalam Pasal 184 HIR – 195 R.Bg, ditentukan, setiap putusan hakim harus memuat ringkasan yang nyata dari tuntutan dan jawaban serta alasan putusan itu, putusan tentang pokok perkara dan banyaknya ongkos, perkara, pemberitahuan tentang hadir tidaknya kedua belah pihak itu pada waktu putusan dijatuhkan. Dalam putusan hakim yang berdasarkan pada peraturan undang-undang tertentu, peraturan undang-undang itu harus disebutkan. Putusan hakim ditanda-tangani oleh Hakim Ketua dan Hakim Anggota serta panitera pengganti pada pengadilan tersebut.

P U T U S A N

Nomor: 71/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutus perkara permohonan Kepailitan pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sebagaimana tersebut di bawah ini dalam Permohonan Kepailitan yang diajukan :

BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL (BPPN), berkedudukan di Gedung Wisma Bank Danamon Jl. Jenderal Sudirman Kav. 45-46 Jakarta Selatan, selaku pemegang hak piutang PT. Bank Rakyat Indonesia, Bank Ekspor Impor Indonesia (sekarang Bank Mandiri) dan Bank Dharmala dalam hal ini memberi kuasa kepada Denny Azani Latief, SH. dan kawan Advokat/Pengacara pada kantor Denny Azani Latief & Partners, beralamat di Kompleks Wijaya Graha Puri Blok A No.10 Lt.2 Jl. Wijaya II Kebayoran Baru Jakarta 12160, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2000, sebagai pemohon Kasasi, dahulu Pemohon Pailit;

melawan

(36)

Astuty Sitanggang, SH., Advokat /Pengacara pada kantor R. Astuty Sitanggang & Associates beralamat di Jl. K.H. Wahid Hasyim No. 12 D lt.3 Jakarta 10340, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 1 November 2000, sebagai Termohon Kasasi dahulu Termohon Pailit;

Yang menjadi masalah pokok dalam perkara permohonan ini adalah : 1. Apakah benar PT. Muara Alas Prima (Termohon) telah dibubarkan

(dilikuidasi);

2. Apakah suatu Perseroan Terbatas, in casu Termohon yang telah dilikuidasi dapat dipailitkan;

Menimbang, bahwa Termohon telah mendalilkan bahwa Termohon telah dibubarkan (dilikuidasi);

Menimbang, bahwa apakah benar Termohon telah dibubarkan (dilikuidasi), maka Pengadilan Niaga akan mempertimbangkan bukti-bukti Termohon;

Menimbang, bahwa apakah suatu Perseroan Terbatas, in casu Termohon yang telah dilikuidasi dapat dipailitkan;

Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 117 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 telah disebutkan bahwa suatu perseroan yang tidak mampu membayar utang-utangnya setelah dinyatakan pailit dapat dimohonkan oleh kreditornya untuk dibubarkan (di likuidasi). Ini berarti bahwa suatu perseroan yang telah dinyatakan pailit dapat dimohonkan untuk dibubarkan (di likuidasi) dan bukan sebaliknya, sebab di dalam kepailitan existensi perseroan masih dipertahankan, sedangkan dalam likuidasi secara de jure perseroan telah dinyatakan bubar.

Menimbang, bahwa menurut Putusan Mahkamah Agung R.I., Nomor 02 K/KN/1998, tanggal 26 Nopember 1998 telah disebutkan bahwa perseroan yang dalam keadaan likuidasi status badan hukumnya sudah berakhir dan karenanya tidak dapat dimohonkan pailit;

(37)

likuidasi) berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luas Biasa, maka tidak dapat dimohonkan pailit; oleh karena itu pula dalil-dalil permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan dan harus pula ditolak; dan dengan demikian pula surat-surat bukti yang diajukan oleh Pemohon tidak akan dipertimbangkan lagi;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Pemohon harus ditolak, maka biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon;

Menimbang, bahwa dalam permusyawaratan Majelis Hakim telah terjadi dissenting opinion sebagaimana terlampir.

Mengingat dan memperhatikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995;

M E N G A D I L I : - Menolak permohonan Pemohon;

- Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara permohonan ini sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah);

Demikian diputuskan dalam Rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Selasa, tanggal 17 Oktober 2000, oleh Kami: ERWIN MANGATAS MALAU, SH., selaku Ketua Sidang, Ny. ELLYANA, SH., Hakim Ad-Hoc, TJAHJONO, SH., masing-masing sebagai Anggota, putusan mana diucapkan dalam sidang terbuka umum pada hari: Kamis, tanggal 21 Oktober 2000, oleh ERWIN MANGATAS MALAU, SH., Ketua sidang tersebut, dengan dihadiri oleh Ny. ELLYANA, SH., Hakim Ad-Hoc TJAHJONO, SH., masing-masing sebagai Anggota, dibantu oleh HADI SUKMA, Panitera Pengganti, dan dengan dihadiri oleh Kuasa Pemohon, Kuasa Termohon dan tanpa dihadiri oleh Kuasa Kreditor Lain.

Anggota-anggota, Ttd

Ny. ELLYANA, SH.

Ketua Majelis, ttd,

ERWIN MANGATAS MALAU, SH Ttd.

(38)

Panitera Pengganti, Ttd.

HADI SUKMA.

PENDAPAT YANG BERBEDA DARI HAKIMA D HOC Ny. ELIYANA, SH, DALAM PERKARA

NO. 71/PAILIT/2000/PN.NIAGA./JKT.PST.

Meskipun PT. Muara Alasa Prima telah dibubarkan oleh Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham dan likwidator yang ditunjuk telah melakukan pendaftaran dalam daftar perusahaan, pengumuman dalam Berita Negara RI, pengumuman dalam 2 (dua) surat Kabar Harian, faktanya likwidator belum melakukan/memberikan pertanggung jawaban kepada RUPS atas likwidasi yang dilakukan, belum membayarkan sisa kekayaan hasil likwidasi (bila ada) kepada Pemegang Saham, belum mendaftarkan dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi sesuai dengan ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 serta mengumumkan dalam 2 9dua) surat kabar Harian sesuai Pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 maka likwidator belum selesai melakukan proses pemberesan (dalam likwidasi) oleh karenanya PT. MUARA ALAS PRIMA masih ada (masih exist). Dan oleh karena PT. MUARA ALAS PRIMA masih ada meskipun dalam proses pemberesan, PT. MUARA ALAS PRIMA (dalam likwidasi) masih dapat dimohonkan untuk dinyatakan pailit dan dapat dinyatakan pailit.

Meskipun HakimAd Hoc Ny. ELIYANA, SH, tidak sependapat menyatakan putusan adalah sah dan mengikat.

Jakarta, 17 Oktober 2000. Mengetahu, Ketua Majelis,

Ttd

ERWIN MANGATAS MALAU, SH.

Hakim Ad Hoc tersebut, Ttd.

(39)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Timbulnya dissenting opinion dalam perkara kepailitan secara umum adalah disebabkan kebebasan hakim dalam memutuskan perkara yang dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan. Sedangkan secara khususnya timbulnya dissenting opinion dalam perkara kepailitan adalah disebabkan adanya perbedaan latar belakang hakim yang memeriksa perkara kepailitan tersebut yaitu adanya hakim karir dan hakim ad-hoc. 2. Syarat-syarat yang diperlukan dalam suatu putusan perkara kepailitan

yang terdapat dissenting opinion adalah putusan dissenting opinion

tersebut dibuat dalam bentuk lampiran yang memuat pernyataan tegas dari hakim Anggota/ketua yang membuat dissenting opinion tersebut, bahwa putusan adalah sah dan mengikat. Lampiran tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari naskah putusan. Hakim yang membuat dissenting opinion tetap harus menandatangani putusan tersebut dan tetap terikat pada bunyi diktum putusan tersebut.

B. Saran

1. Kepala pelaksana pengambil keputusan khususnya dalam pembuatan undang-undang tentang pengaturan perihal timbulnya dissenting opinion khususnya dalam perkara kepailitan hendaknya mengatur secara sempurna tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hakim pengadilan jika terdapat dissenting opinion.

(40)
(41)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan

Kepailitan merupakan suatu sitaan umum, atas seluruh harta kekayaan dari orang yang berutang, untuk dijual di muka umum, guna pembayaran hutang-hutangnya kepada semua kreditor, dan dibayar menurut perbandingan jumlah piutang masing-masing.

Dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris istilah pailit dapat ditemukan. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le Faille. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail dan kata di dalam bahasa Latin digunakan istilah failire.8

Keadaan dimana seorang debitor tidak mampu melunasi hutang-hutangnya pada saat hutang tersebut jatuh tempo. Pernyataan pailit tidak boleh diputuskan begitu saja, melainkan harus dinyatakan oleh pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seseorang atau pihak ketiga”.

Menurut Rachmadi Usman kepailitan adalah:

9

Namun demikian, umumnya orang sering menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut adalah suatu sitaan umum atas seluruh

8

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hal.26-27.

9

(42)

harta debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil diantara para kreditor.10

Munir Fuady menyamakan “istilah kepailitan dengan bangkrut” manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, daripada pihak kreditor ramai-ramai mengeroyok debitor dan saling berebutan harta debitor tersebut, hukum memandang perlu mengaturnya sehingga hutang-hutang debitor dapat dibayar secara tertib dan adil. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitor (badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari 1 (satu) hutang/kreditor dimana debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya, sehingga debitor segera membayar hutang-hutangnya tersebut.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan sebagai berikut: “kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.

11

Alasan-alasan permohonan kasasi atas putusan pernyataan kepailitan tidak jauh berbeda dengan alasan-alasan permohonan kasasi atas putusan

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman berbunyi: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”.

10

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.11.

11

(43)

perkara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu karena:

1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. 2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Tata cara pengajuan permohonan kasasi perkara kepailitan diatur lebih lanjut dalam Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Permohonan kasasi diajukan dalam waktu paling lambat 8 hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan kasasi ditetapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan Niaga yang telah menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit. Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan. Pemohon diberi tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pene-rimaan pendaftaran.

Pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan, pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dan salinan permohonan kasasi berikut salinan memori kasasi kepada pihak terkasasi.

Kepailitan membawa akibat hukum bagi diri yang dinyatakan pailit menjadi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pengurusan dan pemilikan terhadap aset yang dimilikinya.

(44)

maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan-perikatan perorangan debitor itu.12

Actio Pauliana dalam kamus hukum diartikan sebagai gugatan pembatalan, gugatan kreditor, gugatan dari pihak kreditor yang ditujukan terhadap (perbuatan) debitor karena perbuatan itu dianggap curang dan sangat merugikan kreditor.

Arti dari kutipan tersebut adalah sekalipun tidak diperjanjikan dengan tegas-tegas, seorang debitor bertanggung jawab terhadap segala hartanya dengan barang-barang yang dimilikinya baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari. Yang banyak tidak disadari oleh orang ialah bahwa yang tidak dikatakan oleh pasal ini ialah seorang debitor tidak dapat dituntut pertanggung jawabannya jika ia tidak memiliki barang apapun.

Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan mengatakan: “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar hutang-hutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran hutang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren”.

Dari ketentuan pasal di atas dapat dipahami bahwa pada kenyataannya bahwa undang-undang memberikan kesempatan kepada debitor untuk melakukan penundaan pembayaran dengan melakukan perdamaian kepada para kreditornya. Sehubungan dengan uraian di atas maka upaya hukum lainnya dalam kepailitan juga dikenal dengan istilah actio pauliana.

13

Perihal actio pauliana dapat dilihat isi Pasal 41 Undang-Undang

12

Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 45. 13

(45)

Kepailitan No. 37 Tahun 2004 yaitu :

(1)untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan.

(2)Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. (3)Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

adalah perbuatan hukum debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan atau karena undang-undang.

Dalam Undang-Undang Kepailitan tidak ada batasan waktu saat dilakukan perbuatan hukum oleh debitor sehingga dapat dibatalkan melalui upaya actio pauliana tersebut. Karena itu hukum yang mengaturnya hanyalah hukum yang umum mengenai daluarsa suatu gugatan. Dalam hal ini, gugatan terhadap actio pauliana dapat dilakukan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh debitor yang belum melebihi jangka waktu 1 tahun.

B. Syarat-Syarat Untuk Dinyatakan Pailit

Agar seorang debitor dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, maka berbagai pe

Referensi

Dokumen terkait

User dapat memakainya di berbagai platform karena salah satu keunggulan java yaitu Java Virtual Machine (JVM) dimana program dapat dijalankan untuk berbagai multiflatform, dan

Ilyen más információforrás lehet például az Európai Unió vagy magyar pályázati oldalakon leírt példamutató (best practice) projektek. Mielőtt a projekt

Emas dan perak adalah logam yang dapat terlarut dengan merkuri, sehingga merkuri dipakai untuk mengikat emas dalam proses pengolahan bijih sulfida.. mengandung emas melalui

Mahwiyah (2010), merupakan mahasiswa dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan skripsi yang berjudul “Pengaruh Labelisasi Halal Terhadap Keputusan

ang harus ditingkatkan adalah kualitas sumber daya manusia untuk meningkatkan daya saing produksi sentra kaos Suci, dan yang harus di pertahankan adalah manajemen perusahaan

Berdasarkan keterangan di atas, maka sifat penelitian hukum empiris yang digunakan adalah penelitian yang sifatnya deskriptif, yaitu penelitian yang berupaya untuk

Se- bagai contoh adalah penggunaan ensam- bel gondang sabangunan yang masih selalu dianggap memiliki afi liasi terhadap keper- cayaan lama, khususnya di dalam tata cara atau

Bumbung gelombang atau waveguide adalah saluran transmisi yang berupa pipa berongga yang terbuat dari konduktor yang baik.. Rongga diisi dengan bahan dielektrik tak merugi yang