• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

REDUPLIKASI MORFEMIS BEBAS KONTEKS DAN TERIKAT

KONTEKS BAHASA KARO

TESIS

Oleh :

Pribadi Bangun

067009016/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

REDUPLIKASI MORFEMIS BEBAS KONTEKS DAN TERIKAT

KONTEKS BAHASA KARO

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Pribadi Bangun

067009016/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : REDUPLIKASI MORFEMIS BEBAS KONTEKS DAN TERIKAT KONTEKS BAHASA KARO

Nama Mahasiswa : Pribadi Bangun Nomor Pokok : 067009016/LNG Program Studi : Linguistik

Menyetuji Komisi Pembimbing,

(Prof. Dr. Jawasi Naibaho, M.S.)

Ketua Anggota

(Dr. Dwi Widayati, M.Hum.)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE.)

(4)

Telah di uji pada

Tanggal 18 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Jawasi Naibaho, M.S. Anggota : 1. Dr. Dwi Widayati, M.Hum.

(5)

ABSTRAK

Bangun, Pribadi, 2011. “Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo.”

Penelitian ini berjudul “Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo” yang bertujuan untuk mendeskripsikan tipe reduplikasi morfemis bahasa Karo berdasarkan bentuknya; mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis bebas konteks dalam bahasa Karo; dan mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis terikat konteks dalam bahasa Karo.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan sinkronis, yaitu menjelaskan atau memerikan tipe-tipe reduplikasi bahasa Karo yang ada saat ini. Dalam penelitian ini juga diusahakan menemukan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam reduplikasi morfemis bahasa Karo. Untuk itu, bukti-bukti reduplikasi didefinisikan dan dibandingkan guna melihat pola-polanya.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari lapangan dan hasil pembahasan reduplikasi morfemis dalam bahasa Karo masa kini mengalami interferensi bahasa Indonesia sehingga menambah bentuk saingan reduplikasi dalam bahasa Karo. Pada kata ulang hasil reduplikasi semantik, pengulangan tidak terjadi pada bentuk melainkan pada arti, yaitu dengan menggabungkan dua kata (atau bentuk) yang sinonim.

Dalam bahasa Karo, untuk menentukan arti reduplikasi perlu dibedakan arti reduplikasi bebas-konteks dari arti reduplikasi terikat-konteks. Ada kalanya arti reduplikasi tertentu dapat diketahui dengan segera (kaba-kaba ‘kupu-kupu’)

dan ada pula tergantung dari konteks kata ulang yang bersangkutan. Motivasi morfemis dan semantis kata ulang dalam bahasa Karo ada yang “transparan” dan ada pula yang “samara”. Ada bentuk reduplikasi tertentu yang artinya tidak selalu sama walaupun dasar yang dikenainya termasuk anggota kelas kata yang sama. Perbedaan arti demikian dapat diterangkan berdasarkan ciri-ciri semantik yang terdapat di antara anggota kelas kata yang dipakai sebagai dasar. Arti ‘agak KtS’ bentuk ((KtS + R) + ke-/-an) hanya terdapat apabila KtS tidak mempunyai

antonim. Arti yang sama ada kalanya dinyatakan oleh bentuk reduplikasi yang berbeda-beda. Tidak semua kata benda dapat dijamakkan, seperti kata benda deverbal dan kata benda deajektival. Arti reduplikasi yang terdapat pada satu konstituen struktur dapat “dilimpahkan” kepada konstituen lain dalam struktur yang bersangkutan. Penggunaan kata ulang dalam bahasa Karo sangat berhubungan dengan tata krama yang berlaku dalam masyarakat Karo.

(6)

ABSTRACT

Bangun, Pribadi, 2011.”Karonese Context-Free and Context-Bound Morpheme Reduplication”

This study entitled “Karonese Context-Free and Context-Bound Morpheme Reduplication” aims at describing the type of Karonese morpheme reduplication based on its form, the meaning of Karonese context-free morpheme reduplication, and the meaning of Karonese context-bound morpheme reduplication.

This study was done based synchroncic approach explaining or showing the current types of Karonese reduplication besides finding out the principles generally applicable in Karonese morpheme reduplication. Therefore, the evidence of reduplication is defined and compared to see its patterns.

The research findings showed that Karonese morpheme reduplication is undergoing intervention from Bahasa Indonesia that it increases rival forms of Karonese reduplication. In the semantic-based reduplication, repetition dose not occur in its form but in its meaning through the combination of two synonymous words (forms).

To determine the meaning of reduplication in Karonese, the meaning of free reduplication must be distinguished from the meaning of context-bound reduplication. Sometimes, the meaning of certain reduplication can be immediately find out (kaba-kaba “kupu-kupu” –butterfly), and the others depend on the context of the reduplication concerned. Morpheme and semantic motivation in Karonese reduplication is sometimes “transparent” sometimes “samara(vogue)”. For certain reduplication, its meaning does not always the same even though its root belongs to the word of the same class. Such difference in meaning can be explained based on the semantic characteristic found between the members of the word class used as the basic. The meaning “agak KtS” form ((KtS + R +ke-/-an) is only found if KtS does not have its antonym. Sometimes, the same meaning is determined by different forms of reduplication. Not all of the nouns can be made plural such as de-verbal noun and de-adjectival noun. The meaning of reduplication found in a constituent structure can be “transferred” to another constituent in the structure concerned. The use of reduplication in Karonese is closely related to th etiquette currently exist in Karonese community.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena diberikan kesehatan sehingga tesis ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana penulis. Tesis ini berjudul “Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo.”

Pemilihan judul tersebut penulis lakukan atas dasar bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi yang paling efektif guna mendukung interaksi antarindividu dalam suatu daerah. Melalui bahasa pula manusia mampu mengungkapkan berbagai bentuk ungkapan perasaan dan informasi kepada pihak lain. Tingkat intensitas penggunaan suatu bahasa turut menentukan ada atau tidaknya bahasa itu dalam sebuah masyarakat tutur. Kontak bahasa dan interaksi antarmasyarakat yang berbeda asal maupun bahasanya menimbulkan kekhawatiran terjadinya pergeseran dan kepunahan sebuah bahasa sejalan dengan kemajuan dan perkembangan zaman.

Menyikapi perkembangan informasi dan mobilitas penduduk di wilayah Kabupaten Karo yang sangat tinggi pada masa kini yang mengakibatkan keheterogenan masyarakatnya maka pembinaan, pengembangan, dan penginventarisasian bahasa Karo dirasakan perlu segera dilakukan untuk menjaga kelestarian bahasa tersebut.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat lepas dari berbagai kekurangan. Namun, besar harapan penulis semoga temuan penelitian ini bermanfaat bagi sivitas akademika USU, khususnya bagi program S-2 Linguistik SPs USU, maupun masyarakat luas.

Medan, Juli 2011

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha

Esa, atas ridhoNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini

perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Rektor USU, Bapak Prof. Dr. dr. Sjahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM),

Sp.A(K) yang telah memberi kesempatan dan bantuan biaya pendidikan

selama saya mengikuti pendidikan Program Magister pada Program

Pascasarjana USU.

2. Direktur Program Pascasarjana USU, Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE

yang telah memberi perhatian dan dukungan selama saya mengikuti

pendidikan S-2 pada Program Pascasarjana USU.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku Ketua Program Pascasarjana

Linguistik serta Sekretaris Program Pascasarjana Linguistik Dr. Nurlela,

M.Hum., yang telah memberi perhatian dan bimbingan selama saya mengikuti

pendidikan hingga selesai pada Program Pascasarjana Linguistik USU.

4. Pembimbing saya, Prof. Dr. Jawasi Naibaho dan Dr. Dwi Widayati, M.Hum.

yang telah banyak memberi peluang, waktu, perhatian, bimbingan, dan

bantuan selama penulisan dan penyelesaian tesis ini.

5. Para Dosen yang mengajar di Program Pascasarjana Linguistik USU yang

telah membekali ilmu pengetahuan dan membuka cakrawala berpikir ilmiah.

Semoga jasa baik ini dibalas Allah SWT dengan pahala yang banyak.

6. Kepada Istriku tercinta serta anak-anakku, Bapak ucapkan terima kasih atas

pengorbanan, dorongan, kesabaran, dan kesetiaan yang diberikan sehingga

(9)

7. Kepada seluruh teman angkatan 2006 saya ucapkan terima kasih atas

kerjasama yang baik dan saling membantu selama menjalani proses belajar di

Program Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata saya berharap semoga dukungan, bantuan, pengorbanan, dan

budi baik yang diberikan kepada saya dari berbagai pihak, mendapat balasan

pahala dari Allah SWT dengan berlipat ganda. Amin.

Medan, Juli 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Pribadi Bangun

Tempat / Tgl.Lahir : Kuta Galuh / 19 Oktober 1958

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Laki – laki

Alamat : Jl. Bunga Cempaka No 29F P.Bulan Selayang II

Medan

E-mail

Hp : 08153023247

Pendidikan : SDN Tanjung, 1972

SMP Swasta Advent Siabang-abang, 1975

SMA Negeri Kabanjahe, 1979

S-1 Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,

USU Medan, 1985

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

1.5Landasan Teori ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10

2.1 Penelitian Terdahulu ... 10

2.2 Konsep Reduplikasi ... 12

2.3 Pengertian Reduplikasi ... 17

2.4. Bentuk Dasar Reduplikasi ... 25

2.5 Makna Reduplikasi ... 26

2.6 Simbolisasi Bentuk Reduplikasi ... 34

BAB III GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 38

3.1 Masyarakat Karo ... 38

3.2 Kedudukan Bahasa Karo ... 48

3.3 Daerah Penelitian ... 51

(12)

4.2 Data dan Sumber Data ... 55

4.3 Teknik Pengumpulan Data ... 56

4.4 Metode Analisis Data ... 57

BAB V TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 59

5.1 Temuan Hasil Penelitian ... 59

5.1.1 Onomatope ... 61

5.1.2 Bentuk Jamak ... 62

5.1.3 Imitasi ... 64

5.1.4 Repetisi ... 66

5.1.5 Empasis ... 69

5.1.6 Ketidaktentuan ... 74

5.1.7 Pemaknaan Lain ... 78

5.1.8 Reduplikasi Parsial ... 79

5.1.9 Reduplikasi Aliterasi ... 80

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 81

5.2.1 Bentuk Reduplikasi dalam Bahasa Karo ... 81

5.2.1.1 Tipe(D+R) ... 81

5.2.1.2 Tipe(D+R)+ -en) ... 81

5.2.1.3 Tipe((D+R)+ ke-/-en)) ... 82

5.2.1.4 Tipe((D+R)+ er-) ... 82

5.2.1.5 Tipe(D+(R+ er-) ... 83

5.2.1.6 Tipe((D+R)+ m-) ... 83

5.2.1.7 Tipe((D+R)+ m-/-ken) ... 83

(13)

5.2.1.9 Tipe((D+R)+ er-/-en) ... 84

5.2.2 Arti Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dalam Bahas Karo 84 5.2.2.1 R-Serupa ... 85

5.2.2.2 R-Pengaburan ... 88

5.2.2.3 R-Seakan-akan X ... 89

5.2.2.4 R-Melakukan Sesuatu Tanpa Tujuan yang Sebenarnya 90 5.2.2.5 R-Melakukan Sesuatu Berulang Kali dan/atau Terus- Menerus ... 92

5.2.2.6 Reduplikasi dengan arti ‘Resiproaktif’ Atau Berbalasan 98 5.2.2.7 Reduplikasi dengan arti ‘Intensif’ ... 99

5.2.2.8 Reduplikasi dengan arti ‘Distributif’ ... 101

5.2.2.9 Reduplikasi dengan arti ‘Tak Tunggal’ ... 103

5.2.3 Arti Reduplikasi Terikat Konteks dalam Bahasa Karo ... 107

5.2.3.1 Reduplikasi dengan arti ‘agak D’ ... 109

5.2.3.2 Reduplikasi dengan arti ‘penghalusan ... 111

5.2.3.3 Reduplikasi dengan arti ‘konsesif’ ... 112

5.2.3.4 Reduplikasi dengan arti ‘meremehkan’ ... 114

5.2.3.5 Reduplikasi dengan arti ‘intensif’ ... 115

5.2.3.6 Reduplikasi dengan arti ‘serupa D’ ... 119

5.2.3.7 Reduplikasi dengan arti ‘Nongeneris’ ... 119

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 125

6.1 Simpulan ... 125

6.2 Saran ... 126

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1: Merga Sembiring dan Cabang-Cabangnya ... 42

Tabel 2: Merga Perangin-Angin dan Cabang-Cabangnya ... 42

Tabel 3: Merga Ginting dan Cabang-Cabangnya ... 43

Tabel 4: Merga Tarigan dan Cabang-Cabangnya ... 44

(15)

ABSTRAK

Bangun, Pribadi, 2011. “Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo.”

Penelitian ini berjudul “Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo” yang bertujuan untuk mendeskripsikan tipe reduplikasi morfemis bahasa Karo berdasarkan bentuknya; mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis bebas konteks dalam bahasa Karo; dan mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis terikat konteks dalam bahasa Karo.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan sinkronis, yaitu menjelaskan atau memerikan tipe-tipe reduplikasi bahasa Karo yang ada saat ini. Dalam penelitian ini juga diusahakan menemukan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam reduplikasi morfemis bahasa Karo. Untuk itu, bukti-bukti reduplikasi didefinisikan dan dibandingkan guna melihat pola-polanya.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari lapangan dan hasil pembahasan reduplikasi morfemis dalam bahasa Karo masa kini mengalami interferensi bahasa Indonesia sehingga menambah bentuk saingan reduplikasi dalam bahasa Karo. Pada kata ulang hasil reduplikasi semantik, pengulangan tidak terjadi pada bentuk melainkan pada arti, yaitu dengan menggabungkan dua kata (atau bentuk) yang sinonim.

Dalam bahasa Karo, untuk menentukan arti reduplikasi perlu dibedakan arti reduplikasi bebas-konteks dari arti reduplikasi terikat-konteks. Ada kalanya arti reduplikasi tertentu dapat diketahui dengan segera (kaba-kaba ‘kupu-kupu’)

dan ada pula tergantung dari konteks kata ulang yang bersangkutan. Motivasi morfemis dan semantis kata ulang dalam bahasa Karo ada yang “transparan” dan ada pula yang “samara”. Ada bentuk reduplikasi tertentu yang artinya tidak selalu sama walaupun dasar yang dikenainya termasuk anggota kelas kata yang sama. Perbedaan arti demikian dapat diterangkan berdasarkan ciri-ciri semantik yang terdapat di antara anggota kelas kata yang dipakai sebagai dasar. Arti ‘agak KtS’ bentuk ((KtS + R) + ke-/-an) hanya terdapat apabila KtS tidak mempunyai

antonim. Arti yang sama ada kalanya dinyatakan oleh bentuk reduplikasi yang berbeda-beda. Tidak semua kata benda dapat dijamakkan, seperti kata benda deverbal dan kata benda deajektival. Arti reduplikasi yang terdapat pada satu konstituen struktur dapat “dilimpahkan” kepada konstituen lain dalam struktur yang bersangkutan. Penggunaan kata ulang dalam bahasa Karo sangat berhubungan dengan tata krama yang berlaku dalam masyarakat Karo.

(16)

ABSTRACT

Bangun, Pribadi, 2011.”Karonese Context-Free and Context-Bound Morpheme Reduplication”

This study entitled “Karonese Context-Free and Context-Bound Morpheme Reduplication” aims at describing the type of Karonese morpheme reduplication based on its form, the meaning of Karonese context-free morpheme reduplication, and the meaning of Karonese context-bound morpheme reduplication.

This study was done based synchroncic approach explaining or showing the current types of Karonese reduplication besides finding out the principles generally applicable in Karonese morpheme reduplication. Therefore, the evidence of reduplication is defined and compared to see its patterns.

The research findings showed that Karonese morpheme reduplication is undergoing intervention from Bahasa Indonesia that it increases rival forms of Karonese reduplication. In the semantic-based reduplication, repetition dose not occur in its form but in its meaning through the combination of two synonymous words (forms).

To determine the meaning of reduplication in Karonese, the meaning of free reduplication must be distinguished from the meaning of context-bound reduplication. Sometimes, the meaning of certain reduplication can be immediately find out (kaba-kaba “kupu-kupu” –butterfly), and the others depend on the context of the reduplication concerned. Morpheme and semantic motivation in Karonese reduplication is sometimes “transparent” sometimes “samara(vogue)”. For certain reduplication, its meaning does not always the same even though its root belongs to the word of the same class. Such difference in meaning can be explained based on the semantic characteristic found between the members of the word class used as the basic. The meaning “agak KtS” form ((KtS + R +ke-/-an) is only found if KtS does not have its antonym. Sometimes, the same meaning is determined by different forms of reduplication. Not all of the nouns can be made plural such as de-verbal noun and de-adjectival noun. The meaning of reduplication found in a constituent structure can be “transferred” to another constituent in the structure concerned. The use of reduplication in Karonese is closely related to th etiquette currently exist in Karonese community.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam

pembentukan dan pengembangan bahasa Indonesia. Sebelum mengenal bahasa

Indonesia sebagian besar bangsa Indonesia mempelajari dan menggunakan bahasa

daerah dalam interaksi kehidupan masyarakat. Ucapan dan cara penyampaian

ide-ide dipengaruhi kebiasaan yang lazim digunakan oleh masyarakat itu. Bahasa

daerah tetap dipelihara oleh negara sebagai bagian kebudayaan yang hidup.

Bahasa Karo, merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih

digunakan oleh masyarakat pendukungnya dalam kehidupan berinteraksi

sehari-hari. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai bahasa pertama dalam komunikasi sosial

dari berbagai lapisan masyarakat Karo.

Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan yang universal mempunyai

peranan penting sehingga melalui bahasa dapat dilihat tinggi rendahnya suatu

bangsa. Komunikasi dengan menggunakan bahasa merupakan pemahaman dan

pemberian respon yang kita berikan dapat berupa kalimat perintah, berita,

pertanyaan, jawaban, dan lain-lain. Namun, ada orang yang beranggapan bahwa

kompetensi penggunaan bahasa seakan-akan dicapai dengan sempurna melalui

keturunan dan warisan saja.

Pandangan ini keliru karena kemampuan penguasaan dan penggunaan

bahasa harus melalui latihan-latihan baik mengenai pengucapan maupun

(18)

antar masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap

manusia (Keraf 1984:16).

Di lain pihak ada komunikasi dilakukan dengan tulisan. Hal tersebut

berarti kompetensi menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan dan

kemampuan memakai apa yang dicoba. Jadi, relevansi bahasa terhadap pemikiran

manusia sangat erat sekali. Sesuai dengan kodrat manusia maka kerangka

karangan pemikirannya tetap berkembang, sesuai dengan lingkungan yang

dihadapinya sehingga perkembangan bahasa juga ikut serta di dalamnya. Bukti

yang nyata adalah ilmu pengetahuan dengan perkembangan tidak mungkin

diterapkan tanpa bahasa.

Tidak selamanya seseorang yang berbahasa itu dapat menganalisis suatu

bahasa yang akurat, baik bahasa ibu yang sedang atau yang akan dipelajari. Ilmu

kebahasaan yang dimiliki akan menolong penutur untuk menuturkannya

sebagaimana dituturkan oleh penutur asli bahasa itu.

Bahasa Karo yang kita ketahui terdiri atas beberapa dialek, di antara dialek

tersebut masih berperan di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, misalnya

dengan ucapan, kegiatan kemasyarakatan dan interaksi sosial berlangsung dengan

menggunakan bahasa Karo, baik di tempat asal penutur di Kabupaten Karo

maupun di daerah lainnya di tempat perantauan mereka.

Bahasa Karo sebagai bahasa daerah terus berkembang dan berfungsi

sebagai alat komunikasi, pendukung kebudayaan dan lambang identitas

masyarakat Karo. Untuk itu, bahasa-bahasa daerah perlu dibina dan

dikembangkan. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36

(19)

dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Batak Toba, Karo,

Madura, Jawa, dan sebagainya). Bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara,

juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan

Indonesia yang hidup.

Mengingat hal tertera di atas, di dalam politik bahasa Indonesia (Halim,

1984 : 22) bahwa dalam rangka merumuskan fungsi dan kedudukan bahasa daerah

perlu dipertimbangkan hal-hal berikut :

1. Bahasa daerah tetap dibina dan dipelihara oleh masyarakat pemakainya, yang

merupakan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang dijamin oleh

Undang-Undang Dasar 1945.

2. Bahasa daerah sebagai kekayaan budaya dapat dimanfaatkan untuk

pengembangan bahasa nasional beserta untuk pembinaan dan pengembangan

bahasa-bahasa daerah itu sendiri.

3. Bahasa daerah tidak hanya berbeda dalam struktur kebahasaannya, tetapi juga

berbeda jumlah penutur aslinya

4. Bahasa-bahasa tertentu dipakai sebagai alat penghubung baik lisan maupun

tulis, sedangkan bahasa daerah dipakai secara lisan.

Unsur-unsur bahasa dapat diteliti dari berbagai tinjauan tata bahasa seperti

fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Morfologi merupakan salah satu bidang linguistik yang membicarakan

kata dengan pembentukannya. Pembentukan kata dalam bahasa Karo dilakukan

dengan cara mempertemukan satu morfem dengan morfem lain. Morfem

(20)

kata. Proses pembentukan kata yang dilakukan disebut proses morfologi. Proses

morfologi meliputi afiksasi, reduplikasi, dan kompositum (pemajemukan).

Penelitian terhadap reduplikasi pada ummnya hanya terbatas pada bentuk,

fungsi, dan makna yang dianalisis secara sederhana dan belum tuntas terutama

mengenai keproduktifan bentuk reduplikasi dengan arti tertentu tanpa melihat

konteks terbentuknya reduplikasi tersebut, misalnya:

Mandi-mandi Tidur-tiduran corat-coret pukul-pukulan tembak-tembakan gerak-gerik mondar-mandir makan-makan minum-minum bolak-balik

Berdasarkan asumi bahwa reduplikasi morfologis bentuk terikat dan

bentuk bebas bahasa Karo juga merupakan hasil dari bentukan para pemakainya

atau penuturnya. Kemungkinan berbagai tipe bentuk reduplikasi pasti akan

terbentuk, seiring kebutuhan penuturnya. Inilah yang menjadi latar belakang

penulis untuk mengadakan penelitian terhadap reduplikasi morfemis bentuk bebas

dan bentuk terikat yang terdapat dalam bahasa Karo.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini akan mencari jawaban atas masalah penelitian yang

dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana tipe reduplikasi morfemis bahasa Karo berdasarkan bentuk?

(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan :

1. Mendeskripsikan tipe reduplikasi morfemis bahasa Karo berdasarkan

bentuknya.

2. Mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis bebas konteks dalam bahasa

Karo.

3. Mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis terikat konteks dalam bahasa

Karo.

1.4 Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Sebagai bahan rujukan untuk bahan penelitian selanjutnya khususnya yang

membahas reduplikasi morfemis terikat konteks dan bebas konteks.

2. Sebagai sumber informasi atau rujukan untuk meningkatkan pemahaman

tentang reduplikasi morfemis bebas konteks dan terikat konteks bagi peneliti

bahasa-bahasa daerah.

3. Melestarikan dan menghindarkan dari kepunahan sekaligus sebagai usaha

pembinaan dan pengembangan bahasa Karo.

1.5 Landasan Teori

Dalam penelitian ini digunakan analisis struktur bahasa berdasarkan teori

linguistik deskriptif struktural. Di antara penganut aliran ini Bloomfield (1953),

Nida (1964), Chaer (1994), Samsuri (1978), Ramlan (1987), dan Simatupang

(1983). Mereka berprinsip bahwa kajian atau telaah bahasa harus bersifat

deskriptif. Artinya, telaah itu berdasarkan bahasa yang diteliti sebagaimana

(22)

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan sinkronis, yaitu

menjelaskan atau memerikan tipe-tipe reduplikasi morfologi bahasa Karo yang

ada saat ini. Dalam penelitian ini juga diusahakan menemukan kaidah-kaidah

yang berlaku umum dalam reduplikasi morfemis bahasa Karo. Untuk itu,

bukti-bukti reduplikasi didefinisikan dan dibandingkan guna melihat pola-polanya.

Untuk mengetahui tipe-tipe reduplikasi dalam morfologis bahasa Karo

maka diacu dari pendapat Simatupang. Menurut Simatupang (1983:57)

reduplikasi morfemis bahasa Indonesia dapat dibagi dalam beberapa tipe, yaitu

1) Tipe R-1 (D + R) : rumah-rumah, pohon-pohon, perdebatan-perdebatan.

2) Tipe R-2 (D + R) : bolak-balik, kelap-kelip, desas-desus, tindak-lanjut.

3) Tipe R-3 ((D + R) + ber-) : berlari-lari, berteriak-teriak, bercakap-cakap

4) Tipe R-4 ((D + R) + ber-/-an): bersalam-salaman (salam-salaman),

berpacar-pacaran (pacar-pacaran).

5) Tipe R-5 (D + (R + ber-)) : anak-beranak, adik-beradik, kait-berkait,

ganti-berganti.

6) Tipe R-6 ((D + R) + meN-) : melompat-lompat, membawa-bawa,

melihat-lihat, membaca-baca, termasuk juga dalam tipe ini: terbatuk-batuk,

terbirit-birit.

7) Tipe R-7 (D + (R + meN-)) : pukul-memukul, tolong-menolong,

bantu-Membantu, kait-mengait.

8) Tipe R-8 (D + (R + meN-/-i)): hormat-menghormati, cinta-mencintai,

dahulu-mendahului

9) Tipe R-9 ((D + R) + meN-/-kan): menggerak-gerakan, melambai-lambaikan,

(23)

10) Tipe R-10 ((D + R) + meN-/-i): menghalang-halangi, menakut-nakuti,

menutup-nutupi

11) Tipe R-11 ((D + R) + se-/-nya): setinggi-tinggi(-nya), sekuat-kuat(-nya),

seberat-berat(-nya).

12) Tipe R-12 ((D + R) + ke-/-(-nya)): ketiga-tiga(-nya), keenam-enam(-nya),

kedua-dua(-nya)

13) Tipe R-13 ((D + R) + ke-/-an) : kehitam-hitaman, kehijau-hijauan,

keputih-putihan. Bentuk ini hanya terbatas pada kata sifat yang tidak memiliki

antonim. (tidak ditemukan bentuk kekering-keringan, kebaru-baruan).

14) Tipe R-14 ((D + R) + -an) : rumah-rumahan, kapal-kapalan,

untung-untungan, koboi-koboian.

15) Tipe R-15 (D + (R + -em-)) : kilau-kemilau, taram-temaram, tali-temali,

turun-temurun.

16) Tipe R-16 (D + Rp) : tetangga, lelaki, leluhur, seseorang, beberapa, sesuatu,

sesekali.

17) Reduplikasi semantik, yaitu proses pengulangan arti melalui penggabungan

dua bentuk yang bersinonim: cerdik-pandai, arif-bijaksana, tutur-kata,

semak-belukar.

18) Bentuk-bentuk residu (bentuk yang sangat terbatas): hal-ihwal, adat-istiadat,

alim-ulama, sebab-musabab.

Meskipun tipe reduplikasi yang dikemukakan Simatupang (1983: 137)

tampaknya cukup banyak, pada dasarnya ia menggolongkan reduplikasi atas tiga

macam juga, yaitu (1) reduplikasi penuh, (2) reduplikasi parsial, dan (3)

(24)

Berdasarkan fungsinya reduplikasi dapat dibagi menjadi:

a. Reduplikasi paradigmatis, yaitu reduplikasi yang tidak mengubah kelas kata

maupun identitas kata: rumah-rumah, guru-guru, anak-anak (menyatakan

jamak).

b. Reduplikasi derivasional, yaitu reduplikasi yang mengubah

kelas/jenis/kategori kata, atau mengubah identitas kata: rumah-rumahan,

buah-buahan, pukul-memukul, tindak-tanduk, gerak-gerik.

Adapun berdasarkan ada atau tidaknya unsur pengikat sintaksis,

reduplikasi dapat dibagi menjadi dua yaitu

a. Reduplikasi bebas konteks, yaitu reduplikasi yang artinya sudah dapat

ditentukan tanpa memperhitungkan konteksnya: tidur-tiduran (tidur-tidur).

b. Reduplikasi terikat konteks, yaitu reduplikasi yang artinya baru dapat

ditentukan dengan memperhitungkan konteksnya:

1) Sudah dua malam kami tak tidur-tidur

2) Jagalah adiknya itu baik-baik

Untuk menentukan identitas kata, sama halnya dengan afiksasi, dapat

ditempuh tiga cara (tes) yang dikemukakan Verhaar (1985), yaitu melalui (1) tes

keanggotaan kategorial kata, (2) tes dikomposisi leksikal, dan (3) tes struktur

sintaksis. Contoh:

1) a. Anak saya sudah bekerja.

b. Anak-anak saya sudah bekerja.

Dengan tes pertama sudah diketahui bahwa anak-anak sama jenis katanya

dengan anak. Kesimpulannya ialah bahwa R adalah reduplikasi paradigmatik.

(25)

b. Saya melihat orang-orangan di sawah.

Meskipun dengan tes pertama dapat dibuktikan bahwa orang dan

orang-orangan tergolong ke dalam kelas yang sama, dengan tes kedua diketahui bahwa

orang memiliki ciri semantis [+BERNYAWA], sedangkan orang-orang memiliki

ciri semantis [+BERNYAWA]. Kesimpulannya ialah bahwa Reduplikasi di atas

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Penelitian Terdahulu

Reduplikasi sebagai suatu peristiwa yang lazim terdapat dalam bahasa

telah banyak dibicarakan meskipun menggunakan berbagai istilah, misalnya

bentuk ulang (Keraf, 1991), kata ulang (Keraf, 1984), proses pengulangan

(Ramlan, 1979), dan yang lain pada umumnya menggunakan istilah reduplikasi.

Ada pula yang menggunakan istilah bentuk ulang sekaligus menggunakan

reduplikasi dengan pengertian yang agak berlainan (lihat Parera, 1988).

Pembicaraan yang telah muncul pada umumnya juga telah memerikan reduplikasi

yang terdapat aplikasi yang diperoleh atau yang ditampilkan pun berbeda-beda.

Perbedaan perian mereka itu agaknya bukan semata-mata disebabkan oleh

temuan data yang berbeda atau berlainan, melainkan sudut pandang yang mereka

gunakan yang berbeda menjadi sebab utama timbulnya perbedaan perian itu.

Lebih-lebih lagi di antara mereka belum memunculkan secara eksplisit kriteria

pemerian reduplikasi yang mereka buat, kecuali Ramlan (1979: 41), sehingga

membuat kemungkinan berbeda deskripsi periannya semakin besar (lihat

Simatupang 1983).

Reduplikasi itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi reduplikasi

morfemik, fonologik, sintaktik. Reduplikasi yang pertama itulah yang paling

banyak dibicarakan oleh para tata bahasawan, bahkan telah ada yang meneliti

secara spesifik sehingga meraih gelar doktor, yaitu Simatupang (1983) yang

(27)

Dari penelitian Simatupang tampak bahwa reduplikasi masih tetap

menarik untuk dikaji. Selain itu, dalam bahasa daerah dimungkinkan adanya

butir-butir yang berbeda dari tipe yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Tipe-tipe

reduplikasi yang dimungkinkan tersebut akan dianalisis dalam bahasa Karo,

sesuai dengan objek kajian ini.

Dalam membicarakan reduplikasi morfemik, beberapa istilah yang

berbeda tetapi dengan maksud yang sama tampak dari beberapa ahli yang diacu.

Misalnya, data membaca-baca, mengukur-ukur, melambai-lambaikan dan yang

sejenisnya dapat disebut pengulangan sebagian (Ramlan, 1979), dwilingga

berimbuhan (Keraf, 1991) atau ulangan berimbuhan (Keraf, 1984). Hal tersebut

terjadi karena penggunaan kriteria pemerian yang berbeda.

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian

reduplikasi bahasa Batak Karo oleh Samuel Barus (1981) dalam skripsinya yang

berjudul “Perbandingan Reduplikasi Bahasa Batak Karo dengan Reduplikasi

Bahasa Indoesia”. Bambang Pribadi (2000) dalam skripsinya yang berjudul

“Inferensi Morfologi Bahasa Karo dalam Bahasa Indonesia”. Tulisan di atas

massih membahas persoalan morfem dengan sangat sederhana, sesuai dengan

tingkat kajiannya.

Selain itu, beberapa penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan

kajian terhadap bahasa Karo adalah Sahala Manullang (2001) dalam skripsinya

yang berjudul “Perbandingan Pronomina Bahasa Batak Toba dengan Bahasa

Karo”. Siti Sakdiah Tarigan (2003) dalam skripsinya yang berjudul “Aspek

(28)

dalam skripsinya yang berjudul “Penyukuan Kata dalam Bahasa Karo”. Christian

H. Sitepu (2004) dalam skripsinya yang berjudul “Pribahasa dalam Bahasa Karo”.

2.2 Konsep Reduplikasi

Reduplikasi merupakan suatu proses dari hasil pengulangan satuan bahasa

sebagai alat fonologis atau gramatikal, sehingga pada hakikatnya dapat ditemui

reduplikasi fonologis dan reduplikasi gramatikal-dengan pengertian reduplikasi

gramatikal mencakup reduplikasi morfemis atau reduplikasi morfologis, dan

reduplikasi sintaktis. Bahkan kadang-kadang ada yang mengelompokkan begitu

saja reduplikasi menjadi reduplikasi fonologis, reduplikasi morfologis dan

reduplikasi sintaktis (lihat Kridalaksana. 1982: 13--144; 1989: 88; Simatupang.

1983).

Reduplikasi fonologis merupakan peristiwa reduplikasi yang dapat berupa

perulangan suku, atau suku-suku kata sebagai bagian kata, bentuk dasar dan

reduplikasi morfologis ini secara deskriptif siokronik tidak dapat ditemukan

dalam bahasa yang bersangkutan. Contoh reduplikasi fonologis dalam bahasa

Indonesia antara lain kupu-kupu, kura-kura, biri-biri, betutu, cecunguk dan

sebagainya. Reduplikasi seperti ini oleh para ahli bahasa Indonesia sering disebut

perulangan semu, kata ulang semu, atau reduplikasi semu (lihat Samsuri 1988: 91;

Keraf 1991: 153; Alisyahbana 1953: 55-56 dalam Simatupang 1983).

Reduplikasi morfologis atau reduplikasi morfemis mengacu pada

persoalan morfem yang mengalami perulangan. Hasil reduplikasi ini dapat berupa

(29)

salah satu proses morfologis yang lazim dijumpai pada sebagaian besar bahasa di

dunia ini terutama bahasa yang bertipe aglutinatif (Lihat Simatupang 1983).

Konsep reduplikasi morfologis pada hakikatnya memiliki kesamaan di

antara para ahli bahasa Indonesia, hanya saja di dalam menyebut bentuk dasar dari

bentuk ulang dijumpai berbagai macam. Gorys Keraf (1991: 149) menyatakan

bahwa reduplikasi merupakan sebuah bentuk gramatikal yang berujud

penggandaan sebagai atau seluruh bentuk dasar sebuah kata. Adapun Ramlan

(1979: 38) menyatakan bahwa proses pengulangan atau reduplikasi merupakan

pengulangan bentuk, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi

fonem maupun tidak. Hasil perulangan itu berupa kata, dan bentuk yang diulang

merupakan bentuk dasar. Samsuri (1988: 14) menyatakan babwa reduplikasi

merupakan pengulangan bentuk kata, yang dapat utuh atau sebagian. Sama halnya

dengan pendapat Matthews (1978: 127) yang menyatakan bahwa reduplikasi

merupakan repetisi yang dapat persial tetapi dapat pula keseluruhan. Dalam Tata

Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988: 166) menyebutkan bahwa reduplikasi

sebagai proses pengulangan kata baik secara keseluruhan (utuh) maupun secara

sebagian.

Dari batasan yang dimunculkan itu secara tegas memperkuat hakikat

reduplikasi yang tidak lain merupakan gejala repetisi atau perulangan bentuk.

Bentuk yang diulang itu teryata disebut dengan bermacam-macam dan cara

pengulangannya dapat secara utuh dapat pula hanya sebagian sehingga dapat

disebut perulangan penuh atau perulangan sebagian.

Reduplikasi haruslah dibedakan dari kata yang berulang, karena kata yang

(30)

berulang muncul sebagai repetisi itu biasa dijumpai pada peristiwa berbahasa

yang dilakukan oleh penjual atau penjaja makanan, koran dan sebagainya; orang

yang sedang sakit atau ketakutan, orang yang sedang menjadi suporter olah raga

dan sebagainya.

Bentuk tuturan seperti itu tidak termasuk ke dalam reduplikasi meski

terjadi peristiwa perulangan atau repetisi bentuk lingual. Misalnya, tahu... tahu...,

tempe... tempe..., sakit... sakit..., aduh sakit sekali Bu!, Tolong... tolong...,

kebakaran...! kebakaran...!, dan sebagainya (konteksnya sengaja tidak

ditampilkan secara formal).

Reduplikasi morfologis dalam bahasa-bahasa tertentu dimungkinkan

memiliki bentuk: dasar yang berupa bentuk turunan atau bentuk kompleks.

Artinya, bentuk dasar reduplikasi itu sebelumnya telah memiliki status sebagai

kata kompleks, kemudian menjadi unsur proses morfologis lagi untuk membentuk

kata baru yang lain sehingga terjadi rekursi. Kembalinya kata menjadi unsur

leksikal itu disebut leksikalisasi (Kridalaksana. 1989: 14), dan sebaliknya

berubahnya laksem menjadi kata disebut gramatikalisasi. Misalnya,

1. Bentuk berjalan-jalan (diasumsikan bentuk dasarnya berjalan) dapat

ditunjukkan prosesnya:

(1) Proses I : : prefiksasi ber- terhadap jalan menjadi berjalan

(2) Proses II: : leksikalisasi berjalan menjadi unsur leksikal yang biasanya disebut

leksem

(3) Proses III : reduplikasi bentuk berjalan rnenjadi berjalan-jalan.

(31)

(1) Proses I : gramatikalisasi leksem orang menjadi kata orang.

(2) Proses II : leksikalisasi orang menjadi leksem orang.

(3) Proses III : reduplikasi orang menjadi orang-orang.

Kadang-kadang bentuk orang-orang dan sejenisnya diasumsikan dibentuk

dari leksem (ada pula yang menyebut morfem) yang langsung mengalami proses

reduplikasi, tanpa melalui pemunculan menjadi kata lebih dahulu.

Dengan demikian, bila asumsinya demikian pada bentuk orang-orang tidak

dijumpai proses leksikalisasi. Namun, bila diterima adanya fakta orang dan

sejenisnya pemah muncul sebagai kata, analisis seperti di atas dapat diterima.

Reduplikasi sintaksis merupakan reduplikasi gramatikal yang dassarnya berupa

leksem (ada yang menyebut morfem), dan hasilnya berupa klausa (Simatupang

1983)

Jadi, reduplikasi sintaksis ini menghasilkan klausa bukan lagi kata.

Persoalannya, klausa di sini bukan dalam arti bentuk, melainkan dalam semantik.

Perhatikan contoh berikut ini:

3. Tua-tua, orang itu masih mampu naik sepeda.

Bentuk tua-tua dalam konteks itu dapat diparafrasakan menjadi meskipun tua,

walaupun tua dan sebagainya sehingga bentuk lengkapnya adalah orang itu

(sudah) tua, yang merupakan klausa dengan tua sebagai predikat inti.

Dalam bahasa Indonesia, suatu bentuk reduplikasi tidak dapat ditetapkan

begitu saja merupakan bentuk reduplikasi morfologis atau sintaktis tanpa

mempertimbangkan konteks pemunculan bentuk reduplikasi itu sendiri, dan

berbeda dengan reduplikasi fonologis yang dapat bebas konteks pada umumnya

(32)

kecil atau tidak. Bila tidak dijumpai bentuk yang lebih kecil dapat dipastikan

bentuk reduplikasi itu merupakan reduplikasi fonologis, bila dijumpai bentuk

yang kecil - sebagai bentuk dasamya - dimungkinkan merupakan reduplikasi

morfologis atau reduplikasi sintaktis. Mengingat hal yang demikian itu, pada

hakikatnya pembicaraan reduplikasi gramatikal tidak dapat dilakukan secara

bebas konteks, dan bila dikaitkan dengan makna, makna yang ada pun adalah

makna gramatikal.

Berikut ini diberikan beberapa contoh pemerian reduplikasi (tentu saja

berupa hasil pemerian, yaitu periannya) yang dapat digunakan untuk

menunjukkan betapa perlunya disepakati dan dinyatakan secara formal kriteria

pemerian itu. Tentu saja tulisan ini harus dipandang bukan sebagai .perombakan.

apa yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh para ahli bahasa yang disebutkan di

sini. Begitu pula, tulisan ini tidak harus diikuti, tetapi barus dipandang sebagai

pemancing untuk menimbulkan pemikiran perlunya ada ketaatazasan dalam

pemerian sesuatu, termasuk permasalahan reduplikasi.

Beberapa contoh pemerian reduplikasi:

Samsuri (1988: 91) menyebutkan tiga macam reduplikasi yaitu reduplikasi

atau perulangan utuh, reduplikasi parsial dan reduplikasi semu, sedangkan Keraf

(l984:120-121; 1991: 149-50) menyebutkan empat macam reduplikasi atau

pengulangan, yaitu pengulangan dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin suara, dan

perulangan atau ulangan berimbuhan. Selain itu, ia menyebutkan pula istilah

perulangan semu (Keraf. 1991: 153).

Kridalaksana (1989: 88 --90) menyebutkan lima macam reduplikasi, yaitu

(33)

dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988: 166) menyebutkan empat

macam reduplikasi, yaitu pengulangan utuh, salin suara, sebagian, dan disertai

pengafiksan.

Lain halnya dengan Parera (1988: 51-55) menyebutkan reduplikasi

(menggunakan istilah bentuk ulang) simetris, regresif, progresif. konsonan, vokal,

dan reduplikasi atau bentuk ulang reduplikasi. Begitu pula dengan Ramlan (1979:

41-45) yang menyebutkan ada empat macam pengulangan dilibat dari cara

mengulang bent uk dasarnya, yaitu pengulangan seluruh, pengulangan sebagian,

pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dan

pengulangan dengan perubahan fonem.

Dari pemerian reduplikasi dalam bahasa Indonesia di atas ternyata hanya

satu, yaitu pendapat Ramlan yang secara eksplisit (formal) menggunakan kriteria

penggolongan atau penjenisan reduplikasi, sedangkan selebihnya dinyatakan

secara implisit. Bila diperhatikan ternyata memang mereka ada yang secara

konsisten menggunakan kriteria tertentu saja, tetapi ada pula yang menggunakan

beberapa kriteria dalam pemeriannya. Selain itu, ada kecenderungan

pengamatannya terpengaruh oleh peristiwa lain yang seharusnya dapat

dikendalikan.

2.3Pengertian Reduplikasi

Reduplikasi merupakan salah satu wujud proses morfologis. Reduplikasi

sebagai proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhun,

sebagian (parsial), maupun dengan perubahan fonem (Chaer,1994: 182).

(34)

morfologi yang produktif di dalam pembentukan kata. Berdasarkan pendapat

Chaer tersebut dapat dikatakan bahwa reduplikasi merupakan suatu proses

pengulangan yang terjadi pada bentuk dasar dan berperan aktif di dalam

pembentukan kata.

Ramlan (2001:63) mengatakan bahwa reduplikasi adalah pengulangan

satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem

maupun tidak. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

reduplikasi atau pengulangan kata adalah suatu pengulangan atau proses secara

morfemis yang mengulang satuan gramatik baik secara utuh, sebagian, perubahan

bunyi, maupun penambahan afiks.

2.3.1 Jenis - jenis Reduplikasi

Ramlan (2001 : 69) mengatakan bahwa reduplikasi atau pengulangan kata

itu terbagi menjadi empat bagian di antaranya pengulangan secara keseluruhan,

pengulangan sebagian, pengulangan yang berkombinasi dengan afiks, dan

pengulangan dengan perubahan fonem.

1. Pengulangan seluruh adalah pengulangan seluruh bentuk dasar, tanpa

perubahan fonem dan tidak berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks.

Contoh :

sepeda sepeda – sepeda

buku buku – buku

2. Pengulangan sebagian adalah pengulangan sebagian dari bentuk dasarnya.

Bentuk dasar tidak diulang seluruhnya.Hampir semua bentuk dasar

(35)

Apabila bentuk dasar itu berupa bentuk kompleks,

kemungkinan-kemungkinan bentuknya sebagai berikut :

Contoh :

a. Bentuk dasar dengan prfiks meN –

Misalnya : mengambil mengambil–ambil

membaca membaca-baca

b. Bentuk dasar dengan prefiks di –

Misalnya : ditarik ditarik– tarik

ditanami ditanam–tanami

disodorkan disodor-sodorkan

c. Bentuk dasar dengan prefiks ber –

Misalnya : berjalan berjalan-jalan

bermain bermain-main

berlarut berlarut-larut

d. Bentuk dasar dengan prefiks ter –

Misalnya : tersenyum tersenyum-senyum

terbatuk terbatuk-batuk

terbentur terbentur-bentur

e. Bentuk dasar dengan prfiks ber – an

Misalnya : berlarian berlarian -larian

berjauhan berjauhan-jauhan

berdekatan berdekatan–dekatan

f. Bentuk dasar dengan sufiks an –

(36)

makanan makan -makanan

nyanyian nyanyian –nyanyian

g. Bentuk dasar dengan prefiks ke –

Misalnya : kedua kedua-dua

ketiga ketiga-tiga

keempat keempat-empat

3. Pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks.

Pengulangan ini terjadi bersama- sama dengan proses pembubuhan afiks

dan bersama–sama pula mendukung satu fungsi.

Contoh :

Pengulangan dengan pembubuhan sufiks an –

Misalnya :

Kereta kereta – kereta keretan-keretaan

anak anak – anak anak-anakan

rumah rumah – rumah rumah-rumahan

4. Pengulangan dengan perubahan fonem, kata ulang yang pengulangannya

termasuk golongan ini sebenarnya sangat sedikit. Di samping bolak–balik

terdapat kata kebalikan, sebaliknya, dibalik, membalik. Dari perbandingan

itu, dapat disimpulkan bahwa kata bolak–balik dibentuk dari bentuk dasar

balik, diulang seluruhnya dengan perubahan fonem, ialah dari / a / menjadi /

o / dan dari / i / menjadi / a / /

Contoh Lain :

gerak gerak – gerik

(37)

Keraf (1991:149) mengatakan bahwa macam-macam kata ulang

berdasarkan strukturnya, bentuk ulang dalam bahasa Indonesia dapat dibagi

menjadi empat macam yaitu :

1. Pengulangan Dwipura

Pengulangan dwipura adalah pengulangan yang dilakukan atas suku kata pertama

dari sebuah kata. Dalam bentuk pengulangan macam ini, vokal suku kata awal

yang diulang mengalami pelemahan karena pengulangan ini menghasilkan satu

suku kata tambahan. Sehingga vokal suku kata baru ini diperlemah. Kata-kata

yang mengalami pengulangan dwipura antara lain :

tanaman > tatanaman > tetanaman

tangga > tatangga > tetangga

tamu > tatamu > tetamu

2. Pengulangan Dwilingga

Lingga adalah bentuk dasar. Karena itu, bila sebuah bentuk dasar mengalami

pengulangan seutuhnya maka pengulangan ini disebut pengulangan dwilingga.

Lingga yang diulang dapat berupa kata dasar atau kata turunan. Misalnya :

rumah > rumah-rumah

buah > buah-buahan

anak > anak-anak

3. Pengulangan Dwilingga Salin – Suara

Pengulangan dwilingga salin – suara adalah semacam pengulangan atas seluruh

bentuk dasar, namun terjadi perubahan bunyi pada salah satu fonemnya atau lebih.

(38)

gerak – gerik > gerak – gerik

porak – porak > porak – parik

4. Pengulangan Dwilingga Berimbuhan

Pengulangan dwilingga berimbuhan adalah salah satu variasi lain dari

pengulangan dwilingga, namun pada salah satu atau bentuk lingga atau bentuk

dasarnya mendapat imbuhan.Misalnya :

bermain-main

memukul-mukul

berjalan-jalan

Kridalaksana (89:2007) mengatakan bahwa jenis-jenis reduplikasi ada 5

macam, yaitu:

1. Dwipurwa

Dwipurwa adalah pengulangan suku pertama pada leksem dengan pelemahan

vokal.

Contoh: tetangga

lelaki

tetamu

sesama

2. Dwilingga

Dwilingga adalah pengulangan leksem.

Contoh: rumah-rumah

makan-makan

pagi-pagi

(39)

Dwilingga salin swara adalah pengulangan leksem dengan variasi fonem.

Contoh: mondar-mandir

bolak-balik

corat-coret

4. Dwiwasana

Dwiwasana adalah pengulangan bagian belakang dari leksem.

Contoh: pertama-tama

perlahan-lahan

sekali-kali

5. Trilangga

Trilangga adalah pengulangan anamotope tiga kali dengan variasi fonem.

Contoh: cas-cis-cus

dag-dig-dug

ngak-ngik-nguk

Badudu (1980:21) mengatakan bahwa jenis-jenis reduplikasi ada 5 macam, yaitu:

1. Pengulangan penuh

Pengulangan penuh adalah semua kata ulang yang di hasilkan oleh perulangan

unsurnya secara penuh.

Contoh: gedung gedung-gedung

Jalan jalan-jalan

Makan makan-makan

2. Pengulangan berimbuhan

Pengulangan berimbuhan adalah semua kata ulang yang salah satu unsurnya

(40)

Contoh: berjalan berjalan-jalan

Berlari berlari-lari

3. Pengulangan bunyi

Pengulangan bunyi adalah pengulangan yang terjadi dengan perubahan bunyi

banyak pada unsur pertama maupun unsur kedua.

Contoh: cerai cerai-berai

sorak sorak-sorai

4. Pengulangan semu

Pengulangan semu adalah pengulangan yang hanya dijumpai dalam bentuk ulang

seperti itu. Bila tidak diulang, maka komponennya tidak mempunyai makna, atau

mempunyai makna lain yang tidak ada hubungannya dengan kata ulang tersebut.

Contoh: laba-laba

ubur-ubur

kupu-kupu

5. Pengulangan dwipurwa

Pengulangan dwipurwa adalah pengulangan yang berasal dari komponen yang

mulanya diulang, kemudian berubah menjadi sepatah kata dengan bentuk seperti

itu.

Contoh: laki lelaki

tangga tetangga

Berdasarkan pendapat Ramlan, Keraf, Badudu dan Kridalaksana dapat

disimpulkan bahwa reduplikasi atau kata ulang ada 6 macam yang diketahui,

yaitu:

(41)

2. Reduplikasi atau kata ulang sebagian/dwipurwa.

3. Reduplikasi atau kata ulang perubahan vonem/dwilingga salin swara.

4. Reduplikasi atau kata ulang yang berkombinasi dengan proses pembubuhan

afiks/berimbuhan/bersambung/dwilingga berimbuhan/dwiwasana.

5. Reduplikasi atau kata ulang trilingga.

6. Reduplikasi atau perulangan semu.

2.4Bentuk Dasar Reduplikasi

Ramlan (2001 : 65) mengttakan bahwa setiap kata memiliki satuan yang

diulang, sehingga sebagian kata ulang dengan mudah dapat ditentukan bentuk

dasarnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak semua kata ulang dengan mudah

ditentukan bentuk dasarnya, sehingga dapatlah dikemukakan dua petunjuk dalam

menentukan bentuk dasar kata ulang, yaitu sebagai berikut:

a. Pengulangan pada umumnya tidak dapat mengubah golongan kata.

Contoh :

berkata –kata (kata kerja) bentuk dasarnya berkata (kata kerja)

gunung – gunung (kata nominal) bentuk dasarnya gunung (kata nominal)

cepat – cepat (kata sifat) bentuk dasarnya cepat (kata sifat)

sepuluh –puluh (kata bilangan) bentuk dasarnya sepuluh (kata bilangan)

b. Bentuk dasar selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa.

Contoh :

mengata-ngatakan : bentuk dasarnya mengatakan, bukan mengata

menyadar-nyadarkan : bentuk dasar menyadarkan, bukan menyadar

(42)

2.5Makna Reduplikasi

Ramlan (2001 : 176) mengatakan bahwa makna reduplikasi atau

pengulangan kata terbagi menjadi 11 bagian sebagai berikut:

1. Menyatakan makna ‘banyak yang berhubungan dengan bentuk dasar`.

contoh : rumah itu sudah sangat tua

rumah – rumah itu sudah sangat tua

Kata rumah dalam kalimat rumah itu sudah tua menyatakan “sebuah rumah“ ,

sedangkan kata rumah-rumah dalam kalimat rumah-rumah itu sudah tua

menyatakan “banyak rumah.”

contoh lain :

binatang-binatang : banyak bintang

pembanguan-pembangunan : banyak pembangunan

kunjungan-kunjungan : banyak kunjungan

2. Menyatakan makna ‘ banyak yang tidak berhubungan bentuk dasar`.

contoh :

Mahasiswa yang pandai-pandai mendapatkan beasiswa (mahasiswa

itu pandai)

pohon yang rindang-rindang itu pohon beringin (pohon ditepi jalan

itu rindang-rindang)

3. Menyatakan makna ‘ tak bersyarat ‘ dalam kalimat

Contoh dalam kalimat :

(43)

Pengulangan pada kata jambu dapat digantikan dengan kata meskipun, menjadi

meskipun jambu mentah, dimakannya.

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa pengulangan pada kata jambu

menyatakan makna yang sama dengan makna yang dinyatakan oleh kayta

meskipun,ialah makna ‘ tak bersyarat ‘

Contoh : - duri-duri diterjang : meskipun duri ‘ diterjang ‘

- darah-darah diminum : meskipun darah diminum

4. Menyatakan makna ‘ yang menyerupai apa yang tersebut pada bentuk dasar’.

Dalam hal ini proses pengulangan berkombinasi dengan proses pembubuhan

afiks –an.

Contoh :

Kuda-kudaan : ‘ yang menyatakan kuda ‘

Rumah-rumahan : ‘ yang menyatakan rumah ‘

Anak-anakan : ‘yang menyatakan anak ‘

5. Menyatakan bahwa ‘perbuatan tersebut pada bentuk dasar dilakukan berulang

–ulang’

Contoh :

Berteriak-teriak : ‘ berteriak berkali-kali’

memukul-mukul : ‘ memukul berkali-kali ‘

memetik-memetik : ‘ memetik berkali-kali ‘

menyobek-nyobek : ‘ menyobek berkali-kali ‘

6. Menyatakan bahwa ‘ perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan

dengan enaknya, dengan santainya, atau dengan senangnya’

(44)

Berjalan-jalan : ‘ berjalan dengan santainya’

Makan-makan : ‘ makan dengan santainya ‘

Minum-minum : ‘ minum dengan santainya ‘

Membaca-baca : ‘ membaca dengan santainya ‘

7. Menyatakan bahwa ‘ perbuatan pada bentuk ini dilakukan oleh dua pihak dan

saling mengenai.’Dengan kata lin pengulangan ini menyatakan makna ‘

saling’

Contoh :

pukul – memukul : ‘ saling memukul ‘

pandang – memandang : ‘saling memandang ‘

kunjung – mengunjungi : ‘ saling mengunjungi ‘

8. Menyatakan ‘ hal-hal yang berhubungan dengan perkejaan yang tersebut pada

bentuk dasar ‘

Contoh :

Cetak-mencetak : ‘ hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan

mencetak ‘

Jilid-menjilid : ‘ hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan

menjilid’

9. Menyatakan makna ‘ agak ‘

Contoh :

kemerah–merahan : ‘ agak merah ‘

kehitam–hitaman : ‘ agak hitam

(45)

10.menyatakan makna ‘tingkat yang paling tinggi yang dapt dicapai’. Dalam hal

ini pengulangan berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks se-nya.

Contoh:

sepenuh-penuhnya : ‘tingkat penuh yang paling tinggi yang dapat

dicapai;sepenuh mungkin’.

serajin-rajinnya :’tingkat rajin yang paling tinggi yang dapat

dicapai;serajin mungkin’.

11. Selain dari makna-makna yang tersebut di atas, terdapat juga proses

pengulangan yang sebenarnya tidak mengubah arti bentuk dasarnya,

melainkan hanya menyatakan intensitas perasaan.

Contoh:

kata: mengharapkan dengan mengharap-harapkan, membedakan

dengan membeda-bedakan.

Adapun makna dan fungsi reduplikasi menurut Badudu (1978: 24-27)

adalah sebagai berikut :

1. pengulangan kata benda

1) menyatakan ‘ bermacam – macam ‘

contoh :

buah -buahan

sayur -sayuran

2) menyatakan benda menyerupai bentuk dasar itu

contoh :

(46)

rumah-rumahan

2. pengulangan kata kerja

1) menyatakan ‘ pekerjaan yang dilakukan berulang – ulang atau berkali-

kali’

contoh :

meloncat – loncat

menarik – narik

2) menyatakan aspek ‘duratif yaitu pekerjaan, perbuatan, atau keadaan

berlangsung lama’

contoh :

berenang-renang

disimpan – simpan

3) menyatakan ‘ bermacam-macam pekerjaan’

contoh :

sulam-menyulam

cetak-mencetak

4) menyatakan ‘pekerjaan yang dilakukan oleh dua pihak ; berbalasan‘

contoh :

tembak – menembak

bersaing – saingan

3. pengulangan kata sifat

1) menyatakan makna ‘lebih (insensitas)’

(47)

berjalan cepat-cepat!

Kerjakan baik- baik !

2) menyatakan ‘sampai atau pernah‘

contoh :

habis-habisan

bosan-bosanan

3) pengulangan dengan awalan – se dan akhiran – nya menyatakan makna ‘

superlatif ( paling )

contoh :

setinggi-tingginya

sebaik-baiknya

4) pengulangan yang menyatakan ‘melemahkan arti kata sifat itu’ atau makna

‘ agak ‘

contoh :

pening-pening

sakit-sakit

5) pengulangan yang seolah–olah menjadi ungkapan dalam bahasa Indonesia

makna pengulangannya kurang jelas.

contoh :

menakut- nakuti

4. pengulangan kata bilangan

1) menyatakan makna ‘ satu demi satu ‘

contoh :

(48)

2) pengulangan kata satu tambahan akhiran – nya menyatakan makna ‘hanya

satu’

contoh :

ini adalah anak satu-satunya

3) pengulangan dengan kata satu-satu, tiga-tiga, empat–empat, dan

seterusnya menyatakan makna ‘ sekaligus dua, tiga, empat, dan

seterusnya’

contoh :

buah apel ini lima- lima sebungkus

4) pengulangan berpuluh–puluh, beratus–ratus, beribu–ribu, dan seterusnya

menyatakan makna ‘ kelipatan sepuluh, seratus, seribu, dan seterusnya’

contoh :

beribu- ribu

berjuta-juta

Pada bahasa Karo, reduplikasi itu dapat dilihat pada kata-kata berikut :

Nini – nini (< nini) ‘nenek-nenek’

Iketen – iketen (< iketen) ‘ikatan-ikatan’

Mbagi – bagiken (< membagiken) ‘membagi-bagikan’

Pemena – mena (< pemena) ‘pertama-tama’

Ikata – kataken (< ikataken) ‘dikata-katakan’

Jajorok (< jarok) ‘gayung’

Megara – garaen (< gara) ‘merah-kemerahan’

(49)

Erton – ton (< ton) ‘berton-ton’

Reduplikasi di atas memperlihatkan bahwa tiap-tiap kata dapat

dikembalikankan pada bentuk yang lebih sederhana disebut dasar. Selanjutnya,

kata yang bertugas sebagai dasar itu ada yang dapat pula dipulangkan pada bentuk

yang lebih sederhana lagi yang juga merupakan dasar. Terlihat pula bahwa masing

– masing kata merupakan hasil proses pengulangan sebagian atau seluruh bentuk

kata yang dianggap menjadi dasarnya. Proses yang menghasilkan kata – kata di

atas disebut proses reduplikasi yang selanjutnya dapat diperinci berdasarkan unsur

dasar yang mengalami pengulangan. Reduplikasi yang mengulang hanya sebagian

unsur dasar (biasanya gugus KV – suku pertama atau kedua suku terakhir dasar)

disebut reduplikasi parsial (Rp

Pada bentuk – bentuk reduplikasi tertentu, dasar kata yang dapat dianggap

langsung menurunkan bentuk R dapat dengan mudah ditentukan; misalnya, nini

pada nini-nini. Pada bentuk-bentuk R lain, nampaknya tak selalu mudah untuk

menentukan dasarnya. Bentuk pemena-mena, misalnya dapat dikatakan

diturunkan dari bentuk pemena, sehingga R yang menghasilkannya ialah R

) (K = konsonan, V = vokal), dan reduplikasi yang

mengulang seluruh dasar kata reduplikasi penuh (R)

p. Akan tetapi, kata itu dapat dianggap diturunkan dari pengulangan penuh bentuk

mena. Mengingat adanya kata-kata tertentu yang jika diulang hanya mungkin

terdapat dengan afiks, misalnya, erton-ton (yang langsung diturunkan dari ton,

karena bentuk *erton tidak mungkin), dalam simbolisasinya bentuk – bentuk

reduplikasi seperti pemena-mena, mbagi-bagiken, ikata-kataken, dan erton-ton,

(50)

Selanjutnya, bentuk-bentuk reduplikasi dapat terdiri dari konstituen dasar

dan konstituen ulang (duplicate). Pada bentuk nini-nini, misalnya, konstituen

dasar menempati posisi 1 dan konstituen ulangnya (-nini) menempati posisi 2.

tergantung pada posisi konstituen ulangnya, redpulikasi selanjutnya dapat

diperinci menjadi reduplikasi arah kanan atau redpulikasi arah kiri. Apabila

konstituen ulangnya terdapat pada posisi 2, reduplikasi disebut reduplikasi arah

kanan, dan ia disebut arah-arah kiri jika konstituen ulangnya menempati posisi 1;

nini-nini, mbagi-bagiken adalah contoh reduplikasi arah kanan. Erlebuh-lebuh

adalah contoh reduplikasi arah kiri.

Di atas telah disinggung bahwa reduplikasi adalah proses morfemis yng

mengubah bentuk kata yang dikenainya. Sekarang perlu diketahui apakah

perubahan yang terjadi dapat dihubungkan dengan suatu arti (dengan perkataan

lain : apakah proses tersebut “meaningful”). Jika arti setiap bentuk reduplikasi di

atas dibandingkan dengan arti kata yang dikenainya akan segera tampak bahwa

perubahan bentuk dapat dihubungkan dengan arti tertentu. Hal ini sesuai dengan

prinsip umum semantik bahwa “bila bentuk berbeda, maknanya berbeda pula”

(Verhaar, 1977).

2.6 Simbolisasi Bentuk Reduplikasi

Untuk menentukan tanda-tanda (simbol) yang digunakan untuk

menuliskan bentuk-bentuk reduplikasi digunakan simbolisasi Simatupang (1983),

reduplikasi dibagi dalam dua kelompok besar :

(1) Reduplikasi morfemis;

(51)

Reduplikasi morfemis selanjutnya dapat diperinci menjadi :

1) Reduplikasi penuh, yaitu yang mengulang seluruh (bentuk) dasar

kata. Tanda yang dipakai untuk menuliskannya ialah R (tanda ini

digunakan juga untuk memendekkan kata reduplikasi secara umum);

tanda yang dipakai untuk menuliskan dasar yang dikenai oleh R yang

bersangkutan untuk menghasilkan bentuk baru ialah D.

2) Reduplikasi parsial, yaitu yang mengulang sebagian (bentuk) dasar

kata untuk menghasilkan bentuk baru. Tanda reduplikasi jenis ini

ialah Rp

Kemudian, R dan Rp dapat diperinci berdasarkan perubahan lain yang

terjadi dan jenis-jenis afiks yang dapat bergabung dengannya. (p = parsial)

Hal lain yang perlu kiranya dikemukakan di sini ialah bahwa dalam

simbolisasi, R penuh didasarkan pada unsur kata yang mengalami pengulangan

penuh. Pada kata memukul – mukul misalnya, unsur yang mengalami

pengulangan ialah unsur bawahan langsung (IC) – pukul dan bukan memukul. Hal

ini ditentukan demi kemudahan saja. Kalau tidak, R yang menghasilkan kata

memukul-mukul akan dimasukkan ke dalam golongan Rp, dan ini akan

menimbulkan kerumitan dalam simbolisasi. Lagi pula, ada bentuk-bentuk

reduplikasi tertentu yng diperkirakan diwujudkan melalui proses pengulangan dan

afiksasi secara sekaligus, dan biasanya bentuk-bentuk demikian langsung

diturunkan dari bentuk yang dapat dianggap paling dasar, misalnya ke (k) anak-

(k) anakan (< (k) anak) dan berton-ton (< ton). Dalam pembicaraan selanjutnya,

apabila diperlukan apa yang diperkirakan menjadi dasar langsung dari kata

(52)

Berikut terdapat beberapa contoh utama cara menuliskan bentuk-bentuk

reduplikasi :

1. Reduplikasi morfemis

(1.1) Reduplikasi penuh

(1.1.1) R tanpa afiks :

Nini – nini : (D + R)

(1.1.2) R dengan afiks :

(1.1.2.1) R dengan prefiks :

Pemena – mena : ((D + R) + pe-))

(1.1.2.2) R dengan simulfiks :

Mbagi - bagiken : (D + R) + N- (-ken)

(1.1.2.3) R dengan sufiks :

Galang-galangen : ((D + R) + -en)

(1.1.2.4) R dengan infiks :

Gilang-gemilang : (D + (R + -em-)

(1.2) Reduplikasi penuh dengan perubahan fonem (Rperf

(1.2.1) R

, pef = perubahan

fonem di mana f dapat berupa K = konsonan atau V = vokal)

perf

Sayur – mayur : (D + R

tanpa afiks :

perk

(1.2.2) R

)

perf

Eramah – tamah : ((D + R

dengan afiks :

perk

(1.2.3) R

) + er-)

perf

Eramah – tamahen : (D + R

dengan simulfiks :

perk

2. Reduplikasi parsial

) + er-/-en)

(53)

Dedaunan : ((D + Rp 3. Reduplikasi semantis

) + -an)

(3.1) Rs

Sopan – santun : ((D + R

tanpa afiks

s

(3.2) R

)

s

Menghancur – leburkan : ((D + R) + meN-/-kan)

dengan afiks

Untuk reduplikasi yang derivasional dan yang paradigmatis, secara

berturut-turut, dipakai tanda R-der (der = derivasional) dan R-par (par =

(54)

BAB III

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELETIAN

3.1 Masyarakat Karo

Masyarakat Karo menggunakan bahasa Karo untuk berkomunikasi dalam

kehidupannya sehari-hari. Jadi, dapat dikatakan bahwa masyarakat etnis Karo

adalah penutur asli bahasa Karo. Secara keseluruhan, masyarakat etnis Karo lebih

banyak tinggal di luar Kabupaten Karo, tetapi bila dilihat dalam satu daerah

kabupaten maka di Kabupaten Karolah yang terdapat jumlahnya paling banyak.

Sesuai dengan kenyataan, walau dimanapun mereka berdomisili bahwa mereka

selalu menggunakan bahasa Karo untuk berkomunikasi antar sesama etnis Karo.

Kesetiaan mereka untuk menggunakan bahasa Karo memang sangat tinggi.

Masyarakat Karo yang berdomisili di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan

Langkat mayoritas adalah petani. Mereka menanam sawit, karet, dan palawija.

Mereka tidak ada yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, walaupun

mereka tinggal di tepi pantai. Di luar pekerjaan tersebut memang ada juga yang

bekerja sebagai PNS, ABRI, dan berdagang.

Secara umum, masyarakat Karo yang berdomisili di Kabupaten Karo

bertani dengan menanam padi basah dan padi kering, buah-buahan, dan

sayur-sayuran. Hal itu diakibatkan oleh keadaan alamnya yang menunjang, yaitu

tanahnya subur dan udaranya sejuk disertai curah hujan yang cukup. Masyarakat

Etnis Karo yang tinggal di Kabupaten Deli Serdang dan langkat pada umumnya

(55)

Sistem demokrasi atau kegotong-royongan lebih banyak ditemukan

bahwa pada masyarakat Karo yang tinggal di daerah Kabupaten Karo daripada

mereka yang tinggal di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat karena dikedua

kabupaten tersebut tidak ditemukan lagi Aron. Aron artinya ‘sekelompok orang

yang mempunyai kepentingan bersama’, atau dengan kata lain ‘mempunyai

kepentingan yang hampir bersamaan’. Aron ini mempunyai anggota dalam satu

kelompok antara 10 orang hingga 25 orang. Anggota Aron tidak membedakan

jenis kelamin. Cara mereka bekerja adalah dengan sistem bergilir. Maksudnya,

tanggal 1 pada bulan itu semua anggota akan bekerja bersama-sama di ladang si A

selama 4 jam (4 x 60) untuk satu periode (mulai dari pukul 08.00 pagi sampai

dengan pukul 12.00 tengah hari). Selama satu hari mereka mempunyai waktu

bekerja dua tahapan, yaitu pagi empat jam (pukul 13.00 sampai dengan pukul

17.00). Bila ladang si A dapat diselesaikan selama satu tahap maka tahap yang

lain boleh berpindah ke tempat bekerja lainnya atau keladang anggota yang lain.

Hal ini biasa dilihat dari situasi dan kondisi ladang para anggota kelompok kerja.

Perpindahan tempat bekerja untuk setiap tahap akan diatur oleh ketua kelompok.

Bila dilihat dari sudut pandang agama, masyarakat Karo ada yang

beragama Protestan, Katolik, dan Islam. Jumlah penganut masing-masing agama

belum pernah diteliti oleh para ahli ataupun ilmuwan. Akan tetapi, secara sepintas

dapat diasumsikan bahwa masyarakat Karo yang berdomisili di daerah Kabupaten

Deli Serdang dan Langkat mayoritas adalah Islam, sedangkan di Kabupaten Karo

penduduknya mayoritas beragama Kristen.

Masyarakat etnis Karo tidak membenarkan menikah dengan orang yang

(56)

Kembaren, Guru Kinayan, Pelawi, dan Pandia. Umpamanya si Azis Sembiring

tidak diperbolehkan menikah dengan seorang wanita yang Beru Sembiring di luar

yang terkecuali tersebut. Jadi, dapat dipilih wanita lain yang mempunyai nama

keluarga yang berbeda, yaitu sebanyak empat lagi karena semua nama keluarga

ada lima jenis. Peraturan ini dibuat karena sistem kekerabatan yang di anut oleh

masyarakat etnis Karo adalah patrilinear dan matrilinial sehingga bila ada orang

yang mempunyai nama keluarga sama berarti mereka berasal dari satu nenek.

Untuk mengenal anggota masyarakat Karo kita harus mengetahui nama

keluarga masyarakat Karo yang disebut Merga. Kata Merga di dalam bahasa

Karo artinya Meherga (mahal). Merga akan dimiliki oleh setiap individu suku

Karo. Merga selalu diwariskan oleh ayahnya kepada setiap anaknya. Hal ini

terjadi semenjak suku Karo lahir ada di dunia ini. Merga ini berbeda istilah di

antara anak laki-laki dan anak perempuan. Untuk anak laki-laki disebut Merga

dan untuk anak perempuan disebut Beru. Lebih rinci lagi dapat kita ketahui bahwa

setiap individu suku Karo mempunyai empat ciri nama keluarga selain nama. Jadi,

w

Gambar

Tabel 2. Merga Perangin-angin dan Cabang-Cabangnya
Tabel 3. Merga Ginting dan Cabang-Cabangnya
Tabel 4. Merga Tarigan dan Cabang-Cabangnya
Tabel 1 Reduplikasi Kata Dasar
+2

Referensi

Dokumen terkait

Jika bentuk dasarnya kata kerja, terdapat nosi atau arti reduplikasi pekerjaan dilakukan berulang-ulang berjumlah 10 kata ulang, menyatakan ketidak pastian/ pekerjaan

Ramlan (1985:62-68) menyatakan bahwa kata ulang atau reduplikasi dibagi menjadi empat, yaitu: pengulangan utuh atau seluruh, pengulangan sebagian, pengulangan yang

Adapun bentuk reduplikasi tersebut adalah pengulangan seluruh dan bentuk pengulangan sebagian, pengulangan dengan pembubuhan afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem,

Dalam bahasa Indonesia reduplikasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut (1) Reduplikasi tidak mengubah golongan kata bentuk dasar yang diulang (2) Bentuk dasar kata ulang

Selain bentuk-bentuk reduplikasi peneliti juga menganalisis makna reduplikasi pada karangan yang meliputi; kata ulang bermakna ‘banyak’, menyatakan makna ‘tak

Berdasarkan contoh di atas, pengulangan tersebut merupakan pengulangan atau reduplikasi verba pada bahasa Kulawi dialek Uma yang dibentuk dari sebuah kata dasar

Makna reduplikasi Bahasa Bugis dapat dilihat pada contoh – contoh di bawah ini dimana makna pengulangan tersebut termasuk dalam kelas kata nomina, verba, adjektiva,

Selain bentuk-bentuk reduplikasi peneliti juga menganalisis makna reduplikasi pada karangan yang meliputi; kata ulang bermakna ‘banyak’, menyatakan makna ‘tak