• Tidak ada hasil yang ditemukan

REDUPLIKASI MORFEMIS BEBAS KONTEKS DAN TERIKAT KONTEKS BAHASA KARO TESIS. Oleh : Pribadi Bangun /LNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "REDUPLIKASI MORFEMIS BEBAS KONTEKS DAN TERIKAT KONTEKS BAHASA KARO TESIS. Oleh : Pribadi Bangun /LNG"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

REDUPLIKASI MORFEMIS BEBAS KONTEKS DAN TERIKAT KONTEKS BAHASA KARO

TESIS

Oleh : Pribadi Bangun 067009016/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011

(2)

REDUPLIKASI MORFEMIS BEBAS KONTEKS DAN TERIKAT KONTEKS BAHASA KARO

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh : Pribadi Bangun 067009016/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011

(3)

Judul Tesis : REDUPLIKASI MORFEMIS BEBAS KONTEKS DAN TERIKAT KONTEKS BAHASA KARO

Nama Mahasiswa : Pribadi Bangun Nomor Pokok : 067009016/LNG Program Studi : Linguistik

Menyetuji Komisi Pembimbing,

(Prof. Dr. Jawasi Naibaho, M.S.)

Ketua Anggota

(Dr. Dwi Widayati, M.Hum.)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE.)

Tanggal Lulus : 18 Agustus 2011

(4)

Telah di uji pada

Tanggal 18 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Jawasi Naibaho, M.S.

Anggota : 1. Dr. Dwi Widayati, M.Hum.

2. Dr. Matius C.A. Sembiring, M.A.

3. Dr. Gustianingsih, M.Hum.

(5)

ABSTRAK

Bangun, Pribadi, 2011. “Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo.”

Penelitian ini berjudul “Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo” yang bertujuan untuk mendeskripsikan tipe reduplikasi morfemis bahasa Karo berdasarkan bentuknya; mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis bebas konteks dalam bahasa Karo; dan mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis terikat konteks dalam bahasa Karo.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan sinkronis, yaitu menjelaskan atau memerikan tipe-tipe reduplikasi bahasa Karo yang ada saat ini.

Dalam penelitian ini juga diusahakan menemukan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam reduplikasi morfemis bahasa Karo. Untuk itu, bukti-bukti reduplikasi didefinisikan dan dibandingkan guna melihat pola-polanya.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari lapangan dan hasil pembahasan reduplikasi morfemis dalam bahasa Karo masa kini mengalami interferensi bahasa Indonesia sehingga menambah bentuk saingan reduplikasi dalam bahasa Karo.

Pada kata ulang hasil reduplikasi semantik, pengulangan tidak terjadi pada bentuk melainkan pada arti, yaitu dengan menggabungkan dua kata (atau bentuk) yang sinonim.

Dalam bahasa Karo, untuk menentukan arti reduplikasi perlu dibedakan arti reduplikasi bebas-konteks dari arti reduplikasi terikat-konteks. Ada kalanya arti reduplikasi tertentu dapat diketahui dengan segera (kaba-kaba ‘kupu-kupu’) dan ada pula tergantung dari konteks kata ulang yang bersangkutan. Motivasi morfemis dan semantis kata ulang dalam bahasa Karo ada yang “transparan” dan ada pula yang “samara”. Ada bentuk reduplikasi tertentu yang artinya tidak selalu sama walaupun dasar yang dikenainya termasuk anggota kelas kata yang sama.

Perbedaan arti demikian dapat diterangkan berdasarkan ciri-ciri semantik yang terdapat di antara anggota kelas kata yang dipakai sebagai dasar. Arti ‘agak KtS’

bentuk ((KtS + R) + ke-/-an) hanya terdapat apabila KtS tidak mempunyai antonim. Arti yang sama ada kalanya dinyatakan oleh bentuk reduplikasi yang berbeda-beda. Tidak semua kata benda dapat dijamakkan, seperti kata benda deverbal dan kata benda deajektival. Arti reduplikasi yang terdapat pada satu konstituen struktur dapat “dilimpahkan” kepada konstituen lain dalam struktur yang bersangkutan. Penggunaan kata ulang dalam bahasa Karo sangat berhubungan dengan tata krama yang berlaku dalam masyarakat Karo.

Kata kunci: Reduplikasi, morfemis, bebas konteks, terikat konteks

(6)

ABSTRACT

Bangun, Pribadi, 2011.”Karonese Context-Free and Context-Bound Morpheme Reduplication”

This study entitled “Karonese Context-Free and Context-Bound Morpheme Reduplication” aims at describing the type of Karonese morpheme reduplication based on its form, the meaning of Karonese context-free morpheme reduplication, and the meaning of Karonese context-bound morpheme reduplication.

This study was done based synchroncic approach explaining or showing the current types of Karonese reduplication besides finding out the principles generally applicable in Karonese morpheme reduplication. Therefore, the evidence of reduplication is defined and compared to see its patterns.

The research findings showed that Karonese morpheme reduplication is undergoing intervention from Bahasa Indonesia that it increases rival forms of Karonese reduplication. In the semantic-based reduplication, repetition dose not occur in its form but in its meaning through the combination of two synonymous words (forms).

To determine the meaning of reduplication in Karonese, the meaning of context-free reduplication must be distinguished from the meaning of context- bound reduplication. Sometimes, the meaning of certain reduplication can be immediately find out (kaba-kaba “kupu-kupu” –butterfly), and the others depend on the context of the reduplication concerned. Morpheme and semantic motivation in Karonese reduplication is sometimes “transparent” sometimes

“samara(vogue)”. For certain reduplication, its meaning does not always the same even though its root belongs to the word of the same class. Such difference in meaning can be explained based on the semantic characteristic found between the members of the word class used as the basic. The meaning “agak KtS” form ((KtS + R +ke-/-an) is only found if KtS does not have its antonym. Sometimes, the same meaning is determined by different forms of reduplication. Not all of the nouns can be made plural such as de-verbal noun and de-adjectival noun. The meaning of reduplication found in a constituent structure can be “transferred” to another constituent in the structure concerned. The use of reduplication in Karonese is closely related to th etiquette currently exist in Karonese community.

Keywords : Reduplication, Morpheme, Context-Free, Context-Bound

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena diberikan kesehatan sehingga tesis ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana penulis. Tesis ini berjudul “Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo.”

Pemilihan judul tersebut penulis lakukan atas dasar bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi yang paling efektif guna mendukung interaksi antarindividu dalam suatu daerah. Melalui bahasa pula manusia mampu mengungkapkan berbagai bentuk ungkapan perasaan dan informasi kepada pihak lain. Tingkat intensitas penggunaan suatu bahasa turut menentukan ada atau tidaknya bahasa itu dalam sebuah masyarakat tutur. Kontak bahasa dan interaksi antarmasyarakat yang berbeda asal maupun bahasanya menimbulkan kekhawatiran terjadinya pergeseran dan kepunahan sebuah bahasa sejalan dengan kemajuan dan perkembangan zaman.

Menyikapi perkembangan informasi dan mobilitas penduduk di wilayah Kabupaten Karo yang sangat tinggi pada masa kini yang mengakibatkan keheterogenan masyarakatnya maka pembinaan, pengembangan, dan penginventarisasian bahasa Karo dirasakan perlu segera dilakukan untuk menjaga kelestarian bahasa tersebut.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat lepas dari berbagai kekurangan. Namun, besar harapan penulis semoga temuan penelitian ini bermanfaat bagi sivitas akademika USU, khususnya bagi program S-2 Linguistik SPs USU, maupun masyarakat luas.

Medan, Juli 2011

Peneliti

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas ridhoNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Rektor USU, Bapak Prof. Dr. dr. Sjahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K) yang telah memberi kesempatan dan bantuan biaya pendidikan selama saya mengikuti pendidikan Program Magister pada Program Pascasarjana USU.

2. Direktur Program Pascasarjana USU, Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE yang telah memberi perhatian dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan S-2 pada Program Pascasarjana USU.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku Ketua Program Pascasarjana Linguistik serta Sekretaris Program Pascasarjana Linguistik Dr. Nurlela, M.Hum., yang telah memberi perhatian dan bimbingan selama saya mengikuti pendidikan hingga selesai pada Program Pascasarjana Linguistik USU.

4. Pembimbing saya, Prof. Dr. Jawasi Naibaho dan Dr. Dwi Widayati, M.Hum.

yang telah banyak memberi peluang, waktu, perhatian, bimbingan, dan bantuan selama penulisan dan penyelesaian tesis ini.

5. Para Dosen yang mengajar di Program Pascasarjana Linguistik USU yang telah membekali ilmu pengetahuan dan membuka cakrawala berpikir ilmiah.

Semoga jasa baik ini dibalas Allah SWT dengan pahala yang banyak.

6. Kepada Istriku tercinta serta anak-anakku, Bapak ucapkan terima kasih atas pengorbanan, dorongan, kesabaran, dan kesetiaan yang diberikan sehingga pendidikan Bapak dapat terselesaikan.

(9)

7. Kepada seluruh teman angkatan 2006 saya ucapkan terima kasih atas kerjasama yang baik dan saling membantu selama menjalani proses belajar di Program Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata saya berharap semoga dukungan, bantuan, pengorbanan, dan budi baik yang diberikan kepada saya dari berbagai pihak, mendapat balasan pahala dari Allah SWT dengan berlipat ganda. Amin.

Medan, Juli 2011

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Pribadi Bangun

Tempat / Tgl.Lahir : Kuta Galuh / 19 Oktober 1958

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Laki – laki

Alamat : Jl. Bunga Cempaka No 29F P.Bulan Selayang II Medan

E-mail : Pribadibangun@gmail.com

Hp : 08153023247

Pendidikan : SDN Tanjung, 1972

SMP Swasta Advent Siabang-abang, 1975 SMA Negeri Kabanjahe, 1979

S-1 Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, USU Medan, 1985

Pekerjaan : Dosen FIB USU Medan

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Landasan Teori ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10

2.1 Penelitian Terdahulu ... 10

2.2 Konsep Reduplikasi ... 12

2.3 Pengertian Reduplikasi ... 17

2.4. Bentuk Dasar Reduplikasi ... 25

2.5 Makna Reduplikasi ... 26

2.6 Simbolisasi Bentuk Reduplikasi ... 34

BAB III GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 38

3.1 Masyarakat Karo ... 38

3.2 Kedudukan Bahasa Karo ... 48

3.3 Daerah Penelitian ... 51

BAB IV METODOLOGI ... 55

(12)

4.2 Data dan Sumber Data ... 55

4.3 Teknik Pengumpulan Data ... 56

4.4 Metode Analisis Data ... 57

BAB V TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 59

5.1 Temuan Hasil Penelitian ... 59

5.1.1 Onomatope ... 61

5.1.2 Bentuk Jamak ... 62

5.1.3 Imitasi ... 64

5.1.4 Repetisi ... 66

5.1.5 Empasis ... 69

5.1.6 Ketidaktentuan ... 74

5.1.7 Pemaknaan Lain ... 78

5.1.8 Reduplikasi Parsial ... 79

5.1.9 Reduplikasi Aliterasi ... 80

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 81

5.2.1 Bentuk Reduplikasi dalam Bahasa Karo ... 81

5.2.1.1 Tipe(D+R) ... 81

5.2.1.2 Tipe(D+R)+ -en) ... 81

5.2.1.3 Tipe((D+R)+ ke-/-en)) ... 82

5.2.1.4 Tipe((D+R)+ er-) ... 82

5.2.1.5 Tipe(D+(R+ er-) ... 83

5.2.1.6 Tipe((D+R)+ m-) ... 83

5.2.1.7 Tipe((D+R)+ m-/-ken) ... 83

5.2.1.8 Tipe(D+(R+si-/-ken)) ... 83

(13)

5.2.1.9 Tipe((D+R)+ er-/-en) ... 84

5.2.2 Arti Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dalam Bahas Karo 84 5.2.2.1 R-Serupa ... 85

5.2.2.2 R-Pengaburan ... 88

5.2.2.3 R-Seakan-akan X ... 89

5.2.2.4 R-Melakukan Sesuatu Tanpa Tujuan yang Sebenarnya 90 5.2.2.5 R-Melakukan Sesuatu Berulang Kali dan/atau Terus- Menerus ... 92

5.2.2.6 Reduplikasi dengan arti ‘Resiproaktif’ Atau Berbalasan 98 5.2.2.7 Reduplikasi dengan arti ‘Intensif’ ... 99

5.2.2.8 Reduplikasi dengan arti ‘Distributif’ ... 101

5.2.2.9 Reduplikasi dengan arti ‘Tak Tunggal’ ... 103

5.2.3 Arti Reduplikasi Terikat Konteks dalam Bahasa Karo ... 107

5.2.3.1 Reduplikasi dengan arti ‘agak D’ ... 109

5.2.3.2 Reduplikasi dengan arti ‘penghalusan ... 111

5.2.3.3 Reduplikasi dengan arti ‘konsesif’ ... 112

5.2.3.4 Reduplikasi dengan arti ‘meremehkan’ ... 114

5.2.3.5 Reduplikasi dengan arti ‘intensif’ ... 115

5.2.3.6 Reduplikasi dengan arti ‘serupa D’ ... 119

5.2.3.7 Reduplikasi dengan arti ‘Nongeneris’ ... 119

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 125

6.1 Simpulan ... 125

6.2 Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 127

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1: Merga Sembiring dan Cabang-Cabangnya ... 42

Tabel 2: Merga Perangin-Angin dan Cabang-Cabangnya ... 42

Tabel 3: Merga Ginting dan Cabang-Cabangnya ... 43

Tabel 4: Merga Tarigan dan Cabang-Cabangnya ... 44

Tabel 5: Merga Karo-Karo dan Cabang-Cabangnya ... 45

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan pengembangan bahasa Indonesia. Sebelum mengenal bahasa Indonesia sebagian besar bangsa Indonesia mempelajari dan menggunakan bahasa daerah dalam interaksi kehidupan masyarakat. Ucapan dan cara penyampaian ide- ide dipengaruhi kebiasaan yang lazim digunakan oleh masyarakat itu. Bahasa daerah tetap dipelihara oleh negara sebagai bagian kebudayaan yang hidup.

Bahasa Karo, merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih digunakan oleh masyarakat pendukungnya dalam kehidupan berinteraksi sehari- hari. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai bahasa pertama dalam komunikasi sosial dari berbagai lapisan masyarakat Karo.

Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan yang universal mempunyai peranan penting sehingga melalui bahasa dapat dilihat tinggi rendahnya suatu bangsa. Komunikasi dengan menggunakan bahasa merupakan pemahaman dan pemberian respon yang kita berikan dapat berupa kalimat perintah, berita, pertanyaan, jawaban, dan lain-lain. Namun, ada orang yang beranggapan bahwa kompetensi penggunaan bahasa seakan-akan dicapai dengan sempurna melalui keturunan dan warisan saja.

Pandangan ini keliru karena kemampuan penguasaan dan penggunaan bahasa harus melalui latihan-latihan baik mengenai pengucapan maupun mempergunakan bahasa dengan baik dan benar. Bahasa adalah alat komunikasi

(16)

antar masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf 1984:16).

Di lain pihak ada komunikasi dilakukan dengan tulisan. Hal tersebut berarti kompetensi menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan dan kemampuan memakai apa yang dicoba. Jadi, relevansi bahasa terhadap pemikiran manusia sangat erat sekali. Sesuai dengan kodrat manusia maka kerangka karangan pemikirannya tetap berkembang, sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya sehingga perkembangan bahasa juga ikut serta di dalamnya. Bukti yang nyata adalah ilmu pengetahuan dengan perkembangan tidak mungkin diterapkan tanpa bahasa.

Tidak selamanya seseorang yang berbahasa itu dapat menganalisis suatu bahasa yang akurat, baik bahasa ibu yang sedang atau yang akan dipelajari. Ilmu kebahasaan yang dimiliki akan menolong penutur untuk menuturkannya sebagaimana dituturkan oleh penutur asli bahasa itu.

Bahasa Karo yang kita ketahui terdiri atas beberapa dialek, di antara dialek tersebut masih berperan di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, misalnya dengan ucapan, kegiatan kemasyarakatan dan interaksi sosial berlangsung dengan menggunakan bahasa Karo, baik di tempat asal penutur di Kabupaten Karo maupun di daerah lainnya di tempat perantauan mereka.

Bahasa Karo sebagai bahasa daerah terus berkembang dan berfungsi sebagai alat komunikasi, pendukung kebudayaan dan lambang identitas masyarakat Karo. Untuk itu, bahasa-bahasa daerah perlu dibina dan dikembangkan. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 menyatakan bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang

(17)

dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Batak Toba, Karo, Madura, Jawa, dan sebagainya). Bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara, juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.

Mengingat hal tertera di atas, di dalam politik bahasa Indonesia (Halim, 1984 : 22) bahwa dalam rangka merumuskan fungsi dan kedudukan bahasa daerah perlu dipertimbangkan hal-hal berikut :

1. Bahasa daerah tetap dibina dan dipelihara oleh masyarakat pemakainya, yang merupakan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang dijamin oleh Undang- Undang Dasar 1945.

2. Bahasa daerah sebagai kekayaan budaya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bahasa nasional beserta untuk pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah itu sendiri.

3. Bahasa daerah tidak hanya berbeda dalam struktur kebahasaannya, tetapi juga berbeda jumlah penutur aslinya

4. Bahasa-bahasa tertentu dipakai sebagai alat penghubung baik lisan maupun tulis, sedangkan bahasa daerah dipakai secara lisan.

Unsur-unsur bahasa dapat diteliti dari berbagai tinjauan tata bahasa seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Morfologi merupakan salah satu bidang linguistik yang membicarakan kata dengan pembentukannya. Pembentukan kata dalam bahasa Karo dilakukan dengan cara mempertemukan satu morfem dengan morfem lain. Morfem merupakan salah satu unsur bahasa yang bermakna dan berfungsi membentuk

(18)

kata. Proses pembentukan kata yang dilakukan disebut proses morfologi. Proses morfologi meliputi afiksasi, reduplikasi, dan kompositum (pemajemukan).

Penelitian terhadap reduplikasi pada ummnya hanya terbatas pada bentuk, fungsi, dan makna yang dianalisis secara sederhana dan belum tuntas terutama mengenai keproduktifan bentuk reduplikasi dengan arti tertentu tanpa melihat konteks terbentuknya reduplikasi tersebut, misalnya:

Mandi-mandi Tidur-tiduran corat-coret pukul-pukulan tembak-tembakan gerak-gerik mondar-mandir makan-makan minum-minum bolak-balik

Berdasarkan asumi bahwa reduplikasi morfologis bentuk terikat dan bentuk bebas bahasa Karo juga merupakan hasil dari bentukan para pemakainya atau penuturnya. Kemungkinan berbagai tipe bentuk reduplikasi pasti akan terbentuk, seiring kebutuhan penuturnya. Inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk mengadakan penelitian terhadap reduplikasi morfemis bentuk bebas dan bentuk terikat yang terdapat dalam bahasa Karo.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini akan mencari jawaban atas masalah penelitian yang dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana tipe reduplikasi morfemis bahasa Karo berdasarkan bentuk?

2. Bagaimana arti reduplikasi morfemis bebas konteks bahasa Karo ?

(19)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan :

1. Mendeskripsikan tipe reduplikasi morfemis bahasa Karo berdasarkan bentuknya.

2. Mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis bebas konteks dalam bahasa Karo.

3. Mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis terikat konteks dalam bahasa Karo.

1.4 Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Sebagai bahan rujukan untuk bahan penelitian selanjutnya khususnya yang membahas reduplikasi morfemis terikat konteks dan bebas konteks.

2. Sebagai sumber informasi atau rujukan untuk meningkatkan pemahaman tentang reduplikasi morfemis bebas konteks dan terikat konteks bagi peneliti bahasa-bahasa daerah.

3. Melestarikan dan menghindarkan dari kepunahan sekaligus sebagai usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Karo.

1.5 Landasan Teori

Dalam penelitian ini digunakan analisis struktur bahasa berdasarkan teori linguistik deskriptif struktural. Di antara penganut aliran ini Bloomfield (1953), Nida (1964), Chaer (1994), Samsuri (1978), Ramlan (1987), dan Simatupang (1983). Mereka berprinsip bahwa kajian atau telaah bahasa harus bersifat deskriptif. Artinya, telaah itu berdasarkan bahasa yang diteliti sebagaimana adanya dan bukan yang semestinya ada.

(20)

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan sinkronis, yaitu menjelaskan atau memerikan tipe-tipe reduplikasi morfologi bahasa Karo yang ada saat ini. Dalam penelitian ini juga diusahakan menemukan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam reduplikasi morfemis bahasa Karo. Untuk itu, bukti- bukti reduplikasi didefinisikan dan dibandingkan guna melihat pola-polanya.

Untuk mengetahui tipe-tipe reduplikasi dalam morfologis bahasa Karo maka diacu dari pendapat Simatupang. Menurut Simatupang (1983:57) reduplikasi morfemis bahasa Indonesia dapat dibagi dalam beberapa tipe, yaitu 1) Tipe R-1 (D + R) : rumah-rumah, pohon-pohon, perdebatan-perdebatan.

2) Tipe R-2 (D + R) : bolak-balik, kelap-kelip, desas-desus, tindak-lanjut.

3) Tipe R-3 ((D + R) + ber-) : berlari-lari, berteriak-teriak, bercakap-cakap 4) Tipe R-4 ((D + R) + ber-/-an): bersalam-salaman (salam-salaman),

berpacar-pacaran (pacar-pacaran).

5) Tipe R-5 (D + (R + ber-)) : anak-beranak, adik-beradik, kait-berkait, ganti- berganti.

6) Tipe R-6 ((D + R) + meN-) : melompat-lompat, membawa-bawa, melihat- lihat, membaca-baca, termasuk juga dalam tipe ini: terbatuk-batuk, terbirit- birit.

7) Tipe R-7 (D + (R + meN-)) : pukul-memukul, tolong-menolong, bantu- Membantu, kait-mengait.

8) Tipe R-8 (D + (R + meN-/-i)): hormat-menghormati, cinta-mencintai, dahulu-mendahului

9) Tipe R-9 ((D + R) + meN-/-kan): menggerak-gerakan, melambai-lambaikan, membagi-bagikan.

(21)

10) Tipe R-10 ((D + R) + meN-/-i): menghalang-halangi, menakut-nakuti, menutup-nutupi

11) Tipe R-11 ((D + R) + se-/-nya): setinggi-tinggi(-nya), sekuat-kuat(-nya), seberat-berat(-nya).

12) Tipe R-12 ((D + R) + ke-/-(-nya)): ketiga-tiga(-nya), keenam-enam(-nya), kedua-dua(-nya)

13) Tipe R-13 ((D + R) + ke-/-an) : kehitam-hitaman, kehijau-hijauan, keputih- putihan. Bentuk ini hanya terbatas pada kata sifat yang tidak memiliki antonim. (tidak ditemukan bentuk kekering-keringan, kebaru-baruan).

14) Tipe R-14 ((D + R) + -an) : rumah-rumahan, kapal-kapalan, untung- untungan, koboi-koboian.

15) Tipe R-15 (D + (R + -em-)) : kilau-kemilau, taram-temaram, tali-temali, turun-temurun.

16) Tipe R-16 (D + Rp) : tetangga, lelaki, leluhur, seseorang, beberapa, sesuatu, sesekali.

17) Reduplikasi semantik, yaitu proses pengulangan arti melalui penggabungan dua bentuk yang bersinonim: cerdik-pandai, arif-bijaksana, tutur-kata, semak-belukar.

18) Bentuk-bentuk residu (bentuk yang sangat terbatas): hal-ihwal, adat-istiadat, alim-ulama, sebab-musabab.

Meskipun tipe reduplikasi yang dikemukakan Simatupang (1983: 137) tampaknya cukup banyak, pada dasarnya ia menggolongkan reduplikasi atas tiga macam juga, yaitu (1) reduplikasi penuh, (2) reduplikasi parsial, dan (3) reduplikasi berimbuhan.

(22)

Berdasarkan fungsinya reduplikasi dapat dibagi menjadi:

a. Reduplikasi paradigmatis, yaitu reduplikasi yang tidak mengubah kelas kata maupun identitas kata: rumah-rumah, guru-guru, anak-anak (menyatakan jamak).

b. Reduplikasi derivasional, yaitu reduplikasi yang mengubah kelas/jenis/kategori kata, atau mengubah identitas kata: rumah-rumahan, buah-buahan, pukul-memukul, tindak-tanduk, gerak-gerik.

Adapun berdasarkan ada atau tidaknya unsur pengikat sintaksis, reduplikasi dapat dibagi menjadi dua yaitu

a. Reduplikasi bebas konteks, yaitu reduplikasi yang artinya sudah dapat ditentukan tanpa memperhitungkan konteksnya: tidur-tiduran (tidur-tidur).

b. Reduplikasi terikat konteks, yaitu reduplikasi yang artinya baru dapat ditentukan dengan memperhitungkan konteksnya:

1) Sudah dua malam kami tak tidur-tidur 2) Jagalah adiknya itu baik-baik

Untuk menentukan identitas kata, sama halnya dengan afiksasi, dapat ditempuh tiga cara (tes) yang dikemukakan Verhaar (1985), yaitu melalui (1) tes keanggotaan kategorial kata, (2) tes dikomposisi leksikal, dan (3) tes struktur sintaksis. Contoh:

1) a. Anak saya sudah bekerja.

b. Anak-anak saya sudah bekerja.

Dengan tes pertama sudah diketahui bahwa anak-anak sama jenis katanya dengan anak. Kesimpulannya ialah bahwa R adalah reduplikasi paradigmatik.

2) a. Saya melihat orang di sawah.

(23)

b. Saya melihat orang-orangan di sawah.

Meskipun dengan tes pertama dapat dibuktikan bahwa orang dan orang- orangan tergolong ke dalam kelas yang sama, dengan tes kedua diketahui bahwa orang memiliki ciri semantis [+BERNYAWA], sedangkan orang-orang memiliki ciri semantis [+BERNYAWA]. Kesimpulannya ialah bahwa Reduplikasi di atas tergolong reduplikasi yang derivasional.

(24)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Reduplikasi sebagai suatu peristiwa yang lazim terdapat dalam bahasa telah banyak dibicarakan meskipun menggunakan berbagai istilah, misalnya bentuk ulang (Keraf, 1991), kata ulang (Keraf, 1984), proses pengulangan (Ramlan, 1979), dan yang lain pada umumnya menggunakan istilah reduplikasi.

Ada pula yang menggunakan istilah bentuk ulang sekaligus menggunakan reduplikasi dengan pengertian yang agak berlainan (lihat Parera, 1988).

Pembicaraan yang telah muncul pada umumnya juga telah memerikan reduplikasi yang terdapat aplikasi yang diperoleh atau yang ditampilkan pun berbeda-beda.

Perbedaan perian mereka itu agaknya bukan semata-mata disebabkan oleh temuan data yang berbeda atau berlainan, melainkan sudut pandang yang mereka gunakan yang berbeda menjadi sebab utama timbulnya perbedaan perian itu.

Lebih-lebih lagi di antara mereka belum memunculkan secara eksplisit kriteria pemerian reduplikasi yang mereka buat, kecuali Ramlan (1979: 41), sehingga membuat kemungkinan berbeda deskripsi periannya semakin besar (lihat Simatupang 1983).

Reduplikasi itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi reduplikasi morfemik, fonologik, sintaktik. Reduplikasi yang pertama itulah yang paling banyak dibicarakan oleh para tata bahasawan, bahkan telah ada yang meneliti secara spesifik sehingga meraih gelar doktor, yaitu Simatupang (1983) yang kemudian hasilnya dipublikasikan menjadi buku seri ILDEP (1983).

(25)

Dari penelitian Simatupang tampak bahwa reduplikasi masih tetap menarik untuk dikaji. Selain itu, dalam bahasa daerah dimungkinkan adanya butir- butir yang berbeda dari tipe yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Tipe-tipe reduplikasi yang dimungkinkan tersebut akan dianalisis dalam bahasa Karo, sesuai dengan objek kajian ini.

Dalam membicarakan reduplikasi morfemik, beberapa istilah yang berbeda tetapi dengan maksud yang sama tampak dari beberapa ahli yang diacu.

Misalnya, data membaca-baca, mengukur-ukur, melambai-lambaikan dan yang sejenisnya dapat disebut pengulangan sebagian (Ramlan, 1979), dwilingga berimbuhan (Keraf, 1991) atau ulangan berimbuhan (Keraf, 1984). Hal tersebut terjadi karena penggunaan kriteria pemerian yang berbeda.

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian reduplikasi bahasa Batak Karo oleh Samuel Barus (1981) dalam skripsinya yang berjudul “Perbandingan Reduplikasi Bahasa Batak Karo dengan Reduplikasi Bahasa Indoesia”. Bambang Pribadi (2000) dalam skripsinya yang berjudul

“Inferensi Morfologi Bahasa Karo dalam Bahasa Indonesia”. Tulisan di atas massih membahas persoalan morfem dengan sangat sederhana, sesuai dengan tingkat kajiannya.

Selain itu, beberapa penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan kajian terhadap bahasa Karo adalah Sahala Manullang (2001) dalam skripsinya yang berjudul “Perbandingan Pronomina Bahasa Batak Toba dengan Bahasa Karo”. Siti Sakdiah Tarigan (2003) dalam skripsinya yang berjudul “Aspek dalam Bahasa Karo Tinjauan Sintaksis dan Semantik”. Timotius Meliala (2004)

(26)

dalam skripsinya yang berjudul “Penyukuan Kata dalam Bahasa Karo”. Christian H. Sitepu (2004) dalam skripsinya yang berjudul “Pribahasa dalam Bahasa Karo”.

2.2 Konsep Reduplikasi

Reduplikasi merupakan suatu proses dari hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal, sehingga pada hakikatnya dapat ditemui reduplikasi fonologis dan reduplikasi gramatikal-dengan pengertian reduplikasi gramatikal mencakup reduplikasi morfemis atau reduplikasi morfologis, dan reduplikasi sintaktis. Bahkan kadang-kadang ada yang mengelompokkan begitu saja reduplikasi menjadi reduplikasi fonologis, reduplikasi morfologis dan reduplikasi sintaktis (lihat Kridalaksana. 1982: 13--144; 1989: 88; Simatupang.

1983).

Reduplikasi fonologis merupakan peristiwa reduplikasi yang dapat berupa perulangan suku, atau suku-suku kata sebagai bagian kata, bentuk dasar dan reduplikasi morfologis ini secara deskriptif siokronik tidak dapat ditemukan dalam bahasa yang bersangkutan. Contoh reduplikasi fonologis dalam bahasa Indonesia antara lain kupu-kupu, kura-kura, biri-biri, betutu, cecunguk dan sebagainya. Reduplikasi seperti ini oleh para ahli bahasa Indonesia sering disebut perulangan semu, kata ulang semu, atau reduplikasi semu (lihat Samsuri 1988: 91;

Keraf 1991: 153; Alisyahbana 1953: 55-56 dalam Simatupang 1983).

Reduplikasi morfologis atau reduplikasi morfemis mengacu pada persoalan morfem yang mengalami perulangan. Hasil reduplikasi ini dapat berupa kata ulang sebagian, kata ulang penuh. Reduplikasi morfologis ini merupakan

(27)

salah satu proses morfologis yang lazim dijumpai pada sebagaian besar bahasa di dunia ini terutama bahasa yang bertipe aglutinatif (Lihat Simatupang 1983).

Konsep reduplikasi morfologis pada hakikatnya memiliki kesamaan di antara para ahli bahasa Indonesia, hanya saja di dalam menyebut bentuk dasar dari bentuk ulang dijumpai berbagai macam. Gorys Keraf (1991: 149) menyatakan bahwa reduplikasi merupakan sebuah bentuk gramatikal yang berujud penggandaan sebagai atau seluruh bentuk dasar sebuah kata. Adapun Ramlan (1979: 38) menyatakan bahwa proses pengulangan atau reduplikasi merupakan pengulangan bentuk, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil perulangan itu berupa kata, dan bentuk yang diulang merupakan bentuk dasar. Samsuri (1988: 14) menyatakan babwa reduplikasi merupakan pengulangan bentuk kata, yang dapat utuh atau sebagian. Sama halnya dengan pendapat Matthews (1978: 127) yang menyatakan bahwa reduplikasi merupakan repetisi yang dapat persial tetapi dapat pula keseluruhan. Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988: 166) menyebutkan bahwa reduplikasi sebagai proses pengulangan kata baik secara keseluruhan (utuh) maupun secara sebagian.

Dari batasan yang dimunculkan itu secara tegas memperkuat hakikat reduplikasi yang tidak lain merupakan gejala repetisi atau perulangan bentuk.

Bentuk yang diulang itu teryata disebut dengan bermacam-macam dan cara pengulangannya dapat secara utuh dapat pula hanya sebagian sehingga dapat disebut perulangan penuh atau perulangan sebagian.

Reduplikasi haruslah dibedakan dari kata yang berulang, karena kata yang berulang tidak akan menghasilkan kata, tetapi menghasilkan kata-kata. Kata yang

(28)

berulang muncul sebagai repetisi itu biasa dijumpai pada peristiwa berbahasa yang dilakukan oleh penjual atau penjaja makanan, koran dan sebagainya; orang yang sedang sakit atau ketakutan, orang yang sedang menjadi suporter olah raga dan sebagainya.

Bentuk tuturan seperti itu tidak termasuk ke dalam reduplikasi meski terjadi peristiwa perulangan atau repetisi bentuk lingual. Misalnya, tahu... tahu..., tempe... tempe..., sakit... sakit..., aduh sakit sekali Bu!, Tolong... tolong..., kebakaran...! kebakaran...!, dan sebagainya (konteksnya sengaja tidak ditampilkan secara formal).

Reduplikasi morfologis dalam bahasa-bahasa tertentu dimungkinkan memiliki bentuk: dasar yang berupa bentuk turunan atau bentuk kompleks.

Artinya, bentuk dasar reduplikasi itu sebelumnya telah memiliki status sebagai kata kompleks, kemudian menjadi unsur proses morfologis lagi untuk membentuk kata baru yang lain sehingga terjadi rekursi. Kembalinya kata menjadi unsur leksikal itu disebut leksikalisasi (Kridalaksana. 1989: 14), dan sebaliknya berubahnya laksem menjadi kata disebut gramatikalisasi. Misalnya,

1. Bentuk berjalan-jalan (diasumsikan bentuk dasarnya berjalan) dapat ditunjukkan prosesnya:

(1) Proses I : : prefiksasi ber- terhadap jalan menjadi berjalan

(2) Proses II: : leksikalisasi berjalan menjadi unsur leksikal yang biasanya disebut leksem

(3) Proses III : reduplikasi bentuk berjalan rnenjadi berjalan-jalan.

2. Bentuk orang-orang dapat ditunjukkan prosesnya:

(29)

(1) Proses I : gramatikalisasi leksem orang menjadi kata orang.

(2) Proses II : leksikalisasi orang menjadi leksem orang.

(3) Proses III : reduplikasi orang menjadi orang-orang.

Kadang-kadang bentuk orang-orang dan sejenisnya diasumsikan dibentuk dari leksem (ada pula yang menyebut morfem) yang langsung mengalami proses reduplikasi, tanpa melalui pemunculan menjadi kata lebih dahulu.

Dengan demikian, bila asumsinya demikian pada bentuk orang-orang tidak dijumpai proses leksikalisasi. Namun, bila diterima adanya fakta orang dan sejenisnya pemah muncul sebagai kata, analisis seperti di atas dapat diterima.

Reduplikasi sintaksis merupakan reduplikasi gramatikal yang dassarnya berupa leksem (ada yang menyebut morfem), dan hasilnya berupa klausa (Simatupang 1983)

Jadi, reduplikasi sintaksis ini menghasilkan klausa bukan lagi kata.

Persoalannya, klausa di sini bukan dalam arti bentuk, melainkan dalam semantik.

Perhatikan contoh berikut ini:

3. Tua-tua, orang itu masih mampu naik sepeda.

Bentuk tua-tua dalam konteks itu dapat diparafrasakan menjadi meskipun tua, walaupun tua dan sebagainya sehingga bentuk lengkapnya adalah orang itu (sudah) tua, yang merupakan klausa dengan tua sebagai predikat inti.

Dalam bahasa Indonesia, suatu bentuk reduplikasi tidak dapat ditetapkan begitu saja merupakan bentuk reduplikasi morfologis atau sintaktis tanpa mempertimbangkan konteks pemunculan bentuk reduplikasi itu sendiri, dan berbeda dengan reduplikasi fonologis yang dapat bebas konteks pada umumnya bisa ditetapkan yaitu dengan menguji apakah dijumpai bentuk lingual yang lebih

(30)

kecil atau tidak. Bila tidak dijumpai bentuk yang lebih kecil dapat dipastikan bentuk reduplikasi itu merupakan reduplikasi fonologis, bila dijumpai bentuk yang kecil - sebagai bentuk dasamya - dimungkinkan merupakan reduplikasi morfologis atau reduplikasi sintaktis. Mengingat hal yang demikian itu, pada hakikatnya pembicaraan reduplikasi gramatikal tidak dapat dilakukan secara bebas konteks, dan bila dikaitkan dengan makna, makna yang ada pun adalah makna gramatikal.

Berikut ini diberikan beberapa contoh pemerian reduplikasi (tentu saja berupa hasil pemerian, yaitu periannya) yang dapat digunakan untuk menunjukkan betapa perlunya disepakati dan dinyatakan secara formal kriteria pemerian itu. Tentu saja tulisan ini harus dipandang bukan sebagai .perombakan.

apa yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh para ahli bahasa yang disebutkan di sini. Begitu pula, tulisan ini tidak harus diikuti, tetapi barus dipandang sebagai pemancing untuk menimbulkan pemikiran perlunya ada ketaatazasan dalam pemerian sesuatu, termasuk permasalahan reduplikasi.

Beberapa contoh pemerian reduplikasi:

Samsuri (1988: 91) menyebutkan tiga macam reduplikasi yaitu reduplikasi atau perulangan utuh, reduplikasi parsial dan reduplikasi semu, sedangkan Keraf (l984:120-121; 1991: 149-50) menyebutkan empat macam reduplikasi atau pengulangan, yaitu pengulangan dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin suara, dan perulangan atau ulangan berimbuhan. Selain itu, ia menyebutkan pula istilah perulangan semu (Keraf. 1991: 153).

Kridalaksana (1989: 88 --90) menyebutkan lima macam reduplikasi, yaitu dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin suara, dwiwasana, dan trilingga. Adapun

(31)

dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988: 166) menyebutkan empat macam reduplikasi, yaitu pengulangan utuh, salin suara, sebagian, dan disertai pengafiksan.

Lain halnya dengan Parera (1988: 51-55) menyebutkan reduplikasi (menggunakan istilah bentuk ulang) simetris, regresif, progresif. konsonan, vokal, dan reduplikasi atau bentuk ulang reduplikasi. Begitu pula dengan Ramlan (1979:

41-45) yang menyebutkan ada empat macam pengulangan dilibat dari cara mengulang bent uk dasarnya, yaitu pengulangan seluruh, pengulangan sebagian, pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem.

Dari pemerian reduplikasi dalam bahasa Indonesia di atas ternyata hanya satu, yaitu pendapat Ramlan yang secara eksplisit (formal) menggunakan kriteria penggolongan atau penjenisan reduplikasi, sedangkan selebihnya dinyatakan secara implisit. Bila diperhatikan ternyata memang mereka ada yang secara konsisten menggunakan kriteria tertentu saja, tetapi ada pula yang menggunakan beberapa kriteria dalam pemeriannya. Selain itu, ada kecenderungan pengamatannya terpengaruh oleh peristiwa lain yang seharusnya dapat dikendalikan.

2.3 Pengertian Reduplikasi

Reduplikasi merupakan salah satu wujud proses morfologis. Reduplikasi sebagai proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhun, sebagian (parsial), maupun dengan perubahan fonem (Chaer,1994: 182).

Selanjutnya (Chaer 1995 : 286) mengatakan bahwa reduplikasi merupakan alat

(32)

morfologi yang produktif di dalam pembentukan kata. Berdasarkan pendapat Chaer tersebut dapat dikatakan bahwa reduplikasi merupakan suatu proses pengulangan yang terjadi pada bentuk dasar dan berperan aktif di dalam pembentukan kata.

Ramlan (2001:63) mengatakan bahwa reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa reduplikasi atau pengulangan kata adalah suatu pengulangan atau proses secara morfemis yang mengulang satuan gramatik baik secara utuh, sebagian, perubahan bunyi, maupun penambahan afiks.

2.3.1 Jenis - jenis Reduplikasi

Ramlan (2001 : 69) mengatakan bahwa reduplikasi atau pengulangan kata itu terbagi menjadi empat bagian di antaranya pengulangan secara keseluruhan, pengulangan sebagian, pengulangan yang berkombinasi dengan afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem.

1. Pengulangan seluruh adalah pengulangan seluruh bentuk dasar, tanpa perubahan fonem dan tidak berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks.

Contoh :

sepeda sepeda – sepeda buku buku – buku

2. Pengulangan sebagian adalah pengulangan sebagian dari bentuk dasarnya.

Bentuk dasar tidak diulang seluruhnya.Hampir semua bentuk dasar pengulangan golongan ini berupa bentuk kompleks.

(33)

Apabila bentuk dasar itu berupa bentuk kompleks, kemungkinan- kemungkinan bentuknya sebagai berikut :

Contoh :

a. Bentuk dasar dengan prfiks meN –

Misalnya : mengambil mengambil–ambil membaca membaca-baca b. Bentuk dasar dengan prefiks di –

Misalnya : ditarik ditarik– tarik ditanami ditanam–tanami disodorkan disodor-sodorkan c. Bentuk dasar dengan prefiks ber –

Misalnya : berjalan berjalan-jalan bermain bermain-main berlarut berlarut-larut d. Bentuk dasar dengan prefiks ter –

Misalnya : tersenyum tersenyum-senyum terbatuk terbatuk-batuk terbentur terbentur-bentur e. Bentuk dasar dengan prfiks ber – an

Misalnya : berlarian berlarian -larian berjauhan berjauhan-jauhan berdekatan berdekatan–dekatan f. Bentuk dasar dengan sufiks an –

Misalnya : minuman minuman -minuman

(34)

makanan makan -makanan nyanyian nyanyian –nyanyian g. Bentuk dasar dengan prefiks ke –

Misalnya : kedua kedua-dua ketiga ketiga-tiga keempat keempat-empat

3. Pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks.

Pengulangan ini terjadi bersama- sama dengan proses pembubuhan afiks dan bersama–sama pula mendukung satu fungsi.

Contoh :

Pengulangan dengan pembubuhan sufiks an – Misalnya :

Kereta kereta – kereta keretan-keretaan anak anak – anak anak-anakan

rumah rumah – rumah rumah-rumahan

4. Pengulangan dengan perubahan fonem, kata ulang yang pengulangannya termasuk golongan ini sebenarnya sangat sedikit. Di samping bolak–balik terdapat kata kebalikan, sebaliknya, dibalik, membalik. Dari perbandingan itu, dapat disimpulkan bahwa kata bolak–balik dibentuk dari bentuk dasar balik, diulang seluruhnya dengan perubahan fonem, ialah dari / a / menjadi / o / dan dari / i / menjadi / a / /

Contoh Lain :

gerak gerak – gerik robek robak –robik

(35)

Keraf (1991:149) mengatakan bahwa macam-macam kata ulang berdasarkan strukturnya, bentuk ulang dalam bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi empat macam yaitu :

1. Pengulangan Dwipura

Pengulangan dwipura adalah pengulangan yang dilakukan atas suku kata pertama dari sebuah kata. Dalam bentuk pengulangan macam ini, vokal suku kata awal yang diulang mengalami pelemahan karena pengulangan ini menghasilkan satu suku kata tambahan. Sehingga vokal suku kata baru ini diperlemah. Kata-kata yang mengalami pengulangan dwipura antara lain :

tanaman > tatanaman > tetanaman tangga > tatangga > tetangga tamu > tatamu > tetamu

2. Pengulangan Dwilingga

Lingga adalah bentuk dasar. Karena itu, bila sebuah bentuk dasar mengalami pengulangan seutuhnya maka pengulangan ini disebut pengulangan dwilingga.

Lingga yang diulang dapat berupa kata dasar atau kata turunan. Misalnya : rumah > rumah-rumah

buah > buah-buahan anak > anak-anak

3. Pengulangan Dwilingga Salin – Suara

Pengulangan dwilingga salin – suara adalah semacam pengulangan atas seluruh bentuk dasar, namun terjadi perubahan bunyi pada salah satu fonemnya atau lebih.

Misalnya :

(36)

gerak – gerik > gerak – gerik porak – porak > porak – parik

4. Pengulangan Dwilingga Berimbuhan

Pengulangan dwilingga berimbuhan adalah salah satu variasi lain dari pengulangan dwilingga, namun pada salah satu atau bentuk lingga atau bentuk dasarnya mendapat imbuhan.Misalnya :

bermain-main memukul-mukul berjalan-jalan

Kridalaksana (89:2007) mengatakan bahwa jenis-jenis reduplikasi ada 5 macam, yaitu:

1. Dwipurwa

Dwipurwa adalah pengulangan suku pertama pada leksem dengan pelemahan vokal.

Contoh: tetangga lelaki

tetamu sesama 2. Dwilingga

Dwilingga adalah pengulangan leksem.

Contoh: rumah-rumah makan-makan

pagi-pagi

3. Dwilingga salin swara

(37)

Dwilingga salin swara adalah pengulangan leksem dengan variasi fonem.

Contoh: mondar-mandir bolak-balik

corat-coret 4. Dwiwasana

Dwiwasana adalah pengulangan bagian belakang dari leksem.

Contoh: pertama-tama perlahan-lahan

sekali-kali 5. Trilangga

Trilangga adalah pengulangan anamotope tiga kali dengan variasi fonem.

Contoh: cas-cis-cus dag-dig-dug ngak-ngik-nguk

Badudu (1980:21) mengatakan bahwa jenis-jenis reduplikasi ada 5 macam, yaitu:

1. Pengulangan penuh

Pengulangan penuh adalah semua kata ulang yang di hasilkan oleh perulangan unsurnya secara penuh.

Contoh: gedung gedung-gedung Jalan jalan-jalan Makan makan-makan 2. Pengulangan berimbuhan

Pengulangan berimbuhan adalah semua kata ulang yang salah satu unsurnya berimbuhan:awalan, sisipan atau akhiran.

(38)

Contoh: berjalan berjalan-jalan Berlari berlari-lari 3. Pengulangan bunyi

Pengulangan bunyi adalah pengulangan yang terjadi dengan perubahan bunyi banyak pada unsur pertama maupun unsur kedua.

Contoh: cerai cerai-berai sorak sorak-sorai 4. Pengulangan semu

Pengulangan semu adalah pengulangan yang hanya dijumpai dalam bentuk ulang seperti itu. Bila tidak diulang, maka komponennya tidak mempunyai makna, atau mempunyai makna lain yang tidak ada hubungannya dengan kata ulang tersebut.

Contoh: laba-laba ubur-ubur

kupu-kupu

5. Pengulangan dwipurwa

Pengulangan dwipurwa adalah pengulangan yang berasal dari komponen yang mulanya diulang, kemudian berubah menjadi sepatah kata dengan bentuk seperti itu.

Contoh: laki lelaki tangga tetangga

Berdasarkan pendapat Ramlan, Keraf, Badudu dan Kridalaksana dapat disimpulkan bahwa reduplikasi atau kata ulang ada 6 macam yang diketahui, yaitu:

1. Reduplikasi atau kata ulang secara keseluruhan/murni/dwilingga.

(39)

2. Reduplikasi atau kata ulang sebagian/dwipurwa.

3. Reduplikasi atau kata ulang perubahan vonem/dwilingga salin swara.

4. Reduplikasi atau kata ulang yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks/berimbuhan/bersambung/dwilingga berimbuhan/dwiwasana.

5. Reduplikasi atau kata ulang trilingga.

6. Reduplikasi atau perulangan semu.

2.4 Bentuk Dasar Reduplikasi

Ramlan (2001 : 65) mengttakan bahwa setiap kata memiliki satuan yang diulang, sehingga sebagian kata ulang dengan mudah dapat ditentukan bentuk dasarnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak semua kata ulang dengan mudah ditentukan bentuk dasarnya, sehingga dapatlah dikemukakan dua petunjuk dalam menentukan bentuk dasar kata ulang, yaitu sebagai berikut:

a. Pengulangan pada umumnya tidak dapat mengubah golongan kata.

Contoh :

berkata –kata (kata kerja) bentuk dasarnya berkata (kata kerja)

gunung – gunung (kata nominal) bentuk dasarnya gunung (kata nominal) cepat – cepat (kata sifat) bentuk dasarnya cepat (kata sifat)

sepuluh –puluh (kata bilangan) bentuk dasarnya sepuluh (kata bilangan) b. Bentuk dasar selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa.

Contoh :

mengata-ngatakan : bentuk dasarnya mengatakan, bukan mengata menyadar-nyadarkan : bentuk dasar menyadarkan, bukan menyadar berdesak-desakan : bentuk dasarnya berdesakan, bukan berdesak

(40)

2.5 Makna Reduplikasi

Ramlan (2001 : 176) mengatakan bahwa makna reduplikasi atau pengulangan kata terbagi menjadi 11 bagian sebagai berikut:

1. Menyatakan makna ‘banyak yang berhubungan dengan bentuk dasar`.

contoh : rumah itu sudah sangat tua

rumah – rumah itu sudah sangat tua

Kata rumah dalam kalimat rumah itu sudah tua menyatakan “sebuah rumah“ , sedangkan kata rumah-rumah dalam kalimat rumah-rumah itu sudah tua menyatakan “banyak rumah.”

contoh lain :

binatang-binatang : banyak bintang

pembanguan-pembangunan : banyak pembangunan kunjungan-kunjungan : banyak kunjungan

2. Menyatakan makna ‘ banyak yang tidak berhubungan bentuk dasar`.

contoh :

Mahasiswa yang pandai-pandai mendapatkan beasiswa (mahasiswa itu pandai)

pohon yang rindang-rindang itu pohon beringin (pohon ditepi jalan itu rindang-rindang)

3. Menyatakan makna ‘ tak bersyarat ‘ dalam kalimat Contoh dalam kalimat :

- jambu-jambu mentah dimakannya

(41)

Pengulangan pada kata jambu dapat digantikan dengan kata meskipun, menjadi meskipun jambu mentah, dimakannya.

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa pengulangan pada kata jambu menyatakan makna yang sama dengan makna yang dinyatakan oleh kayta meskipun,ialah makna ‘ tak bersyarat ‘

Contoh : - duri-duri diterjang : meskipun duri ‘ diterjang ‘ - darah-darah diminum : meskipun darah diminum

4. Menyatakan makna ‘ yang menyerupai apa yang tersebut pada bentuk dasar’.

Dalam hal ini proses pengulangan berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks –an.

Contoh :

Kuda-kudaan : ‘ yang menyatakan kuda ‘ Rumah-rumahan : ‘ yang menyatakan rumah ‘ Anak-anakan : ‘yang menyatakan anak ‘

5. Menyatakan bahwa ‘perbuatan tersebut pada bentuk dasar dilakukan berulang –ulang’

Contoh :

Berteriak-teriak : ‘ berteriak berkali-kali’

memukul-mukul : ‘ memukul berkali-kali ‘ memetik-memetik : ‘ memetik berkali-kali ‘ menyobek-nyobek : ‘ menyobek berkali-kali ‘

6. Menyatakan bahwa ‘ perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan dengan enaknya, dengan santainya, atau dengan senangnya’

Contoh :

(42)

Berjalan-jalan : ‘ berjalan dengan santainya’

Makan-makan : ‘ makan dengan santainya ‘ Minum-minum : ‘ minum dengan santainya ‘ Membaca-baca : ‘ membaca dengan santainya ‘

7. Menyatakan bahwa ‘ perbuatan pada bentuk ini dilakukan oleh dua pihak dan saling mengenai.’Dengan kata lin pengulangan ini menyatakan makna ‘ saling’

Contoh :

pukul – memukul : ‘ saling memukul ‘

pandang – memandang : ‘saling memandang ‘ kunjung – mengunjungi : ‘ saling mengunjungi ‘

8. Menyatakan ‘ hal-hal yang berhubungan dengan perkejaan yang tersebut pada bentuk dasar ‘

Contoh :

Cetak-mencetak : ‘ hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan mencetak ‘

Jilid-menjilid : ‘ hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan menjilid’

9. Menyatakan makna ‘ agak ‘ Contoh :

kemerah–merahan : ‘ agak merah ‘ kehitam–hitaman : ‘ agak hitam kebiru–biruan : ‘ agak biru ‘

(43)

10. menyatakan makna ‘tingkat yang paling tinggi yang dapt dicapai’. Dalam hal ini pengulangan berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks se-nya.

Contoh:

sepenuh-penuhnya : ‘tingkat penuh yang paling tinggi yang dapat dicapai;sepenuh mungkin’.

serajin-rajinnya :’tingkat rajin yang paling tinggi yang dapat dicapai;serajin mungkin’.

11. Selain dari makna-makna yang tersebut di atas, terdapat juga proses pengulangan yang sebenarnya tidak mengubah arti bentuk dasarnya, melainkan hanya menyatakan intensitas perasaan.

Contoh:

kata: mengharapkan dengan mengharap-harapkan, membedakan dengan membeda-bedakan.

Adapun makna dan fungsi reduplikasi menurut Badudu (1978: 24-27) adalah sebagai berikut :

1. pengulangan kata benda

1) menyatakan ‘ bermacam – macam ‘ contoh :

buah -buahan sayur -sayuran

2) menyatakan benda menyerupai bentuk dasar itu contoh :

orang -orangan

(44)

rumah-rumahan 2. pengulangan kata kerja

1) menyatakan ‘ pekerjaan yang dilakukan berulang – ulang atau berkali- kali’

contoh :

meloncat – loncat menarik – narik

2) menyatakan aspek ‘duratif yaitu pekerjaan, perbuatan, atau keadaan berlangsung lama’

contoh :

berenang-renang disimpan – simpan

3) menyatakan ‘ bermacam-macam pekerjaan’

contoh :

sulam-menyulam cetak-mencetak

4) menyatakan ‘pekerjaan yang dilakukan oleh dua pihak ; berbalasan‘

contoh :

tembak – menembak bersaing – saingan

3. pengulangan kata sifat

1) menyatakan makna ‘lebih (insensitas)’

contoh :

(45)

berjalan cepat-cepat!

Kerjakan baik- baik ! 2) menyatakan ‘sampai atau pernah‘

contoh :

habis-habisan bosan-bosanan

3) pengulangan dengan awalan – se dan akhiran – nya menyatakan makna ‘ superlatif ( paling )

contoh :

setinggi-tingginya sebaik-baiknya

4) pengulangan yang menyatakan ‘melemahkan arti kata sifat itu’ atau makna

‘ agak ‘ contoh :

pening-pening sakit-sakit

5) pengulangan yang seolah–olah menjadi ungkapan dalam bahasa Indonesia makna pengulangannya kurang jelas.

contoh :

menakut- nakuti 4. pengulangan kata bilangan

1) menyatakan makna ‘ satu demi satu ‘ contoh :

mereka masuk ruangan satu- satu

(46)

2) pengulangan kata satu tambahan akhiran – nya menyatakan makna ‘hanya satu’

contoh :

ini adalah anak satu-satunya

3) pengulangan dengan kata satu-satu, tiga-tiga, empat–empat, dan seterusnya menyatakan makna ‘ sekaligus dua, tiga, empat, dan seterusnya’

contoh :

buah apel ini lima- lima sebungkus

4) pengulangan berpuluh–puluh, beratus–ratus, beribu–ribu, dan seterusnya menyatakan makna ‘ kelipatan sepuluh, seratus, seribu, dan seterusnya’

contoh :

beribu- ribu berjuta-juta

Pada bahasa Karo, reduplikasi itu dapat dilihat pada kata-kata berikut : Nini – nini (< nini) ‘nenek-nenek’

Iketen – iketen (< iketen) ‘ikatan-ikatan’

Mbagi – bagiken (< membagiken) ‘membagi-bagikan’

Pemena – mena (< pemena) ‘pertama-tama’

Ikata – kataken (< ikataken) ‘dikata-katakan’

Jajorok (< jarok) ‘gayung’

Megara – garaen (< gara) ‘merah-kemerahan’

Erlebuh – lebuh (< lebuh) ‘memanggil-manggil’

(47)

Erton – ton (< ton) ‘berton-ton’

Reduplikasi di atas memperlihatkan bahwa tiap-tiap kata dapat dikembalikankan pada bentuk yang lebih sederhana disebut dasar. Selanjutnya, kata yang bertugas sebagai dasar itu ada yang dapat pula dipulangkan pada bentuk yang lebih sederhana lagi yang juga merupakan dasar. Terlihat pula bahwa masing – masing kata merupakan hasil proses pengulangan sebagian atau seluruh bentuk kata yang dianggap menjadi dasarnya. Proses yang menghasilkan kata – kata di atas disebut proses reduplikasi yang selanjutnya dapat diperinci berdasarkan unsur dasar yang mengalami pengulangan. Reduplikasi yang mengulang hanya sebagian unsur dasar (biasanya gugus KV – suku pertama atau kedua suku terakhir dasar) disebut reduplikasi parsial (Rp

Pada bentuk – bentuk reduplikasi tertentu, dasar kata yang dapat dianggap langsung menurunkan bentuk R dapat dengan mudah ditentukan; misalnya, nini pada nini-nini. Pada bentuk-bentuk R lain, nampaknya tak selalu mudah untuk menentukan dasarnya. Bentuk pemena-mena, misalnya dapat dikatakan diturunkan dari bentuk pemena, sehingga R yang menghasilkannya ialah R

) (K = konsonan, V = vokal), dan reduplikasi yang mengulang seluruh dasar kata reduplikasi penuh (R)

p. Akan tetapi, kata itu dapat dianggap diturunkan dari pengulangan penuh bentuk mena. Mengingat adanya kata-kata tertentu yang jika diulang hanya mungkin terdapat dengan afiks, misalnya, erton-ton (yang langsung diturunkan dari ton, karena bentuk *erton tidak mungkin), dalam simbolisasinya bentuk – bentuk reduplikasi seperti pemena-mena, mbagi-bagiken, ikata-kataken, dan erton-ton, dituliskan sebagai reduplikasi penuh ditambah afiksasi.

(48)

Selanjutnya, bentuk-bentuk reduplikasi dapat terdiri dari konstituen dasar dan konstituen ulang (duplicate). Pada bentuk nini-nini, misalnya, konstituen dasar menempati posisi 1 dan konstituen ulangnya (-nini) menempati posisi 2.

tergantung pada posisi konstituen ulangnya, redpulikasi selanjutnya dapat diperinci menjadi reduplikasi arah kanan atau redpulikasi arah kiri. Apabila konstituen ulangnya terdapat pada posisi 2, reduplikasi disebut reduplikasi arah kanan, dan ia disebut arah-arah kiri jika konstituen ulangnya menempati posisi 1;

nini-nini, mbagi-bagiken adalah contoh reduplikasi arah kanan. Erlebuh-lebuh adalah contoh reduplikasi arah kiri.

Di atas telah disinggung bahwa reduplikasi adalah proses morfemis yng mengubah bentuk kata yang dikenainya. Sekarang perlu diketahui apakah perubahan yang terjadi dapat dihubungkan dengan suatu arti (dengan perkataan lain : apakah proses tersebut “meaningful”). Jika arti setiap bentuk reduplikasi di atas dibandingkan dengan arti kata yang dikenainya akan segera tampak bahwa perubahan bentuk dapat dihubungkan dengan arti tertentu. Hal ini sesuai dengan prinsip umum semantik bahwa “bila bentuk berbeda, maknanya berbeda pula”

(Verhaar, 1977).

2.6 Simbolisasi Bentuk Reduplikasi

Untuk menentukan tanda-tanda (simbol) yang digunakan untuk menuliskan bentuk-bentuk reduplikasi digunakan simbolisasi Simatupang (1983), reduplikasi dibagi dalam dua kelompok besar :

(1) Reduplikasi morfemis;

(2) Reduplikasi semantis (selanjutnya Rs; s = semantis)

(49)

Reduplikasi morfemis selanjutnya dapat diperinci menjadi :

1) Reduplikasi penuh, yaitu yang mengulang seluruh (bentuk) dasar kata. Tanda yang dipakai untuk menuliskannya ialah R (tanda ini digunakan juga untuk memendekkan kata reduplikasi secara umum);

tanda yang dipakai untuk menuliskan dasar yang dikenai oleh R yang bersangkutan untuk menghasilkan bentuk baru ialah D.

2) Reduplikasi parsial, yaitu yang mengulang sebagian (bentuk) dasar kata untuk menghasilkan bentuk baru. Tanda reduplikasi jenis ini ialah Rp

Kemudian, R dan Rp dapat diperinci berdasarkan perubahan lain yang terjadi dan jenis-jenis afiks yang dapat bergabung dengannya.

(p = parsial)

Hal lain yang perlu kiranya dikemukakan di sini ialah bahwa dalam simbolisasi, R penuh didasarkan pada unsur kata yang mengalami pengulangan penuh. Pada kata memukul – mukul misalnya, unsur yang mengalami pengulangan ialah unsur bawahan langsung (IC) – pukul dan bukan memukul. Hal ini ditentukan demi kemudahan saja. Kalau tidak, R yang menghasilkan kata memukul-mukul akan dimasukkan ke dalam golongan Rp, dan ini akan menimbulkan kerumitan dalam simbolisasi. Lagi pula, ada bentuk-bentuk reduplikasi tertentu yng diperkirakan diwujudkan melalui proses pengulangan dan afiksasi secara sekaligus, dan biasanya bentuk-bentuk demikian langsung diturunkan dari bentuk yang dapat dianggap paling dasar, misalnya ke (k) anak- (k) anakan (< (k) anak) dan berton-ton (< ton). Dalam pembicaraan selanjutnya, apabila diperlukan apa yang diperkirakan menjadi dasar langsung dari kata reduplikasi akan ditunjukkan.

(50)

Berikut terdapat beberapa contoh utama cara menuliskan bentuk-bentuk reduplikasi :

1. Reduplikasi morfemis (1.1) Reduplikasi penuh (1.1.1) R tanpa afiks :

Nini – nini : (D + R) (1.1.2) R dengan afiks :

(1.1.2.1) R dengan prefiks :

Pemena – mena : ((D + R) + pe-)) (1.1.2.2) R dengan simulfiks :

Mbagi - bagiken : (D + R) + N- (-ken) (1.1.2.3) R dengan sufiks :

Galang-galangen : ((D + R) + -en) (1.1.2.4) R dengan infiks :

Gilang-gemilang : (D + (R + -em-) (1.2) Reduplikasi penuh dengan perubahan fonem (Rperf

(1.2.1) R

, pef = perubahan fonem di mana f dapat berupa K = konsonan atau V = vokal)

perf

Sayur – mayur : (D + R

tanpa afiks :

perk

(1.2.2) R

)

perf

Eramah – tamah : ((D + R

dengan afiks :

perk

(1.2.3) R

) + er-)

perf

Eramah – tamahen : (D + R

dengan simulfiks :

perk

2. Reduplikasi parsial

) + er-/-en)

(2.1) Rp dengan afiks

(51)

Dedaunan : ((D + Rp

3. Reduplikasi semantis

) + -an)

(3.1) Rs

Sopan – santun : ((D + R tanpa afiks

s

(3.2) R

)

s

Menghancur – leburkan : ((D + R) + meN-/-kan) dengan afiks

Untuk reduplikasi yang derivasional dan yang paradigmatis, secara berturut-turut, dipakai tanda R-der (der = derivasional) dan R-par (par = paradigmatis).

(52)

BAB III

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELETIAN

3.1 Masyarakat Karo

Masyarakat Karo menggunakan bahasa Karo untuk berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Jadi, dapat dikatakan bahwa masyarakat etnis Karo adalah penutur asli bahasa Karo. Secara keseluruhan, masyarakat etnis Karo lebih banyak tinggal di luar Kabupaten Karo, tetapi bila dilihat dalam satu daerah kabupaten maka di Kabupaten Karolah yang terdapat jumlahnya paling banyak.

Sesuai dengan kenyataan, walau dimanapun mereka berdomisili bahwa mereka selalu menggunakan bahasa Karo untuk berkomunikasi antar sesama etnis Karo.

Kesetiaan mereka untuk menggunakan bahasa Karo memang sangat tinggi.

Masyarakat Karo yang berdomisili di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat mayoritas adalah petani. Mereka menanam sawit, karet, dan palawija.

Mereka tidak ada yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, walaupun mereka tinggal di tepi pantai. Di luar pekerjaan tersebut memang ada juga yang bekerja sebagai PNS, ABRI, dan berdagang.

Secara umum, masyarakat Karo yang berdomisili di Kabupaten Karo bertani dengan menanam padi basah dan padi kering, buah-buahan, dan sayur- sayuran. Hal itu diakibatkan oleh keadaan alamnya yang menunjang, yaitu tanahnya subur dan udaranya sejuk disertai curah hujan yang cukup. Masyarakat Etnis Karo yang tinggal di Kabupaten Deli Serdang dan langkat pada umumnya adalah petani karet dan sawit, walaupun ada juga yang menanam, palawija.

(53)

Sistem demokrasi atau kegotong-royongan lebih banyak ditemukan bahwa pada masyarakat Karo yang tinggal di daerah Kabupaten Karo daripada mereka yang tinggal di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat karena dikedua kabupaten tersebut tidak ditemukan lagi Aron. Aron artinya ‘sekelompok orang yang mempunyai kepentingan bersama’, atau dengan kata lain ‘mempunyai kepentingan yang hampir bersamaan’. Aron ini mempunyai anggota dalam satu kelompok antara 10 orang hingga 25 orang. Anggota Aron tidak membedakan jenis kelamin. Cara mereka bekerja adalah dengan sistem bergilir. Maksudnya, tanggal 1 pada bulan itu semua anggota akan bekerja bersama-sama di ladang si A selama 4 jam (4 x 60) untuk satu periode (mulai dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 12.00 tengah hari). Selama satu hari mereka mempunyai waktu bekerja dua tahapan, yaitu pagi empat jam (pukul 13.00 sampai dengan pukul 17.00). Bila ladang si A dapat diselesaikan selama satu tahap maka tahap yang lain boleh berpindah ke tempat bekerja lainnya atau keladang anggota yang lain.

Hal ini biasa dilihat dari situasi dan kondisi ladang para anggota kelompok kerja.

Perpindahan tempat bekerja untuk setiap tahap akan diatur oleh ketua kelompok.

Bila dilihat dari sudut pandang agama, masyarakat Karo ada yang beragama Protestan, Katolik, dan Islam. Jumlah penganut masing-masing agama belum pernah diteliti oleh para ahli ataupun ilmuwan. Akan tetapi, secara sepintas dapat diasumsikan bahwa masyarakat Karo yang berdomisili di daerah Kabupaten Deli Serdang dan Langkat mayoritas adalah Islam, sedangkan di Kabupaten Karo penduduknya mayoritas beragama Kristen.

Masyarakat etnis Karo tidak membenarkan menikah dengan orang yang mempunyai nama keluarga Merga dan Beru yang sama, kecuali Sembiring Milala,

(54)

Kembaren, Guru Kinayan, Pelawi, dan Pandia. Umpamanya si Azis Sembiring tidak diperbolehkan menikah dengan seorang wanita yang Beru Sembiring di luar yang terkecuali tersebut. Jadi, dapat dipilih wanita lain yang mempunyai nama keluarga yang berbeda, yaitu sebanyak empat lagi karena semua nama keluarga ada lima jenis. Peraturan ini dibuat karena sistem kekerabatan yang di anut oleh masyarakat etnis Karo adalah patrilinear dan matrilinial sehingga bila ada orang yang mempunyai nama keluarga sama berarti mereka berasal dari satu nenek.

Untuk mengenal anggota masyarakat Karo kita harus mengetahui nama keluarga masyarakat Karo yang disebut Merga. Kata Merga di dalam bahasa Karo artinya Meherga (mahal). Merga akan dimiliki oleh setiap individu suku Karo. Merga selalu diwariskan oleh ayahnya kepada setiap anaknya. Hal ini terjadi semenjak suku Karo lahir ada di dunia ini. Merga ini berbeda istilah di antara anak laki-laki dan anak perempuan. Untuk anak laki-laki disebut Merga dan untuk anak perempuan disebut Beru. Lebih rinci lagi dapat kita ketahui bahwa setiap individu suku Karo mempunyai empat ciri nama keluarga selain nama. Jadi, walaupun tidak dituliskan akan dipanggil setiap berkomunikasi, maka sebenarnya ada lima kata paling sedikit dimiliki oleh seseorang, misalnya Boy Sembiring Milala Bere-bere Perangin-angin Bangun. Boy adalah nama, Sembiring adalah Merga, Milala adalah sub Merga Sembiring, Perangin-Angin adalah Merga dan Bangun adalah Perangin-Angin.

Sembiring Milala diwariskan oleh nenek moyangnya ke generasinya secara turun-temurun. Bere-bere diwariskan oleh ibu kandungnya. Sejalan dengan perolehan nama keluarga bagi setiap anggota masyarakat Karo maka timbullah bahasa atau istilah kekerabatan yang dimiliki oleh masyarakat Karo ( Lihat

(55)

diagram 1 dan tabel 6). Akan tetapi, sebelum sampai pada diagram tersebut, ada baiknya jika diterangkan terlebih dahulu semua Merga suku Karo beserta sub- Merga tersebut berikut desa yang mereka bangun pada masa tempo dulu ( Lihat tabel 1-5). Adapun ciri khas anggota masyarakat Karo yang lima jenis secara umum dapat diuraikan berikut ini.

(56)

Tabel 1. Merga Sembiring dan Cabang-Cabangnya

No Merga Sub-Merga Desa asal/bangunannya

1. Sembiring Milala Depari Busuk Bunuaji Brahmana Colia

Gurukinayan Keling Muham Pandia Pelawi Pandebayang Sinukapon Tekang Keloko Kembaren Sinulaki Sinupuyang

Sarinembah, Biaknampe, Munte Seberaya, Perbesi

Kidupen, Lau Perimbon Kuta Tonggal, Beganding Kabanjahe, Limang, Perbesi Kubucolia, Seberaya

Gurukinayan Juhar, Raja Tengah Suka, Perbesi Seberaya, Payong Peraji, Ajijahe

Buluh Naman, Gurusinga Pertumbuken, Sidikalang Kaban

Pergendangen

Sampe Raya, Kuta Mbelin, Kuta Mbaru

Suka, Belinum Juma Raja, Nageri

Tabel 2. Merga Perangin-angin dan Cabang-Cabangnya

No Merga Sub-Merga Desa asal/bangunannya

2. Perangin-angin Bangun Benjerang Kacinambun Keliat Laksa Manu Namohaji Pencawan Penggarun Perbesi Pinem Sebayang

Batukarang Batukarang Kacinambun Mardingding Juhar

Pergendangen Kutabuluh Perbesi Susuk Perbesi Sarintolu Perbesi

(57)

Tabel 3. Merga Ginting dan Cabang-Cabangnya No Merga Sub-Merga Desa asal/bangunannya 3. Ginting Jadibata

Sugihen Garamata Gurupatih Suka Babo Jawak Pase

Ajartambun Beras Seragih Capah Tumangger Munte Manik

Juhar

Sugihen, Juhar, Kuta Gugung Raja Tonggal, Tongging Buluh Naman, Sarimunte, Naga

Lau Kapor

Suka, Lingga Julu, Naman, Berastepu

Gurubenua, Kuta Gerat, Munte Cingkes

Tidak punya desa asal, karena

generasi terputus yang disebabkan oleh tidak ada generasinya laki-laki

Rajameahe Lau Petundal Lingga Julu Bukit

Kidupen, Kemkem

Munte, Kuta Bangun, Dokan, Tongging, Bulanjahe, Ajinembah, Raja Tengah Lingga, Tongging

(58)

Tabel 4. Merga Tarigan dan Cabang-Cabangnya No Merga Sub-Merga Desa asal/bangunannya 4. Tarigan Tua

Gerneng Girsang Gana-gana Jampang Pekan Purba Sibero Silangit Tambak Tambun Tegur Bondong

Pergandengan Cingkes

Nagasaribu, Berastepu Batukarang

Pergendangen Sukanalu Simalungun

Juhar, Munte, Lingga, Kuta Raja, Tanjung Beringin

Gunung

Kebanyakan, Sukanalu Rakut Besi, Binangara Suka

Lingga

(59)

Tabel 5. Merga Karo-Karo dan Cabang-Cabangnya No Merga Sub-Merga Desa asal/bangunannya 5. Karo-karo Barus

Kaban

Sinuhaji Purba

Kacaribu Ketaren Sinuraya Sinulingga

Sekali Kemit Jung/ujung Sinukaban Sinubulan Samura Sukapiring Sitepu

Barusjahe,Sipitu Kuta, Serdang, Pernampen, Siberteng, Kabung, Juma Padang, Buntu, Basam, Talimbaru Kaban, Sumbul, Lau Lingga, Pernatin, Buluh Naman, Bintang Meriah

Ajijahe, Ajijulu, Ajiuhara Ajimbelang

Kabanjahe, Berastagi,Kinepen, Jandi Meriah, Beganding, Kuta Suah

Kuta Gerat, Kerapat, Kacaribu Sibolangit, Ketaren

Bunuraya, Kandibata, Singgamik

Lingga,Gunung Merlawan, Linggajulu, Kacaribu, Torong, Surbakti

Seberaya Kuta Male

Kuta Nangka, Batukarang, Perbesi

Pernantin, Kabantua Bulanjulu

Samura Seberaya

Naman, Sukanalu, Gamber, Sigarang-garang, Bakerah, Simacem, Kuta Tengah,

Ndeskati, Sukandebi, Sinaman, Rumamis, Semangat, Bulujahe, Sukajulu, Gunung Pinto

Masyarakat etnis Karo menggunakan istilah kekerabatan berikut ini dan istilah tersebut diperoleh sesuai dengan posisi seseorang yang tergambar pada skets yang dimuat pada halaman 56.

Referensi

Dokumen terkait

Metode ini dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung dengan beberapa mahasiswa dan karyawan Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung yang

Perlindungan hukum yang meliputi undang-undang dan peraturan mentri tersebut yang seharusnya dapat memberikan perlindungan bagi anak sebagai peserta didik di

• Pantun sebagai jenis puisi Pantun sebag ai jenis puisi Melayu lama yang Melayu lama yang.. tertua dan asli

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.05/Men/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No Per.02/Men/2011 tentang Jalur

Hazırlanan Bu tüzüğe göre Avrupa kültürünün zenginlik ve çeşitliliğinin yeri doldurulamaz bir dışavurumu olan mimari mirasın tüm insanların ortak malı olduğunu ve

Bahan hukum primer yaitu sumber penelitian hukum yang bersifat autoritatif. Bahan Hukum primer berupa perundangan-undangan, catatan-catatan resmi, risalah dalam pembuatan

Metode yang digunakan dalam ini adalah menggunakan pendekatan partisipatif yaitu melaksanakan pendidikan dan pelatihan masyarakat dengan pihak akademisi (Dosen

Dari hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru dalam peningkatan kemampuan